Anda di halaman 1dari 130

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik
Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar
suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum
sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.
Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV
dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka
kekuatan suatu negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada
hukumnya sendiri. Untuk itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara
yang memiliki kewenangan dalam menegakan hukum.
Pelaksana

penyelenggara

negara

dalam

menegakan

hukum

berkaitan dengan warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan


hukum yang berlaku sebagai hukum positif. Apabila terjadi pelanggaran
hukum, maka hukum harus ditegakan dan diselesaikan dengan menempuh
jalur hukum melalui badan-badan peradilan. Amandemen Undang-Undang
Republik Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman,
perubahan tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,


Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 dan diatur pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Walaupun badan-badan peradilan itu berada di bawah Mahkamah
Agung bukan berarti Mahkamah Agung dapat mempengaruhi putusan badan
peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat
membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam
Tingkat Kasasi. Mengingat adanya yurisdiksi peradilan dalam upaya
menegakan hukum di setiap lingkup peradilan dalam penyelesaian suatu
perkara tentu diakhiri dengan adanya putusan hakim. Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim yang
dimaksud adalah Hakim pada Mahkamah Agung (Hakim Agung) dan hakim
pada badan peradilan yang ada di bawahnya sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (5) dan ayat (6). Oleh karenanya putusan hakim dalam persidangan
untuk menyelesaikan suatu perkara tidak selamanya dapat memberikan rasa
keadilan bagi masing-masing pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan
hakim pada tingkat pertama dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya
sebagaimana Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa "Kekuasaan Kehakiman


dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang".
Rasa keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau
perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak
memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat
adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.
Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia,
tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang
menang, tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam
mempertahankan hak dan kewajiban1.
Wujud implementasi hukum dalam sebuah sistem hukum nasional
membutuhkan perangkat hukum memadai, sehingga segala keputusannya
dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan. Meskipun tuntutan keadilan
hukum dari masyarakat sangat tinggi ditambah dengan akumulasi
problematika kehidupan yang sangat kompleks, namun perangkat hukum
terutama untuk tercapainya keadilan dalam hukum masih dirasakan sangat
minim. Hal demikian terdapat pada materi undang-undang yang masih sangat
memungkinkan bagi para pelanggar hukum untuk lolos dari jeratan hukum.
Sehubungan

dengan

fenomena

keadilan

tersebut,

Keraguan

1 Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum (Yogyakarta:UII


Press, 2007), hlm 3.
3

dan

ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan


tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon
persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara
tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga
negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,
Selain itu Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Afirmasi hukum yang ideal
tersebut terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan
konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum,
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
secara khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan, selanjutnya
dinyatakan bahwa: Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, setiap warga
negara berhak diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar

hukum berfungsi secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai


keadilan. Cita-cita tersebut hanya bisa diraih ketika lembaga dan pelaksana
dalam menegakkan hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk
menegakkan hukum sebaik mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak.
Jika pelaksana dalam menegakkan hukum tidak adil pada setiap perkara
hukum, maka masyarakat tentunya akan mempersoalkan eksistensi hukum
dan pelaksana untuk menegakkan hukum. Keraguan itu bermuara pada
tindakan main hakim sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana dalam menegakkan hukum
yang diduga memanfaatkan hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik
kelompok tertentu.
Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak mampu merespon
secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, pelaksana demi
menegakkan hukum dituntut untuk lebih serius dan konsisten menegakkan
hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan hukum memberikan
kepercayaan dan keyakinan kepada para pencari keadilan dan kepastian
hukum sebagai jaminan dari eksistensi hukum. Dalam sistem hukum di
manapun mengenai keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya
melalui lembaga peradilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi
bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya
merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan
yang telah disepakati bersama.2
2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2006, hlm. 270
5

Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, bila menarik


pernyataan pakar hukum Sunaryati Hartono yang menegaskan perlunya ahli
hukum,

praktisi

hukum,

ataupun

akademisi,

serta

membedakan

pengertian sistem hukum nasional dan hukum positif Indonesia. Mengenai


cara pandang secara konseptual kedua istilah itu memiliki perbedaan yang
sangat esensial. Menurut Sunaryati Hartono dalam makalah yang berjudul
Landasan, Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum Nasional
Kita, beliau kembali menegaskan perbedaan arti kedua istilah tersebut.
Hukum Nasional adalah ius contituendum sedangkan hukum positif adalah
ius constitutum. Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada
dan berlaku di Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum
yang belum seluruhnya ada di Indonesia dan karena itu masih dipikirkan
bagaimana membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan
landasannya serta filsafah dan materinya3.
Kenyataan menurut Sunaryati Hartono sejalan dengan pernyataan
pakar hukum Sudiman Kartohadiprodjo, bahwa Hukum positif dengan nama
asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,
yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi
akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu 4.
3 Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem
Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V Babinkumnas,
Departemen Kehakiman, Jakarta 21-22 Januari 1986, hlm 3.
4 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum.
Bandung (Penerbit: Alumni, 1980) Halaman 6
6

Mengutip kembali penegasan Sunaryati Hartono mengenai arti hukum


nasional adalah:5
Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan norma hukum,
maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang
tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses
dan prosedur serta interaksi dari pelaksanaan hukum yang secara
utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran suatu tatanan
hukum yang menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945.
Seluruh komponen dalam definisi Hukum Nasional itu merupakan
bagian-bagian yang tidak terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya,
sebagai suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari sejumlah komponen
atau bagian atau aspek yang terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu
asas atau prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga perubahan pada
komponen yang satu akan menimbulkan perubahan pula pada komponenkomponen yang lain6. Pencantuman kata nasional pada frasa Hukum
Nasional tidak dapat dilepaskan dari asal kata yang membentuknya, yakni
nation atau bangsa. Arti bangsa ini menurutnya, jelas tidak sama dengan
arti dari ras ataupun volk atau folk sebab pengertian bangsa yang
dipegang teguh olehnya adalah seperti yang diucapkan oleh Ernst Renan pada
5 Sunaryati Hartono, Potitik Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan
Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, tanggal 5 Desember 1994 di Bandungan,
Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Nasional
Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.
6 Op.cit, hlm 3.
7

orasi dies Universitas Sorbonne Perancis tahun 1889, yakni sekelompok


manusia yang sama-sama pernah mengalami penderitaan yang sangat parah
sehingga merasa senasib sepenanggungan dan karena itu mempunyai tekad
untuk terus hidup sebagai satu kelompok di masa depan secara turun
temurun. Jadi, ditegaskan oleh Sunaryati Hartono, pembentukan suatu
bangsa (nation) tidaklah berdasarkan pada persamaan keturunan seperti
dalam hal kelompok yang dinamakan ras; tidak juga didasarkan pada
persamaan budaya atau agama seperti di dalam hal suatu volk terjadinya
persamaan nasib atau pengalaman bersama yang sangat berat dan
menyedihkan (faktor historis) sehingga kelompok manusia itu merasa senasib
sepenanggungan (faktor psikologis) dan mempunyai tekad untuk tetap hidup
di dalam kebersamaan untuk selama-lamanya secara turun temurun (faktor
politik)7. Selaras dengan pengajaran mengenai Hukum Nasional menurut
Sunaryati Hartono yang dikemukakan pada tahun 2006 yakni:8
Dengan demikian, jelas pula mengapa pengertian hukum nasional
diartikan pula sebagai keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan
UUD 1945 dan bertujuan mewujudkan cita-cita (visi dan misi)
7 Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan
oleh Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan teks
di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum Universitas
Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, 15
September 2008, dengan judul Membangun Budaya Hukum Pancasila
Sebagai Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.
8 Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi
Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung, 2006, hlm. 21.
8

bangsa sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan


negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, Dengan kata lain, hukum
nasional itu bukan Hukum Adat; bukan pula Hukum Islam, ataupun
sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali yang tidak ada,
baik hubungan batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan
UUD 1945 sebagai Grundnorm dan Batang Tubuh UUD 1945
sebagaimana ia akan berkembang dari waktu ke waktu. Jika
demikian, Hukum Adat, Hukum Islam, bahkan hukum asing
(Belanda, Amerika, Perancis, Cina, dsb. nya) dan Hukum
Internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur (sumber
hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi
pembangunan nasional dan pengembangan Hukum Nasional,
sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa dan
Negara, serta asas-asas dan falsafah hukum yang disebut maupun
tersirat di dalam UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 itu,
termasuk Pancasila.
Upaya menegakan hukum maka undang-undang memegang peranan
penting agar hukum itu sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat
penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu sendiri, karena
ketidak jelasan Pasal dalam undang-undang, misal Pasal yang menimbulkan
multi tafsir, sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
maksud dari tujuan pembentukannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian.
Kajian yang dapat dilakukan dengan menggunakan hermeneutika hukum atau
undang-undang. Objek kajian hermeneutika hukum dapat berupa teks hukum,
naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam atau
konstitusi sebuah negara. Pendapat ini juga benar, sebab dokumen sejarah
atau tatanan norma dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa
dipahami oleh rakyatnya9.
9 Jazim Hamidi, Mengenal Lebih Dekat Hermeneutika Hukum, Dalam
Butir-butir Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 tahun Prof. Dr.. B. Arief
Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 82.
9

Dengan demikian peranan hukum bagi pembangunan pemerintahan,


bagi legislatif dan eksekustif, hukum yang mengikat dan dipatuhi haruslah
berbentuk tertulis. Karena hukum tertulis merupakan aturan yang bersifat
riil dapat dibuktikan, karena berbentuk dan memuat norma-norma yang
bersanksi dan harus dipatuhi tidak saja masyarakat namun juga pemerintah
dan negara. Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan
pembangunan baik spirituil maupun materil. Pembangunan ditujukan pula
bagi terlaksananya kesejahteraan rakyat.
Pelaksanaan tersebut tidak lepas dari upaya menegakan hukum yang
dilaksanakan dalam setiap badan peradilan di bawah naungan Kekuasaan
Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah
Agung bersfungsi melakukan penafsiran hukum terhadap Pasal yang tidak
jelas untuk kemudian diterapkan dalam suatu perkara di persidangan
disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding) dilanjutkan dengan
penciptaan hukum (rechtsschepping) menjadi pembaharu hukum
(rechtsvorming).
Konsep keadilan merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan
bagi penyelengagara negara, dengan memberikan jaminan atas rasa
keadilan terutama keadilan dalam konteks hukum nasional, hukum tentu
harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan Nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan

10

sosial10.
Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk
mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara
yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu
kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif
dikenalnya istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica
menurut John Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di
Indonesia11.
Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda
dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks
hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi
berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran
Lembaga Yudikatif yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa: Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
10 Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH
Indonesia, Jakarta, 1988, him. 20.
11 Saldi Isra; 2013 Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada
Jakarta, hlm 73
11

Konstitusi.
Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan
bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan
lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah
dilakukan dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihakpihak lain, baik internal lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung,
maupun pengaruh pihak eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga
Legislatif. Hal ini selaras dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Mahkamah Agung yang dinyatakan: bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka
penulis menerapkan Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang
hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan
law in books atau das sollen atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih
menekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu, Metode yang

12

digunakan adalah yuridis-normatif yang pada dasarnya mengkaji hukum


dalam kepustakaan, misalnya: penelitian inventarisasi hukum positif,
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum
in concreto, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhada
taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, Kajian normatif terhadap hukum
antara lain Ilmu Hukum Pidana Positif, Hukum Tata Negara Positif, dan
Hukum Perdata Positif12.
Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman
memiliki kewenangan memeriksa dan memutus mengenai adanya
pengajuan: a) Permohonan kasasi; b) Sengketa tentang kewenangan
mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) UndangUndang Mahkamah Agung; d) Disamping tiga wewenang tersebut
Mahkamah Agung juga mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung; dan e) Berwenang
melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan serta
pengawasan administratif pada semua badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Maka dari
poin-poin wewenang Mahkamah Agung di tingkat kasasi sesuai Pasal 50
ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan dapat
membatalkan putusan atau mengabulkan penetapan pengadilan12 Yesmil Anwar & Adang.2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta.
Grasindo, 2008. Hlm 109.
13

pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena dengan pertimbangan


yakni bahwa pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah
casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi
hukum untuk mencapai kesatuan peradilan yang dilakukan oleh raja beserta
dewannya yang disebut Coseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan
kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga
kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan yang menjembatani
pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21
Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de
casssation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru
pula oleh negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia.
Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit.
Penafsiran secara lebih adalah D. Simon yang mengatakan jika hakim
memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan
kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi
memutus padahal hakim pertama telah membebaskan. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah
Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-

14

pengadilan lain, tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan


kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan
uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih
lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat
mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari
masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundangundangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika
kehidupan masyarakat itu sendiri13.
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya Kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili perkara
kasasi adalah untuk menjaga agar hukum tidak dilanggar, agar tidak salah
menerapkan hukum serta menjaga agar cara-cara mengadili dari pengadilan
yang lebih rendah tidak disalahgunakan. Pengadilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung sebagai fungsi pelaksana Keuasaan Kehakiman adalah
Pengadilan tingkat pertama, sebab pada hakikatnya adalah pengadilan yang
bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan
kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta
demikian. Oleh karena itu, pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai
judex facti, sedangkan pengadilan tingkat banding bertugas menjawab
13 Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm 292
15

persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa


fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu peristiwa kongkret
tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan hukum yang
berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tersebut. Sementara
itu, upaya tingkat kasasi bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan
tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku
terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu, pengadilan
tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata sebagai judex juris.
Memegang peranan sebagai Judex Juris, Mahkamah Agung hanya
menilai masalah penerapan hukum yang dijalankan oleh pengadilan
sebelumnya, apakah sudah tepat dilaksanakan. Masalah penilaian faktafakta (judex factie) dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan
tidak termasuk wewenang Mahkamah Agung, tetapi kewenangan
Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Oleh karena itu,
kewenangan Mahkamah Agung dalam mengadili perkara kasasi hanya
terbatas pada menyelidiki apakah putusan yang dimintakan kasasi
bertentangan dengan penerapan hukum atau acara mengadili apakah
pengadilan di bawahnya telah melampaui batas-batas kewenangan atau
tidak. Suatu putusan untuk dapat dikatakan terpenuhi dalam arti dikabulkan
atau hasil putusan yang dibatalkan oleh Hakim Agung sebagai pelaksana
Mahkamah Agung menurut ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung
adalah:
1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana (Pasal 51

16

Undang-Undang Mahkamah Agung), sebagaimana


diuraikan pada substansi dan amar putusan.
2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri
perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang
berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Pasal 50 ayat
(2) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Mengenai Pasal 50 ayat (2) dinyatakan bahwa: Apabila Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara
tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan
Tingkat Pertama.
Negara yang menganut tradisi hukum Eropa kontinental, umumnya
mengenal istilah dari makna Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah
Agung yang disebut sebagai yurisprudensi mengacu kepada putusan
pengadilan tingkat tinggi (biasanya pengadilan tertinggi) tentang suatu hal.
Meskipun tidak mengikat secara formal, putusan ini secara praktek
mempunyai pengaruh kuat dan sering diterapkan hakim di pengadilan lebih
rendah di kemudian hari apabila fakta-fakta dalam sidang perkara yang
berlangsung mirip dengan fakta dalam kasus di mana yurisprudensi
ditetapkan. Di negara Common Law, istilah ini biasanya mengacu kepada
filsafat hukum. Jadi, dalam sistem Anglo-Saxon adalah Preseden.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo14:
menyatakan bahwa Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih
14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Hlm 113
17

dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.


Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu
hampir seluruhnya terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil
ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah
dimulai sejak akhir abad ketigabelas... Sifat preseden dalam sistem
peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat the binding
force of precedent (preseden yang mengikat) dan persuasive precedent
(preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan
yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan.
Sebagai penjelasannya, dapat menyimak pengertian kedua istilah di
atas dalam Black Laws Dictionary: Binding Precedent: a precedent that a
court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable
holding of a higher court in the same jurisdiction. (Terjemahan bebasnya
adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan
di tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu
yurisdiksi yang sama). Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung (Supreme Court) di Australia mengikat pengadilan-pengadilan
negeri atau tinggi di Australia dinyatakan: Persuasive precedent: a
precedent that a court may either follow or reject, but that is entitled to
respect and careful consideration. For example, if the case was decided in
a neighboring jurisdiction, the court might evaluate the earlier courts
reasoning without being bound to decide the same way.
(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau

18

ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hatihati sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di
sebuah negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang
memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu
tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah
Agung di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilanpengadilan yang memiliki yurisdiksi tetangga dengannya, seperti
pengadilan di Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang
masih menganut negara persemakmuran.
Sementara, di sistem Eropa Kontinental (civil law system) yang
dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi. Yurisprudensi dapat
digolongkan sebagai persuasive precedent. Namun, sifat persuasifnya
hanya berlaku di negara Indonesia. Hal itu berbeda dengan preseden
persuasif yang terdapat di negara-negara Anglo-Saxon yang tetap
disarankan untuk mengikuti preseden di negara persemakmuran yang lain.
Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah Agung tidak wajib diikuti oleh
pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan-pengadilan tinggi di
Indonesia, melainkan hanya disarankan untuk diikuti.
Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum
civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common
law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum. Dan hakim disebut
sebagai pencipta hukum (judge made law)15. Jika terdapat pertentangan
15 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,
Kencana, Jakarta, hlm. 9
19

antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang


dimenangkan. Sementara, sistem civil law memiliki ciri bahwa hakim
hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis, jika terjadi pertentangan
antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan
adalah undang-undang. Peranan Hakim Agung dalam membentuk
yurisprudensi ini terutama dilakukan oleh Mahkamah Agung di Indonesia
dalam wujud produk-produk hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga
yang memutus terhadap permohonan di tingkat kasasi. Penanganan dari
upaya hukum kasasi tidak lepas dari pelaksana produk hukum Mahkamah
Agung yaitu Hakim Agung sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung pada Pasal 4 ayat (2) Pimpinan dan Hakim Anggota
Mahkamah Agung adalah Hakim Agung, memiliki fungsi utama menjaga
kesatuan hukum, artinya senantiasa mengeluarkan putusan yang bersifat
konsisten dan berkualitas.
Ketentuan ini merupakan pernyataan yang memberikan makna
bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dituntutan agar putusan
Mahkamah Agung berkualitas, relevan dengan adanya kemungkinan secara
langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa disebutkan bahwa dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan yang tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara

20

mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; atau dianggap


lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan. Intinya, Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
permohonan kasasi, berwenang membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan, jika putusan atau penetapan itu tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dinamika Mahkamah Agung saai ini mempunyai kecenderungan
memperluas kewenangannya. Mahkamah Agung secara historis
mengadopsi konsep kasasi, namun tidak menerapkan prosedur Renvoi
(Penunjukan Kembali dalam kenyataan tersebut memiliki mekanisme
bertahap), sehingga hakim agung dalam tingkat kasasi pada akhirnya
diperbolehkan juga memeriksa fakta karena tidak perlu merujuk ke
pengadilan yang seharusnya berwenang memeriksa fakta tersebut.
ketidakjelasan tafsiran atas apa yang diuji terhadap suatu perkara sehingga
dapat dikatakanlah, Mahkaman Agung benar-benar membutuhkan adanya
pemeriksaan atas fakta. Akibatnya, mekanisme kasasi sebenarnya telah
berubah menjadi suatu mekanisme banding yang sempurna16.
Muncul suatu wacana mengenai bagaimana Mahkamah Agung
kemudian memutus hal-hal yang berkaitan dengan fakta. dengan tidak
adanya lagi suatu pembatas, ditambah kecenderungan Mahkamah Agung
memperluas ruang lingkup kasasi, maka dengan sendirinya para pihak,
16 Lembaga Peneliti Hukum Independen, Pengamat Hukum Indonesia,
Pemerhati Mahkamah Agung, Rubrik: Selasa, 17 Juli 2012.
21

dalam kondisi apapun, akan mencoba membawa sengketanya ke tingkat


yang tertinggi, yang memberi kecenderungan menganggap bahwa
Mahkamah Agung dalam penerapan hukumnya dinilai tidak lagi konsisten.
Ini bisa kita lihat dari putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tidak
lagi mengindahkan permasalahan prosedural, tidak menyaring permohonan
yang mengandung pertanyaan hukum, serta tak mencoba membatasi ukuran
hukum tak tertulis yang bisa dijadikan sumber hukum. Mahkamah Agung
juga tidak secara tegas menentukan batasan yang menjadi acuannya sendiri,
langkah Mahkamah Agung ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakikat Mahkamah Agung yang merupakan harapan sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman hendaknya dapat mewujudkan
perlindungan berdasarkan hukum yang berkeadilan bagi negara dan rakyat
sudah merupakan kewajiban untuk lebih fokus menangani perkara-perkara
yang menjadi fenomena keadilan seperti masalah pidana, perdata, dan tata
usaha negara dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Bilamana
kekuasaan Mahkamah Agung itu dipertahankan, perlu dibuat mekanisme
atau proses yang bisa memastikan pencari keadilan (justice seekers)
mendapatkan proses yang adil, objektif dan transparan (fair trial).
Ketentuan hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan II terhadap UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dengan demikian
dari hasil penelitian perubahannya saat ini belum mencerminkan prinsipprinsip itu sebagaimana terlihat dalam Pasal 31 dan Pasal 31A dan Peraturan

22

Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.


Kajian terhadap putusan Mahkamah Agung yang menimbulkan
masalah semakin kompleks, sebab hasil putusan Mahkamah Agung banyak
yang masih sangat tidak fair dan objektif, kenyataan yang terjadi secara
praktik dari pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung hasilnya diperoleh
penjatuhan sanksi sepihak oleh Mahkamah Agung, meskipun pada dasarnya
Judex Juris tidak berkewenangan melakukan proses klarifikasi dan
investigasi termasuk saksi-saksi serta memeriksa fakta-fakta sebagaimana di
persidangan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Idealnya, Mahkamah
Agung hanya menilai hasil pemeriksaan yang berupa putusan melalui
prosedur Judex Facti. Membuktikan ketidak patuhan terhadap kode etik dan
pedoman Perilaku Hakim, dengan demikian upaya membongkar praktikpraktik abuse peradilan yang sifatnya masif, sistemik dan terstruktur
diperlukan17.
Selanjutnya berdasarkan penelitian melalui diskusi hukum
"Konsistensi Mahkamah Agung dalam Memutus perkara" dalam rangka
peluncuran jurnal Dictum oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Indepedensi Peradilan (LeIP) di Jakarta intinya bahwa18:
Mahkamah Agung dalam Memutus perkara yang terjadi saat ini
dapat dikatakan inkosistensi sebagaimana Sebastian Pompe yang
meragukan apakah masalah Inkostensi putusan ini merupakan
masalah dari sistem hukum yang digunakan atau hanya masalah
administrasi peradilan semata. Penyebabnya adalah telah
17 Renstra Mahkamah Agung 2010-2014. hlm 17.
18 http://new.hukumonline.com/berita/baca/banyak-penyebab-putusan-matidak-konsisten
23

terjadinya pergeseran paradigma dalam sistem civil law maupun


common law saat ini, tudingan bahwa perbedaan sistem
menyebabkan terjadinya inkonsistensi putusan menjadi kurang
relevan. Dalam sistem civil law, yang selama ini precedent
dianggap tidak penting, saat ini telah terjadi pergeseran. Di negaranegara yang menerapkan sistem ini, putusan hakim yang telah ada
mulai dipatuhi dan diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Sementara
sistem common law, yang selama ini dianggap selalu berdasarkan
precedent, malah mulai membatasi precedent. Bahkan menurut
Pompe, di Indonesia sebelum tahun empat puluhan, sistem
precedent telah diterapkan. Putusan Mahkamah Agung
sebelumnya diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Ini bisa dilihat
dari putusan-putusan hakim-hakim pada masa itu yang tersusun
rapi dilengkapi dengan indeks dan referensi silang lainnya.
Ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa
putusan yang konsisten bisa dicapai dengan kemahiran
melakukan penelusuran pada sumber-sumber hukum, baik formil
maupun materil. "Saat ini kesulitan melakukan penelusuran adalah
karena amburadulnya dokumentasi bahan-bahan hukum, baik
bahan primer maupun bahan hukum sekunder. Karena itu, hakim
dalam membuat putusan hanya menggunakan bahan-bahan hukum
berdasarkan ingatan dan pengalaman. Karena ingatan dan
pengalaman hakim yang satu berbeda dengan yang lain, amaramar putusan mereka akan lebih bernuansa personal dari pada
bernuansa institusional yang akan relatif konsisten.
Apabila merujuk pada putusan Mahkamah Agung di negara Indonesia
menurut kajian terhadap mekanisme putusan konsistensi Mahkamah Agung
disadari masih masih sangat jauh dari harapan untuk dicapai. Namun
diharapkan Mahkamah Agung mampu memperhatikan setiap putusan
Mahkamah Agung walau berbeda-beda dalam pertimbangan hukumnya
namun wajib memperhatikan perihal yang memuat argumentasi hukum yang
jelas, runtut dan komprehensif akan mengetahui jelas akan kekurangannya,
saat ini putusan Mahkamah Agung tidak cukup menguraikan dengan jelas
alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. seperti beberapa
putusan Mahkamah Agung hanya memutus sebatas, Menimbang Bahwa
24

Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dibenarkan karena Judex


Facti tidak melanggar hukum, Mahkamah Agung tidak menerangkan
secara argumentatif di mana letak tidak melanggar hukumnya itu. Dengan
demikian putusan Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya dinilai
tidak efektif dijabarkan secara tegas dan jelas tidak hanya ketentuan hukum
saja namun asas dan teori hukum dan dinamika perkembangan yang ada
dimasyarakat pula secara komprehensif wajib dijadikan wacana dalam suatu
putusan Mahkamah Agung, terlebih lagi Mahkamah Agung tidak lagi
menilai atau mengkoreksi atas putusan peradilan dalam yurisdiksinya
melainkan seolah-olah memeriksa fakta yang melampaui batas-batasnya
sebagai Judex Juris19.
Berkaitan mengenai uraian pergeseran paradigma di atas maka dapat
dapat diperoleh melalui hasil gagasan kontroversial manusia sepanjang
perjalanan sejarah peradabannya, suatu produk pilihan dari kurun ke kurun
yang dilakukan para elit pemikir tatkala mereka harus mencari dan
menemukan hukum yang paling signifikan guna melestarikan eksistensi
manusia sosio-politik manusia, maka tak salah kalau Thomas Kuhn
mendalilkan bahwa paradigma itu sesungguhnya merupakan produk
pergeseran pangkal berpikir manusia. Kuhn menggunakan istilah
paradigma tidak hanya untuk mengisaratkan adanya pola atau pangkal
berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik
antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut

19 Ibid (Data diolah dalam menanggapi Konsistensi Mahkamah Agung)


25

paradigm shift20.
Thomas Kuhn, seorang filsuf dan ahli fisika, dalam kapasitasnya
sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah
peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan
dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya
mengembangkan pola atau model berpikir yang sama guna mendefinisikan
pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu
pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai penunjang
kehidupan yang sesuai. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan
dengan keyakinan paradigmatik yang tak lekang di panas dan tak lapuk di
hujan tidaklah selamanya bisa bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah
ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau
beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu
dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm
shift.21 Sejumlah gugus pengetahuan yang normal dan harus dikukuhi
sebagai hal yang benar ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu
tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus
teori pengetahuan yang normal ternyata tak lagi dapat didayagunakan
secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,
demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk
20: Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University
Press, 1962). Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).

