Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PEMILIHAN UMUM

NAMA : HAIKAL
NIM : 220232019
KELAS : A
SEMESTER : SATU (1)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
STAI DDI MANGKOSO TAHUN 2022-2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadiraat Allah SWT. Atas berkat
dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemilihan
Umum (Pemilu)”. Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Dan mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua orang tua kami yang
selalu mendukung dan mendoakan kami. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi orang lain.
Apabila ada kata-kata yang kurang tepat dalam makalah ini maka kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Wabillahi Taufik Wadda’wah Wal Irsyad


Assalamualaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Mangkoso, 19 Desember 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I........................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. LatarBelakang...............................................................................................1
B. RumusanMasalah..........................................................................................1
C. Tujuan Masalah.............................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................2
A. Apa Yang Dimaksud Dengan
Pemilu............................................................2
B. Bagaimana Tata Kelola Pemilu Di
Indonesia................................................3
C. Bagaimana Sejarah Singkat Sistem Pemilu Di
Indonesia..............................4
BAB III...................................................................................................................10
PENUTUP..............................................................................................................10
A. Kesimpulan.................................................................................................10
B. Saran............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan umum atau yang biasa disebut sebagai pemilu di Indonesia lekat
dengan suatu proses pemilihan pemimpin. Momen pemilu kerap disebut sebagai
pesta demokrasi rakyat. Sebab, lewat pemilu, rakyat diberikan hak penuh untuk
memilih calon pemimpin, dari tingkat pusat hingga ke level daerah.
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
Oleh karenanya, pemilu menjadi perwujudan kedaulatan rakyat karena melalui
pemilu rakyat diberi keleluasaan untuk memilih pemimpin yang nantinya akan
menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik, membuat
undangundang, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja guna
membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Pemilu?
2. Bagaimana Tata Kelola Pemilu Di Indonesia!
3. Bagaimana Sejarah Singkat Sistem Pemilu Di Indonesia!

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari Pemilu
2. Untuk Mengetahui Tata Kelola Pemilu Di Indonesia
3. Untuk Mengetahui Sejarah Singkat Sistem Pemilu Di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemilihan Umum (PEMILU)


Pemilihan umum yang disingkat pemilu menjadi sangat dekat hubungannya
dengan masalah politik dan pergantian pemimpin. Dilansir dari situs resmi Komisi
Pemilihan Umum, dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu
pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus
merupakan proses demokrasi untuk memilih pemimpin.
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan
pemerintahan dan merupakan lembaga demokrasi.
Secara teoritis pemilihan umum dianggap sebagai tahap paling awal dari
berbagai rangkaian kehidupan tata negara yang dimodifikasi. Sehingga pemilu
merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik Indonesia. Sampai
sekarang pemilu masih dianggap sebagai suatu peristiwa kenegaraan yang
penting. Hal ini karena pemilu melibatkan seluruh rakyat secara langsung. Melalui
pemilu, rakyat juga bisa menyampaikan keinginan dalam politik atau sistem
kenegaraan.
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden Dan Wakil
Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.1 Pemilu adalah pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan tertentu. Untuk itu pemilihan umum sangat penting karena dalam pemilu
terjadi pelaksanaan kedaulatan rakyat.2
1 Tim Redaksi BIP, Undang-Undang Pemilu 2019 Berdasarkan Undang-Undang NO 7 Tahun 2007
Tentang Pemilihan Umum, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2018), hlm, 3.

2 M masan dan Rachmat, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas 6, ( Jakarta: PT.
Grasindo, 2011), hlm. 32.

2
B. Tata Kelola Pemilu Di Indonesia
Tata kelola pemilu didefinisikan sebagai sebuah siklus atas pengelolaan
tahapan-tahapan kepemiluan yang melibatkan interaksi antar para pemangku
kepentingan di dalam kepemiluan.
Adapun dimensi yang dapat menjelaskan tata kelola pemilu di Indonesia yakni :
1. Nilai, prinsip dan asas pemilu: hal ini terkait dengan berbagai nilai, prinsip
dan asas yang ada dalam tata kelola pemilu di Indonesia. Ketiga hal
tersebut merupakan kombinasi antara standar internasional yang berlaku
dan norma yang juga diterapkan dalam pemilu di Indonesia;

2. Sistem pemilu: hal ini terkait dengan sistem pemilu yang telah dan sedang
digunakan di Indonesia, baik di dalam konteks pemilu presiden/wakil
presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala daerah/wakil
kepala daerah. Namun demikian, sistem pemilu di Indonesia juga memiliki
dinamika sosial dan politik yang tinggi;

3. Kelembagaan penyelenggara pemilu: hal ini terkait dengan profil dari


lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, baik dari dimensi internal,
maupun dari dimensi eksternal (relasi antar kelembagaan).

