Anda di halaman 1dari 16

REKONSILIASI PARA PENEGAK HUKUM TERHADAP ASAS

EQUALITY BEFORE THE LAW DI INDONESIA

Mahpuja Nur Humairo


Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari

Kelas Reguler Malam Banjarbaru,Fakultas Hukum Uniska Banjarbaru, NPM :2008010110

Abstrack

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum. Makna equality before the law ditemukan di hampir semua konstitusi negara. Inilah norma
yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara
harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak
hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik,
Namun menegakkan equality before the law bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis
dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis. Di Indonesia sering terjadi Kasus–kasus yang
sepele namun dibesar-besarkan oleh media akibat adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau
dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah tersebut adalah salah
satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum mas yarakat kelas
menengah. Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang
adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan.
Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara d ilanggar, atau dalam istilah
hukum “timpang sebelah”.

Kata Kunci :Equality Bfore thelaw

Pendahuluan
Equality before the law (semua orang sama didepan hukum) adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of
Law yang juga menyebar pada negara negara berkembang seperti Indonesia, maka
dari itu asas ini dijadikan landasan bagi setiap manusia yang melakukan penegakan
hukum di negeri ini tanpa terkecuali.
Negara hukum merupakan negara yang berdasar atas hukum bukan berdasar atas
kekuasaan semata, dalam negara hukum kedudukan hukum merupakan posisi
tertinggi (supremasi hukum/rule of law). Di Indonesia jelas didalam Undang-
undang Dasar 1945 perubahan Ke-4 yang di syahkan pada tanggal 10 Agustus 2002,
Bab-I Pasal 1 ayat (3) menyatakan secara tegas bahwa ”Negara Indonesia adalah
Negara Hukum” penegakan hukum yang baik tidaklah pandang bulu atau pilih
kasih, siapa yang menjadi pelaku pelanggar hukum harus diadili dan diputuskan
sesuai hukum, sejatinya asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung
hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi
salah satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan
sosial). Persamaan hanya dihadapan hukum seakan memberikan sinyal didalamnya
bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan.
Perbedaaan perlakuan persamaan antara didalam wilayah hukum, wilayah sosial
dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas persamaan dihadapan hukum
tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.

Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakan keadilan dimana
persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan
siapapun yang meminta keadilan kepadanya, diharapkan dengan adanya asas ini
tidak terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia dimana ada
suatu pembeda antara penguasa dan rakyatnya, yang membedakan hanyalah
fungsinya yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur, baik yang
mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu Undang-undang, bila tidak
ada persamaan hukum maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal
hukum.

Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam
istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam
masyarakat. Disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as
a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic
legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di
Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang
lingkupnya dari pada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya karena
lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di
Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi
mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan
hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di
Indonesia.1

Negara Indonesia pada saat ini sedang mengalami berbagai krisis multidimensi
salah satunya adalah dalam bidang hukum, hal ini dapat dilihat secara kasat mata
dari berbagai masalah hukum khususnya persoalan penegakan hukum yang tumpul
ke atas dan tajam ke bawah. Penegakan hukum yang merupakan salah satu dari
prinsip good governance tidak diterapkan dengan baik sehingga berdampak pada
pelemahan hukum yang ada, karena penegakan aturan hukum itu sendiri hanya
dapat terwujud apabila hukum yang hendak ditegakkan mencerminkan nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain dalam rangka penegakan
aturan hukum diperlukan pula pembaharuan atau pembentukan peraturan hukum
yang baru.

Persoalan penegakan hukum di Indonesia dirasakan masih tebang pilih, seperti


istilah runcing kebawah tumpul keatas, itulah istilah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi penegakan hukum di Indonesia. Keadaan ini semakin
meyakinkan masyarakat bahwa di lingkungan peradilan ada immunity (kekebalan)
hukum terhadap orang atau sekelompok orang tertentu. Kondisi yang demikian
akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi
Indonesia.

Mari kita lihat kenyataannya. Masih kah ingat berita dari kasus jual-beli sel tahanan
mewah yang ada di lapas Sukamiskin? Itu adalah contoh bahwa pelaksanaan atau
implementasi dari asas equality before the law di Indonesia nihil. Sebagian

1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Bandung: Binacipta, 2005, hlm. 62-63.
terpidana korupsi yang ada di Lapas Sukamiskin memiliki fasilitas sel yang sangat
mewah dibandingkan narapidana pada umumnya.

