Social Knowledge
Pustaka ilmu pengetahuan seputar hukum dan umum
Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan
selaku pemohon tidak dapat menghadirkan alat bukti yang cukup guna mendukung
permohonannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud M.D sebagai ketua MK, bahwa
kebanyakan pemohon dalam persidangan PHPU-D tidak dapat membuktikan apa yang ia
dalilkan (nihil proba). Mahfud M.D pun menyatakan bahwa sangat kentara sekali adanya
indikasi bahwa para pemohon dalam mengajukan permohonan PHPU-D hanya mengedepankan
hasrat politik semata, tanpa didukung bukti-bukti yang cukup. Hal ini dapat dilihat dan dicermati
dari 230 permohonan PHPU-D di tahun 2010, hanya ada 26 permohonan yang dikabulkan.
Artinya hanya ada 1% lebih permohonan saja yang dikabulkan karena alasan-alasan serta
buktinya meyakinkan dan diterima oleh MK.
Paradigma yang demikian sudah sebaiknya ditinggalkan karena akan merugikan dan
menambah beban biaya pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti biaya untuk membayar jasa
kuasa hukum, menghadirkan saksi dari daerah, saksi ahli, akomodasi, dan lain-lain. Sebaliknya,
kedewasaan berdemokrasi dan sikap jiwa besar harus ditumbuhkembangkan. Para pasangan
calon sedari awal harus menyadari konsekuensi dari pencalonannya, yaitu; kalah atau menang.
Akan lebih arif rasanya bila pihak yang kalah dan tidak mempunyai cukup bukti untuk
bersengketa di MK bersedia mengakui kekalahannya dan segera mengintegrasikan diri untuk
ikut serta membangun daerah pasca Pemilukada. Bukan memaksakan kehendak, menuruti birahi
kekuasaan untuk menjadi Kepala Daerah dengan bersengketa di MK tanpa didukung bukti yang
cukup dan lain-lain persyaratan yang harus dipenuhi dalam suatu permohonan PHPU-D. Sikap
yang demikian hanya akan menimbulkan kerugian yang berlipat dan mengesampingkan
kepentingan bersama masyarakat daerah.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa perselisihan hasil Pemilukada yang selama ini
muncul, kebanyakan hanya dilatarbelakangi oleh birahi kekuasaan.
limitatif dalam UUD merupakan ranah konstitusi (constitutional domain). Problematika ini muncul
karena pembentuk UU mendudukkan policy mengenai kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada
pada ranah konstitusional mengenai aturan kewenangan lembaga negara. Padahal, aturan kewenangan
lembaga negara dalam konstitusi memiliki ruang terbatas, tidak dapat ditambah maupun dikurangi.
Ketika kedudukan MK dalam memegang kewenangan mengadili sengketa hasil pemilukada telah
dipertimbangkan secara jelas dan gamblang, MK merumuskan klausul peralihan yang justru berbanding
terbalik dengan pertimbangan sebelumnya. Dengan pertimbangan menghindari kekosongan dan
ketidakpastian hukum, MK menawarkan diri untuk tetap menangani perkara sengketa hasil pemilukada.
MK sebagai the final interpreter of the constitution telah menjatuhkan tafsir otoritatif bahwa kewenangan
lembaga negara yang disebutkan dalam UUD adalah limitatif, tidak dapat dikurangi maupun
ditambahkan. Namun, MK menelan ludahnya sendiri dengan membuka kemungkinan untuk menangani
perkara sengketa pemilukada setelah putusan dibacakan dan berlaku seketika. Apakah MK meyakini
bahwa tidak ada lembaga peradilan lain yang memiliki kompetensi untuk menangani perkara sengketa
pemilukada meskipun hanya bersifat peralihan/transisional? Apakah cukup dengan dalil menghindari
keraguan, kekosongan dan ketidakpastian hukum, MK memegang kewenangan yang menurutnya sendiri
adalah inkonstitusional?
Kenyataan kemudian membuktikan bahwa asumsi yang dibangun oleh MK sebagai dasar pertimbangan
saling berbanding terbalik. Ketika terjadi gunjang-ganjing politik pasca putusan MK atas wacana
pemilukada, Pemerintah merasa perlu untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) yang kemudian disahkan menjadi UU nomor 1 tahun 2015. Aturan baru ini telah
menetapkan bahwa yang diberikan kewenangan untuk menangani sengketa hasil pemilukada adalah
Mahkamah Agung, dalam hal ini Pengadilan Tinggi yang ditunjuk. Bilamana terdapat keberatan atas
putusan Pengadilan Tinggi, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Disatu sisi,
pembentuk Undang-Undang telah menaati putusan MK. Dan dalam hal pertimbangan masa transisional,
pembentuk Undang-Undang telah dengan berani mengambil keputusan untuk tidak menggunakan
klausula peralihan yang ditawarkan dalam putusan MK. Artinya, asumsi MK bahwa akan ada kekosongan
dan ketidakpastian hukum dalam masa peralihan kewenangan menangani pemilukada tidak terjadi karena
pembentuk Undang-Undang dengan segera menindaklanjuti putusan MK dan menunjuk Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Tinggi untuk meegang kewenangan ini.
Persoalan tidak selesai disini, bahkan menjadi kian pelik, ketika ternyata muncul penolakan secara halus
oleh Mahkamah Agung untuk menangani persoalan sengketa pemilukada. Selain itu, kelompok
masyarakat yang memiliki perhatian mengenai pemilu yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat,
seperti Perludem dan koalisi masyarakat sipil, juga tetap mendorong agar MK tetap menangani sengketa
pemilukada untuk sementara waktu. Pembentuk Undang-Undang kemudian menerbitkan UU nomor 8
tahun 2015 yang diharapkan menjadi jalan keluar persoalan ini. Pembentuk Undang-Undang memutuskan
untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang menangani perkara sengketa pemilukada dan MK
tetap menangani perkara pemilukada sebelum terbentuknya badan peradilan khusus tersebut.
Batas waktu pembentukan badan peradilan khusus adalah sebelum pelaksanaan pemilukada serentak
secara nasional, yang artinya badan peradilan khusus ini harus ada sebelum tahun 2027. Dalam rentang
waktu itu, MK akan menangani 6 (enam) gelombang pemilukada, yaitu tahun 2015, 2017, 2018, 2020,
2022 dan 2023. Kasus-kasus sengketa pemilukada yang akan ditangani MK pasti akan berlimpah.
Persoalan fundamentalnya adalah tidak ada landasan konstitusional yang melegitimasi MK untuk kembali
menangani sengketa pemilukada. Pengembalian kewenangan MK untuk menangani perkara sengketa
pemilukada hanya dilandaskan pada sebuah paragraf sederhana dalam pertimbangan putusan MK bahwa
untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang
menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya Undang-Undang
yang mengatur mengenai hal tersebut maka perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap
menjadi kewenangan Mahkamah [paragraf 3.14, putusan nomor 97/PUU-XI/2013].
Dalam pertimbangan penawaran MK untuk tetap menangani perkara pemilukada diajukan sebuah kondisi
prasyarat mutlak sepanjang belum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Kondisi ini jelas tidak lagi terpenuhi. Sudah ada Undang-Undang yang diterbitkan untuk mengatur
pemberian kewenangan kepada lembaga peradilan lain untuk menyelesaikan sengketa pemilukada pasca
putusan MK. UU nomor 1 tahun 2015 menetapkan kewenangan itu jatuh pada Pengadilan Tinggi yang
ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Namun kemudian dengan diterbitkannya UU nomor 8 tahun 2015, kondisi prasyarat yang ditetapkan oleh
MK seolah hidup kembali. Dalam rangka menyelesaikan sengketa pemilukada UU nomor 8 tahun 2015
mengamanatkan kepada badan peradilan khusus. Desain kelembagaan badan peradilan ini belumlah
tersusun sehingga kondisi yang diasumsikan MK mengenai kevakuman lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa pemilukada menjadi hidup. Dengan demikian, MK tetap berwenang mengadili
sengketa pemilukada sampai adanya UU yang mengatur mengenai badan peradilan khusus yang
menyelesaikan sengketa hasil pemilukada.
Batas waktu masa transisi MK memegang kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada berlaku dua
rezim. Pertama, pertimbangan putusan MK mempersyaratkan sampai adanya Undang-Undang yang
mengatur mengenai hal tersebut yaitu adanya UU mengenai pemberian kewenangan menyelesaikan
sengketa pemilu kepada lembaga tertentu. Kedua, UU nomor 8 tahun 2015 menyebutkan batas waktu
pembentukan badan peradilan khusus adalah hingga pelaksanaan pemilukada serentak, yaitu tahun 2027.
Dua model batas waktu masa transisi ini secara substansi tidaklah saling bertentangan melainkan saling
mengisi. Pembentuk UU memiliki kesempatan untuk mengesahkan UU mengenai badan peradilan khusus
untuk menangani sengketa pemilukada hingga tahun 2027. Untuk sebuah masa transisi, kurun waktu 12
tahun (2015 s.d. 2027) merupakan jangka waktu yang cukup lama. Dalam kurun waktu itu, MK juga
mesti mengadili perkara sengketa pemilukada yang jumlahnya tidak sedikit dengan dasar konstitusional
kewenangan yang tidak kuat.
Arah politik hukum penanganan sengketa hasil pemilukada pasca putusan MK juga dapat terbaca dengan
jelas. Baik melalui UU nomor 1 tahun 2015 yang kemudian dipertegas dengan UU nomor 8 tahun 2015,
pembentuk UU telah mendesain sejumlah aturan untuk meminimalisir jumlah perkara yang dapat
diperiksa serta lembaga peradilan lebih menitikberatkan pada selisih hasil suara tanpa memperhatikan
proses perolehan hasil suara tersebut. Hal ini dapat terbaca dalam aturan mengenai ketatnya syarat
pengajuan permohonan. Pihak yang ingin menggugat perolehan suara hanya dapat mengajukan
permohonan bila memenuhi ambang batas perbedaan selisih hasil suara antara pihak pemenang
pemilukada dan pihak yang ingin menggugat hasil suara tersebut sesuai dengan rasio jumlah penduduk
didaerah tersebut. Salah satu contohnya, untuk sebuah provinsi yang memiliki penduduk dibawah 2 juta
jiwa maka pemohon hanya dapat mengajukan permohonan bila margin selisih suara antara pemenang
pemilukada dan pihak yang ingin mengajukan permohonan adalah kurang dari 2%. Lembaga peradilan
sengketa pemilukada diwajibkan menitikberatkan pemeriksaan perkara pada kesalahan penghitungan
suara. Margin perbedaan perolehan suara yang cukup besar dengan dalil telah terjadi kecurangan dalam
proses pemungutan maupun penghitungan suara tidak lagi menjadi titik berat dalam pemeriksaan
penyelesaian sengketa pemilukada. MK sebagai lembaga pengawal konstitusi tidaklah tepat untuk
menangani perkara yang didesain tidak lebih hanya untuk memperbaiki kesalahan penghitungan suara.
Pilihan terbaik yang harus segera dilakukan oleh pembentuk UU adalah segera menyusun dan
mengesahkan UU mengenai badan peradilan khusus untuk menangani perkara sengketa pemilukada tanpa
perlu menunggu hingga detik-detik terakhir. Format kelembagaan badan peradilan khusus ini perlu
disusun secara tepat mengingat fungsi dan tugas badan peradilan mengikuti penyelenggaraan pemilukada
yang dilakukan secara serentak lima tahun sekali. Badan peradilan ini hanya akan bekerja secara efektif
satu kali dalam lima tahun. Kewenangan peralihan yang dipegang oleh MK dalam masa transisi tak perlu
dalam jangka waktu yang panjang sehingga kontroversi mengenai penenganan sengketa hasil pemilukada
sekecil mungkin muncul di permukaan. UU pembentukan badan peradilan khusus harus menjadi prioritas.
Bila dimungkinkan Pembentuk UU dapat segera mengeluarkan UU mengenai badan peradilan sengketa
pemilukada pasca pemilukada serentak gelombang pertama Desember 2015 sehingga pada pemilukada
serentak gelombang berikutnya MK tidak lagi menangani perselisihan hasil pemilukada.
Di lain pihak, aturan ini dinilai mampu mengurangi jumlah perkara yang masuk ke MK sehingga
beban sembilan hakim MK pun berkurang.
"Karena jarang sekali perolehan suara memiliki selisih yang sangat tipis sebagaimana ditentukan
dalam peraturan di atas," kata Ismail.
BERITA
Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) dan bakal calon bupati Kabupaten Halmahera Utara
menggugat pasal yang mengatur syarat untuk dapat mengajukan perselisihan hasil perolehan suara
pemilihan kepala daerah. Pasal 158 ayat 1 dan 2 dalam UU 8/2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota dinilai berpotensi menghilangkan hak para calon kandidat mengajukan sengketa
perselisihan hasil di Pilkada 2015.
