Anda di halaman 1dari 21

PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

TERHADAP TINDAKAN PELANGGARAN PEMBAJAKAN BUKU


ELEKTRONIK MELALUI MEDIA ONLINE

Dosen pengampu : DR. Elvira Dewi Br. Ginting M.Hum

Disusun Oleh:

TARIKH RIZQI NASUTION

( 0206193071 )

JURUSAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul

“PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP

TINDAKAN PELANGGARAN PEMBAJAKAN BUKU ELEKTRONIK MELALUI MEDIA

ONLINE ”. tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata

kuliah Hukum Kekayaan Intelektual. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan tentang Upaya Perlindungan Hukum bagi

Saya mengucapkan terima kasih kepada DR. Elvira Dewi Br. Ginting M.hum selaku

dosen pengampu pada mata kuliah hukum kekayaan intelektual yang telah memberikan tugas

ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami

tekuni.

Saya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan

sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulis

menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi. Oleh

karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar dapat diberikan kritik dan

saran demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Medan, 20 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1

1.3 Tujuan .............................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hak Kekayaan Intelektual...................................................................................3

2.2 .......................................................................................................................................

2.3 .......................................................................................................................................

2.4 .......................................................................................................................................

2.5

BAB III PENUTUP.................................................................................................................15

3.1 Kesimpulan................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah bertekad untuk mewujudkan suatu
masyarakat yang dicita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, spiritual dan
material. Dalam upaa mencapai atau mewujudkan cita-cita tersebut pada akhir abad ke-20 ini
terjadi suatu perkembangan kehidupan ditingkat nasional maupun internasional yang
berkembang cepat. Terutama di bidang-bidang teknologi informasi, telekomunikasi,
transportasi, perekonomian, hukum pada umumnya dan pemberian perlindungan hukum
semakin efektif terhadap Hak Kekayaan Intelektual.
Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatnya kegiatan
pembangunan nasional membuat masyarakat dalam berbagai macam segi kehidupan juga
mengalami peningkatan oleh karena itu adanya upaya penciptaan dan pembaharuan suatu
peraturan Perundang-undangan diperlukan agar terjamin suatu kepastian hukum. Demikian pula
dibidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang erat kaitanya dengan masalah Hak Kekayaan
Intelektual, dengan meningkatnya kegiatan dibidang teknologi ditandai dengan timbulnya
penemuan-penemuan baru yang bersifat inovatif tetapi sangat disayangkan ditengah
berkembangnya sector ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidaklah didukung oleh kesadaran
masyarakat dan para pelaku pasar untuk jujur dalam pemahaman pentingnya melindungi Hak
Kekayaan Intelektual atas sebuah produk yang dihasilkan oleh seseorang. Maraknya
pembajakan terhadap buku yang terjadi saat ini menandakan masih lemahnya penegakan
terhadap hak cipta di Indonesia. Buku dalam format elektronik harusnya dapat memberikan
solusi terhadap mahalnya harga buku teks tetapi pada kenyataannya justru buku dalam format
elektronik ini menjadi lebih mudah untuk di bajak secara online oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab untuk diperbanyak guna memperoleh keuntungan individu semata.

1
1.2 Rumusan Masalah

Teknologi imformasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari dimulainya kehidupan sampai

dengan berakhirnya kehidupan, hal ini dikenal dengan e-lifeartinya kehidupan ini sudah dipengaruhi

oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Kehidupan masyarakat sekarang ini sedang semarak dengan

berbagai hal yang berhubungan dengan elektronika.

pembajakan buku elektronik semakin marak terjadi, dimana setiap orang bebas dan gratis mengakses

buku elektronik. Setiap orang hanya perlu membuat akun di situs atau website tertentu yang

menyediakan buku elektronik secara ilegal untuk kemudia di unduh secara gratis. Hal ini cukup

memprihatinkan dimana seharusnya mereka mengunduh buku elektronik tersebut di aplikasi resmi

dengan situs berbayar sesuai dengan prosedurnya sehingga penulis yang memiliki hak cipta atas buku

elektronik tersebut dapat pula menikmati hasil ciptaanya.

Permasalahan ini merupakan dampak negatif dari perkembangan teknologi yang justru digunakan

untuk hal-hal yang sifatnya merugikan pihak lain.Berdasarkan teori negara hukum bahwa fungsi dan

tujuan dari suatu negara adalah untuk memelihara dan menjaga ketertiban masyarakat dimana Hak Asasi

Manusia diakui dan dilindungi oleh negara, hak-hak tersebut jelas oleh pemerintah Indonesia diatur

melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 sehingga baik masyarakat maupun pemerintah harus

tunduk pada hukum yang sama, diperlakukan sama agar timbul keteraturan.

Menurut Undang-undang Hak Cipta, pencipta suatu karya tulis mempunyai sekumpulan hak khusus

yang mendapat perlindungan diantaranya:

1. Hak untuk memperbanyak dalam bentuk buku yang diterbitkan sendiri oleh penerbit

berdasarkan suatu perjanjian lisensi

2. Hak untuk menerjemahkan buku ke dalam bahasa lain

3. Hak untuk membuat karya pertunjukan dalam bentuk apapun

4. Hak untuk membuat karya siaran dan sebagainya Berdasarkan teori perlindungan hukum bahwa

peranan hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota

masyarakat yang kepentingannya terganggu, sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus
diselesaikan menurut hukum yang berlaku.
1. Pawitran,M.R.A.,Dharmawan,N.K.S.,& Indrawati,A.K.S.(2017).Pengaturan Lembaga
Manajemen Kolektif Berkaitan Dengan Penarikan Royalti Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,5(1),2
2. Haris Munandar,M.A.,Sally Sitanggang,2011,Mengenal HAKI-Hak Kekayaan
Intelektual,Erlangga,Jakarta,hlm.14.
3. yafrinaldi, Fahmi dan M. Abdi Almaksur, Hak Kekayaan Intelektual, (Pekanbaru: Suska
Press, 2008),h.39
4. Iswi Hariyani, op cit., h. 16
5. Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), Cet.
Ke-9, h.19
6. Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2010), h. 45
7. Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h. 7.
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2014, Pasal 99 Butir 1-3.
9. Ramli, Ahmad M, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2004), h. 22-23
10. Dewi, Shinta, Cyberlaw Perlindungan Privasi Atas Informasi Pribadi Dalam E-
Commerce Menurut Hukum Internasional, Bandung: Widya Padjajaran, 2015
11. Cahyadi, Dwiadi, “Sekelumit Masalah Hukum Di Dunia Cyber”, disajikan dalam
Seminar Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis, 12 April 2001
Gambar 1. Skabies di bawah dermoskopi (pembesaran asli, 10). Tampak beberapa kepala

Sarcoptes scabiei berwarna coklat berbentuk triangle (panah hitam).

Ada berbagai pengobatan untuk skabies. Permetrin 5% topikal banyak digunakan dan

paling efektif, tetapi berhubungan dengan resistensi, kepatuhan pasien yang buruk, dan reaksi

alergi. Ivermektin oral, meskipun tidak disetujui oleh Food and Drug Administration AS

untuk pengobatan skabies, merupakan pilihan pengobatan lain; 2 dosis sama efektifnya

dengan pengaplikasian tunggal permetrin topikal. Pilihan pengobatan lainnya termasuk

lindane topikal, 5% endapan sulfur, malathion, dan ivermectin topikal. Pilihan pengobatan

dibatasi oleh resistensi S. scabiei, biaya, ketersediaan, dan potensi toksisitas, terutama pada

anak-anak dan wanita hamil.(Anderson and Strowd, 2017)

Gambar 2. Sarcoptes scabiei tampak di bawah mikroskop (pembesaran asli, 20) setelah

pengikisan kulit.
Tingginya prevalensi skabies di negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan,

status gizi buruk, tunawisma, dan kebersihan yang buruk. Di negara berkembang, prevalensi

skabies lebih tinggi pada anak-anak dan remaja dibandingkan pada orang dewasa. Skabies

mempengaruhi pria dan wanita secara setara. Di negara maju, wabah skabies secara historis

telah dijelaskan di fasilitas perawatan jangka panjang, rumah sakit, dan daerah kepadatan

penduduk. Sedikit yang diketahui tentang insiden dan pola pengobatan skabies saat ini di

Amerika Serikat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji data demografi, jenis

pengobatan, keberhasilan pengobatan, dan tingkat kesalahan diagnosis skabies di klinik

dermatologi rawat jalan di Amerika Serikat Tenggara.

2.2.1 Metode

Setelah disetujui oleh Institutional Review Board Wake Forest Baptist Medical

Center (WFBMC), catatan klinik rawat jalan di Departemen Dermatologi WFBMC dicari

pasien yang mengunjungi klinik dalam 5 tahun terakhir dan memiliki diagnosis skabies

(International Classification of Disease, Ninth Revision, code 133.0). Pasien dikeluarkan jika

mereka tidak dirawat karena skabies di Departemen Dermatologi.

Usia dan jenis kelamin pasien didapatkan dari sistem rekam medis elektronik Rekam

medik ditinjau untuk mengidentifikasi tempat tinggal pasien, bagaimana skabies didiagnosis,

pengobatan skabies, apakah pasien salah didiagnosis, kebutuhan untuk perawatan ulang, dan

adanya rasa gatal paska-skabetik. Jika tempat tinggal tidak dicatat dalam rekam medik,

diasumsikan bahwa pasien tinggal di rumah. Karena etnisitas tidak didokumentasikan di

sebagian besar rekam medik, itu tidak disertakan. Statistik deskriptif digunakan untuk

menganalisis data. Microsoft Excel (Microsoft Corp, Redmond, WA) digunakan untuk

manajemen data.
2.2.2 Hasil

Berdasarkan kode diagnosis dan kunjungan ke Departemen Dermatologi WFBMC,

459 kasus dianalisis. Sebanyak 31 kasus tidak memenuhi kriteria inklusi karena tidak ada

pengobatan skabies yang diterima di Departemen Dermatologi WFBMC atau kasus salah

kode. Yang tersisa 428 kasus memenuhi kriteria inklusi. Informasi demografis dicatat (Tabel

1, Gambar 3).
Melalui rekam medik, metode diagnosis (Gambar 4) dan pengobatan yang ditentukan

(Gambar 5) dicatat. Pada saat pengobatan skabies oleh Departemen Dermatologi WFBMC,

194 pasien (45%) telah salah didiagnosis dan 100 pasien (23%) telah dirawat karena skabies

sebelum datang ke Departemen Dermatologi WFBMC. Dari 428 pasien yang diobati, 76

pasien (18%) memerlukan pengobatan tambahan untuk skabies pada kunjungan selanjutnya

(Tabel 2) dan 144 pasien (34%) mengalami dermatitis paska skabies.


2.2.3 Diskusi

Literatur saat ini menunjukkan bahwa skabies lebih sering terjadi pada anak-anak

dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan tinjauan kasus, rentang usia pasien yang

didiagnosis dengan skabies adalah 5 minggu hingga 92 tahun, dengan usia rata-rata 27 tahun.

Kelompok usia anak (0 sampai 18 tahun) memiliki diagnosis skabies paling banyak.

Ditemukan kasus skabies lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (54%

vs 46%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Pannell et al1 yang menemukan skabies

lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dalam rekam medik retrospektif jangka

panjang.

Meskipun literatur yang mempelajari skabies di negara maju menggambarkan wabah

yang terjadi di fasilitas perawatan jangka panjang dan rumah sakit, sebagian besar pasien

yang didiagnosis dengan skabies dalam penelitian ini tinggal di rumah. Pasien yang tidak

tinggal di rumah, tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau di asrama perguruan

tinggi.
Penyedia layanan kesehatan menggunakan beberapa metode berbeda untuk

mendiagnosis skabies dalam penelitian ini, dan 58% diagnosis dibuat dengan melihat tungau,

telur atau feses pada pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit. Berdasarkan pemeriksaan

dengan mikroskop, anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah metode kedua dan ketiga yang

paling umum untuk mendiagnosis skabies. Diagnosis melalui pemeriksaan fisik termasuk

diagnosis melalui dermoskopi, metode yang sangat sensitif untuk mendiagnosis skabies.

Hanya 2% yang didiagnosis melalui biopsi kulit.

Dari pasien yang didiagnosis dengan skabies, 45% telah salah didiagnosis. Menurut

rekam medik, pasien awalnya salah didiagnosis dengan eksim, dermatitis papular, dermatitis

iritan, atau dermatitis kontak, dan 1 pasien salah didiagnosis dengan limfoma sel T kulit.

Pengetahuan mengenai gambaran klinis skabies nonklasik harus ditingkatkan di

antara penyedia perawatan primer, penyedia darurat, dan dokter kulit. Pasien dengan gatal

parah harus ditanyai tidak hanya tentang tempat tinggal mereka tetapi juga tentang riwayat

perjalanan terakhir, paparan ke penitipan anak, dan paparan ke rumah sakit. Pada anak kecil,

skabies dapat muncul dalam distribusi yang tidak biasa yang melibatkan wajah, kulit kepala,

dan leher, dengan lesi nodular atau pustular yang berlawanan dengan liang tradisional.

Misdiagnosis menyebabkan pasien pada berpotensi mengalami efek samping dari pengobatan

yang tidak dibutuhkan, termasuk biaya pengobatan yang tidak perlu. Dua pasien dalam

penelitian kami menerima siklosporin sebelum menerima diagnosis yang benar. Frekuensi

kesalahan diagnosis skabies mendukung kebutuhan akan pilihan diagnosis yang lebih

definitif. Penggunaan dermoskopi untuk mendiagnosis skabies dapat menurunkan tingkat

diagnosis negatif palsu jika dibandingkan dengan kerokan kulit. Uji serologi khusus untuk S.

scabiei telah dikembangkan, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 93,75%, dan dapat

menyebabkan diagnosis yang lebih akurat jika digunakan secara luas.


Pengobatan yang paling umum digunakan adalah permetrin topikal sebagai agen

tunggal (69%). Meskipun ivermectin oral tidak disetujui oleh Food and Drug Administration

AS untuk pengobatan skabies, 30% pasien hanya menerima ivermectin oral (7%) atau dalam

kombinasi dengan permetrin (23%). Hanya 1% pasien yang diobati dengan perawatan lain;

pengobatan pada bayi paling sering menggunakan obat precipitated sulfur topikal karena

potensi efek samping permetrin topikal pada populasi itu. Resistensi terhadap ivermectin oral

dan permetrin topikal telah dijelaskan.

Berdasarkan penelitian kami, 23% telah menerima pengobatan sebelumnya untuk

skabies sebelum evaluasi awal mereka di WFBMC; 18% pasien studi memerlukan perawatan

ulang oleh WFBMC. Mayoritas pasien (68%) telah diobati dengan permetrin saja; namun,

lebih dari seperempat dari mereka telah diobati dengan kombinasi permetrin dan ivermectin.

Hanya 1 pasien yang telah diobati dengan ivermectin oral saja yang membutuhkan perawatan

ulang.

Terdapat banyak kemungkinan penyebab kegagalan pengobatan. Jika semua kontak

dekat tidak diobati secara bersamaan, pasien dapat terinfeksi ulang, sehingga diberikan

pengobatan untuk semua kontak dekat terlepas dari apakah ada gejala. Banyak negara telah

melegalkan Expedited Partner Therapy untuk penyakit menular seksual, yang akan

memungkinkan resep ditulis juga untuk pasien yang kontak dengan penderita skabies, jika

skabies dianggap sebagai penyakit menular seksual di negara bagian tertentu. Pasien juga

harus mendekontaminasi semua tempat tidur, handuk, dan pakaian pada saat perawatan.

Ketidakpatuhan terhadap rejimen yang ditentukan adalah penyebab umum lain dari

kegagalan pengobatan. Petunjuk penggunaan permetrin topikal termasuk aplikasi krim dari

leher ke bawah pada anak-anak dan orang dewasa dan di seluruh tubuh, termasuk kepala,

pada bayi. Permetrin dibiarkan di kulit selama 8 jam kemudian dibilas, diikuti dengan
pemakaian kedua 1 minggu kemudian. Kelompok usia anak-anak paling membutuhkan

perawatan ulang, yang dapat dijelaskan dengan pemakaian yang tidak teratur atau kesulitan

dalam menerapkan obat topikal pada pasien yang lebih muda. Meskipun permetrin adalah

skabisidal, pemakaian ulang dilakukan untuk menutupi pemakaian yang tidak mencukupi

selama perawatan pertama. Ivermectin juga diresepkan untuk 2 tindakan pengobatan, tetapi

tidak seperti permetrin topikal, alasan untuk 2 tindakan ivermectin adalah karena skabistatik;

perlakuan kedua dimaksudkan untuk membunuh tungau yang telah menetas sejak perlakuan

pertama. Kegagalan pengobatan mungkin terjadi pada resistensi S. scabiei terhadap permetrin

topikal dan ivermectin oral.

Gejala sisa yang umum dari skabies adalah rasa gatal yang persisten. Hal ini dikaitkan

dengan kegagalan pengobatan, iritasi kulit, dan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian ini,

34% pasien (tidak termasuk mereka yang membutuhkan perawatan ulang) memiliki keluhan

paskacabetic. Keluhan-keluhan ini dikaitkan dengan gatal pasca skabies, reaksi Id

(autoeczematization), atau perubahan kulit yang disebabkan oleh iritasi dari obat topikal.

Krim permetrin mengandung alergen potensial, termasuk permetrin itu sendiri, formaldehida,

dan komponen dasar krim lainnya, yang dapat menyebabkan dermatitis kontak.

Reaksi hipersensitivitas setelah pengobatan skabies dengan ivermectin oral

disebabkan oleh pelepasan antigen yang disebabkan oleh penghancuran tungau yang

menimbulkan gejala gatal setelah pengobatan. Beberapa kasus gatal yang berlanjut mungkin

disebabkan oleh kesalahan diagnosis; dalam penelitian ini, 40% kasus didiagnosis tanpa

temuan definitif tungau skabies baik pada mikroskop cahaya atau biopsi.

tinjauan retrospektif ini memiliki keterbatasan. Penelitian ini dilakukan di satu lokasi

dermatologi rawat jalan, sehingga temuannya mungkin tidak dapat digeneralisasikan untuk

lokasi geografis lainnya. Tingkat kesalahan diagnosis mungkin terlalu tinggi, karena ini
adalah pusat rujukan perawatan primer dan dokter kulit. Pasien yang membutuhkan

perawatan ulang mungkin diabaikan, karena pasien mungkin telah dievaluasi dan dirawat di

fasilitas lain setelah diagnosis awal. penelitian retrospektif ini memiliki keterbatasan.

Penelitian ini dilakukan di satu lokasi dermatologi rawat jalan, sehingga temuannya mungkin

tidak dapat digeneralisasikan untuk pengaturan lain atau lokasi geografis lainnya. Tingkat

kesalahan diagnosis mungkin terlalu tinggi, karena ini adalah pusat rujukan untuk perawatan

primer komunitas dan dokter kulit. Pasien yang membutuhkan perawatan ulang mungkin

diabaikan, karena pasien mungkin telah dievaluasi dan dirawat di fasilitas lain setelah

diagnosis awal. Desain retrospektif penelitian tidak memungkinkan untuk perbandingan

modalitas diagnostik
BAB III

TELAAH JURNAL

3.1 Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan data demografi,

jenis pengobatan, keberhasilan pengobatan dan diagnosis skabies di poli klinik rawat jalan.

3.2 Gaya dan Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada jurnal ini disusun dengan rapi. Komponen jurnal ini terdiri

atas abstrak, latar belakang, metode, hasil, dan kesimpulan. Tata bahasa yang digunakan

dalam penulisan sistematis, sesuai kaidah bahasa dan tidak sulit untuk dipahami.

3.3 Judul

“Epidemiology, Diagnosis, and Treatment of Scabies in a Dermatology Office”

3.4 Penulis

Kathryn L. Anderson, MD, and Lindsay C. Strowd, MD

3.5 Abstrak

Skabies adalah penyakit kulit yang sering diabaikan dan sedikit yang diketahui

mengenai insidensi serta pola pengobatannya saat ini di Amerika Serikat. Tujuan penelitian

ini adalah untuk mengkaji data demografi, jenis pengobatan, keberhasilan pengobatan, dan

tingkat kesalahan diagnosis skabies di poliklinik kulit rawat jalan.


3.6 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji data demografi, jenis pengobatan,

keberhasilan pengobatan, dan tingkat kesalahan diagnosis skabies di poliklinik kulit rawat

jalan.
BAB IV

KESIMPULAN

Skabies adalah kondisi kulit yang umum terlihat di klinik rawat jalan di negara maju.

Pasien sering datang setelah salah didiagnosis. Peningkatan kesadaran tentang skabies, seperti

tanda dan gejala pada pasien yang tinggal di rumah (bukan di fasilitas perawatan jangka

panjang atau mereka yang tunawisma), lesi nodular atau pustular, dan distribusi yang berbeda

pada anak-anak dapat mengarah ke lebih akurat, dan diagnosis lebih cepat. Metode yang

sering digunakan untuk mendiagnosis skabies melalui kerokan kulit sering kali misdiagnosis

karena kesalahan pengambilan sampel. Teknik diagnostik non-invasif yang murah, seperti

dermoskopi, dapat digunakan selama pemeriksaan fisik. Penelitian ini menunjukkan bahwa

metode diagnostik yang lebih akurat dan lebih cepat diperlukan untuk mendiagnosis skabies

untuk membatasi pengobatan yang tidak perlu dan mempercepat terapi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, K. L. and Strowd, L. C. (2017) „Epidemiology , Diagnosis , and Treatment of

Scabies in a Dermatology Office‟, Journal of the American Board of Family Medicine, 30(1),

pp. 78–84. doi: 10.3122/jabfm.2017.01.160190.

Anda mungkin juga menyukai