Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“ Peran UU Tentang ITE dalam Isu Pasal Karet serta Implementasi yang Kurang
Tepat Sasaran”

Makalah ini Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Isu-isu Politik
Kontemporer

Pengampu Mata kuliah : Aditya, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Arya Bijak Styaki 1931040117

Mujamil Apriyadon 1931040090

Nabila Nida Anisa 1931040091

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UIN RADEN INTAN LAMPUNG

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirobbil’alaminsegala puji milik ALLAH Rabb semesta alam yang telah


memberikan rahmat, hidayat serta karunia-NYA kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu kita curahkan kepada
nabi kita yaitu nabi MUHAMMAD SAW yang oleh karna nya kita bisa merasakan nikmat
iman dan islam sampai sekarang ini. Makalah ini membahas tentang “Peran UU Tentang ITE
dalam Isu Pasal Karet serta Implementasi yang Kurang Tepat Sasaran”

Kami menyampaikan terima kasih kepada bapak Aditya, S.H., M.H. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Isu-isu Politik Kontemporer, yang telah memilih kami untuk
mempresentasikan materi ini. Semoga dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat untuk kita
semua, walaupun kami menyadari masih banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh
karnanya kami membutuhkan kritik dan saran yang bisa membangun dari pembaca semua
agar kami bisa lebih baik lagi untuk selanjutnya.
Sekian, Terima Kasih.

Lampung, 14 oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4


A. Latar Belakang Masalah............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................................................ 7
A. Kajian Teori ................................................................................................................................ 7
a. Pengertian UU ITE ................................................................................................................ 7
b. Pengertian pasal karet ............................................................................................................. 8
c. Tujuan UU ITE ....................................................................................................................... 8
d. Manfaat UU ITE ..................................................................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 11
A. Pembahasan............................................................................................................................... 11
Asas ............................................................................................................................................... 11
Tujuan ........................................................................................................................................... 11
Gugatan-Guratan yang pernah diberikan ke Mahkamah Konstitusi ............................................. 12
Implementasi UU ITE ................................................................................................................... 17
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................................................... 20
Kesimpulan ....................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini kebebasan berekspresi merupakan salah satu faktor negara-negara dan
masyarakatnya berkembang dan maju jika ada suatu wadah ekspresi yang bebas dan terbuka.
Kebebasan ekspresi mencangkup ekspresi yang luas, termasuk kebebasan ekspresi secara
lisan, tercetak maupun materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.
Kebebasan berekspresi adalah suatu hak yang kompleks. Hal ini karena kebebasan
berekspresi tidak absolut dan wajib mematuhi sejumlah pembatasan, sejauh pembatasan
tersebut ditetapkan oleh hukum dan diperlukan. Hak ini melindungi hak pembicara dan hak
pendengar sehinggga kedua sisi hak ini kadang bertentangan dan sulit untuk didamaikan.
Kedua hak ini kadang mengalami ketegangan karena tidak mudah untuk menemukan
keseimbangan antara hak atas kehormatan, keselamatan, dan privasi. Setelah terjadinya
keteganganketegangan seperti ini, dibuatlah sebagian batasan.

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat telah mengubah hidup


manusia menjadi lebih mudah karena kecanggihan dan daya kerjanya yang efektif dan
effisien. Keberadaan teknologi informasi awalnya hanya digunakan kalangan tertentu saja,
namun sekarang hampir seluruh lapisan masyarakat sudah menggunakannya, baik instansi
pemerintah maupun swasta. Memanfaatkan dan kecanggihan serta kepraktisan teknologi
informasi dalam instansi pemerintah digunakan untuk mengelola semua jenis data,
memberikan informasi dan juga fasilitas kemudahan misalnya pelayanan publik melalui situs
pemerintah secara on-line dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan instansi swasta atau
badan usaha yang menggunakan teknologi informasi untuk mengelola semua jenis data
dengan melakukan transaksi penjualan secara on-line (e-commerce).

