Anda di halaman 1dari 18

PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Dinar Ahmadiyanti (1802011006)

Farida (2002031010)

Novandra Almajaya (1702010025)

Riski Aulia Ahmad (2002032012)

Fakultas Syariah Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Lampung

Email: iainmetro@metrouniv.ac.id

Abstrak

Dalam negara hukum, hukum adalah menjadi hal yang tertinggi dalam tujuan mencapai
keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk mewujudkan
keadilan tersebut maka dibutuhkan pengadilan yang berfungsi untuk menegakkan keadilan
tersebut. Mahkamah Konstitusi sejak awal telah menunjukkan bagaimana seharusnya
lembaga peradilan menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk; memeriksa undang- undang konstitusi, untuk mengadili
tentang masalah kewenangan lembaga negara, membuat keputusan tentang penghentian
partai dan masalah pemilu. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan kualitatif melalui metode pengumpulan data library research terkait informasi
tentang Peradilan Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci: Peradilan, Mahkamah Konstitusi, Kewenangan

A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD
1945, “Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (matchsstaat),” yang selanjutnya diangkat dalam Pasal 1 ayat (3) pada
perubahan ketiga UUD 1945, yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum...”1 Salah satu
konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa, baik pemerintah maupun rakyat sama- sama
mengharapkan agar roda pemerintahan dijalankan menurut hukum. Tidak saja formil hukum,
melainkan juga materiil hukum, karena hukum itu pertama-tama adalah rasa keadilan.

Berkait dengan hal tersebut, maka keberadaan lembaga peradilan mutlak diperlukan
demi pelaksanaan aturan yang sudah dibuat, karena tidak akan berarti kalau aturan telah
dibuat namun tidak ditaati, sehingga perlu pemaksaan melalui lembaga peradilan supaya
dapat diawasi jika terjadi pelanggaran.2 Dengan bergulirnya era reformasi yang mengarah
pada terwujudnya konsep negara demokrasi, yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat, keadilan
semakin menjadi tujuan yang ingin segera diwujudkan, mengingat lembaga perwujudan
rakyat tidak semuanya menciptakan keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu konstitusi
disepakati sebagai satu-satunya landasan untuk mewujudkan hak dan kewajiban dalam
konteks system ketatanegaraan yang berlaku.3

Keberadaan Peradilan Konstitusi menjadi hal yang penting keberadaannya. Bagi


Indonesia, tuntutan tersebut diwujudkan dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang
lahir Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung... dan oleh sebuah
Mahkamah Kontitusi.”4 Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan., di mana dalam menjalankan
tugasnya berpedoman pada Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang- Undang Republik


Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bab III Pasal 10 yaitu
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk;
1
Lihat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3
2
Media Neliti, Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Peradilan dalam Konsep Negara Hukum Indonesia,
diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/23265-ID- mahkamah-konstitusi-sebagai-lembaga-
peradilan- dalam-konsep-negara-hukum-indonesia.pdf, pada tanggal 17 Oktober 2021, pukul 21:40
3
Ibid, hal. 1
4
Lihat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 ayat 2
menguji Undang- undang terhadap UUD RI tahun 1945, memutuskan sengketa kewenangan
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutuskan perselisihan tentang hasil
pemilu, dan memberikan keputusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden dan/ atau wakil presiden menurut UUD.

Mahkamah Konstitusi sudah beberapa kali menangani kasus- kasus yang masuk
dalam kewenangannya, seperti kasus Aisyah Mochtar yang melayangkan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi. Aisyah Mochtar menguji pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 dalam UU
1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Setelah melewati serangakaian pemeriksaan akhirya ajelis
hakim mengabulkan permohonan uji materi Aisyah Mochtar. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keberadaan dari Mahkamah Konstitusi merupakan wujud nyata untuk
mengoreksi kinerja antar lembaga Negara guna menghindari tindakan yang sewenang-
wenang maupun penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan masyarakat.

B. PEMBAHASAN
1. Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan

Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan
yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan
menerapkan hukum dan/ atau menemukan hukum “in concreto” untuk mempertahankan dan
menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan
oleh hukum formal.5 Sedangkan Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang
melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Dari dua istilah diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa peradilan merupakan proses
menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah tempat
mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan. 6 Setiap orang
memiliki hak yang sama untuk membawa perkaranya ke Pengadilan baik untuk
menyelesaikan perselisihan maupun untuk meminta perlindungan di pengadilan bagi pihak
yang di tuduh melakukan kejahatan.

5
Hukum, Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan, diakses dari
https://jdih.lipi.go.id/keputusan.php?page=pengetahuan_praktis&id=138, pada tanggal 17 Otober 2021,
pukul 22:03
6
Ibid, hal. 1
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung... dan oleh sebuah Mahkamah Kontitusi.” dengan
demikian sekarang Indonesia sudah memiliki lembaga peradilan konstitusi dalam rangka
untuk mencegah tindakan yang sewenang- wenang ataupun penyalahgunaan wewenang dari
aparat pemerintah yang berujung pada pencapaian keadilan bagi masyarakat melalui
pemenuhan hak-hak konstitusi masyarakat.

Herman Heller berpendapat bahwa jika pengertian undang- undang itu harus
dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya Undang- Undang Dasar itu baru
merupakan sebagaian dari pengertian konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis saja. 7 Secara
sederhana, menurut Soetandyo Wignyosoebroto konstitusi dapat didefinisikan sebagai
sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pada
pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam ihwal
kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu.8

Dibentuknya Mahkamah Konstitusi bertujuan sebagai peradilan yang memiliki


wewenang dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Peradilan
konstitusi sendiri memiliki beberapa fungsi salah satunya menjaga keluhuran konstitusi
(UUD 1945).9 Berdasarkan Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen ketiga, yang
ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang Undang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang- Undang Dasar, Memutus pembubaran partai politik, Memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum dan Memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang dasar.

2. Undang- Undang Peradilan Mahkamah Konstitusi

7
Pengertian Konstitusi Menurut Herman Heller
8
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya, Elsam dan Huma,
Jakarta, 2002, hal. 403, dalam Ni,matul Huda, ibid.,hal. 14. 14 Ibid.,hal. 15.
9
Abhimantara, Hukum Peradilan Konstitusi, diakses dari https://abhimantara.blogspot.com/2015/10/paper-
hukum-peradilan-konstitusi.html#:~:text=Dibentuknya%20Mahkamah%20Konstitusi%20bertujuan%20sebagai
%20peradilan%20yang%20memiliki,satunya%20menjaga%20keluhuran%20atau%20keajegan%20konstitusi
%20%28UUD%201945%29,
Pada tanggal 18 Oktober 2021, pukul 07:01
Mengenai Peradilan ini diatur dalam Undang- undang No 24 Tahun 2003.
Menimbang bahwa;

a) Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan


Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan
berkeadilan.
b) Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai
peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai
dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c) Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi;

Mengingat bahwa:

1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah
diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3879);

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.10 Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
10
Lihat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24
peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah.” Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.11 Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan Demikian, secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

3. Hukum Acara Peradilan Mahkamah Konstitusi

Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal konstitusi


agar dilaksanakan oleh ketentuan di bawahnya, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang
menyelenggarakan peradilan konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi
(constitutional court).12 Hal itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara
yang menjadi wewenang MK adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang
menyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai
konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri.

Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata
cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai
hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK
serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh
karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum
Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat
DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

a. Hukum Acara Umum

11
Undang- Undang No 24 Tahun 2003 Pasal 2 Tentang Kedudukan dan Susunan
12
Tim Penyusun Hukum Acara MahkamahKonstitusi: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), cet- 1, hal. 13
Hukum acara umum Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Pasal 28- 49 Undang
Undang Mahkamah Konstitusi mencakup pengaturan sebagai berikut:13
1. Susunan hakim dan sifat persidangan.
Dalam keadaan biasa, Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus
dalam. Sidang Pleno dengan ( orang hakim, namun dalam keadaan luar biasa dapat
dilakukan oleh 7 orang hakim.
2. Pengajuan Permohonan.
Semua perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dilakukan secara tertulis,
dalam bahasa Indonesia, dengan uraian perkara yang dimohonkan secara jelas dan
memuat identitas pemohon.
3. Pendaftaran Permohonan dan penjadwalan sidang.
Panitera Mahkamah Konstitusi memeriksa kelengkapan permohonan, bagi yang
belum lengkap wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak
pemberitahuan. Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon, sebelum atau
selama masih dalam pemeriksaan mahkamah Konstitusi yang berakibat permohonan
tidak dapat diajukan kembali oleh Pemohon.
4. Alat Bukti.
Alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak adalah: a)Surat atau tulisan;
b)Keterangan saksi; c) Keterangan ahli; d) Keterangan para pihak; e) Petunjuk; f )
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan .
5. Pemeriksaan Pendahuluan.
Sebelum pemeriksaan pokok perkara, mahkamah Konstitusi mengadakan siding
Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan.
6. Pemeriksaan Persidangan.
Persidangan Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum. Pemohon dan/atau
Termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasar surat kuasa khusus,
apabila didampingi bukan oleh kuasanya, harus ada surat keterangan khusus yang
diserahkan kepada hakim Konstitusi dalam persidangan.
7. Putusan.
1) Prosedur pembuatan putusan adalah sebagai berikut:

13
Law UMY, Modul Hukum Acara Praktek Peradilan Mahkamah Konstitusi, diakses dari
https://law.umy.ac.id/wp-content/uploads/2021/07/MODUL-HUKUM- ACARA-MK.pdf, pada tanggal 18
Oktober 2021, pukul 12:09
a. Mahkamah Konstitusi memutus berdasarkan UUD 1945, sesuai alat bukti dan
keyakinan hakim.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan minimal didasarkan 2 alat
bukti.
c. Putusan mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hokum yang menjadi dasar putusan.
d. Putusan diambil dalam rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) secara musyawarah
untuk mufakat.
e. Dalam RPH setiap hakim wajib menyampaikan pendapat hokum (legal opinion).
f. Dalam hal musyawarah RPH tidak mencapai mufakat, diadakan RPH berikutnya.
g. Dalam hal RPH setelah berusaha sungguh-sungguh tetap tidak dapat dicapai
h. mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
i. Apabila pengambilan putusan dengan suara terbanyak tidak tercapai, suara
terakhir ketua siding RPH menentukan.
h. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu jua atau hari lain
yang harus diberitahukan kepada para pihak.
i. Dalam hal putusan tidak tercapai dengan mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda dimuat dalam putusan (dissenting opinion)
2) Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera.
3) Putusan mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hokum tetap sejak selesai
diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum.
4) Mahkamah Konstitusi memberi keputusan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa
5) Struktur putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. Kepala putusan Berbunyi: “ DEMI KEADILAN BERDASRAKAN TUHAN
YANG MAHA ESA”
b. Identitas para pihak.
c. Ringkasan permohonan.
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.
e. Pertimbangan hokum yang menjadi dasar putusan.
f. Amar putusan.
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.
6) Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam
tenggat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
b. Hukum Acara Khusus
Hukum acara umum pada dasarnya berlaku untuk semua perkara konstitusi sesuai
dengan kewenangan mahkamah Konstitusi, namun di samping itu Mahkamah Konstitusi juga
mempunyai hukum acara khusus untuk masing-masing kewenangan Mahkamah Kostitusi
tersebut, maka sesuai Pasal 86 Undang Undang Mahkmah Konstitusi, diterbitkanlah PMK
tentang prosedur acara untuk setiap kewenangan Mahkamah Konstitusi. 14 Pengaturan berkait
hukum acara khusus Mahkamah Konstitusi adalah:
A. PENGUJIAN UNDANG- UNDANG
1. Hal-hal Terkait Dengan PUU
a. Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian;
b. Pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian undang-undang;
c. Bentuk pengujian undang-undang;
d. Kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada institusi/lembaga
negara tertentu (terutama lembaga negara pembentuk undang-undang);
e. Hak MK meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan
permohonan;
f. Materi putusan;
g. Akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban MK setelah putusan.
b. Pemohon dalam perkara PUU
Perorangan WNI Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Badan Hukum Publik atau
Privat Lembaga Negara
c. Kewajiban MK terkait permohonan PUU
Pemberitahuan dan permintaan untuk penghentian pengujian peraturan dibawah UU
kepada Mahkamah Agung RI Penyampaian Salinan Permohonan kepada Presiden RI
Penyampaian Salinan Permohonan kepada DPR RI
d. Hal- hal terkait dengan putusan PUU
a. Putusan yang mengabulkan permohonan pengujian undangundang harus dimuat
dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari

14
Tim Penyusun Hukum Acara MahkamahKonstitusi: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), cet- 1, hal. 31
kerja terhitung sejak putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Ps.
57 ayat (3))
b. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku ke depan (prospektif)
c. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang disampaikan
kepada DPR, DPD, Presiden dan MA (Ps.59)
d. Terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang
dimohonkan pengujian dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali (Ps.60)
e. Pengkecualian bila permohonan didasarkan pada alasan konstitusional berbeda
(Ps. 42 PMK tentang PUU)

B. SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA (SKLN)


1. Pengertian SKLN
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara adalah sengketa yang terjadi antara lembaga
negara mengenai kewenangan konstitusional yakni kewenangan yang diatur oleh
UUD Tahun 1945

2. Syarat pemohon dalam perkara SKLN


a. Pemohon adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diatur oleh
UUD Tahun 1945
b. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kepentingannya,
kewenangan yang dipersengketakan, lembaga negara yang menjadi Termohon (Ps.
61 (1) (2))
c. Mahkamah Agung meskipun sebagai Lembaga Negara, tidak dapat menjadi pihak,
baik sebagai Pemohon atau Termohon (Ps. 65)
d. Dalam PMK tentang SKLN dimungkinkan dalam hal objek sengketanya bukan
kewenangan judicial
3. Kewajiban MK-RI, Hak Termohon
a. Mahkamah Konstitusi wajib menyampaikan salinan permohonan kepada
Termohon
b. Salinan permohonan harus disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak dicatat dalam BRPK (Ps. 62)
4. Putusan sela dan putusan akhir
 Putusan Sela:
Memerintahkan kepada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan itu sampai ada
putusan akhir. (Ps. 63)
 Putusan Akhir:
i. Tidak Diterima: Dalam hal tidak dipenuhi syarat-syarat permohonan dan
kedudukan hukum (legal standing).
ii. Dikabulkan: Dalam hal alasan permohonan terbukti secara sah dan
meyakinkan hakim
iii. Ditolak: Dalam hal alasan permohonan tidak terbukti secara sah.
5. Kewajiban terkait dengan keputusan
MK wajib menyampaikan;
1. Putusan kepada Pemohon dan Termohon dalam waktu paling lambat 7 hari kerja
sejak putusan diucapkan (Ps. 49)
2. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan itu diterima
Termohon wajib melaksanakan (Ps. 66 ayat (1))
3. Tidak dilaksanakannya putusan mengakibatkan batalnya pelaksanaan
kewenangan yang disengketakan (Ps. 66 ayat (2))
4. MK wajib menyampaikan putusan kepada DPR, DPD, dan Presiden (Ps. 67)

C. PEMBUBARAN PARTAI POLTIK


1. Para Pihak dan Alasan Permohonan
Pihak:
a. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Pusat (Ps. 68)
b. Partai Politik yang dimohonkan pembubarannya oleh Pemerintah (Ps. 69)
Alasan Permohonan:
Ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD
1945 (Ps. 68)
2. Putusan
Mahkamah Konstitusi wajib memutus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK (Ps. 71)
- Tidak diterima
Dalam hal Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) (Ps.
68 (1) dan Ps. 70 (1))
Dalam hal Permohonan tidak diuraikan secara jelas dan rinci mengenai alasan yang
menjadi dasar permohonan (Ps. 68 (2) & Ps.70 (1))
- Dikabulkan
Dalam hal alasan dasar permohonan jelas dan rinci terbukti secara sah menurut hukum
dan meyakinkan hakim (Ps. 70 (2)
- Ditolak
Dalam hal meskipun alasan dasar permohonan telah diuraikan jelas dan rinci, tetapi
tidak terbukti secara sah menurut hukum (Ps. 70 (3)
3. Pengumuman dan pelaksanaan putusan
Mahkamah Konstitusi menyampaikan Putusan untuk diketahui dan dilaksanakan
kepada:
1. Partai Politik yang bersangkutan
2. Pemerintah:
a. Untuk diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat
14 (empatbelas) hari sejak putusan diterima;
b. Wajib melaksanakan dengan membatalkan pendaftaran partai politik
tersebut (Ps. 73)

D. PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM


1. Pemohon
a. Perorangan WNI calon anggota DPD peserta Pemilu
b. Pasangan calon Presiden/Wapres peserta Pemilu Presiden/Wapres
c. Partai Politik peserta Pemilu (Ps. 74 (1))
2. Materi Permohonan

