PENDAHULUAN
penyelenggara
negara
dalam
menegakan
hukum
dengan
fenomena
keadilan
tersebut,
Keraguan
dan
praktisi
hukum,
ataupun
akademisi,
serta
membedakan
10
sosial10.
Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk
mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara
yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif
dikenalnya istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica
menurut John Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di
Indonesia11.
Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda
dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks
hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi
berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran
Lembaga Yudikatif yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
10 Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH
Indonesia, Jakarta, 1988, him. 20.
11 Saldi Isra; 2013 Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada
Jakarta, hlm 73
11
Konstitusi.
Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan
bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan
lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah
dilakukan dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihakpihak lain, baik internal lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung,
maupun pengaruh pihak eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga
Legislatif. Hal ini selaras dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Mahkamah Agung yang dinyatakan: bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka
penulis menerapkan Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang
hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan
law in books atau das sollen atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih
menekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu, Metode yang
12
14
16
18
ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hatihati sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di
sebuah negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang
memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu
tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilanpengadilan yang memiliki yurisdiksi tetangga dengannya, seperti
pengadilan di Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang
masih menganut negara persemakmuran.
Sementara, di sistem Eropa Kontinental (civil law system) yang
dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi. Yurisprudensi dapat
digolongkan sebagai persuasive precedent. Namun, sifat persuasifnya
hanya berlaku di negara Indonesia. Hal itu berbeda dengan preseden
persuasif yang terdapat di negara-negara Anglo-Saxon yang tetap
disarankan untuk mengikuti preseden di negara persemakmuran yang lain.
Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah Agung tidak wajib diikuti oleh
pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan-pengadilan tinggi di
Indonesia, melainkan hanya disarankan untuk diikuti.
Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum
civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common
law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum. Dan hakim disebut
sebagai pencipta hukum (judge made law)15. Jika terdapat pertentangan
15 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,
Kencana, Jakarta, hlm. 9
19
20
22
paradigm shift20.
Thomas Kuhn, seorang filsuf dan ahli fisika, dalam kapasitasnya
sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah
peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan
dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya
mengembangkan pola atau model berpikir yang sama guna mendefinisikan
pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu
pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai penunjang
kehidupan yang sesuai. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan
dengan keyakinan paradigmatik yang tak lekang di panas dan tak lapuk di
hujan tidaklah selamanya bisa bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah
ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau
beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu
dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm
shift.21 Sejumlah gugus pengetahuan yang normal dan harus dikukuhi
sebagai hal yang benar ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu
tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus
teori pengetahuan yang normal ternyata tak lagi dapat didayagunakan
secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,
demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk
20: Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University
Press, 1962). Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).
21 Ibid
26
27
mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang
berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan
peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk
bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan
baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu
sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh
kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini
telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang normal dan tak
lagi diragukan legitimasinya. Kehendak untuk mencari dan menemukan
alur pendekatan selalu saja terjadi dalam sejarah falsafat dan keilmuan
manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada
kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat
politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban
yang baru pula.
Pemahaman filsafat yang diterapkan oleh Thomas S. Kuhn apabila
menilai kinerja Mahkamah Agung dihubungkan dengan harapan yang ingin
dicapai mengingat lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi
yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman sebagai pemutus terakhir dari
upaya hukum bagi setiap pencari keadilan, maka wajib mengutamakan
perhatian demi tercapainya tujuan keadilan yang diperoleh dari hasil putusan
sebagai produk hukum Mahkamah Agung bukan berarti perhatian terhadap
kinerja Mahkamah Agung belaka yang dirubah melainkan sistem hukumnya
sendiri pula harus berubah, sebab putusan yang relevan harus ditunjang
28
dengan adanya perangkat yang terorganisir jelas dan substansi putusan yang
berkualitas dan komprehensif dan tetap patuh terhadap Kode Etik Perilaku
Hakim dengan tidak melampaui batas-batas kewenangan sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang yang
berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dan sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Dengan landasan penelitian yang diperoleh, selanjutnya digunakan
dalam
menyusun
Disertasi
dengan
judul:
KEWENANGAN
29
30
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan
adalah:
1) Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa
perkara hanyalah sebagai Judec Juris menurut kajian hukum
normatif dan Filosofis?
2) Bagaimana seharusnya Mahkamah Agung sebaai Judec Juris
dalam mewujudkan keadilan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai
kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping
fakta yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang
melebihi kewenangan Mahkamah Agung.
2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan
perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das
sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar
Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.
31
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun
praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis
Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk
memperluas pengetahuan mengenai:
a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah
Agung.
b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus
perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan
pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil
putusan Mahkamah Agung.
