Anda di halaman 1dari 16

EKSISTENSI DAN REKOGNISASI HUKUM ADAT

DISUSUN OLEH :

NAMA : MIRATA BULAN BEH

NIM : D1A022483

KELAS : HUKUM ADAT (D2)

FAKULTAS HUKUM.

UNIVERSITAS MATARAM
1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak manusia diturunkan ke muka bumi, ia telah memulai kehidupan secara bersama.
Ia memulainya dengan pola hidup berkeluarga, mem- bentuk guyub dalam sistem
masyarakat, dan akhirnya sampai pada pola yang modern semacam "negara". Dalam
aktivitas kehidupan bersama itu, mereka telah mengatur diri dan anggota keluarganya
menurut kebiasaan tertentu yang dirasakan sebagai kepatutan.Dilihat dari
perkembangan di atas, dapat dikatakan bahwa konteks peran- an, hak, dan kewajiban
manusia perseorangan dalam keberadaannya bersama-sama kelompok memunculkan
kebolehan dan larangan. Peri- laku terus-menerus yang dilakukan secara perseorangan
menimbulkan kebiasaan, demikian seterusnya pada perilaku peranan kelompok muncul
kebiasaan kelompok, dan bila dilakukan seluruh anggota masyarakat, lambat-laun akan
menjadi "adat". Dengan demikian, adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang
bersangkutan. Apabila kebiasaan tersebut berkembang pada kelompok-kelompok
masyarakat, menjelma keajegan berupa "hukum adat". Untuk mempertahankan
keberlakuan perilaku ini, diperlukan sarana yang dapat membakukannya. Muncul ke
permukaan konsep pimpinan dan pendukungnya. Pada perkembangan tatanan
masyarakat modern kemudian tumbuh dan berkembang konsep tentang negara dengan
perangkat tatanan dan penegaknya sehingga memuncul- kan konsep "hukum
negara/hukum perundangan".Studi terhadap perilaku manusia khususnya yang terkait
dengan hukum adat sangat menarik untuk dilakukan. Hal ini disebabkan tidak saja
karena uniknya hukum dalam problematika fenomena sosialnya yang dipengaruhi faktor
ekonomi, politik, sosial, dan budaya, Sistem Hukum di defnisikan sebagai sekumpulan
sikap yang telah mengakar kuat dan terkondisikan secara historis terhadap hakikat
hukum, aturan hukum dalam masyarakat dan ideologi politk, organisasi serta
penyelenggaraan sistem hukum. Menurut Black Law Dictonary, sistem hukum diartkan

sebagai:Jurisdicton’s basis of applying law consists of (1) A consttuton, writen or oral;


(2) Primary legislaton, statutes, and laws; authorized by consttutonally authorized
legislatve body; (3) Primary legislaton authorized body enacts subsidiary legislaton or
bylaws; (4) Traditonal practces upheld by the courts; (5) Civil, common, Roman, or

2
other code of law as source of such principles or practces.Sedangkan Peter de Cruz
mendefnisikan sistem hukum sebagai pengoperasian

