Anda di halaman 1dari 12

KRITIK YURIDIS TERHADAP

SISTEM DAN HUKUM ACARA


MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh:
IRSA SETIAWAN.HUSAINI
NIM : 2120215310009

Dosen:
Dr. SUPRAPTO, S.H., M.H.

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


MAGISTER ILMU HUKUM
2022
A. LATAR BELAKANG

Indonesia ialah negara hukum beralaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 bermaksud melahirkan aturan bangsa yang apik,

bersih makmur dan adil, sepeti sebanding dengan amanat dalam pasal 1

ayat (3) bersama Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa

“Negara Indonesia ialah Negara Hukum” berserta “Mahkamah Konstitusi

berhak mempertimbangkan atas tingkat awal maupun akhir ketika tetapan

sifatnya finis diperuntukkan memeriksa Undang-Undang atas Undang-

Undang Dasar, ditetapkan penghapusan partai politik juga memutus

perdebatan bertentang hasil dari pemilihan umum”.

Pasal tersebut mengimplikasi jika semua aspek penyelenggara dan

negara juga harus berdasar hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan oleh

kekuasaan (machtstaat) bersama Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum negara juga UUD 1945 adalah hukum dasar dan hierarki

tertinggi dalam tatanan perundang-undangan. diperuntuk mewujudkan

esensi negara hukum (rechtsstaat / the rule of law) dibutuhkan adanya

paham hukum untuk satu kesatuan sistem yang sesaui sistem umum

didirikan dari elemen-elemen pendukung.

Bersumber sistem yang diamanatkan diatas, eksistensi Mahkamah

Konstitusi bermaksuk demi membenahi masalah tertentu diaspek politik,

dalam bentuk melindungi konstitusi untuk melaksanakan sebagai

pertanggungjawaban sebanding dengan kemauan rakyat dan cita-cita

demokrasi dengan maksud untuk mendukung pelaksanaan kekuasaan


kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekusasaan lembaga

lainnya dalam menegakkan hukum juga keadilan dan bertujuan

memberikan berpedoman pada penyelenggaraan peradilan dalam

memeriksa, memeriksa, beserta mencabut perkara, membentuk atas ajaran

pengendalian kedaulatan peradilan yaitu dilakukan menurut biasa dan

cepat.

B. RUMUSAN MASALAH

Mengingat luasnya ruang lingkup permasalahan yang di bahas,

penulis akan membatasinya dengan membicarakan tentang Kritik Yuridis

Terhadap Sistem dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

C. KAJIAN DAN TEORI

Jhon Rawls ahli pikir sangat adil pada abad ini menutukan, “Yang

memadai diperhatikan untuk beberapa hakim, beberapa legislator beserta

siapa saja beberapa pencari keadilan, satu bentuk tindakan tidak adil ialah

kegagalan beberapa hakim dan pihak-pihak lain yang berwenang

diperuntukkan penerapan aturan yang tepat maupun buat menafsirkannya

secara betul. Pada saat hubungan ini, makin menjelaskan berasumsi tidak

tentang pelanggaran-pelanggaran yang kelihatan dicontohkan dengan

sogokan maupun korupsi, dan kesalahan penggunaan sistem hukum buat

menghukum rival politik, tetapi bertambah bagaikan penyimpangan yang

tidak mencolok berbentuk prasangka juga bias ketika ini menurutnya

ampuh mendiskriminasi kelompok tertentu didalam proses hukum


(Yudisial). Keteraturan dan kemenyeluruhan dan dalam pengertian ini

keadilan dalam pelaksanaan hukum dapat kita sebut “keadilan sebagai

keteraturan (Justice As Regularity)” (Rawls, 1995, Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2006:298)1.

D. KRITIK YURIDIS TERHADAP SISTEM DAN HUKUM ACARA

MAHKAMAH KONSTITUSI

Bahwa sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24 C ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 keberadaan Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik dan memutus peselisihan tentang hasil

pemilihan umum, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 juncto Pasal 29

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaaan Kehakiman,

dimana Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kehakiman yang Menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Memutus pembubaran partai politik;

Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan Kewenangan lain

yang diberikan oleh undang-undang, sebagaimana yang ditetapkan dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


1
Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Regulasi diatas merupakan landasan hukum Mahkamah Konstitusi

dalam menjalankan sistem peradilan atas pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan

memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum dengan tujuan

mendukung keseimbangan dalam penyelenggaraan negara serta sebagai

langkah nyata dalam melakukan koreksi terhadap kinerja antar lembaga

yang ada di Indonesia.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini hanya

berkedudukan hukum di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik

Indonesia, sehingga hal ini cukup menyulitkan bagi Pemohon pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik dan memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum

untuk beracara, mengingat jarak dan biaya dalam melakukan upaya

hukum. Upaya hukum yang diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi

cukup banyak seperti yang dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi (Anwar

Usman) penanganan perkara di MK berpotensi meningkat di tahun 2022,

hingga akhir Januari 2022 sudah ada 16 perkara pengujian undang-undang

(PUU) yang teregister di MK, selain itu MK akan melakukan persiapan

jelang pemilu 20242.


2
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/10/11551061/anwar-usman-jumlah-perkara-yang-
ditangani-mk-tahun-2022-berpotensi-meningkat di download tgl.27 Des 2022.
Berpedoman dalam hukum acar Mahkamah Konstitusi, Pengajuan

pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik dan memutus peselisihan tentang hasil

pemilihan umum, antara Pemohon dan Termohon terdapat perbedaan,

sebagai penjelasan berikut :

1. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,

bertindak sebagai Pemohon adalah Subyek hukum yang dapat

menjadi pemohon adalah :

a. Perseorangan Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok


orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.
c. badan hukum publik atau privat. d. Lembaga negara, yang
menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan, yaitu hak/kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Pasal 51 ayat (1). Pemohon adalah pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

undang-undang, yaitu;

a. Perseorangan Warga Negara Indonesia.


b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.
c. Badan hukum publik atau privat.
d. Lembaga negara3.

2. Memutus pembubaran partai politik Pemohon adalah pemerintah,

sedangkan termohon adalah partai politik yang dimohonkan untuk

dibubarkan oleh pemerintah. Alasan pembubaran, menurut

Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik,

menyebutkan bahwa Partai Politik yang menganut,

mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham

Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat dibubarkan4.

3. Memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum, Pemohon

adalah perseorangan peserta pemilu, Dewan Perwakilan Daerah,

Partai Politik peserta pemilu, pasangan Capres/Cawapres peserta

pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Permohonan hanya terhadap

penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh

Komisi Pemilihan Umum, sehingga yang dimohonkan tidak

berkaitan dengan kecurangan-kecurangan dan pelanggaran-

pelanggaran asas pemilu yang menjadi kewenangan Panwaslu dan

Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).

Dalam hal ini tidak termasuk pemilu kepala daerah dan wakilnya.

Tenggat untuk mengajukan permohonan ditetapkan hanya 3x24

(tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan umum

menetapkan hasil pemilu secara nasional. Termohon adalah Komisi


3
Prof.Dr.Drs.Abintoro Prakoso, S.H., M.H; Sistem Peradilan Indonesia, Laksbang
Grafika:Yogyakarta 2019 Hal.168.
4
Ibid. Hal.172
Pemilihan Umum, karena menurut Mahkamah Konstitusi

perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu

dengan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu.

Obyek perselisihan adalah penetapan hasil pemilu oleh Komisi

Pemilihan Umum, yang wajib diuraikan oleh pemohon, adalah:

a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh


Komisi Pemilihan Umum dan penghitungan yang benar
menurut pemohon.
b. Permintaan (petitum) untuk membatalkan hasil penghitungan
suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.

Jika permohonan tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan

permohonan tidak dapat diterima. Jika permohonan beralasan, amar

putusan menyatakan dikabulkan, dan membatalkan hasil penghitungan

suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, serat menetapkan

hasil penghitungan suara yang benar.5

Pelaksaan hukum acara Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam

Pasal 27 sampai dengan 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah beberapa kali,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, Penulis menemukan adanya ketidakjelasan antara angka (7)

“Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan

sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil

5
Ibid.Hal 174
dengan suara terbanyak” dan angka (8) Pasal 45 dima “Dalam hal

musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua

sidang pleno hakim konstitusi menentukan”.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya perlu dijelaskan dasar-dasar

mengapa dan apa saja penyebab Musyawarah sidang pleno tidak dapat

mencapai Mufakat dalam mengambil keputusan, sehingga harus ketua

sidang pleno hakim Mahkamah Konstitusi yang menentukan keputusan

yang sifatnya mengikat bagi pemohon, harusnya didalam pasal tersebut

dijelasakan kondisi apa saja yang menyebabkan tidak tercapainya

Musyawarah dan ketentuan-ketentuan keadaan bagaimana sehingga ketua

hakim Mahkamah Konstitusi yang mengambil putusan, mengingat putusan

dalam hukum acara mahkamah konstitusi bersifat final sebagaimana yang

diamanatkan dalam Pasal 57 (1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar

putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau

bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. (2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar

putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud

tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-

undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, itu artinya


bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diajukan upaya hukum

(bersifat Final dan Mengikat), sehingga hal tersebut berpotensi

menimbulkan kerugian bagi subjek hukum yang mengajukan perkaranya

di Mahkamah Konstitusi.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian diatas, Penulis berpendapat bahwa

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebenarnya harus membarikan

kemudahan dalam pelaksanaannya, mulai dari keberadaan Mahkamah

Konstitusi yang tidak hanya berkedudukan di Jakarta sebagai Ibu Kota

Negara Republik Indonesia, terdapat juga di masing-masing Provinsi

dengan tujuan mempermudah Subjek Hukum dalam melakukan upaya

hukum terhadap pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus peselisihan

tentang hasil pemilihan umum untuk beracara yang dinilai merugikan hak

konstitusinya, selain itu perlu pula adanya penjelasan terhadap Pasal 45

angka (7) dan angka (8) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sehingga dapat diketahui dan dimengerti semua lapisan

masyarakat.
F. SARAN

Terhadap uraian diatas, Penulis memberikan saran, penting pada

masa mendatang kedudukan Mahkamah Konstitusi berada diseluruh

provinsi untuk mengakomodir setiap permasahalan yang dialami subjek

hukum agar sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan, termasuk adanya penjelasan terhadap Pasal 45 angka (7) dan

angka (8) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

kondisi dan/atau keadaan sehingga Musyawarah sidang pleno tidak dapat

mencapai Mufakat dalam mengambil keputusan, mengingat keputusan

Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat dan tidak bisa

dilakukan upaya hukum (Banding).

G. DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Drs.Abintoro Prakoso, S.H., M.H; Sistem Peradilan Indonesia,


Laksbang Grafika:Yogyakarta 2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/10/11551061/anwar-usman-
jumlah-perkara-yang-ditangani-mk-tahun-2022-berpotensi-meningkat
di download tgl.27 Des 2022.
Hasil plagiasi menggunakan website Duplichecker :
https://www.duplichecker.com/

Bagian : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Kajian dan teori

Bagian : Kritik Yuridis terhadap sistem dan hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
kesimpulan, dan saran

Anda mungkin juga menyukai