Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“Hukum Transaksi Elektronika”

Diajukan Untuk Memenuhi UTS Mata Kuliah “Aspek Hukum Ekonomi”

Dosen Pengampu:
H. Ah. Fajruddin Fatwa, S. Ag., SH., MHI, Dip.Lead

Disusun Oleh:

Idris Andrianto (G94219156)


Widya Aprillia Ningsih (G74219124)
Indah Dwi Kartika (G94219160)
Ahmad Sobri (G04219003)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL SURABAYA
2022-2023
Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat-Nya sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan rencana. Shalawat serta
salam semoga tetap terhaturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
umatnya dari kegelapan menuju jalan terang benderang berupa agama islam.

Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek Hukum dalam
Ekonomi dengan judul “Hukum Transaksi Elektronika”.

Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Allah SWT karena hanya dengan seizin-Nya makalah ini dapat terselesaikan.

2. Bapak H. Ah. Fajruddin Fatwa, S. Ag., SH., MHI, Dip.Lead Selaku dosen pembimbing
mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi

3. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Baik secara langsung
atau tidak secara langsung.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas makalah ini.
Oleh karena itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan penulisan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.

Surabaya, 14 Juni 2022

Penulis
ii

DAFTAR ISI

MAKALAH......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
A. Hukum Transaksi Elektronik..................................................................................................2
B. Ruang Lingkup........................................................................................................................7
C. Dasar Hukum Transaksi Elektronik......................................................................................10
D. Status Hukum Transaksi Elektronik......................................................................................15
BAB III...........................................................................................................................................17
PENUTUP......................................................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
. Di era modern seperti sekarang, transaksi jual beli online bukan sesuatu hal
yang baru. Hampir di seluruh negarakebanyakan konsumentelah melakukan
transaksi jual beli online atau yang lebih dikenal dengan E-commerce. Sebut saja
Bukalapak, Lazada, Zalora, Olx, Shopee, Alibaba, Tokopedia dan masih banyak lainnya.
Sistem transaksi jual beli konvensional dianggap sudah tidak mengakomodir
keinginan konsumen untuk berbelanja dengan tidak harus keluar rumah atau gedung
kantor, cukup di depan layar komputer atau handphone dan terhubung jaringan
internet dengan membuka situs –situs belanja online yang kian menjamur memenuhi
pangsa pasar.
Dengan semakin meningkatnya pengguna internet secara signifikan, yang secara
bersamaan juga memberikan dampak peningkatan transaksi jual beli melalui media
internet, tentu menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri bagi regulator untuk
memikirkan hal-hal yang dapat timbul sebagai akibat dari kemajuan teknologi tersebut
sehingga dibutuhkan hukum yang mengaturnya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang Dimaksud dengan Hukum Transaksi Elektronik?


2. Apa Saja Ruang Lingkup Elektronik?
3. Apa Dasar Hukum Transaksi Elektronik?

C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah yang telah penulis diatas, maka tujuan penulisannya, yaitu:

1. Untuk mengetahui Hukum Transaksi Elektronik.


2. Untuk mengetahui Ruang Lingkup Elektronik
3. Untuk mengetahui Dasar Hukum Transaksi Elektronik

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Transaksi Elektronik

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau dapat disingkat UU ITE ini
disebut juga oleh banyak kalangan sebagai cyber law atau Hukum cyber Indonesia. Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai cyber law Indonesia dibentuk
karena adanya suatu kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat, bangsa dan Negara Republik
Indonesia saat ini dan di masa datang supaya dapat berdaya saing pada era global atau pasar
bebas atau perdagangan bebas dalam lingkup dunia internasional.

Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan terbentuknya Undang-Undang tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dapat ditemukan dalam bagian konsideransnya,
khususnya pada bagian “Menimbang” yang menyatakan sebagai berikut:

1. Bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa
tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat
2. Bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi
Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa
3. Bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru
4. Bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk
menjaga, memelihara, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional
5. Bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

2
6. Bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan
secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama
dan sosial budaya masyarakat Indonesia

Selanjutnya, dalam Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE)
dijelaskan, bahwa pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik
perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas
(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena
selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban
manusia, sekaligus menjadi teknologi yang sangat rawan dalam mengakomodasi perbuatan
kriminal dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang menguasai
teknologi informasi.

Selanjutnya dalam alinea berikutnya dijelaskan bahwa telah lahir suatu rezim hukum baru
yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari
konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang
juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia
maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan
yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup
lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem
komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan
hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi,
komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang
terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama telah memperluas
penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud,
misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan

3
bertidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara, yang
mudah diakses kapan saja dan dari mana saja. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi
maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu
kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang
sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem
hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk
diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik.
Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik
untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi
bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang
terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang
teknologi informasi, media, dan komunikasi. Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang
disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam
pemanfaatan teknologi informasi, media, komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.
Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan pada ranah hukum siber
(cyberlaw space), yaitu pendekatan aspek hukum, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk
mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan
hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi
informasi menjadi tidak optimal.

Setelah mencermati penjelasan UU ITE seperti yang dikemukakan di atas, khususnya


alinea terakhir; dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang dituangkan dalam penjelasan tersebut
merupakan suatu gagasan dasar yang melandasi terbentuknya Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Oleh karena itu UU ITE yang berlaku saat ini, di samping
berfungsi sebagai suatu pendekatan terhadap perkembangan telekomunikasi, teknologi informasi
dan transaksi elektronik, tetapi yang paling penting adalah berfungsi dan bertujuan sebagai
sarana tolok ukur yang dapat menjamin perlindungan hukum, kepastian hukum dan keadilan bagi

4
para pihak, baik perseorangan, pengguna, masyarakat, lembaga-lembaga non pemerintah, pelaku
bisnis, penyelenggara, instansi pemerintah dalam penyelenggaraan informasi dan transaksi
elektronik.

Berdasarkan pada sistematika di atas, maka dalam uraian selanjutnya akan dibagi atas
beberapa materi bahasan yaitu sebagai berikut:

1. Beberapa Peristilahan/Pengertian dan Ruang Lingkup Serta Asas dan Tujuan.


2. Beberapa Ketentuan Material Dalam UU ITE.
3. Beberapa Ketentuan Hukum Formal Dalam UU ITE

Pada tahun 2016 disahkan perubahan terhadap UU ITE Tahun 2011, menjadi UU Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Naskah Undang-
Undang tersebut tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251
dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952.

UU ITE perubahan ini berisi tujuh poin penting yang merevisi UU ITE, terutama melalui
UU baru ini Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara
sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar
hukum. UU baru ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, sehingga
mereka dapat lebih cerdas dan beretika dalam menggunakan Internet. Dengan demikian konten
berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi dapat diminimalisir.

Awalnya UU ITE disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui


ekonomi dijital dan perdagangan di dunia maya (e-commerce) di Indonesia. Kemudian di tengah
perjalanan terjadi banyak polemik dan kasus yang menimbulkan pro kontra terhadap pasal-pasal
di UU ITE, terutama terkait dengan penggunaan media sosial. Pasal-pasal tersebut dianggap
mengancam kebebasan berekspresi pengguna Internet.

Ada beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:

1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan,


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3) dilakukan 3
(tiga) perubahan sebagai berikut:

5
a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”. – Yang dimaksud dengan
“mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Eletronikkepada banyak orang atau berbagai pihak melalui Sistem
Elektronik. – Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui
Sistem Elektronik. – Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua
perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik
yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui
pihak lain atau publik.
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan
pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan pada Pasal 29 sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari
paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronikberisi ancaman kekerasan atau menakut-
nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4
(empat) tahun atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750
juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara
intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai
keberadaan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang
sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan
ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan
Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

6
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan
Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi
informasi
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak
pidana teknologi informasi.

6. Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada
ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang
tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan
berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan
Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. (Menambahkan ketentuan atau kewajiban
menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik sebagai
jaminan pemenuhan atas perlindungan data pribadi. Pelaksanaan ketentuan ini dilakukan
atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan).
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan
akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik (Memberikan landasan yang kuat
bagi pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet) dengan
menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang
memiliki muatan yang dilarang
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada
Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.1
B. Ruang Lingkup Elektronika

1
Abdul Halim,Hukum Transaksi Elektronik,2017,Bandung,Nusa Media,hlm. 16

7
Pemanfaatan teknologi Informasi, media dan komunikasi telah mengubah baik perilaku
masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (bordeless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian
cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan
kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi
sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum
telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum
yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum
telematika yang merupakan perwujudan dan konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media,
dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law
of information technology), hukum dunia maya (vitual world law) dan hukum mayantara. Istilah-
istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan
sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan
teknologi informasi berbasiss sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat
dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal
pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksankan melalui sistem
elektronik.

Sistem Elektronik adalah sistem komputer yang dalam arti luas, yang tidak hanya
mencangkup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencangkup jaringan
telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer
adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun
bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan
mampu membuat komputer bekerja unuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil
yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Sistem elektronik juga
digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi
informasi yang berbasis jejaring telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang,
memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi

8
elektronik. System informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan
penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentu organisasi atau manajemen sesuai
dengan tujaan peruntukannya. Pada sisi yang lain, System informasi secara teknis dan fungsional
adalah keterpaduan sistem antar manusia dan mesin yang mencangkup komponen perangkat
keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam
pemanfaatannya mencangkup fungsi input, process, output, storage, dan communication.2

Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran
asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak bewujud, misalnya dalam
kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi
sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses
kapanpun dan dari manapun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi, misalnya
pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu, pembukian
merupakan faktor yang sangat penting menginagt informasi elektronik bukan saja belum
terakomodasi dalam sistem hukum acara indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata
sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam
waktu hitungan detik. Dengan demikin, dampak yang dikibatkannya pun bisa demikian komplek
dan rumit.3

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena Transaksi Elektronik
untuk kegiatan perdagangan melalui Sistem Elektronik (electronic commerce) telah menjadi
bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang
terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang
teknologi informasi, media, dan komunikasi.

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space),
meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang
nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan
kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah

2
Legality, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), (Yogyakarta: PT Anak Hebat Indonesia, 2017), hal. 57
3
Ibid, hal. 58
9
kegiaan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan
demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagi orang yang telah melakukan
perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya Dokumen
Elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam
pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.
Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu
pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi
gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum
bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi
menjadi tidak optimal.4

C. Dasar Hukum Transaksi Elektronik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaski
Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, tanggal 21 April 2008. UU ITE terdiri atas 13 bab, 54 pasal,
yang sistematikanya sebagai berikut:

1. BAB I KETENTUAN UMUM (Pasal 1, 2)


2. BAB II ASAS DAN TUJUAN (Pasal 3, 4) ,
3. BAB III INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK (Pasal 5 –
12)
4. BAB IV PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM
ELEKTRONIK (Pasal 13 – 16), Bagian Kesatu : Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
(Pasal 13, 14 dan Bagian Kedua: Penyelenggaraan Sistem Elektronik (15, 16)
5. BAB V TRANSAKSI ELEKTRONIK (Pasal 17 – 22)
6. BAB VI NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN
HAK PRIBADI (Pasal 23-26)
7. BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG (Pasal 27 -39)
8. BAB VIII PENYELESAIAN SENGKETA (Pasal 38, 39)

4
Legality, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal. 59

1
9. BAB IX PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT (Pasal 40, 41)
10. BAB X PENYIDIKAN (Pasal 42, 43, 44)
11. BAB XI KETENTUAN PIDANA (Pasal 45-52);
12. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN (Pasal 53)
13. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP (Pasal 54).

Alasan pembentukan UU ITE dalam dapat dilihat konsiderannya, yaitu :

1. Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap
terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
2. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian masyarakat informasi
dunia, sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan
Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat
dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna
mencerdaskan kehidupan bangsa;
3. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah
memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
4. Penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga,
memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan demi kepentingan nasional;
5. Pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; dan,
6. Pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial
budaya masyarakat Indonesia.

Hal penting dalam UU ITE ialah mengenai ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 45-52, yaitu sebagai berikut.

1
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, .penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).5
2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah.6
3. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).7
4. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan
secara pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).8
5. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer
dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun diancam dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah)9
6. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer
dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Diancam dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)10

5
Pasal 45 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat (1-3)
6
Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (1)
7
Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2)
8
Lihat. Pasal 45 (3) Jo. Pasal 28 ayat (2)
9
Lihat. Pasal 46 (1) Jo. Pasal 30 ayat (1)
10
Lihat. Pasal 46 (1) Jo. Pasal 30 ayat (1)

1
7. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
8. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
9. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari,
ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
10. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Orang lain atau milik publik diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
11. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada
Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak diancam dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
12. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hakatau melawan hukum dengan cara apa pun
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Orang lain atau milik publik yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya diancam dengan pidana

1
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
13. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa
pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem
Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)
14. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual,
mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 33;
b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar
Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
15. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
16. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah.

Selanjutnya, dalam UU ITE juga diatur mengenai ancaman sanksi pemberatan pidana,
sebagai berikut.

1
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau
eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
2. Perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap
Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan
pidana pokok ditambah sepertiga.
3. Perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap
Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada
lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas
penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal
ditambah dua pertiga.
4. Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh
korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

UU ITE juga diatur tentang sesuatu yang bukan tindak pidana34 karena perbuatan
seseorang itu ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk
perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Perbuatan itu
ialah ketika setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau
memiliki:

1. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 33;
2. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar
Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

UU ITE juga diatur tentang penyelesaian sengketa jika terjadi sengketa sistem Ketika
terjadi sengketa sistem elektronik dan atau teknologi informasi. Penyelesaian dapat dilakukan
berbagai kemungkinan, yaitu:

1
1. Gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian
2. Gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat; dan,
3. Melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif.

1
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Awalnya UU ITE disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui
ekonomi dijital dan perdagangan di dunia maya (e-commerce) di Indonesia. Kemudian di tengah
perjalanan terjadi banyak polemik dan kasus yang menimbulkan pro kontra terhadap pasal-pasal
di UU ITE, terutama terkait dengan penggunaan media sosial. Pasal-pasal tersebut dianggap
mengancam kebebasan berekspresi pengguna Internet. UU ITE yang diperbarui berisi tujuh poin
penting yang merevisi UU ITE, terutama melalui UU baru ini Pemerintah juga berwenang
memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses
terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. UU baru ini diharapkan dapat
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, sehingga mereka dapat lebih cerdas dan beretika
dalam menggunakan Internet. Dengan demikian konten berunsur SARA, radikalisme, dan
pornografi dapat diminimalisir.

Terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek
hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan
dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena
tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaski Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, tanggal 21 April 2008.

Dari ketentuan dan pandangan yang dikemukakan di atas mengenai persoalan keabsahan
dalam pembuktian yuridis dari Informasi elektronik, dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik tidak perlu diragukan lagi kepastian hukum dan akibat hukum dari dokumen
elektronik tersebut semenjak diberlakukannya UU ITE ini. Kegiatan siber meskipun bersifat
virtual dapat dikategorikan sebagai tidakan dan perbuatan hukum yang nyata.

1
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim,Hukum Transaksi Elektronik,2017,Bandung,Nusa Media,hlm. 16

Legality, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), (Yogyakarta: PT Anak Hebat


Indonesia, 2017), hal. 57

Legality, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal. 59

Abdul Halim,Hukum Transaksi Elektronik,2017,Bandung,Nusa Media,hlm.76

Anda mungkin juga menyukai