sekumpulan insttusi, prosedur, dan peraturan hukum. Dalam art luas, sistem hukum
didefnisikan sebagai flsafat yuristk dan teknik yang sama yang digunakan oleh sejumlah
negara yang secara umum memiliki kesamaan sistem hukum. Sistem hukum dalam art
luas ini menggambarkan sebuah keluarga hukum induk, sepert keluarga hukum Civil
law, Common law, Adat law, Socialist law dan Islamic law.Pemikiran tentang sistem
hukum tdak terbebas dari kritsme dan telah diimplementasikan dalam berbagai macam
cara meskipun tdak ada konsensus di kalangan pengamat hukum tentang apakah konsep
ini murni heurists, mendasar dan ilmiah atau kurang berguna secara teorits dan
deskriptf. Bahkan ketka konsep tersebut digunakan, belum ada kriteria klasifkasiannya.
Misalnya Zweigert dan Kotz lebih memilih hanya yuristk, sedangkan Glasson dan
Sarfat terfokus pada asal usul historis sebuah sistem sebagai ftur yang membedakan atau
mengidentfkasikan. Demikian juga belum ada kesepakatan berkenaan dengan
pengelompokan berbagai sistem hukum.John Henry Merrymann dalam bukunya yang
berjudul The Civil Law Traditon: An Introducton to The Legal System of Western
Europe and Latn America membagi tradisi hukum ke dalam tga kategori utama, yakni:
tradisi hukum adat (common law), tradisi hukum kontnental (civil law), dan tradisi
hukum sosialis (socialist law). Sedangkan Peter de Cruz dalam bukunya Perbandingan
Sistem Hukum Common Law, Civil Law, and Socialist Law membagi tradisi hukum
dalam beberapa kategori, meliput: tradisi hukum contnental, tradisi hukum anglo
saxondan amerika, tradisi hukum adat, tradisi hukum sosialis dan tradisi hukum Islam.
Meskipun demikian, sejatnya hanya terdapat dua kategori utama tradisi hukum yang
dianut di negara-negara kontemporer saat ini yakni eropa contnental (civil law termasuk
di dalamnya socialist law) dan tradisi hukum common (anglo saxon, anglo America,
adat law, dan Islamic law).Negara Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara
hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga memiliki sistem hukum. Menariknya, Indonesia menganut
tga sistem hukum sekaligus yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
maupun ketatanegaraan yakni sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem
hukum Islam. Sistem hukum civil yang memiliki karakter “hukum tertulis“ berkembang
di Indonesia selama masa kolonial Belanda dan tetap bertahan hingga sekarang
mempengaruhi produk-produk hukum saat ini. Meskipun masa kolonial telah berakhir

3
72 tahun yang lalu, namun benih-benihnya masih dapat dirasakan hingga sekarang ini
mengingat masih eksis dan berlakunya beberapa produk hukum civil kolonial Belanda.
Di bidang hukum pidana, Wetboek van Strafrechts (WvS) masih berlaku melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 sebagai kitab pedoman dalam bidang pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di bidang Perdata, Burgerlijke Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Wetboek Van Kopenhandel (WvK)
atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku. Sedangkan dalam bidang
acara perdata, Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de
Buitengewesten (RBg) dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RR) juga
masih diberlakukan dan belum ada perubahan.Selain itu, hukum adat sebagai hukum
yang asli yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang
sangat mempengaruhi proses berlakunya hukum di Indonesia, dan hukum adat ini
sangat beragam di Indonesia. Sehingga, dalam penerapan secara umum akan
menghadapi kendala tetapi cukup efsien untuk masyarakat setempat yang
memberlakukannya. Bahkan, apabila di kalkulasikan, lebih banyak masyarakat yang
patuh dan tunduk pada hukum adat daripada hukum negara. Cornelis van Vollenhoven
sebagai ahli pertama yang menggagas pembagian hukum adat, mengklasifkasikan 23
lingkungan adat di Nusantara yakni: Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan sekitarnya,
Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung,
Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan
(Bugis/Makassar), Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa
Tenggara dan Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa
Mataraman, dan Jawa Barat (Sunda). Sementara itu, menurut Gerzt orang Amerika
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki 350 budaya, 250 bahasa dan seluruh
keyakinan dan Agama di dunia ada di Indonesia.5Menariknya, Hukum Islam juga
mempengaruhi corak hukum di Indonesia karena mayoritas penduduk di Indonesia
menganut agama Islam yang memungkinkan hukum Islam menjadi bagian yang pentng
dan berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Adanya peraturan perundang-
undangan yang bernafaskan Syariah Islam sepert dalam UU penyelengaraan Haji, UU
Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) telah cukup membuktkan bahwa negara
Indonesia tdak melepaskan tanggungjawab urusan beragama dengan urusan
negara/pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia dipengaruhi oleh

4
warna hukum kontnental, hukum adat dan hukum Islam yang pada kenyataannya
masing-masing mempunyai pengaruh yang besar dalamsistem hukum di
Indonesia.Tulisan ini akan mengkaji mengenai kedudukan, eksistensi dan konstrubusi
hukum adat dan hukum islam dalam sistem hukum di Indonesia, yang akan dibatasi
dengan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana sistem hukum kontnental,
hukum Islam, dan hukum adat dapat mempengaruhi perkembangan sistem hukum di
Indonesia?; (2) Bagaimanakedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia?;
(3) Bagaimana kedudukan dan eksistensi hukum adat dalam sistem hukum di
Indonesia?; dan (4) Bagaimana pluralisme hukum yang ada dapat menciptakan
keselarasan dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia? Pembahasan ini menjadi
menarik karena nantnya akan dapat dilihat bahwa meskipun sistem hukum kontnental
menjadi pilihan utama bangsa Indonesia, namun sebenarnya produk-produk hukum
yang dihasilkan tdak terlepas dari pengaruh hukum adat dan hukum Islam. Bahkan,
nantnya dapat dilihat mengenai pengaruh hukum adat dalam pembentukan
yurisprudensi di Mahkamah Agun