Dalam sel terpidana korupsi di Lapas Sukamiskin, dapat ditemukan fasilitas mewah
seperti adanya AC, televisi, tempat tidur, alat olahraga, kamar mandi dan satu sel
hanya ditempati satu orang narapidana. Kemudian perbandingannya dengan sel
tahanan pada umumnya dengan kasus tindak pidana pencurian, pemerkosaan atau
tindak pidana lainnya sangat jauh berbeda dari sel tahanan terpidana korupsi di
Lapas Sukamiskin. Mereka bisa ditempatkan dalam satu sel tahanan yang sempit,
diisi lebih dari satu orang, tidak ada tempat tidur, tidak ada AC. Apakah kenyataan
ini adil?

Itulah contoh kecil tentang ketidakadilan hukum di Indonesia dan masih banyak
lagi sebenarnya tentang ketidakadilan hukum di Indonesia. Menurut sosiolog dunia
Donald Black pernah dalam bukunya berjudul The Behaviour of Law, proses
bekerjanya hukum di samping menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang, juga
dipengaruhi oleh faktor di luar hukum. Salah satunya adalah faktor stratifikasi
sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial (kedudukan) seseorang, semakin
berpotensinya orang mendapatkan perlakuan berbeda di depan hukum.

Pendapat Donald Black dalam bukunya seakan-akan menjadi benar, lihat saja
bagaimana perlakuan hukum terhadap pencuri. Antara pencuri ayam dengan
pencuri uang rakyat (koruptor), tentunya koruptor akan mendapat perlakuan yang
berbeda di setiap tahapan proses hukum. Hal ini dikarenakan pelaku memiliki
stratifikasi sosial yang berbeda baik karena kekayaannya, kekuasaannya, akses
jaringan politik, faktor intelektual dan lain sebagainya.

Lalu bagaimanakah agar equality before the law bisa terlaksanakan di Indonesia?
Bila melihat beberapa kasus yang pernah ada di Indonesia, penyebab tidak
berjalannya asas equality before the law adalah tidak terlaksananya tupoksi (tugas,
pokok, fungsi) aparat penegak hukum di Indonesia. Sebagai contohnya adalah
kasus yang ada di Lapas Sukamiskin.2

Terjadinya jual-beli sel tahanan mewah di lapas Sukamiskin melibatkan oknum


Kepala Lapas itu sendiri yang menawarkan praktik jual-beli sel tahanan mewah
untuk koruptor. Kenyataan ini membuktikan tidak terlaksananya tupoksi yang baik
dari aparat penegak hukum itu sendiri.

Perlu diketahui pula bahwa terdapat lima aparat penegak hukum di Indonesia, yaitu
advokat, kepolisian, kehakiman, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan. Menurut
penulis, terdapat beberapa faktor dari penyebab tidak terlaksananya tupoksi
penegak hukum di Indonesia.

Pertama, masih adanya transaksi di dalam penegakan hukum. Kedua, moral


penegak hukum yang menyimpang. Ketiga, adanya intervensi dari pihak penguasa.
Terakhir, masih banyak rakyat yang belum sadar atau paham dari hukum itu sendiri.

Selain dari faktor penyebab di atas, juga terdapat beberapa faktor lain sebagai
penghambat penegakan hukum. Pertama, lemahnya political will atau kemauan
politik dan political action tindakan politik oleh para pemimpin negara ini untuk
menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik.

Kedua, lemahnya peraturan perundang–undangan yang ada saat ini, yang masih
lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan warga
negara atau rakyat. Contohnya antara lain adalah seperti UU Nomor 2 Tahun 2018
Tentang MD3, yang di dalamnya banyak terdapat beberapa pasal yang
mengistimewakan dari anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Ketiga, kebijakan yang diambil oleh para pihak terkait dalam mengatasi persoalan
penegakan atau peradilan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak
komprehensif, dan tersistematis. Terakhir dan terpenting penyebab tidak
terlaksananya equality before the law adalah rendahnya integritas, kredibilitas,

2 Nihilnya Equality Before the Law di Indonesia – Kawan Hukum Indonesia di akses 26 November 2022
profesionalisme, dan kesadaran hukum oleh penegak hukum (advokat, polisi,
hakim, jaksa, dan lapas) dalam penegakan hukum di Indonesia.

