Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN 3.

KRITIKAN PENEGAKAN HUKUM INDONESIA YANG LEGISME


(LEGAL P0SITIVISM)
MENURUT OPTIK PHILIPPE NONET & PHILIP SELZNICK

A. Pendahuluan
Betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia sebagaimana
secara gamblang dipaparkan dan solusinya di atas. Berangkat dari pemikiran
bahwa tidak sedikit masyarakat, baik masyarakat terdidik, maupun masyarakat
tidak terdidik, bahkan masyarakat yang sehari-harinya menggeluti dunia
hukum sekalipun khususnya di Indonesia, mereka yang masih terheran-heran
ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk menjawab,
memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata tidak
sedikit peraturan-perundangan sebagai hukum tersebut menjadi mandul tidak
melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mohd. Mahfud MD.
dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” mengatakan bahwa:
......Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat
sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan
keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang
harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa
dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan.
Secara jujur saja kita harus katakan bahwa sebuah hukum yang
demokratis adalah selalu membesut dan bumi. Artinya, ia merupakan
perwujudan dan nilai-nilai yang melembaga di dalam masyarakat yang
menjadi sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan mensinergikan
persilangan kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam
tabel hidup di masyarakat. Lebih dan itu, terutama di dunia modern, hukum

1
bahian kemudian meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering,
rekayasa sosial, men ciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita
sebuah bangsa yang menamakan dirinya negara hukum. Hukum adaah hasil
ciptaan masyarakat, tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat.
Sehingga konsep dalam berhukum seyogianya adalah sejalan dengan
perkembangan masyarakatnya. Kalau kita menyorot konsepsi Nonet dan
Selznick bahwa “perkembangan hukum sejalan dengan perkembangan
Negara”:
Represif adalah saat negara poverty of power, sumber daya
kekuasaannya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah saat kepercayaan kepada negara makin meningkat,
pembangkangan mengecil. Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum
dibuat oleh dan secara profesional di lembaga-lembaga negara tanpa
kontaminasi dan subordinasi oleh negara.
Responsif adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum
terhadap perkembangan sosial. Senantiasa dikurangi dan kewenangan
membuat hukum diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah
agar lebih memahami inti persoalan masyarakat.
Kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka bagian
yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement),
bagaimana pnegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam
arti luas dan ada pula dalam artian sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi
pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleb subjek hukum, kalau dalam artian
sempit adalah kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan terhadap peraturan-perundangan. Jimly Asshiddiqie
menyatakan:
Penegakan Hukum (Jaw enfocernent) dalam artian luas mencakup
kegiatan untuk melaksariakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan

2
ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam
pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup
pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat
kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati
dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan
pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau
pengacara, dan badan-badan peradilan.
Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok di samping yang lain
adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum sesuai
dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga sistem
komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah pentingnya
adalah pendidikan hukum (law socialiration and law education) sehingga
dengan pendidikan tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum
termasuk pendidikan politik kaitannya dengan hukum. Philippe Nonet dan
Philip Selznick dalam pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam
ilmu hukum terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum.
Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu hukum
terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap perubahan dan perkembangan
di dunia hukum. Nonet dan Selznick meriyatakan:
.....Politik pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas dalam
agenda kepentingan publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes
massal, kerusuhan kaum urban, kerusakan lingkungan, dan
penyalahgunaan kekuasan, semua itu, tidak seperti masa-masa
sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang sangat urgen untuk
dipecahkan.

3
......Perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dan
pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum
yang merespons tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan.
Untuk meruntut bagaimana tahapan-tahapan evolusi bangsa Indonesia
dalam berhukum terutama kaitannya dengan ketertiban sosial politik hukum
sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan telah melalui beberapa tahapan,
namun kita harus mengakui bahwa pada jaman kolonial dengan tidak
mengabaikan kejahatan dan arti penjajahan itu sendiri, sesungguhnya dalam
hal penegakan hukum adalah sangat baik karena cara berhukumnya pada saat
itu mengikuti karakteristik perkembangan masyarakatnya, yaitu bagi golongan
Eropa dihormati berlakunya hukum Eropa dan bagi bangsa Indonesia
(pribumi) dihormati diberlakukannya juga hukum sebagaimana karakteristik
budaya, adat setempat, dan sangat memelihara (walau tidak sama dengan
menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan dualisme tersebut membuat
tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola bukan saja berbagai
kepentingan tetapi juga berabad-abad lamanya mampu mencengkeramkan
jajahannya di Indonesia Raya ini. Dalam hal ini secara tegas Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto menyatakan dalam bukunya “Hukum dalam Masyarakat”
bahwa:
Hukum Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan Eropa,
sedangkan untuk golongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan,
adat istiadat dan pranata agama mereka, dengan catatan selama tidak
bertentangan dengan apa yang disebut “asas kepatutan dan adab yang
balk”. Semua itu tersebut dalam pasal 75 Reglimen Tata Pemerintahan
Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dan tahun 1854.”
Ada polemik atau ketidakwajaran yang kita rasakan, hal itu sangat
berdasar dan beralasan. Hal ini sejalan dengan tesisnya Nonet dan Selznick yang
secara tegas mengatakan bahwa:
“Perkembangan” (development) merupakan salah satu dan gagasan-
gagasan yang paling membingungkan dalam ilmu-ilmu sosial.
Perkembangan telah menjadi objek kritikan yang berkepanjangan bahkan

4
sejak masa kejayaan evolusionisme pada abad ke-19. Namun, upaya
untuk merasionalkan sejarah kelembagaan tampaknya memerlukan
pemahaman mengenai kepastian arah, pertumbuhan atau kehancuran.
Dalam ilmu hukum terdapat pula pemahaman intuitif bahwa beberapa
bidang hukum lebih “berkembang” dibanding bidang hukum lainnya,
bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola pertumbuhan
atau kehancuran. Rosco Pound merupakan salah seorang di antara mereka
yang berpendapat, adalah “hal yang tepat untuk memikirkan...tahap-tahap
perkembangan hukum dalam sistem-sistem yang telah mencapai tahap
kematangan.”
Pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam konsep berhukum,
paling tidak ia membedakan tiga jenis hukum yaitu; hukum represif, hukum
otonom, dan hukum responsif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat daam tabel
berikut:

Tiga Jenis Hukum

HUKUM HUKUM HUKUM


REPRESIF OTONOM RESPONSIF
1 2 3 4
TUJUAN HUKUM Ketertiban Legitimasi Kompetensi

LEG ITIMASI Ketahanan sosial Keadilan Keadilan


dan tujuan negara prosedural substantif
PERATURAN Keras dan rinci Luas dan rinci: Subordinat dan
namun bgrlaku mengikat prinsip dan
lemah terhadap penguasa maupun kebijakan
pembuat hukum yang dikuasai
PERTIMBANGAN Ad hoc: Sangat melekat Purposif
memudahkan pada otoritas (berorientasi
mencapai tujuan legal: rentan tujuan): pertuasan
dan bersifat terhadap kompetensi

5
partikuler formalisme dan kognitif
legalisme.
1 2 3 4
DISKRES Sangat luas: Dibatasi oleh Luas, tetapi tetap
oportunistik peraturan; delegasi sesuai dengan
yang sempit tujuan

PAKSAAN Ekstensif: dikontrol oleh Pencarian positif


dibatasi secara batasan-batasan bagi berbagai
lemah hukum. alternatif, seperti
insentif, sistem
kewajiban yang
mampu bertahan
MORALITAS Moralitas Moralitas Moralitas sipil,
komunal; kelembagaan; “moralitas kerja
moralisme yakni dipenuhi sama”
hukum; dengan integritas
“moralitas proses hukum
pembatasan”
POLITIK Hukum Hukum Terintegrasinya
subordinat “independen” aspirasi hukum
terhadap poittik dan politik; dan politik;
kekuasaan pemisahaan keberpaduan
kekuasaan kekuasaan
HARAPAN Tanpa syarat; Penyimpangan Pembangkangan
AKAN ketidaktaatan peraturan yang dilihat dan aspek
KETAATAN perse dihukum dibenarkan, bahaya
sebagai misalnya untuk substantif;
pembangkangan menguji validitas dipandang
undang-undang sebagai gugatan
atau perintah terhadap
legitimasi
PARTISIPASI Pasif; kritik Akses dibatasi Akses diperbesar
dilihat sebagai oleh prosedur dengan integrasi
ketidaksetiaan baku; munculnya advokasi hukum

6
kritik atas hukum dan sosial.
Dan bingkai pemikiran hukum yang lebih responsif untuk keadilan sosial
yang membumi digagas oleh Nonit dan Selznick tersebut di atas, kaitan dengan
penegakan pembangunan hukum di Indonesia, dengan problematika dan solusi
yang penulis paparkan di muka. Sebenarnya sangatlah rumit untuk meruntut ke
dalam sebuah kajian yang komprehensif, namun secara garis kasarnya dapatlah
dilihat posisi penegakan hukum di Indonesia sebagai bahasan berikut.
Menelisik tiga jenis hukum (Hukum Represif, Hukum Otonom, dan
Hukum Responsif) sebagai optik melihat wajah penegakar hukum di Indonesia,
yang dikonsep oleh Nonet dan Selznick, maka secara umum penegakan hukum di
Indonesia setelah penulis membuka kembali amatan dan bahkan hasil penelitian
penulis di lapangan, sebenarnya yang paling cocok untuk menghadapi globali..
sasi hukum, seharusnya ke depan posisi Indonesia tidak pada karakteristik
tunggal, yaitu ketiga jenis hukum tersebut ada pada posisi Indonesia. Namun,
bagian-bagian tertentu sangat dominan ketimbang jenis hukum yang lainnya.
Sebagaimana paparan pada bahasan permasalahan di muka, maka menunjukkan
jenis hukum represiflah yang sangat dominan kemudian terdapat juga jenis hukum
otonom dan sebagian kecil jenis hukum responsif.
Penegakan hukum dengan produk hukum, walaupun saling keterkaitan
bahkan saling menentukan dalam cara berhukumnya, namun produk hukum dan
penegakan hukum mempunyai masalahnya masing-masing.
Dalam hal penegakan hukum adalah mencakup setidaknya ada persoalan,
yaitu peraturan-perundangannya, aparat penegak hukum, dan budaya
masyarakatnya itu sendiri.
a. Peraturan-perundangannya;
Sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasamya materi peraturan-
perundangan yang kita gunakan selama mi, terutama yang banyak difungsikan
untuk kepentingan atau hajat hidup orang banyak seperti BW, WVS dan lain
sebagainya, dalam proses pembuatanriya sangat jauh dan partisipasi
masyarakat (nir-sosiologis) tidak memperhatikan simbol-simbol kritik yang
tampak di masyarakat, walaupun materinya relatif terstruktur dengan baik,

