Disusun Oleh
Fitriani (4012021074)
Azizurahman (4012021063)
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang diridhoi
Allah SWT.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah yang bersangkutan yang diamanatkan oleh dosen penulis. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam cara
penulisan maupun dalam isi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 3
Komoditi ....................................................................................................... 4
C. Fatwa Tentang Janji Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah. ...... 10
Prinsip .......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan .................................................................................................. 17
B. Saran ............................................................................................................ 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi yang semakin maju seperti saat ini mempengaruhi banyak hal
dari berbagai aspek kehidupan, baik dari aspek teknologi, sosial, politik dan
ekonomi. Saat ini teknologi merupakan salah satu aspek yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan manusia, banyak kemudahan yang bisa diakses dengan
menggunakan teknologi.
1
Siswanto Surnaso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus: Prita Mulyasari, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), h.39
1
perdagangan dengan menggunakan media online. Dengan adanya internet proses
pemasaran dan penjualan dapat dilakukan kapan saja tanpa terikat ruang dan
waktu.
Pada saat ini dengan teknologi yang semakin canggih pada tiap-tiap bidang
kehidupan manusia, segala usaha dan kegiatan manusia akan semakin terasa
mudah, yaitu dengan ditandai munculnya internet. Manfaat dari adanya internet
kini tak hanya dirasakan oleh masyarakat di bidang teknologi dan informasi saja,
namun berjuta-juta orang dari seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia juga
turut merasakan manfaat tersebut. Salah satu bidang yang mendapat manfaat
secara langsung dari adanya internet adalah perekonomian2.
2
Sugeng Santoso, “Sistem Transaksi E-Commerce Dalam Prespektif KUH Perdata Dan Hukum Islam”,
Ahkam, vol.4, 2 (November, 2016), h.218
3
Irma Muzdalifa, dkk, “Peran Fintech dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif pada UMKM di
Indonesia (Pendekatan Keuangan Syariah)”, Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, vol.3,
no.1 (2018), h.1
2
konsep dari kegiatan usaha fintech peer-to-peer (P2P) lending syariah sebagai
alternatif sumber pembiayaan yang dilakukan oleh Investree Syariah sudah sesuai
dengan prespektif syariah? Dari segi hubungan hukum antara para pihak yang
terlibat, subjek hukum, pedoman melakukan layanan pembiayaan, model layanan
pembiayaan, akad dan mekanisme/alur pembiayaan sudah sesuai atau belum
dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu, perlu
juga diketahui apakah terdapat kendala dalam melakukan usaha fintech peer-
topeer (P2P) lending berdasarkan prinsip syariah dan ketentuan apa yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan pembiayaan dari fintech syariah peer-to-peer (P2P)
lending syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana Perdagangan Komodit Berdasarkan Prinsip Syariah Di Bursa
Komoditi ?
2. Bagaimana Keperantaraan (Wasathah) Dalam Bisnis Properti ?
3. Fatwa Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip
?
C. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana Fatwa – Fatwa tentang bisnis
bersabis teknologi
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum atau yang dikenal dengan istilah
ubi jus incertum, ibi jus nullum (H. Salim H.S., 2010 : 82).
Kepastian hukum menutut pandangan legalistik, sifatnya hanya sekedar
membuat produk perundangundangan. Menurut penganut legalistik, janji hukum
yang tertuang dalam rumusan aturan merupakan kepastian yang harus
diwujudkan. Kritik terhadap penganut aliran legalistik adalah mereka melupakan
bahwa janji hukum bukan sesuatu yang harus tetapi hanya sesuatu yang
seharusnya dan apa yang seharusnya (das sollen) belum tentu terwujud dalam
kenyataan atau realitas (das sein) (Achmad Ali, 2002 : 123).
Dalam Hukum Islam bahwa kegiatan ekonomi termasuk dalam perbuatan
muamalah. Fiqh Muamalah merupakan aturan-aturan hukum Allah SWT dalam
hal mengatur manusia dalam hal urusan sosial kemasyarakatan. Mayoritas ulama
fiqih sepakat apabila adanya pengambilan kemanfaatan diperbolehkan selama
kemanfataan tersebut tidak menyebabkan kerusakan atau merugikan salah satu
pihak (Racmhat Syafei, 2000: 8). Dalam perdagangan berjangka komoditi,
transaksi ini harus dilaksanakan dengan syariat yang telah dijalankan dalam islam
karena perdagangan berjangka komoditi memiliki peran penting dalam
perekonomian (Zainudin Ali, 2008 : 34).
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa DSN MUI Nomor 82
Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa
Komoditi untuk mengatur transaksi perdagangan komoditi ini sesuai dengan
syariat islam. Perdagangan berjangka komoditi berdasarkan Fatwa DSN MUI
Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip
Syariah di Bursa Komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli
komoditi kecuali forex dan valuta asing yang sistem perdagangannya diakhiri
dengan penerimaan komoditi secara fisik sesuai waktu penyerahan yang telah
disepakati dan dilakukan di bursa komoditi sesuai ketentuan fatwa yang berlaku.
Konsep jual beli komoditi yang diatur dalam fatwa tersebut dalam ketentuan
5
hukum perdata dikenal dengan istilah juridisch levering (Ridwan Syahrani, 2004 :
132).
Fatwa tersebut merupakan suatu bentuk pemberian perlindungan hukum dan
kepastian hukum bagi masyarakat khususnya umat muslim sebagai acuan yang
digunakan dalam melakukan transaksi perdagangan berjangka agar sesuai dengan
nilai-nilai dalam islam. Dalam pembentukan akad pada saat awal perjanjian dalam
transaksi perdagangan berjangka komoditi dalam hukum islam dilakukan dengan
menggunakan akad murabahah dan akad wakalah dalam islam.
Murabahah adalah akad penjualan suatu barang (komoditi) dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarkannya dengan
harga yang lebih tinggi yang dijadikan sebagai laba (keuntungan). Wakalah
adalah seseorang yang mewakilkan nasabah untuk melakukan transaksi tersebut.
Pada saat membuat akad/janji antar pihak dilarang untuk memiliki niat merugikan
salah satu pihak.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan
Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, ketentuan yang tidak
boleh dilanggar pada saat melaksanakan transaksi perdagangan berjangka
komoditi, diantaranya yaitu:
1. Bahwa dalam transaksi perdagangan berjangka komoditi tidak boleh
mengandung unsur riba
2. Bahwa dalam transaksi perdagangan berjangka komoditi tidak boleh
mengandung unsur gharar (ketidakjelasan).
3. Bahwa dalam transaksi perdagangan berjangka komoditi tidak boleh
mengandung unsur bathil.
4. Bahwa dalam transaksi perdagangan berjangka komoditi tidak boleh
mengandung unsur najsy (penawaran palsu)
5. Bahwa dalam transaksi perdagangan berjangka komoditi, kaum muslimin
dilarang untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
6
Gharar ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti.
Contoh praktik gharar diantaranya adalah sebagai berikut (Adiwarman Karim,
2008 : 38):
a. Gharar dalam kualitas, seperti penjual yang menjual sapi yang masih
dalam kandungan.
b. Gharar dalam kuantitas, seperti dalam kasus ijon.
c. Gharar dalam harga, seperti murabahah rumah satu tahun dengan margin
20 (dua puluh) persen atau murabahah rumah 2 (dua) tahun dengan margin
40 (empat puluh) persen.
d. Gharar dalam waktu penyerahan, seperti menjual barang yang hilang.
7
d. Komoditi yang diperdagangkan harus jelas dan disepakati pada saat akad
(Ijab qabul),
e. Akad dilakukan melalui penawaran dan penerimaan yang disepakati para
pihak yang melakukan perdagangan dengan cara-cara yang lazim berlaku
di Bursa,
f. Penjual harus memiliki komoditi atau menjadi wakil pihak lain yang
memiliki komoditi,
g. Penjual wajib menyerahkan komoditi yang dijual kepada pembeli dengan
tata cara dan waktu dikemudian hari sesuai dengan kesepakatan,
h. Pembeli wajib membayar komoditi yang dibeli kepada penjual dengan tata
cara dan waktu berdasarkan kesepakatan, dan
i. Pembeli boleh menjual komoditi tersebut kepada selain penjual
sebelumnya atau pertama hanya setelah terjadi qabdh haqiqi atau qabdh
hukmi atas komoditi yang dibeli.
Selanjutnya, ketentuan bursa berjangka komiditi yang diatur dalam Fatwa
DSN MUI Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi
Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, diantaranya yaitu:
a. Bursa wajib membuat peraturan mengenai mekanisme perdagangan
komoditi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah,
b. Bursa wajib menyediakan sistem perdagangan di Bursa,
c. Bursa wajib melakukan pengawasan terhadap perdagangan di Bursa,
dan
d. Bursa boleh menetapkan syarat-syarat tentang pihak-pihak yang
melakukan perdagangan di Bursa.
Adapun mekanisme perdagangan berjangka komoditi yang diatur dalam
Fatwa DSN MUI Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi
Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, diantaranya yaitu:
8
1. Penjual maupun pembeli komoditi di Bursa boleh menggunakan jasa
agen/wakil pialang dengan akad wakalah.
2. Dalam hal kedudukan agen/wakil pialang penjual tidak boleh menjanjikan
keuntungan kepada penjual atau pihak siapapun.
3. Dalam hal kedudukan agen/wakil pialang penjual dan pembeli, patuh pada
ketentuan perdagangan dan terikat mengenai hak dan kewajiban.
4. Dalam hal kedudukan agen/wakil pialang pembeli sebagai wakil pembeli,
tidak boleh menjanjikan harga yang pasti kepada pembeli.
9
ujrah, akad ju‟alah, atau akad samsarah (ba‟i al-samsarah) dalam bidang properti
meliputi Akad wakalah bil ujrah Dalam hal wasathah dijalankan dengan akad
wakalah bil ujrah berlaku ketentuan akad ijarah; di antaranya harus jelas jangka
waktu pelaksanaannya dan jumlah ujrah yang akan diterima oleh perantara
(wasith/wakil). Dalam hal tujuan tidak tercapai, ajir (perantara) berhak
mendapatkan ujrah yang telah disepakati. Dengan adanya akad wakalah, karena
manusia sangat membutuhkannya6 . Sedangkan wakalah bil ujrah adalah
pemberian yang bertujuan membalas kebaikan seseorang yang telah menolong
dan mewakilkan sesuatu pekerjaan atas apa yang dikerjakannya oleh orang yang
menjadi wakil.
10
mengikat secara hukum”. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt
“Hai orangorang yang beriman janganlah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu lakukam. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bagi orang yang
berkata akan tetapi tidak dilaksanakan”. (Q. S Ash-Shaff: 1) dan hadis
tentang tanda-tanda orang munafik, “Tanda-tanda orang munafik ada
tiga...).
3. Pendapat sebagaian fukaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu
bersifat mengikat secara hukum apabila janji tersebut berkaitan dengan
suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak menjadi bagian/disebutkan
dari pernyataan jani (mau‟ud) tersebut. Misalnya ungkapan: Aku hendak
menikah, aku mau membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku
maka aku akan meminjamkkan ini, atau aku mau jalan-jalan besok maka
pinjamkan binatangmu padaku, dan seterusnya.
4. Pendapat Malikiyah, yang populer di antara mereka adalah pendapat Ibn
Qasim, yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi
apabila berkaitan dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam
pernyataan janji (mau‟ud fîh) tersebut. Misalnya, jika seseorang membeli
seorang budak untuk permintaan seseorang dengan seribu dirham, dia
berkata kepada si Fulan “saya beli Anda dengan seribu dirham”, maka
terbelilah budak tersebut. Keadaan seperti ini mengikat bagi si Fulan.
Terdapat fatwa khusus yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang berkaitan
dengan wa‟ad atau janji yakni, Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN MUI/XII/2012
tentang Janji (wa‟d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
DSN-MUI menetapkan Fatwa Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji
(wa‟d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah yang substansinya
menetapkan bahwa janji (wa‟d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah
adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa‟id dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
11
1. Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
2. Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan mau 'ud (wa 'd bersyarat);
3. Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah;
da
5. Mau 'ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana
dimaksud angka 2.
D. Fatwa Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan
Prinsip Syariah
Ketentuan yang wajib dilakukan oleh rumah sakit yang menyelenggarakan
operasionalnya berdasarkan prinsip syariah antara lain ketentuan mengenai akad,
pelayanan rumah sakit, penggunaan obat-obatan, makanan dan minuman,
kosmetik dan bahan gunaan lainnnya, dan pengelolaan dana (penempatan,
penggunaan dan pengembangan). Penerapan konsep syariah yang diterapkan oleh
Rumah sakit PKU Muhammadiyah wonosobo sesuai dengan apa yang ada di
dalam fatwa DSN-MUI No.107/DSN-MUI/X/2016.
Berikut ini implementasi konsep rumah sakit syariah di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Wonosobo yang dirumuskan dengan mengacu pada
ketentuanketentuan yang ada dalam fatwa DSN-MUI No.107/DSN-MUI/X/2016
dan standar dan elemen penilaian dalam sertifikasi rumah sakit sebagai berikut:
1. Ketentuan terkait pelayanan
a. Rumah sakit wajib mengedepankan aspek keadilan, dan kewajaran
dalam membuat perhitungan biaya yang akan dibebankan kepada
pasien.
b. Rumah Sakit wajib memberikan pelayanan dan konsultasi spiritual
keagamaan yang sesuai kebutuhan untuk kesembuhan pasien.
c. Rumah Sakit, pasien dan penanggung jawab pasien wajib mewujudkan
akhlak karimah.
12
d. Rumah Sakit wajib menghindarkan diri dari perbuatan maksiat,
risywah, zhulm dan hal-hal yang bertentangan dengan syariah.
e. Rumah Sakit wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah.
f. Rumah Sakit wajib memiliki panduan terkait tatacara ibadah yang
wajib dilakukan pasien muslim (antara lain terkait ketentuan tata cara
bersuci dan shalat bagi yang sakit).
g. Rumah Sakit wajib memiliki panduan terkait standar kebersihan
Rumah Sakit.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI NO.107/DSN-MUI/X/2016 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan prinsip Syari‟ah
terdapat beberapa ketentuan yaitu ketentuan umum, ketentuan terkait akad dan
personalia hukum, ketentuan terkait akad, ketentuan terkait pelayanan,
ketentuan terkait obat-obtan, makanan, minuman, kosmrtika, dan barang
gunaaan, ketentuan terkait penempatan, penggunaan, dan pengembangan dana
rumah sakit.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan. Pemasok alat kesehatan adalah pemasok
instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Obat adalah bahan atau
paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
memepengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
13
peningkatan kesehatan dan konstrasepsi, untuk manusia dan Pemasok obat
adalah entitas yang menyediakan atau memasok obat. Pelayanan kesehatan
adalah pelayanan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada
manusia, dan/atau memebentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pasien adalah setiap setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
Untuk pelaksanaan akad-akad tesrsebut Penyelenggaraan rumah sakit
berdasarkan prinsip syari‟ah wajib mengikuti ketentuan terkait akad dan
personalisasi hukum yaitu:
a. Akad antara Rumah Sakit dengan Tenaga Kesehatan adalah akad
ijarah atas jasa pelayanan kesehatan; Rumah Sakit sebagai pengguna
jasa (Musta‟jir), dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa (Ajir).
b. Akad antara Rumah Sakit dengan pasien adalah akad ijarah; Rumah
Sakit sebgai pemberi jasa (Ajir), dan pasien sebagai pengguna jasa
(Musta‟jir), dalam upaya pengobatan penyakit yang dialami pasien.
c. Akad antara Rumah Sakit dengan pemasok Alat Kesehetan dan
Pemasok Alat Laboratorium (selanjutnya disebut pemasok) dapat
berupa:
1) Akad ijarah; Rumah Sakit sebagai penyewa (Musta‟jir), dan
pemasok sebagai pihak yang menyewakan (Mu‟jir);
2) Akad ijarah muntahiyah bi al-tamlik; akad sewa yang diakhiri
dengan pemindahan kepemilikan barang sewa dari mu‟jir kepada
musta‟jir
3) Akad ba‟i; Rumah Sakit sebagi pembeli (musyatari), dan pemasok
sebagai penjual (ba‟i);
4) Akad mudharabah; Rumah Sakit sebagai pengelola (mudharab),
dan pemasok sebagai pemilik modal (shahib almal);
14
5) Akad musyarakah mutanaqishah; Rumah Sakit dan pengelola
menyatukan modal usaha dan porsi kepemilikan modal pemasok
berkurang karena pemindahan kepemilikan modal kepada rumah
sakit secara bertahap.
d. Akad antara Rumah Sakit dengan Pemasok Obat dapat berupa:
1) Akad bai‟; rumah sakit sebagai pembeli (musytari), dan pemasok
obat sebgai penjual (bai‟), baik secara tunai (naqdan), angsuran
(taqsith), maupun tangguh (ta‟jil);
2) Akad wakalah bi al-ujrah; Rumah Sakit sebagai wakil, dan
pemasok obat sebagai pemberi kuasa (muwakkil) untuk menjual
obat kepada pasien.
Ketentuan terkait pelayanan: Rumah sakit dan semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) wajib memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing pihak dengan sebaik-baiknya. Rumah sakit wajib memeberikan pelayanan
yang sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK), Clinical pathway dan atau
standar pelayanan yang berlaku. Rumah sakit wajib mengedepankan aspek
kemanusiaan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien, tanpa memandang ras, suku, dan agama.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
15
dhiyah, yakni tatakrama kunjung-berkunjung yang di dalamnya mengatur etika
dan tatakrama secara hubungan sosial antara tamu (dhaif) dengan tuan rumah
(mudhif). Konsep ziyarah tersebut mengalami perkembangan dan melahirkan
berbagai bentuknya.
Ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya fatwa DSN-MUI Nomor
08/DSNMUI/X/2016 yaitu; Pertama, semakin berkembangnya sektor parawisata
halal di dunia termasuk di Indonesia, sehingga memerlukan pedoman
penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah; Dan kedua, belum
adanya ketentuan hukum mengenai pedoman penyelenggaraan pariwisata
berdasarkan prinsip syariah belum diatur dalam fatwa DSN-MUI.
Alasan pertama yang disampaikan DSN-MUI pada fatwa ini tidaklah tanpa
alasan, karena saat ini terdapat tujuh sektor ekonomi Islam yang tengah
meningkat secara signifikan,9 diantara tujuh sektor tersebut yang banyak
mengalami pertumbuhan dan menjadi perhatian banyak kalangan adalah
pariwisata halal. Dalam hal ini pariwisata halal terus mengalami perkembangan
yang signifikan dibandingkan dengan parawisata konvensional yang ada.
Fatwa 08/DSN-MUI/X/2016 mengatur tentang keseluruhan tentang kegiatan
parawisata syariah, dari ketentuan akad (perjanjian) yang dilakukan, ketentuan
hotel, destinasi wisata, SPA, Sauna, Massage, Biro perjalanan, maupun ketentuan
mengenai pemandu wisatanya.
Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa segala bentuk penyelenggaraan pariwisata
berdasarkan prinsip syariah boleh dilakukan dengan syarat mengikuti ketentuan
yang terdapat dalam fatwa ini. Dengan demikian, segala bentuk penyelenggaraan
parawisata harus mengacu pada ketentuan fatwa ini.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fatwa MUI tetap mempunyai kekuatan hukum sepanjang suatu lembaga
keuangan dalam aktifitas kegiatan keuangannya menerapkan prinsip-prinsip
syariah, termasuk dalam hal ini perusahaan Fintech Syariah, sehingga apabila
dalam kegiatan operasional keuangannya bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah, maka DPS akan melaporkan ke DSN, selanjutnya DSN
merekomendasikan pelanggaran tersebut kepada OJK untuk diambil tindakan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77
Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi BAB XII Pasal 47, yang memuat tentang sanksi administrasi yang akan
diberikan kepada lembaga keuangan dimaksud oleh OJK.secara global mengingat
bahwa masyarakat Indonesia adalah umat Islam
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dan kesempurnaan di masa
mendatang.
17
DAFTAR PUSTAKA
Siswanto Surnaso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus: Prita
Irma Muzdalifa, dkk, “Peran Fintech dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif pada
18