RUMUSAN MASALAH:

1. Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia


2. Kompleksitas Pengakuan Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup di
Indonesia
3. Rekognisi dalam Konstitusi Pasca Rezim Otoritarianisme

METODE PENELITIAN:

Metode normatif yuridis mengunakan literatur terkait dan lawam sifat dari
penelitian yuridis empiris.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Mason C. Hoadley dalam tulisannya The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia
(Review) berpendapat bahwa Keberadaan hukum adat sebagai living law bangsa
Indonesia semakin termarginalkan. Hukum adatyang pada awalnya menjadi hukum
yang hidupdan berkembang serta mampu memberikan solusi terhadap berbagai
permasalahan hidup masyarakat Indonesia, semakin hilang eksistensinya. Saat ini,
apabila melihat fakta empiris di masyarakat, dapat ditemui berbagai kompleksitas
masalah yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia terutama ketka hukum adat
berhadapan dengan hukum positf. Sebagai contohnya, ketka hak-hak tradisional
masyarakat berhadapan dengan kepentngan investor melalui sarana hukum
negara.Perkembangan Sistem Hukum Indonesia yang cenderung lebih memilih model
sistem hukum civil dari negara barat dan politk hukum Indonesia yang mengarah pada
kodifkasi dan unifkasi hukum, mempercepat hilangnya eksistensi hukum adat dan
pranata-pranatanya.Semakin hilangnya eksistensi hukum adat sebagai salah satu sumber
hukum di Indonesia, penyebabnya karena anggapan bahwa hukum adat sangat bersifat
tradisional, tertnggal, dan kuno, sehingga tdak dapat menjangkau perkembangan zaman
yang modern. Implikasi dari politk hukum Indonesia ini dapat dilihat dalam pemecahan
permasalahan di masyarakat yang cenderung mengesampingkan hukum adat dan lebih
mengutamakan hukum negara, meskipun sebenarnya lebih relevan daripada
menggunakan hukum negara. Banyaknya konfik horizontal, antara masyarakat adat di
satu wilayah yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peran lembaga penyelesaian
6
masyarakat adat.24 Masalah krusial yang tmbul dalam keseharian adalah perbedaan
persepsi antara penguasaan tanah oleh masyarakat berdasarkan hak ulayat dengan
kepentngan umum yang menjadi beban dan kewajiban negara.25 Contoh lain adalah
gagasan agar dasar patut dipidananya suatu perbuatan diperluas ke ranah nilai hukum
adat.26Padahal, apabila melihat legal historisnya, berlakunya hukum di Indonesia justru
mencatat bahwa banyak para ahli hukum khususnya dari negara Barat cenderung
tertarik mempelajari hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat Indonesia
sejak ribuan tahun lamanya. Snouck Hurgronje misalnya, ahli pertama yang
mempelajari hukum Indonesia, menulis buku yang berjudul De Atjehers menyebutkan
istlah hukum adat sebagai adat recht untuk memberi nama pada satu sistem
pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Selanjutnya teori Snouck Hurgronje dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven
yang kemudian dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda. Mengingat
hukum Adat adalah hukum yang mencerminkan kepribadian dan jiwa bangsa, maka
diyakini bahwa sebagian pranata hokum Adat tentu masih relevan menjadi bahan dalam
membentuk sistem hukum Indonesia.Hukum Adat yang tdak lagi dapat dipertahankan
akan punah seiring berjalannya waktu, sesuai dengan sifat hukum adat yang feksibel
dan dinamis (tdak stats). Menurut Von Savigny sebagaimana dikutp oleh Soepomo
menegaskan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena merupakan
penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai ftrahnya sendiri, hukum adat
terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang sepert hidup itu
sendiri.28Sependapat dengan Savigny, van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum
adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan
perkembangan. Selanjutnya Vollenhoven menegaskan bahwa hukum adat berkembang
dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat. Apabila
berlakunya suatu undang-undang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma–norma
hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakatnya, tentunya akan mendapat
penolakan. Dalam konteks Indonesia, livinglaw masyarakat Indonesia adalah hokum
Adat. Hukum adat juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum oleh hakim jika undang-
undang memerintahkan demikian.29 Hukum Adat merupakan hokum yang tdak
dikodifkasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur asing (antara lain Tionghoa dan
Arab).Sedangkan untuk menganalisa kedudukanhukum adat dalam sistem hukum perlu
kiranya diperhatkan salah satu aliran alam ilmu hukum yaitu, Sociological