Pendapat Gunawan, Heri (2020:77), Berkaitan dengan perkembangan teknologi


informasi dan berbagai media sosial yang ada, konstitusi mengatur kebebasan berpendapat
melalui berbagai saluraninformasi yang ada seperti yang ditegaskan dalam Pasal 28F
UndangUndang Dasar 1945 Amandemen Kedua yang menyebutkan, bahwa : “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

4
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”.

Keberadaan media sosial justru berbanding terbalik dengan literasi sehingga media
baru sebagai ruang publik cenderung berubah menjadi wadah yang sarat dengan konten
negatif khususnya penghinaan terhadap orang lain. Media sosial yang seharusnya
menawarkan sarana interaktif justru membuat peluang malfungsi media sosial. Kebebasan
berpendapat di era media baru berbasis media sosial sebagai bentuk implikasi konvergensi
media yang kemudian dielaborasi dengan regulasi pemerintah dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai payung hukum yang membatasi kebebasan
berpendapat.

Transaksi melalui media elektronik atau internet diatur dalam Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan telah diundangkan
pada tanggal 21 April 2008, dengan Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58. Namun
ternyata UU tersebut belum mencapai sasaran yang optimal karena belum adanya Peraturan
Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaannya. Padahal dalam Bab XIII, pada Ketentuan
Penutup, Pasal 54 ayat 2, berbunyi: “Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun setelah diundangkan Undang-Undang ini.”

Permasalahan dalam pelaksanaan UU ITE tersebut sering menimbulkan kerancuan,


mengingat jumlah pemakai teknologi informasi dari tahun ketahun terus meningkat dengan
menggunakan sarana dengan teknologi tersebut. Sehingga terjadi salah penafsiran sadar atau
tidak sadar permasalahannya akan menjadi kasus yang akan berhadapan dengan aparat
penegak hukum. UndangUndang No.11 tahun 2008 tersebut belum banyak di sosialisasikan
ke masyarakat dan sampai sekarang belum adan Peraturan Pemerintah (PP) seperti yang telah
diamanatkan dalam Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang tersebut.

Contoh kasus yang memperlihatkan bahwa UU ITE tidak berjalan dengan semestinya
adalah yang menimpa pemuda asal Medan, Sumatera Utara, Benni Eduward Hasibuan
mengaku pernah dipukuli sampai disandera setelah ketahuan merekam pungutan liar (pungli)
oknum petugas kepolisian daerah setempat. Buntut dari aksi nekadnya ini, Benni Eduward
harus mendekam selama 8 bulan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik jeratan UU
ITE. Pengakuan itu disampaikan oleh Benni Eduward saat menjadi salah satu narasumber
program TV Mata Najwa, Rabu (16/6/2021) malam. Benni secara blak-blakan menerangkan
bahwa dirinya mengalami intimidasi dari oknum aparat sejak 2018 silam. Dia mengklaim

5
beberapa kali diancam dengan UU ITE. “Sebenarnya dari 2018 itu sudah mulai ada bentuk
intimidasi yang saya dapat,” kata Benni Eduward seperti dikutip Suara.com dari tayangan
dalam Youtube Najwa Shihab (Suara.com, 17 Juni 2021).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka hal yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana peran UU tentang ITE dalam isu pasal karet ?


2. Bagaimana peran UU tentang ITE dalam implementasi yang kurang tepat sasaran ?

6
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
Kajian tentang peran UU tentang ITE dalam pasal karet serta implementasi yang kurang
tepat sasaran, yaitu :

Menurut Watie, (2011:69), Media sosial telah banyak merubah dunia. Memutar
balikkan banyak pemikiran dan teori yang dimiliki. Tingkatan atau level komunikasi melebur
dalam satu wadah yang disebut jejaring sosial/media sosial. Konsekuensi yang munculpun
juga wajib di waspadai, dalam arti media sosial semakin membuka kesempatan tiap individu
yang terlibat di dalamnya untuk bebas mengeluarkan pendapatnya. Akan tetapi kendali diri
harusnya juga dimiliki, agar kebebasan tidak melanggar batasan dan tidak menyinggung
pihak lain.

Pendapat Camden (2009:11), Negara sebaiknya mengadopsi legislasi yang melarang


advokasi kebencian antar bangsa, ras atau agama yang mengandung penyebarluasan
diskriminasi, kebencian atau kekerasan (ungkapan kebencian). Sistem hukum nasional
sebaiknya memperjelas, baik secara eksplisit maupun interpretasi yang otoritatif, bahwa:

1. Istilah ‘kebencian’ dan ‘kekerasan’ mengacu pada perasaan merendahkan, menghina,


membenci yang kuat dan irasional yang ditujukan kepada kelompok sasaran tertentu.
2. Istilah ‘advokasi’ mensyaratkan adanya maksud untuk mempromosikan kebencian
secara terbuka terhadap kelompok sasaran tertentu.
3. Istilah ‘penyebarluasan’ mengacu pada pengungkapan pernyataan terhadap kelompok
kebangsaan, ras atau agama tertentu yang menciptakan resiko diskriminasi, kebencian
dan kekerasan yang mendesak terhadap orang-orang yang termasuk dalam
kelompokkelompok tersebut.
4. Mempromosikan identitas kelompok secara positif oleh komunitas-komunitas berbeda
tidak termasuk dalam ungkapan kebencian.

a. Pengertian UU ITE
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan Undang-
undang yang mengatur tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Informasi Elektronik diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik,

7
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail/e-mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.

b. Pengertian pasal karet


Pasal karet adalah sebutan dari sebuah pasal atau undang-undang yang
dianggap tak memiliki tolok ukur yang jelas. Di Indonesia, pasal-pasal berlaku yang
dianggap sebagai pasal karet meliputi pencemaran nama baik, penistaan agama,
undang-undang lalu lintas dan UU ITE, sementara rancangan undang-undang yang
dianggap sebagai pasal karet meliputi pasal santet, penghinaan terhadap presiden,
Perppu Ormas, dan RUU Permusikan.

c. Tujuan UU ITE
Kepastian hukum dan mencegah adanya konflik di ranah maya yang sarat
dengan kemudahan akses informasi menjadi landasan utama, mengapa UU ITE
diperlukan. Persoalannya, di kehidupan nyata, UU ini seringkali digunakan orang
yang berkuasa untuk membungkam.
Ahli Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mustofa Haffas
menyampaikan bahwa tujuan dibentuknya UU ITE adalah untuk mengatur tentang
informasi elektronik dan dokumentasi elektronik yang berkaitan dengan bukti
elektronik, serta mengatur tentang pengiriman dan penerimaan surat elektronik,
tentang tanda tangan elektronik, sistem elektronik dan lainnya.
Menurut Mustofa,Bidang penyiaran tidak termasuk jangkauan Undang-
Undang ITE, karena hal itu diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Penyiaran
dan peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, Mustofa pengaturan dalam Pasal 32
ayat (1) UU ITE yang menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik
publik” tidak dapat diberlakukan pada lembaga penyiaran berlangganan.

8
d. Manfaat UU ITE
UU ITE memiliki manfaat yang sangat signifikan,salah satunya adalah dengan
adanya UU ITE membuat turunnya angka berita hoax di social media. Dari yang kita
tau berita hoax menjadi senjata yang di gunakan orang orang tidak bertanggung
jawab guna memecah belah masyarakat atau guna untuk mencari popularitas semata .
berkat adanya UU ITE ini hal demikian sekarang berkurang.
Di zaman yang modern ini media merupakan kebutuhan premier bagi sebagian
manusia,mudahnya mengakses berbagai informasi menjadikan media layaknya
nikotin yang mampu membuat seseorang kecanduan. Teknologi sekarang ini
memudahkan semua orang memperoleh berbagai informasi dari media massa. Karena
mudahnya mengakses informasi,tidak sedikit orang yang menyalahgunakan
kemudahan tersebut. Salah satunya adalah mengakses konten pornografi.

9
10
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Memasuki era digital, Indonesia justru mengalami kekosongan hukum. Khususnya
terkait siber dan ranah dunia maya. Gagasan pembentukan undang-undang ini pun sudah
sejak awal masa kabinet Gus Dur - Megawati. Komposisi perundangan ini merupakan paduan
dua Rancangan Undang-undang (RUU). Yaitu RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi.
Beberapa kampus turut menyusun konsep hukum siber ini. Ada Universitas Padjajaran atas
arahan Departemen Komunikasi dan Informasi juga menggandeng Institut Teknologi
Bandung. Yang kedua RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dari Universitas
Indonesia atas arahan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Keduanya
dikombinasikan tim utusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim tersebut
dikepalai oleh Prof Ahmad M Ramli SH. Kemudian regulasi ini berhasil diundangkan pada
21 April 2008. Selang delapan tahun mengalami perubahan.

UU ITE disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI pada 21 April
2008. UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau
teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik
yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia.

UU ITE sendiri memiliki asas dan tujuan. Berikut asas dan tujuan yang harus dicapai:

Asas
Pemanfaatan Teknologi ITE dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

Tujuan
1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia
2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik

11
4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab
5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.

Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa


instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommercedan UNCITRAL
Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para
pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum
dalam melakukan transaksi elektronik.

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun
oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas
Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan
Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kemudian pada penyusunannya,
Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi
(RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali
oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.

Gugatan-Guratan yang pernah diberikan ke Mahkamah Konstitusi


1. Pencemaran Nama Baik

Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal
UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009.
Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan
Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut

12
Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan offline) tidak dapat
menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber
(penghinaan online) karena ada unsur “di muka umum”.

Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan
dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan
khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan”
dan/atau “membuat dapat diakses”.

2. Penghinaan SARA
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi)
yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi
terhadap UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena
Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung
unsur penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan maksud
menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum,"
jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini karena
laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.
3. Tata Cara Intersepsi
Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak
bertentangan dengan UU, Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada
pasal itu, tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua
Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat,
Kamis, 24 Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh
Undang-Undang.

13
4. Papa Minta Saham
Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia
2015 membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan
permohonan uji materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta
Undang Undang KPK.
“Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 44 huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung
Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016).
Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik
merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A
UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan
tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang
memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.
"Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang
berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang
terlibat dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang
pembicaraanya direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai
alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun
memberikan saran perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon
sebagai anggota DPR.

Lembaga-lembaga di Indonesia yang menegakkan UU ITE diantaranya yaitu:

1. Kementerian Komunikasi dan Informatika, berperan sebagai regulator, khususnya


Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika yang memiliki 6 Direktorat, dan juga memiliki
Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menangani kasus-kasus pidana ITE.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Unit IV Cybercrime, Direktorat
Reserse Kriminal Khusus, Badan Reserse Kriminal
3. ID-CERT - Indonesia Computer Emergency Response Team. ID-CERT didirikan
sebagai komunitas pertama yang didirikan tahun 1998 untuk menangani insiden di
internet. Didirikan oleh Budi Raharjo (Pakar IT dari ITB)
4. ID-SIRTII/CC - Indonesia Security Incident Response Team on Internet
Infrastructure/Coordination Center. Lembaga yang dibangun beberapa komunitas TI
Indonesia dan institusi negara untuk menangani ancaman infrastruktur internet. ID-

14
SIRTII didirikan 2007 dibawah Ditjen Postel (pada awalnya) dan mengoordinir para
komunitas CERT yang ada di Indonesia. ID-SIRTII memiliki wewenang memonitor log
traffic internet, dan mengasistensi lembaga penegak hukum lainnya, penelitian
pengembangan serta pelatihan
5. Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) - Komunitas yang diberikan hak
mengelola domain.id

Penyelesaian masalah ujaran kebencian memang selalu terikat dengan pasal karet
pasal 27, 28 dan 29 pada UU ITE memang tidak pernah berhenti. Pasal ini seolah menjadi
momok yang mengerikan, bahkan dijadikan saranan untuk membalas dendam, membungkam
kritik, memenangkan suatu perkara atau bahkan menjadi senjata politik. Isi dari UU ITE yang
masih multi tafsir bisa mengancam kebebasan menyampaikan pendapat masyarakat. UU ITE
sebagai sebuah regulasi yang mengelola mekanisme penyebaran informasi melalui transaksi
elektronik harus dimatangkan lagi. Untuk semakin memperjelas peraturan di dalamnya,
dibutuhkan orang-orang memiliki kapasitas dan kompetensi yang sesuai terhadap obyek yang
akan dibuat peraturannya.

Berdasarkan data pada SAFEnet pada tahun 2019 terdapat 29 kasus pemidanaan
terhadap hak kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal-pasal karet UU ITE. Pasal
27 ayat 3 UU ITE masih menjadi pasal yang mendominasi atau paling banyak digunakan
dalam pasal pemidanaan sebanyak 10 kusus. Namun kasus ini jauh dari banyaknya kasus
yang telah direkap oleh Polri mengenai kasus UU ITE. Berdasarkan data dari Direktorat
Tindak Pidana Siber Mabes Polri menunjukan bahwa terdapat 3005 kasus penyelidikan
terhadap akun media sosial. Banyakanya kasus pemidanaan pada tahun 2019 tersebut
menunjukkan bahwa hak kebebasan dan berekspresi daring di Indonesia belum baik.
Kebebasan bereksprei dan berpendapat masih terus direnggut menggunakan pasal pasal karet
pada UU ITE terutama Pasal 27 ayat 1 dan 3 serta Pasal 28 ayat 2. Adanya pelaku
pemidanaan dari kalangan aparat dan pejabat semakin menunjukan bahwa UU ITE telah
disalahgunakan untuk membungkam suara-suara terhadap kebijakan public.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang lebih karib di telinga publik sebagai
UU ITE.

Presiden jokowi merasa semakin banyak warga masyarakat yang saling melaporkan.
Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan tetapi memang pelapor itu

15
ada rujukan hukumnya, ini repotnya di sini, antara lain Undang-Undang ITE. Beliau merasa
UU ITE pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan.

Jokowi kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo benar-
benar selektif memilah laporan berdasarkan UU ITE itu. Kalau Undang-Undang ITE tidak
bisa memberikan rasa keadilan, lalu beliau minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi
Undang-Undang ini, Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini,
revisi, terutama menghapus pasal-pasal yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah
diinterpretasikan secara sepihak.

Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto yang mencatat sedikitnya ada 9 pasal bermasalah dalam
UU ITE. Menurut dia, pasal-pasal ini perlu dihapus dan pasal lain perlu diperbaiki
rumusannya. Berikut ini pasal karet UU ITE yang perlu direvisi menurut SAFEnet karena
multitafsir dan menimbulkan dampak sosial:

1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah
soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban
kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga,
aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan
presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama,
serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang
mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana
defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk
mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus
informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan
peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah
karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, ICJR, Erasmus
Napitupulu menganggap inisiatif dari pemerintah saja tidak cukup. Menurutnya, perlu
komitmen bersama dari DPR untuk merevisi undang-undang tersebut. Wakil Ketua Badan
Legislasi (Baleg) DPR yang juga wakil ketua Fraksi Nasdem di DPR, Willy Aditya,
mengatakan masih terbuka peluang revisi Undang-Undang ITE masuk dalam prolegnas
prioritas tahun ini. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, menyambut baik revisi UU ITE
karena banyaknya pasal karet yang multi-tafsir. Politisi Partai Golkar yang termasuk dalam
koalisi yang berkuasa di DPR ini mengatakan akibat pasal karet itu banyak warga saling
melaporkan pihak yang berseberangan karena masalah kecil di media sosial.

16
RUU REVISI UU ITE TELAH DISAHKAN OLEH DPR-RI MENJADI UU

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik akhirnya disahkan menjadi Undang-
Undang Perubahan UU ITE pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, hari ini, Kamis
(27/10) tepat sebelum Pukul 12 siang.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, mewakili Presiden RI,


menyampaikan Pendapat Akhir Presiden dalam Rapat Paripurna tersebut. “RUU tentang
Perubahan Undang-Undang ITE telah disampaikan oleh Presiden kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Rapublik Indonesia melalui Surat No R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21
Desember 2015 dan di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Komunikasi dan
Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk mewakili Presiden
melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR RI untuk mendapatkan persetujuan
bersama,” papar Rudiantara.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa RUU tersebut telah diselesaikan pembahasannya


dalam pembicaraan Tingkat I pada tanggal 20 Oktober 2016 dengan keputusan menyetujui
untuk diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu Pengambilan Keputusan atau Pembicaraan
Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Menteri Rudiantara mengharapkan semoga RUU tentang Perubahan atas Undang-


Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui
bersama dan selanjutnya dapat disahkan menjadi Undang-Undang sehingga dapat semakin
memberikan perlindungan hukum yang bernafaskan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat
dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.

Implementasi UU ITE
Adanya undang-undang dana regulasi yang tidak adil menjadi salah satu hambatan
atas kebebasan berekspresi. Selain itu regulasi yang tidak adil membuat para penantangnya
bungkam dan dapat memiliki dampak ganda. Ketidak adilan regulasi dapat membungkam
kebebasan berekspresi serta menciptakan suatu justifikasi illegal yang salah untuk
membungkam “suara-suara yang tidak seharusnya”. Adanya kalimat-kalimat yang tidak jelas
dalam undang-undang menyebabkan dapat dimanipulasi serta dimultitafsir kan. Seiring
berkembangnya jaman juga mulai muncul suatu perkembangan terkait dengan kebebasan
berekspresi. Dimana jumlah undang-undang atau hukum terkait dengan kebebasan informasi

17
yang terus meningkat. Dalam undang-undang ini memfasilitasi akses masyarakat terhadap
informasi yang dipegang ileh lembaga public atau lembaga Negara. Dengan adanya aturan
tersebut maka masyarakat berhak untuk meminta informasi public dan segera harus
dilakukan. Selain itu informasi tersebut harus diterbitkan secara otomatis dan rutin serta
dibuat mudah diakses tanpa diminta sekalipun.

Agar kebebasan berekspresi terus berkembang ada beberapa kondisi-kondisi dasar


yang dapat dipenuhi seperti harus adanya supremasi hukum. Hukum yang ada harus
menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Selain itu hokum tersebut harus memiliki system
judisial, termasuk hakimnya, independen dari pengaruh luar seperti pemerintah yang
berkuasa maupun kepentingan swasta. Kondisi selanjutnya harus terdapat kebebasan
informasi yang kuat untuk memungkinkan akses kepada informasi public yang mudah dan
tidak terhambat. Selanjutnya untuk menunjang perkembangan kebebasan berekspresi harus
terdapat lingkungan yang memungkinkan berkembangnya media yang independen dan
pluralistic. Dengan semakin populernya internet dan khususnya dengan semakin ahlinya para
pengguna untuk mengatasi sistem pemfilteran resmi yang dipasang oleh pemerintah, upaya
mencari dan berbagi informasi menjadi lebih mudah dan seringkali berresiko lebih rendah
bagi para penghasil informasi tersebut. Teknologi internet temutakhir memungkinkan
seseorang untuk mencari dan menerima informasi serta memproduksi dan berbagi informasi.
Tidak setiap kekuasaan politik sepakat atau mengizinkan penggunaan media online untuk
ekspresi politik tanpa hambatan. Ini mengakibatkan terjadinya pelecehan, penahanan, dan
serangan lain terhadap sejumlah pengguna media untuk tujuan politis.

Ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan unuk membantu mengawasi,


mempertahankan, dan mempromosikan kebebasan berekspresi. Semua ini bisa dilakukan di
tingkat masyarakat kecil hingga nasional. Ada kegiatan yang memerlukan sedikit
pengetahuan teknis teknologi, sementara yang lainnya tidak. Pertama, cari tahu sumberdaya
apa yang dimiliki, berbagai sumber daya yang bisa akses dari orang ke orang, dari komunitas
ke komunitas, dan dari negara ke negara. Insiden-insiden penindasan terhadap kebebasan
berekspresi. Ada sejumlah batasan dalam kebebasan berekspresi. Pembatasan yang sah atas
kebebasan berekspresi TIDAK DAPAT digunakan sebagai alasan mudah untuk membatasi
kebebasan berekspresi yang sah. Terdapat beberapa potret penyimpangan kebebasan
berpendapat yang ditembak dengan UU ITE (Lumbantobing, 2017). Pertama, perang
komentar di dunia maya, ketika ada postingan yang agak nyeleneh pasti masyarakat
berbondongbondong untuk mengomentari hal tersebut. Di sini terlihat ruang privacy mulai

18
terancam dan setiap orang dengan sebebasbebasnya mengomentari cara hidup orang lain.
Kedua, serangan pada anonimitas yang menyuarakan kritik secara benar namun justru
mendapatkan perlawanan dari pihak yang disudutkan anonim tersebut. Ketiga, peningkatan
kasus penistaan yang seringkali muncul. Penistaan ini seringkali dihubungkan dengan
pencemaran nama baik agama tertentu. Keempat, pemaksaan budaya seperti beberapa
mempermasalahkan penulis blog bukan keturunan China namun menulis tentang resep-resep
makanan China dan itu tidak dibenarkan menurut netizen yang menyampaikan pendapatnya.

19
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa implementasi UU ITE
sudah disesuaikan dengan tujuan UU Tahun 1945, yang ingin menjamin kebebasan
berpendapat tanpa mengurangi perlindungan hukum bagi yang berpendapat atau yang
menerima pendapat tersebut. Akan tetapi masih ada permasalahan-permasalahan terkait revisi
UU ITE seperti: Rapat pembahasan UU ITE tidak pernah dinyatakan terbuka oleh Komisi
Komunikasi dan Informatika DPR alias dilakukan secara tertutup. Pasal 27 ayat 3 yang
memuat tentang larangan penyebaran informasi yang menghina dan mencemarkan nama baik
justru malah mengurangi ancaman hukuman dan ini justru akan mengancam kebebasan
berekspresi. Ditambah lagi, dalam KUHP ada ketentuan yang sama.

Revisi UU ITE dinilai terlalu memberikan kewenangan luas bagi penegak hukum.
Seperti pada pasal 43 ayat 3 yang mana penggeledahan harus mendapat izin ketua pengadian
negeri, atau pada pasal 43 ayat 6, penangkapan yang sebelumnya harus meminta penetapan
ketua pengadilan negeri kini justru disesuaikan dengan ketentuan KUHP. Sementara itu,
penyelesaian masalah mengenai kebebasan berpendapat memang selalu terikat dengan pasal
karet pasal 27, 28 dan 29 pada UU ITE memang tidak pernah berhenti. Pasal ini seolah
menjadi momok yang mengerikan, bahkan dijadikan saranan untuk membalas dendam,
membungkam kritik, memenangkan suatu perkara atau bahkan menjadi senjata politik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, M. D., Mayasari, N., & Ismaya, H. (t.thn.). AMBIVALENSI TRANSAKSI


ELEKTRONIK TERHADAP KEBEBASAN BEREKSPRESI BERDASARKAN UU
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) .

Ramli, A. M., Permata, R. R., Mayana, R. F., Ramli, T. S., & Lestari, M. A. (2021).
PELINDUNGAN KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PEMANFAATAN
TEKNOLOGI INFORMASI DI SAAT COVID-19 (The Protection of Intellectual Property
on The Use of Information Technology at The Covid-19. Jurnal Penelitian Hukum De Jure ,
Vol 21.

Sidik, S. (2013). DAMPAK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI


ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PERUBAHAN HUKUM DAN SOSIAL DALAM
MASYARAKAT. Jurnal Ilmiah WIDYA , 1-7.

Toni. (2020). PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN


TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP HUKUMAN PENGGUNA MEDIA SOSIAL
UJARAN KEBENCIAN. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Labuhanbatu , Vol 8.

Winarni, R. R. ( 2016). EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG – UNDANG ITE


DALAM TINDAK PIDANA CYBER CRIME. HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT ,
VOL 14.

21

Anda mungkin juga menyukai