2) Kegunaan Praktis.
Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan
kepastian hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara
keseluruhan adalah:
a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus
perkara berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas
suatu putusan yang berlaku.
c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari
adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat
32
6) Bruggink
Teori hukum seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan system
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan
system tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian
ini mempunyai makna ganda, yakni definisi teori sebagai produk dan
proses.
27 Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55
37
51
nilai-nilai Pancasila.43
d) Teori Keadilan
Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)44
John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa
prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam
membangun masyarakat yang adil. Rawls
mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat yang
adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan
teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls
banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme. John Rawls
mengambil gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes,
John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S.
Mill, dan Karl Marx mengenai Teori keadilan.
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam
karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa
konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian
luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1)
Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang
sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices),
53
54
55
56
57
58
59
60
61
paham atau aliran yang dianut saat itu. Namun demikian, apa sebenarnya
manusia begitu gencar mencari keadilan di sepanjang sejarah peradaban
manusia? Apakah yang namanya keadilan memang diperlukan oleh
manusia itu? Jawabannya, tentu saja manusia sangat memerlukan suatu
keadilan seperti uraian di bawah ini.45
a) Jawaban secara deontologis etika, yaitu karena keadilan sudah
menjadi hakdari seseorang, seperti kewajiban orang untuk
menceritakan yang benar (tidak berbohong) atau melaksanakan janji
yang telah dibuatnya (pacta sunt servanda);
b) Jawaban dari kaum utilitarian, bahwa keadilan atau persamaan
perlakuan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk
dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau
kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
c) Jawaban dari kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan
memang kebutuhan dalam masyarakat di sepanjang masa.
d) Jawaban dari kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan
kebutuhan jiwa manusia.
e) Jawaban dari kaum agamis, bahwa keadilan
merupakan kehendak dan tuntunan ilahi terhadap
manusia.
Pada masa 300 Sebelum Masehi, pada masa Plato dan Aristoteles,
konsep keadilan pernah bertengger lama bersamaan dengan
perkembangan paham hukum alam dalam sejarah hukum. Bahkan,
63
dianggap sebagai suatu titah Tuhan. Episode rasional (the age of reason)
terjadi di sekitar abad ke-18, di mana dalam masa-masa ini hukum dan
keadilan diukur dengan memakai ukuran- ukuran rasional sesuai dengan
sistem logika. Dalam tradisi hukum Anglo Saxon keharusan menonjolkan
argumentasi dalam setiap putusan hakim melalui doktrin ratio decidenci,
juga ikut melahirkan yurisprudensi dan aturan-aturan hukum yang
rasional. Sedangkan episode penuh harapan (the age of hope) terjadi di
abad ke-20 (dua puluh), di mana di abad ini hukum sangat diharapkan
untuk dapat memperbaiki keadaan politik, sosial, moral, dan mutu hidup
manusia. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, di abad ini mulai
disadari bahwa hukum tidak mungkin dikembangkan dengan
menggunakan logika secara deduktif semata-mata. Juga, hukum tidak
mungkin direduksi hanya dalam bentuk undang-undang semata- mata.
Bahkan, sering kali undang-undang hanya merupakan penampungan
aspirasi partai tertentu yang berkuasa di parlemen, sedangkan hukum
seharusnya merupakan aspirasi masyarakat luas yang telah teruji
berabad-abad dalam sejarah hukum.
Kemudian, menurut Munir Fuady, di akhir abad ke-20 memasuki
abad 21 (dua puluh satu), perkembangan pemikiran tentang hukum dan
keadilan didominasi oleh rasa frustrasi, skeptis, dan pesimis. Hal ini
dikarenakan tidak kesampaiannya harapan yang terlalu besar di abad ke20 (duapuluh) pada peranan sektor hukum dan ilmu pengetahuan, yang
ternyata perannya dapat dikatakan gagal total. Bahkan, yang jelas terjadi
64
adalah perang dunia pertama dan kedua serta perang-perang lainnya, juga
berbagai pergerakan menuju kerusakan bumi, ketidakadilan, dan
kehancuran manusia. Di samping itu, di paruh pertama abad ke-20, orang
terlalu banyak menggantungkan harapan pada hukum. Padahal, hukum
yang diciptakan oleh manusia ditegakkan dan ditafsirkan oleh manusia
juga, pada hukum tersebut mengandung banyak kelemahannya. Karena
kenyataannya tidak sesuai dengan harapan, maka mulai akhir abad ke-20
dan memasuki abad ke-21, terjadi banyak keputusasaan, frustrasi, skeptis,
dan rasa pesimistis. Hal ini berkembang seiring dengan (atau lebih
tepatnya dipengaruhi) ajaran postmodernisme yang memang sedang
berkembang pesat saat ini. prinsip-prinsip keadilan bersumber dari negara
Yunani klasik yang terus berkembang dan masuk ke dalam hukum
Romawi, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa Kontinental
maupun Anglo Saxon dan terus berkembang sampai dengan keadilan
dalam berbagai sistem hukum modern saat ini.46
Dikemukakan oleh L.J. van Apeldoorn
Menyatakan keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan
persamarataan. bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian
yang sama.47
Juga Aristote1es telah mengajarkannya. Ia mengenal
46 Ibid
47 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta,
2009, hlm. 11
65
66
67
Keadilan Subtantif
Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme
Keadilan Formal
Keadilan formal ini sesuai dengan teori positivisme yang
mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni sebagai fakta, dan
tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan tentang keadilan
disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran yang berhaluan
Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris sempurna sehingga
ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah bahwa orangorang yang menganggap hukum sebagai ius lebih percaya pada
prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada kebijaksanaan
71
52 Ibid
72
73
perundang-undangan.54
Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada
bagaimana cara hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan
perkara. Jika hakim Mahkamah Konstitusi gagal mengurai makna
keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah
keadilan yang kabur. Adil menurut hakim tapi putusan tersebut tak
mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para
pencarinya.
Gerak langkah hakim menelusuri ruang dalam sebuah perkara
untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan konsep judicial
activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism dimaknai
sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana
hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya
mengenai kebijakan publik, di antara pelbagai faktor- faktor, untuk
menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan.
e) Teori Kepastian Hukum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa kepastian hukum adalah
kepastian suatu undang-undang. Namun kepastian hukum tidak
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
45
78
keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk
menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi
ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti
tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum
pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.
Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada
pemahaman tentang kepastian hukum. Sejak posisi hukum dalam jagat
ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institut
nomiatif yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum
dan kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan antara hukum dan
kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta
menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa
hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan,
seperti undang-undang. Begitu suatu undang-undang X dikeluarkan,
maka pada saat yang sama muncul kepastian peraturan. Tidak ada
keragu-raguan mengenai hal tersebut, oleh karena siapa pun segera dapat
menyimak kepastian kehadiran undang-undang X tersebut. Sebaiknya
dipisahkan antara kepastian peraturan dan kepastian hukum, agar kita
dapat lebih seksama mengetahui masalah kepastian hukum itu.57
Kendati demikian ternyata, bahwa kehadiran suatu peraturan itu
masih juga menimbulkan keragu-raguan, yang berarti berkurangnya
nilai kepastian tersebut. Keadaan tersebut terjadi, oleh karena dalam
57 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm.
77
79
kejelasan tujuan;
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
dapat dilaksanakan;
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan dan
keterbukaan.
Suatu undang-undang yang berkepastian hukum dibentuk
berdasarkan Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal
5 sebagai berikut:
52
82
85
58
88
para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas
intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan
penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak
mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.84 Teks menjadi
bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan
pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para
pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran
budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinankeyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat
politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat
tertentu dianggap layak apa tidak.85 Keberhasilan melakukan penafsiran
dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta
pengetahuan individu.86
Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori
tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah
interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan
yang dipandang sebagai sebuah teks.87 Hermeneutika yang berfungsi
sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan
84
99
102
103
law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh
dalam peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum formal.111
Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan
persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua konsep
itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir
dari perjuangan menentang absolutism sehingga bersifat revolusioner,
bertumpu pada sistem hukum continental yang disebutcivil lawatau
modern roman law, dengan karakteristik administrative. Sebaliknya
konsep the rule of law berkembang secara revolusioner bertumpu pada
sistem hukumcommon law dengan karakteristik judicial.112
Perbedaan itu sekarang sudah tidak dipermasalahkan lagi, karena
keduanya menuju pada sasaran yang sama, yaitu jaminan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
c) Konsep Negara Hukum Indonesia
Konstitutional Indonesia merupakan sebuah pernyataan bahwa
Indonesia sebagai Negara hukum telah ada sejak masa periode pertama
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan dalam angka 1 tentang sistem Pemerintahan
Negara: Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat). Berikutnya dijelaskan tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat). Dalam konstitusi RIS 1949 dan Undang111 Notohamidjojo,O, Logcit ., hlm. 81-82.
112Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.
112
125
Ibid
126 Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, hal 34
121
Mengenai
122
123
124
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan
(library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
125
127Lili Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program
Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung, 2011, hlm. 5-11
126
b.
128
BAB
BAB
BAB
BAB
130