7
Jurisprudence yang disampaikan oleh Eugen Ehrlich. Konsepsi dasar dari pemikiran
Ehrlich tentang hukum adalah apa yang dinamakan dengan living law. Hukum positf
yang baik dan efektf adalah hukum yag sesuai dengan living law dari masyarakat yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Pesan Ehrlich pada pembuat undang-
undang adalah dalam membuat undang-undang hendaklah diperhatkan apa yang hidup
dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan dan tdak dapat dipungkiri bahwa hukum
adat yang berlaKu di Indonesia pada umumnya dan Provinsi Aceh pada khusunya
adalah hukum yangi sudah sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh
karena itu agar hukum adat dapat efektf berlaku dalam masyarakat maka dalam
pembentukan undang-undang dan Qanun di Aceh, wakil rakyat yang duduk di lembaga
legislatve harus mampu menggali dan wajib menampung kesadaran hukum yang hidup
dalam masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat yang telah diformalkan baik dalam
undangundang maupun qanun akan dapat digunakan sebagai dasar dalam menjaga
ketertban dan kerukunan hidup masyarakat.

2. Pemerintah Kolonial Belanda mengakui

hukum adat secara resmi sebagai hukum asli Indonesia dan sejajar dengan hukum
Eropahmelalui Pasal 131 ayat (6) IS yang menyatakan ”hukum bangsa Indonesia adalah
hukum positf bagi bangsa Indonesia”. Pengertan hukum Bangsa Indonesia dalam pasal
tersebut adalah hukum adat. Pasal 131 ayat (6) ini merupakan payung hukum terhadap
pengakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat dan sekaligus pengakuan
terhadap hukum adat sebagai hukum positf yang hidup bagi bangsa Indonesia.
Diakuinya hukum adat sebagaihukum positf maka pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, maka ada dua sistem hukum yang berlaku yaitu sistem hukum Belanda bagi
orang Eropah dan bagi orang Timur Asing maupun orang Indonesia yang secara
penundukan dirikepadanya diberlakukan hukum Eropah (Pasal 131 ayat (2) IS) dan
hukum adat bagi bangsa Indonesia dan orang tmur asing yang tdak asing di Indonesia
(Pasal 136 ayat (6) IS).Pasca Kemerdekaan, pengakuan terhadap hukum tdak tertulis
hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka I yang
menyebutkan ”... Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di
sampingnya Undang-undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tdak tertulis,
ialah aturan-aturan dasar yang tmbul dan terpelihara dalam praktk penyelenggaraan

8
negara meskipun tdak tertulis”. Selanjutnya, dalam Pasal 18B ayat (2) Amandemen
UUD 1945 menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormat kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Menurut pasal ini hukum adat yang
diakui adalah hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup
masyarakat adatnya.Ketentuan Pasal 18B ayat (2) di atas dapat dipahami bahwa UUD
1945 lebih mengutamakan hukum yang tertulis daripada hukum tdak tertulis. Artnya,
pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat di suatu daerah
harus dilakukan dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan (tertulis) dan
sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini diperkuat oleh
Mahkamah Konsttusi melalui Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian
Undang-Undang Nonor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi
Maluku. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konsttusi menentukan empat syarat
konsttusionalitas kesatuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,
antara lain: (1) masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sesuai
dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) diatur dalam undang-undang.
Bahkan, apabila syarat ini tdak terpenuhi, masyarakat adat tdak dapat menjadi pihak
berperkara di Mahkamah Konsttusi karena dianggap tdak memiliki legal
standing.Dalam pertmbangan Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tersebut, Mahkamah
Konsttusi menegaskan bahwa “…pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat
sebagai penyandang hak atau sebagai subjek hukum merupakan hak fundamental. Hal
pentng dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara
konsttusional diakui dan dihormat sebagai penyandang hak yang demikian tentunya
dapat pula dibebani hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara maka
masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatan sebagaimana subjek hukum yang
lain ketka hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian
sumber-sumber kehidupan.”Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan
Nomor 31/PUU-V/2007 ini secara normatf memang memberi pengakuan terhadap
keberadaan hukum adat, namun di sisi yang lain juga memberikan pembatasan terhadap
masyarakat adat dan hukum adat mana saja yang dapat diakui oleh negara.3Meskipun
terdapat upaya yang cukup kuat dari kalangan ilmuwan dan politisi progresif
berkebangsaan Belanda untuk melindungi kepentingan MHA di wilayah jajahan Hindia

9
Belanda, boleh dikatakan tidak satupun upaya itu yang menawarkan perubahan konkret
bagi nasib MHA. Apa yang secara resmi oleh Belanda disebut sebagai bewuste
rechtpolitiek 1910, suatu penindasan yang lembut (gentle oppresion), pada dasarnya
muncul karena revolusi liberal 1848 yang tengah melanda daratan Eropa di mana
gelombang “humanitarian” dari revolusi itu baru sampai di tanah jajahan hampir 50
dekade berikutnya2dantie beginsel yang berupaya mendudukkan semua golongan
(orang Eropa, Timur Asing dan Bumiputera) ke dalam satu hukum positif Eropa. Motif
utama dari kebijakan tersebut adalah menjadikan MHA lebih maju, “diberadabkan”
seperti bangsa Eropa yang tengah ber-alih dari corak masyarakat agraris ke masyarakat
industrial. Pada kenyataannya kebijakan ini terus mendapat kritik dari sarjana hukum
Belanda seperti Cornelis van Vollenhoven dan Ter Haar dengan alasan ilmiah
ataspenelitian lapangan mereka terhadap MHA. Para sarjana hukum itu berpendapat
bahwa MHA memiliki kebutuhan hukum yang tidak dapat disamakan begitu saja
dengan orang Eropa dan mereka terikat pada hukum adatnya masing-masing.27 Sebagai
contoh, hak ulayat (beschikkingrecht [right of allocation]) merupakan hak atas tanah
dalam MHA yang telah turun temurun diwariskan yang tidak bisa dipukul rata setara
dengan hak atas tanah eigendom. Di kalangan sarjana hukum bumiputera, pandangan
semacam ini mendapat sokongan yang kuat karena menyediakan basis pengetahuan
untuk mencari tahu susunan hukum adat Indonesia sebelum kolonialisme. Kemunculan
klub teosofi Indonesische Studieclub, maupun partai politik seperti Partai Komunis
Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Partai Politik Parindra pada tahun 1920-30an
mendorong geliat gerakan nasionalis lebih militan dengan minat mencari formatur ideal
bagi nation Indonesia merdeka lewat penelusuran sejarah ketatanegaraan adat masa
lampau. Pada masa selanjutnya seiring pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang
pada awal tahun 1940-an memicu pencarian yang lebih mendalam terhadap ideal dari
hukum adat Indonesia karena gerakan revivalisme intelektual semacam itu sejalan
dengan kepentingan Jepang sebagai mercusuar Asia. Pada periode kebangkiatan
nasional ini justru merupakan era penuh ketidakpastian di kalangan MHA. Dari sudut
pandang kolonialisme, kecenderungan Cornelis van Vollenhoven dan Ter Haar terhadap
dualisme hukum, memiliki man-faat tersendiri bagi Pemerintah Hindia Belanda karena
melindungi watak eksploitasi dari ekonomi kolonial terhadap ruang hidup MHA.
Sedangkan dari sudut pandang gerakan nasionalis yang disponsori sarjana hukum
bumiputera, terdapat dorongan yang cukup kuat un-tuk meninggalkan hukum adat