Adalah Penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap :

a. Terpilihnya calon anggota DPD


b. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
Presiden/Wapres serta terpilihnya pasangan calon Presiden/Wapres
c. Perolehan kursi Partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan (Ps. 74 (2))
3. Tenggat
Perselisihan hasil Pemilu hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat
3X24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak KPU mengumumkan penetapan
hasil Pemilu secara nasional (Ps. 74 ayat (3)) dan wajib diputus paling lambat:
a. 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dalam hal
Pemilu Presiden/Wapres (Ps. 78a)
b. 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK, dalam hal
Pemilu anggota legislatif (Ps. 78b)
4. Posita dan Petitum
Materi Permohonan harus diuraikan dengan jelas dan rinci terkait dengan:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil
penghitungan yang benar menurut Pemohon
b. Permintaan membatalkan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU
c. Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon (Ps. 75)
5. KPU sebagai termohon
a. Diberitahukan kepadanya tentang permohonan melalui penyampaian salinan
permohonan dalam waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan
diregistrasi (Ps. 76)
b. Diberikan kesempatan dalam pemeriksaan di dalam sidang
6. Putusan
Tidak diterima
Dalam hal tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-
syarat kejelasan materi (Ps. 74 (1)-(3), dan Ps. 77 (1))
Dikabulkan
Dalam hal alasan yang menjadi dasar permohonan terbukti secara hukum dan
meyakinkan, maka Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana
dimaksud Pemohon (Ps. 77 (2) dan (3))
Ditolak
Dalam hal alasan dasar permohonan tidak terbukti secara sah menurut hukum (Ps.77 (4)

E. PENDAPAT TENTANG PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


1. Pemohon dan materi permohonan
Pemohon dalam perkara ini adalah DPR
2. Materi permohonan
a. Presiden dan/atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan
tercela
b. Presiden dan/atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wapres berdasarkan UUD Tahun 1945
3. Syarat pengajuan permohonan
1. Keputusan DPR tentang hal tersebut
2. Proses pengambilan keputusannya
3. Bukti-bukti (Ps. 80 (3))
4. Tenggat waktu
Permohonan harus diputus paling lambat 90 (sembilanpuluh) hari sejak diregistrasi
(Ps. 7B (4), Ps.84)
5. Materi putusan
Tidak diterima
Dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum dan syarat-
syarat kejelasan serta kelengkapan
Ditolak
Dalam hal pendapat DPR tidak terbukti ▪
Dikabulkan

Dalam hal pendapat DPR terbukti secara sah menurut hukum

4. Contoh Kasus
Dibawah ini adalah contoh penanganan kasus yang dilakukan Oleh Peradilan
Mahkamah Konstitusi mengenai UU No 23 Tahun 2004 Pasal 50- Pasal 60 tentang Pengujian
Undang-undang

Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010”15

Aisyah Mochtar adalah seorang ibu rumah tangga. Dulu sewaktu muda, ia menikah
secara siri dengan seorang pejabat hingga memiliki seorang anak. Namun, karena ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana di dalam Pasal
43 ayat 1 menyebutkan “bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

15
Achmad Irwan Hamzani. Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, No.1, hal. 7-9
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” 16 Ketentuan tersebut dianggap oleh
Aisyah Mochtar telah merugikan hak konstitusionalnya (constitutional right) sehingga ia
mengalami kerugian konstitusional (constitutional loss). Berdasar alasan tersebut, maka ia
beranggapan bahwa pasal dalam aturan hukum (rechtsregel) a quo bertentangan
(tegengesteld) dengan hukum dasar (basic law), yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengajukan pengujian (toetsing) undang-undang ke
Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Aisyah Mochtar maupun Muhammad Iqbal


Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak diakui menurut hukum
sebagai isteri, dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan, tidak mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya, Moerdiono, dan keluarga ayahnya. Aisyah Mochtar yang
berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan
pengujian ( judicial review) ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU RI/1/1974
yang pada intinya adalah:

a. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU RI/1/1974
menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon,
khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak yang
dihasilkan dari hasil perkawinan Pemohon 1;
b. Hak konstitusional para Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU
RI/1/1974. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon
1 adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam agama Islam.

Pengujian terhadap UU RI/1/1974 dilakukan untuk mengetahui akan keabsahan dari


suatu perkawinan. Sebab perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak sedarah, dilakukan menurut agama atau kepercayaan masing-masing secara sah.
Ada ketidaksesuaian antara Pasal 2 UU RI/1/1974 dengan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI
1945. Jika merujuk pada norma konstitusional yang termuat dalam Pasal 28B ayat (1) UUD
NRI 1945, maka perkawinan Pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah
tetapi terhalang oleh Pasal 2 UU RI/1/1974. Perkawinannya menjadi tidak sah menurut
norma hukum perkawinan. Pemberlakuan norma hukum ini juga berdampak terhadap status
hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I, menjadi anak di luar
nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) UU RI/1/1974. Pemohon

16
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1
I memandang ini sebagai perlakuan diskriminatif yang menimbulkan permasalahan karena
status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan tidak sah. Ketentuan ini
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945.

Sebagian permohononan tersebut dikabulkan oleh MK dengan Putusan MK Nomor


46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, bahwa Pasal 43 ayat (1) UU RI/1/1974
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
RI. No. 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan
UUD NRI 1945, dan tidak mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Ayat
tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”

Maksudnya anak luar kawin akan menjadi anak yang sah jika dibuktikan melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai anak dari ayahnya. Pembuktian melalui ilmu pengetahuan
dan teknologi biasanya dengan melakukan tes golongan darah atau DNA ( Deoksiribo
Nuklead Acid). Tes DNA berguna untuk mengetahui apakah ada kesamaan golongan darah
anak dengan ayah dan keluarga ayahnya atau tidak. Tes DNA berlaku secara umum, baik
untuk anak luar kawin yang dilahirkan dari pernikahan tidak dicatatkan, anak luar kawin dari
hasil perzinahan, anak yang tidak diakui oleh ayahnya ( li’an), anak yang tertukar, ataupun
anak yang tidak diketahui asal-usul orang tuanya.

Dengan dikabulkannya permohonan judicial review tersebut status Mohammad Iqbal


Ramadhan menjadi jelas, yaitu anak dari hasil perkawinan. Aisyah Mochtar dengan
Moerdiono. Hak keperdataan Aisyah Mochtar sebagai Pemohon I dan Mohammad Iqbal
Ramadhan sebagai Pemohon II juga terjamin secara hukum.

C. PENUTUP
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Hal ini sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Mengenai Peradilan ini diatur dalam Undang- undang No 24 Tahun 2003.
Menimbang bahwa; Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum
sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata
cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai
hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK
serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh
karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum
Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat
DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Contoh penanganan kasus yang dilakukan Oleh Peradilan Mahkamah Konstitusi


mengenai UU No 23 Tahun 2004 Pasal 50- Pasal 60 tentang Pengujian Undang-undang.
Pokok permohonan dalam judicial review yang diajukan oleh Machicha Mochtar adalah
pengujian konstitusional Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Pasal Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Gugatan tersebut sebagian dikabulkan. Pasal 43 ayat (1) UU RI/1/1974
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus dibaca; “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Maksudnya anak luar kawin
akan menjadi anak yang sah jika dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
anak dari ayahnya. Pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya dengan
melakukan tes golongan darah atau DNA ( Deoksiribo Nuklead Acid). Tes DNA berguna
untuk mengetahui apakah ada kesamaan golongan darah anak dengan ayah dan keluarga
ayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzani, Achmad Irwan. 2015. Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, No.1, hal. 7-9

UMY, Law,”Modul Hukum Acara Praktek Peradilan Mahkamah Konstitusi” law UMY: 18
Oktober 2021, diakses dari https://law.umy.ac.id/wp-
content/uploads/2021/07/MODUL-HUKUM-ACARA-MK.pdf,

Penyusun, Tim. 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Abhimantara, Hukum Peradilan Konstitusi, abhimantara. Blogspot: 18 Oktober 2021 diakses


dari https://abhimantara.blogspot.com/2015/10/paper-hukum-peradilan-
konstitusi.html#:~:text=Dibentuknya%20Mahkamah%20Konstitusi%20bertujuan
%20sebagai%20peradilan%20yang%20memiliki,satunya%20menjaga%20keluhuran
%20atau%20keajegan%20konstitusi%20%28UUD%201945%29,

Wignyosoebroto, Soetandyo. 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya,


Elsam dan Huma, Jakarta

Hukum, Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan, jdih.lipi.go.i” 17 Otober 2021 diakses


dari https://jdih.lipi.go.id/keputusan.php?page=pengetahuan_praktis&id=138

Neliti, Media, Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Peradilan dalam Konsep Negara
Hukum Indonesia, medianeliti.com: 17 Oktober 2021 diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/23265-ID- mahkamah-konstitusi-sebagai-
lembaga-peradilan- dalam-konsep-negara-hukum-indonesia.pdf

Anda mungkin juga menyukai