Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM

DI INDONESIA SERTA AKIBAT HUKUMNYA

Disusun oleh :
- Adellia Mahardhika Widodo (212302019)
- Anak Agung Istri Agung Vidya Berliana (2122302025)
- Anisa Miftahul Firdaus (212302026)
- Ni Luh Novi Astawati (212302053)

PRODI HUKUM

FAKULTAS EKONOMI DAN SOSIAL UNIVERSITAS


JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA

Tahun 2022
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia.........................
B. Macam-macam Pelanggaran Yang Terjadi Dalam Pemilihan Umum
C. Akibat Hukum Bagi Pelanggar Dalam Pemilihan Umum ..............
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum atau
pemilu menjadi pemicu dalam system demokrasi dikarenakan para rakyat dapat ikut
serta dalam menentukan pilihan politiknya pada pemerintahan dan negaranya
Indonesia. Dengan adanya pemilu ini rakyat dapat memlilih para wakilnya untuk
menjalankan parlemen dan struktur pemerintahan.1 Dalam histori perjalanan bangsa
Indonesia pemilu bentuk nyata dalam merealisasikan penegakan demokrasi dan juga
kedaulatan rakyat dengan prinsip jujur, adil, dan adil (jurdil) serta langsung, umum,
bebas dan rahasia (luber). Pemilu juga menjadi sarana lima tahunan pergantian
kekuasaan dan kepemimpinan nasional, dimana partai politik dapat saling
berkompetisi untuk mendapatkan simpati rakyat dalam memperoleh kekuasaan
politik (legislatif, eksekutif) yang legitimasinya sah secara undang-undang dan
konstitusional.

Maka dari itu agar dapat memastikan pemilu berjalan dengan jujur dan adil,
pemilu menyediakan apa yang disebut dengan system pemilu, sistem ini merupakan
eleman yang paling penting dalam menjamin efiensi dan keadilan pemilu. Di dalam
sistem pemilu ini mencakup juga elemen pencegahan dan mekanisme penyelesaian
apabila terjadi pelanggaran atau sengketa. Internasional IDEA mengatakan sistem
keadilan pemilu mencakup jaminan bahwa semua prosedur dan keputusan dalam
proses pemilu mencakup jaminan bahwa segala macam prosedur dan keputusan dalam
proses pemilu sejalan dengan kerangka hukum yang ada, dan apabila terdapat hak-hak
pilih yang dilanggar, tersedia mekanisme hukum untuk menyelesaikannya. 2Tertuang
juga dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU
pemilu) sebagai dasar hukumnya.

Dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,


menempatkan Bawaslu sebagai lembaga yang dapat menyidangkan dan memutuskan
sendiri perkara terkait pelanggaran pemilu, termasuk bagaimana bawaslu menjadi
bagian dari proses penyelesaian pelanggaran administrasi, dimana hal ini tidak
ditemukan dalam undang-undang sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa peran

1
Eny Susilowati, “Peranan Panitia Pengawasan Pemilu Kecamatan Terhadap Pelanggaran Pemilu Di Kecamatan
Pahandut Palangka Raya”, Jurnal Ilmu Hukum,Vol 5, Nomor 1, Juni 2019, hlm 38
2
Khairul F, Feri A, Busyra A, Muhammad Ichsan k, “Sistem keadilan dalam penanganan pelanggaran dan
sengketa proses pemilu serentak 2019 di Sumatra Barat”, Jurnal Konstitusi,Vol 17, Nomor 1,maret 2020, hlm 3
Bawaslu dalam penyelesaian sengketa ataupun pelanggaran pemilu dan pilkada telah
menunjukkan kemajuan yang positif.

Prosedur pemilu telah diatur dan mekanisme penyelesaian apabila terjadi


pelanggaran juga sudah diatur, maka dari itu sesungguhnya kerangka legal sistem
keadilan pemilu sesungguhnya telah dibangun. Sekalipun peraturan dan kerangka
sudah ditetapkan, tidak dapat pula kita mengatakan bahwa prosedur pemilu sudah
berjalan secara adil,

Ada beberapa alasan mengapa prosedur pemilu perlu diamati yaitu bagaimana
badan pengawas pemilihan umum (bawaslu) menangani pelanggaran yang terjadi baik
secara administrative, maupun pidana. Lalu yang selanjutnya permasalahan dan
pelanggaran apa saja yang di hadapi oleh bawaslu.