4. Tahapan pemilu; hal ini terkait dengan siklus, tahapan, dan jadwal
pemilihan umum nasional dan lokal (pemilu presiden dan wakil presiden,
pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah).

5. Manajemen kepemiluan: hal ini terkait dengan administrasi kepemiluan,


perencanaan, anggaran, dan sistem informasi yang diaplikasikan oleh
penyelenggara pemilu; dan

6. Keadilan pemilu (electoral justice): hal ini terkait dengan mekanisme


untuk menjamin keadilan pemilu dan aspek perselisihan/sengketa, baik
bagi peserta pemilu, maupun bagi pemilih.

Sampai sejauh ini, Indonesia telah memiliki desain kelembagaan


penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat nasional, sampai kepada tingkat daerah.
Berbagai dinamika telah muncul, baik terkait dengan dinamika internal di masing-
masing lembaga penyelenggara pemilu, dinamika antar lembaga penyelenggara

3
pemilu, maupun dinamika antara lembaga penyelenggara pemilu dengan para
pemangku kepentingan yang lain.

C. Sejarah Singkat Sistem Pemilu Di Indonesia


Di bagian ini akan diuraikan secara singkat profil sistem pemilu di dalam
pemilu-pemilu yang diselenggarakan di periode Orde Lama, Orde Baru dan di
periode Reformasi (dari Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014).
1. Pemilu 1955

Pemilu Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada tanggal
29 September 1955 untuk memilih 260 anggota DPR dan pada
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih 520 anggota
Konstituante yang salah satu tugasnya adalah merumuskan
konstitusi negara.

Sistem pemilu menggunakan sistem perwakilan berimbang. Saat


itu, wilayah Indonesia dibagi menjadi 16 dapil (daerah ke-16
adalah di Papua yang saat itu masih diduduki oleh Pemerintah
Kolonial Belanda). Setiap dapil menyediakan kursi yang jumlahnya
menyesuaikan dengan jumlah penduduk di dapil masing-masing.
Namun demikian, terdapat pengaturan bahwa setiap dapil
mendapat minimal 3 kursi untuk pemilu DPR dan 6 kursi untuk
pemilu konstituante. Selain itu, regulasi juga menentukan bahwa
harga satu kursi di setiap dapil adalah 300 ribu jiwa penduduk.

Para calon di pemilu ini berasal dari berbagai latar belakang, yaitu
36 Parpol, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 calon
perseorangan. Sedangkan untuk Konstituante, pesertanya adalah 39
Parpol, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 calon perseorangan.

Untuk model penyuaraan Pemilu DPR, surat suara di Pemilu 1955


berisikan nomor, nama dan tanda gambar peserta pemilu, serta
nomor dan nama-nama calon. Sedangkan pemberian suara
dilakukan dengan memilih tanda gambar peserta pemilu atau
memilih calon atau memilih tanda gambar peserta pemilu dan
calon sekaligus (Effendi 2016).

Terkait dengan penetapan pemenang untuk Pemilu DPR, masih


menurut Effendi (2016), jumlah kursi diberikan kepada para

4
peserta pemilu sesuai dengan perolehan jumlah suaranya dibagi
dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di masing-masing dapil.
Jika masih terdapat kursi sisa, maka pembagian kursi tersisa
didasarkan pada urutan sisa suara terbanyak berikutnya.

2. Pemilu-Pemilu Orde Baru

Pemilu di Periode Orde Baru diselenggarakan pada tahun 1971,


1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu yang penuh
dengan rekayasa tersebut diselenggarakan untuk memilih sebagian
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya,
karena tidak semua anggota lembaga legislatif saat itu dipilih
melalui pemilu. Sistem yang digunakan adalah Sistem Perwakilan
Berimbang. Sebagai tambahan informasi, tidak ada pilpres secara
langsung saat itu.

Dapil di pemilu DPR adalah Provinsi, dapil di pemilu DPRD


Provinsi adalah Kabupaten/Kotamadya, dan dapil di pemilu DPRD
Kabupaten/Kotamadya adalah kecamatan. Jumlah kursi untuk DPR
yang diisi dari hasil pemilu adalah 360 kursi di Pemilu 1971 dan
Pemilu 1977, 365 kursi di pemilu 1982, 400 kursi di Pemilu 1987
dan Pemilu 1992, dan 425 kursi di Pemilu 1997. Sedangkan jumlah
kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kotamadya sesuai
dengan proporsi jumlah penduduk.