Pasal 158 tersebut yang kami mohonkan untuk diuji, menurut kami telah bertentangan dengan konstitusi,
prinsip, teori dan norma hukum, kata kuasa hukum pemohon, Virza Roy Hizzal dalam pemerikasaan
pendahuluan, seperti dikutip dari Risalah Sidang Perkara No 73/PUU-XIII/2015 di Mahkamah Konstitusi
(17/6).
Pasal 158 ayat 1 dan 2 menetapkan syarat minimal jumlah selisih suara berdasarkan jumlah penduduk
agar bisa mengajukan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk
dibawah 2 juta, minimal selisih suara dua persen. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta minimal
selisih suara satu setengah persen dan jumlah penduduk 6 juta-12 juta dengan selisih suara satu persen.
Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, jumlah penduduk dibawah 250 ribu selisih minimal dua persen,
jumlah penduduk antara 250-500 ribu selisih suara minimal satu setengah persen. Untuk daerah dengan
jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, minimal selisih suara satu persen dan daerah dengan jumlah
penduduk diatas 1 juta jiwa minimal selisih suara setengah persen.
Virza mengatakan adanya pembatasan kuantitatif bagi seorang untuk menempuh jalur pengadilan
maka due process of law akan sirna. Pembatasan tersebut membuat tidak adanya hak untuk calon
peserta pilkada mendapatkan proses yang sesuai kepatuhan hukum yang ada jika ada perselisihan hasil
pemilukada.
Disamping itu pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan memiliki asas bahwa
pengadilan dilarang menolak perkara, kata Virza.
Selama ini diseluruh lingkup pengadilan, Virza menyampaikan tidak ada pembatasan kuantitatif
berdasarkan angka-angka sebagai syarat untuk dapat diajukannya permohonan dan gugatan. Begitupun
dalam pileg dan pilpres dan hal ini bertentangan dengan prinsip persamaan hukum sebagaimana diatur
dalam konstitusi. [Debora]
Pasal tersebut juga berpotensi merampas hak rakyat tukas Moh. Ibnu salah
satu pemohon yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Ibnu
menjelaskan, pada tanggal 26 Mei 2015 akan digelar sidang pendahuluan oleh
hakim MK terhadap perkara yang diajukannya. Bila pasal tersebut dibiarkan
dapat akan terjadi degradasi pemenuhan hak hukum dan mencabut hak
konstitusional warga , harapnya.
Pada kesempatan yang sama, Mustolih Siradj salah satu anggota Tim Kuasa
Hukum Pemohon memprediksikan apabila Pasal 158 Ayat (1) dan (2)
diberlakukan maka akan mengancam kehidupan demokrasi secara luas yang
dapat memicu kegaduhan di republik ini.
Menurutnya, para calon akan menjalankan kontestasi Pemilukada tersebut
dengan berloma-lomba menghalalkan segala cara, termasuk di dalamnya politik
uang, pelanggaran-pelanggaran dari yang ringan sampai yang berat termasuk
yang dikualifikasikan oleh MK sebagai Pelanggaran yang bersifat Terstruktur,
Sistematis dan Massif (TSM) yang pada akhirnya akan terjadi penggelembungan
suara dan mempengaruhi perolehan suara si Kandidat, agar tercipta dan
terkondisikan hasil perolehan suaranya melebihi batas pengajuan sengketa
perolehan hasil suara Pemilukada.
Jika demikian yang terjadi, tidak ada lagi mekanisme untuk mempersoalkan
dan mengoreksi hasil perolehan suara tersebut sebagaimana yang berlaku
selama ini. tukasnya. Demokrasi menjadi cedera dan tidak punya makna
karena dibajak di tengah jalan. Hal ini tidak boleh terjadi tambahnya.
Masyarakat membutuhkan kepastian hukum dan mekanisme penyelesaian
sengketa pemilukada yang berkeadilan termasuk menguji hasil pemilukada
tanpa pembatasan-pembatasan kuantitatif yang merugikan hak asasi dalam
wujudnya berupa kegiatan berdemokrasi.
Sidang pendahuluan gugatan atas perkara ini dilaksanakan pada hari Selasa
(26/05) di Gedung Mahkamah Konstitusi Lantai 2.
Mustolih memaparkan, ada banyak contoh kasus sengketa pilkada yang nyatanyata telah diputus di MK yang selisih suaranya mencapai 3 persen, bahkan
sampai 8 persen diantaranta: