Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Nur Ridwan Abdul Aziz

Nomor Induk Mahasiswa / NIM : 044673894


Prodi : Ilmu Administrasi Negara-S1
UPBJJ-UT : Bandung

1. Mengacu pada kasus nenek Minah diatas, semakin menguatkan stigma di


masyarakat bahwa hukum selalu tumpul ke atas namun tajam ke bawah, berikan
pendapat saudara dikaitkan dengan fungsi hukum “law as a tool of social engineering!

Jawaban:

Sejak lama para pencari keadilan/masyarakat mendambakan penegakan hukum yang adil.
Namun, dalam praktik penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini, pengutamaan
nilai kepastian hukum lebih menonjol dibandingkan dengan rasa keadilan masyarakat.
Berbagai putusan pengadilan, misalnya dalam kasus nenek Minah, sepertinya
menggambarkan penegakan hukum cenderung perpandangan bahwa hukum adalah undang-
undang, dan menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi
hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.Secara umum, dalam setiap negara yang
menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum
(supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan
hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Menurut Daliyo (2007 : 30) hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-
badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya
tindakan, dengan hukuman tertentu. Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara memiliki kedudukan yang penting, Roeslan Saleh (1996 : 15) menyatakan, bahwa:
“Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk membangun negara yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum itulah Pancasila”. Negara Indonesia dalam
mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan begitu, bahwa setiap sikap,
kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus
berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang damai,
aman dan tentram, diperlukan adanya aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat
agar sesama manusia dapat berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan
perselisihan antar sesama manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum diberlakukan
terhadap siapapun yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Substansi Hukum adalah
bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi
juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab
undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem
atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundangundangan juga telah
menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-
peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan
hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah
adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tiada suatu perbuatan
dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan
tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundangundangan.

Di dalam Hukum terdapat Struktur Hukum/Pranata Hukum atau disebut juga sistem
struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur
hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (LP). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin
oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas,
kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila
tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses
rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa
faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.

Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal
terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang,
hal ini dikenal juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti
bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa
mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-
bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman
positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang
pada peristiwa yang konkrit (Rasdjidi dan Rasjidi, 2001 : 42).

Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De l’esprit des lois”yang mengatakan: “Dans le
gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges suivent la letter de
la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui pronounce les parolesde la loi, des
etres inanimes qui n’en peivent moderer ni la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang
berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim
menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari
negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan
undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya
berlakunya, maupun kekerasannya) (Hamzah, 1996 : 114). Dengan pernyataan itu, legisme
sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu,yang menyatakan bahwa, hanya apa yang
dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak
ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan
pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja (Rifai, 2010 : 30). Penegakan hukum
yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan
hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan
berdasarkan hati nurani dan keadilan. Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam
penegakan hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis
dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan
sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak
dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai
kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu
tidak jalan. Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik
menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh dalam Siregar (2008 : 121)
mengemukakan: “keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap
kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan
hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada
kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini
dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut
dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian
konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Roscue Pound sebagai salah satu ahli
hukum yang bermazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang
menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law
as a tool of social engineering)” (Shidarta, 1995 : 113). Hal inilah yang menjadi tolak
pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan, ”bahwa hukum adalah untuk manusia,
pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam
berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu
berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum” (Halim, 2009 : 390).

Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis


sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law)
dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.8 Pound menyatakan bahwa kontrol sosial
diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku
antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai
mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui
penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk
untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak
cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama.

Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan
rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau
beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian hubungan
tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan
manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan
terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan
bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-
kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-
kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses
peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga
berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan
ditetapkan. Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum
pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa
Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat).Untuk dapat
memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

1. Kepentingan Umum (Public Interest)

.Kepentingan negara sebagai Badan Hukum , Kepentingan negara sebagai penjaga


kepentingan masyarakat. Kepentingan Masyarakat (Social Interest), Kepentingan akan
kedamaian dan ketertiban, Perlindungan lembaga-lembaga sosial, Pencegahan kemerosotan
akhlak dan Pencegahan pelanggaran hak, Kesejahteraan sosial.

Kepentingan Pribadi (Private Interest)

Kepentingan individu, Kepentingan keluarga, Kepentingan hak milik.

Maka kesimpulan dari penjelasan diatas adalah Pendapat yang diuraikan mengenai rumusan-
rumusan dan penggolongan-penggolongan dalam social engineering Roscoe Pound dapat
diibaratkan bahwa hukum dianggap sebagai insinyur dalam mengungkapkan dasar-dasar
pembaruan dalam masyarakat dan menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta
bagaimana masyarakat seyogianya diatur. Jadi, hukum berfungsi sebagai alat untuk mengatur
dan mengelola masyarakat. Mengatur dan mengelola masyarakat akan membawa kepada
pembaharuanpembaharuan, perubahan-perubahan struktur masyarakat dan
penentuanpenentuan pola berpikir menurut hukum yang menuju ke arah pembangunan. Hal
ini akan menghasilkan kemajuan hukum, sehingga akan tercapai suatu suasana yang dapat
dikategorikan sebagai masyarakat yang beradab.

Adapun contoh dari penerapan teori tersebut banyak dijumpai didalam suatu peraturan baik
yang secara tertulis ataupun tidak tertulis sekalipun. Berikut contoh penerapan dari teori law
as a tool of social engineering: Salah satu contoh ada di dalam Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, di dalam Pasal 5 mengenai
(Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang menyatakan: “Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya
dengan cara:

a. Kekerasan Fisik

b. Kekerasan Psikis

c. Kekerasan Seksual, atau

d. Kekerasan Penelantaran

Pasal 6: “Kekerasan fisik sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit, atau luka berat”. Pasal 7: “Sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak rasa tidak berdaya dan atau penderitaan
Psikis berat pada Seseorang” Analisis dari pasal-pasal di atas: Dari ketentuan-ketentuan yang
telah termaktub dalam pasal-pasal undang-undang diatas kita dapat melihat adanya
paradigma: yaitu hukum sebagai rekayasa sosial. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum
diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan
masyarakat”/”law as a tool of socialengeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-
pokok pikiran sebagai berikut : Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan
masyarakat” didasarkankepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang
(mutlak) perlu. Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang
ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah
apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu
dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-
gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari
keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat.

Dari penjelaasan itu kita bisa menari kesimpulan, Law as a tool of sosial engineering
merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat
pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah
nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya
dengan sektor hukum merupakan salah satu teori besar dalam ilmu hukum. Hubungan antara
perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti
terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum, sementara di pihak
lain, perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan hukum
yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yakni
fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial, atau sarana merekayasa masyarakat (social
engineering). Pendapat yang diuraikan mengenai rumusan-rumusan dan penggolongan-
penggolongan dalam social engineering Roscoe Pound dapat diibaratkan bahwa hukum
dianggap sebagai insinyur dalam mengungkapkan dasar dasar pembaruan dalam masyarakat
dan menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta bagaimana masyarakat
seyogianya diatur. Jadi, hukum berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mengelola
masyarakat. Adapun yang menjadi pununjang atau pendukung atas teori hukum yang dapat
merekayasa masyarakat (law as a tool social engineering) yang dikemukakan oleh Rouscou
Pound adalah teori tentang efektivitas dan validitas hukum dimana menurut Hans Kelsen,
Jika Berbicara tentang efektivitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum.
Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus
berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum, bahwa orang harus
mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang
benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat,
bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.

2. Ada adagium yang dipopulerkan oleh seorang filsuf bernama Cicero “Ubi societas ibi
ius”(dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Coba berikan pendapat saudara
maksud dari adagium tersebut dan kaitkan dengan kasus di atas!

