Anda di halaman 1dari 12

NAMA: Hans Raynadhi

NIM: 201910110311 (338)

HARMONISASI HUKUM ISLAM, HUKUM ADAT DAN HUKUM


BARAT DALAM TATANAN SISTEM HUKUM NASIONAL
INDONESIA
Pendahuluan
Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak
diragukan lagi bahwa semboyan tersebut sudah sangat familiar bagi
rakyat Indonesia yang di mana hal tersebut menunjukkan nilai
keberagaman dan perbedaan suku, ras, agama dan budaya yang terdapat
di negara Indonesia tetap dapat selaras dan sejalan di dalam kesatuan
dan persatuan bangsa. Sistem hukum di Indonesia bahkan tak luput dari
kebhinnekaan tersebut, yang dapat ditinjau melalui sistem hukum
nasional Indonesia yang terbentuk dari tiga pilar utama sistem hukum
yakni hukum Islam, hukum adat dan hukum barat.
Keadaan tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa sebenarnya
negara Indonesia sampai saat ini belum memiliki sistem hukum nasional
yang otentik dan matang sehingga seakan-akan sistem hukum di
Indonesia dalam kondisi yang dapat dikatakan belum mapan.
Pembentukan sistem hukum nasional Indonesia merupakan integrasi
ataupun gabungan dari ketiga sistem hukum yaitu Hukum Islam, Hukum
Adat serta Hukum Barat, sejalan dengan penyatuan dari tiga nilai
sistem hukum yang memiliki landasan filosofis dan sosiologis yang
berbeda-beda menjadi satu kesatuan sistem hukum nasional Indonesia
itu kemudian menimbulkan adanya problematika ataupun persoalan
dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
tetapi kemudian melalui harmonisasi ketiga nilai sistem hukum ini
nyatanya tetap dapat mengatasi berbagai persoalan yang ada dan tetap
mampu mempertahankan eksistensinya sebagai suatu tatanan sistem
hukum nasional yang sesuai dan tidak bersimpangan dengan dasar
negara Indonesia yakni Pancasila.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sistem Hukum Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam
dalam Perspektif Filsafat Hukum?
2. Bagaimana Perbandingan antara Sistem Hukum Barat, Hukum
Adat dan Hukum Islam?
3. Bagaimana Relevansi ataupun Hubungan antara Sistem Hukum
Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia?
4. Bagaimana Dampak yang Ditimbulkan dari Penggabungan Sistem
Hukum tersebut?
5. Bagaimana Upaya Harmonisasi Ketiga Sistem Hukum tersebut?
Pembahasan
1. Sistem Hukum Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam dalam
Perspektif Filsafat Hukum
Sistem Hukum Barat
Negara Indonesia sedari awal memang telah mengadopsi sistem
hukum barat yakni (Civil Law), acuan utama sistem hukum tersebut
ialah mempositifkan tatanan hukum ke dalam bentuk yang tertulis
ataupun direalisasikan dalam bentuk perundang-undangan (prinsip
legisme) dan hukum yang tidak tertulis kemudian tidak memperoleh
keabsahan atau tidak diakui dalam hukum begitupun regulasi ataupun
aturan-aturan yang dibuat selain oleh lembaga negara juga tidak
termasuk sebagai hukum melainkan menjadi nilai moral masyarakat.
Maka dari itu Civil Law system pun memiliki sisi kelemahannya
dikarenakan sifatnya yang berupa hukum tertulis tentunya akan
menjadikan hukum tersebut kaku, tidak fleksibel terhadap keadaan
tertentu dan bersifat statis.
Selain itu banyak pula regulasi ataupun peraturan perundang-
undangan dari sistem hukum barat yang diadopsi dan kemudian
diterapkan di Indonesia seperti Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Wetboek van Koophandel (WvK) atau
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Strafrecht (WvS)
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kemudian terjadi
adanya suatu Legal Gab atau kesenjangan nilai-nilai dalam masyarakat
dengan nilai-nilai hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu problematika mendasar yang kemudian malah menjadi
konsekuensi berkelanjutan yang nantinya akan sulit untuk dihindari.
Selain itu Civil Law system dalam berjalannya proses legislasi juga
tidak dapat terhindarkan dengan adanya berbagai macam kepentingan
politik, sosial, ekonomi serta budaya sehingga nilai sistem hukum
tersebut menjadi tidak murni karena dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan yang lain.
Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa Civil Law system
bertentangan dengan konsekuensi teori hukum murni yang dikemukakan
oleh tokoh positivisme, Hans Kelsen (1881-1973) yang menyatakan,
“hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, misalkan
unsur sosiologis, politis, historis bahkan unsur etis”. 1
Civil Law system sejalan dengan aliran filsafat positivisme hukum
yang menyatakan bahwa nilai kepastian hukum merupakan tujuan utama
dari hukum disamping nilai keadilan dan kemanfaatan dikarenakan
aliran filsafat positivisme mengedepankan suatu hal yang bersifat jelas

