Anda di halaman 1dari 20

PERADILAN AGAMA PADA MASA OERDE LAMA

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Peradilan Agama
Program studi Ilmu Hukum

DOSEN PENGAMPU :

FADHIL YADZID., SH., M.Kn

DISUSUN OLEH :

DELVIYANI WIDYA LESTARI (20111002)

UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

FAKULTAS HUKUM

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Peradilan Agama” ini dengan baik,
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Saya juga berterima kasih pada Bapak Fadhil
Yadzid., SH., M.Kn selaku Dosen mata kuliah Hukum Peradilan Agama yang telah memberikan
tugas ini kepada saya.

Saya sangat berharap, makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya, bahwa didalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, berharap adanya kritik, saran, dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat dikesempatan-kesempatan berikutnya,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata - kata yang kurang
berkenan dihati.

Wassalamualaikum Warahmatullahi.Wabarakatuh.

Medan, 10 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I........................................................................................................................1

PENDAHULUAN....................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3

BAB II.......................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................4

A. Pengertian Peradilan Agama........................................................................4

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia................................4

C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama..............................5

D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama.7

E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama.......................14

BAB III...................................................................................................................15

PENUTUPAN........................................................................................................15

iii
A. Kesimpulan................................................................................................15

B. Saran...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman1 telah cukup memakan waktu yang sangat
panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian,
karena memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya
dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas)
dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
melaksanakannya secara paripurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui
berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan.2 Oleh karena itu pertumbuhan Islam
selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3 Jabatan hakim dalam Islam
merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri
merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam
keadaan bagaimanapun juga.4

Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama


keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang

1
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya
di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57.
2
Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-
10 Januari 1990, hlm. 71.
3
Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
4
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.

1
di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan
kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang
sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.5 Hal ini karena masyarakat Islam sebagai
anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan orang
perseorangan maupun pergaulan umum.6

Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya
Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya
peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-
perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan hokum yang berkembang dalam Masyarakat.7

Sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan atau


eksistensi Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga dengan pembahasan ini kita
dapat memahami sejarah Peradilan Agama pada masa orde lama, mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pemakalah pribadi.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan pembahasan ini
menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah :
1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?
2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam di Indonesia?
3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama?
4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan Agama pada masa
orde lama?
5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama?

C. Tujuan Penulisan
5
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…
6
Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
7
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.

2
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan pemakalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut ;

1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.


2. Menjelaskan bentuk Peradilan Agama di Indonesia.
3. Menjelaskan kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama.
4. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama pada masa
orde lama.
5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat lingkungan
Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia dan juga salah satu
diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya
berwenang di bidang perdata tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama
Islam di Indonesia.

Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di
Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka ragam
sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah
Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche
Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli
Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun 1957
yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang dibentuk baru
dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Peradilan Agama adalah


sebutan resmi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan
tetapi, akan timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang dimaksud merupakan
Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya Peradilan Islam di Indonesia?
8
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.17.

4
Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu stbl.
1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan Agama
berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-
perkara tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-orang yang beragama Islam,
semata-mata perkara yang bersifat perdata.9

Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaannya, yang
menyatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi
tidaklah komplit mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang universal.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara
universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai
prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan
dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau negara tertentu saja. Dirangkainya
“Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan
Agama tersebut hidup di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan
hukum Islam di satu pihak dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya.

C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di
Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau
abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat
dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait
mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah
adanya isu tentang terjadinya konflik antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada

9
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.

5
intinya konflik ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di
Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. 10

Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie ternyata
masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di
legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum adat
dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat)
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah
hukum Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah
menerimanya.

Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan peradilan
agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena politik kaum
kolonialisme yang tidak mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih
tetap diberlakukan, baik menyangkut kompetensi absolutnya maupun menyangkut
kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya, sehingga quasi peradilan sebagaimana
disebutkan sebelumnya masih tetap berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-
undang No. 19 Tahun 1964, eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan,
bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping peradilan umum,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang
menggembirakan adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah diterbitkan
suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama diluar Jawa, Madura
dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan
peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4 lingkungan Peradilan Negara.11

Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal dan akhir
pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970

10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 204.
11
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-
agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.

6
sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi
pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir
tahun 1989 suasana kesemuan dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu
sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang
dan tidak sempurna.12

D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai Peradilan
khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas
kekuasaannya.

Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu kita
ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan untuk
mempertahankan keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun
1957, PP No. 45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang akan
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957

Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun


1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang bertugas mengadili perkara-
perkara yang bertalian dengan Agama Islam.
Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak tanggal 1
Agustus 1946 atas tuntutan rakyat sebagai hasil revolusi kemerdekaan
yang sesuai dengan hasrat masyarakat di Aceh, sehingga dibentuklah

12
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.

7
Mahkamah syar’iyyah yang diakui sah oleh wakil Pemerintah Pusat di
Pemantang Siantar. Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya terdapat di Aceh,
tetapi juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu
Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13

Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan


kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,14 Mahkamah Syar’iyyah di
Aceh berjalan lancar. Akan tetapi, ketika semua pegwai jawatan negara
Republik Indonesia dipusatkan di kementerian agama dan Perdana
Menteri Pemerintah Darurat meninggalkan Aceh, maka Mahkamah
Syar’iyyah tidak ada lagi yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai
dasar hukum yang kuat.

Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah Syar’iyyah


tersebut, menimbulkan pergejolakan di kalangan masyarakat. Dalam
rangka meredakan pergejolakan serta untuk memberikan landasan yang
kuat bagi eksistensi Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa
dan Madura, maka diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah untuk
daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957. Menurut PP No.
29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada Pengadilan Negeri di
Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari
sekurang-kurangnya seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-
banyaknya 8 orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 1957.

13
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam, Hukum
Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.73.

14
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.

8
Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi:
1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut menurut
hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk,
fasakh, serta hadhanah.
3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal, dan lain-lain
berhubungan dengan itu.
4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik talak sudah berlaku.15

Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan dasar hukum
Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat beragam.
1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957.
2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut Majelis Agama Islam
didasarkan ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tanggal 1 Agustus
1950 No. 350 yang telah diaktivir dengan Peraturan Menteri Agama No. 2
Tahun 1953.
3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 15 Tahun
1952.16

Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan serta ditambah


dengan penampungan banyak pejabat-pejabat Badan Peradilan Agama dalam
formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun
1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk,
sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus, sehingga perkara-
perkara yang menjadi wewenang pengadilan tidak mendapat pelayanan yang
semestinya. Selain itu juga, untuk melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat
No. 1 Tahun 1951, maka daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No.
45 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama
(Mahkamah Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama dengan PP No. 29
Tahun 1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957 ternyata tidak dapat memberikan
15
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
16
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.

9
penyelesaian bagi daerah-daerah yang lain secara integratif, maka PP No. 29
Tahun 1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga digantikan oleh
PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.17

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan tentang


pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di daerah luar
Jawa dan Madura. Peraturan Pemerintah ini menjelaskan bahwa
pelaksanaan dari peraturan ini diatur oleh Menteri Agama sebagaimana
yang disebutkan didalam pasal 12.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan memerhatikan Surat


Penetapan Menteri Kehakiman pada tanggal 27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6
tentang Kedudukan Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Pengadilan Negeri,
pada 13 November 1957 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri
Agama No.58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan
Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi,
kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi di Banjarmasin dan 34 Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1
Pengadilan Agama/ Mahkamah Provinsi di Makassar.18

Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan Agama di


daerah-daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-cabang kantor

17
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
18
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.

10
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah, tidak hanya di luar Jawa dan
Madura tetapi juga di daerah Jawa dan Madura.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan Pemerintah No. 45


Tahun 1957.

Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-perkara yang


dijelaskan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang berbunyi:

“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara


suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum
yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan
nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan),
mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf,
hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa
syarat ta’lik sudah berlaku.”19

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada hakikatnya


isi dan wewenang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1957 sama dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan peraturan
sebelumnya, akan tetapi, pembentukan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif dan integratif,
dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di seluruh
penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
tidak hanya di Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah
lainnya.

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

19
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

11
a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No.
14 Tahun 1970

Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang


Dasar 1945, maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah Undang-Undang
No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Menurut undang undang ini, Peradilan Negara Republik
Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi
pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan
disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai
lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2) dari undang-undang
tersebut menyatakan bahwa:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:


a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara

(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.20

Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu
dari lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia, di
samping tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan Peradilan Negara yang sah
lainnya. Mahkamah Agung dan keempat lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah
kekuasaan yang merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam undang undang baru ini

20
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1989), hlm. 5.

12
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena sejak
tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang
merdeka secara utuh, melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan
lain.

Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di dalam pasal 2 Undang-


undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:

“Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa, mengadili


serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain daripada yang
tersebut di ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan.”21

Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan Agama adalah di
bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain. Adapun hubungan Peradilan
Agama dengan Departemen Agama sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan
Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang organisatoris, administratif, dan
keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 yang berbunyi:

“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1),


organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing
departemen yang bersangkutan.”22

E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan Agama
semakin kuat. Pada tahun 1972 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 34 Tahun
1972 terbentuk 4 kantor Peradilan Agama dan 6 cabang kantor Peradilan Agama/

21
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.
22
UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).

13
Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah Provinsi Riau, Jambi, Aceh, dan Sumatera
Utara.23
Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam suratnya
tanggal 15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972 secara kuantitas jumlah
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia sampai dengan Tahun 1972 adalah sebagai
berikut:
a. Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah
b. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa, Madura 152 buah
c. Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah
d. Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding untuk luar Jawa 60
buah
e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding untuk wilayah Jawa 1
buah
f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah
g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan Agama 11 buah.24

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada masa orde lama kekuasaan
Peradilan Agama sudah mulai kuat keberadaannya, hal ini disebabkan oleh adanya
kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan tugasnya tanpa ada pengaruh dari
kekuasaan pemerintah. Selain itu juga dapat kita liat perkembangan Peradilan Agama
yang cukup pesat dengan ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan
Indonesia.

23
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.
24
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

14
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan Agama
sudah ada sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama mengalami
pengalaman dinamika yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama
membutuhkan proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara
Indonesia, khususnya pada masa orde lama yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970
yang memperkuat wewenang Peradilan Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3
peradilan yang lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.

Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa orde lama, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957


2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

B. Saran

Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai Peradilan Agama,


hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi lebih
baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan
Peradilan Agama.

Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang lebih baik, maka para
penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-
peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2002.

_______, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-10
Januari 1990.

Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-


agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.

Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta: Prenada Media, 2006.

Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

_______, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989.

Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan


Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.

16

Anda mungkin juga menyukai