21 Ibid
26

mencari teori-teori pengetahuan baru atas dasar konsep-konsep yang baru


pula untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan
bersaranakan pengetahuan-pengetahuan berparadigma lama, begeser ke
pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma yang
baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang lama
ke yang baru.
Demikianlah, dalam dinamika pengetahuan dan ilmu hukum,
perkembangan intelektual manusia pun tidaklah pernah berlangsung secara
lempang-lempang dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a
mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang
mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama sebagai ilmu yang
dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya gagal menjawab
masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan
anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma
baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini
akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan
menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama.
Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang
meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak
akan lenyap begitu saja dari percaturan.
Konsep paradigm shifts (bergeser) membuka kesadaran bersama
bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu juga dalam percaturan hukum tak
akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana objektivitas yang

27

mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang
berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan
peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk
bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan
baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu
sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh
kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini
telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang normal dan tak
lagi diragukan legitimasinya. Kehendak untuk mencari dan menemukan
alur pendekatan selalu saja terjadi dalam sejarah falsafat dan keilmuan
manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada
kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat
politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban
yang baru pula.
Pemahaman filsafat yang diterapkan oleh Thomas S. Kuhn apabila
menilai kinerja Mahkamah Agung dihubungkan dengan harapan yang ingin
dicapai mengingat lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi
yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman sebagai pemutus terakhir dari
upaya hukum bagi setiap pencari keadilan, maka wajib mengutamakan
perhatian demi tercapainya tujuan keadilan yang diperoleh dari hasil putusan
sebagai produk hukum Mahkamah Agung bukan berarti perhatian terhadap
kinerja Mahkamah Agung belaka yang dirubah melainkan sistem hukumnya
sendiri pula harus berubah, sebab putusan yang relevan harus ditunjang

28

dengan adanya perangkat yang terorganisir jelas dan substansi putusan yang
berkualitas dan komprehensif dan tetap patuh terhadap Kode Etik Perilaku
Hakim dengan tidak melampaui batas-batas kewenangan sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang yang
berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dan sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Dengan landasan penelitian yang diperoleh, selanjutnya digunakan
dalam

menyusun

Disertasi

dengan

judul:

KEWENANGAN

MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI JUDEC JURIS DALAM MENILAI


FAKTA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN.
Demi tercapainya kepastian, dan kemanfaatan hukum yang
berkeadilan. Sebagaimana amanat Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji adanya peralihan sistem sebagai mekanisme Mahkamah
Agung dalam fungsinya dan tujuannya berpedoman pada kepatuhan
terhadap hukum untuk membentuk putusan yang mewujudkan keadilan.
Penelitian ini akan berupaya membandingkan dengan negara seperti
Singapura yang bersistem hukum Commond Law (Anglo Saxon) yang juga
mengadopsi sistem hukum Civil law berdasarkan teori Paradigma Shift
menurut filsafat Thomas S. Kuhn begitu pula sebaliknya di negara yang
bersistem Common law mengadopsi sistem hukum Civil Law. kedua sistem
hukum ini faktanya berlaku di Indonesia yang secara praktis mengadopsi
sistem hukum Anglo Saxon seperti the Binding force of Precedent artinya

29

kekuatan mengikatnya suatu putusan peradilan. Secara garis besar adalah


negara yang bersistim hukum Common Law (Anglo Saxon) menekankan
bahwa Hakim kompetensinya adalah judex juris, putusannya judgement
decision, sedangkan Juri kompetensinya adalah judex facti, putusannya
adalah verdict. Hakim mewakili Negara sedangkan juri mewakili rakyat.
Sistem hukum Civil Law, yaitu sistem hukum yang mengutamakan
kodifikasi hukum dan Undang-Undang atau hukum tertulis sebagai
penjamin asas legalitas dan kepastian hukum seperti yang berlaku di
Indonesia. Namun dalam praktek seiring dengan perjalanan waktu, apabila
dianalisa memiliki manfaat secara internal setelah adanya pengaruh
globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,
nampaknya penerapan sistem hukum Civil Law di Indonesia mulai
mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya akademisi maupun praktisi
hukum dari Indonesia yang belajar hukum di negara-negara yang menganut
sistem Common Law. Selain itu terdapat manfaat eksternal yaitu dapat
mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan
negara lain yang berbeda sistem hukumnya. Pergeseran itu antara lain
mulai diakuinya sumber hukum Juriprudensi, yaitu putusan hakim (Judge
Made Law) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di
Indonesia. Sistem hukum Civil Law memiliki sumber hukum utama yakni
Undang-undang dan Hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya
meskipun dalam perkara yang sama.
Melalui pemahaman ini timbul kesadaran akan pentingnya

30

mempelajari perbandingan sistem hukum untuk memperoleh pemahaman


yang komprehensif untuk mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan
hukum nasional.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan
adalah:
1) Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa
perkara hanyalah sebagai Judec Juris menurut kajian hukum
normatif dan Filosofis?
2) Bagaimana seharusnya Mahkamah Agung sebaai Judec Juris
dalam mewujudkan keadilan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai
kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping
fakta yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang
melebihi kewenangan Mahkamah Agung.
2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan
perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das
sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar
Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.

31

D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun
praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kegunaan Teoritis
Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk
memperluas pengetahuan mengenai:
a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah
Agung.
b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus
perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan
pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil
putusan Mahkamah Agung.
2) Kegunaan Praktis.
Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan
kepastian hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara
keseluruhan adalah:
a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus
perkara berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas
suatu putusan yang berlaku.
c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari
adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat

32

diterima atau terjadi penolakan apabila Mahkamah Agung


mengambil keputusan di luar Undang-Undang hukum formil.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Sebelum menguraikan mengenai Teori Negara Hukum, maka akan
diuraikan mengenai pengertian negara menurut para ahli hukum.
a) Teori Pengertian Negara
Mengenai pengertian negara, terdapat beberapa pengertian yang
diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon,
sebagai berikut:22
1. Aristoteles
Negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
2. Jean Bodin
Suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala
kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang
berdaulat.
3. Hugo Grotius
Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orangorang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum
4. Bluntschi
Negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi
politik di suatu daerah tertentu.
5. Hans Kelsen
Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan
tata paksa.
6. Woodrow Wilson
Negara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam
wilayah tertentu.
7. Diponolo
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang
dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu
22 Max Boli Sabon, dkk, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. hlm. 25.
33

umat di suatu daerah tertentu. Bagaimana bentuk dan


coraknya, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan.
Organisasi kekuasaan ini selalu mempunyai tata pemerintahan.
Dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas
suatu umat di daerah tertentu.
Pendapat tentang negara juga dapat dijumpai pada tulisan Miriam
Budiardjo yang mengutip beberapa pemikiran sarjana, seperti:23
1) Rogel H. Soltau, mengemukakan negara adalah alat (agency) atau
wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalanpersoalan bersama atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski, mengemukakan negara adalah suatu masyarakat
yang diintergrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat
adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati
baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
3) Max Weber, mengemukakan negara adalah suatu asosiasi yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam sesuatu wilayah.
4) Robert M. MacIver, berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu
wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
23 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1977,
hlm 39
34

suatu pemerintah yang untuk suatu pemerintah yang untuk maksud


tersebut diberi kekuasaan memaksa.
Selain para sarjana seperti yang dikutip oleh Max Boli Sabon
dkk dan Miriam Budiardjo, Wirjono Projodikoro juga memberikan
pengertian mengenai negara. 24 Negara menurut beliau diartikan sebagai
suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritoir) tertentu dengan
mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan
keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Dari
pengertian-pengertian tentang negara tersebut, dapat disimak bahwa
pengertian negara menurut Diponolo yang memberikan uraian yang
sederhana, jelas, dan terperinci. Menurut beliau, negara selalu merupakan
organisasi kekuasaan, mempunyai tata pemerintahan dan tata
pemerintahan yang ada selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di
daerah tertentu.
b) Teori Pengertian Hukum
Teori mengenai pengertian hukum pada hakikatnya belum adanya
satu definisi yang baku. Banyak pendapat para ahli mengenai disiplin teori
hukum, antara lain:25
1) Hans Kelsen
24 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian
Rakyat, Jakarta, 1974, hlm. 2.
25 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 253
35

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hukum yang berlaku


bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud
adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori
hukum murni, makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan
berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak
bersangkut paut dengan hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu
hukum, dan bagaimana ia ada.
2) Friedman
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum
yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi
lain. disiplin teori hukum tidak mendapatkan tempat sebagai ilmu yang
mandiri, maka disiplin teori hukum harus mendapatkan tempat di
dalam disiplin ilmu hukum secara mandiri.26
3) Ian Mc Leod
Teori hukum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik
secara sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan
hukum atau intitusi hukum secara umum.
4) John Finch
Teori hukum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada
hukum dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau system hukum
yang bertujuan menganalisis unsure-unsur dasar yang membuatnya
menjadi hukum dan membedakannya dari peraturan-peraturan lain.
26 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas
Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990, hlm. 1
36

5) Jan Gijssels dan Mark van Hocke


Teori hukum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan
tentang hukum. Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang
perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait dengan ajaran hukum
umum. Mereka memandang bahwa ada kesinambungan antara Ajaran
Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:27

Teori hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum


memiliki objek disiplin mandiri, diantara dogmatik hukum di satu
sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Dewasa ini teori hukum diakui
sebagai disiplin ketiga disamping untuk melengkapi filsafat hukum
dan dogmatik hukum, masing-masing memiliki wilayah dan nilai
sendiri-sendiri.

Teori hukum dipandang sebagai ilmu yang bebas nilai, yang


membedakan dengan disiplin lain.

6) Bruggink
Teori hukum seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan system
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan
system tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian
ini mempunyai makna ganda, yakni definisi teori sebagai produk dan
proses.

27 Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55

37

c) Teori Pengertian Negara Hukum


Pengertian Negara Hukum sendiri, dalam konsep Eropa
Kontinental dinamakan rechtsstaat, sedangkan dalam konsep Anglo
Saxon dinamakan Rule Of Law. Penegasan Negara Indonesia sebagai
negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Dengan
penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan
negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik
anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.
Adapun negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia tidaklah dalam
artian formal namun negara hukum dalam artian material yang juga
diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau negara
kemakmuruan Dalam negara kesejahteraan, negara tidak hanya bertugas
memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta
aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.
Akar terjauh mengenai perkembangan awal
pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno.
Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan bahwa kedaulatan
rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi,
sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari
gagasan kedaulatan hukum.28 Demikian halnya bahwa
28 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, Hal. 11.
38

kedaulatan rakyat adalah asasnya demokrasi dan


demokrasi adalah tumpuannya Negara hukum dimana tiap
Negara hukum mempunyai landasan tertib hukum dan
menjadi dasar keabsahan bertindak29. Setiap Negara
bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Esensi pada suatu Negara hukum, pertama:
Hubungan antara yang memerintah dan diperintah tidak
berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu
norma objektif, yang juga mengikat semua pihak termasuk
memerintah; kedua: norma objektif itu harus memenuhi
syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat
dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. dalam ini
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh
Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai
karya tulis ketiga yang dibuat diusia tuanya, sementara itu
dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicous, belum
muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang balk
ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang
29 Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Total Media, Yogyakarta, 2008, Hal:4.
39

balk. Dalam bukunya Politicous yang dihasilkan dalam


penghujung hidupnya, Plato30 (429-347 S.M) menguraikan
bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan.
Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui
jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak
melalui jalan hukum.
Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin
tegas ketika didukung oleh muridnya, aristoteles, yang
menulisnya dalam buku Politics. Menurut Aristoteles, suatu
negara yang balk ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga
unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:
1. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan
umum,
2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan
hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
menyampingkan konvensi dan konstitusi.

30 Budiono Kusumahamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban


Yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, Hal.36-37
40

3. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan


yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa
paksaan tekanan yang dilaksanakan secara despotik.31
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322
S.M) adalah negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warga negara yang balk. Dan
bagi Aristoteles32 yang memerintah dalam negara
bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang
adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang
hukum dan keseimbangan saja dan secara filosofis
ditegaskan bahwa, cabang-cabang pengetahuan lainnya,
politik harus mempertimbangkan bukan hanya yang ideal,
tetapi juga berbagai masalah aktual, yaitu konstitusi
terbaik yang mana yang dapat dipraktikkan dalam
keadaan tertentu: alat-alat apa yang terbaik untuk
31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2010,
Hal. 2.
32 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta, 1988, Hal. 153.
41

mempertahankan kosntitusi-konstitusi aktual: yang mana


konstitusi rata-rata yang terbaik untuk mayoritas kota: apa
perbedaan varietas tipe-tipe kosntitusi yang utama, dan
khususnya demokrasi dan oligarki. Politik juga harus
mempertimbangkan nukan hanya konstitusi-konstitusi,
tetapi juga hukum-hukum, dan hubungan yang tepat
antara hukum-hukum dengan konstitusi-konstitusi.
Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa Konstitusi
sebagai norma yang mesti menjadi dasar pembentukan
norma lainnya dan tidak boleh ada norma yang
melebihinya demikian pada bahwa semua norma mesti
dapat diuji dengan norma yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan itu, maka33 p e r a t u r a n d a s a r
merupakan la n d a s apenyusunan
n
jabatan dalam suatu
negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan
badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap
masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan
penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan
tersebut.
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat
samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang panjang,
kemudian kembali muncul secara eksplisit pada abad ke33 Ridwan HR, Op Cit Hal. 2.
42

19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari


Freidrich Julius Stahl, yang diilhami pemikiran Immanuel
Kant. Menurut Stahl34, unsur-unsur negara hukum
(rechsstaat) adalah:
1) Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi man
usia
2) Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;
3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undangundang (wetmatig bestuur) ; dan
4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechmatige overheiddaad).
Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan
oleh F.J. Stahl adalah konsep pemikiran negara hukum
Eropa Kontinental atau yang dipraktekkan di negaranegara Eropa Kontinental (civil Law). Adapun konsep
pemikiran negara hukum yang berkembang di negaranegara Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey (dari
inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara hukum
tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur utama:

34 Aristoteles, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University,


New York, 1995, Bentang Budaya, yogyakarta, 2004, Hal: 161
43

1) Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law),


yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang
(Absence of arbitrary power), dalam arti bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar
hukum ;
2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum
(Equality before the law), Dalil ini berlaku balk untuk
orang biasa maupun untuk pejabat ;
3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di
Negara lain dengan Undang-Undang Dasar) serta
keputusan-keputusan pengadilan.35
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam
negara hukum tersebut di atas, baik Rechtsstaat maupun
Rule of Law, mempunyai persamaan dan perbedaan.
Persamaan pokok antara Rechtsstaat dengan Rule of Law
adalah, adanya keinginan untuk memberikan jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia. Keinginan memberikan
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi itu,
telah diimpikan sejak berabad-abad lamanya dengan
perjuangan dan pengorbanan yang besar.
Penyebab timbulnya penindasan dan pelanggaran
35 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008. Hal.
57-58.
44

teradap hak asasi manusia itu faktor penyebab utamanya


karena terpusatnya kekuasaan negara secara mutlak pada
satu tangan, yakni raja atau negara (absolut). Karena itu
adanya keinginan untuk memisahkan atau membagikan
kekuasaan negara kepada beberapa badan atau lembaga
negara lainnya, merupakan salah satu cara untuk
menghindari terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi
manusia dan sekaligus memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya36 konsepsi negara hukum
tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang
secara umum dapat dilihat diantaranya:
1) Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan
rakyat;
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan;
3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga
negara);
4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan
(Rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam
36 Ridwan HR, op cit., Hal. 4
45

arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak


memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota
masyarakat atau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan
yang dilakukan oleh pemerintah;'
7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin
pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan
bagi kemakmuran warga negara.
Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum, sering
diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham
rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer
pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik
Eropa didominir oleh absolutisme raja.37 Paham rechtstaats
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan
Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law
mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885
menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of
The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada
37 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta,
1989, Hal. 30.
46

sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.


Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant
dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der
Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara
hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham
negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan
fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan
hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara
pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan
keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal
dengan sebutan nachtwachkerstaats atau
nachtwachterstaats.38 Friedrich Julius Stahl (sarjana
Jerman) dalam karyanya ; Staat and Rechtslehre II, 1878
him. 137, memberikan pengertian Negara Hukum sebagai
berikut:
Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah
semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada
perkembangan pada zaman barn ini. Negara harus
menentukan secermat-cermatnya dan batas-batas
kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan
itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau
38 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Hal. 7374.
47

memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara


langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut
suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum,
misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata
hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya
melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara Hukum
pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada
Negara, melainkan hanya cara dan untuk
mewujudkannya.39
Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang
terbesar dalam abad ke dua puluh di Nederland, menulis
karangan tentang Negara Hukum dimana Paul Scholten
menyebut dua ciri daripada Negara Hukum, yang
kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang
utama daripada Negara Hukum ialah:
1. "er ia recht tegenover den staat", artinya kawula negara
itu mempunyai hak terhadap negara, individu
mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini
sebenarnya meliputi dua segi

39 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan


Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit
Kristen, Jakarta, 1970, Hal. 24.
48

a. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang


pada asasnya terletak diluar wewenang negara;
b. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat
dilakukan dengan ketentuan undang-undang, dengan
peraturan umum.
2. "er ia scheiding van machten", artinya dalam negara
hukum ada pemisahan kekuasaan.40
Pa d abukunya Introduction to Study of The Law of
The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan
tiga arti (three meaning) dari the rule of law pertama,
supremasi absolut atau predominasi dari regular law
untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan
meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau
discretionary authority yang luas dari pemerintah;
kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan
yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of
the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini
berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas
hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa
berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak
ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi
adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya,
prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan
dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi
posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.41
40 O. Notohamidjojo, Op. cit., Hal. 25.
41 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I
Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, Hal. 312.
49

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara


tegas disebutkan dalam UUD 1945 (setelah amandemen)
bahwa, Pasal 1 ayat (3); "Indonesia ialah hukum
(rechtsstaat)". Indikasi bahwa Indonesia menganut
konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban
pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara,
sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, yaitu;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia,
2) Memajukan kesejahteraan umum,
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4) Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Instrumen awal fundamental dan fital dalam
mewujudkan tujuan tersebut melalui pembangunan
hukum. Kajian dari hasil penelitan tentang konsep Negara
hukum dan prinsip Negara hukum di beberapa Negara,
maka42 tampak unsur-unsur Negara hukum Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yaitu :
a. Pancasila dijadikan dasar hukum dan sumber hukum,
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai yang hidup di

42 Muin Fahmal, Opcit. Hal: 141


50

masyarakat juga memuat prinsip dalam agama sehingga


mempunyai kesamaan dengan nomokrasi Islam.
b. Kedaulatan Negara ada pada rakyat dilaksanakannya
oleh lembaga Negara, yaitu sebagaimana disebut dalam
konstitusi yang bermakna adanya permusyawaratan, hal
ini mengingatkan kesamaan dengan prinsip rule of law.
c. Adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga
tinggi Negara (distribution of powers)
d. Kekuasaan atau pemerintahan berdasarkan atas sistem
konstitusi,
e. Adanya independensi kekuasaan kehakiman,
f. Adanya kerja sama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah dalam pembentukan hukum dan perundangundangan,
g. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
yang bertanggung jawab.
Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang hukum dan negara
dalam kerangka Pancasila terkait kedaulatan rakyat adalah segala aturan
yang bersanksi yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk
berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia itu yang pada
dasarnya tergantung dari penglihatan manusia yang menilai tadi tentang
tempat individu dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum
Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana kegiatan
pemerintahan dan negara harus sesuai dengan hukum yang berlandaskan

51

nilai-nilai Pancasila.43
d) Teori Keadilan
Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)44
John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa
prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam
membangun masyarakat yang adil. Rawls
mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat yang
adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan
teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls
banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme. John Rawls
mengambil gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes,
John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S.
Mill, dan Karl Marx mengenai Teori keadilan.
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam
karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa
konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian
luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1)
Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang
sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices),

43 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup


Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 78
44 John Rawls dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta 2005, Hlm 5
52

(2) Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original


position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif
(reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling
tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar
publik (public reason).
John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali
permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan
merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip
persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut
sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang
pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan,
seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel
Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang
dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para
pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi
kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat
utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam hal ini, kaum
utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu
keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan
dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat
bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,
menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak

53

dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan


dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian
kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif
liberal-egalitarian of social justice.
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan
mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan
posisi asali (original position) dan selubung
ketidaktahuan (veil of ignorance). Sebagaimana pada
umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu
hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls
mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk
memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara
tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak
yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang
lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat
kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya.
Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan
kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls
sebagai posisi asali yang bertumpu pada pengertian
ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas

54

(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan


(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat
(basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa
rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan
apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai
pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere),
hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang
sangat abstrak dari the State of Nature.
Sementara itu, konsep selubung ketidaktahuan
diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan
pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang
dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin
tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau
pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.
Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring
masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang
adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya
tersebut sebagai justice as fairness.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi
asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip
keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak yang
sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas
dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi

55

orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi


diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat
sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling
tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisiposisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan
dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan prinsip
kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi
(freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua
bagian (a) disebut dengan prinsip perbedaan (difference
principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan prinsip
persamaan kesempatan (equal opportunity principle).
Prinsip perbedaan pada bagian (a) berangkat dari
prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui
kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan
kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip
persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b)
tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan
dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan

56

kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya


perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan
dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan
persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan
persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada
prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan
sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilainilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan
manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok
masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut,
Rawls meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara
prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika
terdapat konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip
pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua,
sedangkan prinsip kedua (b) harus diutamakan dari prinsip
kedua (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan
masayarakat yang adil Rawls berusaha untuk memosisikan
kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi
dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan
kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk
menduduki jabatan atau posisi tertentu. Pada akhirnya,
Rawls juga menisbatkan bahwa adanya pembedaan

57

tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau


membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling
tidak beruntung.
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata
Rawls sudah dipastikan akan menjadi topik perdebatan
hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari
bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para
pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls,
namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku
rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick
menjadi orang pertama yang melancarkan kritik secara
terbuka terhadap A Theory of Justice melalui bukunya
yang berjudul Anarchy, State and Utopia (1974).
Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut selalu
dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai
ketidaksetujuan Nozick selaku kaum libertian justice
terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral
principle), aturan-aturan (roles), jejak sejarah (historical
trace), dan keadilan distibutif (distributive justice).
Robert Paul Wolff yang menulis Understanding
Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of
Justice (1977) dari persepktif marxist dan Michael Walzer
dari kelompok komunitarian melalui karyanya Spheres of

58

Justice (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidak


setujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan
oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen
turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan
keseriusan basis egalitariannya.
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga
mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian premispremis keadilan Rawls apabila dihadapkan pada kondisikondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat dunia yang
terus berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan
internasional (international justice). Namun demikian, bagi
John Rawls kritikan tersebut justru dimanfaatkannya
sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan yang
tengah dikembangkannya.
Melalui bukunya Political Liberalism (1993), Rawls
mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki
kelemahan teori yang dibahasnya dalam beragam
perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di
kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam yang
tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan
sosial, namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan
teratur dapat terus dipelihara dalam konteks kekinian
serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya

59

keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral.


Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja
memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai
overlapping consensus guna membentuk kesepakatan
terhadap keadilan dan kesamaan diantara warga negara
yang memiliki pandangan keyakinan agama dan filosofis
yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang
nalar publik (public reason) sebagai penalaran bersama
dari seluruh warga negara.
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan
berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John
Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat kebebasan
budaya dan metafisik, John Rawls mencoba untuk
memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan
kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan
kedalaman dari nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik
yang disetujui oleh para pihak sepanjang kesepakatan
tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai, logis,
adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim
atas kebenaran yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan
prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut:
Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk

60

memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekaan


dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk
semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama
dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan
sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi,
yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi
yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya
persamaan kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan
sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggotaanggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukak a n n pada
konsep yang awalnya disebut sebagai hak yang sama
(equal rights) menjadi klaim yang sama (equal claim),
serta adanya modifikasi terhadap frasa sistem
kemerdekaan-kemerdekaan dasar (system of basic
liberties) menjadi skema pemenuhan yang memadai
terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar (a
full adequate scheme of equal basic rights and liberties).
Sebagai tujuan utama dari hukum, maka keadilan sering menjadi fokus
utama dari setiap diskusi tentang hukum. Sayangnya, karena keadilan
merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di sepanjang sejarah
manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang pasti tentang arti dan
makna yang sebenarnya dari keadilan, tetapi selalu dipengaruhi oleh

61

paham atau aliran yang dianut saat itu. Namun demikian, apa sebenarnya
manusia begitu gencar mencari keadilan di sepanjang sejarah peradaban
manusia? Apakah yang namanya keadilan memang diperlukan oleh
manusia itu? Jawabannya, tentu saja manusia sangat memerlukan suatu
keadilan seperti uraian di bawah ini.45
a) Jawaban secara deontologis etika, yaitu karena keadilan sudah
menjadi hakdari seseorang, seperti kewajiban orang untuk
menceritakan yang benar (tidak berbohong) atau melaksanakan janji
yang telah dibuatnya (pacta sunt servanda);
b) Jawaban dari kaum utilitarian, bahwa keadilan atau persamaan
perlakuan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk
dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau
kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
c) Jawaban dari kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan
memang kebutuhan dalam masyarakat di sepanjang masa.
d) Jawaban dari kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan
kebutuhan jiwa manusia.
e) Jawaban dari kaum agamis, bahwa keadilan
merupakan kehendak dan tuntunan ilahi terhadap
manusia.
Pada masa 300 Sebelum Masehi, pada masa Plato dan Aristoteles,
konsep keadilan pernah bertengger lama bersamaan dengan
perkembangan paham hukum alam dalam sejarah hukum. Bahkan,

45 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010,


hlm. 77.
62

hampir-hampir tidak dapat dibedakan antara konsep keadilan dengan


konsep hukum alam itu sendiri. Karena itu, perkembangan hukum alam
di zaman Yunani klasik berjalan seiring dengan perkembangan konsepkonsep keadilan kala itu, yang menggantikan konsep- konsep keadilan
yang dilandasi pada mitologi (pada kehendak dewa-dewa) menjadi
konsep keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam (yang suci)
berdasarkan atas keinginan yang rasional dan dapat dipahami oleh
rasionalitas manusia. Kemudian, perkembangan historis tentang keadilan
dalam artinya yang modern terjadi dalam beberapa episode, yaitu:
1. episode fajar keadilan (the dawn of justice);
2. episode kepercayaan (the age of faith);
3. episode rasional (the age of reason);
4. episode penuh harapan (the age of hope); dan
5. episode skeptis, dan pesimis.
Episode fajar keadilan (the dawn of justice) di mulai dari awal
kebangkitan hukum yang mempromosikan keadilan. Bagi sistem hukum
Eropa Kontinental, episode ini terjadi di sekitar abad ke-4 dan 5 Masehi,
di mana konsep hukum dan keadilan sedang berkembang pesat di
negara Romawi. Sementara itu, untuk sistem hukum Anglo Saxon,
episode fajar menyingsing ini terjadi di sekitar abad ke-12 (dua belas)
dan 13 (tiga belas) yang merupakan era awal kebangkitan sistem hukum
dan keadilan di Inggris. Kemudian, episode kepercayaan (the age of faith)
terjadi di sekitar abad ke-15 dan 16, di mana hukum dan keadilan

63

dianggap sebagai suatu titah Tuhan. Episode rasional (the age of reason)
terjadi di sekitar abad ke-18, di mana dalam masa-masa ini hukum dan
keadilan diukur dengan memakai ukuran- ukuran rasional sesuai dengan
sistem logika. Dalam tradisi hukum Anglo Saxon keharusan menonjolkan
argumentasi dalam setiap putusan hakim melalui doktrin ratio decidenci,
juga ikut melahirkan yurisprudensi dan aturan-aturan hukum yang
rasional. Sedangkan episode penuh harapan (the age of hope) terjadi di
abad ke-20 (dua puluh), di mana di abad ini hukum sangat diharapkan
untuk dapat memperbaiki keadaan politik, sosial, moral, dan mutu hidup
manusia. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, di abad ini mulai
disadari bahwa hukum tidak mungkin dikembangkan dengan
menggunakan logika secara deduktif semata-mata. Juga, hukum tidak
mungkin direduksi hanya dalam bentuk undang-undang semata- mata.
Bahkan, sering kali undang-undang hanya merupakan penampungan
aspirasi partai tertentu yang berkuasa di parlemen, sedangkan hukum
seharusnya merupakan aspirasi masyarakat luas yang telah teruji
berabad-abad dalam sejarah hukum.
Kemudian, menurut Munir Fuady, di akhir abad ke-20 memasuki
abad 21 (dua puluh satu), perkembangan pemikiran tentang hukum dan
keadilan didominasi oleh rasa frustrasi, skeptis, dan pesimis. Hal ini
dikarenakan tidak kesampaiannya harapan yang terlalu besar di abad ke20 (duapuluh) pada peranan sektor hukum dan ilmu pengetahuan, yang
ternyata perannya dapat dikatakan gagal total. Bahkan, yang jelas terjadi

64

adalah perang dunia pertama dan kedua serta perang-perang lainnya, juga
berbagai pergerakan menuju kerusakan bumi, ketidakadilan, dan
kehancuran manusia. Di samping itu, di paruh pertama abad ke-20, orang
terlalu banyak menggantungkan harapan pada hukum. Padahal, hukum
yang diciptakan oleh manusia ditegakkan dan ditafsirkan oleh manusia
juga, pada hukum tersebut mengandung banyak kelemahannya. Karena
kenyataannya tidak sesuai dengan harapan, maka mulai akhir abad ke-20
dan memasuki abad ke-21, terjadi banyak keputusasaan, frustrasi, skeptis,
dan rasa pesimistis. Hal ini berkembang seiring dengan (atau lebih
tepatnya dipengaruhi) ajaran postmodernisme yang memang sedang
berkembang pesat saat ini. prinsip-prinsip keadilan bersumber dari negara
Yunani klasik yang terus berkembang dan masuk ke dalam hukum
Romawi, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa Kontinental
maupun Anglo Saxon dan terus berkembang sampai dengan keadilan
dalam berbagai sistem hukum modern saat ini.46
Dikemukakan oleh L.J. van Apeldoorn
Menyatakan keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan
persamarataan. bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian
yang sama.47
Juga Aristote1es telah mengajarkannya. Ia mengenal
46 Ibid
47 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta,
2009, hlm. 11
65

dua macam keadilan, keadilan distributif dan keadilan


komutatif. Keadilan ditributif ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut
jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang
mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan
persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan
keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada
setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat
jasa-jasa seseorang. Oleh Rochmat Soemitro pendapat
Aristoteles dirumuskan, bahwa keadilan terbagi atas dua
bagian. Bagian pertama ialah keadilan secara umum.
Sedangkan bagian kedua adalah keadilan secara khusus.
Keadilan secara umum maksudnya bahwa semua orang
harus mendapatkan bagian yang sama tanpa melihat jasajasanya. Sedang keadilan secara khusus adalah keadilan
yang hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu saja
dimana terhadap dua orang yang sama diperlakukan tidak
sama. Selanjutnya oleh L.J. van Apeldoorn dinyatakan:
Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukum
semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teori
yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-teori
yang ethis karena menurut teori-teori itu, isi
hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan
apa yang tidak adil. Teori-teori tersebut berat
sebelah. Ia melebih-lebihkan kadar keadilan
hukum, karena ia tak cukup memperhatikan

66

keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan


peraturan-peraturan umum yang menjadi
petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan
hidup. Jika hukum semata-mata menghendaki
keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan
memberi tiap-tiap orang apa yang patut
diterimanya, maka ia tak dapat membentuk
peraturan-peraturan umum. Dan yang terakhir
inilah yang harus dilakukan. Adalah syarat baginya
untuk dapat berfungsi. Tertib hukum yang tak
mempunyai peraturan umum, bertulis atau
tidak bertulis, tak mungkin. Tak adanya
peraturan umum, berarti ketidak tentuan
yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang
disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan itu
selalu akan menyebabkan perselisihan antara
orang-orang jadi menyebabkan keadaan yang
tiada teratur dan bukan keadaan yang teratur.
Menurut L.J. van Apeldoorn, hukum harus
menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan.
Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut
supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri: suum
cuique tribuere. Jadi dalam hukum terdapat bentrokan
yang tak dapat dihindarkan pertikaian yang selalu
berulang antara tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutantuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum
memenuhi syarat peraturan yang tetap, yang sebanyak
mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan
tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan.
Itulah arti summum ius, summa iniuria.
Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan

67

bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya


akan tergantung pada pandangan hidup manusia yang
memunculkan penilaian itu, yakni pada penglihatan
manusia yang melakukan penilaian dari manusia yang
perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di
dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman
Kartohadiprodjo mulai memfokuskan penelusurannya pada
substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin ke
dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam
masyarakat yang bersangkutan.48
-

Keadilan Subtantif
Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme

yang menganggap Undang-Undang itu kramat, yakni


sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri, atau
sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua
perkara, karena bersifat rasional. Keadilan substantif
menganggap bahwa legalisme yang murni tidak mungkin.
Sebab semua penerapan kaidah-kaidah hukum yang
umum dan abstrak pada perkara- perkara konkret
merupakan suatu ciptaan hukum baru. Administrasi
seorang pegawai sudah merupakan hukum baru, apalagi
48 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup
Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 22.
68

putusan-putusan seorang hakim. Memang tindakan yuridis


ini mengandaikan adanya suatu minimum rasionalitas
dalam sistem hukum, tetapi mustahil praktik hukum
menurut suatu metode rasional melulu. Putusan seorang
hakim tidak dapat diturunkan secara logis dari
peraturan-peraturan yang berlaku, sebab peraturan itu
tidak sempurna, mungkin juga salah atau kurang tepat,
sehingga menyebabkan ketidakadilan. Argumen yang
diajukan oleh L. Pospisil melawan legalisme ini adalah:49
1) Kalau hukum terletak dalam kaidah-kaidah yang abstrak
(peraturan- peraturan), tidak dimengerti mengapa terdapat ketentuanketentuan yang mati, sebab ketinggalan zaman.
2) Peraturan-peraturan yang abstrak tidak mengungkapkan banyak
tentang pengawasan sosial (yang dianggap sebagai inti segala
hukum).
3) Peraturan-peraturan tidak berguna bagi praktik, sebab para hakim
harus mengambil keputusannya sesusai dengan perkara-perkara yang
sangat berbeda.
Legalisme tersebut diserang juga oleh para penganut realisme
hukum Skandinavia. Menurut mereka, kita harus realistis dan karenanya
tidak menerima peraturan-peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang
nyaris sempurna.50 Salah satu tokoh realisme hukum Skandinavia yang
bernama Alf Ross mengemukakan tentang teori realitas sosial yang
49 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 122.
69

menentang teori Kelsen, yang memastikan bahwa keharusan yuridis


adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial, seperti
tradisi Kant dikatakan tentang suatu Sollen yang lepas dari Sein. Karena
pemisahan ini Kelsen terus mencari norma dasar (Grundnorm) untuk
mendasari berlakunya hukum. Tetapi Ross menolak suatu norma yang
lepas dari realitas sosial. Norma-norma yang berlaku hanya berfungsi
dalam batas suatu proses pembuatan Undang-undang dimana kejadiankejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.51
Undang-undang selalu tergabung dalam praktik hidup. Berkat
penggabungan itu, praktik hidup dipandang dalam terang Undangundang sehingga mendapat rasionalitas. Umpamanya seorang hakim,
yang berhadapan dengan suatu peristiwa dan yang mengikutsertakan
nilai-nilai hidup praktis dalam pertimbangannya, tidak bertindak secara
irasional. Putusan-putusannya (walaupun tidak dapat diturunkan secara
silogistik dari Undang-undang) merupakan bukan hasil emosi, bukan
perjuangan bagi kepentingannya sendiri, bukan tindakan kekerasan,
melainkan hasil dari suatu pertimbangan rasional, sehingga masuk
akal. Buktinya pengadilan selalu menyebut alasan-alasan bagi putusanputusannya, berdasarkan suatu logika yuridis. Keadilan substantif
ini juga tidak sepaham dengan teori hukum kodrat oleh
karena Teori hukum kodrat ini tidak memberi batas jelas
50 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, 1982, hlm 181.
51 Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm 61-63
70

tentang apa itu kodrat dan apa ciri-ciri hakikinya. Kesulitan


muncul dari anggapan populer yang menyamakan begitu
saja yang kodrati dengan yang biasa dilakukan.
sesuai dengan kodrat dengan demikian disamakan
dengan apa oleh masyarakat diterima dan diakui sebagai
hal yang lazim dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Disini ada bahaya bahwa apa yang norma; dilakukan dipandang
pantas menjadi norma bertindak. Padahal yang biasa dan umum
dilakukan belum tentu baik. Hidup sesuai dengan tuntutan hukum kodrat
pada dasarnya tidak menghargai kehormatan atau kemuliaan manusia
yang berakal budi. Meskipun adanya pembedaan antara hukum kodrat
yang berlaku bagi makhluk rasional dan hukum alam yang berlaku bagi
makhluk nonrasional sudah merupakan langkah maju yang keluar dari
kesulitan teori hukum kodrat deterministik, jalan keluar ini tetap saja
membawa kesulitan dalam pelaksanaan hukum positif.
-

Keadilan Formal
Keadilan formal ini sesuai dengan teori positivisme yang

mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni sebagai fakta, dan
tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan tentang keadilan
disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran yang berhaluan
Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris sempurna sehingga
ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah bahwa orangorang yang menganggap hukum sebagai ius lebih percaya pada
prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada kebijaksanaan
71

manusia. Karenanya makna hukum sebagai hukum yang adil lebih


terjamin dalam perumusan-perumusan abstrak dari pada dalam
putusan-putusan hakim. Sesuatu yang mutlak bagi seorang hakim
untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang telah
terwujud dalam Undang-undang. Praktik kehakiman oleh rakyat
seringkali dipandang sebagai penerapan Undang-undang pada perkaraperkara konkret secara rasional belaka. Pandangan ini disebut
Legalisme atau legisme. Dalam pandangan legisme, Undang-Undang itu
dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah
sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua
perkara, karena bersifat rasional.52
Aliran positivisme hukum memberi nuansa dilosofi pemikiran
tentang hukum. Terdapat sekurang-kurangnya empat pengertian pokok
dalam istilah positivisme hukum, yaitu:
1) Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep
hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, pemikiran
sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris John Austin.
2) Istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai
perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh
dua citi utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan
politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan
dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum
murni dikembangkan oleh Hans Kelsen; (2) hukum tidak berurusan

52 Ibid
72

dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum


yang ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan
kepastian hukum. Akan tetapi, pemisaha ini bagi positivisme juga
dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pernyataan moral
yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral.
Positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam
proses judisial dimana hakim mendasarkan keputusannya
sepenuhnya pada peraturan hukum yang ada. Disini keputusan
judisial semata-mata merupakan hasil deduksi peraturan hukum.
Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan
berpikir logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial
menunjuk pada proses peradilan dimana keputusan hakim diambil,
menurut istilah Ronald Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut
konsep judisial seperti ini sebagai Automatic atau Slot-Machine.
Proses seperti ini praktis membuat proses litigasi menjadi mubazir.
3) Positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang
berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus
dapat dilakukan dengan menujukkan bukti-bukti faktual atau argumen
rasional. Kesan seperti ini cukup kuat muncul terutama dalam
pandangan Joseph Raz melalui gagasannya tentang mitos moralitas
bersama (the myth of common morality). Pandangan ini
beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya
moralitas yang diterima oleh segenap anggota masyarakat.
Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai positivisme

73

sosiologis, yang juga sangat menekankan watak ilmiah dari hukum.


4) Istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada
pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak
adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme validitas
hukum tidak tergantung pada validitas moral. Hukum hanya tidak
berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu
sendiri.
Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami
dan diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam
pembuktian diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil,
bukan sekedar kebenaran formil. Disamping itu, perlu disadari juga
bahwa Judicial Activism dapat mengisi kekosongan hukum dalam
menggapai keadilan dalam masyarakat53
Lembaga peradilan adalah perpanjangan tangan dari tujuan
pembentukanhukum, yaitu sebagai alat untuk menemukan keadilan.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang hadir pasca amendemen UndangUndang Dasar 1945 juga dibentuk untuk memenuhi hasrat para
justiabelen akan pemenuhan keadilan. Mahkamah Konstitusi melalui
hakim periode kedua telah mengukuhkan dirinya sebagai lembaga
pelindung keadilan substantive (substantive justice). Sebuah semangat
keadilan sesungguhnya bukan keadilan formalistik teks produk

53 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan


(makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011
di Jakarta.
74

perundang-undangan.54
Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada
bagaimana cara hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan
perkara. Jika hakim Mahkamah Konstitusi gagal mengurai makna
keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah
keadilan yang kabur. Adil menurut hakim tapi putusan tersebut tak
mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para
pencarinya.
Gerak langkah hakim menelusuri ruang dalam sebuah perkara
untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan konsep judicial
activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism dimaknai
sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana
hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya
mengenai kebijakan publik, di antara pelbagai faktor- faktor, untuk
menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan.
e) Teori Kepastian Hukum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa kepastian hukum adalah
kepastian suatu undang-undang. Namun kepastian hukum tidak

54 Hasil Penelitian, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan Di


Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif)
Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dengan Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas Pusat Studi
Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010, hlm. 10.
75

menciptakan keadilan oleh karena nilai pasti dalam undang-undang


mewajibkan hal yang tentu sedangkan kepentingan manusia/penduduk
tidak tentu. Misal: Undang-undang antar penduduk dibuat secara
umum (yaitu memberi peraturan-peraturan yang umum), walaupun
alasannya tidak selalu tepat, karena beranekawarnanya urusan-urusan
manusia sangat tidak tentu, padahal undang-undang harus menetapkan
sesuatu yang tentu. Tidak sempurnanya hukum, dalam praktek untuk
sebagian tertampung, karena hakim pada melakukan hukum dalam
hal-hal yang nyata, dalam mentafsirkan peraturan-peraturan, dapat
mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau
mengurangkan ketidak adilan. Tetapi usaha itu mengurangi kepastian
hukum dan tak selamanya dapat dilakukan. Jadi hukum terpaksa harus
mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna: ia
terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan ada terdapat sejumlah
besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan
keadilan, melainkan semata-mata didasarkan pada kepentingan daya
guna.55
Rochmat Soemitro berpendapat berbeda, kepastian hukum
adalah keadilan oleh karena kepastian hukum yang terwujud dalam
undang-undang sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian
hukum merupakan certainty yakni tujuan setiap undang-undang.
Dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang
55 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta,
2009, hlm. 14
76

mengikat umum harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat


dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti
ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum
banyak bergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan
penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan
tersebut penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan.
Karena bahasa hukum adalah juga bahasa Indonesia. Maka kepastian
hukum juga banyak bergantung kepada penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Penggunaan bahasa Indonesia tunduk kepada
norma-norma bahasa yang sudah baku. Dalam menyusun undangundang yang baik perlu terlebih dahulu dikuasai asas-asas hukum
yang sudah diterima secara umum oleh kalangan orang yang
berprofesi hukum, seperti:
a.

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

45

Lex specialis derogat lex generalis;


Lex posterior derogat lex anterior;
Pacta sunt servanda;
Lex locus contractus;
Noella poena sine privilegia lege;
Azas Non diskriminasi;
Domisili, sumber, kebangsaan.
Asas keajegan.
Asas kontinuitas;
Asas keadilan.

Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo


Bahwa teori mengenai kepastian hukum dalam upaya memberikan
pendapatnya tentang apa itu kepastian hukum. Menurut ajaran hukum
77

progresif Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan


manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.56
Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya
memuncakpada tuntutan bagi kehadiran hukum progresif. Pernyataan
tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta
tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan ideal hukum yang menuntut
untuk diwujudkan. Sebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu
proses yang secara terus-menerus membangun dirinya menuju ideal
tersebut. Inilah esensi hukum progresif.
Satjipto Rahardjo menentang pendapat L.J. van Aperldoorn
maupun Rochmat Soemitro. Kepastian hukum bukan terletak pada
pastinya suatu undang-undang. Demikian juga bahwa kepastian hukum
bukan kristalisasi keadilan. Sudah merupakan cap dagang manakala
orang berbicara mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam
kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hakum
sudah menjadi primadona dalam wacana mengenai hukum. Kepastian
hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.
Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan yang
diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan
56 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2

78

keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk
menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi
ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti
tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum
pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.
Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada
pemahaman tentang kepastian hukum. Sejak posisi hukum dalam jagat
ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institut
nomiatif yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum
dan kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan antara hukum dan
kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta
menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa
hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan,
seperti undang-undang. Begitu suatu undang-undang X dikeluarkan,
maka pada saat yang sama muncul kepastian peraturan. Tidak ada
keragu-raguan mengenai hal tersebut, oleh karena siapa pun segera dapat
menyimak kepastian kehadiran undang-undang X tersebut. Sebaiknya
dipisahkan antara kepastian peraturan dan kepastian hukum, agar kita
dapat lebih seksama mengetahui masalah kepastian hukum itu.57
Kendati demikian ternyata, bahwa kehadiran suatu peraturan itu
masih juga menimbulkan keragu-raguan, yang berarti berkurangnya
nilai kepastian tersebut. Keadaan tersebut terjadi, oleh karena dalam
57 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm.
77
79

jagat perundang-undangan, suatu peraturan, tanpa disadari ternyata


bertentangan dengan peraturan lain.58
Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, ternyata
peraturan bukansatu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya
kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dari
perilaku. Seperti dikatakan oleh Lord Sampford, kepastian itu menjadi
ada karena orang menghendaki bahwa ia ada. Kepastian hukum itu
memang merupakan suatu keadaan yang memerlukan usaha dari
perjuangan dan tidak datang secara otomatis, begitu suatu undangundang atau peraturan lain diterbitkan maka ada kepastian. Bukan
demikian pernyataannya. Yang benar adalah kepastian hukum
merupakan wujud dari kepatuhan masyarakat berbangsa dan bernegara
terhadap hukum yang dapat berbentuk undang-undang maupun
kebiasaan, sehingga titik berat dari kepastian bukan pada hukumnya
melainkan pada kepatuhan. Akan sangat berat bagi hukum jikalau
kepastian itu adalah kepastian karena hukumnya. 59
Maria Farida Indrarti Soeprapto, melihat kepastian hukum
merupakan kejelasan adanya undang-undang yang pasti dan
diberlakukan di masyarakat. Untuk adanya kepastian hukum maka
suatu undang-undang harus dibentuk berdasarkan pada asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Di sini
58 Ibid hlm. 78
59 Ibid hlm. 80
80

nampaknya Maria Farida Indrarti Soeprapto sejalan dengan


Rochmat Soemitro dan berbeda pendapat dengan Satjipto Rahardjo
serta L.J. van Apeldoorn. Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundangan Yang Baik menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, meliputi:60
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

kejelasan tujuan;
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
dapat dilaksanakan;
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan dan
keterbukaan.
Suatu undang-undang yang berkepastian hukum dibentuk

berdasarkan Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal
5 sebagai berikut:

52

a) Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan


perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai.
b) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah
bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan

60 Maria Farida Indrarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Jilid I,


Kanisius, Jakarta, 2007, hlm
81

yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat


dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang- undangannya.
d) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f) Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang- undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g) Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan

82

dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.


f) Teori Kewenangan Administrasi Negara
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan
dengan istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut
Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah
kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak
pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam
konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep
hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
dalam konsep hukum publik.61
Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian
54

kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara


kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
61 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas
Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 8.
83

keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam


rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.62
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum. 63
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:64
Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van
bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.
(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).
Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal
yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu
spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang
62 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas
Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 22
63 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus
Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 65
64 Stout HD, de Betekenissen van de wet, (Irfan Fachruddin), Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung,
2004), hlm. 4.
84

diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang


untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau
mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu
atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(Undang-Undang Dasar 1945). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan
yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti
pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak
atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat pejabat yang
diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandatori (pemberi mandat).
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada
(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan
yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan
keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.
Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh
bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah
suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna
mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat

85

dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.65


Anthon F Susanto berpendapat bahwa umumnya keputusan itu
ditetapkan melalui ketrampilan atau keahlian, seluruhnya dipahami
sebagai sebuah keterkaitan yang bersifat mekanistik. Di luar hal itu
umumnya setiap keputusan akan dipandang tidak bijak, provokatif
bahkan mungkin dipandang tidak waras66.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian dikenal
dengan istilah toetsingrecht yang dimasyhurkan oleh Sri Soemantri.

58

Dari pandangan Allen dan Thompson serta Sri Soemantri diatas


dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu;
(a) toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan atau kenal
dengan Judicial Review; (b) toetsingrecht yang merupakan kewenangan
legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang merupakan
kewenangan eksekutif atau eksekutive review.
g) Teori Mengenai Peradilan
Peradilan kita di Indonesia menganut "sistim kontinental" yang
berasal dari Perancis yaitu sistim kasasi. Dalam sistim tersebut,
Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan tertinggi merupakan
65 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 219
66 Anthon F Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum
Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 129.
86

Pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam


penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan UndangUndang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil.
Sedangkan di negara sistim Anglo Saxon hamya mengenal banding.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan
dan penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang lebih rendah karena:67
a) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
perbuatm yang bersangkutan;
b) Karena melampaui batas wewenangnya;
c) karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan-peraturan
hukum yang berlaku (diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13
tahun 1965).
Sebagai disebutkan di atas sampai saat ini Mahkamah Agung
menggunakan Pasal 131 Undang-Undang No. I tahun 1950 sebagai
landasan hukum untuk beracara kasasi. Dalam tahun 1963 dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 Mahkamah Agung
memperluas Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 dengan
menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan di Pengadilan
tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Semula dalam Pasal 113 tersebut,
permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang putusannya
dimohonkm kasasi"
Menurut Soebekti dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung.
67 Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, 1986, hlm. 5
87

Nomor 1 tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi


pada umumnya jauh letaknya dengan tempat tinggal pemohon kasasi
itu. lagi pula berkas-berkasnya disimpan di Pengadilan Negeri.
a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak".
Selain daripada kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain
yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa
Agung demi kepentingan hukum (Pasal 50 ayat (2) UndangUndang Nomor 13 tahun1965).
b. Peninjauan kembali. Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13
tahun 1965 disebutkan bahwa: "Terhadap putusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon
peninjauan kambali, hanya apabila terdapat hal-hal atau
keadaankeadaan yang ditentukan dengan UndangUndang".Kemudian dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat
hal -hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan UndangUndang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkepentingan".
c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini
sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena
hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja

88

dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim


tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 26 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih
rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut
dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Menurut Soebekti68 (dalam karangan mengenai hubungan Mahkamah
Agung dangan Badan Peradilan) menyatakan bahwa sesungguhnya
toetsingsrecht" itu ada 2 (dua) macam:
1) "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti
apakah suatu peraturan dibentuk secara sah dan dikeluarkan oleh
penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.
2) "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai
apakah suatu peraturan dari segi isinya (materinya) mengandung
pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau
menilai tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat
pertentangan tersebut atau apabila isi peraturan itu dianggapnya tidak
68 Ibid
89

adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan


peraturan itu. (to set aside).
h) Teori Penemuan Hukum dan Penafsiran Hukum
Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan
penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan
metode penafsiran (interpretasi).69 Penafsiran oleh hakim harus menuju
kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum
terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.70
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum
umum pada peristiwa hukum konkrit.71 Sebagai proses pembentukan
hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi
persaturan hukum (das sollen) yang bersifat umum denagn mengingat
akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.72
Penemuan hukum dari berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai
berikut, pertama, merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit
atau fakta. Kedua, dilakukan ketika harus menemukan hukum karena
peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan cara
69 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009,
hlm. 56.
70 Ibid.
71 Ibid, hlm 37.
72 Ibid.
90

pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.73 Dalam hal ini


muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum
(rechtvinding) dan pembentukan hukum (rechtvorming). Menurut
Bambang Sutiyoso demikian,
Istilah penemuan hukum (rechtvinding) dengan pembentukan hukum
(rechtvorming) dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya.
Meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara satu dengan
yang lain. Istilah rechtvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak
ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan
diketemukan, sedangkan istilah rechtvorming dalam arti hukumnya tidak
ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya
terdapat penciptaan hukum juga.74
Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama
sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas
hukum menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Tugas hakim mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan
berbagai metode kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika
putusan hakim hadir untuk menyelesaikan masalah.75 Putusan hakim
adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum
73 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum - Upaya Mewujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.
74

Ibid. hal. 31.

75 Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta


(Penerjemah), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.
91

sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun


dilakukan oleh hakim.
Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum. Penafsiran
hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam
menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa konkrit (das sein).
Terdapat berbagai metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal,
sistematis, historis dan teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan
tidak terpisah, melainkan seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau
semua digunakan) ketika melakukan penemuan hukum.
i) Teori Hermeneutik
Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori
penemuan hukum baru.76 Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan
bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal pada abab 19 sebagai ajaran
penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang dikenal dengan
hermeneutika yuridis.77 Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang
hermeneutika hukum mengajukan 11 (sebelas) metode penafsiran atau
interpretasi hukum.78 Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan
hermeneutika hukum dengan penemuan hukum? Ataukah memang

76 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru


dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.
77 Sudikno Mertokusumo, loc.cit. hal. 37.
78 Jazim Hamidi, op.cit. hal. 53-59.
92

hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi merupakan


teori penemuan hukum baru?
Gerald Bruns menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum
sebagai berikut: Adapun mengenai hukum, kita bisa mengawalinya dengan
ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam kaitannya
dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh
para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi
hukum atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian
hermeneutika adalah kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan.
Bisa dikatakan bahwa minat hermeneutika lebih bersifat ontologis dan
bukan bersifat teknis. Dalam pengertian seperti ini, hermeneutika hukum
tidak akan sama pengertiannya dengan teori hukum. Sebaliknya,
hermeneutika cenderung agak liar atau bebas dalam pemikirannya
mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang agaknya
terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa, atau
yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (sprachlickeit)
hukum.79
Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum
tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum
adalah produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.80
79 Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Praktik,
Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 46.
80 Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2013, hal. 64.
93

Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam berbagai


bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak
terbantahkan. Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran
(dan keadilan) menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir
atas teks.
Theo Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya
menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran
pelengkap dan penafsiran budaya.81 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan
mendekatkan penemuan hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum yang berasal dari hermeneutika yang diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi
mengerti.82 Hermeneutika berhubungan dengan bahasa83 dan disinilah letak
keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari ide menjadi
teks.
Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap
hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau
bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh
81 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal.
133-135.
82 Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti menafsirkan.
83

Ibid. hal. 26.


94

para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas
intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan
penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak
mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.84 Teks menjadi
bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan
pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para
pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran
budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinankeyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat
politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat
tertentu dianggap layak apa tidak.85 Keberhasilan melakukan penafsiran
dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta
pengetahuan individu.86
Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori
tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah
interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan
yang dipandang sebagai sebuah teks.87 Hermeneutika yang berfungsi
sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan
84

Ibid. hal. 29.

85 Theo Huijbers, op.cit. hal. 134-135. Bandingkan dengan ketentuan Pasal


1344 - 1346 KUHPerdata.
86 Syafaatun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran
Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader, Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.
95

membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks untuk


menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.88
Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi bagian
dari tesis tentang interpretasi yaitu pertama, pengalaman hermeneutis
bersifat historis. Kedua, pengalaman hermeneutis pada dasarnya bersifat
linguistic. Ketiga, pengalaman hermeneutis bersifat dialektis. Keempat,
pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. Kelima, pengalaman
hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. Keenam, pengalaman
hermeneutis itu obyektif. Ketujuh pengalaman hermeneutis harus
dibimbing oleh teks. Kedelapan, pengalaman hermeneutis memahami apa
yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. Kesembilan, pengalaman
hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kesepuluh, estetik harus
ditetapkan di dalam hermeneutika.89
j) Teori Pergeseran Paradigma
Sebutan Paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak
mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui
bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution,
University of Chicago Press, Chicago,1962. menjadi begitu terkenal yang
87 Richard Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
88 Eksegese berasal dari bahasa Yunani, exegeomai yang berart membawa
keluar atau mengeluarkan.
89 Richard Palmer, loc.cit. hal. 288-293.
96

membicarakan tentang Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa


Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metodemetode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang
tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis, kepercayaan
terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang
demikian menjadi kurang berwibawa, pada saat itulah menjadi pertanda
telah terjadi pergeseran paradigma. Fungsi dari Paradigma menyediakan
puzzle bagi para ilmuwan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk
solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan
menyelesaikan puzzle.Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam
sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran.
Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori
yang lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung
mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar. Yaitu: Apa yang
harus dipelajari dan diteliti, Pertanyaan yang harus ditanyakan, Struktur
sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu, Bagaimana hasil dari riset
apapun diinterpretasikan.90
Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode
pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi
setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi
anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma.
90 Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:Penerbit
Jendela, 2002.hal 30
97

Namun demikian ketika banyak anomali-anomali yang mengganggu yang


mengancam matrik(acuan) disiplin maka paradigma tidak bisa
dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan
maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada
periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang
dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa
sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma
mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam
tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak
dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi
dari kepercayaan ilmiah atau praktek. Thomas Kuhn menyebutkan kurang
lebihnya dalam hal ini yang akan pemakalah jelaskan secara rinci pada
bagian berikutnya yaitu tentang ; pradigma sains yang normal, anomali
munculnya penemuan sains, revolusi sebagai perubahan pandangan atas
dunia, dan pemecahan revolusi.
Teori Paradigma (Shift) Thomas Samuel Kuhn91
1) Pradigma Sains yang Normal
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) setelah menulis panjang lebar
tentang sejarah ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa
gagasan penting dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ia paling terkenal
karena bukunya The Structure of Scientific Revolutions di mana ia
menyampaikan gagasan bahwa sains tidak "berkembang secara
91 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2002), Ikhtisar BAB I
98

bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik


yang dia sebut pergeseran paradigma. Analisis Kuhn tentang sejarah
ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa praktek ilmu datang
dalam tiga Tahapan; yaitu:
a. Tahap Pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak ada
konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase ini umumnya
ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap.
Akhirnya salah satu dari teori ini "menang".
b. Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini
memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn disebut
sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas
ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan
paradigma. Akhirnya, bagaimanapun, masalah muncul, dan teori
ini diubah dalam ad hoc(khusus) cara untuk mengakomodasi bukti
eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori
asli. Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan
beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang
mengusulkan penggantian atau redefinisi dari teori ini.
c. Pergeseran Paradigma, mengantar pada periode baru ilmu
pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang
ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teoriteori baru menggantikan yang lama.
2) Anomali Munculnya Penemuan Sains
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing,
melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang

99

berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan


anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara
telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang
menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.
Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah
disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan. Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada
penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Dari teori ini
Thomas Kuhn memberikan definisi yang berbeda antara discovery
dan invention, yang dimaksud discovery adalah kebaruan faktual
(penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan)
yang mana keduanya saling terjalin erat satu sama lain.
3) Revolusi Sebagai Perubahan Pandangan Atas Dunia
Para sejarahwan menyatakan bahwa jika paradigm-paradigma
berubah, maka dunia sendiri berubah bersamanya, dengan hal
tersebut para ilmuwan mengunakan pedoman-pedoman yang baru
dan menoleh ke tempat-tempat atau lokasi yang baru. Yang lebih
tinggi lagi atau lebih luas dan ini akan menjadikan pandangannya
yang asing. Perubahan-perubahan seperti ini ternyata begitu
berpengaruh. Disini yang perlu diperhatikan yaitu selama proses
revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan
ketika menggunakan instrument-instrument yang sangat
dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya.
Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke
100

daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal sebelumnya


tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan
objek-objek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan atau
sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma yang
baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada
paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak mendapat
legitimasi dari masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya
hanya merupakan taitologi yang tidak nermanfaat sama sekali.
Inilah yang dinamakan perlunya revolusi ilmiah. Menurut Kuhn,
secara manusiawi maka seseorang tidak akan mau untuk
menjatuhkan teori yang dibangunnya sendiri, tetapi justru akan
mempertahankannya sehingga munculah silang pendapat dan
polemik. karena teori itu bukan dilemahkan oleh fakta-fakta.
Setelah suatu revolusi sains, banyak pengukuran dan
manipulasi yang lama menjadi tidak relevan dan diganti dengan
yang lain. Akan tetapi, perubahan-perubahan seperti ini tidak
menyeluruh. Apapun yang kemudian dapat dilihatnya, yang
dipandang oleh ilmuwan setelah revolusi masih tetap dunia itu
juga. Selain itu, meskipun ia telah menggunakan mereka dengan
cara yang berbeda, banyak dari bahasanya dan sebagian besar dari
instrumen tempat penelitiannya masih sama dengan sebelumya.
Akibatnya pada waktu revolusinya, tanpa kecuali, mencakup
banyak manipulasi yang sama, di selanggarakan dengan instrumrninstrumen yang sama , dan dilukiskan dengan peristilahan yang
sama dengan pendahulunya dari masa sebelum revolusi. Jika
101

manipulasi-manipulasi yang kekal ini telah berubah semuannya,


maka perubahan ini harus terdapat pada hubungan mereka dengan
paradigma atau pada hasil-hasil mereka yang kongkret.
4) Pemecahan Revolusi
Bahwa kita sudah melihat beberapa alasan mengapa para
pendukung paradigm yang bersaingan mesti gagal dalam membuat
bentuk yang lengkap dan sesuai dengan sentral satu sama yang
lain. Secara kolektif alasan-alasan ini telah digambarkan sebagai
tradisi-tradisi sains normal sebelum dan pada saat revolusi yang
tidak dapat di bandingkan. Pertama-tama para pendukung
paradigm akan berkompentisi akan sering tidak sepakat tentang
daftar masalah yang harus dipecahkan oleh setiap calon paradigm.
Standarnya mereka dalam paradigmanya tidak sama, sebagai
contoh: misalnya mengenai perdebatan antara pendukung
Aristoteles dengan pendukung Galileo dalam melihat benda
berayun. Aristoteles membuat teori bahwa benda berayun itu
hanyalah jatuh dengan kesulitan karena tertahan oleh rantai.
Sedang Galileo memandang benda yang berayun itu dari sisi
pendulumnya. Bagaimanapun, yang terlibat lebih dari pada tidak
bisa dibanding-bandingkannya standar-standar. Karena paradigmparadigma baru dilahirkan dari yang lama, mereka biasanya
menggunakan banyak kosakata dan peralatan, baik konseptual
maupun manipulative, yang sebelumnya telah digunakan oleh

102

paradigm-paradigma tradisional. akan tetapi mereka, jarang


menggunakan unsur-unsur pinjaman ini dengan cara yang benarbenar tradisional. Dalam paradigm yang baru, istilah, konsep, dan
eksperimen lama masuk kedalam hubungan-hubungan baru satu
sama lain.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan
hanyalah menyesuaikan diri terhadap persetujuan masyarakat.
Adanya revolusi sains dengan berbagai teori argumentatifnya akan
membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan
paradigma atau munculnya paradigma baru sebagai akibat dari
revolusi sains tiada lain hanyalah sebuah konsensus atau
kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan
akademisi atau masyarakat itu sendiri. Sejauh mana paradigma
baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah
revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud.
2. Kerangka Konsep
a) Konsep Rechtsstaat
Secara istilah kata Negara Hukum dalam kepustakaan Indonesia
hak asasi manusia selalu dipadankan dengan istilah-istilah asing antara
lain Rechtsstaat, etat de droit, The State in according to law,
Legal state and The rule of law. Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 digunakan istilah rechtsstaat diantara dua kurung setelah
kata Negara Berdasarkan Atas Hukum. Setelah amandemen ke 4

103

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, oleh Pasal 1 ayat (3)


Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Notohamidjojo menuliskannya dengan
sebutan Negara Hukum atau Rechtsstaat92. Sedangkan Muh. Yamin
menuliskannya dengan Republik Indonesia ialah Negara Hukum
(rechtsstaat, government of law)93. Dari istilah yang digunakan oleh
kedua ahli tersebut, sulit untuk menghilangkan nuansa rechtsstaat dari
pengertian istilah Negara Hukum. Sunaryati Hartono, menyamakan
arti istilah Negara Hukum dengan rule of law, sebagaimana terlihat
dalam tulisannya : Supaya tercipta suatu Negara hukum yang
membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan
The rule of law itu harus dalam arti materiel.94
Seiring dengan pencetusan gagasan demokrasi, gagasan Negara
hukum juga terbentuk dari sikap perlawanan (antithesis) terhadap
pemerintahan absolute. Gerakan dan pemikiran dimulai oleh beberapa
ahli pikir ketika itu, yang antara lain melahirkan Reformasi,
Renaissance, Hukum Kodrat, Aufklarung95, kaum bourgeoisiedan
kaum monarchomachen.
92Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta,
1970, hlm. 27
93Moh. Yamin,Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982, hal. 72
94Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm.
35.
104

Immanuel Kant (1724-1804) melalui bukunnya Methapysische


Ansfangsgrunde der Rechtlehre mengemukakan konsep negara hukum
liberal.96Ditambahkan bahwa kekuasaan negara sedapat mungkin di
jauhkan dari masyarakat. Negara hanya ditugaskan sebagai penjamin
keterlibatan dan keamanan masyarakat, sedangkan penyelenggaraan
perekonomian dan kemasyarakatan diserahkan kepada masyarakat
sendiri berdasarkan persaingan bebas Iaissez faire, laissez passer.97
Sehubungan dengan konsep ini Sudargo Gautamamengemukakan :
Negara hanya mempunyai tugas yang pasif yakni untuk hanya
bertindak, apabila hak-hak asasi dari pada rakyatnya berada dalam
bahaya atau ketertiban umum dan keamanan masyarakat terancam.98
Dalam suasana alam pikiran negara hukum liberal, Friederich
Julius Stahldalam bukunya Philosophie des Rechts menyusun unsurunsur utama dari negara hukum formal sebagai berikut :
95Rukwana Amawinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 26 UUD 1945. Disertasi Universitas
Padjajaran, Bandung, 1986, hlm. 78.
96Harold H. Titus et al , , Living Issues In Philosophy, Alih Bahasa H.M
Rasyid, Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 151.
97Tahir Azhary, 1992,Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Medinah dan
Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 66.
98Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni
Bandung, hlm. 13.
105

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;


b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan teori trias politik;
c. Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan atas Undangundang(wetmatigheid van bestuur);
d. Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
undang-undang masih melanggar hak asasi (campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada
pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.99
Ide Pemikiran Stahl ditujukan untuk mempertahankan hak-hak
asasi, untuk itu penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar kepada
undang-undang(wetmatigheid van bestuur). Dan agar kekuasaan
negara tidak berada pada satu tangan, harus dibagi menurut teori trias
politika. Selanjutnya apabila pemerintah melanggar hak asasi
seseorang, haruslah ada pengadilan administrasi yang akan
menyelesaikannya.
Perkembangan pemahaman tentang negara hukum terjadi pada
abad ke-20, kedudukan negara sebagai penjaga ketertiban dan
keamanan mulai berubah. Konsepsi nachwachterstaat bergeser
menjadi welvarstaat, yaitu negara menyelenggarakan kesejahteraan
atau yang dikenal juga dengan sebutan verzorgingsstaat100.DeHaan
P.mengemukakan de moderne staats is niet allen rechtsstaat in de
99Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co.
Jakarta, hlm. 151.
106

negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat of zo men


wilsociale rechtsstaat.101Negara modern bukan saja negara hukum
penjaga malam, tetapi juga negara hukum kesejahteraan atau negara
hukum sosial.
Dengan cara berbeda Bagir Manan mengemukakan bahwa
konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep
negara hukum dan negara kesejahteraan. Dalam konsep ini tugas
negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan
atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung jawab
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.102.
Tugas pemerintah telah jauh berkembang dan dengan demikian
banyak urusan kehidupan masyarakat yang harus dikerjakan oleh
pemerintah. Peranan pemerintah yang intervensif memasuki hak asasi
manusia semua segi kehidupan warga masyarakat, pembuat undangundang tidak dapat lagi memperkirakan kebutuhan undang-undang

100Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di


Indonesia.PT. Bina Ilmu, Surabaya, Hlm 77.
101De Haan P. et.al. 1986, BestUndang-undangrech in de Sociale
Rechtsstaat, Deel. L, Ontwikkeling, Organisatiate, instrumentarium, KluwerDeventer, hlm. 15-16
102Bagir Manan, 1996, Politik Perundang-undangan dalam Rangka
Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, FH UNILA, Bandar Lampung, hlm.
16.
107

dimasa mendatang dan tidak mungkin mengatur segala macam hak,


kewajiban dan kepentingan secara lengkap dalam suatu undangundang.103 Karena pendelegasian wewenang pembentukan peraturan
perundang-undangan kepada pemerintah sangat diperlukan dan
pendelegasian bertindak kepada badan pemerintah yang lebih rendah.
Selain itu juga diperlukan adanya kebebasan dalam mengambil
kebijaksanaan, yaitu wewenang yang diberikan kepada pemerintah
untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting
yang mendesak dan belum ada peraturannya, baik untuk mengatur
maupun untuk bertindak.104 Yang lebih dikenal dengan istilah Freies
Ermessen.105
Seiring dengan itu pengertian asas legalitas juga berubah dan
berkembang dari pemerintah berdasarkan undangundang
(wetmatigheid van bestuur) menjadi pemerintahan berdasarkan atas
hukum (rechtmatigheid van bestuur). Perubahan ini menunjukkan
terjadinya perubahan nilai, rakyat tidak lagi terlalu konfrontatif
terhadap kekuasaan penguasa dan menganggap pemerintah sebagai

103Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang


Perencaan dan Pelaksanakan Rencana Pembangunan di daerah seta Dampaknya
terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Desertasi Universitas
Padjajaran, Bandung, 1997, hlm. 205.
104Marbun, S.F, 1977, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya
Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm12
105Sudargo Gautama, op.cit, hlm. 10.
108

partner untuk mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran. Desakan


mencapai kemakmuran menuntut perubahan pengertian asas legalitas
yang lebih longgar, menjadi doel matigheid van bestuur atau
pemerintahan berdasarkan manfaat.106
Semakin luasnya wewenang yang diberikan kepada pemerintah
dalam negara hukum kesejahteraan tidak menghilangkan sifat sebagai
negara hukum yang sudah dicapai dalam konsep negara hukum liberal.
Dalam suasana sosiale rechtsstaat, Bothlingdalam De Rechtsstaat
Nederland sebagaimana disedut Azhary, menyatakan negara hukum
ialah negara dimana keinginan bebas dari para penguasa dibatasi oleh
batas-batas hukum.107
Pada suasana negara hukum modern kekuasaan pemerintah
dituntut semakin luas dan luwes. Penerapan tugas-tugas pemerintahan,
terutama pada Freies Ermessen memerlukan tolok ukur hukum yang
lebih luas termasuk hukum tidak tertulis seperti Asas-asas Umum
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) guna
memelihara hak-hak dasar warga dari tindakan pemerintah.
b) Konsep The Rule of Law
Konsep the rule of law awalnya dikembangkan oleh seorang
pemikir berkebangsaan Inggris Albert Venn Dicey melalui karyanya
Introduction toStudy of Law of the Constitution yang diterbitkan
106Tahir Azhary, 1995,Negara Hukum Indonesia, Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press) Jakarta, hlm. 56.
107Azhary, ibid, hlm.54.
109

pertama kali tahun 1885. Diceymengemukakan tiga unsur utama the


rule of law yaitu : (a) Supremacy of Law (Supremasi Hukum); (b)
Equality before the law (persamaan dihadapan hukum); (c)
Constitution based on individual right (konstitusi yang didasarkan
kepada hak-hak perorangan).108
Makna unsur supremasi of law, adalah negara diatur oleh
hukum, seorang hanya dapat dihukum karena melanggar hukum dan
hak kebebasan seorang warga terjamin oleh hukum. Makna dari
equality before the law, adalah semua warga negara dalam
kapasitaspribadi maupun pejabat negara tunduk pada hukum yang
sama (ordinary law) dan diadili oleh pengadilan yang sama (ordinary
court). Perbedaan yang menonjol dari konsep rechtsstaat adalah bahwa
konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan khusus bagi pejabat
publik, sedang pada sistem hukum eropa continental mengenal badan
peradilan khusus bagi pejabat negara dalam mengisi tindakannya
melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan peradilan administrasi
tersendiri dan merupakan suatu ciri spesifik penting yang menonjol.
Constitution based on individual right, konstitusi bukanlah sumber
tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan

108Irfan Fachruddin, 2003. Konsekuensi Pengawasan Peradilan


Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran,
Bandung, hlm.133.
110

dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga membatasi posisi


Crown dan aparaturnya.109
Dalam hubungannya dengan supremacy of law, Albert Venn
Dicey menjelaskan sebagai berikut :
The Absolute supremacy or predominance of regular
law as opposed to the influence of the arbitary power and
excludes the existence of arbitariness of prerogative, or
even wide discretionary authority on the part of the
government. Englishmen are rule by the law, and by the
law alone, a man may with us can be punished for nothing
else.110
Supremasi absolute atau keunggulan regular law sebagai
kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan
adanya kesewenang-wenangan prerogative, ataupun wewenang
diskresi yang luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh
hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barangkali dihukum
bersama kami untuk suatu pelanggaran hukum, dia boleh dihukum
tetapi bukan untuk yang lain.
Lebih lanjut Wade and Philips mengetengahkan tiga unsur the
rule of law, yaitu : (a) the rule of law, adalah suatu pandangan filosofis
barat terhadap masyarakat berkaitan dengan demokrasi menentang
otokrasi. (b) the rule of law merupakan doktrin hukum bahwa
pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum. (c) the rule of
109Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman,
disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 72.
110Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution,
Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London, hlm 223.
111

law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh
dalam peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum formal.111
Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan
persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua konsep
itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir
dari perjuangan menentang absolutism sehingga bersifat revolusioner,
bertumpu pada sistem hukum continental yang disebutcivil lawatau
modern roman law, dengan karakteristik administrative. Sebaliknya
konsep the rule of law berkembang secara revolusioner bertumpu pada
sistem hukumcommon law dengan karakteristik judicial.112
Perbedaan itu sekarang sudah tidak dipermasalahkan lagi, karena
keduanya menuju pada sasaran yang sama, yaitu jaminan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
c) Konsep Negara Hukum Indonesia
Konstitutional Indonesia merupakan sebuah pernyataan bahwa
Indonesia sebagai Negara hukum telah ada sejak masa periode pertama
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan dalam angka 1 tentang sistem Pemerintahan
Negara: Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat). Berikutnya dijelaskan tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat). Dalam konstitusi RIS 1949 dan Undang111 Notohamidjojo,O, Logcit ., hlm. 81-82.
112Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.
112