1
H. Mustaghfirin, “SISTEM HUKUM BARAT, SISTEM HUKUM ADAT, DAN SISTEM HUKUM ISLAM MENUJU
SEBAGAI SISTEM HUKUM NASIONAL SEBUAH IDE YANG HARMONI”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi
Khusus Februari 2011, hlm. 91
dan pasti (positif) melalui argumen yang menyatakan bahwa tolak ukur
dari suatu kebenaran hanya dapat ditinjau melalui suatu hal yang
bersifat pasti saja.
Maka dari itu nilai dari civil law system serupa dengan Undang-
Undang yang di mana sumber hukum ialah Undang-Undang dan nilai-
nilai hukum bersumber pada Undang-Undang sehingga civil law tidak
mengakui keabsahan ataupun legalitas hukum ataupun nilai-nilai aturan
yang hidup dalam masyarakat. Konsekuensinya ialah hakim dalam
realisasinya menerapkan hukum hanya terbatas pada regulasi atau
aturan yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja, hakim
seakan-akan hanya berperan sebagai corong undang-undang semata
karena tidak dapat mengeksplorasi keragaman nilai-nilai luhur sosial
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sehingga hakim hanya
terpaku pada aturan dalam Undang-Undang semata.
Sistem Hukum Adat
Hukum adat merupakan suatu tatanan sistem hukum yang erat
kaitannya dengan kawasan negara timur Asia seperti salah satunya
negara Indonesia yang di mana keadaan sosialnya kental akan
keberagaman nilai-nilai dalam masyarakat. Hukum adat bersumber pada
nilai-nilai ataupun peraturan tidak tertulis yang hidup dan berkembang
dalam lingkup masyarakat sehingga tetap dipertahankan karena
kesadaran hukum masyarakatnya itu sendiri, karena hukum ataupun
aturannya bersifat tidak tertulis maka kemudian hukum adat menjadi
fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat
yang menganutnya.
Istilah hukum adat ini pertama kali disampaikan oleh C. Snouck
Hurgronje yang menyebut istilah hukum adat sebagai (adat-recht) untuk
menamakan suatu tatanan sistem pengendalian sosial (social control)
yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pakar hukum adat
Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia) yakni Cornelis van
Vollenhoven.
Suatu tatanan hukum adat tertentu tidak dapat diterapkan sepenuhnya
menjadi hukum secara lingkup nasional karena setiap daerah ataupun
kawasan memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda dan menjadi
keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, bahkan nilai-nilainya
pun akan sukar untuk disisipkan dalam tatanan sistem hukum nasional
terkecuali apabila suatu nilai-nilai hukum adat yang ada itu diyakini,
diterapkan dan terealisasikan secara berkelanjutan oleh masyarakat
nasional barulah kemudian dapat dijadikan hukum ataupun regulasi
lingkup nasional setelah menjalani alur pengesahan melalui lembaga
negara dan akhirnya nilai-nilai hukum adat tersebut disisipkan ke dalam
sistem hukum nasional Indonesia.
Sistem Hukum Islam
Dalam proses perkembangan sejarahnya syariah Islam mempunyai
peranan yang sangat penting sehingga hukum Islam tidak menjadi
kehilangan fungsinya dapat beriringan dengan kehidupan masyarakat
yang berkembang secara terus menerus lalu adapun munculnya imam-
imam aliran mazhab yang dengan sendirinya kebutuhan masyarakat
muslim dapat terpenuhi. Di Indonesia sendiri, hukum Islam diterapkan
secara seutuhnya oleh masyarakat muslim dan didominasi penganut
mazhab syafi’i karena erat kaitannya dengan kepribadian bangsa
Indonesia.
Istilah hukum Islam ialah suatu istilah khas Indonesia yang
merupakan terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy yang dalam konteks
hukum barat digunakan istilah Islamic Law. Bila ditinjau berdasarkan
Al-Quran dan As-sunnah tidak ditemukan istilah hukum Islam atau al-
hukm al-Islam melainkan kata ‘syari’ah’ yang kemudian melahirkan
istilah Fikih. Secara harfiah, syari’ah memiliki arti jalan ke tempat
mata air atau tempat yang dilalui air sungai yang kemudian
penerapannya dalam Al-Quran berarti jalan yang jelas yang membawa
kemenangan. Berdasarkan terminologi ulama ushul-fiqh, syari’ah
merupakan kitab Allah yang berkaitan dengan tindakan ataupun
perbuatan mukallaf (muslim, baligh berakal) sehingga konteksnya
menjadi hukum-hukum ataupun aturan yang bersifat ‘amaliyah (praktis).
Yang mulanya kata syari’at meliputi keseluruhan aspek-aspek ajaran
agama Islam yaitu aqidah, hukum (syari’ah) dan akhlak sehingga
pemahaman masyarakat muslim akan sendirinya tertuju pada semua
aspek ajaran agama Islam.

2. Perbandingan antara Sistem Hukum Barat, Hukum Adat dan


Hukum Islam
Didasari oleh landasan filosofis dan sosiologis yang berbeda-beda,
tentu terdapat berbagai macam hal pula yang dapat dibandingkan antara
sistem hukum barat, hukum adat dan hukum Islam sebagai integrasi
sistem hukum nasional Indonesia, seperti (Bentuk) tatanan sistem
hukumnya yang di mana hukum adat merupakan sistem hukum yang
bersifat tidak tertulis, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur
kehidupan yang hidup dan berkembang serta diyakini oleh masyarakat
yang menerapkannya, hukum adat lebih bersifat fleksibel dan dapat
menyesuaikan dengan keadaan masyarakatnya meskipun bentuknya tidak
tertulis tetapi hukum adat telah menyatu dengan masyarakatnya
sehingga terdapat keyakinan dan kesadaran dari masyarakat untuk
mematuhi aturan-aturan hukum adat yang berlaku di suatu daerah
tertentu, selain itu bila suatu nilai hukum adat secara terus menerus dan
berkelanjutan diterapkan dalam lingkup daerah nasional maka kemudian
akan timbul adanya proses upaya pengangkatan nilai hukum adat
menjadi aturan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Adapun
hukum Islam mencakup hukum fikih Islam serta syari’at Islam sehingga
masyarakat yang beragama Islam akan mematuhi dan mentaati aturan-
aturan hukum Islam karena adanya kesadaran serta keyakinan beragama.
Tetapi sangat berbeda halnya bila dibandingkan hukum barat, yang di
mana hukum barat merupakan sistem hukum yang bentuknya tertulis
berupa peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dikatakan bahwa
hukum ialah Undang-Undang serta menjadi sumber hukum itu sendiri,
sehingga dalam penerapan atau realisasinya dalam proses hukum hakim
hanya dapat memutuskan suatu perkara dengan berlandaskan aturan-
aturan yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja tanpa
bisa mengambil kebijakan di luar aturan Undang-Undang yang berlaku,
oleh karena itu sistem hukum barat ini bersifat kaku, statis dan tidak
menyesuaikan dengan keadaan sosial tertentu.
Setiap sistem hukum tentunya bertujuan untuk memberikan dampak
positif dan sebagai sarana pengatur kehidupan manusia, tetapi uniknya
setiap sistem hukum pun memiliki (Tujuan) hukumnya tersendiri seperti
halnya hukum adat yang bertujuan untuk menyelenggarakan kehidupan
sosial dalam masyarakat yang adil, aman, damai serta sejahtera. Lalu
Hukum Islam pada dasarnya ialah bertujuan untuk melaksanakan
perintah serta menjauhi larangan Allah SWT, Imam Al-Ghazali
merumuskan adanya lima tujuan (Maqashid al-Syari’ah) atau yang
disebut juga Maqashid al-Khamsah, yaitu memelihara Agama (hifdz ad-
din), (hifdz nafs) memelihara Jiwa, (hifdz ‘aql) memelihara Akal,
(hifdz nasab) memelihara Keturunan dan (hifdz al-maal) memelihara
Harta.2 Sedangkan tujuan utama dari hukum barat ialah menciptakan
suatu kepastian hukum demi mencapai keadilan dalam kehidupan sosial
dalam masyarakat.
Sistem hukum tersusun atas (Struktur) komponen penyusunnya
seperti struktur hukum adat yang terdiri dari Adat nan sabana adat
merupakan adat yang tidak dibuat oleh manusia atau nenek moyang
manusia melainkan oleh dan berasal dari alam dan Adat pusaka (Hukum
Adat Positif) merupakan adat atau hukum adat positif yang disusun
sejak nenek moyang hingga masa sekarang. Dibedakan menjadi
beberapa kategori yakni ‘adat-istiadat’ ialah segala nilai-nilai luhur
serta ajaran berkaitan tentang bagaimana selayaknya manusia
bertingkah-laku dalam lingkup kehidupan masyarakat, lalu ‘adat nan
teradat’ merupakan ajaran dan dalil yang direalisasikan ke dalam wujud
hal-hal keperluan adat yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam
menjalani kehidupan sehari-hari seperti hukum perkawinan, hukum
waris, jual-beli dan lain-lain, yang terakhir ‘adat nan diadatkan’
merupakan suatu lingkungan adat dan diwujudkan di dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun dalam hukum Islam strukturnya tersusun atas Nas