Dari uraian di atas, maka dari itu makalah ini akan membahas bagaimana
sistem pemilu itu sendiri, bagaimana pelakasanaannya, dan apabila terjadi sengketa
atau pelanggaran bagaimana BAWASLU mengatasinya serta apa akibat hukum
apabila terjadi pelanggaran

2. Rumusan Masalah
A. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia
B. Macam-macam pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan umum
C. Akibat hukum bagi para pelanggar dalam pemilihan umum
II. PEMBAHASAN
A. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia
Dalam sebuah negara demokratis seperti Indonesia, Pemilu merupakan
instrumen untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Guna menghasilkan sebuah pemilu
berkualitas, dibutuhkan lembaga profesional yang mengelola pemilu. Lembaga
penyelenggara pemilu profesional di Indonesia sudah diamanatkan dalam Pasal 22E
ayat (5) Konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya
lembaga penyelenggara pemilu harus bebas dari pengaruh dan intervensi pihak
manapun dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang, dan kewajibannya. Saat ini
masih terdapat UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur
tentang Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu disertai tugas dan
wewenangnya. 3
Salah satu pilar pokok dalam setiap sistem demokrasi adalah adanya
mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala melalui pemilihan umum yang
diadakan secara berkala. Pemilihan umum juga merupakan salah satu sarana
penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipal. Dasar pikiran yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945), Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang berdasarkan kedaulatan rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 dan
ayat 2 UUD 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, perlu dibentuk
Lembaga permusyawaratan dan lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih
melalui Pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan atau keterbukaan.
Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem
pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian
dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Proses demokrasi juga terwujud melalui
prosedur Pemilu untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Pemerintahan negara yang dibentuk melalui Pemilu tersebut adalah yang berasal dari
rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan

3
Pahlevi Indra, “Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum Di Indonesia: Berbagai Permasalahannya”, Jurnal
Politica Vol. 2, No. 1, Juni 2011, hlm 46
rakyat. Pemerintahan yang dibentuk melalui Pemilu akan memiliki legitimasi yang
kuat dari rakyat4.
Terkait pemilu diatur didalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) tentang pemilu
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri dapat disampaikan beberapa hal. Pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu
mencakup kewenangan yang luas sebagaimana fungsi manajemen moderen yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang bersifat
internal-vertikal dan melekat. Dengan adanya pengawasan internal tersebut menurut
Forum Konstitusi tidak ditutup kemungkinan untuk juga menyelenggarakan
pengawasan yang bersifat eksternal-horisontal. Kedua, bahwa terminologi “suatu
komisi pemilihan umum” yang ditulis dengan huruf kecil menunjuk pada suatu fungsi
dan bukan suatu nama lembaga (nomenklatur). Karena itu dapat pula disebut sebagai
Komisi Penyelenggara Pemilu (KPPU) atau Lembaga Pemilu (LPU) atau nama
lainnya. Ketiga, bersifat nasional dimaksudkan untuk menegaskan lingkup wilayah
tugas dan kewenangannya yang meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Keempat, bersifat tetap dimaksudkan untuk menegaskan bahwa lembaga
penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang bersifat permanen dan bukan bersifat
ad hoc. Kelima, bersifat mandiri dimaksudkan untuk melindungi penyelenggara
pemilu dari intervensi berbagai kekuatan politik dan/atau dari pengaruh pemerintah.
Namun perlu ditegaskan bahwa bersifat mandiri juga bermakna terbatas dalam hal
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Karena itu kemandirian tersebut mencakup
kemandirian kelembagaan, dalam arti bahwa lembaga penyelenggara pemilu bukan
merupakan bagian dari suatu lembaga Negara lainnya, dan kemandirian dalam proses
penentuan kebijakan atau pengambilan keputusan dalam arti bebas intervensi dari
pihak manapun. Lembaga penyelenggara pemilu memang harus ada dengan tiga
komponen utama yaitu KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan. Oleh karena itu tentu
akan menjadi perhatian dalam pengaturan tentang penyelenggara pemilu harus
memenuhi tiga unsur tersebut meskipun disadari pengawasan tidak harus bersifat
eksternal-horisontal. Pengaturan tentang penyelenggara pemilu ini tentunya terkait
dengan keberadaan lembaga pengawas yang juga diatur dalam UU No. 22 Tahun

