Anda di halaman 1dari 7

Penyelesaian Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Kapita Selekta Hukum Tata Negara

Dosen: Dr. Hernadi Affandi S.H., LL.M.

Wicaksana Dramanda S.H.

Oleh

Ulya Fajri Amriyeny 110110120148

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

 Mencermati kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil


pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang
Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa : “Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”,
tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal
pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala Daerah dalam UUD
1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah,
pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis”.

Pemilu tanpa sengketa dalam sebuah Negara demokrasi adalah pemikiran


yang naïf. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Ahmad Fadlil Sumadi, SH.,
M.Hum mengatakan, hampir tidak ada Negara demokratis di dunia yang dapat
menjalankan Pemilu tanpa adanya sengketa, begitu juga di Indonesia. Hal tersebut
terjadi karena Pemilu merupakan kontestasi hak warga Negara yang berwujud
persaingan politik yang dijamin oleh konstitusi. Negara, lanjutnya, harus mampu
untuk menyelesaikan sengketa tersebut. 1

Pemilu demokratis yang sah atau bebas dan adil tidak terbatas apakah lembaga
Komisi Pemilihan Umum berlaku imparsial dan efektif, tetapi juga bagaimana peran
kandidat melaksanakan kampanye dengan bebas dan mendapat dukungan dari rakyat.
Hal yang berkaitan erat terhadap pemilu yang bebas dan adil adalah apakah sumber-
sumber pemerintah digunakan dengan benar selama proses pemilu; apakah militer
bersikap netral dan bertindak sebagai organisasi profesional; dan apakah kepolisian
dan pengacara menegakkan kewajiban dan melindungi mereka yang melaksanakan
hak sipil dan politik. Selain itu, isu penting lainnya adalah apakah institusi pengadilan
bertindak imparsial dan efektif; apakah media menghadirkan pemberitaan dan
informasi yang akurat serta bertindak selaku watchdog terhadap pemerintah dan
proses politik, dan apakah media menyediakan akses kepada kandidat dan cakupan
tujuan para kandidat.2

Maka sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengatur administrasi


penyelenggaraan pemilu harus independen dan mampu mengadakan proses pemilu
yang adil dan efektif. Jika tidak, masyarakat tidak akan mempercayai hasil pemilu.

1
http://www.umy.ac.id/pemilu-hampir-tidak-mungkin-tanpa-sengketa.html diakses 11
November 2014)
2
Merloe, Patrick, Pemilihan Umum Demokratis: Hak Asasi, Kepercayaan Masyarakat dan
Persaingan Yang Adil. Jakarta: Dinas Penerangan Amerika Serikat, 1994, h. 1.
Lebih lanjut, penting adanya evaluasi terhadap institusi pemilu,termasuk penegak
hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, yang memantau aspek-aspek tersebut secara
memadai dan melaksanakan tindakan efektif guna menghindari permasalahan dan
kecurangan. Hal ini untuk memastikan kesetaraan di dalam proses peradilan dan
perlakuan yang sama dan perlindungan hukum bagi para kandidat.

Seperti diutarakan di atas pula, demokrasi mempersyaratkan kebebasan,


keadilan, dan pemilu yang berkala. Dalam negara demokrasi terdapat kesetaraan
politik. Untuk mencapai kesetaraan politik, setiap warga negara harus mempunyai
kesempatan yang sama dan efektif dalam pemungutan suara dan seluruh suara harus
dihitung secara bersama.3

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah hakikat perkara sengketa pemilu di Indonesia?
2. Apakah Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tepat untuk
menangani perkara sengketa pemilu?

3
Dahl, Robert A, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara
Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 132.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah hakikat perkara sengketa pemilu di Indonesia?

Pada hakikatnya, Perkara sengketa pemilu di Indonesia ada dua, yakni


sengketa administrasi dan sengketa hasil pemilu itu sendiri. Sengketa administrasi
merupakan sengketa antara KPU dan peserta pemilu akibat dikeluarkannya putusan
oleh Bawaslu. Putusan Bawaslu ini bersifat final dan mengikat, kecuali dalam hal
sengketa parpol peserta pemilu, penetapan caleg, dsb. Jika yang terjadi adalah
sengketa parpol, maka partai bisa saja menggugat kembali ke PTUN.

Adapun sengketa hasil pemilu ialah untuk menyelesaikan perselisihan yang


terjadi akibat hasil pemilu itu sendiri. MK telah memperluas makna dan definisi
sengketa hasil pemilu. MK tidak mau hanya dikungkung pada penyelesaian sengketa
angka semata, melainkan menyelesaikan substansi persoalan di balik angka yang
disengketakan juga.

Perluasan definisi sengketa hasil yang dilakukan Mahkamah Konstitusi secara


bersamaan juga berimplikasi terhadap putusan yang dikeluarkan dalam memutus
sengketa hasil pemilihan umum itu sendiri. Putusan yang awalnya hanya terdiri dari
dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima. Namun seiring dengan perkembangan
definisi tersebut, putusannya pun memiliki varian baru, seperti dikabulkan seluruhnya,
dan dikabulkan sebagian. lebih jauh lagi, varian itu juga diikti dengaputusan
membatal dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah
Konstitusi, memerintahkan dilakukan penghitungan suara ulang dan pemungutan
suara ulang. Bahkan putusan yang mendiskualifikasi pasangan calon dan menetapkan
pasangan calon pemenang dalam pemiligan umum menurut mahkamah konstitusi.4

Saat ini ada lima tipologi masalah hukum yang ada, yaitu pelanggaran
administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, tindak pidana
pemilu, sengketa (administrasi/tahapan) pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu,
dan sengketa hasil pemilu. Masalah hukum pemilu tersebut diselesaikan oleh
lembaga-lembaga yang berbeda. Khusus pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu, dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang bersifat
permanen untuk menyelesaikannya. Sebuah lembaga yang menurut para pakar pemilu
sangat khas dan hanya ada di Indonesia.5

Sedangkan sengketa pemilu adalah sengketa antarpartai peserta pemilu atau


antara partai peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya
keputusan KPU yang penyelesaiannya dilakukan oleh Bawaslu. Keputusan Bawaslu
ini bersifat final dan mengikat, kecuali untuk sengketa menyangkut penetapan partai

4
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Jakarta: Themis Book,
2013, hlm. xi
5
Ibid, hlm. xii
politik peserta pemilu, dan masalah penetapan daftar calon tetap yang bisa dibanding
ke PTUN dan final di Mahkamah Agung.

Namun, untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu tetaplah menjadi domain


dari MK. Seperti yang telah diungkapkan juga di atas, bahwa banyak hal yang
berkembang terkait dengan penangnan penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK ini.

2. Apakah Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tepat untuk


menangani perkara sengketa pemilu?

Ya, karena konstitusi kita telah mengatur demikian. UUD 1945 menentukan
bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted
powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat
kewenangan itu adalah: (1) menguji undang- undang (UU) terhadap UUD, (2)
memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan  (4)  memutuskan 
pembubaran  partai  politik.  Sedangkan  kewajibannya  adalah memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan  pelanggaran 
hukum  ataupun  tidak  lagi  memenuhi  persyaratan  sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.

MK menjadi lembaga yang sangat tepat untuk menangani perkara sengketa


pemilu adalah karena sesungguhnya pemilu itu sendiri merupakan mekanisme yang
ditempuh agar terwujudnya kedaulatan rakyat, maka MK sangatlah tepat untuk
menyelesaikan sengketa pemilu tersebut. Oleh karenanya, MK tidak hanya
menyelesaikan sengketa soal hasil, tapi juga antara kaitannya dengan konstitusinya.
BAB III

KESIMPULAN

Sengketa pemilu adalah sengketa antarpartai peserta pemilu atau antara partai
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU
yang penyelesaiannya dilakukan oleh Bawaslu. Keputusan Bawaslu ini bersifat final
dan mengikat, kecuali untuk sengketa menyangkut penetapan partai politik peserta
pemilu, dan masalah penetapan daftar calon tetap yang bisa dibanding ke PTUN dan
final di Mahkamah Agung.

Namun, untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu tetaplah menjadi domain


dari MK. Seperti yang telah diungkapkan juga di atas, bahwa banyak hal yang
berkembang terkait dengan penangnan penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK ini.

MK sendiri menjadi lembaga yang sangat tepat untuk menangani perkara


sengketa pemilu adalah karena sesungguhnya pemilu itu sendiri merupakan
mekanisme yang ditempuh agar terwujudnya kedaulatan rakyat, maka MK sangatlah
tepat untuk menyelesaikan sengketa pemilu tersebut. Oleh karenanya, MK tidak
hanya menyelesaikan sengketa soal hasil, tapi juga antara kaitannya dengan
konstitusinya.
Daftar Pustaka

Merloe, Patrick, Pemilihan Umum Demokratis: Hak Asasi, Kepercayaan


Masyarakat dan Persaingan Yang Adil. Jakarta: Dinas Penerangan Amerika Serikat,
1994

Dahl, Robert A, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek


Demokrasi Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Jakarta:


Themis Book, 2013

IFES, Seminar Reeport of the Controlling the Illegal Influence of Money


Politics and Regulating Political Finance, Jakarta 11 Juli 2000

Ramlan Subakti, dkk, Penanganan Pelanggaran Pemilu, Seri Demokrasi


Elektoral, Jakarta: Kemitraan, 2011.

http://www.umy.ac.id/pemilu-hampir-tidak-mungkin-tanpa-sengketa.html

Anda mungkin juga menyukai