Jawaban:
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat, adalah sekumpulan individu yang tentunya
memiliki karakter berbeda, karena perbedaan karakter tersebut maka manusia membutuhkan
sebuah aturan yang dapat menselaraskan perbedaan itu. Aturan yang dimaksud kemudian
sering disebut hukum. Berkenaan dengan eksistensi masyarakat sebagai kelompok manusia
yang mempunyai hasrat hidup damai, tentram dan aman seorang filosof bernama Cicero
sekitar 2000 tahun yang lalu mengungkapkan suatu adigium ubi societas ibi ius, dimana ada
masyarakat di situ ada hukum. Masyarakat dalam keadaan bagaimanapun, mulai dari
masyarakat sederhana sampai yang paling modern pastilah mempunyai sistem hukum yang
mengatur satu dengan yang lain. Walaupun demikian dalam hubungan inilah Frans E.Likaja
mengungkapkan, adagium ubi societas ibi ius pada masa sekarang sudah mengalami
perkembangan. Di tengah hutan belantara yang tidak dihuni manusia, ternyata hukumpun ada
dengan mengatur fenomena alam. Menurut saya dalam perkembangannya, hampir setiap
negara memberlakukan aturan untuk mengatur warga negaranya, termasuk Indonesia. Dalam
naskah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat (3), dengan tegas disebutkan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya segala kegiatan atau tindakan
pemerintah ataupun rakyatnya didasarkan pada hukum untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah (penguasa) dan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Demikian juga rakyat harus tunduk kepada hukum. Apabila tindakannya melanggar hukum
rakyat dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum.

Namun, seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat persoalan hukum telah menjadi
bahasan yang sangat kompleks. Polri sebagai salah satu penegak hukum, saat ini sarat dengan
berbagai kritik. Banyak kasus yang sering menjadi konsumsi media untuk menunjukkan
langkah polisi yang dinilai tidak bijak. Setidaknya, ada beberapa kasus yang berulang-ulang
dijadikan contoh, bagaimana kerja polisi yang “tidak pas”. Antara lain kasus nenek Minah
yang dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam
menjalani persidangan. Dari berbagai kejadian inilah, maka kini terus diwacanakan untuk
dikembangkan pendekatan restorative justice. Konsep pendekatan restorative
justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme
tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog
dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil
dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Dalam implementasinya, restorative justice selalu menjadi perdebatan antara ahli hukum
yang berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis. Menurut
Profesor Satjipto Rahardjo almarhum sebagai tokoh yang getol mempopulerkan hukum
dengan prespektif legal-sosiologis mengenalkan hukum progresif, yaitu tidak menerima
hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum progresif merupakan koreksi
terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin
membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Progresivisme (aliran hukum
progresif) mengajarkan hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan
yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin
menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang
bermoral kemanusiaan.

Esensi dari pemikiran Satjipto Rahardjpo sebenarnya adalah hukum yang berkeadilan.
Artinya tujuan hukum bukan semata-mata kepastian hukum, tetapi bagaimana hukum bisa
menjadi sarana untuk memberikan rasa keadilan. Persoalan rasa tentu saja akan menyentuh
kepada subyektifitas. Tetapi bentuk subyektifitas yang bisa dirasakan oleh masyarakat
sehingga kehadiran para penegak hukum menjadikan masyarakat terasa terayomi, bukankah
akan menjadi tetesan embun yang akan membuat hati menjadi dingin. Polri sendiri secara
tegas dalam tugas pokoknya menekankan peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat. Dalam strategi kinerja kepolisian, sebenarnya Polri telah menangkap adanya
realitas kemampuan masyarakat untuk melakukan imunisasi terhadap permasalahan sosial
atau konflik yang timbul di lingkungannya. Masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya
memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau
beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas
itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak)
yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan
permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain
yang diakui dalam masyarakat. Dari sisi konsep, Polri sudah menerapkan apa yang disebut
Polmas atau Perpolisian Masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan tugas Polri telah
dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara teoritik
dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan
masalah (problem solving). Bagi Polri, implementasi Polmas bukan hal baru. Dalam Perkap
Nomor 7 Tahun 2008 disebutkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Polmas pada
hakekatnya telah diimplementasikan Polri berdasarkan konsep Sistem Keamanan Swakarsa
dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui program-program fungsi
Bimmas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia baik di masa lalu maupun di Era Reformasi
(demokrasi dan perlindungan HAM).

Pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui adat kebiasaan sudah umum diterapkan
di dalam masyarakat tradisional, yang kesemuanya merupakan pola-pola pemecahan masalah
dan pencegahan serta pembinaan ketentraman dan kerukunan masyarakat yang mendasarkan
pada asas kemitraan, kebersamaan dan keharmonisan di dalam masyarakat. Penerapan
strategi Polmas bagi Indonesia sangat tepat/cocok dengan budaya masyarakat Indonesia yang
mengedepankan kehidupan berkomunitas, gotong royong, keseimbangan (harmonis), dan
kepedulian serta mendahulukan kepentingan umum.

