Anda di halaman 1dari 5

Yuliatiningsih

221017450004

Reguler B 01

Jawaban Tugas Terstruktur sesi 10

Pertanyaan:

“Das Sein”, “Das Sollen” dan “Law is command of the law givers”. Silahkan anda
jelaskan apa yang dimaksud dari istilah tersebut.

Jawaban:

Das sein dan Das Sollen pada hakikatnya dua istilah yang sama-sama diambil dari
Bahasa Jerman, meskipun makna diantara keduanya berbeda akan tetapi saling terkait satu
sama lainnya.

Objek kajian sosiologi terkait dengan “Das sein dan Das sollen” hakekatnya mengacu
pada ekspresi kesenjangan sosial antara kenyataan yang terjadi dengan harapan yang
diinginkan. Di sini, sangatlah jelas jikalau Das Sein adalah realitas sosial yang terjadi
sedangkan das sollen adalah apa yang seharusnya dilakukan. Dengan kata lain “Apa itu dan
“Apa yang seharusnya.

Das sein adalah serangkaian bentuk tindakan sosial yang terimplementasikan dengan
praktik dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen, sehingga das sein
bisa pula diartikan sebagai peristiwa konkrit yang terjadi.

Das sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap.
Misalnya dalam hal yang terkait dengan norma sosial, kaidah sosial, dan sebagainya,
Sehingga das sollen bisa pula diartikan sebagai kaidah dan norma serta kenyataan Normatif
sebagaimana yang seharusnya dilakukan.

Hukum pada dasarnya dibuat untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di dalam
masyarakat, oleh karena itu hukum harus dapat ditegakkan dan berjalan sesuai kaidah- kaidah
hukum yang berlaku. Manusia yang hidup bermasyarakat dalam suatu negara, mau tidak mau
dalam tahap perkembangan kehidupannya akan selalu dihadapkan terhadap sebuah aturan
atau hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan tanpa adanya tebang pilih dalam
pelaksanaan hukum oleh para penegak hukum yang didukung oleh kesadaran masyarakat
yang tinggi dalam penegakan hukum. Pada dasarnya hukum adalah tatanan dan aturan yang
dibuat oleh negara, yang bertujuan untuk mengatur dan mengontrol perilaku masyarakat di
suatu negara, sehingga tercipta keadilan dan kedamaian di negara tersebut. Bila penegakkan
hukum tidak berjalan dengan baik dapat berakibat terjadinya chaos di tengah masyarakat, dan
runtuhlah negara. Sebaliknya jika penegakkan hukum berjalan dengan baik akibatnya
keadilan dan kedamaian masyarakat terpelihara dan terjaga sehingga negara bisa tetap berdiri.
Oleh karena itu, hukum dapat berperan sebagai pilar negara.

Hukum sebagai sistem nilai sekaligus sebagai sub-sistem dari sistem sosial
sebenarnya menjabarkan bahwa hukum merupakan das sein dan das solen, di sisi lainnya
antara das sein dan das sollen tidak mudah dipertemukan bahkan seringkali bertolak belakang
dengan perilaku hukum masyarakat yang seharusnya. Sulitnya penyelarasan hukum sebagai
“sein” dan hukum sebagai “solen” tidak terlepas dari faktor-faktor non yuridis yang hidup
dan berkembang yang salah satunya dalah kultur hukum. Budaya sebagai produk masyarakat
amat beragam dan berbeda tidak hanya masyarakat satu dengan lainnya pun berbeda sehingga
akibat tingkatan-tingkatan sosial dalam lingkungan misalnya budaya hukum seorang
pedagang dengan guru, sopir dengan pegawai dan sebagainya.

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.


Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam
setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada
hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.

Law is a command of the Law Givers (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam
arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
Perdebatan mengenal hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam
ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum
adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda
datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari
dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial
yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.

Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya


ciri- ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan
Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai
masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk
penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan
konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-
undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat
(adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat
Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat
tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku
pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh
hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.

Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari
kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat
perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai
ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber
dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi
sumber hukum.

Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum

Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh
filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian
adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama
dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara.

Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis


dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas
setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal
untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
Menurut Fletcher Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya
validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu
proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi, tetapi karena
hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak.
Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan
memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.

Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam
ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat
diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum
karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun
kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan
disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem
hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh
otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.

Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari
pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John
Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis
dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum
yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut
sistem hukum Eropa Kontinental.

Menurut John Austin, hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum
berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas
disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai
kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum
internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut
ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda
dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap
kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi, Menurut pandangan Austin, hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan
secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.

Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
Pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu:

a. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain
terbeut berada di luar hukum.
b. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun
secara yuridis tidak penting bagi hukum.
c. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab
sejarah.
d. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang
berdaulat atau penguasa.
e. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi
karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada
dalam kenyataan.
f. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam
masyarakat.

Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal
dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini.
Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama,
ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merki
yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-
undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan
dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan
demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan
sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein atau kenyataan sosial.

Anda mungkin juga menyukai