Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

HUKUM DAN SISTEM POLITIK


Kritik Penegakan Hukum Yang Legisme (Legal
Positivism)
OLEH
MARIO IHUTAN JEREMIA, S.H.
11010112420090
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak sedikit dari masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun
masyarakat tidak terdidik bahkan masyarakat yang sehari-harinya menggeluti
dunia hukum khususnya di Indonesia, mereka yang terheran-heran ketika mereka
memahami hukum adalah sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan,
ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit peraturan
perundangan sebagai hukum tersebut mandul tidak melahirkan apa yang
diharapkan masyarakat itu sendiri. Mahfud MD. Dalam bukunya olitik !ukum
di Indonesia" bahwa #
$Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat
dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak
masyarakat, atau penjamin keadilan. %anyak sekali peraturan
hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-
wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam
menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh
hukum. %ahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai
oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan$
1
&e'ara jujur saja kita harus katakan bahwa sebuah hukum yang demokratis
adalah selalu membesut dari bumi. (rtinya, ia merupakan perwujudan dari nilai-
nilai yang melembaga didalam masyarakat yang menjadi sasarannya, kemudian
1
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, )*+&, ,--1, hal. 1
,
untuk dengan arif menata dan menyinergikan persilangan kepentingan yang juga
harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam tabel hidup dimasyarakat. )ebih dari
itu, terutama didunia modren, hukum bahkan kemudian meluaskan fungsinya
untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial, men'iptakan sebuah
masyarakat yang menjadi 'ita-'ita sebuah bangsa yang menamakan dirinya
sebagai negara hukum. !ukum adalah hasil 'iptaan masyarakat, tetapi sekaligus
ia juga men'iptakan masyarakat. &ehingga konsep dalam berhukum seyogyanya
adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. .alau kita menyorot
konsepsi /onet dan &el0ni'k bahwa erkembangan hukum sejalan dengan
perkembangan /egara#"
Represif, adalah saat negara poverty of power, sumber daya
kekuasaanya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah saat keper'ayaan kepada negara semakin
meningkat, pembangkangan menge'il. %irokrasi dipersempit
menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan se'ara profesional
dilembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh
negara.
Responsif, adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya
hukum terhadap perkembangan sosial. &enantiasa dikurangi dan
kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit
kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan
masyarakat.
,
.alau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka bagian yang tidak
terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement), bagaimana penegakan
hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam arti luas dan ada pula
dalam arti sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi pelaksanaan dan penerapan
hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan
,
Moh. Mahfud MD, Sari ulia! e"i#akan Pem"angunan Hukum Pada Program Doktor Ilmu
Hukum PPs$ %H$ &II, 1ogyakarta# s 2II 3,--45.hal.,
*
oleh subyek hukum, kalau dalam artian sempit adalah kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok disamping yang lain adalah
bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum sesuai dengan
budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga sistem komunikasi dan
sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah pentingnya adalah pendidikan
hukum (law sociali'ation and law education) sehingga dengan pendidikan hukum
tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum termasuk pendidikan
politik kaitannya dengan hukum. hilipe /onet dan hilip &el0ni'k dalam
pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama
dalam menganalisis institusi-institusi hukum.
%angkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu hukum terutama ilmu
politik sangat signifikan terhadap perubahan dan perkembangan didunia hukum.
/onet dan &el0ni'k menyatakan#
$..olitik pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas
dalam agenda kepentingan publik. !ak-hak sipil, kemiskinan,
kejahatan, protes massal, kerusuhan kaum urban, kerusakan
lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasaan, semua itu, tidak seperti
masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang
sangat urgen untuk dipe'ahkan$..
$.perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari
pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen
hukum yag merespons tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan.
*
2ntuk menuntut bagaimana tahapan-tahapan e6olusi bangsa Indonesia dalam
berhukum terutama kaitannya dengan ketertiban sosial politik hukum sejak 0aman
*
hilipe /onet dan hilip &el0ni'k, (aw and Society in )ransition* )oward respons (aw, !aper 7
8ow, 1974 3Terjemahan 8aisul Mutta:ien5 diterbitkan oleh enerbit /usa Media, ,--4, hal. ,, 7.
;
kolonial sampai kemerdekaan telah melalui beberapa tahapan, namun kita harus
mengakui bahwa pada 0aman kolonial dengan tidak mengabaikan kejahatan dari
arti penjajahan itu sendiri, sesungguhnya dalam hal penegakan hukum adalah
sangat baik karena 'ara berhukumnya pada saat itu mengikuti karakteristik
perkembangan masyarakatnya, yaitu bagi golongan +ropa dihormati berlakunya
hukum +ropa dan bagi bangsa Indonesia 3pribumi5 dihormati diberlakukannya
juga hukum sebagaimana karakteristik budaya, adat setempat, dan sangat
memelihara 3walau tidak sama dengan menghargai5 nilai-nilai agama sehingga
kebijakan dualisme tersebut membuat tegaknya bangunan hukum relatif mampu
mengelola bukan saja berbagai kepentingan tetapi juga berabad-abad lamanya
mampu men'engkramkan jajahannya di Indonesia 8aya ini. Dalam hal ini se'ara
tegas rof. &oetandyo <ignjosoebroto menyatakan dalam bukunya !ukum
dalam masyarakat bahwa#
!ukum +ropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan
+ropa, sedangkan untuk golongan pribumi tetap diakui
berlakunya kebiasaan, adat istiadat dan pranata agama mereka,
dengan 'atatan selama tidak bertentangan dengan apa yang
disebut asas kepatutan dan adab yang baik". &emua itu tersebut
dalam pasal 7= 8eglemen Tata emerintahan !india %elanda
(Indisc!e Regeringsreglement) dari tahun 14=;.
;
(da polemik atau ketidakwajaran yang kita rasakan, hal itu sangat
berdasar dan beralasan. !al ini sejalan dengan tesisnya /onet dan &el0ni'k yang
se'ara tegas mengatakan bahwa#
erkembangan" (development) merupakan salah satu dari
gagasan-gagasan yang paling membingungkan dalam ilmu-ilmu
;
&utandyo <ignjosoebroto, Hukum Dalam +asyarakat (Perkem"angan dan +asala!$ Se"ua!
Pengantar ke ,ra! a#ian Sosiologi Hukum, >akultas Ilmu &osial dan Ilmu olitik 2ni6ersitas
(irlangga, &urabaya, ,--7, hal. ,;1
=
sosial. erkembangan telah menjadi obyek kritikan yang
berkepanjangan bahkan sejak masa kejayaan e6olusionisme pada
abad ke 19. /amun, upaya untuk merasionalkan sejarah
kelembagaan tampaknya memerlukan pemahaman mengenai
kepastian arah, pertumbuhan atau kehan'uran. Dalam ilmu
hukum terdapat pula pemahaman intuitif bahwa beberapa bidang
hukum lebih berkembang" dibanding bidang hukum lainnya,
bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola
pertumbuhan atau kehan'uran. 8os'o ound merupakan salah
seorang diantara mereka yang berpendapat, adalah hal yang
tepat untuk memikirkan$.tahap-tahap perkembangan hukum
dalam sistem-sistem yang telah men'apai tahap kematangan".
=
emikiran hilipe /onet dan hilip &el0ni'k dalam konsep berhukum,
membedakan tiga jenis hukum yaitu# hukum represif, hukum otonom dan hukum
responsif. Dari bingkai pemikiran hukum yang lebih responsi6e untuk keadilan
sosial yang membumi digagas oleh /onit san &el0ni'k tersebut diatas, kaitan
dengan penegakan pembangunan hukum di Indonesia, dengan problematika dan
solusi yang ada.
Menelisik tiga jenis hukum 3!ukum 8epresif, !ukum ?tonom, dan
!ukum responsi6e5 sebagai optik melihat wajah penegakan hukum di Indonesia,
yang dikonsep oleh /onet dan &el0ni'k, maka se'ara umum penegakkan hukum
di Indonesia setelah penulis membuka kembali pengamatan di lapangan,
sebenarnya yang paling 'o'ok untuk menghadapi globalisasi hukum, seharusnya
kedepan posisi Indonesia tidak pada karakteristik tunggal, yaitu ketiga jenis
hukum tersebut ada pada posisi Indonesia. /amun bagian-bagian tertentu sangat
=
hilipe /onet dan hilip &el0ni'k, Op$ -it$ hal. ,*, ,=-,7
@
dominan ketimbang jenis hukum represiflah yang sangat dominant kemudian
terdapat juga jenis hukum otonom dan sebagian ke'il jenis hukum responsif.
enegakan !ukum dengan produk hukum, walaupun saling keterkaitan
bahkan saling menentukan dalam 'ara berhukumnya, namun produk hukum dan
penegakan hukum mempunyai masalahnya masing-masing. Dalam hal penegakan
hukum adalah men'akup setidaknya ada persoalan, yaitu peraturan perundang-
undangannya, aparat penegak hukum dan budaya masyarakatnya itu sendiri.
BAB II
PEMBAHAAN
A. Pem!a"aruan Penegakan Hukum Melalui Peraturan Perun#ang$
Un#angan.
7
&ebagaimana dijelaskan diatas, pada dasarnya materi peraturan
perundang-undangan yang kita gunakan selama ini, terutama yang banyak
difungsikan untuk kepentingan atau hajat hidup orang banyak seperti %<, <A&
dan lain sebagainya, dalam proses pembuatannya sangat jauh dari partisipasi
masyarakat 3nir-sosiologis5 tidak memerhatikan simbol-simbol kritik yang tampak
di masyarakat, walaupun materinya relati6e terstruktur dengan baik, namun
hanyalah berlaku se'ara rin'i dan sistemik bagi masyarakat biasa, dan sangat
lemah bagi pembuat hukumnya itu sendiri 3apalagi bagi pihak-pihak tertentu
memengaruhi atas kepentingannya dengan berbagai ma'am kompensasi5.
Tujuan pembuatan peraturan perundangan adalah untuk ketertiban dan
legitimasi yang juga mempertimbangkan kompetensi. &e'ara legitimasi, kita harus
akui disamping sebagai ketahanan sosial sebagai tujuan negara 3daerah-daerah
tertentu5, tetapi juga sudah men'apai legitimasi prosedural, walaupun belum
kepada substantif.
Dalam pembuatan peraturan perundangan hendaknya harus melahirkan
alternatif-alternatif yang mampu bertahan se'ara memadai, seperti di'ontohkan
/onet dan &el0ni'k 3dari .emeinsc!aft ke .eselsc!aft5. 2ntuk di Indonesia,
sebagai 'ontoh ke'il tentang pasal-pasal pen'urian dalam <A& masih sangat
kental sanksi-sanksi yang seharusnya tidak lagi memberikan sanksi bagi pen'uri-
pen'uri kelas ke'il, namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi rasa
keadilan sebagaimana konsepsi yang diabstraksikan dengan baik oleh /onet dan
&el0ni'k yaitu dari kekerasan ke keadilan. !al ini sangat penting, karena
4
dinegara-negara maju seperti Bepang tidak mengangap pen'uri kelas-kelas ke'il
itu sebagai penjahat, tetapi dibina sebagaimana penulis paparkan di muka.
B. Pem!a"aruan Penegakan Hukum Melalui A%arat Penegak Hukum.
%erbi'ara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan
sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia
peradilan kita sudah sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah
yang berperan utama atas kerusakan hukum di Indonesia. &ebagus apapun materi
peraturan perundang-undangan, kalau aparatnya rusak, maka hukum pun juga
bagaikan menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada juga
beberapa keberhasilannya, tetapi hanya mampu memproses penjahat kelas-kelas
ke'il, sepertiC orang-orang miskin dan bodoh yang tak punya akses pembelaan di
pengadilan dan mereka ini 3ribuan orang5 yang memenuhi rumah tahanan dan
lembaga permasyarakatan diseluruh penjuru tanah air. &e'ara tegas /onet dan
&el0ni'k menyatakan#
roduk hukum yang dihasilkan menjadi represif karena#
1. !ukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,
memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para
pegawai, pengutang, dan penyewa. enghilangan hak-hak istimewa tidak
harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
,. !ukum melembagakan ketergantungan. .aum miskin dipandang sebagai
tanggungan negara", bergantung kepada lembaga-lembaga khusus
3kesejahteraan, perumahan umum5, kehilangan harga diri karena
9
pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi 3misalnya
kriteria yang memisahkan kelompok kaya" dari kelompok miskin5.
Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan
penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya,
akan men'iptakan pola baru subordinasi.
*. !ukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan kelas yang
berbahaya", misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai
kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan opti' /onet dan &el0eni'k yang menggagas hukum se'ara
komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang lebih
responsi6e, yaituC dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi kekuasaan,
hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah represif dan
melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsi6e adalah hukum sebagai
fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang
berakar-pinak di masyarakat.
@
Ditegaskan /onet dan &el0eni'k bahwa seorang penguasa 3otoritas
penegak hukum5 yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan sebagai
sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik tidak bisa
dipaksa untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah
kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik
kemauan se'ara sukarela, apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat
oleh aturan tersebut, dan yang sangat penting penyelenggaraan peradilan tidak
@
(.(.D. eters dan .oesrini &iswosoebroto, Hukum dan Perkem"angan Sosial, %uku Teks
&osiologi !ukum 3%uku III5, Bakarta# ustaka &inar !arapan 3199-5, hal. 1@;
1-
berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum dengan berbagai
kepentingannya, ke'uali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
ada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia, menurut
abstraksi teori-teori /onet dan &el0eni'k ini sebagaimana disampaikan dimuka
sangat tidak tepat berkarakter tunggal, tetapi 'ampuran, yaitu men'akup ketiga
model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif lebih dominan dari
model otonom dan terlebih model responsi6e sebagian ke'il dan sejalan
e6olusinya juga mengarah kepada hukum responsi6e.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di
Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi
monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada
umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga
ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia.
7
ersenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara sangat
tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap
tugas yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah, maka kontrol
masyarakat tidak berdaya. &e'ara sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga
bagian yang mewarnai sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan
hukum, yaituC pertama, kekerasan yang dilakukan aparat semurninya untuk
menjaga keteraturan atau ketertiban dan menegakkan kedaulatan negara, kedua,
kekerasan yang dilakukan aparat atas kepentingan aparat pemaksa yang
sesungguhnya adalah indi6idu-indi6idu yang sarat kepentingan pribadi tetapi
7
hilipe /onet dan hilip &el0ni'k, Op$ -it$ hal. ;7- ;4
11
mengatasnamakan kepentingan negara. !al itu dilakukannya karena kepentingan-
kepentingan mereka atau organisasi-organisasi mereka sangat dominan ketimbang
mereka sebagai abdi negara atau abdi masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang
sering dikatakan aparat penegak hukum sebagai o"#ect pro"lem terutama bagi
masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh 3sudah menjadi pemandangan
diseluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur orang-orang miskin dan
gepeng, namun tak mau berpikir men'ari maknanya untuk menggusur
kemiskinan, apalgi melakukannya5.
&ehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang
diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsi6e oleh /onet dan
&el0eni'k tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur penegak
hukum di Indonesia yang lebih konprehensif berlandaskan komitmen dan
moralitas yang tinggi. !al itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara prodik
hukum dan pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum sesuai 'ita diri
bangsa Indonesia.
&. Pem!a"aruan Penegakan Hukum Melalui Bu#a'a Mas'arakat.
&ebagaimana beberapa pokok pikiran /onet dan sel0eni'k antara lain
disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan konformitas
budaya. Dalam hal mana masyarakat modren, seperti juga halnya pada
masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat mendukung
1,
kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam memelihara
ketertiban. .emudian /onet dan &el0eni'k lebih lanjut menyatakan bahwa#
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah
moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk
mempertahankan komunitas patuh" 3community of
o"servance5. Moralisme hukum paling baik dipahami sebagai
patologin alami dari institusionalisasi, yakni upaya untuk
membuat nilai-nilai menjadi efektif guna memberikan panduan
bagi tingkah laku manusia.
4
&ementara itu +smi <arassih 3,--=5, mengatakan bahwa peranan kultur
hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan a'ap kali berhubungan
dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya berikut#
?leh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat
sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada
diantara berbagai faktor (interc!ange). Dalam konteks yang
demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak
sekedar sebagai suatu rumusan hitam putih" ("lue print) yang
ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
!ukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati
di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga
masyarakatnya.
Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan
antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama
faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang
selanjutnya disebut dengan kultur hukum.
9
4
I"id, hal. =1
9
+smi <arrasih ujirahayu, Pranata Hukum Se"ua! )elaa! Sosiologis, T. &uryandaru 2tama,
&emarang, ,--=, hal. 74
1*
%erangkat dari pemikiran diatas, kaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya
hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan dimuka, sangat lah
majemuk (plural society) paling tidak, ada 19 persekutuan atau keluarga hukum
yang berkelindan pada masing-asing territorial adatnya. Dari sosial budaya yang
berma'am-ma'am termasuk perbedaan antara kota dan desa 3ada masyarakat
organi' dan ada masyarakat mekanik5, maka tesis /onet dan&el0ni'k tersebut
se'ara relatif sangat berjalan dengan fakta empirik budaya hukum bangsa
Indonesia, namun untuk se'ara totalitas mengondisikan kepada model penegakan
hukum yang otonom kemudian kepada responsi6e tampaknya perlu proses yang
lebih baik lagi. !al ini sangat beralasan, karena disinyalir dalam tesisnya /onet
dan &el0eni'k bahwa tak ada re0im 3re0im dengan model hukum5 yang dapat
bertahan tanpa landasan berupa persetujuan dari warga negara yang diberikan
se'ara sukarela".
BAB III
PENU(UP
A. Kesim%ulan
Teori-teori hukum aliran positi6isme adalah paradigma saintifik yang
merambah pada tataran pemikiran ketertiban masyarakat bersejalan dengan tertib
hukum sejak abad 19. kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia,
1;
paradigma tunggal legal positivism bukanlah berarti tidak baik, namun se'ara
fungsionalnya dalam memahami, manganalis dan lebih dalam untuk mengontrol
karakteristik kehidupan yang pluralistik berformat regional, nasional maupun
global adalah sudah tidak memadai dan perlunya pemikiran alernatif. %anyak
aliran hukum yang digagas para ahli, misalnya meramuC aliran legal positivism,
aliran %reie Rec!ts"ewegung, aliran Rec!tsvinding, atau aliran-aliran dalam
format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia
seutuhnya.
enegakan supremasi hukum adalah sebuah upaya manusia untuk
menggapai keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya. Dalam hal mana
penegakan tersebut, yang pokok adalah menyinergikan ketiga pilarnyaC peraturan-
perundangan, aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakatnya.
?ptik /onet dan &el0eni'k terhadap penegakan hukum di Indonesia yang
legisme (legal positivism), mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori
besarnya hukum responsif". Model yang ditawarkan tersebut sangat 'o'ok
dengan pluralisme dan realisme bangsa Indonesia berhukum dan potensi untuk
penegakan hukum sesuai modelisasi serta tahapnya kepada hukum responsif
se'ara totalitas sangat memungkinkan sepanjang aparat pembuat dan penegak
hukum mempunyai komitmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam kekerasan aparat penegak hukum di Indonesia, tesis /onet dan
&el0ni'k dapat distrukturkan menjadi tiga# pertama, kekerasan murni atas
kepentingan negara, edua, kekerasan sebenarnya untuk kepentingan indi6idu,
organisasi atau golongan, tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, ketiga,
1=
kekerasan sebagai 'ara-'ara lain tidak ada yang bisa dilakukan 3biasanya
dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang tidak ada akses untuk
mengad6okasikan hak-haknya sebagai warga negara5.
DA)(A* PUKA(A
(.(.D. eters dan .oesrini &iswosoebroto, Hukum dan Perkem"angan Sosial,
%uku Teks &osiologi !ukum 3%uku III5, Bakarta# ustaka &inar !arapan
3199-5
+smi <arrasih ujirahayu, Pranata Hukum Se"ua! )elaa! Sosiologis, T.
&uryandaru 2tama, &emarang, ,--=
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, )*+&, ,--1
1@
Moh. Mahfud MD, Sari ulia! e"i#akan Pem"angunan Hukum Pada Program
Doktor Ilmu Hukum PPs$ %H$ &II, 1ogyakarta# s 2II 3,--45
&abian 2sman, Dasar-Dasar &osiologi !ukumC Makna Dialog (ntara !ukum dan
Masyarakat, ustaka elajar, 1ogyakarta, ,--9
&utandyo <ignjosoebroto, Hukum Dalam +asyarakat (Perkem"angan dan
+asala!$ Se"ua! Pengantar ke ,ra! a#ian Sosiologi Hukum, >akultas
Ilmu &osial dan Ilmu olitik 2ni6ersitas (irlangga, &urabaya, ,--7
hilipe /onet dan hilip &el0ni'k, (aw and Society in )ransition* )oward
respons (aw, !aper 7 8ow, 1974 3Terjemahan 8aisul Mutta:ien5
diterbitkan oleh enerbit /usa Media, ,--4
17

Anda mungkin juga menyukai