2
Abdurahman Misno, “ANALISIS PRAKTIK PARIWISATA SYARIAH PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH”,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Ad-Deenar (E-ISSN: 2614-8838), (P-ISSN: 2356-1866), hlm. 142
Al-Qur’an yaitu apa yang tertera dalam Al-Qur’an, Sunah Rasulullah
(bagi hukum syariat), Hasil Ijtihad penemuan pemahaman manusia yang
memenuhi syarat ataupun kriteria dalam ajaran agama Islam, dan
Pelaksanaan konkrit oleh masyarakat muslim baik yang berupa
keputusan-keputusan hakim maupun berupa amalan-amalan umat islam
mengenai hukum islam. Sistem hukum barat strukturnya tersusun atas
Kitab Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga Legislatif negara,
dari Kitab Undang-Undang tersebut ditarik kesimpulan-kesimpulan
berupa putusan hakim oleh penegak hukum yang dalam arti luas, lalu
dari putusan hukum ini lahirlah amalan keputusan tersebut.
Berkaitan dengan Perbandingan (Hak dan Kewajiban), diantara
ketiga sistem hukum tersebut, dalam sistem hukum Islam aspek
pemenuhan kewajiban lebih didahulukan dari aspek perolehan hak maka
dari itu sebelum menuntut suatu hak hendaknya seseorang perlu
memastikan apakah ia telah memenuhi kewajibannya terlebih dahulu,
sedangkan dalam hukum barat, perolehan hak lebih diutamakan dari
kewajiban, hal tersebut tidak lain ialah guna memastikan bahwa setiap
individu memperoleh haknya secara langsung tanpa adanya suatu
hambatan. Berbeda halnya dengan hukum adat yang di mana
mengutamakan kesetaraan antara hak dan juga kewajiban.

3. Relevansi ataupun Hubungan antara Sistem Hukum Barat,


Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia
Ketika membahas sistem-sistem hukum yang terintegrasi menjadi
suatu tatanan sistem hukum nasional Indonesia yang terdiri dari sistem
hukum barat, hukum adat dan hukum Islam ini tentunya memiliki titik
relevansi ataupun keterkaitan antara satu sistem dengan sistem yang
lainnya terutama pada hubungan antara hukum adat dengan hukum Islam
yang berjalan beriringan bersama kehidupan sosial masyarakat
Indonesia.
Bahwa hukum Islam dan hukum adat merupakan bagian dari sistem
hukum yang berlaku di Indonesia selain hukum perundang-undangan.
Konsep Hukum Islam berbeda dari konsep hukum perundang-undangan,
karena ajaran Islam meyakini hukum-hukumnya sebagai aturan yang
bersumber dari wahyu Illahi dan dengan demikian, hukum perundang-
undangan yang merupakan konsep hukum karya manusia memiliki ciri
khas yang berbeda dari hukum Islam. 3
Hubungan antara hukum adat dengan hukum Islam dalam konteks
atau makna kontak kedua sistem hukum ini memang telah sejak lama
berlangsung di Indonesia sehingga lekat dan akrab dalam lingkup
kehidupan masyarakat. Hubungan hukum adat dengan hukum Islam

3
Abdurrahman Konoras, “EKSISTENSI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL”,
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 14 No. 2 Tahun 2016, hlm. 6
(syara’) erat sekali serta saling topang-menopang, karena sesungguhnya
yang dinamakan adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam hubungan ini
perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara
melaksanakan atau menerapkan hukum Islam (syara’) itu sendiri di
dalam kehidupan masyarakat. 4
Hukum Islam merupakan salah satu bahan hukum bagi pembangunan
hukum dan banyak telah menjadi hukum positif Indonesia. Lodewijk
Willem Christian van de Berg (1845-1927) menyatakan bahwa hukum
Islam itu berlaku di Indonesia untuk orang Islam. Pendiriannya ini
kemudian terkenal dengan teori Receptio in Complexu yang di mana
hukum Islam diresepsi atau diserap menjadi hukum setempat (hukum
Nasional).5
Berdasarkan materi teori Receptio in Complexu yang menyatakan
bahwa hukum bagi masyarakat adat ialah merupakan hukum agamanya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian van de
Berg. Namun, teori tersebut kemudian malah ditentang oleh Christian
Snouck Hurgronje dan Cornelis van Vollenhoven dengan mengeluarkan
teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam tidaklah serupa
dengan hukum masyarakat adat sehingga hukum Islam apabila hendak
turut menjadi bagian dari hukum masyarakat maka semestinya haruslah
diterima terlebih dahulu oleh masyarakat adatnya atau dengan kata lain
hukum Islam hanya dapat diberlakukan selama tidak bertentangan atau
telah diterima keberlakuannya oleh hukum adat sehingga konteksnya
berubah menjadi hukum Islam lah yang mengikuti ataupun
menyesuaikan dengan hukum adat masyarakat setempat.
Teori Receptie dari Hurgronje pun kemudian menerima bantahan dari
Prof. Hazairin yang menyatakan bahwa teori tersebut hanya dibentuk
dalam rangka menghambat proses kemajuan dari hukum Islam di
Indonesia yang diselubungi adanya kepentingan kolonialis, Hazairin
(1906-1975), seorang ahli hukum Islam merupakan ilmuan Indonesia
yang pertama kali mengkritik Snouck dengan mengatakan teori Receptie
sebagai teori Iblis yang kemudian Hazairin menawarkan teori Receptie
Exit karena teori Receptie dari Hurgronje dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Pancasila, yakni pasal 29
dan sila pertama Pancasila, yang mendasarkan negara pada keyakinan
agama dan Ketuhanan yang Maha Esa.6
Friedrich Carl Von Savigny dalam bukunya yang terkenal “Von
Beruf Unserer Zeit Fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft”,
4
Eric, “HUBUNGAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT DALAM PEMBAGIAN WARISAN DI DALAM
MASYARAKAT MINANGKABAU”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni Vol. 3 No. 1 April 2019, hlm. 68
5
Hambali Yusuf dan Saifullah Basri, “Model Penyelesaian Alternatif Perkara Pidana Pembunuhan Biasa
menurut Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM NO. 1 VOL. 24 JANUARI 2017, hlm. 77
6
Al-Farabi, “MEWUJUDKAN SISTEM HUKUM INTEGRATIF: Harmonisasi Hukum Islam dan Hukum Adat Dalam
Sistem Hukum Nasional”, Jurnal As-Salam Vol. III No.1 Tahun 2013, hlm. 112
“Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-Undang dan Ilmu
Hukum”, antara lain menyatakan istilah “Das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit dem Volke” yang maknanya hukum itu tidak dibuat,
melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Perspektif Von
Savigny ini dilandaskan pada keadaan bahwa di dunia ini terdapat
bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut memiliki
suatu Volkgeist atau jiwa rakyat dan jiwa ini tentunya berbeda-beda,
baik menurut waktu dan tempatnya karena tidak masuk akal bila
terdapat suatu hukum atau aturan yang berlaku secara universal dan
relevan pada semua keadaan waktu. Selain itu, hukum pada
kenyataannya juga sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat
itu serta kemudian yang menjadi isi ataupun substansi dari hukum
tersebut ditentukan oleh perkembangan kehidupan manusia dari masa ke
masa (sejarah), sebagaimana adagium dari Cicero yang menyampaikan
istilah “ubi societas ibi ius” yang maknanya ialah dimana ada
masyarakat maka disitu ada hukum, oleh karena itu eksistensi hukum
sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia serta masyarakat itu pula
yang membentuk serta merealisasikan hukum tersebut.
Indonesia pada kenyataannya memang belum memiliki sebuah sistem
hukum yang sepenuhnya khas Indonesia maka dari itu sistem hukum
barat, hukum adat serta hukum Islam diintegrasikan menjadi hukum
positif nasional sehingga dalam konteks hal ini hubungan antara sistem
hukum barat, hukum adat dan hukum Islam tidak lain dan tidak bukan
ialah saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, dengan
adanya penggabungan sistem hukum ini diharapkan dapat berjalan
beriringan, bersama-sama bersatu menjadi suatu sistem hukum nasional
negara Indonesia yang notabene memang merupakan sebuah negara yang
beragam corak sosialnya serta multikultural dalam kehidupan
masyarakatnya, oleh karena itu hubungan saling melengkapi antara
ketiga sistem hukum ini akan dapat mengatasi problematika aspek
hukum serta menjadi solusi bagi sistem hukum nasional negara
Indonesia. Selain itu, penggabungan sistem hukum ini diharapkan
mampu mengisi celah kekosongan hukum yang timbul dalam kehidupan
masyarakat, karena seperti yang kita ketahui bahwa sangat sulit untuk
membentuk ataupun merancang suatu sistem hukum yang sepenuhnya
tepat dan sempurna bagi suatu negara, maka dari itu dengan menyatukan
keberagaman unsur-unsur serta substansi sistem hukum barat, hukum
adat dan hukum Islam ini sedikit banyak tentunya akan mampu menutup
rongga kekosongan hukum serta dapat mencegah terjadinya suatu
tindakan atau perbuatan yang melanggar hak orang lain dan ketertiban
umum kemudian bebas tanpa jeratan hukum karena tidak adanya aturan
yang mengatur perihal suatu perkara sehingga berisiko menyebabkan
timbul adanya keadaan kekosongan hukum.
4. Dampak yang Timbul dari Penggabungan Sistem Hukum Barat,
Hukum Adat dan Hukum Islam
Menurut Arifin (2006: 5-6) mantan Hakim Agung RI, pembagian tiga
bentuk hukum itu merupakan politik hukum Belanda di Nusantara untuk
memuluskan hukum barat. Penggunaan istilah atau pemunculan hukum
adat dimaksudkan untuk menghambat hukum Islam, karena dalam teori
Receptie yang dikemukakan Van Vollenhoven dan Christian Snouck
Hurgronje menyatakan bahwa hukum Islam baru dapat diberlakukan jika
telah diterima oleh adat.7 Oleh karena itu, kemunculan adanya istilah
hukum adat dipolitisasi oleh para oknum yang berlatar-belakang
kolonial dengan tujuan untuk mempertajam pertentangan antara hukum
Islam dengan hukum adat, dengan begitu maka tentunya hukum Islam
akan terhambat perkembangannya di Indonesia karena pemberlakuannya
dalam kehidupan masyarakat hanya dapat berlangsung jika nilai-nilai
serta unsurnya dapat diterima oleh masyarakat adat, sementara di sisi
lain hukum barat kemudian memperoleh posisi yang terbilang aman
serta tidak dipersoalkan berkaitan dengan sustansinya.
Dengan latar belakang yang berbeda antara sistem hukum barat,
hukum adat dan hukum Islam tentunya dapat dipastikan bahwa terdapat
unsur-unsur serta substansi dalam sistem-sistem hukum tersebut yang
berbeda serta saling bertolak-belakang bahkan bertentangan antara satu
dengan yang lainnya terutama ketika ditinjau dari aspek sistem hukum
Islam dengan hukum barat. Beberapa unsur dalam sistem hukum barat
nyatanya memang berseberangan dengan nilai-nilai hukum adat dan
hukum Islam di Indonesia sehingga mengakibatkan adanya kesenjangan
satu sama lain antara sistem-sistem hukum tersebut yang dapat
mempengaruhi keseimbangan proses hukum di Indonesia, hal itu juga
berpotensi menimbulkan adanya gangguan dan hambatan dalam
pelaksanaan penegakkan hukum negara.
Problematika lain misalnya seperti eksistensi hukum Islam dalam
tatanan sistem hukum negara sering kali malah salah dipersepsikan oleh
beberapa pihak, yang di mana hukum Islam dianggap hanya sebatas
suatu sistem hukum dalam lingkup agama Islam saja, sedangkan
regulasi dan aturan hukum kenegaraan seharusnya diurus serta
ditangani sepenuhnya dengan pemberlakuan hukum barat dalam sistem
hukum nasional Indonesia.
Sejalan dengan muncul banyaknya pertentangan mengenai nilai-nilai
dalam sistem-sistem hukum tersebut, maka probabilitas timbulnya
separasi (pemisahan) penegakkan serta pemberlakuan sistem hukum
barat, hukum adat dan hukum Islam menjadi semakin tinggi, yang
nantinya tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat akan dihantui
oleh kondisi serta keadaan hukum yang rancu dan membingungkan
dikarenakan dalam proses berjalannya hukum tersebut akan ditentukan
oleh sistem hukum yang mana dan sistem hukum mana yang nantinya
akan diprioritaskan dalam lingkup suatu perkara hukum. Oleh karena
7
Zainuddin, “DISHARMONISASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM NASIONAL”, Jurnal Batusangkar International
Conference I, 15-16 October 2016, hlm. 763-764
itu, menjadi tugas yang berat bagi setiap pihak untuk mampu
mengambil sikap yang bijak dalam alur tatanan sistem hukum di
Indonesia agar dalam pelaksanaannya, hukum yang berlaku di Indonesia
dapat berjalan dengan baik dan maksimal serta mampu mencapai tujuan
hukum dengan sepenuhnya.

5. Upaya Harmonisasi Sistem Hukum Barat, Hukum Adat dan


Hukum Islam Dalam Tatanan Sistem Hukum Nasional
Indonesia
Dalam rangka mempersatukan unsur dan nilai-nilai dari sistem
hukum barat, hukum adat dan hukum Islam maka dibutuhkan suatu
harmonisasi dalam sistem hukum nasional Indonesia agar titik
perbedaan di antara sistem-sistem hukum tersebut bukan menjadi
pertentangan antara satu dengan yang lainnya melainkan dapat menjadi
kelebihan sebagai satu kesatuan sistem hukum yang tepat dan sempurna.
Harmonisasi merupakan upaya untuk mengharmoniskan dan
mengintegrasikan unsur dan nilai-nilai sehingga membentuk suatu
keserasian. Harmonisasi yang demikian ialah upaya untuk
menyelaraskan hukum barat, hukum adat dan hukum Islam dalam satu
tatanan sistem hukum hukum nasional. Bila selama ini keadaannya
menunjukkan bahwa seolah-olah telah terjadi pertentangan antara
hukum barat, hukum adat dan hukum Islam maka tentulah menjadi
sesuatu hal yang sangat penting untuk dapat kembali mengharmoniskan
di antara sistem-sistem hukum tersebut.
Langkah harmonisasi yang dapat ditempuh ialah dengan melakukan
kajian kembali mengenai pokok-pokok permasalahan yang menjadi titik
perbedaan dan pertentangan serta kesamaan tujuan hukum antara sistem
hukum barat, hukum adat dan hukum Islam. Dalam membentuk dan
membina hukum nasional dibutuhkan adanya politik hukum. Politik
hukum nasional di Indonesia pokok-pokoknya ditentukan dan ditetapkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yang kemudian akan dirincikan
secara lebih lanjut oleh Menteri kehakiman Republik Indonesia. Dalam
pelaksanaannya telah terbentuk suatu lembaga negara yang bernama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) atau Babinkumnas. Melalui
koordinasi yang dilaksanakan badan atau lembaga ini diharapkan
nantinya kelak akan dapat terwujud satu hukum nasional yang otentik
akan bangsa Indonesia.
Adapun Dimensi Pembangunan nasional dalam tatanan hukum negara
meliputi (Dimensi Pemeliharaan) yakni merupakan dimensi untuk
memelihara tatanan hukum yang ada walaupun tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan. Dimensi ini diperlukan untuk mencegah
kekosongan hukum dan merupakan konsekuensi logis dari Pasal II
Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Lalu (Dimensi
Pembaruan) yaitu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih
meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan hukum nasional,
dengan adanya suatu pembaruan maka diharapkan nilai-nilai serta unsur
dalam suatu sistem hukum nasional dapat menyesuaikan dengan kondisi
dan keadaan masyarakatnya sehingga menjadi suatu sistem hukum yang
tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dan yang terakhir, (Dimensi
Penciptaan) yang merupakan dimensi dinamika dan kreativitas. Pada