Terkait dengan pencalonan di pemilu-pemilunya Orde Baru,


beberapa fenomena perlu untuk didiskusikan. Pertama, kebijakan
fusi atau Penggabungan Parpol pasca Pemilu 1971 oleh
pemerintah, dimana Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan
Partai Islam (Perti) sebagai peserta pemilu 1971 dilaksanakan oleh
pemerintah untuk bergabung di dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan Partai Katolik sebagai peserta Pemilu 1971 dipaksa
bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua,
dalam proses pencalonan, intervensi pemerintah sangat besar. Hal
ini dilakukan melalui mekanisme Litsus (Penelitian Khusus). Pada
awalnya, hal ini digunakan sebagai instrumen pemerintah saat itu
untuk memastikan bahwa setiap pejabat publik terbebas dari

5
pengaruh PKI dan ideologi komunisme. Namun demikian, dalam
perkembangannya, instrumen ini juga diwarnai oleh unsur
subyektivitas yang sangat kuat (like and dislike). Hampir dapat
dipastikan, dengan demikian, bahwa calon di nomor urut kecil
adalah mereka yang memiliki sikap loyal dan sesuai dengan garis
politik dari pemerintah. Ketiga, Parpol melakukan proses
pencalonan yang sangat dipengaruhi oleh unsurunsur Parpol
sebelum adanya kebijakan fusi. Tidak jarang, hal ini juga
melahirkan friksi di internal PPP dan PDI.

Terkait dengan model pemberian suara, surat suara pada


pemilupemilu di periode Orde Baru adalah berisikan nomor, nama
dan tanda gambar parpol. Kemudian, pemberian suara dilakukan
dengan cara mencoblos Parpol Peserta pemilu, yaitu PPP,
Golongan Karya (Golkar), dan PDI.

Sedangkan pemenang ditentukan melalui pembagian jumlah suara


Parpol atau gabungan Parpol dengan BPP di daerah pemilihan
masing-masing. Penggabungan suara dapat dilakukan sebelum
diselenggarakannya penghitungan suara. Kursi diberikan kepada
para calon sesuai dengan urutan dalam daftar calon dari nomor urut
terkecil ke nomor urut terbesar sampai kursi habis terbagi.

3. Dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2014 serta Pemilihan Kepala


Daerah Langsung Sejak 2005-2013

Sama dengan periode-periode sebelumnya, pemilu-pemilu legislatif


di masa reformasi menggunakan sistem perwakilan berimbang.
Pada Pemilu 1999, dapil DPR adalah Provinsi, dapil DPRD
Provinsi adalah Kabupaten/Kota, dan dapil DPRD Kabupaten/Kota
adalah kecamatan. Sedangkan jumlah kursi untuk DPR yang diisi
adalah 462 kursi. Sedangkan di Pemilu 2004-2014, dapil DPR
adalah Provinsi atau bagian-bagian dari Provinsi, dapil DPRD
Provinsi adalah Kabupaten/Kota dan gabungannya, dan dapil
DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan dan gabungannya.
Sedangkan jumlah kursi yang disediakan adalah 550 kursi di
Pemilu 2004, 560 kursi di Pemilu 2009 dan di pemilu 2014, dan
575 kursi di Pemilu 2014 (lebih jauh, lihat Santoso dan Budhiati
2019).

Di Pemilu 1999, setiap Kabupaten/Kota minimal menyediakan 1


kursi. Sedangkan Pemilu 2004 mengatur adanya 3-12 kursi di
setiap dapil. Untuk pemilu 2009 dan Pemilu 2014 memiliki

6
pengaturan 310 kursi. Sedangkan jumlah kursi DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan proporsi jumlah penduduk.

Problematika dalam pembuatan dapil terlihat di Pemilu 2009 dan di


Pemilu 2014. Misalnya yang terjadi di Dapil Jabar III di Pemilu
2009, dimana Kota Bogor digabungkan dengan Kabupaten Cianjur.
Padahal Kota Bogor memiliki wilayah administrasi yang dikelilingi
oleh Kabupaten Bogor. Contoh lain adalah Dapil Kalsel II di
Pemilu 2009, dimana Kota Banjarmasin disatukan dengan Kota
Banjarbaru. Padahal kedua daerah tersebut dipisahkan oleh
Kabupaten Banjar.
Fenomena yang sama, yang kemudian disebut dengan “dapil
loncat” juga terjadi di beberapa wilayah yang lain. Menurut Husein
(2014), penyusunan dapil seperti kasus Bogor dan Banjarmasin
menyalahi prinsip mendasar dalam pembuatan dapil, yaitu bahwa
sebuah dapil merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous
district). Selain itu, menurut Rizkiyansyah (2017), komposisi dapil
di Pemilu 2009 adalah kurang representatif, baik dari unsur suku,
budaya, maupun kedekatan secara geografis yang mengakibatkan
distribusi logistik menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Masalah
di dalam perumusan dapil juga terjadi di Pemilu 2014, misalnya
masyarakat tradisional Suku Gayo yang terpisah ke dalam dua
dapil, yaitu dapil NAD I dan dapil NAD II. 3 Selain itu, fenomena
jumlah kursi yang kurang dari seharusnya (under-represented) dan
jumlah kursi yang lebih dari seharusnya (over-represented) juga
masih mewarnai pelaksanaan
Pemilu 2014.4

Peserta pemilu-pemilu legislatif di Periode Reformasi adalah


Parpol. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa telah
terjadi transformasi sistem pemilu. Jika Pemilu 1999 menggunakan
sistem perwakilan berimbang daftar tertutup, maka Pemilu 2004
menggunakan sistem daftar setengah terbuka. Sedangkan Pemilu
2009 dan Pemilu 2014 menggunakan sistem daftar terbuka murni.
Konsekuensi dari transformasi sistem pemilu adalah bahwa jika di
Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 kontestasi terjadi antar Parpol atau
antar calon antar Parpol, maka sejak Pemilu 2009 kontestasi
bersifat antar calon di dalam Parpol yang sama. Masih terkait
dengan pencalonan, sejak pemilu 2004 semakin marak terjadi
praktek politik uang transaksional di dalam proses pencalonan yang

3 Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XI/2013.


4 Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-X/2012.

7
populer dengan sebutan uang mahar, uang formulir, uang perahu,
dan sebutan-sebutan lain. Selain itu, juga berkembang fenomena
politik

dinasti (proses pencalonan yang berdasarkan atas relasi


kekeluargaan atau kekerabatan) dan juga fenomena Parpol yang
mencalonkan para artis atau selebriti dalam rangka meraup kursi
(Husein 2014).

Yang juga perlu mendapat penekanan adalah bahwa di Pemilu


2004, UU pemilu saat itu telah membawa terobosan baru berupa
ketentuan untuk memperhatikan keterwakilan perempuan minimal
30 persen di dalam proses pencalonan. Hal ini kemudian diperkuat
sejak Pemilu 2009, dimana Parpol dalam menyusun daftar calon di
dapil harus mempertimbangkan nomor urut dan jenis kelamin
dengan mekanisme zippersystem yakni setiap tiga calon minimal
satu perempuan (Surbakti, Supriyanto dan Asy’ari 2011).

Terkait dengan model pemberian suara, surat suara di Pemilu 1999


berisi nomor, nama dan tanda gambar Parpol. Untuk mekanisme
pemberian suara, pemilih memilih tanda gambar Parpol. Dengan
kata lain, sistem di pemilu 1999 adalah sistem perwakilan
berimbang daftar tertutup. Sedangkan di Pemilu 2004-214, surat
suara berisi nomor, nama dan tanda gambar Parpol, serta nomor
dan nama-nama calon. Di Pemilu 2004, pemilih dapat mencoblos
tanda gambar Parpol atau tanda gambar Parpol dan nama calon.
Pada pemilu ini, pemilih tidak diperbolehkan mencoblos hanya
nomor dan/atau nama calon. Dengan demikian, Pemilu 2004
menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar semi-terbuka.
Sedangkan di Pemilu 2009, pemilih mencontreng (bukan
mencoblos) tanda gambar Parpol dan/atau nama calon sesuai
pilihan Parpolnya. Untuk Pemilu 2014, pemilih mencoblos tanda
gambar Parpol dan/atau nomor dan/atau nama calon sesuai pilihan
Parpolnya. Dengan demikian, sejak Pemilu 2009 kita
menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka.

Penetapan pemenang untuk pemilu legislatif di Era Reformasi


adalah metode suara terbanyak. Di Pemilu 1999, pemenang
ditentukan berdasarkan suara terbanyak Parpol di masing-masing
dapil. Sedangkan di pemilu 2004, pemenang ditentukan
berdasarkan jumlah suara calon yang mencapai BPP untuk
pembagian kursi tahap pertama (jumlah suara sah Parpol dibagi

8
jumlah kursi di setiap dapil). Bagi mereka yang tidak mencapai
BPP, penetapan calon terpilih didasarkan pada nomor urut dalam
daftar calon. Untuk Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, pemenang
ditentukan berdasarkan pada perolehan suara terbanyak calon. 5
Dengan demikian, dengan kata lain, metode konversi suara ke kursi
yang digunakan di Pemilu 1999 sampai dengan di Pemilu 2014
adalah Metode Kuota Hare.

Selain Pileg, sejak Pemilu 2004 diselenggarakan Pilpres secara


langsung dan pemilu DPD. Pilpres menggunakan sistem dua
putaran. Sedangkan pemilu DPD menggunakan sistem distrik
berwakil majemuk (SNTV). Untuk Pilpres diselenggarakan pada
tahun yang sama setelah penyelenggaraan Pemilu legislatif.
Sedangkan Pemilu DPD diselenggarakan secara serentak dengan
pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Terkait dengan pilkada, penyelenggaraan pertama pilkada secara


langsung di tahun 2005 dan berlanjut di tahun-tahun berikutnya
sesuai dengan jadwal di daerah masing-masing pada tahun 2006,
2007, 2008, 2010, 2011, 2012, dan 2013. Sistem pemilu yang
digunakan saat itu adalah sistem dua putaran, dimana jika tidak ada
pasangan calon yang mendapatkan suara minimal sebanyak 30
persen pada putaran pertama, maka pasangan calon dengan suara
terbanyak pertama dan kedua akan bertarung kembali diputaran
kedua.

5 Penentuan pemenang berdasarkan atas perolehan suara terbanyak untuk Pemilu DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2224/PUU-VI/2008 dikarenakan oleh berbagai pertimbangan, misalnya karena hal tersebut sesuai
dengan substansi kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi, agar tidak memasung suara
rakyat, dan meningkatkan legitimasi calon terpilih.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu
unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis
tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum
yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat
adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui
mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan
umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat dan pemimpinnya.
Harapan warga dari terselenggaranya pemilu adalah terpilihnya wakil
rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat. Tantangan yang ada adalah
adanya warga yang tidak menunaikan hak pilihnya atau golput karena
kecewa dengan kinerja pemimpin sebelumnya.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan


singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Kemudian di era
reformasi berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari
“Jujur dan Adil”.

10
Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut
dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat
diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum
yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi
parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu
itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem
pemilu.

Melihat fenomena politik Indonesia, sistem pemilihan umum


proprosinal tertutup memang lebih menguntungkan , tetapi harus diikuti
dengan transparansi terhadap publik kalau tidak akan menimbulkan
oligarki pemerintahan. Pada akhirnya konsilidasi partai politik dan sistem
pemilihan umum sudsah berjalan denganm baik. Akan tetapi, itu belum
berarti kehidupan kepartaian Indonesia juga sudah benar-benar siap untuk
memasuki zaman global. Sejumlah kelemahan yang bisa diinventarisir
dari kepartaian kita adalah rekrutmen politik, kemandirian secara
pendanaan, kohesivitas internal, dan kepemimpinan.

B. Saran
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik
Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya
pengalaman dan perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan
stabilitas nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang
akan datang bukan hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen
pemerintahan dan tidak ketinggalan masyarakat juga harus ikut
berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di Indonesia. Manejemen dan
kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos politik yang tidak
terlalu mahal dan transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan
ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar stabilitas
nasional dan politik kita semakin kokoh.

11
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2022/02/0
3/18380641/pengertian-pemilu-asas-prinsip-dan-tujuannya

https://kota-tangerang.kpu.go.id/page/read/37/pengertian-pemilu

Aditya Perdana, Benget Manahan Silitonga, Ferry Daud M. Liando, Ferry


Kurnia Rizkiyansyah, Kris Nugroho, Mada Sukmajati, Pramono U.
Tanthowi, Titi Anggraini. 2019. Tata Kelola Pemilu Di Indonesia. Jakarta
Pusat: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.

https://www.academia.edu/40322106/MAKALAH_PELAKSANAAN_PE
MILIHAN_UMUM_PEMILU_DI_INDONESIA

12

Anda mungkin juga menyukai