Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH HUBUNGAN HUKUM TELEMATIKA DENGAN HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Telematika
Program studi Ilmu Hukum

DOSEN PENGAMPU :

IRVAN SAHPUTRA., SH., M.H

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1

KHAIRUL AMRI (20111001) DELVIYANI WIDYA L (20111002)

KAMRON SIJABAT (20111004) ADE DWIRA AYUNDARI (20111005)

MUTIA KURNIA (20111007) FAHWAZ SYAHRI RIZKI (20111008)

ANANTA ADYT (20111906)

UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

FAKULTAS HUKUM

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hubungan Hukum Telematika
Dengan Perlindungan Konsumen” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Kami juga berterima kasih pada Bapak Irvan Sahputra., SH., M.H selaku
Dosen mata kuliah Hukum Telematika yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap, makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa didalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dikesempatan-kesempatan
berikutnya, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata - kata yang
kurang berkenan dihati.

Wassalamualaikum Warahmatullahi.Wabarakatuh.

Medan, 9 Desember
2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I........................................................................................................................1

PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................................3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan............................................................................................3

D. Tinjauan Pustaka..................................................................................................................5

1. Pengertian Hukum Telematika.....................................................................................5

2. Pengertian Perlindungan Hukum................................................................................11

3. Pengertian Perlindungan Konsumen..........................................................................12

4. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha...................................................................14

E. Metode Penulisan...............................................................................................................16

BAB II.....................................................................................................................19

RUANG LINGKUP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN....................19


A. Sumber - sumber Hukum Konsumen................................................................................19

F. Prinsip - Prinsip Umum Perlindungan Konsumen.............................................................22

BAB III...................................................................................................................24

RUANG LINGKUP HUKUM TELEMATIKA.................................................24


A. Sunber - sumber Hukum Telematika.................................................................................24

G. Perlindungan Rahasia Data Pribadi dan Privasi di Internet...............................................24

ii
H. Keamanan..........................................................................................................................25

I. Penyelesaian Sengketa.......................................................................................................26

BAB IV...................................................................................................................28

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KEDUDUKAN HUKUM


TELEMATIKA......................................................................................................28
A. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen....................................................28

J. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen Dikaitkan Dengan


Telekomunikasi..................................................................................................................35

K. Hubungan Hukum Telematika dengan Hukum Perlindungan Konsumen........................39

BAB V.....................................................................................................................43

PENUTUP..............................................................................................................43
A. Kesimpulan........................................................................................................................43

L. Saran..................................................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah suatu proses berkelanjutan yang harus


senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat.
Teknologi informasi sebagai suatu dinamika yang terjadi di masyarakat telah
menyebabkan perubahan kegiatan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Saat ini
telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber (cyber law)
atau hukum telematika. Dalam menanggapi dinamika yang terjadi di masyarakat,
pemerintahdengan persetujuan DPR pada tanggal 21 April 2008 telah
mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

Hukum Siber atau Cyber Law secara internasional digunakan untuk istilah
hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Demikian pula, dengan telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi
hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Selain cyber law
atau hukum telematika ada pula istilah lain yang digunakan, yaitu hukum teknologi
informasi, hukum dunia maya dan hukum mayantara. Istilah-istilah itu lahir karena
kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi,
baik dalam lingkup lokal maupun global (internet), dengan memanfaatkan teknologi
berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat
secara virtual.

Perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak yang signifikan


terhadap sistem perekonomian global dewasa ini. Sistem perekonomian dewasa ini
lebih menitikberatkan pada sistem teknologi informasi, di mana teknologi internet
memegang peran yang sangat menentukan. Dengan adanya teknologi internet

1
memungkinkan terjadinya transformasi informasi secara cepat ke seluruh dunia
melalui jaringan dunia maya. Secara tidak langsung perkembangan teknologi
internet ini juga telah mengubah sisi kemanusiaan, yaitu perilaku manusia, interaksi
antar manusia, atau hubungan antarmanusia. Dalam perkembangannya, interaksi
antar manusia memasuki wilayah hubungan dagang atau bisnis, suatu transaksi
bisnis (commerce) tidak lagi dilakukan secara langsung (konvensional) melainkan
dapat pula dilakukan denganmenggunakan jasa layanan internet dan teknologi
elektronik lainnya. Transaksi perdagangan seperti ini dikenal dengan nama
electronic commerce atau lebih popular dengan sebutan e-commerce.

E-commerce atau transaksi elektronik adalah hal baru dalam berbisnis yang
mengutamakan efektivitas dalam pelaksanaannya. Ini artinya dengan melaksanakan
transaksi bisnis melalui jaringan elektronik (e-commerce) diharapkan
mampumelakukan perbaikan terhadap cara kerja bisnis tradisional/konvensional.
Sehingga, akan tercipta wajah bisnis baru dengan pelayanan yang serba cepat,
mudah, dan praktis. Melalui transaksi elektronik atau e-commerce seorang
penjual/pelaku usaha tidak harus bertemu langsung denganpembeli atau
konsumennya dalam suatu transaksi dagang, seperti yang terjadi pada transaksi
bisnis konvensional/tradisional. Transaksi dagang antara penjual/pelaku usaha
dengan konsumen/pembeli melalui e-commerce terjadi hanya lewat surat menyurat
melalui e-mail dan lainnya, serta pembayarannya juga bisa dilakukan melalui
internet. Dampaknya yang signifikanadalah tersingkirnya jejak kertas yang
sebelumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari transaksi
tradisional/konvensional. Transaksi elektronik atau e-commerce bisa diartikan
sebagai setiap kegiatan perdagangan yang transaksinya terjadi seluruh atau sebagian
di dunia maya, misalnya: penjualan barang dan jasamelalui internet, periklanan
secara on-line, pemasaran, pemesanan, dan pembayaran secara on-line.

Transaksi dalam e-commerce sangat riskan, terutama karena pihak


konsumen memiliki kewajiban melakukan pembayaran terlebih dahulu, sementara
konsumen sendiri tidak bisa melihat kebenaran adanya barang yang dipesan ataupun

2
kualitas barang pesanan itu. Lebih jauh lagi, pembayaran pun dapat dilakukan secara
elektronik baik melalui transfer bank atau lewat pengisian nomor kartu kredit di
dalam internet. Hal ini sangat mengganggu hak konsumen, khususnya terhadap hak
untuk mendapatkan keamanan serta hak untuk mendapatkan informasi yang benar,
jelas, dan jujur atas produk yang diberikan oleh penjual atau pelaku usaha tersebut.

Selama ini telah diketahui bahwa keberadaan UndangUndang Nomor 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK)
adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam
melakukantransaksi secara konvensional/tradisional, di mana pelaku usaha dan
konsumen bertemu secara langsung. Disini jelas bahwa UUPK tidak dapat
mengakomodasi kepentingan konsumen dalam transaksi elektronik/e-commerce.
Dengan lahirnya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, maka kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan para pihak lainnya yang terkait dengan transaksi
elektronik/e-commerce diharapkan dapat terlindungi.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan


dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah mengenai bagaimana ruang lingkup
hukum perlindungan konsumen, ruang lingkup hukum telematika, dan perlindungan
konsumen dalam kedudukan hukum telekomunikasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalahnya
adalah :
1. Bagaimana ruang lingkup hukum perlindungan konsumen?
2. Bagaimana ruang lingkup hukum telematika?
3. Bagaimana perlindungan konsumen dalam kedudukan hukum telekomunikasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

3
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat dikemukakan tujuan
yang ingin dicapai dari penulisan ini, sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hukum perlindungan
konsumen.
b. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hukum telematika.
c. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan konsumen dalam kedudukan
hukum telekomunikasi.

2. Manfaat Penulisan
Berdasarkan hasil dari penulisan ini, diharapkan dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi baik seecara teoritis maupun praktis :

a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan makalah ini diharapkan dapat
menjadi bahan bacaan dan penambahan ilmu bagi para pembaca
khususnya para kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait
dengan topik penulisan ini. Penulisan ini juga diharapkan berguna
dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan ilmu
hukum khususnya dalam bidang hubungan hukum telematika dengan
perlindungan konsumen dan dapat bermanfaat bagi perkembangan
undang-undang di Indonesia.

b. Manfaat Praktis
Penulisan makalah ini dapat memperluas pengetahuan tentang
penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta
menambah khasanah ilmu hukum tentang hubungan hukum
telematika dengan perlindungan konsumen. Bagi para pembuat
peraturan diharapkan penulisan makalah ini dapat dijadikan salah
satu masukan dalam membuat peraturan mengenai hubungan hukum
telematika dengan perlindungan konsumen. Bagi masyarakat,
penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

4
masyarakat sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat
luas dalam hal hubungan hukum telematika dengan perlindungan
konsumen.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Hukum Telematika

Cyber law adalah rezim hukum baru yang di dalamnya memiliki


berbagai aspek hukum yang sifatnya multidisiplin. Cyber law juga diartikan
sebagai hukum telekomunikasi multimedia dan informatika (telematika).
Pengertian ini menunjukkan sifat konvergentif dari communication,
computing, content, dan comunity sehingga cyber law membahas dari
teknologi dan informasi secara konvergensi.

Definisi Hukum Telematika, atau yang dikenal dengan cyber law,


adalah keseluruhan asas-asas, norma atau kaidah lembaga-lembaga, institusi-
institusi dan proses yang mengatur kegiatan virtual yang dilaksanakan
dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (disingkat
menjadi TIK).

Perbuatan-perbuatan yang diatur seringkali bersifat tanpa batas


(borderless) melintas batas-batas teritorial negara, berlangsung demikian
cepat sehingga seringkali menembus batas ruang dan waktu. Perbuatan
hukum ini meskipun memiliki karakter virtual tetapi berakibat sangat nyata.
Saat ini hampir seluruh umat manusia tidak dapat melepaskan diri dari unsur
cyber law karena penggunaan TIK telah memasuki hampir seluruh segmen
kehidupan dari mulai penggunaan seluler, pemanfaatan internet, penggunaan
transaksi perbankan secara elektronik dan lain-lain.

5
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran
asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak
berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit
dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai
perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber
tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi
oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari
belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet
maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya
dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di
samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting,
mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem
hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga
ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke
berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang
diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi
informasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global.1

Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah


keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce telah menjadi bagian dari
perniagaan nasional dan internasional.2 Contoh konkret adalah untuk
membayar zakat atau berkurban pada saat Idul Adha, atau memesan obat-
1
Pembahasan mengenai e-commerce dan dampaknya terhadap perniagaan global dapat dilihat lebih lanjut pada
Abu Bakar Munir, Cyber Law Policies and Challenges, 1999, hlm. 205, Klaus W. Grewlich, Governance in
“CyberSpace” access and Public Interrest in Global Communication, The Netherlands, 1996, hlm. 48,
ASEAN forum on Net Effect, The Straits Times (Singapore), 3 September 1996, hlm. 2, Assafe Endeshaw,
Internet and E-Commerce Law, 2001, hlm. 258. Bdgk. Leonard, Eamonn, Ahmad M. Ramli, Kimberley, Paul,
et.al., Government of Indonesia Information Infrastructure Development Project (IIDP): Harmonisation and
Enactment Planning for E-Commerce Related Legislation, Jakarta, June 2004, hlm 170 dst.
2
Saat ini PBB melalui Komisi khususnya, UNCITRAL, telah mengeluarkan 2 guidelines yang terkait dengan
transaksi elektronik, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment 1996,
United Nations Publication, New York, 1999, dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature with Guide
to Enactment 2001, United Nations Publication, New York, 2002.

6
obatan yang bersifat sangat pribadi orang cukup melakukannya melalui
internet. Bahkan untuk membeli majalah orang juga dapat membayar tidak
dengan uang tapi cukup dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui
fasilitas SMS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang
telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan
ditemukannya Hak Cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.3

Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyber
space Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan
dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan
memasuki dunia cyber atau maya. Di negara yang telah maju dan negara
berkembang dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi
setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah
sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika
Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum
yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.

Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai


tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang cyber
sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan
ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan
perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan
dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan
virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat
elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata4. Dalam
3
Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat pada Rosenoer, Jonathan, CyberLaw: The Law of The
Internet, Springer-Verlag, New York, 1996, hlm. 1-20.
4
Buka Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, antara lain dinyatakan bahwa informasi
elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik merupakan alat bukti dan memiliki akibat hukum yang
sah serta digariskan bahwa alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai Hukum

7
kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen
elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang
dibuat di atas kertas.5

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (Information and


Communication Technology-ICT) yang begitu pesat dengan segala fasilitas
penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa
kita memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age).
Berbagai bidang kehidupan akhirnya dirambah oleh kemajuan ICT tersebut.
Perkembangan teknologi komunikasi massa yang menekankan pada
komunikasi antarindividu manusia secara langsung, seperti halnya pada
penggunaan telepon, mengalami kemajuan yang sangat berarti dengan
dikenal dan digunakannya telepon bergerak atau yang lebih dikenal dengan
’cellular phone’. Dalam perkembangan teknologi informasi kemudian
dikenal internet sebagai salah satu media untuk berkomunikasi.

Internet bukan merupakan objek yang kasat mata yang dapat disentuh
dan dapat dirasakan. Internet merupakan lapisan kompleksitas teknologi dan
jasa yang perlahan-lahan bergabung membentuk sesuatu yang dapat
dinikmati oleh semua orang. Internet (merupakan) jaringan komputer

Acara yang berlaku di Indonesia. Antara lain dinyatakan bahwa tanda tangan elektronik memiliki kekuatan
hukum dan akibat hukum yang sah. Menyatakan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak
elektronik mengikat para pihak. Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
5
Cf. Ahmad M. Ramli, Kekuatan Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-Commerce Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Makalah disampaikan pada Kongres Ikatan Notaris Indonesia, Bandung 23 Januari
2003, hlm. 12-19. Terdapat beberapa keuntungan jika dokumen elektronik dilengkapi dengan penggunaan
digital signatures, yaitu terjaminnya authenticity (ensure), integrity, non repudiation, and confidentiality. Lih.
juga Bajaj, Kamlesh K., Debjani Nag, E-Commerce: The Cutting Edge of Business, Tata McGraw-Hill Book
Co-Singapure, International Editions, 2000, hlm. 259 dst. Cf. Baker, Steward A., Paul R. Hurst, The Limits of
Trust Cryptography, Governments, and Electronic Commerce, Kluwer Law International, The Haque- London-
Boston, tanpa tahun.

8
terbesar di dunia yang menghubungkan jutaan manusia, tumbuh secara
eksponensial. Jaringan yang terhubung ini menjadi antarjaringan
(internetwork) karena memiliki faktor penggabung sama yang
memungkinkan berbagai jaringan untuk bekerja sama.

Internet adalah milik seluruh penghuni dunia. Setiap orang atau


lembaga dengan bebas dapat menyambungkan komputernya di internet.
Setiap pengguna internet semakin mendapat kemudahan dalam
berkomunikasi, baik itu hanya sekedar berkirim pesan, berdiskusi bahkan
melakukan transaksi. Internet secara cepat dan tidak disadari telah
mempertemukan dan menyatukan warga dunia. Dengan demikian batas
negara di internet menjadi semakin memudar. Samarnya batas-batas negara
dalam dunia internet disebabkan oleh karena internet dapat diakses oleh
setiap penggunanya di seluruh dunia, dan para pengguna internet di seluruh
dunia dapat saling berhubungan dalam hitungan waktu sangat tepat, pada
saat mereka mengakses ke dalam jaringan (real time).

Seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, penggunaan internet


mulai memasuki babak selanjutnya, kemudian dikenal apa yang disebut
sebagai transaksi elektronik dalam perdagangan yang dilakukan melalui
media elektronik (electronic commerce). Terjadinya transaksi perdagangan
barang maupun jasa melalui media internet kemudian menjadi trend yang
berkembang dengan pesat. Dengan adanya transaksi yang menggunakan
media internet, waktu dan tempat bukan merupakan penghalang bagi para
pelaku ekonomi untuk melaksanakan transaksi. Para pelaku transaksi
tersebut tidak perlu mengadakan pertemuan untuk melaksanakan transaksi.
Sistem transaksi yang berjalan pun pada akhirnya juga berubah mengikuti
perkembangan tersebut, di mana sistem transaksi berubah menjadi sistem
online shopping, online dealing, dan lain-lain, di mana pembeli yang
membutuhkan barang dapat mengakses internet yang dipunyainya untuk

9
mencari dan membeli apa yang dibutuhkan tanpa harus langsung mendatangi
toko yang menyediakan barang kebutuhan pembeli tersebut.

Perkembangan teknologi informasi yang sudah sedemikian pesat


dengan adanya transaksi melalui media internet, pada dasarnya merupakan
pasar yang potensial, di mana konsumen dapat melakukan transaksi dengan
distributor atau produsen di seluruh dunia dengan biaya yang relatif rendah.

Dalam era globalisasi, efisiensi dalam berbagai bidang kehidupan


merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mencapai tingkat perekonomian
yang lebih baik dan lebih kompetitif. Suatu negara akan tertinggal jauh
apabila tidak dapat dengan cepat mengikuti dan mengaplikasikan
perkembangan bidang transaksi yang memanfaatkan kemajuan di bidang
teknologi informasi. Transaksi melalui media internet telah terbukti dapat
meningkatkan efisiensi daya kerja dan menumbuhkan aktivitas baru yang
merangsang tingkat pertumbuhan. Sementara itu derasnya penetrasi sebuah
teknologi informasi dalam kegiatan bisnis yang berbasis transaksi elektronik
(seperti: layanan ATM, transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking,
internet banking, dan lainlain) sebagaimana digambarkan di atas ternyata
belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti
percepatan perkembangan implementasi teknologi. Oleh karena itu,
diperlukan kehadiran hukum yang dapat meng-cover permasalahan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif
(existing law) yang ada di bidang ini belum dapat menjangkau hal-hal
tersebut. Meskipun seringkali muncul pertanyaan, apakah hukum positif
dapat diterapkan terhadap kasus-kasus dan pelanggaran hukum di dunia
maya, sebab ada perbedaan yang sangat besar antara masyarakat virtual
dengan masyarakat nyata dalam segi tindak dan perbuatan hukum, dampak
yang diakibatkan, penerapan sanksi dan juga pembuktiannya. Namun
demikian untuk memberikan koridor hukum yang jelas dan terarah serta
menyikapi pentingnya akan undang-undang yang berkaitan dengan dunia

10
maya (cyberspace), khususnya yang mencakup pengaturan transaksi
elektronik.

Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah


satu versi menyebutkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan dengan
motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan
kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah
kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi
menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Versi lain membagi cyber
crime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan
penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.

2. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum bila dijelaskan harafiah dapat menimbulkan


banyak persepsi. Sebelum kita mengurai perlindungan hukum dalam makna
yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit
mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah
perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan
yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak
cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang
diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.

Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang


kemudian
meragukan keberadaan hukum. Oleh karena hukum sejatinya harus
memberikan
perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena
setiap
orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat
penegak

11
hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan
hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan
perlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam
kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi


hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang
bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif
(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka
menegakkan peraturan hukum.

Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal,


yakni:
Pertama: Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Kedua : Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan
hukum di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat


Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan
prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.6

6
Status Hukum. “ Perlindungan Hukum Represif”, artikel diakses pada 10 Desember 2022, pukul 20:20 WIB dari
http://statushukum.com/tag/perlindungan-hukum-represif.

12
3. Pengertian Perlindungan Konsumen

Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah


bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah
yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu samalain berkaitan dengan
barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. Namun, ada pula yang
berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hokum konsumen. Hal ini dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki
skala yang lebih luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek
hukum yang di dalamnya terdapat kepentingan pihak konsumen dan salah
satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya,
misalnya bagaimana cara mempertahankan hak- hak konsumen terhadap
gangguan pihak lain.

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki


dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar
hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan
dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hokum perlindungan
konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka1 UU Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Kepastian hukum untuk member perlindungan kepada
konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat
melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak
bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.

Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan


perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan
martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong
13
pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh
rasa tanggung jawab. Pengaturan tersebut adalah :
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
informasi, serta menjamin kepastian hukum;
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha pada umumnya;
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang
menipu dan menyesatkan;
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-
bidang lainnya.

Umar Purba mengemukakan kerangka umum tentang sendi-sendi pokok


pengaturan perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :

a. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;


b. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
c. Konsumen mempunyai hak;
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada
pembangunan nasional;
e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat;
f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa;
g. Pemerintah perlu berperan aktif;
h. Masyarakat juga perlu berperan serta;
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai
bidang;
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Dengan adanya Undang-Undang No.8 Tahun1999 tentang Perlindungan


Konsumen beserta perangka thukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi
yang berimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata

14
hakhaknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Purba menguraikan
konsep perlindungan konsumen sebagai berikut :

"Kunci Pokok Perlindungan Konsumen adalah bahwa konsumen dan


pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi
tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang
dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan
promosi gratis bagi pengusaha".

4. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda : Konsument. Para ahli


hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah : “Pemakai
akhir dari benda dan jasa (Uiteindelijke Gebruiker van Goerderen en
Diensten ) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha ( ondernamer )”7.
Menurut Az. Nasution, pengertian konsumen adalah “Setiap orang yang
mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu
kegunaan tertentu”.8 Definisi lain tentang pengertian konsumen
dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu “pemakai terakhir dari
benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah


“pembeli”(koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata. Menurut Pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan bahwa
“Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi

7
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut
Perjanjian Baku ( Standar ),dalam BPHN,Simposium Aspek – Aspek Hukum Perlindungan
Konsumen,(Bandung :Binacipta,1986), h. 57.
8
Az.Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta :Pustaka Sinar Harapan, 1995), h.69.

15
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan
tidak diperdagangkan”.

Di dalam penjelasan Pasal 1 angka (2), disebutkan bahwa di dalam


kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam undang – undang ini adalah konsumen akhir.
Sedangkan batasan – batasan tentang konsumen akhir menurut
Az.Nasution adalah sebagai berikut “Setiap orang yang mendapatkan barang
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk
kepentingan komersial.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan suatu pengertian, bahwa


yang dimaksud konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan/atau jasa
untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.

Pengertian umum pelaku usaha adalah adalah orang atau badan


hukum yang menghasilkan barang – barang dan/atau jasa dengan
memproduksi barang dan/atau jasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atau konsumen dengan mencari keuntungan dari barang – barang
dan/atau jasa tersebut. Undang – undang perlindungan konsumen (UUPK)
tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai
lawan dari kata “konsumen”. Sehingga digunakan kata “pelaku usaha” yang
mempunyai makna lebih luas, dimana istilah pelaku usaha ini dapat berarti
juga kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual dan terminologi
lain yang lazim diberikan. Menurut pasal 1 angka (3) UUPK, yang dimaksud
pelaku usaha adalah “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

16
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Sedangkan menurut penjelasan pasal 1 angka (3) UUPK, yang


termasuk
dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian
ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,
distributor, dan lain – lain.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan suatu pengertian yang


dimaksud pelaku usaha adalah seperti yang dimaksud dalam pasal 1 angka
(3) UUPK, yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

E. Metode Penulisan

Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang


diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
“pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat
dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Jenis penelitian
hukum yang dilakukan adalah peneliatian yuridis normatif, penelitian hukum yuridis
normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma.

1. Jenis Penelitian

17
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis
yang berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang
menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang ada,
lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian di ambil sebuah kesimpulan.
Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan
normatif dan empiris. Dengan penelitian yuridis normatif yang bersifat
kualitatif, penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta norma-norma yang
hidup dan berkembang di masyarakat.

2. Teknik pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini, dengan
menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library research), yaitu suatu
metode pengumpulan dengan cara membaca atau merangkai buku-buku
peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang
berhubungan dengan objek penelitian. Penelitian kepustakaan dilakukan
untuk mendapatkan data sekunder, dengan melakukan pengkajian terhadap :

a. Bahan hukum primer : Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang


Informasi Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer).
b. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis.
Misalnya RUU, jurnal hukum, buku-buku para sarjana, hasil penelitian,
makalah hukum, dan sebagainya.
c. Bahan hukum tersier : bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya koran, majalah, kliping, dan
sebagainya.

18
3. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis normatif kualitatif. Yaitu dengan menganalisis ketentuan
dalam perundang-undangan serta buku-buku yang berkaitan secara
komprehensip.

4. Teknik Penarikan Kesimpulan


Dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses
penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang
khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.

19
BAB II

RUANG LINGKUP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sumber - sumber Hukum Konsumen

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen


“ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
berlaku setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan demikian dan
ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (ketentuan peralihan) undang-undang ini,
berarti untuk “membela” kepentingan konsumen. Sekalipun peraturan perudang-
undagan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen,
setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum
perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR


Hukum konsumen, terutama Hukum Perlindungan Kosumen
mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945,
pembukaan alinea keempat yang berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia”. Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata
“segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh
bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi, di samping itu, dari
kata “melindungi” menurut AZ.Nasution di dalamnya terkandung pula asas
perlindungan hukum pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum
pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa tanpa kecuali.

Landasan hukum lainya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal


27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut
berbunyi “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang tergantung atau

20
digantung oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik
diminta ataupun tidak, untuk melindungi dan atau mecegah terjadinya
gangguan tersebut. Penghidupan yang layak apalagi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan merupakan hak bagi warga negara dan hak semua orang.
Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

b. Hukum Konsumen Dalam Hukum Perdata


Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas,
termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan
yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-udangan lainnya.
Kesemuanya itu baik dalam hukum tertulis maupun hukum perdata tidak
tertulis (hukum adat).

Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab


UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Di samping itu, tentu saja
juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tidak tertulis tetapi ditunjuk
oleh pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut kiranya diperhatikan
kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah hukum perdata
tersebut.

Bebarapa putusan pengadilan tentang masalah kepertdataan berkaitan


dengan konsumen masih terlihat. Adapun hubungaN hubungan atau masalah
antara dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak
bersamaan hukum yang berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan Hukum
Internasional dan asas-asas hukum Internasional, khususnya Hukum Perdata
Internasioal, memuat pula berbagai ketentuan hukum perdata bagi
konsumen.

Akan tetapi disamping itu, dalam berbagai peraturan perudang-


undangan lain, tampaknya termuat pula kaidah-kaidah hukum yang
mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain

21
tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu
hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban masing-masing, serta
tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara konsumen
dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan bersangkutan.

Beberapa diantara (yang terbaru) adalah Undang-Undang tentang


Metrologi Legal (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981), Undang-Undnag
tentang Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982),
Undang-Undang tentang KetentuanKetentauan Pokok Pers (Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982), Undang-Undang Penindustrian (Undang-Undang
No 5 Tahun 1984), Undang-Undang tentang Rumah Susun (Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985), Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992), UndangUndang tentang
Kesehatan (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992), UndangUndang
tentang Pangan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996), dan terakhir
Undang-Undang Perlindungan Kosumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999; Lembaran Negara Tahun 1999 No.42).

Jadi kalau dirangrum keseluruhnyan, dan terlihat bahwa kaidah-


kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku
usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan kosumennya
masing-masing terlihat termuat dalam :
i. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terutaman dalma buku kedua,
ketiga, dan keempat;
ii. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Buku kesatu dan buku kedua;
iii. Berbagai peraturan perundang-undangan lalu yang memuat kaidah-kaidah
hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum
dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan
konsumen.9

9
Tri Siswi Kristiayanti Celina. (2011). Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi 3) . Jakarta: Sinar Grafika., h. 40-62.

22
c. Hukum Konsumen Dalam Hukum Publik
Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur
hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara
negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam
kerangka hukum kosumen dan/atau hukum perilndungan konsumen, adalah
hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau
hukum acra pidana dan humum internasional khusunya hukum perdata
Indtenasional.

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua


cabang-cabang hukum publik itu sepanjamg berkaitan dengan hubungan
hukum kosumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang dan atau
penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini anatara lain
ketentuan perizinan usaha, ketentuanketentuan pidana tertentu, ketentuan-
ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan/atau ketentuan hukum
perdata Internsioal.

Di antara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum


administrasi negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana,
hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum
acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam
pembentukan hukum konsumen.

B. Prinsip - Prinsip Umum Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Kosumen pada dasarnya banyak mengatur


mengenai pelaku usaha dan lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak
konsumen sebagai hak-hak dasarnya untuk mencapai keadilan, yang diharapkan
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang pada gilirannya akan
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandiriian

23
konsumen untuk melindungi dirinya, di lain pihak akan menumbuhkan pelaku usaha
yang bertanggung jawab.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima prinsip yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu
sebagai berikut :
i. Prinsip manfaat
Prinsip ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat
sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.

ii. Prinsip keadilan


Prinsip ini dilakukan agar partisipasi seluruh masyarakat dapat
diwijudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.

iii. Prinsip keseimbangan


Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil
maupun spiritual.

iv. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen


Prinsip ini dimaksudkan untuk memeberikan jaminan atas keamanan
dana keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.

v. Prinsip kepastian hukum


Prinsip ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

24
perlindungan konsumen, di mana negara dalam hal ini turut menjamin
adanya kepastian hukum tersebut.

BAB III

RUANG LINGKUP HUKUM TELEMATIKA

A. Sunber - sumber Hukum Telematika

Sumber-sumber hukum telematika dapat dibagi menjadi sumber hukum yang


sifatnya internasional yang terdiri dari :
1. Konvensi-konvensi internasional publik dan perdata;
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional;
3. Policy international di bidang cyber law misalnya Uniform Domain Name
Resolution Dispute Policy (UDRP).

Di samping itu meskipun tidak bersifat norma terdapat pula beberapa


pedoman yang menjadi rujukan secara internasional dan menjadi guideline.
Misalnya, UNCITRAL model law on electronic digital signature.

Sumber hukum nasional berupa peraturan perundang-undangan di bidang


cyber law secara khusus.

Ketentuan-ketentuan tentang cyber law yang tersebar di dalam berbagai


peraturan perundang-undangan. Misal, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor).

25
B. Perlindungan Rahasia Data Pribadi dan Privasi di Internet

Salah satu faktor penting dalam transaksi dan kegiatan melalui fasilitas
teknologi informasi adalah perlindungan data-data pribadi dan rahasia. Data-data
pribadi meliputi: data-data menyangkut hal-hal yang sangat privat seperti data
rekam medis, data keluarga, serta informasi yang sifatnya sangat pribadi lainnya
seperti nama gadis ibu kandung, data transaksi dan pembayaran kartu kredit, dan
lain-lain yang berpotensi digunakan oleh orang lain untuk tindakan kejahatan dan
mencari keuntungan secara ilegal. Sebagai contoh data yang menyangkut berapa
saldo yang masih tersedia sebagai fasilitas pemberian plafon dalam kartu kredit
dapat diketahui apabila pihak yang menghubungi card center penyelenggara kartu
kredit dapat mengungkapkan data-data tersebut.

Meskipun setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar


melalui media elektronik tetapi perlu adanya pembatasan secara tegas bahwa
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
tentang nasabah dalam kegiatan transfer dana adalah pelanggaran rahasia bank.
Maraknya penyalahgunaan kartu kredit melalui internet melahirkan persoalan baru,
apakah nomor-nomor kartu kredit harus secara eksplisit dikatakan sebagai bagian
dari rahasia bank. Saat ini terdapat fenomena yang sangat menggusarkan
penyelenggara dan nasabah kartu kredit, di mana alat-alat penyadap data kartu kredit
telah begitu mudah didapatkan.

C. Keamanan

Masalah keamanan perlu memperoleh perhatian secara khusus, karena


tingkat keamanan atas transaksi transfer dana melalui internet merupakan faktor
yang sangat menentukan. Dewasa ini belum terdapat aturan yang menentukan
standardisasi instrumen dan perangkat-perangkat yang harus digunakan dalam suatu
internet banking. Oleh karena itu, dalam UU Transfer Dana yang akan datang harus
secara eksplisit ditegaskan bahwa BI memiliki kewenangan untuk menetapkan

26
standar instrumen, perangkat-perangkat, sistem dan segala sesuatu yang terkait
dengan sarana dan prasarana yang digunakan oleh suatu bank dalam kegiatan
transfer dana.

Perlu juga diatur tentang kewajiban dan sanksi bagi karyawan bank yang
terkait dengan kewajibannya dalam merahasiakan sandi akses (password) yang
digunakan oleh bank dalam pemanfaatan teknologi informasi, kejadian pembobolan
BNI Cabang New York beberapa tahun lalu menunjukkan pentingnya pengaturan
ini.

Dalam kaitan dengan pengamanan ini BI dapat bekerja sama dengan


Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT) yang berfungsi sebagai
contact point tentang masalah security, menyebarkan informasi masalah security,
tempat pelaporan insiden yang dapat ditindaklanjuti melalui pembuatan data statistik
kasus, dan sebagai motor dalam sosialisasi security termasuk pemberian security
advisory dan layanan informasi di bidang keamanan lainnya.

D. Penyelesaian Sengketa

Masyarakat dapat melakukan gugatan secara perwakilan (class action)


terhadap pihak yang melakukan penyalahgunaan di bidang teknologi informasi yang
akibatnya dapat merugikan masyarakat. Gugatan semacam ini tidak dimaksudkan
untuk memperoleh ganti rugi, kecuali untuk memperoleh hak untuk tindakan
tertentu saja. Berkaitan dengan internet banking akan dimungkinkan masyarakat
menggugat bank yang menyodorkan kontrak baku yang benar-benar memberatkan
nasabah, atau bank yang merugikan masyarakat karena kegagalannya dalam sistem
keamanan (security).

Dalam hal gugatan perdata secara individual, dimungkinkan setiap orang


atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak memanfaatkan

27
teknologi informasi yang mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan berkaitan
dengan kegiatan internet banking.

Selama proses pemeriksaan atas permohonan penggugat dapat menghentikan


kegiatan pemanfaatan teknologi informasi yang mengakibatkan kerugian pada pihak
lainnya. Selain penyelesaian gugatan perdata sengketa yang berkaitan dengan
internet banking ini harus pula dimungkinkan ditempuh penyelesaian melalui
arbitrase atau penyelesaian sengketa alternatif dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan.

Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki ketentuan Transfer Dana
yang berlaku secara umum, dan mengatur transfer dana lintas negara yang bersifat
perdata internasional, sehingga apabila dalam praktik timbul permasalahan akan
diselesaikan melalui penyelesaian secara internal dari para pihak terkait atau melalui
lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan serta pengadilan. Kondisi ini
belum dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terkait dalam
proses Transfer Dana, sehingga kepedulian untuk menggoalkan ketentuan Transfer
Dana merupakan salah satu prioritas pembuatan hukum yang mendesak dan saat ini
sudah diundangkan.

1. Semakin maraknya penggunaan internet dalam kegiatan bisnis melahirkan suatu budaya
baru dalam dunia bisnis. Perdagangan secara elektronik (e-commerce) dengan berbagai
kelebihannya telah mulai marak dan memasyarakat. Kelebihan-kelebihan tersebut antara
lain adalah efisiensi waktu dan biaya serta peningkatan kinerja.
2. UU No. 8 Tahun 1997 telah memberi kemungkinan dokumen perusahaan untuk dijadikan
sebagai alat bukti dalam sistem Hukum pembuktian perdata.

28
BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KEDUDUKAN HUKUM


TELEMATIKA

A. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia,


mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui
sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan
dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak
dikonsumsi oleh masyarakat.

Masalah perlindungan konsumen semakin banyak dibicarakan.


Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan
perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan,

29
masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan
konsumen perlu diperhatikan.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen


yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum
konsumen diartikan sebagai keseluruhan asasasas dan kaidah yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain, berkaitan dengan
barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. Hukum konsumen pada
pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para
pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial, ekonomi, daya saing maupun
pendidikan.10

Perlindungan hukum terhadap konsumen menyangkut dalam banyak aspek


kehidupan terutama dalam aspek kegiatan bisnis. Dalam Black’s Law Dictionary,
pengertian konsumen diberi batasan yaitu :
“… A person who buys goods or services for personal family or
householduse, with no intention of resale; a natural person who uses products for
personal rather than business purposes.”11

Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut, konsumen adalah orang


yang membeli suatu produk hanya untuk digunakan olehnya (pemakai akhir), bukan
untuk dijual kembali. Namun masalah perlindungan konsumen pada kenyataannya
perlu diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang yang
bersangkutan tetap terjamin dan tidak merugikan konsumen.

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan p0erlindungan kepada
10
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta, 1999, hlm.64-65.
11
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Co, ST.Paul, 1979,
hlm.315.

30
konsumen, sedangkan menurut Pasal 1 butir 2, konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.

Menurut Pasal 2, hukum perlindungan konsumen mengenal 5 (lima) asas


antara lain :

1. Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secaara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konksumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiba secara adil.

3. Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen


Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum


Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.

31
Kelima asas tersebut dibuat untuk mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa.

Menurut Pasal 3, tujuan perlindungan konsumen meliputi :

1. Meningkatkan kesadaran diri, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselematan
konsumen.

Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan
lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya
sebagai konsumen. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position
(posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal itu terlihat sekali pada
perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan
baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. 12Berdasarkan kondisi diatas,
upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting.

Menurut Pasal 4, hak-hak konsumen meliputi :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa;

12
Az Nasution, Op.Cit, hlm.29.

32
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak
sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang
tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.13

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hakhak dasar umum
yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan
oleh John.F.Kennedy, Presiden Amerika Serikat, pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A
special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan
istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right). Deklarasi tersebut
menghasilkan empat hak dasar konsumen yang meliputi hak-hak sebagai berikut :14

1. Hak untuk mendapatkan atau memperoleh keamanan atau the right to be secured;
2. Hak untuk mendapatkan informasi atau the right to be informed;
3. Hak untuk memilih atau the right to choose;
4. Hak untuk didengarkan atau the right to be heard.

13
Ibid, hlm. 22.
14
www.antaranews.com, diakses pada hari Senin, Tanggal 13 Desember 2022, pukul 23:03 WIB.

33
Empat hak dasar sebagaimana disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat,
John.F.Kennedy tersebut memberikan pemikiran baru tentang perlindungan hak-hak
konsumen. Empat dasar tersebut sering digunakan dalam merumuskan hak-hak dan
perlindungan konsumen.

Menurut Pasal 5, kewajiban konsumen antara lain :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-


hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Melalui cara seperti itu,
setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan
menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya terhadap hak-
haknya sebagai konsumen.15

Selanjutnya pengertian pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum, maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan dan melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dalam kaitannya
dengan hubungan perniagaan antara konsumen dengan pelaku usaha akan terkait dengan
obyek perjanjian. Obyek perjanjian tersebut bisa merupakan suatu barang ataupun jasa yang
diperjanjikan. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
15
Az Nasution, Op.Cit. hlm.28.

34
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Pasal 6, hak pelaku usaha meliputi :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Hak pelaku usaha dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha


dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.16

Menurut Pasal 7, kewajiban pelaku usaha antara lain :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


2. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

16
Ibid, hlm.34.

35
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam


memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta
pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.17

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


mengamanatkan bahwa terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dapat dilakukan
gugatan oleh :

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;


2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.

Penjelasan Pasal 46 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen mengamanatkan bahwa Undang-Undang ini mengakui gugatan
kelompok atau class action. Gugatan atau class action8Ibid, hlm.36-3728harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu
di antaranya adalah adanya bukti transaksi.

17
Ibid, hlm.36-37.

36
B. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen Dikaitkan Dengan
Telekomunikasi

Telekomunikasi terdiri dari kata “tele” yang berarti jarak jauh (at a distance)
dan “komunikasi” yang berarti hubungan pertukaran ataupun penyampaian
informasi. 18
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi, definisi telekomunikasi adalah sebagai kegiatan
pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik,
radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Asas penyelenggaraan telekomunikasi menurut Undang-Undang Nomor 36


Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan :

1. Asas Manfaat
Berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan komunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna
baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan, maupun sebagai
komoditas ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lahir dan batin.

2. Asas adil dan merata


Berarti bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi
syarat dan hasil-hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.

3. Asas kepastian hukum


Berarti bahwa pembangunan telekomunikasi, khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi, harus didasarkan kepada peraturan
18
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hlm.109.

37
perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan hukum, baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi,
maupun kepada pengguna telekomunikasi.

4. Asas kepercayaan pada diri sendiri


Dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber
daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan
sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.

5. Asas kemitraan
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat
mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergis dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.

6. Asas keamanan
Dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi selalu
memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan dan
pengoperasiannya.

7. Asas etika
Dimaksudkan agar dalam penyelenggaraannya, telekomunikasi
senantiasa harus dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran,
kesusilaan, dan keterbukaan.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi


menyebutkan tujuan dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yakni untuk mendukung
kesatuan dan persatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara
adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta
meningkatkan hubungan antar bangsa. Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi ini dapat
dicapai antara lain melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja
penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan
38
sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan
regulasi yang transparan, serta membuka kesempatan lebih banyak bagi pengusaha kecil
dan menengah.

Terkait perlindungan konsumen, privasi data dan/atau informasi pribadi dari


pelanggan telekomunikasi adalah hal yang harus diperhatikan agar privasi data tidak
disalahgunakan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan bahwa konsumen, berhak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
konsumen yang dimaksud disini adalah pelanggan telekomunikasi.19

Masyarakat internasional sendiri memberikan pengakuan kepada perlindungan hak-


hak pribadi. Privacy merupakan hak asasi manusia, sebagaimana dimuat dalam Pasal 12
dari The Universal Declaration of Human Rights - 1948, yaitu :20

“No-one should be subjected to arbitrary interference with his privacy, family,


home, or correspondence, nor to attack on his honor or reputation. Everyone has the right
to the protection of the Law such interferences or attacks”.

Berdasarkan pengertian tersebut disebutkan bahwa setiap orang berhak


mendapatkan perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran terhadap
urusan pribadi, keluarga, rumah tangga, hubungan surat menyurat, kehormatan, dan nama
baik.

Secara garis besar diketahui ada beberapa aspek dari privasi baik yang dilindungi
atau diatur oleh hukum maupun yang tidak. Pada umumnya ada tiga aspek dari privasi,
yaitu :21

1. Privasi mengenai pribadi seseorang (Privacy of a Person’s Persona)


Hak atas privasi ini didasarkan pada prinsip umum bahwa setiap
orang mempunyai hak untuk dibiarkan sendiri (the right to be let alone).

19
www.detik.com, diakses pada 13 Desember 2022, pukul 22:35 WIB.
20
Danrivanto Budhijanto, Op.Cit hlm.3.
21
Edmon Makarim, Op.Cit, hlm.160-161.

39
2. Privasi dari data tentang seseorang (Privacy of Data About a Person)
Hak privasi dapat juga mengikat pada informasi mengenai seseorang
yang dikumpulkan dan digunakan oleh orang lain. Penyalahgunaan
informasi-informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu
organisasi / lembaga atau atas pelanggaran-pelanggaran dari suatu
perusahaan termasuk dalam pelanggaran hak privasi seseorang.

3. Privasi atas komunikasi seseorang (Privacy of a Person’s Communications)


Dalam situasi tertentu, hak atas privasi dapat juga mencakup
komunikasi secara online. Dalam hal-hal tertentu, pengawasan dan
penyingkapan isi dari komunikasi elektronik oleh orang lain bukan oleh
pengirim atau orang yang dikirim dapat merupakan pelanggaran dari privasi
seseorang.

Privasi mempunyai konsep yang lebih luas dari kerahasiaan karena


pembatasan kegiatan yang lebih luas berhubungan dengan suatu informasi
pribadi; dalam pengumpulan, penyimpanan, penggunaan, serta
penyingkapannya.22 Data user diharapkan dapat bertanggung jawab atas
keamanan penyimpanan dari informasi pribadi yang dipercayakan kepada
mereka tersebut. Jadi, suatu hubungan kepercayaan yang timbul antara data
subjects dan data user, yang menimbulkan suatu kewajiban pemeliharaan
dan jaminan atas kerahasiaannya, dari penyingkapan yang tidak sah kepada
pihak ketiga.23

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi


juga memerhatikan hak masyarakat sebagai pengguna.24 Pasal 14
UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

22
Ibid, hlm.163.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm.121.

40
mengamanatkan bahwa setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak
yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi dengan memerhatikan peraturan yang berlaku. Pasal 15 ayat
1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
mengamanatkan bahwa atas kesalahan dan kelalaian penyelenggara
telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang
dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi. Ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi
yang diberikan penyelenggara telekomunikasi kepada pengguna atau
masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahannya. Ganti
rugi wajib diberikan kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan
dan kelalaiannya. Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.25 Apabila penyelesaian ganti rugi
melalui cara tersebut tidak berhasil dapat dicari penyelesaian melalui
pengadilan.

C. Hubungan Hukum Telematika dengan Hukum Perlindungan Konsumen

Hubungan hukum yang terjadi melalui media elektronik akan menimbulkan akibat
hukum bagi pihak lain, oleh karenanya hukum telematika erat kaitannya dengan
perlindungan konsumen untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat. Perlindungan
konsumen itu sendiri menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyebutkan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untukmemberi perlindungan kepada konsumen”.

Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan


“perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Di dalam penjelasan

25
Ibid.

41
Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai berikut :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat ebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antarkepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Menurut pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen


bertujuan :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

42
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.

Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat


dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada
saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).26 Perlindungan hukum terhadap
konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre
purchase) dapat dilakukan dengan cara antara lain :

1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat
sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen
melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya
peraturan perundangan tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan
sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang
mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
2. Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang
dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, di mana dengan cara ini pelaku usaha
diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-
hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.27

Dengan diundangkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik


sebenarnya sudah mengakomodir bagaimana tata cara bertransaksi elektronik. Urusan yang
diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah didasarkan pada
urusan transaksi elektronik yang meliputi transaksi bisnis dan kontrak elektronik. Masalah
yang mengemuka dan diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
tersebut adalah hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari
26
Johanes Gunawan, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan,Bandung,
hal. 3.
27
Ibid.

43
Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan
Tanda Tangan Elektronik. Juga secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang
sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. Urusan transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 5 s/d 22 UU ITE
merupakan inti dari masalah keperdataan dan bisnis. Urusan ini menjelaskan teknisnya
yang khususnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya
konsumen.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sumber – sumber hukum konsumen dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :


Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR; Hukum Konsumen dalam Hukum
Perdata; dan Hukum Konsumen dalam Hukum Publik. Prinsip – prinsip umum
perlindungan konsumen, yaitu : Prinsip Manfaat; Prinsip Keadilan; Prinsip
Keseimbangan; Prinsip Keamanan dan Keselamatan Konsumen; dan Prinsip
Kepastian Hukum.

2. Sumber-sumber hukum telematika dapat dibagi menjadi sumber hukum yang


sifatnya internasional yang terdiri dari : Konvensi-konvensi internasional publik

44
dan perdata; Kebiasaan-kebiasaan internasional; Policy international di bidang
cyber law misalnya Uniform Domain Name Resolution Dispute Policy (UDRP).
Data-data pribadi meliputi: data-data menyangkut hal-hal yang sangat privat
seperti data rekam medis, data keluarga, serta informasi yang sifatnya sangat
pribadi lainnya seperti nama gadis ibu kandung, data transaksi dan pembayaran
kartu kredit, dan lain-lain yang berpotensi digunakan oleh orang lain untuk
tindakan kejahatan dan mencari keuntungan secara ilegal. Sebagai contoh data
yang menyangkut berapa saldo yang masih tersedia sebagai fasilitas pemberian
plafon dalam kartu kredit dapat diketahui apabila pihak yang menghubungi card
center penyelenggara kartu kredit dapat mengungkapkan data-data tersebut.
Dalam kaitan dengan pengamanan ini BI dapat bekerja sama dengan Indonesia
Computer Emergency Response Team (ID-CERT) yang berfungsi sebagai contact
point tentang masalah security, menyebarkan informasi masalah security, tempat
pelaporan insiden yang dapat ditindaklanjuti melalui pembuatan data statistik
kasus, dan sebagai motor dalam sosialisasi security termasuk pemberian security
advisory dan layanan informasi di bidang keamanan lainnya. Masyarakat dapat
melakukan gugatan secara perwakilan (class action) terhadap pihak yang
melakukan penyalahgunaan di bidang teknologi informasi yang akibatnya dapat
merugikan masyarakat. Gugatan semacam ini tidak dimaksudkan untuk
memperoleh ganti rugi, kecuali untuk memperoleh hak untuk tindakan tertentu
saja. Berkaitan dengan internet banking akan dimungkinkan masyarakat
menggugat bank yang menyodorkan kontrak baku yang benar-benar memberatkan
nasabah, atau bank yang merugikan masyarakat karena kegagalannya dalam
sistem keamanan (security).

3. Telekomunikasi terdiri dari kata “tele” yang berarti jarak jauh (at a distance) dan
“komunikasi” yang berarti hubungan pertukaran ataupun penyampaian informasi.
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi, definisi telekomunikasi adalah sebagai kegiatan pemancaran,
pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau

45
sistem elektromagnetik lainnya. Hubungan hukum yang terjadi melalui media
elektronik akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain, oleh karenanya
hukum telematika erat kaitannya dengan perlindungan konsumen untuk
melindungi kepentingan hukum masyarakat. Perlindungan konsumen itu sendiri
menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untukmemberi perlindungan kepada konsumen”.

B. Saran

1. Kepada pihak konsumen yang hendak melakukan transaksi dimedia internet


kiranya lebih memperhatikan unsur kehati-hatian dalam melalukan transaksi,
kenali terlebih dahulu alamat web yang menyediakan jasa jual beli dimedia
internet serta pahami klausula baku yang diadakan oleh pihak pelaku usaha atau
penjual. Serta memahami hak dan kewajiban penjual dan pembeli.

2. Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang baik
dalam mengarahkan proses berlangsungnya perlindungan rahasia data pribadi dan
privasi di internet dalam kehidupan sehari-hari.

3. Alangkah baiknya, jika ini tidak hanya dijadikan sebagai materi yang membantu
proses pemahaman mahasiswa saja namun, dapat digunakan langsung atau
dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam proses
pembelajaran.

46
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Campbell Henry. (1979). Black’s Law Dictionary (Fifth Edition). West Publishing Co: ST.Paul.

Darus Badrulzaman Mariam. Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian
Baku ( Standar ),dalam BPHN, Simposium Aspek- Aspek Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011.

Johanes Gunawan. (1999). Hukum Perlindungan Konsumen. Universitas Katolik Parahyangan.


Bandung.

Jonathan. (1996). CyberLaw: The Law of The Internet. New York: Springer-Verlag.

Makarim Edmon. (2005). Pengantar Hukum Telematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

47
Nasution Az. (1995). Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka: Sinar Harapan.

Nasution Az. (1999). Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Daya Widya.

Nugroho, Susanti. A. (2008). Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Dintinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya (Edisi 1). Jakarta: Prenadamedia Group.

P, Sugeng. S. (2020). Hukum Telematika Indonesia (Edisi 1). Jakarta: Prenadamedia Group.

Tri Siswi Kristiayanti Celina. (2011). Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi 3) . Jakarta: Sinar
Grafika.

Skripsi

Apriyanti. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce Di


Tinjau Dari Hukum Perikatan. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah: Jakarta.

Mantri, B. (2007). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce.


Fakultas Ilmu Hukum. Universitas Diponegoro: Semarang.

Internet

Aspek Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen dan Telekomunikasi.


https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://elib.unikom.ac.id/
download.php%3Fid
%3D141633&ved=2ahUKEwiXrqu17_b7AhWQ9DgGHTMbB5YQFnoECAwQAQ&usg=AOv
Vaw1ltirDTJoXH6pEN6gGYHL5 (Diakses pada 12 Desember 2022, pukul 20:20 WIB).

Ramli, Ahmad. M . Modul 1. Hukum Telematika. https://www.google.com/url?


sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.ut.ac.id/4081/1/HKUM4301-
M1.pdf&ved=2ahUKEwjzhd6-

48
9_b7AhU7V2wGHVaFDpkQFnoECBQQAQ&usg=AOvVaw2_YuVQkyxoa6Vgyc099owM.
(Diakses pada 12 Desember 2022, pukul 20:20 WIB).

Status Hukum. “ Perlindungan Hukum Represif”. http://statushukum.com/tag/perlindungan-


hukum-represif (Artikel diakses pada 10 Desember 2022, pukul 20:20 WIB).

www.detik.com (Diakses pada 13 Desember 2022, pukul 22:35 WIB).

www.antaranews.com (Diakses pada 13 Desember 2022, pukul 23:03 WIB).

49

Anda mungkin juga menyukai