Bila penegak hukum di Indonesia menjalankan tupoksi dengan sebenar-benarnya


atau tidak menyimpang, mungkin equality before the law bisa terlaksanakan di
Indonesia dan tidak akan ada lagi yang namanya pepatah “Hukum Indonesia Tajam
ke Bawah, Tumpul ke Atas”. Karena equality before the law adalah hak setiap
warga negara tanpa ada yang terkecuali yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan di atas kemudian penulis


memeiliki beberapa rumusan masalah,sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan asas equality before the law di indonesia ?


2. Bagaimana peranan para penegak hukum equality before the law terhadap
penguasa dan mafia mafia hukum ?

METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif ,yaitu metode penelitian hukum yang menganalisis rekonsiliasi
asas Equality Before The Law dalam hukum positifnya , yaitu UU No. 2 Tahun
2004,juga meneliti kenyataan rekonsiliasi para penegak hukum terhadap asas
Equality Before The Law di Indonesia.

PEMBAHASAN

penerapan asas equality before the law di indonesia


“Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum. Makna equality before the law ditemukan di
hampir semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi hak asasi warga
negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus
diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat
penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus
diwujudkan dalam praktik, Namun menegakkan equality before the law bukan
tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan
sosiologis dan psikologis. maka diadakannya kegiatan kuliah umum ini dalam
rangka memberikan pencerahan terkait dengan solusi – solusi permasalahan
tersebut.”

I. Dasar Hukum Konsep EBL dalam Peradilan di Indonesia

Equality Before the Law (selanjutnya, untuk memudahkan penulisan disebut EBL)
adalah konsep yang sangat universal (berlaku dimana saja) dan tekstual bagi
hukum. Secara universal EBL sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang
mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan
tekstual, EBL tertulis dalam dokumen hukum yang induk aturan hukum yang
menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang ditempat hukum
tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak
membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang
sah dimuka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep
hukum.

Lebih jauh, salah satu unsur penting dalam hukum adalah substansinya yang patut
memuliakan manusia, dalam bahasa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
(DUHAM) disebut sebagai Kehormatan Manusia (Human Dignity). Pada rejim
hukum HAM, EBL adalah tema yang historis memiliki sejarah yang panjang.
Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktik
buruk dan penggunaan hukum sekedar untuk melayani kemauan penguasa. Hal ini
kemudian menjadi dasar perlawanan berbagai korban, komunitas terdampak yang
menyuarakan hak asasi mereka. Konsolidasi pengakuan HAM, misalnya, bisa
dilihat dari kemunculan DUHAM pada 1948. Pada DUHAM tersurat kuat
penolakan terhadap praktik diskriminasi (pasal 2). lebih luas, pada DUHAM
digunakan “setiap orang…” artinya tidak boleh ada pengecualian hak terutama atas
hak yang dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih martabat, termasuk
menolak diskriminasi hukum.

EBL merupakan salah satu konsep untuk melawan diskriminasi, sebagaimana


tergambar di atas. Upaya melawan praktik ini juga menjadi bagian dari tanggung
jawab Negara. Penjelasannya adalah, pertama, setiap negara atau otoritas harus
mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasarkan pada hukum. Bagi
Indonesia, hal ini bisa dilihat dari pasal 1 ayat 3 UUD 19945, yang menyatakan
bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Kedua, hukum tersebut harus
berlaku bagi setiap orang, bukan sekedar warga negara. Pasal 28D menyebutkan
bahwa ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Sedangkan pasal
27 (1) menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
Dari kedua pasal diatas, bisa digambarkan bahwa ada perlakuan, yang seharusnya,
sama baik bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara. Perbedaannya, pada
pasal 27 (1) ada dalam bab Warga Negara dan Penduduk. Sementara pada pasal
28D berada pada bab HAM. Artinya, kesetaraan dimata hukum adalah sesuatu yang
mendasar baik untuk tanggung jawab negara terhadap setiap orang yang berada di
Indonesia, atau bahkan dalam konteks global (misalnya, disebutkan dalam
pembukaan UUD 1945, ‘..turut serta menjaga perdamaian dunia..”) dan bagi warga
negaranya.

Turunan konstitusi dalam hukum atas kepastian EBL bisa dilihat dalam UU Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 4 (1) yang menyebutkan
‘Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang’.
Undang-undang ini menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dengan badan Peradilan yang berada dibawahnya seperti
peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha
negara. Termasuk peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, seperti
pengadilan HAM, pengadilan anak, pengadilan hubungan industrial, pengadilan
perikanan, pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan niaga (pasal 18, pasal
25 dan pasal 27). Selain Mahkamah Agung, juga secara sejajar Kekuasaan
Kehakiman berlaku bagi Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian sudah jelas
bahwa Peradilan di Indonesia dalam hal ini melalui Mahkamah Agung dan Badan-
badan Peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi mengemban tugas
menjamin persamaan setiap orang di muka hukum (Equality Before the Law).

II. Praktik Peradilan di Indonesia

Praktik peradilan di Indonesia tidak menunjukkan gambar yang mulus dalam


menjamin EBL terpenuhi bagi setiap orang di Indonesia. Pada bagian ini untuk
menggambarkan problem EBL akan fokus pada sejauh mana peradilan dapat
diakses bagi orang miskin atau bahkan peradilan justru menjadi sesuatu yang
mengerikan bagi warga pada umumnya.
Sejumlah problem bisa dilihat, dimulai dari, Mahkamah Agung itu sendiri yang
menjadi ujung penanggung jawab akses keadilan. Mahkamah Agung dalam upaya
memastikan rencana kerjanya pada 2010 membuat ‘Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung 2010-20135’ yang memuat sejumlah problem, diantaranya,

“[..] dari penilaian organisasi atau Organizational Diagnostic Assessment (ODA)


pada tahun 2009, kinerja lembaga peradilan tetap mendapat sorotan dari berbagai
kalangan, antara lain mengenai informasi proses peradilan yang tertutup, biaya
berperkara yang tinggi, masih sulitnya akses masyarakat miskin dan terpinggirkan,
serta proses penyelesaian perkara yang dirasakan masih sangat lama.” (hal. 3) 3

Demikian pula dengan masyarakat internasional seperti World Justice Project yang
setia menguji performa peradilan di 46 negara, termasuk Indonesia, terutama pada
konteks Access to Justice (Akses Keadilan). Survei yang dilakukan bertujuan untuk
memotret bagaimana warga pada umumnya berurusan dengan masalah hukum,

3
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010
konflik-konflik hukum, penilaian dari warga atas proses penyelesaian konflik baik
secara formal maupun informal serta pengalaman orang-orang yang tidak mencari
bantuan hukum atau yang tidak bisa menyelesaikan masalah hukumnya. 4 Temuan
dari survei WJP teranyar (2017) adalah 26 persen dari responden mengalami
insiden masalah hukum selama dua tahun terakhir; dari 26 persen di atas, terdapat
dua persen di mana salah satu pihak mengalami kekerasan; dari jumlah 26 persen,
hanya 8 persen yang mencari bantuan hukum (ke negara atau pihak ketiga) untuk
penyelesaian masalahnya, sementara 92 persen tidak melakukannya; dari 8 persen
yang mencari bantuan hukum hanya 79 persen yang mendapati penyelesaian atas
persoalan hukumnya; dari yang selesai tersebut didapati hasil survei bahwa rata-
rata waktu yang dibutuhkan adalah 1,98 bulan; mengalami kesulitan uang untuk
membayar biaya penyelesaian masalah sebanyak 4 persen; menyatakan puas
sebanyak 90 persen. Dari 8 persen tersebut ada 88 persen tahu kemana harus
mencari nasihat hukum, 93 persen yakin akan mendapatkan hasil yang adil dan 78
persen mendapatkan bantuan dari ahli yang mereka butuhkan.

Sementara catatan dari kalangan masyarakat, terutama dari kalangan pekerja


bantuan hukum dan organisasi advokasi Hukum dan HAM, didapati sejumlah
masalah yang menggambarkan persoalan bahwa hukum dan proses peradilan bukan
menjadi pelindung akan tetapi justru sebagai senjata yang mendiskriminasi
warganya. Catatan ini dibuat melalui riset dan gelar perkata di 10 kota di Indonesia,
proses ini dilakukan khusus sebagai respon atas maraknya, apa yang sering disebut
sebagai kriminalisasi terhadap berbagai kalangan dari yang minoritas, rentan
hingga bernuansa politis serta memiliki kepentingan bisnis. Catatan tersebut terdiri
dari 3 bagian; pra-judicial process (sebelum memasuki pengadilan), proses
pengadilan dan pembutkian, dan terakhir pada bagian vonis.

Pada bagian pertama, didapati temuan Bantuan Hukum yang tidak memadai,
seringkali ditunjuk secara sepihak oleh oknum aparat penegak hukum untuk
sekedar formalitas, atau ditunda pemberiannya. Bahkan dalam beberapa kasus

4
World Justice Project, Global Insight of Access to Justice, Findings from the World Justice Project General
Population Poll in 45 Countries, 2018
bantuan hukum sama sekali tidak diberikan oleh aparat penegak hukum; Tidak ada
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), Tidak ada/penundaan surat
penangkapan dan penahanan, Pelapor tidak jelas, Pasal yang disangkakan tidak
jelas/dipaksakan; Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diberikan, Rekayasa
rekonstruksi kasus. Kedua, pada bagian Alat bukti, didapati sejumlah hal, sebagai
ciri adanya kriminalisasi; Penyiksaan untuk pengakuan, Alat bukti dan barang bukti
palsu, hanya menggunakan saksi penyidik, Saksi dari tersangka kasus yang sama.
Ketiga, pada bagian vonis, dimana ciri-cirinya adalah Saksi meringankan (a de
charge) tidak dipertimbangkan oleh Hakim, Hakim mengabaikan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang dicabut, Pertimbangan Hakim tidak sinkron dengan bukti
yang diterima, Kesalahan penerapan hukum. (hal 13-18)

Terbaru adalah hasil dari Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) pada 2018,
selain memotret sejumlah kemajuan institusional dari Reformasi Peradilan, juga
masih mencatat sejumlah tantangan kedepan, sebagaimana digambarkan dibawah
ini,
“Pembaruan peradilan masih dipahami sebagai tanggung jawab lembaga
pengadilan semata dan belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama seluruh
lembaga peradilan, APH, advokat, lembaga pendidikan hukum, dan masyarakat
sipil.

Pembaruan peradilan baru dirasakan menyentuh secara luas pada lembaga


pengadilan, khususnya di MA. Pembaruan peradilan belum menjangkau pengadilan
ditingkat bawah sebagai cermin pertama lembaga pengadilan di hadapan publik,
serta lembaga-lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya.

Pembaruan peradilan baru berjalan secara institusional khususnya di lembaga


pengadilan pada beberapa area dan tingkatan strategis, dan belum menjangkau pada
pembaruan hukum yang menyeluruh dan terintegrasi. Hal ini terjadi karena keadaan
Cetak Biru Pembaruan Hukum sebagai pemandu, serta belum optimalnya sinergitas
prioritas pembaruan hukum oleh masing-masing cabang-cabang kekuasaan (DPR,
Pemerintah dan lembaga yudikatif).
Pelayanan peradilan masih diwarnai dengan adanya kriminalisasi, pungutan liar,
biaya beracara yang tidak jelas, jadwal sidang yang tidak menentu, putusan yang
tidak konsisten/inkonsistensi putusan, serta ketertutupan informasi untuk pihak di
luar pihak yang berperkara.

Aparatur lembaga peradilan belum seluruhnya menyadari sumber mandat dan


tujuan utama proses peradilan dan penegakan hukum.
Advokasi pembaruan peradilan yang dilakukan oleh masyarakat sipil belum
sepenuhnya terstruktur dan menyentuh pada persoalan subtansial dengan
menggunakan data-data lembaga penegak hukum secara maksimal.

peranan para penegak hukum equality before the law terhadap penguasa dan
mafia mafia hukum

E.H Sutherland menjelaskan tentang pelaku kejahatan yang tidak lagi hanya
dilakukan secara stereo-type konvensional melainkan juga dilakukan oleh
sebagian besar mereka yang kaya, terhormat dan memiliki reputasi social yang baik.
Berdasarkan hal ini kemudian E.h Sutherland mengemukakan tentang adanya
kejahatan yang disebut white coolar crime 5 . Jika dicermati, perkembangan
kejahatan “upper class “ dewasa ini semakin meningkat, khususnya kejahatan yang
dilakukan oleh para penegak hukum yang seharusnya melaksanakan tugas
penegakan hukum. Kasus-kasus yang seringkali melibatkan para penegak hukum
dihampir semua sub-sistem pada sistem peradilan pidana Indonesia adalah kolusi
suap terkait dengan kasus-kasus yang berhubungan dengan uang, seperti halnya
korupsi, manipulasi, dan lain-lain. Dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh para penegak hukum ini kemudian muncul istilah-istilah yang sudah umum
didengar dan diucapkan oleh masyarakat, yakni “ mafia hukum “, “jual beli kasus

5 Yosafat Rizanto, Impementasi Sistem Literatur, FISIP UI, 2009


“, “ makelar kasus“ . Banyak kasus-kasus yang melibatkan uang yang dilaporkan
ke polisi menguap begitu saja dan atau ketika kasus tersebut diproses dan diputus
terlihat adanya disparitas. Tidak diragukan lagi konspirasi hukum terjadi di
dalamnya karena adanya kolusi suap, sehingga proses pemeriksaan perkara pidana
tidak dapat dilaksanakan secara“ due process of law’

Namun demikian walaupun hukum di negara kita ini sudah mampu mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan fungsi penegak hukum, tetapi
permasalahan akan timbul ketika para penegak hukumnya tidak taat hukum, dimana
ketentuan yang telah jelas dibuat menjadi tidak jelas hanya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan oleh sekelompok orang. Melalui kolusi-suap nampak bahwa begitu
mudah hukum dan aparatnya dimainkan oleh orang yang memiliki kekuasaan untuk
kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Kejahatan-kejahatan yang
menyebabkan bobroknya penegakan hukum oleh mafia hukum, sangat sulit
dibongkar dan diberantas kecuali jika ada orang dalam yang berani melakukannya.

Sebagai ilustrasinya yakni masalah penghadiran Bagir Manan sebagai saksi dalam
perkara korupsi Probosutedjo. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) menolak permintaan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan Bagir
Manan di persidangan. Keterangan Bagir di depan sidang adalah untuk mengetahui
materi pembicaraan antara Bagir Manan dengan terdakwa Harini. Sistem hukum
acara pidananya masih menganut asas equality before the law, artinya semua orang
diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian, dalam proses persidangan
semua orang harus diperlakukan sama.6 .

6
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6149&coid=3&caid=21&gid=2 di akses pada 25
Desember 2022
PENUTUP

Kesimpulan

1. Pemaparan di atas menggambarkan bahwa sejumlah temuan yang persistent (sudah


berlangsung lama dan masih terjadi hingga hari ini); pertama, persoalan peradilan
bukan hak yang merata dirasakan, bisa diakses atau terinformasikan bagi setiap orang
di Indonesia. Dengan kata lain EBL tidak ter-ejawantahkan dengan baik dan otomatis
hanya dengan modal norma hukum, institusi dan penyediaan Sumber Daya Manusia;
kedua, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi peradilan yang menghambat
pemenuhan dan pelaksanaan EBL seperti masalah ekonomi dan pendidikan warga
sebagai penikmat peradilan, bahkan masalah pendidikan juga menjadi problem di
kalangan para penegak hukum. Masalah politis juga muncul sebagai penekan
berjalannya proses peradilan terutama pada kasus Kriminalisasi. Dalam pra Judicial
process, melibatkan Polisi, di mana Polisi bekerja berdasarkan perintah komandan.
Seringkali prinsip hukum kalah dari model perintah seperti ini. Sementara pihak
pengadilan jarang berani melakukan koreksi atas kesalahan dalam penyidikan oleh
Kepolisian. Artinya SDM Pengadilan belum secara total menjadi independen dan
obyektif; Ketiga, masalah minimnya perubahan aturan (terutama hukum acara dalam
berproses dalam peradilan). Meskipun di satu sisi disediakan Mahkamah Konstitusi
untuk menguji dan mengubah aturan main hukum, namun hal ini tidak menjamin
tumbuhnya kepercayaan masyarakat atas hukum dan aksesibilitas masyarakat pencari
keadilan untuk dengan mudah menggunakan dalam kepentingan haknya.
2. Sebagai pengakuan hak individu (individual right) maka prinsip persamaan di
hadapan hukum (equality before the law) dijamin dalam sistem hukum Indonesia.
Kalau tidak ada persamaan di hadapan hukum maka sebenarnya hak individu itu sama
sekali tidak ada. Persamaan di hadapan hukum tidak mengenal pengecualian seperti
jabatan, kedudukan, latar belakang, asal-usul, immunitas, strata sosial-ekonomi,
kaya-miskin, ras, etnik, warna kulit, keturunan, budaya dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Binacipta,


Bandung, (2005)

Rizanto, Yosafat, 2009, Impementasi Sistem Literatur, Jakarta: FISIP UI

Rosana, SOSIALISASI BLUE PRINT MAHKAMAH AGUNG R.I 2010-2035 ,


http://www.pn-blora.go.id/main/index.php/berita/berita-terkini/894-
sosialisasi-blue-print-mahkamah-agung-r-i-2010-2035 ,di akses pada 26
Desember 2022

Sayyid Nurahaqis, Nihilnya Equality Before the Law di Indonesia,


https://kawanhukum.id/nihilnya-equality-before-the-law-di-indonesia/ ,di
akses pada 26 Desember 2022

Anda mungkin juga menyukai