10
lantaran muncul keraguan apakah hukum adat memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalah yang besifat nasional di masa Indonesia merdeka.Pengalaman
kolonialisasi demikian terutama pada bidang ekonomi memperlihatkan dengan jelas
bagaimana proses penyingkiran dan marjinalisasi MHA dilakukan dan difasilitasi oleh
hukum kolonial. Mula-mula, pendapatan yang terus menyusut pada tahun 1830-an
nyaris membuat bangkrut Pemerintah sehingga memuncul-kan kebijakan cultuurstelsel
yang mampu mendongkrak pendapatan yang sedang merosot. Metode bercocok tanam
represif itu terbukti memporakporandakan wilayah pertanian MHA di Jawa, Sumatera
dan Madura seperti paksaan menanam tanaman yang berorientasi ekspor (tebu,
perkebunan sawit dan karet) dan pengenalan pengetahuan baru yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah bercocok ta nam MHA.28 Dari sudut pandang ketenagakerjaan,
pengenalan sistem kerja upahan oleh Koelie Ordonantie (Staadblad No. 133 Tahun
1881) hanya berguna bagi kalangan feodal untuk mengukuhkan status mereka terhadap
kasta sosial yang lebih rendah Kepentingan industri perkebunan swasta (particuliere
landen-rijen) mendesak Pemerintah Hindia Belanda membentuk bagian penting dalam
Agrarisch Wet dan Agrarish Belsuit (Staatsblad No 118 Tahun 1870). Untuk pertama
kalinya kedua produk hukum kolo-nial ini memperkenalkan suatu prinsip hukum
domein verklaring yang menganggap bahwa suatu tanah yang tidak dapat dibuktikan
kepemilikannya oleh hukum negara dinyatakan sebagai domain negara.30 Prinsip ini
telah menghilangkan hak atas tanah MHA yang telah turun temurun atas kepentingan
industri kapitalis Belanda. J.S. Furnivall memperkirakan sekitar 4,3 juta hektar wilayah
MHA yang telah diakuisisi oleh perkebunan Belanda, Inggris dan Amerika Serikat di
seluruh wilayah Hindia Belanda antara tahun 1870 sampai 1930an. Beberapa analis
seperti John Sutter dan J.H. Boeke menye-butkan bahwa model dualisme hukum yang
marak sejak kebijakan etis diberlakukan hanya menguatkan orientasi ganda dari dua
kegiatan ekonomi yang saling terpisah antara kegiatan ekonomi subsisten dan ekonomi
kapitalis.31 Lantaran masyarakat bumiputera ber-ciri beragam etnis yang tunduk pada
hukum adat masing-masing dan terus difragmentasi oleh politik devide et impera,
konflik agraria kerap mencuat menimbulkan ketegangan antara MHA, negara kolonial,
dan korporasi. Bagaimanapun, bagian-bagian utama dari kebijakan dan produk hukum
kolonial—baik yang bercorak dualistis maupun kapitalistis—hampir satu abad itu akan
sangat menentukan arah perkembangan rekognisi hak MHA pada masa setelah
revolusi.. Pengalaman di bawah otoritarianisme Orde Baru telah mendorong perenungan

11
besar-besaran terhadap bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
negara kepada MHA. Tekanan untuk menjadikan MHA sebagai subjek hukum yang
terbentuk secara alamiah, bukan dilekatkan oleh negara, melainkan berdasarkan hak asal
usul menjadi tuntutan primer dari gerakan MHA tingkat lokal yang diwakili AMAN.
Pada tahun 2000 dan 2002, hasil perubahan konsti-tusi oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mengatur secara eksplisit tentang MHA pada empat ketentuan berikut:
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945: “Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya”.Pasal 32 ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.Secara singkat bisa digambarkan
bahwa ketentuan Pasal 28I ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) memenuhi
klasifikasi rekog-nisi konstitusional atas hak menentukan nasib sendiri secara budaya
(constitutional recognition of cultural self determination) dan rekognisi konstitusional
atas perbedaan kultural (constitutional recognition of cultural diversity), meskipun
dalam beberapa hal masih terdapat kecurigaan negara terhadap MHA, seperti
kecurigaan yang berlebihan atas ekspresi penegasan diri (self-affirmation) di daerah
sebagai ekspresi separatisme Banyak sarjana hukum Indonesia meragukan bahwa UUD
NRI 1945 hasil perubahan telah mengakomodasi tuntutan rekog-nisi penuh atas hak
MHA. Berbeda dari pengalaman Amerika Latin yang melakukan rekognisi penuh,
ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) memperlihatkan adanya rekognisi bersyarat
(conditional recognition) yang menggunakan pendekatan simbolis.52 Sebagaimana
dinya takan Yance Arizona, “pengakuan bersyarat tersebut didasarkan pada ke-curigaan
yang berlebihan pada MHA; pada satu sisi negara ingin memberikan pengakuan, namun
pada sisi lain negara mencurigai hak-hak adat itu dapat mengganggu apa yang disebut
sebagai ‘kepentingan nasional’ yang terkadang dimaknai sebagai pembukaan
perkebunan dan hutan secara besar-besaran”.53 Kepentingan nasio-nal seperti halnya
pengalaman Indonesia di bawah rezim Orde Baru senantiasa dimaknai secara ekonomi

12
dan politik. KetentuanPasal 33 UUD NRI 1945 yang tidak terlalu jelas, juga bisa
menguatkan berba-gai macam agenda neoliberal merugikan MHA.Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012 tentang hutan adat telah memberi peringatan bahwa pengakuan dan
penghormatan terhadap MHA beserta dengan hak-haknya berdasar Pasal 18B ayat (2)
UUD NRI tahun 1945 dapat ditafsir sesuai dengan “kebutuhan” suatu rezim
pemerintahan, sehingga MK sebagai Constitution interpreterharus menegasikan isi suatu
UU yang merupakan penjabaran dari Pasal dalam Konstitusi. Perlu ada reformulasi teks
pada Pasal 18B ayat (2) yang secara nyata mengatur tentang pengakuan dan peng-
hormatan penuh, dengan dasar bahwa kebutuhan hukum dan kebu tuhan ekonomi serta
kebutuhan sosial budaya setiap MHA sangat mungkin berbeda. Standing point dari
tulisan ini adalah pemberian hak adat secara penuh dengan tetap mengedepankan
prinsip kesatu-an dan usaha meningkatkan keadilan sosial bagi setiap warga negara
Indonesia.

BAB III

KESIMPULAN

Hukum civil yang diadopsi Indonesia yang prinsip utamanya adalahmempositpkan


hukum dalam bentuk aturan tertulis atau dituangkan dalam bentuk undang-undang
secara teoritk tdak mengakui hukum yang tdak tertulis. Akan tetpi, sistem hukum civil

13
ini dalam prakteknya memiliki banyak kelemahan karena sifatnya yang tertulis sehingga
menjadi tdak feksibel dalam mengikut perkembangan masyarakat, cenderung kaku dan
stats. Kekakuan dalam bentuk aturan tertulis dapat dikatakan merupakan bentuk
pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak atau pembatasan dalam kontek materi
dan dinamis atau pembatasan dalam dimensi waktu. Oleh karena itu,
valueconsciousness masyarakat ke dalam undang-undang secara logis akan membawa
suatu ketertnggalan substansi undang-undang. Penerapan hukum civil yang totalitas
juga pada akhirnya memunculkan legal gap di masyarakat. Legal gap yang ada di
masyarakat tersebut hanya dapat diatasi dengan menggunakan sistem hukum yang tdak
tertulis, yakni dengan hukum adat ataupun hukum Islam.Hukum Islam sebagai bagian
dari hukum yang hidup di masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu ternyata telah
mempengaruhi corak hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk di
Indonesia menganut agama Islam yang memungkinkan hukum Islam menjadi bagian
yang pentng dan berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Adanya peraturan
perundang-undangan yang bernafaskan Syariah Islam sepert dalam UU penyelengaraan
Haji, UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) telah cukup membuktkan bahwa negara
Indonesia tdak melepaskan tanggungjawab urusan beragama dengan urusan
negara/pemerintah. Selain itu, dibentuknya lembaga-lembaga bernuansa Islam sepert
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Wakaf Indonesia, Kementerian Agama,
Peradilan Agama, Bank Syariah dan Majelis Ulama Indonesia menunjukan bahwa
hukum Islam telah berkembang selaras mengikut perkembangan zaman bersama hukum
negara.Hukum Adat sebagai hukum asli Indonesia mengalami masa fuktasi dengan
semakin hilangnya eksistensi hukum adat sebagai salah satu sumber hukum di
Indonesia. Penyebabnya utamanya karena anggapan bahwa hukum adat sangat bersifat
primitf, tertnggal, dan kuno. Implikasi dari politk hukum Indonesia ini dapat dilihat
dalam pemecahan permasalahan di masyarakat yang cenderung mengesampingkan
hukum adat dan lebih mengutamakan hukum negara, meskipun sebenarnya lebih
relevan daripada menggunakan hukum negara. Banyaknya konfik horizontal, antara
masyarakat adat di satu wilayah yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peran
lembaga penyelesaian masyarakat adat. Namun, seiring perkembangan waktu,
kebutuhan akan nilai-nilai hukum adat menjadi semakin pentng mengingat sistem
hukum civil Indonesia mengalami banyak permasalahan karena sifatnya yang kaku dan