4
Subiyanto Achmad Edi, “Pemilihan Umum Serentak yang Berintegritas sebagai Pembaruan Demokrasi
Indonesia”; Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor 2, Juni 2020, hlm.357
2007 tentang Penyelenggara Pemilu sebagai sebuah lembaga yang bersifat permanen
di tingkat pusat.5
Penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih
pemimpin yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu
menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan
nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum
anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD diselenggarakan dengan menjamin
prinsip keterwakilan, yang artinya setiap Warga Negara Indonesia dijamin memiliki
wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di
setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah. Namun demikian, untuk
memperoleh wakil-wakil rakyat dan pejabat publik yang baik, tentunya harus
didukung dengan sistem penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas.
Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam praktik penyelenggaraan Pemilu baik itu Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan secara berbeda dan bertahap. Menurut Jimly Asshiddiqie ada beberapa
alasan pelaksanaan Pemilu dilakukan secara berkala, yaitu: (1) perubahan atas sikap
dan pendapat masyarakat sebagai aspirasi dalam memilih pemimpin dan wakilnya di
parlemen; (2) kondisi dan aspek kehidupan masyarakat juga mengalami perubahan
sesuai dengan kondisi dan situasi, tergantung dari lingkungan yang
mempengaruhinya. Artinya, ada beberapa faktor yang dapat mengubah aspirasinya,
yaitu karena faktor dinamika dalam lingkungan local atau dalam negeri, atau dunia
international, baik karena faktor internal maupun eksternal masyarakat itu sendiri; (3)
meningkatnya pertumbuhan penduduk, dapat juga mempengaruhi aspirasi rakyat; dan
(4) diperlukannya pemilu secara teratur untuk ritme pemerintahan yang lebih baik.6

B. Macam-macam pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan umum


5
Pahlevi Indra, Op.cit, hlm.58
6
Subiyanto Achmad Edi, Op.Cit, hlm.362
Pelanggaran dalam pemilihan umum merupakan suatu tindakan yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pemilihan umum. Pelanggaran dalam pemilihan
umum dapat mengakibatkan adanya penjatuhan sanksi ataupun hukuman tertentu
berdasarkan sistem peradilan pidana terhadap siapapun pelanggarnya yang
menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia.7 Pelanggaran pemilu dapat terjadi
sejak pada saat perencanaan, persiapan, maupun saat tahapan perhitungan suara hasil
pemilu.
Pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan umum terbagi atas enam jenis yang
diantaranya yaitu pelanggaran pidana pemilu (tindak pidana pemilu), sengketa dalam
proses pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenngara
pemilu, perselisihan (sengketa) hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya.8
1. Pelanggaran pidana pemilu (tindak pidana pemilu)
Pelanggaran tindak pidana pemilu merupakan tindak pidana pelanggaran
ataupun kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu yang mana telah
diatur dalam Pasal 260 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Subjek pelanggaran
pidana pemilu (tindak pidana pemilu) terdiri atas pengurus partai politik,
pelaksana kampanye, calon anggota DPR, DPD, DPRD, penyelenggara pemilu,
pengawas pemilu, serta setiap orang. Jika terjadi pelanggaran pidana pemilu
(tindak pidana pemilu) maka akan ada sanksi penjara dan denda yang diancam
secara kumulatif seperti yang sudah tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2003
yang menjelaskan bahwa sanksi penjara ada ancaman pidana minimum dan
maksimum. Sanksi pidana merupakan sanksi yang paling keras sehingga hanya
negara yang dapat menjatuhkan sanksi tersebut untuk pelaku tindak pidana
melalui pengadilan.9
2. Sengketa dalam proses pemilu
Sengketa dalam proses pemilu merupakan sengketa yang terjadi antar peserta
pemilu dan sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dengan penyelenggara

7
Marsela Marissaha Adil, “Tinjauan Yuridis Mengenai Pelanggaran Pemilihan Umum Legislatif Di Indonesia”,
Jurnal Lex Administratum, Vol. 8, No. 1, Maret 2020, hlm. 65.
8
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, 2011 “Penanganan Pelanggaran Pemilu”, Jakarta
Selatan, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, hlm. 9.
9
Ibid., hlm. 12.
pemilu sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota yang mana telah diatur dalam Pasal 257 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Dalam sengketa ini, Bawaslu berwenang untuk menyelesaikan
sengketa pemilu. Bawaslu dapat melakukan kewenangannya untuk
mendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, serta Pengawas Pengawas Pemilu Luar
Negeri. Dalam hal ini, Bawaslu memeriksa dan memutus sengketa pemilu paling
lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan. Sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 258 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bawaslu
melakukan penyelesaian melalui proses menerima dan mengkaji laporan atau
temuan serta mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan melalui musyawarah mufakat.
3. Pelanggaran administrasi pemilu
Pelanggaran administrasi pemilu merupakan pelanggaran yang meliputi tata
cara, prosedur, serta mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan
pemilu dalam setiap tahapan penyelengggaraan pemilu di luar tindak pidana
pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang mana telah diatur
dalam Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sanksi administrasi yang mana
pemerintah atau lembaga negara (KPU) diberikan wewenang untuk menjatuhkan
sanksi adminitrasi tanpa melalui proses peradilan dengan cara KPU ataupun
KPUD yang mendapat penerusan laporan atau temuan dari para pengawas pemilu,
maka KPU atau KPUD tersebut dapat memberikan penjatuhan sanksi administrasi
kepada pelanggar yang melanggar tersbut.10
4. Pelanggaran kode etik
Pelanggaran kode etik pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika
penyelenggara pemilu yang berpegang sumpah dan/atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu yang mana telah diatur dalam
10
Ibid., hlm. 15.
Pasal 251 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pelanggaran kode etik pemilu
tersebut dapat diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sesuai
dengan Undang-Undang tentang penyelenggara pemilu. Sanksi yang dapat
diterima jika adanya pelanggaran kode etik pemilu diantaranya yaitu dapat berupa
sanksi teguran tertulis, pemberhetian sementara atau pemberhentian tetap untuk
penyelenggara pemilu.11
5. Perselisihan (sengketa) hasil pemilu
Perselisihan (sengketa) hasil pemilu merupakan perselisihan yang ada antara
KPU dengan peserta pemilu tentang penetapan perolehan hasil suara pemilu
secara nasional. Hal ini dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Dalam hal ini, jika perselisihan (sengketa) hasil pemilu terjadi maka peserta
pemilu dpat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan
perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Peserta pemilu
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3x24 jam
sejak diumumkannya penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh
KPU serta pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama
3x24 jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi.
6. Sengketa hukum lainnya
Sengketa hukum lainnya yaitu sengketa tata usaha negara pemilu yang artinya
yaitu sengketa yang muncul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon
anggota DPR, DPD DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik
calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota.
Dari keenam sengketa atau pelanggaran yang ada, setiap pelanggaran tersebut
diselesaikan oleh lembaga yang berbeda-beda. Pelanggaran administrasi pemilu,
pelanggaran pemilu, dan perselisihan hasil pemilu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan sengketa
dalam proses atau tahapan pemilu juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10
11
Marsela Marissaha Adil, Op. Cit., hlm 68.
Tahun 2008 namun tidak diatur secara tegas. Sedangkan sengketa hukum lainnya
tidak diatur secara jelas baik nama ataupun materinya namun praktiknya yaitu
masalah hukum lainnya.

C. Akibat hukum bagi para pelanggar dalam pemilihan umum


Mengenai kepatuhan terhadap aturan dan penegakkan hukum, terdapat sejumlah
persyaratan yang menjadi dasar bagi pembangunan sistem penegakan hukum pemilu yang
baik. Persyaratan itu adalah: i) adanya mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif, ii)
adanya aturan mengenai sanksi yang jelas atas pelanggaran pemilu, iii) adanya ketentuan
terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih, iv) adanya hak bagi pemilih, kandidat,
partai politik untuk mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga
pengadilan, v) adanya kewenangan untuk mencegah hilangnya hak pilih yang diputuskan
oleh lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan, vi) adanya hak untuk banding,
adanya keputusan yang sesegera mungkin, vii) adanya aturan main mengenai waktu yang
dibutuhkan untuk memutuskan gugatan, viii) adanya kejelasan mengenai implikasi bagi
pelanggaran aturan pemilu terhadap hasil pemilu, dan ix) adanya proses, prosedur, dan
penuntutan yang menghargai hak asasi manusia.12

Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau
perbuatan dari subjek hukum. Akibat hukum bagi pelanggar dalam pemilihan umum dapat
terjadi sejak pada saat perencanaan, persiapan, maupun saat tahapan perhitungan suara hasil
pemilu.

Dalam pemilihan umum terbagi atas beberapa jenis yang diantaranya yaitu penggalaran
pidana pemilu (tindak pidana pemilu), sengketa dalam proses pemilu, pelanggaran
administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenngaran
pemilu, perselisihan (sengketa) hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya.

1. Pelanggaran Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu)


Pengenaan sanksi bagi pelaku tindak pidana pemilu ini diatur dalam Undang- Undang
No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ada 77 Pasal mengenai tindak pidana pemilu
tersebut, yaitu Pasal 448 sampai dengan Pasal 554. Di dalam penjatuhan sanksi bagi
pelaku tindak pidana pemilu di Indonesia ini akan dikenakan sanksi baik berupa
denda dan juga sanksi kurungan penjara.
12
Hamdan Zoelva, “PROBLEMATIKA PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI”, hal 392.
 Pasal 48 “Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak
mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara
setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/ atau Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206, Pasal 207, dan Pasal 213,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda
paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)”.
 Pasal 490 “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja
membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa
kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.13
2. Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pelanggaran administrasi pemilu merupakan pelanggaran yang meliputi tata cara,
prosedur, serta mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu
dalam setiap tahapan penyelengggaraan pemilu
Pasal 36 Sanksi terhadap terlapor/pelaku Pelanggaran Administratif Pemilu adalah:
a. perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. teguran tertulis;
c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu;
dan/atau
d. sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
mengenai Pemilu.14
3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenngaran Pemilu
Menurut American Speech Language Hearing Assocation (ASHA)
1. Reprimand atau teguran;
2. Cencure atau pernyataan atau mosi tidak percaya yang dinyatakan secara
terbuka dan dipublikasikan di media asosiasi untuk diketahui oleh sesama anggota
dan masyarakat luas;

13
I Gusti Bagus Yoga Sastera, I Made Minggu Widyantara, Luh Putu Suryani, “SANKSI PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA”, Vol. 1, No. 1, September 2020, hal 195.
14
Sarmin, “MEMAHAMI PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU SESUAI PERATURAN BAWASLU NOMOR 8
TAHUN 2018”, https://baubau.bawaslu.go.id/2022/10/10/memahami-pelanggaran-administrasi-pemilu-
sesuai-peraturan-bawaslu-nomor-8-tahun-2018/ di akses pada tanggal 3 desember 2022 pukul 13.38.
3. Revocation atau pencabutan status keanggotaan untuk waktu tertentu, yaitu
selama 5 (lima) tahun atau dapat pula dijatuhkan untuk seumur hidup (sampai
meninggal dunia);
4. Suspension atau penangguhan keanggotaan untuk sementara waktu;
5. Withholding atau sanksi penangguhan proses registrasi keanggotaan; dan
6. Cease and desist orders atau sebagai tambahan bentuk sanksi lain.15

III. PENUTUP

KESIMPULAN

15
Tengku Erwinsyahbana, “PELANGGARAN KODE ETIK DAN SANKSI DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN
UMUM” hal 14.
Maka dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Pelanggaran yang terjadi dalam
pemilihan umum terbagi atas enam jenis yang diantaranya yaitu pelanggaran pidana pemilu
(tindak pidana pemilu), sengketa dalam proses pemilu, pelanggaran administrasi pemilu,
pelanggaran kode etik penyelenngara
pemilu, perselisihan (sengketa) hasil pemilu, dan sengketa hukum lainnya. Yang mana
masing-masing dari pelanggaran tersebut memiliki cara untuk menyelesaikan contoh dari
salah satunya adalah penggaran administrative pemilu yang mana KPU lah yang memiliki
wewenang untuk menjatuhkan sanksi tanpa melalui proses peradilan dengan cara KPU
ataupun KPUD yang menadapat penerusan laporan atau temuan dari para pengawas pemilu,
maka KPU bisa langsung memberikan sanksi admnistratif.

Dan untuk akibat hukum dari pelangganggaran pemilu pun memiliki syarat yaitu adanya
mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif, adanya aturan mengenai sanksi yang jelas
atas pelanggaran pemilu, adanya hak bagi pemilih dan sebagainya. Akibat hukumnya sendiri
bagi tindak pidana pemilu diatur dalam UU No.7 tahun 2017 tentang pemilu dengan sanksi
dapat berupa denda ataupun juga sanski penjara. Untuk sanksi lainnya dapat berupa denda,
teguran halus, hingga pidana penjara.

SARAN
Dibutuhkannya revisi atau pengecekan ulang terkait UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan
umum tekhususnya bagian sanksi terhadap pelanggaran administrative. Seharusnya sanksi
dapat lebih jelas dan tegas sehingga sanksi yang dijautuhkan tersebut sepadan dengan jenis
pelanggarannya dan juga dapat berfungsi menjadi pencegahan agar pemilu sesuai
norma/aturan yang berlaku dan efek jera.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai