Anda di halaman 1dari 34

PENEGAKAN HUKUM DAN PENINGKATAN MORALITAS

PENEGAK HUKUM DI INDONESIA DALAM KAJIAN TEORI


HUKUM

A. Pendahuluan
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akhir-akhir ini mengalami
pasang surut dengan krisis yang multi dimensi, termasuk krisis moral dan
penegakan supremasi hukum. Setiap masyarakat dan bangsa memiliki system
moral, standar moral, tujuan moral dan norma moral, begitu pula agama-agama
yang berkembang di seluruh dunia ataupun hanya dianut oleh penganutnya
diwilayah tertentu juga mempunyai sendiri. Untuk Indonesia system moral islam
telah mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia dalam tingkah lakunya dan
dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagaimana Prof.
Hazairin, SH dalam pidato pengukuhannya mengatakan bahwa nilai-nilai yang
dimiliki bangsa Indonesia adalah :
Tiga macam cita-cita tentang kesempurnaan hidup perseorangan di tengah-tengah
masyarakatnya, cita-cita yang telah menjadi darah dagingnya, menjadi tujuan dan
pakaian hidupnya sehari-hari, yakni pertama kebersihan rohani yang bersifat
dalam kata ber-Tuhan, kedua kesopanan tersirat dalam kata beradat dan ketiga
kesantunan, ramah tamah dalam tutur dan ujar yang tersirat dalam kata berbahasa.
Pendeknya, ber-Tuhan, beradat dan berbahasa adalah segi tiga dasar hidup
perseorangan yang juga berarti dasar hidup kemasyarakatan.( Ichtijanto, 2005:
74)
Karena menjadi dasar hidup perseirangan dan hidup kemasyarakatan, maka ketiga
segi tiga dasar tersebut mempengaruhi bentuk dan substansi hukum yang
dibangun di Indonesia, dan inilah yang menjadi pokok bahasan dalam paper ini.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia hingga abad ke XXI penuh dengan liku-liku
yang membawa perubahan dan banyak memerlukan pengorbanan baik segi

1
fisik/kejiwaan maupun materiil. Termasuk juga didalamnya perubahan
kepemimpinan yang membawa bangsa kita memasuki era reformasi sejak tahun
1998 di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat.
Namun reformasi seperti sekarang ini, banyak orang menilai reformasi yang
kebablasen. Reformasi yang sepertinya semau gue, reformasi yang berbicara atas
dasar kebebasan. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat Indonesia, disuguhi suatu
peristiwa hukum yang melibatkan institusi besar baik itu KPK maupun POLRI,
meskipun sudah mereda setelah Kepala Nagara Turun tangan dengan membuat
stitment di media. Institusi penegak hukum yang saat ini tengah dipertaruhkan
eksistensinya sebagai lembaga penegak hukum di bumi pertiwi ini. Tidak
terkecuali penegak hukum lain yaitu kejaksaan. Terungkapnya pembicaraan-
pembicaraan kasus yang sedang di sidik KPK, yang melibatkan Institusi
kepolisian, menggambarkan betapa Keadilan jauh dari harapan. Sepertinya Aparat
penegak hukum bisa dibeli, sehingga menuruti apa kemauan si pembeli keadilan.
Hal ini dapat disimak dengan maraknya makelar kasus yang menjadikan kasus ini
jadi tambah ruwet. Rusaknya tatanan hukum ini tentunya tidak terlepas dari
oknum-oknum yang turut bermain di dalamnya baik itu aparat penegak hukumnya
maupun markus (makelar kasus) yang setiap saat bergentayangan. Masyarakat
umum dibuat pusing oleh pemberitaan-poemberitaan media, yang selalu
meramaikan pemberitaan setiap harinya. Kasus Bank Centuri, Kasus Hambalang
bahkan terakhir kasus Impor Daging Sapi. Kasus Pengadaan AlQur”an pun tak
luput dari jarahan korupsi dan masih banyak lagi kasus-kasus penegakan hukum
yang melenceng, jauh dari harapan keadilan. Sayangnya aparat penegak hukum
selalu berkilah, apa yang sudah dilakukannya sudah sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.
Berbicara masalah hukum, salah satu perjuangan monumental bangsa
Indonesia yang menentukan nasib bangsa antara lain perjuangan untuk
memasukkan bidang hukum sebagai bidang yang terlepas dan tidak lagi di bawah
politik. Hal ini untuk menyelaraskan seperti yang tertuang dalam penjelasan UUD

2
1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara kekuasaan belaka.
Dan dalam masa transisi seperti saat ini peranan hukum lazimnya hanya ditujukan
untuk mengisi kekosongan hukum sebagai dampak pemberlakuan hukum baru,
dalam arti hukum lama untuk memelihara kelangsungan kehidupan masyarakat.
Masa transisi dapat dikatakan sebagaimana lazimnya merupakan masa
peralihan dari masa lalu yang biasanya lebih buruk ke masa depan yang berharap
membawa harapan yang lebih baik. Masa yang penuh konflik-konflik social dan
konflik norma-norma (status quo ke norma yang baru). Jadi dalam masa transisi
peranan hukum tidak ditujukan untuk menghadapi ataupun memberikan solusi
untuk mengatasi dampak gejala social. Hukum dalam masa kini tidak dapat
bekerja sendiri melainkan memerlukan bantuan pengetahuan tentang
kultur/budaya masyarakat.
Sungguh kontradiksi Negara RI yang berdasarkan UUD 1945 menganut
paham Negara hukum, maupun produk-produk hukum yang dihasilkan belum
mampu menjawab/mengatasi persoalan bangsa.
Inilah yang merupakan perkembangan controversial di bidang hukum, di satu
pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum
menunjukkan peningkatan. Namun di pihak lain tidak diimbangi dengan
peningkatan integritas moral, profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum,
mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga
mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.
Situasi seperti tersebut diatas sering menimbulkan pertanyaan atau keragu-raguan
masyarakat yang berakibat wibawa hukum hilang dan krisis kepercayaan terhadap
aparatur penegak hukummenurun.
Menghadapi ruwetnya masalah hukum di Indonesia, apabila kita menyimak
dan mengikuti terus perkembangan dari waktu ke waktu tentunya salah satu cara
penyelesaian adalah dilakukannya reformasi ditubuh lembaga penegak hukum.
Citra Kejaksaan yang terus menurun, citra lembaga Kepolisian maupun
Pengadilan yang akhir-akhir ini jatuh dan menuai kecaman disana-sini tentunya

3
perlu mendapatkan perhatian serius orang nomor satu di negeri ini yaitu Presiden
Susilo Bambang Yudoyono untuk mengambil langkah-langkah pembersihan
tubuh lembaga penegak hukum dari orang-orang bermasalah, atau dari orang-
orang yang seharusnya bertanggung jawab terjadinya kisruh masalah hukum di
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Bahkan kader-kader partai yang
berslogan partai peling bersih, Partai Politik yang berslogan Katakan tidak pada
korupsi, ternyata hanyalah slogan belaka, buktinya masih banyak lagi kader
partai yang tersngkut tindak pidana korupsi. Reformasi inilah langkah yang tepat,
namun hal ini tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan dan butuh
komitmen kuat dari semua elemen bangsa.

B. Permaalahan
Tulisan ini mencoba mengkritisi masalah penegakan hukum di Indonesia.
Penulis tertarik, mengingat saat ini tengah terjadi suatu peristiwa hukum yang
penyelesaiannaya tengah dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Dalam makalah
ini penulis mencoba utuk mengulas tentang bagaimanakah Penegakan Hukum di
Indonesia dalam kaitannya dengan Teori hukum ?

C. Pembahasan
1. Fungsi Hukum
Sebagaimana yang telah kita ketahui, deklarasi HAM yang telah
disepakati oleh sebagian besar anggota PBB dan telah menjadi rujukan dan
penerapan HAM di seluruh dunia, namun tentunya deklarasi HAM tersebut
disesuaikan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB tahun 1948 sebenarnya
bukan hal yang baru bagi kita karena Indonesia telah lebih dahulu
memasukkannya dalam UUD 1945, yang sama memberikan pengakuan atas
martabat kodrati hak-hak yang sama dan tidak dicabut bagi semua orang
sebagai landasan hakiki bagi kebebasan dan perdamaian.

4
Begitu pentingnya HAM sehingga perlu dituangkan dalam Perjanjian
Internasional HAM yang merupakan inti dari langkah PBB untuk melindungi
HAM serta kebebasan dasar yaitu Konvensi Hak-Hak Sipil & politik serta
Kovensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Secara umum HAM
Universal telah diterima tetapi dalam penerapannya perlu disinkronisasikan
dengan pandangan yang tertuang dalam program pembangunan nasional
maupun perkembangan kebutuhan hukum di Indonesia.
Jaminan perlindungan bagi HAM dan adanya asas legalitas hukum
merupakan cirri-ciri Negara hukum disamping peradilan yang bebas. Jadi
antara HAM, demokrasi dan kepastian hukum saling terkait. Untuk
mewujudkan supremasi hukum diperlukan adanya penghormatan terhadap
HAM yang memerlukan situasi alam demokrasi sehingga ada kepastian
hukum. Sebagaimana yang ditulis oleh Moh. Mahfud MD, “Hubungan antara
demokrasi dan hukum ibarat dua sisi sekeping mata uang, dapat disimpulkan
bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya.
Artinya, Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum
yang berwatak demokratis sedangkan di Negara-negara yang otoriter atau non
demokratis akan lahir hukum-hukum non demokratis”.(Moh.Mahfud.MD,
1999: 53)
Kepastian hukum dapat diwujudkan apabila kita memiliki aparat
penegak hukum yang bersih dari korupsi, kolusi dan tidak sepenuhnya
nepotisme. Dikatakan demikian karena untuk menghilangkan nepotisme tidak
dapat 100% hanya mengurangi, ini disebbabkan oleh kultur bahkan sifat dasar
manusia yang mempunyai sifat ego sekalipun itu Negara maju.
“Inti dari pandangan egoism adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada
dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan
dirinya sendiri”. (Darji Darmodiharjo, 2002: 266).
Sikap ini pula yang merupakan salah satu tujuan agar manusia dalam
berkarya ada rasa nyaman, namun harus diimbangi sikap manusia

5
bermoralitas otonomi yaitu dalam melakukan kewajiban-kewajiban tanggung
jawabnya berdasarkan kesadaran diri dengan mempertimbangkan suara hati
yang memiliki kebebasan dalam mengungkapkan dan sadar harus
dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan.
Oleh sebab itu nepotisme sulit untuk dihilangkan sebagai contoh untuk
merekrut seorang staf, paling tidak harus mengenalnya terlebih dahulu (bibit,
bebet. Bobot) dalam perekrutan itulah dituntut moralitas otonomi.
Ibnu Khaldun dalam abad ke XIV telah mengatakan bahwa akar dari
korupsi adalah rangsangan untuk hidup mewah dari elit penguasa, yang
mengakibatkan rantai korupsi berkelanjutan yang akhirnya menghancurkan
ekonomi suatu Negara. Indonesia sudah sejak lama dinyatakan sebagai salah
satu Negara yang terkorop di dunia (rangking yang berkisar 1 – 5) bahkan
pertama di Asia Tenggara dan ini telah membudaya di Indonesia.
Kita sama-sama mengetahui standar gaji khususnya untuk Pegawai
Negeri Sipil (PNS) golonga III ke bawah sangat kecil berbeda dengan eselon
II & I termasuk hakim dan jaksa, anggota legislative bahkan eksekutif yang
menurut “rumus matematika” sudah lebih baik cukup (contoh anggota DPRD
di wilayah Riau ada yang bergaji Rp. 40 juta karena Pendapatan Asli
Daerahnya Tinggi).
Disampiung itu mereka dapat fasilitas mobil bahkan pemakaian listrik
dan air dibayar oleh kantor bahkan ada dana “taktis”. Kesenjangan ini salah
satu yang menjadi pemicu gerakan reformasi disegala lini. Dan diperparah
dengan masuknya aparat penegak hukum yang ikut “menggerogoti” kue
pembangunan, yang seharusnya bertindak sebagai abdi masyarakat dan
mengayomi masyarakat”.
Bagaimana pembangunan khususnya dibidang hukum dapat berjalan
apabila yang seharusnya menjadi pengawas ikut pula menggerogoti (seperti
Inspektorat Jenderal, Kejaksaan, dll) terutama dunia peradilan.

6
Wajarlah kalau “Daniel S. Lev menuliskan bahwa untuk memperbaiki
penegakan hukum di Indonesia yang sudah memprihatinkan, harus dimulai
dengan perbaikan serta peningkatan citra dan wibawa peradilan, walaupun
wibawa dan citra kejaksaan dan kepolisian juga terus diusahakan.(Awaloedin
Djamin, 2999:148)
Pembenahan aparat penegak hukum merupakan suatu konsekwensi
logis dari “paradigma pembangunan hukum yang aspiratif terhadap
perkembangan HAM dan budaya bangsa mulai dikedapankan” (Romli
Atmasasmita, 2001: 20), dan berorientasi pada pandangan “Supremacy of
law”
Pembangunan hukum tersrbut meliputi 3(tiga) bidang yaitu:
(1) Bidang hukum yang berorientasi kepada bidang ekonomi yang bersifat
“markrt-oriented”
(2) Bidang hukum yang berorientasi kapada pembangunan bidang politik ;
dan
(3) Bidang hukum yang berorientasi kepada pembangunan bifang social.
Pembangungn hukum dapat berjalan dangan lancar apabila segala
komponen di masyarakat ikut mengawasinya sehingga fungsi hukum
berlangsung dengan baik
Dalam pengawasan tersebut tentunya ada yang menjadi titik berat
tanggung jawabnya yaitu aparat penegak hukum yang kadang kalanya dalam
bertugas ada bersinggungan dengan HAM.Ini yang menjadi suatu dikema
disanping peraturan harus ditagakkan tetapi ada seseorang hak asasinya harus
dibatasi.
Sebagai contohnya di dalam menjalankan peranan sebagai penduung
dalam penegakan hukum & HAM, Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
& HAM yang mengemban sebagian tugas dari Departemen Kehakiman ;
bersama jajaran dibawahnya (Imigrasi, Pemasyarakatan dan pengadilan)
secara optimal dengan kemampuan yang terbatas untuk memberikan

7
pengawasan terhadap lalu lintas orang asing maupun warga Negara yang
datang ataupun keluar wilayah RI.
Pengawasan lalu lintas orang asing yang paling utama disandang oleh
imigrasi selaku penjaga pintu gerbang Negara, sebagai aparat terdepan turut
melaksanakan penegakan supremasi hukum & penghormatan terhadap HAM.
Sebagai penjaga pintu gerbang Negara, imigrasi mempunyai fungsi sesuai
dengan paradigma baru yaitu sebagai pelayanan masyarakat, penegak hukum
dan fasilitator ekonomi dan fungsi ini juga dalam menyambut perkembangan
perekonomian internasional yang berlangsung dengan pesat.
Dan dalam rangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang pernah
dilaksanakan, merupakan peluang yang harus dimanfaatkan yang terjadi
transaksi perdagangan internasional antara Negara, pertumbuhan perusahaan-
perusahaan multinasional, transfer of technology/ sumber daya manusia dan
masuknya investasi asing.
Dari fenomena persaingan yang semakin mengglobal sebagai akibat
berbagai kepentingan antara manusia baik secara individu, organisasi non
pemerintah maupun kepentingan organisasi pemerintah mengakibatkan
mobilitas perlintasan manusia antara Negara dan bukan tidak mungkin
membawa dampak negative berupa terjadinya bentuk kejahatan.
Sehubungan dengan Tri fungsi Imigrasi tetap menggunakan “Selective
Policy” untuk menghadapi masalah tersebut & bukan dimaksudkan untuk
melecehkan HAM akan tetapi untuk kepentingan bangsa & Negara kita; siapa
saja boleh dating ke Negara kita akan tetapi kalau merugikan Negara kita
persilahkan ke luar dari wilayah RI.
Selective Policy merupakan bentuk pengawasan pembangunan
khususnya di bidang hukum yang berkaitan dengan fungsi penegakan hukum
(terdapat unsure sekuriti) juga termasuk pencegahan dan penangkalan orang
asing/WNI.

8
Jadi dapat kita bayangkan kalau kita tidak memiliki aparat penegak
hukum yang tangguh/bermoral tinggi (contoh diatas imigrasi) dapat dipastikan
hukum tidak berfungsi dan yang lebih extrim lagi Negara kita dapat “dibobol”
dengan orang asing yang dating hanya semata-mata mengeruk sumber daya
Indonesia akibatnya bangsa kita makin terpuruk.
Untuk memiliki aparat penegak hukum yang tangguh, paling tidak kita
harus mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum:
1. factor hukumnya sendiri (termasuk Undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
penerapan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta & rasa didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima factor tersebut saling terkait yang mau tidak mau membawa
dampak bagi pembangunan & pengawasan di bidang hukum, namun sesuai
ajaran agama, apabila seorang manusia memiliki integritas moral yang tinggi
dan diserai komitmen bertanggung jawab, ‘Faktor-faktor tersebut mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
factor tersebut”
Meskipun kondisi tersebut kurang menggembirakan bagi kita, fungsi
hukum harus tetap dijalankan :” sekalipun langit akan runtuh hukum tetap
akan ditegakkan”.
Fungsi hukum sangat erat kaitannya dengan HAM & untuk
mewujudkan kondisi penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat
manusia diperlukan adanya suasana demokrasi dan untuk mewujudkan
demokrasi perlu adanya kepastian hukum menuju supremasi hukum. Untuk
menuju supremasi hukum diperlukan adanya aparat penegak hukum yang

9
mempunyai tugas untuk mengisi pembangunan hukum. Dan dalam
melaksanakan tentunya diperlukan pengawasan pembangunan hukum itu
sendiri. Inlah yang menimbulkan suatu permasalahan.
Adapun permasalahan yang timbul bagaimana pengawasan pembanguinan
di bidang hukum dapat sesuai dengan visi dan misi Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanpa harus menimbulkan masalah baru yang terkait dengan Hak
Asasi Manusia (HAM). Dan penulisan makalah ini bertitik tolak dan terfokus
kepada hubungan hukum dan moral menggunakan teori-teori ilmiah
akademis, sehingga kerangka pikir penulis akan menggambarkan Hubungan
hukum dan moral yang berkembang di Indonesia selama ini dan bagaimana
yang seharusnya dalam membangun Indonesia yang diidam-idamkan.

2. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan.
Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners,
morals. Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab)
atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati
nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.
Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi
etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruknya, yang
diterima masyarakat umum tentang sika;, perbuatan, kewajiban dan
sebagainya.
Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bias melakukan proses
sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implicit karena
banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut
pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan disekolah-sekolah
dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.

10
Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakat, maka orang itu dinilai mempunyai
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya
dan agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak
yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan
sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.
Pengertian moral juga bisa diartikan secara sederhana adalah sikap
seseorang yang terungkap dalam tingkatan nyata dan baik sebagai
pencerminan dari kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawabnya.
“istilah moral mempunyai pengertian yang sama dengan etika
walaupun asal katanya berbeda, moral berasal dari bahasa latin mores,
sedangkan etika dari bahasa Yunani ethos, keduanya mempunyai pengertian
the custum at way of life. Untuk membedakan kedua pengertian itu, sekarang
dikenal dengan kata moral untuk mewujudkan perbuatan, moral act,
sedangkan penyelidikan tentang moral sering diungkapkan sebagai ethical
code. Dalam hal ini maka etika lebih bersifat teori, sedangkan moral lebih
menunjukkan praktek.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar “orang tak bermoral”
berarti menunjukkan perbuatan yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab.
Para filosuf sudah cukup banyak menjelaskan tentang moral, misalnya
E Durkhiem : “Moralitas dalam segala bentuk tidak dapat hidup kecuali dalam
masyarakat, ia tidak akan tumbuh kecuali dalam hubungannya dengan
kondisi-kondisi social. Dalam kata lain moralitas tidak bersumber pada
individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala
masyarakat”.

11
Sementara itu Immanuel Kant, memberikan pengertian sebagai berikut:
“Moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah
(mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati).
Moralitas terhadap apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar
akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung.
Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral”.
Setiap masyarakat dan bangsa memiliki sistim moral, standar moral
dan norma moralnya sendiri, seperti moral Pancasila bagi bangsa Indonesia,
begitu pula setiap agama mempunyai sistim moral, agama-agama wahyu pada
umumnya mempunyai pandangan yang luas tentang manusia, alam dan moral
manusia. System moral Islam didasari dengan iman, berkembang dengan
ibadah dan diwarnai dengan rasa keagamaan yang hidup dalam diri manusia
muslim, sistim moral Islamn itu telah mempengaruhi kehidupan manusia
Indonesia dalam tingkah lakunya dan dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

3. Pemahaman Hukum
Apakah hukum itu? Tidak mudah untuk memberi jawaban atas
pertanyaan ini.
Menurut Van Apeldoorn tidak mungkin memberi suatu pengertian
(definisi) hukum.
Lemaire dalam bukunya Hukum di Indonesia (Het rech in indonesie)
mengatakan : “Hukum yang banyak seginya serta yang meliputi segala
lapangan itu menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa
hukum itu sebenarnya”.
Mr. Dr. Kisch dalam karangannya “Rechtswetnschap” mengatakan
bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh pancaindera,

12
maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang “hukum” yang
memuaskan umum.
Prof. Sudiman dalam ”Pengantar Tata Hukum di Indonesia”
mengatakan “Hukum adalah pikiran/anggapan orang tentang adil dan tidak
adil mengenai hubungan antara manusia”.
Grotius dalam “De Jure Belli ac facis” tahun 1625 mengatakan : “Hukum
adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan”.
Van vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Nederland Indie” mengatakan
:”Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus
menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan
gejala-gejala lainnya”.
Pengertian sebagai pegangan :
Sekedar sebagai pegangan bagi orang yang sedang belajar hukum dapat
dipakai pengertian yang berikut:
“Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat
memaksa, berisikan suatu perintah, laranngan atau izin untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan masyarakat”.
Dengan peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan
perundangan, maupun yang tidak tertulis (peraturan kebiasaan). Dengan
peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan perundangan,
maupun yang tidak tertulis (peraturan kebiasaan).
“Hukum adalah peraturan-peraturan hidup” peraturan-peraturan yang
mengadakan tata tertib dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat
sehari-hari itu. Jadi berbicara tentang hukum sesungguhnya sama saja dengan
berbicara tentang kehidupan manusia-manusia dalam masyarakat
dilihat/disoroti dari sudut tertentu yaitu sebagai kehidupan masyarakat yang
teta tertib.

13
Pengertian hukum juga dapat diartikan sangat beragam antara lain
sebagai berikut:
a. Hukum adalah produk ekupusan penguasa; perangkat peraturan yang
ditetapkan penguasa, seperti UUD dan lain-lain;
b. Hukum adalah produk keputusan hakim, yaitu putusan-putusan yang
dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal
dengan precedent in law (ilmu hukum);
c. Hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas huum, seperti polisi yang
sedang bertugas;
d. Hukum adalah sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai
hukum, disebut aturan atau hukum;
e. Hukum adalah sistim norma/kaidah adalah aturan yang hidup ditengah
masyarakat. Kaidah/norma/hukum ini dapat berupa norma kesopanan,
kesusilaan, agama dan berlakunya mengikat pada seluruh anggota
masyarakat dan mendatangkan sanksi bagi pelanggarnya;
f. Hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku dan
mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik menyangkut
kepenitngan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan Negara
(hukum public), hukum sebagai tata hukum keberadaannya digunakan
untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarki;
g. Hukum diartikan tata nilai yaitu hukum mengandung nilai tentang baik
buruk, salah benar, adil tidak adil, dan lain-lain yang berlaku secara
umum;
h. Hukum dapat diartikan sebagai ilmu yaitu diartikan sebagai pengetahuan
yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif dan universal.
i. Hukum diartikan sebagai sistim ajaran yaitu hukum dikaji dari dimensi
dass sollen dan dass sein, sebagai dass sollen hukum menguraikan hukum
yang dicita-citakan, sehingga melahirkan hukum yang seharusnya
dijalankan. Adapun dari sisi dass sein merupakan wujud pelaksanaan

14
hukum pada masyarakat. Keduanya harus seimbang antara teori dan
praktek karena kalau salah satu menyimpang maka akan terjadi
penyimpangan pelaksanaan hukum
j. Hukum diartikan sebagai gejala social yaitu hukum merupakan suatu
gejala yang berada di masyarakat, hukum bertujuan mengusahakan
adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam
masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Sehingga
perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerja sama positif
antar anggota masyarakat dapat berjalan dengan aman.
Adapun tentang hukum islah, para ahli hukum mendefinisikannya dalam
dua sisi, yaitu hukum islam sebagai ilmu dan hukum islam sebagai produk
ilmu. Sebagai produk ilmu hukum islam disebut dengan kumpulan hukum
syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad.
Hukum islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang
mengupayakan lahirnya hukum syara’ amali dari dalil-dalil terperinci.
Dari definisi hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu
meliputi beberapa unsure sebagai berikut:
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut tegas.
Disamping adat istiadat tadi, ada kaidah yang mengatur kehidupan
manusia yaitu hukum, yang biasanya dibuat dengan sengaja dan mempunyai
sanksi yang jelas. Hukum dibuat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan
masyarakat agar terjadi keserasian diantara warga masyarakat dan system
social yang dibangun oleh suatu masyarakat. Pada masyarakat modern hukum
dibuat oleh lembaga-lembaga yang diberikan wewenang oleh rakyat.
Keseluruhan kaidah dalam masyarakat pada intinya adalah mengatur
masyarakat agar mengikuti pola perilaku yang disepakati oleh system social

15
dan budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku
merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan
harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan
manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat
tadi. Pola perilaku berbeda dengan kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara
bertindak seseorang yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang
lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada
khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain dinamakan
social organization.

4. Masuknya Moral dalam Hukum


Masuknya moral dalam hukum akan mempengaruhi perubahan hukum
dan penegakan hukum, moral demokrasi misalnya sangat mempengaruhi
hukum dan perubahannya, bahkan mempengaruhi pola pelaksanaan hukum
dan penegakan hukum seluruh lapisan hukum, hukum pidana, perdata,
perburuhan, tata Negara, hukum acara dan lain-lain bidang hukum
terpengaruh oleh moral demokrasi.
Pandangan moral dan ajaran moral yang dianut dalam hukum, sangat
mempengaruhi bidang dan lapangan hukum yang ada yang perlu dibangun.
Berbeda dengan falsafah hukum barat yang berdasarkan individualisme,
hukum hanya terkait dengan masalah hubungan antara orang sebagai subjek
hukum. Hubungan manusia dengan alam sekitarnya terlambat dipikirkan dan
hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam tidak dikenal sama sekali
dalam falsafah hukum barat, sebagaimana digambarkan oleh Ichtijanto
sebagai berikut:
“Hukum bagi masyarakat barat yang indivialistik adalah nilai-nilai
Rasional yang dipakai untuk mengatur hubungan antara manusia sebagai
subjek hukum agar hak dan kewajiban diantara warga masyarakat tertunaikan

16
dengan baik. Baik barat tidak bertuhan dan tidak mendudukan Tuhan dalam
konsep dan kontruksi hukum”.
Prof. Nasrun, mempernegas bahwa “ hukum barat mendewakan rasio,
berdasar individualisme dan tidak berdasar iman kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Karena itu pula dalam hukum barat tidak ada hukum ibadah dan tidak
ada hukum yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, hukum barat
berpangkal dari hak asasi tanpa ajaran hukum dan pembidangan hukum
tersendiri. Hukum sebagai aturan hidup bukan sebagai hasil karya budaya
manusia yang secara gradual tumbuh, namun yang lebih penting darinya
adalah bahwa manusia mengaku sebagai hamba Tuhan dan ada ketentuan
hukum Tuhan dan Rasulnya. Pada dasarnya agama-agama Samawi
mempunyai pandangan hukum dan pandangan moral demikian.

5.Budaya Hukum Masyarakatnya;


Dalam hal mana masyarakat modern, seperti juga halnya pada
masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat
mendukung kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam
memelihara ketertiban. Penulis mengambil pendapat Nonet dan Selznick
lebih lanjut menyatakan bahwa:
Mungkin lahan yang paling subur bagi moralisme hukum adalah
moralitas komunal, yakni moralitas yang ditanam kan untuk mempertahankan
“komunitas patuh” (community of observance). Moralisme hukum paling
banyak dipahami sebagai patologi alami dan institusionalisasi, yakni upaya
untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif guna memberikan panduan bagi
tingkah laku manusia.
Sementara itu Esmi Warassih (2005: 78), mengatakan bahwa peranan
kultur hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan acap kali
berhubungan dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya
berikut;

17
Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai
suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor
(interchange). Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman
terhadap hukum tidak sekadar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue
print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum hendaknya dilihat selagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam
masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga masyarakat.
Itu artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara
hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan
sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan kultur
hukum.
Berangkat dan pemikiran di atas, kaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya
hukum masya rakat Indonesia sebagaimana disebutkan di muka, sangatlah
majemuk (plural society) paling tidak, ada 19 persekutuan atau keluarga
hukum yang berkelindan pada masing-masing teritorial adatnya. Dan sosial
budaya yang bermacam-macam termasuk perbedaan antara kota dan desa (ada
masyarakat organik dan ada masyarakat mekanik), maka Nonet dan Selznick
tersebut secara relatif sangat bersejalan dengan fakta empirik budaya hukum
bangsa Indonesia, namun untuk secara totalitas mengondisikan kepada model
penegakan hukum yang otonom kemudian kepada responsif tampaknya perlu
proses yang lebih baik lagi. Hal ini sangat beralasan, karena disinyalir dalam
karya Nonet dan Selznick bahwa “tak ada rezim (rezim dengan model hukum)
yang dapat bertahan tanpa landasan berupa persetujuan dan warga negara
yang diberikan secara sukarela”.
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang
abstrak. Sekalipun abstrak tetapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya suatu kegiatan untuk
mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian kegiatan dalam

18
rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan merupakan suatu
proses penegakkan hukum (Esmi Warassih Pujirahayu, 2005: 78).
Pada penegakkan hukum bersinggungan dengan banyak aspek lain yang
melingkupinya. Suatu hal yang pasti, bahwa usaha untuk mewujudkan ide atau
nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor lainnya. Oleh
karena itu penegakkan hukum tidak dilihat berdiri sendiri, melainkan selalu
berada dia antara berbagai faktor. Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak
pemahaman terhadap hukum tidak sekedar “rumusan hitam putih” yang
ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum
hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam
masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga masyarakat.
Perhatian juga harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan
faktor-faktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta
pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan kultur hukum. Kultur
hukum itulah yang membuat perbedaan penegakkan hukum antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat lainnya.
Hukum sebagai suatu sistem perlu dilihat guna memahami lebih baik
persoalan hukum. Pengertian dasar yang terkandung dalam sistem adalah :
1. Sistem itu selalu berorientasi pada suatu tujuan;
2. Keseluruhannya adalah lebih dari sekeadar jumlah dan bagian-bagiannya;
3. Sistem itu selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu
lingkungannya;
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang
berharga.
Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa persoalan
hukum sangat kompleks. Di satu sisi hukum dipandang sebagai suatu sistem
nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh norma dasar. Norma dasar itulah
yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus penuntun penegakkan hukum.
Sebagai sistem nilai, norma dasar merupakan sumber nilai dan juga sebagai

19
pembatas dalam penerapan hukum. Dari perspektif lain, hukum merupakan
bagian dari lingkungan sosialnya. Dengan demikian hukum merupakan salah
satu subsistem diantara subsistem–subsistem sosial lain, seperti sosial, budaya,
politik dan ekonomi. Itu berarti hukum tidak dapat dilepas-pisahkan dengan
masyarakat sebagai basis bekerjanya.
Hukum bergerak di antara dua dunia yang berbeda, baik dunia nilai
maupun dunia sehari-hari (realitas sosial). Akibatnya, sering terjadi ketegangan
di saat hukum itu diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai-nilai itu
hendak diwujudkan, maka harus berhadapan dengan berbagai macam faktor
yang mempengaruhi dari lingkungan sosialnya.
Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertandingkan pola-
pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima
sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu
perubahan sosial. Bahkan, lebih dari itu hukum dipergunakan untuk
menyalurkan hasil-hasil keputusan politik. Hukum bukan lagi mengukuhkan
pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi
kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola prilaku
yang baru. Di dalam menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan
dengan nilai-nilai maupun pola-pola prilaku yang telah mapan dalam
masyarakat.
Hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada,
sehingga tidak heran kalau terjadi ketidak cocokan antara apa yang seharusnya
(das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Dengan perkataan ini,
muncul deskripansi antara law in the books dan low in action. Oleh sebab itu
Chamblis dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu
menyebutkan The myth of operation of the law to given the lie daily.
Selanjutnya, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu proses
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu
selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga

20
masyarakatnya. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai
yang ada dilingkungan yang sarat dengan pengaruh faktor-faktor non-hukum
lainnya.
Apabila kita hendak melihat hukum sebagai suatu sistem sebagaimana
telah diuraikan terdahulu, maka penegakan hukum sebagai suatu proses akan
melibatkan berbagai macam komponen yang saling berhubungan, dan bahkan
ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya,
ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient maupun useless
sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit terwujud. Komponen-
komponen tersebut meliputi substantive law, prosedural law, decision rules,
dan decision habits.
Komponen-komponen personel, dalam hal ini menyangkut manusianya,
merekalah yang membuat, melaksanakan maupun yang terkena sasaran
peraturan. Sebagaimana dijelaskan oleh Robert B. Seidman (dalam Esmi
Warassih Pujirahayu, 2005: 12)

21
Gambar : Bagan Teori Implementasi Hukum

Bekerjanya kekuatan-kekuatan personal dan sosial

Pembuatan
Undang-undang

Ub Ub

Nrm Pd
m
Penerapan
Sanksi
Pemegang Peran
Penegakan Hukum

Ub
Bekerjanya kekuatan-kekuatan Bekerjanya kekuatan-kekuatanpersonal

& sosial personal & sosial

Keterangan :
Ub adalah umpan balik; Nrm adalah Norma; Pd adalah peran yang
dimainkan.
Dari model yang disampaikan Robert B. Seidman dijelaskan bahwa
pengaruh faktor-faktor atau kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan
Undang-undang, penerapannya dan sampai pada peran yang diharapkan.
Uraian itu menunjukkan bahwa hukum merupakan suatu proses sosial yang
dengan sendirinya merupakan variabel yang mandiri (otonom) maupun tidak
mandiri (tidak otonom) sekaligus. Kekuatan dasar sudah bekerja dalam
tahapan pembuatan undang-undang. Kekuatan-kekuatan sosial akan terus

22
berusaha untuk masuk dan mempengaruhi setiap proses legislasi secara efektif
dan efisien. Adapun peraturan yang dikeluarkan itu memang bakal
menimbulkan hasil yang diinginkan, namun efeknya itu pun sangat tergantung
pada kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya. Oleh sebab itu, orang
tidak dapat melihat produk hukum itu sekedar sebagai tindakan mengeluarkan
peraturan secara formal, melainkan lebih dari itu. Demikian pula, pengaruh
kekuatan-kekuatan sosial dirasakan juga dalam bidang penerapan hukum.
Gustav Radburch (dalam Esmi Warassih Pujirahayu, 2005 : 13)
mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat
perhatian serius pelaksana hukum, yakni nilai keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Terutama nilai dasar kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum
pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga
hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya.
Perlu disadari bahwa hukum memang merupakan bagian dari kehidupan
sosial, dan dengan demikian tidak akan pernah berada di ruang hampa.
Selanjutnya, peranan apa yang diharapkan dari warga masyarakat, juga sangat
ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama
sistem budaya.
Dijelaskan oleh Lawrence Friedman (dalam Esmi Warassih Pujirahayu,
2005 : 89), faktor nilai yang menimbulkan perbedaan dalam kehidupan
hukum dalam masyarakat lebih disebabkan oleh kultur hukum. Kultur hukum
merupakan sikap-sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang
berhubungan dengan hukum, lembaga-lembaganya baik yang bersifat positif
maupun negatif. Unsur kultur hukum inilah yang akan menentukan mengapa
seseorang itu patuh atau tidak patuh terhadap peraturan yang ada. Oleh karena
itu, untuk dapat memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara
sistem hukum yang satu dengan yang lain, haruslah dicermati faktor kultur
hukum sebagai latar munculnya perbedaan itu. Kultur hukum itu

23
sesungguhnya berfungsi sebagai “motor penggerak keadilan”, yakni
menjembatani sistem hukum dengan sikap manusia dalam suatu masyarakat.
Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh James C.N Paul maupun
Clarence J Dias (dalam Esmi Warassih Pujirahayu, 2005 : 98), perdebatan
nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum nasional dan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat desa (lokal) seringkali menyulitkan mereka untuk
dapat mengerti ketentuan-ketentuan hukum nasional yang berlaku.
Sebagai akibat lanjutannya, timbul perbedaan antara apa yang
dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh
masyarakat. Bagaimana seseorang dapat diharapkan untuk bertingkah-laku
sesuai dengan perubahan yang bagaimana sesungguhnya harus dilakukannya.
Apabila salah satu syarat yang diajukan oleh Fuller, tiadanya komunikasi
tentang makna peraturan, maka rakyat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa
yang telah menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah melembaga.

6. Aparat Penegak Hukumnya;


Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatinkan
sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau
mafia peradilan kita sudah sebegitu buniknya dan para aparat hukum itulah
yang berperan utama atas kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apa pun
materi peraturan-pendangan (apalagi memang tidak bagus), kalau aparatnya
rusak, maka hukumpun juga bagaikan menegakkan benang basah, dengan
tidak mengabaikan ada juga beberapa keberhasilannyá, tetapi hanya mampu
memproses penjahat kelas kelas kecil, seperti; orang-orang miskin dan bodoh
yang tak punya akses pembelaan di pengadilan dan mereka ini (ribuan orang)
yang memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh
penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan Selznick menyatakan: (Sabian
Utsman, 2005: 60).

24
Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena:
1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,
memaksakan tanggungjawab, namun mengabaikan klaim-klaim dan,
para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak
istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dan
kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang
sebagai “tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga
khusus (ke sejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri
karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klasifikasi resmi
(misalnya kriteria yang memisahkan kelompok “kaya” dan kelompok
miskin). Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila
didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima
yang tidak berdaya, akan menciptakan pola barn subordinasi.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang
berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai
kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan optik Nonet dan Selznick yang menggagas hukum secara
komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum
yang lebih responsif, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai
abdi kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu
mengolah represif dan melindungi integritasnya sendiri, dan hukum
responsif adalah hukum sebagai fasilitator dan sejumlah respons-respons
terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang berkembang berakar-pinak
di masyarakat. (AAG Peters dan Kosrini Siswosoebroto, 1990: 162).
Ditegaskan Nonet dan Selznick bahwa seorang penguasa (otoritas
penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan
sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan
empirik (lihat pergolakan protes masyarakat) tidak bisa dipaksa untuk

25
sesuai keinginan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah kredibilitas
dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik kemauan
secara sukarela, apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat
oleh aturan tersebut, dan yang sangat penting penyelenggaraan peradilan
tidak berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum dengan berbagai
kepentingannya, kecuali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan
sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia,
menurut abstraksi teori-teori Nonet dan Selznick ini sebagaimana saya
katakan di atas sangat tepat tidaklah berkarakter tunggal, tetapi campuran,
yaitu mencakup ketiga model hukum tersebut, hanya saja model hukum
represif relatif lebib dorninan dan model otonom dan ter lebih model
responsif sebagian kecil dan sejalan evolusiriya juga mengarah kepada
hukum responsif.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa
di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum
terjadi monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara.
Memang pada umumnya aparat penegak hukum dengan segala
instihisinya adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia.
Persenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung
kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas
yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah, maka kontrol
masyarakat tidak berdaya (berada pada posisi fatalisme “sub-humen”).
Secara sederhana bisa kita polakan kedalam tiga bagian yang mewarnai
sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu;
pertama, kekerasan yang dilakukan aparat semurninya untuk menjaga
keteraturan atau ketertiban dan menegakkan kedaulatan negara, kedua,
kekerasan yang dilakukan aparat atas kepentingan aparat pemaksa yang
sesungguhnya adalah individu-individu yang sarat kepentingan pribadi

26
tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu di lakukannya
karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi
mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi
masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat
penegak hukum sebagai object problem terutama bagi masyarakat kelas
bawah yang miskin dan bodoh (sudah menjadi pemandangan di seluruh
penjuru negeri ini, para aparat menggusur orang-orang miskin dan gepeng,
namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk menggusur ke
miskinan, apalagi melakukannya). Untuk lebih jelasnya dapat
digambarkan struktur kekerasan aparat dalam penegakan hukum di
Indonesia sebagai berikut:
STRUKTUR KEKERASAN

DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Aparat penegak hukum melakukan


kekerasan untuk ketertiban dan kedaulatan
negara

Aparat penegak Masyarakat yang


hukum melakukan tak berdaya/tak ada
kekerasan untuk akses untuk
individu/organisasi Aras kekerasan melakukan kritik
tetapi, (penegakan secara prosedural,
mengatasnamakan hukum) legal maka protes dengan
kepentingan negara cara kekerasan fisik
positivism
atau masyarakat dan komunal

Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang


diabstraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsif oleh Nonet dan
Selznick tersebut patut disongsong dengan upaya pembenahan aparatur
penegak hukum di Indonesia yang lebih komprehensif berlandas kan
komitmen dan moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk

27
keseimbangan antara produk hukum dan pelaksanaan hukum dengan
menghargai budaya hukum sesuai cita din bangsa Indonesia.

5. Hubungan Hukum dan Moral


Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun
ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan
dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah
dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam
memberikan pengertian secara holistic terhadap nilai, akan tetapi setiap orang
tertarik pada bagian-bagian yang “relative belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada
pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewey yakni, Value Is Object
Of Sosial Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya. Nilai
dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan
sebagai landasan, alas an atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku,
baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat
mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu
menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, harus
semakin diyakini oleh individu dan haus diaplikasikan dalam perbuatan.
Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan
dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu
bernilai positif (berguna, baik, indah) atas sebaliknya bernilai negative. Hal ini
dihubungkan dengan unsure-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani,
cipta, rasa, karsa dan kepercayaan.

28
Berbicara masalah nilai tentu tidak terlepas adanya integritas. Integritas
bukan kata atau istilah Indonesia, tetapi berasal dari bahasa inggris yang
berarti “the quality of being honest and of always having high moral
principles”. Yang pasti integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan
manusia yang luhur dan berbudi. Integritas bertalian dengan moral yang
bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME. Integritas
moral tidak hanya berlaku pada segala atau semua bidang kehidupan,
misalnya bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, dll. Tuntutan terhadap
peningkatan integritas moral dan keprofesionalan pada aparat penegak hukum
dewasa ini didorong oleh kebutuhan tugas yang disikapi sebagai bagian dari
proses adaptasi terhadap pemaknaan jati diri aparatur, reaktualisasi atas
kedudukan, fungsi dan perannya serta tuntutan reformasi publik. Prinsip
Integritas moral dan keprofesionalan muncul sebagai suatu kebutuhan
terhadap tantangan tugas yang dihadapi, sebab tanpa prinsip tersebut tidaklah
mungkin tercapai tingkat efektifitas dan produktivitas yang tinggi untuk
mengangkat citra Penegak hukum.
Namun yang menjadi permasalahan adalah integritas moral dan
keprofesionalan belumlah melembaga di tubuh Polri misalnya, masalah
kronis Polri saat ini adalah yang statusnya ‘sebagai alat negara’ sangat rentan
dimaknai ‘sebagai alat kekuasaan’ oleh anggotanya yang masih berorintasi
kekuasaan dan materi. Kultur lama yang memandang kekuasaan sebagai
‘power over’, dan intervensi politik yang disebabkan oleh nilai strategis dan
pengaruhnya dalam politik ditengarai sebagai penyebab utama demoralisasi
Polri sehingga menyebabkan citra Polri pun menurun.
Kemerosotan citra Polri tersebut hampir merata di semua bidang tugas
dan wewenangnya, termasuk dalam praktik penegakan hukum. Namun, tidak
dapat dipungkiri pula bahwa selain kasus-kasus tersebut terdapat pula banyak
hal positif dari yang dihasilkan dan diperjuangkan oleh korps kepolisian, dan
itu berarti masih banyak aparat kepolisian yang berpredikat baik dan

29
berkualitas. Namun, semua yang baik dan positif itu seolah tenggelam
berseiringan dengan munculnya kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh
oknum polisi tersebut telah mencoreng wajah Polri, dan sekaligus
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara kerja yang
dimainkan oleh Polri.
Guna menetapkan strategi yang tepat dalam meningkatkan citra Polri
merupakan sesuatu yang urgen dan relevan untuk dilakukan. Oleh karena itu,
tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah “Meningkatkan
Integritas Moral Dan Keprofesionalan Sebagai Paradigma Baru Untuk
Mengangkat Citra Polri”.
Dalam peningkatan Citra lembaga tentu tidak terlepas pula dengan adanya
nilai atau tatanan etika moral dalam masyarakat. Hal-hal yang mempunyai
nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu
yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi
manusia seperti nilai religius.Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan,
harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan
demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai
yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi
lebih obyektif. Wujud yang lebih konkret dan obyektif dari nilai adalah
norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti
penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu.
Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman ukuran,
aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur
sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai
kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat yaitu:
Norma kepercayaan atau keagamaan
Norma kesusilaan
Norma sopan santun/adab

30
Norma hukum
Dari norma-noma yang ada norma hukum adalah norma yang paling
kuat karena dapat dipaksanakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan
eksternal). Dari uraian diatas sudah semakin jelas posisi moral terhadap
hukum dan implementasinya dalam pembangunan dan penerapan hukum di
Indonesia, Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam makalahnya pada seminar hukum
nasional II di Semarang, menyatakan:
“Hubungan antara hukum dan moral digambarkan sebagai dua CIRCLE
(lingkaran) yang sebagian diatas yang lain dalam bagian yang tertimbun itu.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas disimpulkan sebagai berikut:
a. Hukum yang dibangun tanpa landasan moral dan agama akan menimbulkan
kehancuran dalam masyarakat
b. Hubungan hukum dan moral sangat erat dan akan mendatangkan manfaat
yang baik bagi masyarakat
c. Indonesia dengan dasar fasafah pancasila diharapkan akan membangun
hukum dengan nilsi-nilai budaya bangsanya.
d. Dengan adanya supremasi hukum dapat tercipta suasana demokrasi sehingga
harkat dan martabat HAM dapat memperoleh penghormatam dan
perlindungan,sehingga pembangunan dan pengawasan di bidang hukum
dapat dijalankan sesuai dengan kondisi peraturan yang ada.

2. Saran
a. Perlu upaya peningkatan pembangunan hukum yang sesuai dengan dasar tata
hukum Indonesia, sesuai dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesia.
b. Perlu peningkatan kajian nilai-nilai hukum agama guna pembangunan hukum
nasional

31
c. Dalam hal penegakan hukum, Aparat penegak hukum seharusnya dapat
bekerja lebih profesional, sehingga tidak dapat di pengaruhi oleh oknum-
oknum tertentu atau kepentingan-kepentingan politik.
d. Dengan sikap yang lebih independen aparat penegak hukum seharusnya tidak
pandang bulu dalam menangani berbagai kasus yang terjadi di tanah air,
sehingga benar-benar tercapai kepastian hukum yang hakiki.
e. Aparat penegak hukum hendaknya mempunyai rasa takut, khususnya takut
akan Sumpah jabatan yang tentunya berdampak pada dosa akhirat nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

32
Abdurrahman, H, (1995), Ilmu Hukum, Teori Hukum & Ilmu Perundang- Undangan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

A.A.G. Peters dan Siswosoebroto, Koesrini, (1990), Hukum dan Perkembangan


Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III) Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Adi Sulistiyono, Kematian Positivisme dalam Ilmu Hukum, Newsletter Kajian


Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59 Desember 2004.

Asshiddiqie, Jimly, (2006), Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum dan


Indonesia (Menyoal Moral Penegak Hukum) Lustrum XI Fakultas Hukum
Uni versitas Gadjah Mada, 16 Februari 2006.

Awaloedin Djamin,1999, Reformasi Aparatur/Administrasi Negara RI, Jakarta,


Yayasan TKI,

Darji Darmodiharjo, 2002, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta, PT. Gramedia


Pustaka Utama

Esmi Warassih PujinRahayu, 2005, Pranata Hukum (Sebuah Telaah Sosiologis),


Semarang: PT. Suryandaru Utama.

Ichtiyanto, 2005, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Moral, Jakarta: Gramedia

Mahfud MD., Mohd., (2001), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES

Mahfud MD., Mohd., (2008), Kebijakan Pembangunan Hukum pada Prog. Doktor
Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Jogjakarta: PPs UII.

_______, 1999, Pergaulan Politik & Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media,

Mustaqin, Rauisul, 2007, Terjemahan “Law and Sosiety in Transition Tower


Responsifv Law,.Bandung : Nusa Media

Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, HAM & Penegakan Hukum, Bandung,
CV. Mandor Maju,

Sabian, 2005, Mengenal Sosiologi Hukum, Malang Mediasi Pustaka.

Sabian, 2007, Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

33
Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Saorjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,


Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2007, “Hukum Dalam Masyarakat” (Perkembangan dan


Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”, Surabaya:
FISIP Unair.

Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum (Sebuah Telaah Sosiologis), Semarang: PT.
Suryandaru Utama.

Wiriadinata, Loekman, 1989, Kemandirian kekuasaan Kehakiman, Jakarta: yayasan


Lembaga bantuan Hukum Indonesia.

34

Anda mungkin juga menyukai