Undang Dasar 1950 dinyatakan : Negara hukum Indonesia yang


berdaulat sempurna. Pasal 1 ayat (1) konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949 menegaskan kembali : negara hukum yang demokrasi
dan berbentuk kesatuan. Setelah kembali berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum dalam
penjelasan pada angka 1 tentang sistem pemerintahan negara berlaku
kembali. Pernyataan mana pada amandemen ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 tahun 2001 ditegaskan dalam batang tubuh, yaitu Pasal 1
ayat (3) dengan menggunakan istilah negara hukum.
Secara teoritis, pengertian yang mendasar dari negara hukum
sebagaimana yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah
kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk kepada
hukum.113
Lebih lanjut Indroharto merumuskan :
tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam
aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga
masyarakatnya.114
Sedangkan Philipus M. Hadjonmengemukakan bahwa negara
hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan
pemerintah dan rakyat; (b) hubungan fungsional dan proporsional
113Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas
Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,Makalah,Jakarta,
hlm.1.
114Indroharto (II), Op. Cit., hlm. 83.
113

antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui


musyawarah dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) keseimbangan
antara hak dan kewajiban.115
Lebih lanjut kekuasaan dan susunan badan-badan
penyelenggaraan oleh Undang-Undang Dasar 1945 diselenggarakan
menurut Undang-undang Dasar atau undang-undang. Sesudah
amandemen keempat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan teratur lebih lanjut dengan
undang-undang. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang tidak ada perubahan dalam amandemen menyatakan:
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 (sebelum amandemen) menetapkan :

115Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.85


114

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil116 dengan


membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang setelah amandemen kedua Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 menetapkan: Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang. Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah117 provinsi, pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan
116Nimatul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan,
dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 20. Daerah kecil diartikan
sebagai pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah adalah suatu pemerintahan
otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pemerintahan Daerah
hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantuan). Prinsip Pasal 18
UUD NRI Tahun 1945 telah sesuai dengan gagasan daerah membentuk
Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang
demokratis.
117Pemerintahan Daerah indentik dengan otonomi daerah. Istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan
kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Lihat:
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan
Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 128.
115

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman


daerah. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditetapkan dengan
Undang-undang. Setelah amandemen kedua oleh Pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 detetapkan: Susunan Dewan Perwakilan
Rakyat diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 22C ayat (4)
menentukan Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
diatur dengan undang-undang. Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 mengatur: Badan Pemeriksa Keuangan, yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Setelah amandemen
ketiga Pasal 23G ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur :
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan undang-undang. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 mengatakan: Susunan dan kedudukan badan-badan
kehakiman118 itu diatur dengan undang-undang. Setelah amandemen
keempat Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan :
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. Pasal 24A ayat (5) UndangUndang Dasar 1945 mengatur: Susunan, kedudukan, keanggotaan dan
hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang. Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengatakan: susunan, kedudukan, keanggotaan Komisi
Yudisial diatur dengan undang-undang. Pasal 24C Undang-Undang
118 Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
116

Dasar 1945 menyatakan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan


putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar. Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi
diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan pendapat para sarjana dan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta uraian diatas, tidak dapat lain
yang dapat ditangkap bahwa negara Indonesia memiliki ciri negara
hukum pada umumnya. Pemerintah memperoleh kekuasaan dari
hukum dan menjalankan kekuasaan itu menurut hukum dan kekuasaan
juga dibatasi oleh hukum. Hal ini mirip supremacy of law dalam
konsep the rule of law dan asas legalitas atau wetmatigheid van
bestuurr yang kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van bestuur
dalam konsep rechtsstaat.Perbedaan yang paling asasi dari negara
hukum Indonesia hanya terletak pada dasar bertumpu yaitu
Keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat.119Indonesia
disebut dengan istilah negara hukum Pancasila. Pancasila itu adalah
asas atau guiding principle dalam menegara di Indonesia. Sebagai
asas menegara, Pancasila dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara.
Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang
fundamental. Dengan demikian, sebagai guiding principle, Pancasila
itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan
119Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 145.
117

dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan


ekonomi.120
Sebagaimana penguraian yang telah dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan, bahwa proses perumusan Pancasila adalah hasil usaha
para pemimpin pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar
atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta
menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional.
Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan
dan konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan
politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai guiding
principle. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam
Undang-undang Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai
kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan
kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai
oleh Pancasila.121
Tampak bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak dibuat
berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan politik
sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak berdasarkan dan
tidak dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh John Locke,
Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir barat lain
yang lebih kemudian. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 oleh para
120Bambang Priyambodo, Op.Cit, hlm. 77-78.
121 Ibid.
118

pembentuknya secara sadar disusun berdasarkan suatu falsafah yang


berbeda dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai undang-undang
dasar yang ditemukan di dunia barat (Amerika, Eropa, Australia, dan
lain-lain) dan di negara-negara lain yang dipengaruhi oleh dunia
pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dibaca, dipahamidan diimplementasikan
berdasarkan dari dalam semangat Pancasila.122
d) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai
pelaksana peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan
oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang
diajukan ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini
merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam sebuah negara
yang berpredikat negara hukum123.
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:
Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian
didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan kebebasan dari
paksaan, diretiva dan rekomendasi yang datang dari pihak
ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan UndangUndang.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudial
tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukum adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dengan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, asas122 Ibid.
123 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, Hukum Tata Negara RI Jilid I,
Rineka Cipta, Jakarta, 1984, hal 191-192
119

asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara


yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya
mencerminkan keadaan bangsa dan rakyat Indonesia.
Montesquie mengemukakan4 pentingnya kekuasaan yudikatif
karena kekuasaan Kehakiman yang independen akan menjamin
kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di
muka hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of
law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:
Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak
dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan eksekutif. Jika
kekusaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan legislatif, kekuasaan
atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan
sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum. Jika
kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan eksekutif, hakim
bisa menjadi penindas, yang perlu digarisbawahi adalah kemandirian
kekuasaan Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi
juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari
proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang
dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai
oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman.124
Kemandirian hakim sangat penting adanya karena hakim secara
fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan.
124 Andi. M. Nasrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah
Soeharto, Elsam, Jakarta , 2004, hal 32
120

Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat


dilihat dari kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen
kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat adanya campur
tangan pihak lain dalam proses peradilan. Namun yang perlu juga
dipahami bahwa jaminan independensi kekuasaan Kehakiman bukan
berarti tidak boleh ada pihak selain dari lembaga peradilan untuk
mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan hakim dan peradilan.7
Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 pasca
amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.125
Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dapat diartikan pada
suatu kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka juga berarti bebas dari campur tangan pemerintah atau badan
negara yang lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi
penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.126

125

Ibid

126 Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, hal 34
121

Mengenai

hal ini secara eksplisit telah di amanatkan dalam BAB I

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun


2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa
kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan
pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
1) Mahkamah Agung
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai
berikut : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah
Konstitusi. Dari rumusan pasal tersebut Mahkamah Agung bukanlah
satu- satunya pelaku kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas
dan kewenangan Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung memiliki posisi strategis terutama di
bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat :
a. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;
b. Mengadili pada tingkat kasasi;
c. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang
d. Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang.
Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung diatur tersendiri
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

122

Dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan ke-II


Undang-Undang ini, yang selanjutnya merubah substansi undangundang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor l4 Tahun 1985.
Perubahan tersebut disamping guna disesuaikan dengan arah kebijakan
yang telah ditetapkan dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
juga didasarkan atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-Undang
Mahkamah Agung adalah mengenai bertambahnya ruang lingkup tugas
dan tanggung jawab Mahkamah Agung meliputi bidang pengaturan
dan pengurusan masalah organisasi, administrasi dan finansial badan
peradilan yang dikenal sebagai penyatuan atap lembaga peradilan pada
Mahkamah Agung. Penyatuan atap merupakan pembaharuan
pengelolaan administrasi umum peradilan yang meliputi keuangan dan
ketenagaan sehingga terjadi perubahan paradigma manajemen
keorganisasian.
Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan reformasi di
bidang hukum, namun penyatuan atap berpotensi menimbulkan
monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab setiap
kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan atau
dilaksanakan dengan melampaui wewenang. Untuk itulah perlu ada
jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik terhadap para pencari

123

keadilan maupun terhadap subyek yang dituntut melalui mekanisme


pengawasan.
2) Kewenangan Pengawasan oleh Mahkamah Agung
Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah
fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam Bab VI Pasal 39
ayat (1) yang dinyatakan bahwa: Pengawasan Tertinggi pada semua
badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
berdasarkan ketentuan Undang- Undang. Pelaksanaan pengawasan
juga bersandar pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang menyatakan sebagai berikut :
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
tugasnya.
c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan semua
lingkungan peradilan.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran atau
peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua
lingkungan peradilan.

124

Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut tidak


boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara. Dari ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang harus diawasi
oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechstsgang)
dengan tujuan agar jalannya peradilan dapat diselenggarakan oleh
pejabat pengadilan dengan seksama dan sewajarnya.
Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya peradilan,
namun demikian Mahkamah Agung dapat mendelegasikan
kewenangannya pada pengadilan tingkat banding berdasarkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian kewenangan
pengawasan tersebut. Didalam praktek selama ini Mahkamah Agung
dalam melaksanakan pengawasan telah mendelegasikan kepada para
ketua Pengadilan Tinggi disemua lingkungan peradilan.

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan
(library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

125

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif


mencakup lima macam penelitian, yaitu penelitian terhadap asas-asas
hukum, penelitian terhadap sisitematika hukum, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi hukum, penelitian perbandingan hukum dan
penelitian sejarah hukum, Negara Indonesia adalah Penganut sistem
Hukum Civil law atau Eropa Kontinental berbeda dengan Negara
Singapura, karena itu penelitian ini menggunakan perbandingan dengan
Judex Juris Lembaga Hukum Tertinggi di Negara yang bersistem
Common law atau Anglo Saxon.
Proses ilmiah ini mengikuti pedoman Metode Penelitian Ilmu
Hukum Normatif amat berbeda dalam proses ilmiahnya dengan
disiplin-disiplin ilmu lain seperti misalnya dengan ilmu-ilmu sosial.
Ciri-ciri utama dari Metode Penelitian Hukum Normatif ini ialah:127
1) Deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif;
2) Tahap penelitian: Penelitian kepustakaan, data yang dicari adalah
data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder,
tersier, dan lain-lain;
3) Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan
teoritikal penelitian mengacu pada kaidah hukum yang ada dan
berlaku pada ajaran hukum (dan pakar hukum yang terkemuka);
4) Jarang menampilkan hipotesis;
5) Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya tanpa menggunakan
angka, rumus statistik, dan matematik.

127Lili Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Program
Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung, 2011, hlm. 5-11

126

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah penelitian hukum


normatif didukung dengan hasil putusan Mahkamah Agung dan
wawancara dengan aparatur Mahkamah Agung. Penelitian ini pada
hakekatnya hendak mencari model pengambilan keputusan yang paling
ideal yang dilakukan oleh Lembaga Hukum Tertinggi yakni Mahkamah
Agung dengan paradigma yang tidak terikat dengan Undang-Undang
sebagai hukum formil.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum (perundangundangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan referensi khusus
(jurnal, laporan penelitian).
b. Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa terhadap putusan
Mahkamah Agung yang tidak terikat oleh undang-Undang dan
meresponden dari para hakim untuk mengetahui kelebihan maupun
kekurangan jika diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi
dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini digunakan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten. Dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data
yang telah dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan
analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan
selanjutnya diolah.128
128Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 1.
127

3. Jenis dan Sumber Data


Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data primer
dan data sekunder, sebagai berikut:
a.

Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya


secara langsung. Data ini dilakukan dengan cara wawancara
terhadap responden.

b.

Data sekunder yakni berupa:


1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun
undang-Undang Mahkamah Agung dan lainnya yang berkaitan
dengan Mahkamah Agung
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil
penelitian para ahli, hasil-hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah,
dan sebagainya.
3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi
petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,

128

karya ilmiah maupun Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain


sebagainya.129
4. Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan
penelitian di lapangan tentang Sistem Peradilan menyangkut upaya
Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus tanpa terikat
dengan Undang-Undang hukum positif, dikaitkan dengan teori hukum
Paradigma Shift dari Thomas S. Khun dan Sartjipto Raharjo.
Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dijadikan sebagai
pegangan untuk diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian
untuk memperoleh hasil dari penelitian dan perubahan yag menjadi
penyebab untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif
artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian ditarik
kesimpulan yang bersifat umum.
G. Orisinalitas Penulisan
Penelitian ini merupakan satu-satunya penelitian di Indonesia pada
Program Doktor Ilmu Hukum yang mengkaji tentang Kewenangan
Mahkamah Agung sebagai Judec Juris dalam menilai fakta untuk
mewujudkan keadilan.
H. Sistematika Penulisan
129 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Rajawali Pers, 1985), hal. 45
129

Penelitian dalam tahap Seminar Kemajuan Penelitian ini


menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB

I. Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang


masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan
sistematika penulisan.

BAB

II. Mahkamah Agung dalam Historikal, tugas dan kewenangan


Mahkamah Agung, hak dan kewajiban Mahkamah Agung,
serta kode etik Mahkamah Agung.

BAB

III. Pengaturan tentang Mahkamah Agung, pemaparan hasil


penelitian berdasarkan penerapan metode penelitian dari
konsistensi Mahkamah Agung menerapkan keadilan berkaitan
dengan urgensi Mahkamah Agung, komentar atas upaya
Mahkamah Agung mewujudkan keadilan dari hasil putusan
yang melebihi kewenangan Mahkamah Agung.

BAB

IV. Pembahasan diantaranya mengenai, kewenangan


Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judec
Juris menurut kajian hukum normatif dan Filosofis,
selanjutnya dapatkah Upaya Transformatif Konsep yang
diterapkan Mahkamah Agung sebagai Judec Juris dalam
mewujudkan keadilan.

BAB

V. Penutup berisi uraian Kesimpulan dan Rekomendasi.

130

Anda mungkin juga menyukai