dimensi ini diciptakan suatu perangkat peraturan perundang-undangan
yang baru yang sebelumnya belum pernah ada sehingga dengan suatu
tatanan sistem hukum yang mutakhir ini diharapkan mampu
mengantisipasi setiap celah kelemahan serta kekosongan dalam suatu
tatanan sistem hukum nasional. 8
Berkenaan dengan relevansi sistem hukum barat, hukum adat dan
hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional, bagian dari pranata
(lembaga) hukum masih sangat relevan. Lembaga-lembaga hukum
sebagian telah terkodifikasi secara parsial dalam berbagai perundang-
undangan dan sebagiannya lagi dapat menjadi sumber inspirasi
pembentukan hukum nasional dan menjadi sumber hukum dalam proses
penemuan hukum. Pemerintah seyogyanya mengeksplorasi nilai-nilai
dalam berbagai sistem hukum yang terintegrasi di Indonesia sebagai
hukum asli bangsa Indonesia dalam pembentukan hukum nasional di
masa yang akan datang.9

8
Abdurrahman MBP, “HARMONISASI HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM BAGI PENGEMBANGAN HUKUM
NASIONAL”, AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM, hlm. 374
9
Lastuti Abubakar, “REVITALISASI HUKUM ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MEMBANGUN SISTEM
HUKUM INDONESIA”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013, hlm. 329
Penutup
Kesimpulan
Sistem hukum barat, hukum adat dan hukum Islam berangkat dari
latar belakang landasan filosofis dan sosiologis yang berbeda, sehingga
tentu saja kemudian terdapat banyak hal yang dapat dibandingkan
antara ketiga sistem hukum tersebut yang terintegrasi menjadi satu
tatanan sistem hukum nasional Indonesia. Selain itu adanya unsur serta
nilai-nilai dalam sistem hukum yang beberapa diantaranya saling
bertolak-belakang dan bahkan saling bertentangan antara satu sama lain
menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi seluruh pihak dalam
masyarakat Indonesia untuk dapat bersikap bijak dalam menyikapi
perihal aspek dalam lingkup kehidupan hukum dan aturan negara.
Meskipun demikian, masih tetap ada titik relevansi ataupun keterkaitan
satu sama lainnya antara sistem hukum barat, hukum adat dan hukum
Islam yang di mana harmonisasi unsur serta nilai-nilai dalam sistem-
sistem hukum tersebut dapat selaras berjalan beriringan sebagai
kesatuan sistem hukum nasional di Indonesia yang realitanya memang
merupakan sebuah negara yang beragam corak sosialnya serta
multikultural dalam kehidupan masyarakatnya. Maka dari itu hubungan
yang harmonis serta saling melengkapi antara sistem hukum barat,
hukum adat dan hukum Islam dalam tatanan sistem hukum nasional
diharapkan akan tetap mampu menjadi solusi hukum serta regulasi dan
menjadi sarana penyelesaian problematika yang tepat di dalam lingkup
hukum negara Indonesia pada masa kini dan masa depan yang kelak
akan datang.

Anda mungkin juga menyukai