14
stats. Bahkan, Hukum adat memiliki peran strategis dalam pembentukan
yurisprudensihukum oleh hakim di pengadilan.Pluralisme hukum yang ada di Indonesia
dapat menjadi solusi adanya legal gap yang tercipta karena kekakuan penerapan hukum
civil. Kekakuan tersebut dapat diatasi dengan feksibelitas dari norma dan nilai yang
terdapat dalam hukum adat dan hukum Islam, sehingga menciptakan romantsme dalam
kehidupan bermasyarakat. Pengalaman di negara-negara pascakolonial, khususnya
Amerika Latin, menunjukkan bahwa rekognisi hak MHA yang efektif mengandung lima
klasifikasi: rekognisi konstitusional atas perbedaan kultural (constitutional recognition
of cultural diversity), rekognisi konstitusional atas hak menentukan nasib sendiri secara
budaya (constitutional recognition of cultural self determination), rekognisi
konstitusional atas hukum adat (constitutional recognition of customary law), rekognisi
konstitusional atas hak berpolitik (constitutional recognition of political rights), serta
rekognisi konstitusional atas hak mengklaim dan berjuang untuk hak komunal atas
tanah, teritori dan sumber daya alam (constitutional recognition of right to claim and
fight for collective rights of lands, teritories, and natural resources). Dengan
mendasarkan pada lima klasifikasi tersebut disimpulkan bahwa tidak satupun dari
Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia secara penuh memberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak MHA dan implementasi dari Konstitusi tersebut yang
memenuhi klasifikasi rekognisi hak MHA secara penuh. Format rekognisi bersyarat
yang ditempuh Indonesia sekarang justru menimbulkan kendala bagi pemenuhan hak
MHA karena sifat yang tidak memaksa negara untuk memenuhi lima klasifikasi
rekognisi hak MHA. Interpretasi terhadap pasal-pasal dalam Konstitusi yang mengakui
dan memberikan perlindungan terhadap hak MHA harus didasari oleh semangat
menegaskan persatuan Indonesia dalam keberagaman dan kekhasan. Interpretasi
semacam ini sebenarnya telah diwujudkan, antara lain dalam RUU Pengakuan dan
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat; namun ketidakjelasan kapan RUU selesai dibahas
dan disahkan oleh pemerintah masih menjadi tantangan. Setidaknya usaha rekognisi hak
MHA mendekati hasil idealnya.

DAFTAR PUSTAKA

15
Abdulgani, Roeslan. Ilmu Hukum dalam Revolusi. Tanpa kota: Badan Penerbit
Prapantja, tanpa tahun.

Aguilar, Gonzalo, Sandra La Fosse, Hugo Rojas, dan Rebecca Steward. “South/North
Exchange of 2009, The Constitutional Recognition of Indigenous Peoples in Latin
America”. International Law Review Online Companion, 2, 2 (2010): 44-96.

Arizona, Yance. “Kelembagaan Negara dan Masyarakat Adat yang Diperlukan untuk
Penguatan Hak Konstitusonal Masyarakat Adat”. Makalah Diskusi Penguatan,
Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Guna Restorasi Sosial
Indonesia dalam Rangka Ketahanan Nasional.Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta,
1/6/2016.

Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (ed.). Risalah Sidang
Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995.

Al Munawwar, Said Agil Husein, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia,


(Jakarta: Kaifa,

2004).Atmasasmita, Romli, Globalisasi Kejahatan Bisnis,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010). Cruz, Peter, Perbandingan Sistem
Hukum Common

Law, Civil Law, and Socialist Law, (Nusa Media: Bandung, 2010).

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rinek Cipta, 2010).

16

Anda mungkin juga menyukai