Dalam pola operasionalisasi Polmas, seperti disebutkan dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2008,
adanya penegasan bahwa upaya penegakan hukum lebih diutamakan kepada sasaran
peningkatan kesadaran hukum daripada penindakan hukum. Sedangka upaya penindakan
hukum merupakan alternatif tindakan yang paling akhir, bila cara-cara pemulihan masalah
atau cara-cara pemecahan masalah yang bersifat persuasif tidak berhasil. Konsep ini selaras
dengan gagasan restorative justice dimana lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Dengan
demikian, implementasi Polmas dalam rangka mewujudkan harkamtibmas sejatinya juga
mendorong agar gagasan restorative justice bisa semakin menjadi salah satu solusi untuk
menjadikan Polri sebagai intitusi yang bermoral kemanusiaan.

3. Dalam konsep The Rule of Law pada negara hukum, tiga nilai dasar tujuan hukum
yakni keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zweckmaerten), dan kepastian hukum
(rechtssicherkeit), melihat kasus di atas dari kacamata nenek Minah apakah ketiga
tujuan hukum tersebut sudah terpenuhi apa tidak? Berikan pendapat saudara!

Jawaban:

Dilihat dari konsepnya nilai dasar yang pertama, tentang keadilan, keadilan merupakan salah
satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum.
Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu
terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban. Itulah sebabnya maka
fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan. keadilan merupakan tujuan
hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan
hukum satu-satunya.

Nilai dasar yang kedua, tentang kemanfaatan hukum. Penganut aliran utilitas menganggap
bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan
pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum
merupakan salah satu alatnya.

Nilai dasar yang ketiga, tentang kepastian hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan
dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Disisi lain ada sebagian
pemikir beranggapan, bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku
manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang
sudah digariskan oleh aturan hukum.

Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah
dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo
hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman.
Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban.

Tiga asas tersebut masing-masing menjadi substansi hukum yang menjadi perspektif dari
produk suatu keputusan hukum. Tidak jarang, orang yang mengutamakan satu perspektif
akan berbeda pandangan dengan orang yang memegang prinsip lain. Misalnya antara asas
kepastian hukum versus asas keadilan. Kasus hukum Nenek Minah yang harus menjalani
hukuman selama satu bulan lima belas hari ditambah tiga bulan masa percobaan. Hukuman
itu harus dijalani setelah Nenek Minah dinyatakan telah bersalah karena mencuri buah Kakao
di area perkebunan PT. Rumpun Sari Antan. Dari segi kepastian hukum memang bisa
memberikan jawaban yang memuaskan, namun dari asas keadilan, terutama perasaan
keadilan masyarakat, akan menjadi persoalan. Berdasarkan hal itu menurut saya belum
terpenuhi karena dalam kasus tersebut, penegak hukum hanya memperhatikan asas kepastian
hukum tanpa memperhatika kedua asas lainnya. Menurut saya, tujuan utama hukum haruslah
keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum harusnya bisa dikesampingkan demi keadilan.
Hukum seharusnya diciptakan oleh manusia bukan manusia untuk hukum. (Ubi societas ibi
ius).

Sumber Refrensi:

Deliarnoor, Nandang Alamsah 2022. Pengantar Ilmu Hukum/PTHI (BMP ISIP4130. Edisi 4).
Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka

Lathif, Nazarudin 2017. Teori Hukum Sebagai Sarana / Alat Untuk Memperbaharui Atau
Merekayasa Masyarakat. Jurnal Pakuan Law Review Vol. 3, No. 1. Hal.73-94.

Moho, Hasaziduhu 2019. Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum,
Keadilan Dan Kemanfaatan. Jurnal Warta Edisi : 59. Hal. 1-13.

Salam, Samsir 2015. Hukum Dan Perubahan Sosial (Kajian Sosiologi Hukum). Jurnal
Tahkim. Vol.11, No. 1. Hal.160-169.

Anda mungkin juga menyukai