7
namun hanya barlaku secara rinci dan sistemik bagi masyarakat biasa, dan
sangat lemah bagi pembuat hukumnya itu sendiri (apalagi bagi pihak-pihak
tertertu mempengaruhi atas kepentingannya dengan berbagai macam
kompensasi).
Tujuan pembuatan peraturan-perundangan adalah untuk ketertiban dan
legitimasi yang juga mempertimbangkan kompetensi Secara legitimasi, kita
harus akui di samping sebagai ketahanan sosial sebagai tujuan negara (daerah-
daerah tertentu), tetapi juga sudah mencapai legitimasi prosedural, walaupun
belum kepada substantif.
Dalam pembuatan peraturan-perundangan hendaknya harus
rnelahirkan alternatif-alternatif yang mampu bertahan secara memadai, seperti
di contohkan Nonet dan Selznick (dan Gemeinschaft ke Gesellsclzaft). Untuk
di Indonesia, sebagai contoh kecil tentang pasal-pasal pencurian dalam WVS
masih sangat kental sanksi-sanksi yang seharusnya tidak lagi memberikan
sanksi bagi pencuri-pencuri kelas kecil (pencuri jemuran, ayam, sandal dan
lain-lain), namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi rasa
keadilan sebagaimana konsepsi yang diabstraksikan dengan baik oleh Nonet
dan Selznick yaitu dan kekerasan ke keadilan. Hal ini sangat pentirig, karena
di negara-negara maju seperti di Jepang misalkan tidaklah menganggap
pencuri kelas-kelas kecil itu sebagai penjahat, tetapi dibina sebagaimana
penulis paparkan di muka.
b. Aparat Penegak Hukumnya;
Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatinkan
sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau
mafia peradilan kita sudah sebegitu buniknya dan para aparat hukum itulah
yang berperan utama atas kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apa pun
materi peraturan-perundangan (apalagi memang tidak bagus), kalau aparatnya
rusak, maka hukum pun juga bagaikan menegakkan benang basah, dengan
tidak mengabaikan ada juga beberapa keberhasilannya, tetapi hanya mampu
memproses penjahat kelas-kelas kecil, seperti; orang-orang miskin dan bodoh
yang tak punya akses pembelaan di pengadilan dan mereka ini (ribuan orang)

8
yang memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh
penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan Selznick menyatakan:
Produk hukum yang dthasilkannya menjadi represif karena:
1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,
memaksakan tanggungjawab, namun mengabaikan klaim-klaim dan, para
pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak
harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dan kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. kum miskin dipandang sebagai
“tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus
(kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena
pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klasifikasi resmi (misalnya
kriteria yang memisahkan kelompok “kaya” dan kelompok miskin).
Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan
penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya,
akan menciptakan pola baru subordinasi.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang
berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai
kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan optik Nonet dan Selznick yang menggagas hukum secara
komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang
lebih responsif, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi
kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah
represif dan melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsif adalah
hukum sebagai fasilitator dan sejumlah respons-respons terhadap aspirasi
kebutuhan sosial hukum yang berkembang berakar-pihak di masyarakat.
Ditegaskan Nonet dan Selznick bahwa seorang penguasa (otoritas
penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan
sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik
(lihat pergolakan protes masyarakat) tidak bisa dipaksa untuk sesuai keinginan
si pembuat hukumnya. Dia akan menambah kredibilitas dan aturan-aturan
tersebut mendapat legitimasi serta nenarik kemauan secara sukarela apabila

9
senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat oleh aturan tersebut, dan yang
sangat penting penyelenggaraan peradilan tidak berpihak termasuk kepada
aparat penegak hukum dengan berbagai kepentingannya, kecuali menerapkan
aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia, menurut
abstraksi teori-teori Nonet dan Selznick ini sebagaimana saya katakan di atas
sangat tepat tidaklah berkarakter tunggal, tetapi campuran, yaitu mencakup
ketiga model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif relatif lebih
dominan dari model otonom dan terlebih model responsif sebagian kecil dan
sejalan evolusinya juga mengarah kepada hukum responsif.
Dalarn Hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di
Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi
monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada
umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga
ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia. Persenyawaan ini semakin
menggelindan, ketika negara sangat tergantung kepada keahlian dan ketaatan
mereka para penegak hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan kenyataan
yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak berdaya (berada pada posisi
fatalisme “sub-human”). Secara sederhana hisa kita polakan kedalam tiga
bagian yang mewarnai sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan
hukum, yaitu; pertama, kekerasan yang dilakukan aparat semurninya untuk
menjaga keteraturan atau ketertiban dan menegakkan kedaulatan negara,
kedua, kekerasan yang dilakukan aparat atas kepentingan aparat pemaksa yang
sesungguhnya adalah individu-individu yang sarat kepentingan pribadi tetapi
mengatasnamakan kepentirigan negara. Hal itu dilakukannya karena
kepentingan-kepentirigan mereka atau organisasi-organisasi mereka sangat
dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi masyarakat, ketiga,
adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat penegak hukum sebagai
object problem terutama bagi masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh
(sudah menjadi pemandangan di seluruh penjuru negeri ini, para aparat
menggusur orang-orang miskin dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari

10
maknanya untuk menggusur kemiskinan, apalagi melakukannya). Untuk lebih
jelasnya dapat digambarkan struktur kekerasan aparat dalam penegakan
hukum di Indonesia sebagai berikut:

Struktur Kekerasan
Dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Aparat penegak hukum melakukan


kekerasan untuk ketertiban dan
kedaulatan negara

Aras
(kekerasan Masyarakat tak
Aparat penegak berdaya/tak ada
hukum melakukan penegakan
hukum) akses untuk
kekerasan untuk melakukan kritik
individu/ legal
positivism secara prosedural,
organisasi tetapi, maka protes
mengatasnamakan dengan cara
kepentingan negara kekerasan fisik dan
atau masyarakat komunal

Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang


diabstraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsif oleh Nonet dan
Selznick tersebut patut disongsong dengan upaya pembenahan aparatur
penegak hukum di Indonesia yang lebih komprehensif berlandaskan komitmen
dan moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara
produk hukum dan pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum
sesuai cita diri bangsa Indonesia.
c. Budaya Masyarakatnya;
Sebagaimana beberapa pokok pikiran Nonet dan Selznick antara lain
disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan
konformitas budaya. Dalam hal mana masyarakat modern, seperti juga halnya
pada masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat

11
mendukung kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam
memelihara ketertiban. Kemudian Nonet dan Selznick lebih lanjut menyatakan
bahwa:
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralisme hukum adalah
moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk
mempertahankan “komunitas patuh” (community of observance).
Moralisme hukum paling baik dipahami sebagai patologi alami dan
institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi
efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia.
Sementara itu Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa peranan
kultur hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan acap kali
berhubungan dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya
berikut;
Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai
suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai
faktor (interchange). Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak
pemahaman terhadap hukum tidak sekadar sebagai suatu “rumusan
hitam putih” (blue print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat selagai
suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain
melalui tingkah laku warga masyarakat.
Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan
antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama
faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya
disebut dengan kultur hukum.
Berangkat dari pemikiran di atas, kaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya
hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan di muka, sangatlah
majemuk (plural society) paling tidak, ada 19 persekutuan atau keluarga
hukum yang berkelindan pada masing-masing teritorial adatnya. Dan sosial
budaya yang bermacam-macam termasuk perbedaan antara kota dan desa (ada

12
masyarakat organik dan ada masyarakat mekanik), maka tesis Nonet dan
Selznick tersebut secara relatif sangat bersejalan dengan fakta empirik budaya
hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara totalitas mengondisikan kepada
model penegakan hukum yang otonom kemudian kepada responsif tampaknya
perlu proses yang lebih baik lagi. Hal mi sangat beralasan, karena disinyalir
dalam tesisnya Nonet dan Selznik bahwa “tak ada rezim (rezim dengan model
hukum) yang dapat bertahan tanpa landasan berupa persetujuan dan warga
negara yang diberikan secara sukarela”.

BAGIAN 4.
KESIMPULAN

Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang


merambah pada tataran pemildran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan
tertib hukum sejak abad ke-19. Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia,
paradigma tunggal legal positivism bukanlah berarti tidak baik, namun secara
fungsionalnya dalam memahami, menganalis, dan lebih dalam untuk mengontrol
karakteristik kehidupan yang pluralistik berformat regional, nasional, maupun
global adalah sudah tidak memadai dan perlunya pemikiran alernatif. Banyak
aliran hukum yang digagas para ahli, misalkan meramu; aliran legal positivism,
aliran Freie Rechtsbezvegung, aliran Rechtsvinding, atau aliran-aliran dalam
format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia
seutuhnya.
Penegakan supremasi hukum adalah sebuah upaya manusia untuk
menggapai keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkanriya. Dalam hal mana
penegakan tersebut, yang pokok adalah mensinergikan ketiga pilarnya; peraturan-
perundangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakatnya.
Optik Nonet dan Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang
legisme (legal positivism), mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori
besarnya “hukum responsif” mencakup tiga tahapan; hukum represif, hukum
otonom, dan hukum responsif. Model yang ditawarkan tersebut sangat cocok

13
dengan pluralisme dan realisme bangsa Indonesia berhukum dan potensi untuk
penegakan hukum sesuai modelisasi serta tahapannya kepada hukum responsif
secara totalitas sangat memungkinkan sepanjang aparat pembuat dan penegak
hukum mempunyai kometmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam kekerasan aparat penegak hukum di Indonesia, tesis Nonet dan
Selznick dapat distrukturkan menjadi tiga; Pertama, kekerasan murni atas
kepentingan negara, Kedua, kekerasan sebenarnya untuk kepentingan inidividu,
organisasi atau golongan, tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, Ketiga,
kekerasan sebagai cara-cara untuk menuntut keadilan karena cara-cara lain tidak
ada yang bisa dilakukan (biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang
tidak ada akses untuk mengadvokasikan hak-haknya sebagai warga negara).

DAFTAR BACAAN

Abdurrahman, H, (1995), Ilmu Hukum, Teori Hukum & Limit Perundang-


Undangan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

14
A.A.G. Peters dan Siswosoebroto, Koesrini, (1990), Hukum dan Perkembangan
Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III) Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Asshiddiqie, Jimly, (2006), Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di


Indonesia (Menyoal Moral Penegak Hukum) Lustrum XI Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, 16 Februari 2006.

Fromm, E., (2001), Marx’s Concept of Man (Konsep Manusia Menurut Karl
Marx), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________., (2001), Kompas-Harian untuk Umum PPs UMM, Malang, PPs


UMM.

Minoru, Shikita, (1982), Integrated Aproach to Criminal and Justice (UNAFEI),


Jurnal Hukum lus Quia Lustrum FH Ull.

Mahfud MD., Mohd., (2007), Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.

Mahfud MD., Mohd., (2001), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES

Mahfud MD., Mohd., (2008), Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum pada
Prog. Doktor Ilmu Hukum PPs. FH. Ull, Jogjakarta: PPs UII.

Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, (2007), Law and Society in Transition:
Toward Respons Law, Bandung: Nusamedia.

Pramudya, 2007, Hukum itu Kepentingan, Salatiga: Sanggar Mitra Sabda.

Rahardjo, Satjipto, (2006), Hukum dalam Jugat Ketertiban, Jakarta: UKI Press.

Rahardjo, Satjipto, (2007), Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas.

Rahardjo, Satjipto, (2007), Konsep dan Karakteristik Hukum Pro gresif


(disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Jakarta. (tanggal 15 Desember 2007 di Semarang.
Sabian, (2003), Konflik Nelayan Sakates, (Hasil Penelitian Lapangan di Pesisir
Kumai Kalimantan Tengah).

Sabian, (2005), Mengenal Sosiologi Hukum, Malang: Mediasi Pustaka.

Sabian, (2007), Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

15
Wignjosoebroto, Soetandyo, (2007), Sari Kuliah Teori Hukum Program Doktor
Ilmu Hukum, PPs FH. Ull.

Wignjosoebroto, Soetandyo, (2007), Hukum Progresif: Apa yang Harus


Dipikirkan dan Dilakukan untuk Melaksanakannya (sebuah makalah,
sebaran pemikirannya disampaikan dalam Seminar Nasional tentang
“Hukum Progresif” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP
bekerjasama dengan Frog. Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, di Semarang 15 Desember
2007.

Wignjosoebroto, Soetandyo, (2007), “Hukum Dalam Masyarakat”


(Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi
Hukum“, Surabaya: FISIP Unair.

Warassih, Esmi, (2001), Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan


Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan, Semarang;
UNDIP Semarang.

Warassih, Esmi, (2005), Pranata Hukum (Sebuah Telaah Sosiologis), Semarang:


PT. Suryandaru Utama.

16

Anda mungkin juga menyukai