Anda di halaman 1dari 23

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

YURISPRUDENSI DAN PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PERADILAN


AGAMA DI Indonesia

Makalah Ini Disusun Untuk Melengkapi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama

DOSEN PENGAMPU
Hj. DIAN AMELIA S.H.,M.H

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 2.4

KELOMPOK VI ( ENAM )
ALYA SASABILA SIAHAAN ( 2110113088 )
ANNISA NURUL AINI ( 2110113073 )
FADILA ANGGRAINI ( 2110113083 )
NAJMI NASYITHALILLAH ( 2110113954 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT dimana berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama yang berjudul “YURISPRUDENSI DAN PERKEMBANGAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA”. Sholawat serta salam semoga senantiasa
dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan utama dalam penulisan tugas makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, selain itu tugas makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan pembaca dan penulis tentang Yurisprudensi dan
Perkembangan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................3
1.4 Manfaat........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Peradilan Agama.............................................................................4
2.1.1 Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda..............................9
2.1.2 Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang................................9
2.1.3 Peradilan Agama pada awal Kemerdekaan........................................10
2.1.4 Peradilan Agama sejak tahun 1974....................................................10
2.2 Peradilan Agama Dalam Negara Republik Indonesia..................................11
2.2.1 Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara......................................11
2.2.2 Hubungan Peradilan Agama dengan Peradilan Lainnya....................11
2.3 Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Di Peradilan Agama Dalam
Perkembangan Sejarah Peradilan Agama....................................................12
2.3.1 Pengertian Yurisprudensi...................................................................12
2.3.2 Prasyarat Suatu Putusan Menjadi Yurisprudensi................................13
2.3.3 Peran Yurisprudensi di Peradilan Agama...........................................15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat) tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (mache staat), yang berarti bahwa segala aspek dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara haruslah didasarkan atas aturan hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis.
Di dalam sistem hukum nasional, Indonesia mengenal berbagai sumber hukum.
Secara teoritis dapat dikemukakan, bahwa "yurisprudensi" merupakan salah satu sumber
hukum yang ada selain sumber hukum lainnya seperti undang-undang, kebiasaan, traktat atau
perjanjian dan doktrin atau pendapat ahli hukum terkemuka.
Di zaman mutakhir seperti sekarang ini, dimana semua aspek kehidupan masyarakat
mengalami perkembangan yang sangat masif, UU dalam bidang apapun tidak akan mampu
memenuhi semua kebutuhan hukum di masyarakat. Sehingga bagaimanapun badan legislatif
bekerja, hal-hal yang timbul di masyarakat ternyata lebih masif lagi. Lagi pula pembuat
undang-undang tidak mungkin menggambarkan semua persoalan yang bakal terjadi di
kemudian hari. Oleh karena itu sering terjadi banyak persoalan dalam masyarakat yang belum
ada peraturan hukumnya. Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, merupakan acuan
dalam tindakan memutus dari hakim, yang ditujukan ntuk menyelesaikan suatu perselisihan
tertentu.
Oleh karena itu putusan hakim pada dasarya selalu berupa penyelesaian yang hanya
berlaku untuk hal yang kongkrit yang menjadi perselisihan yang sedang di putuskan dan
hanya mengikat kepada pihak-pihak yang bersangkutan (kecuali dalam hal-hal yang bersifat
"ergaomnes")." Meskipun begitu yurisprudensi tetaplah menjadi kebutuhan fundamental
sebagai landasan hakim untuk memutus perkara dalam kasus yang sama.
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakimam menjelaskan, bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya sesuai dengan pasal 16, ayat (I). Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 28, ayat (1).
Jadi dalam keadaan bagaimanapun, hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara
yag diajukan kepadanya. Masyarakat tidak merasakan adanya kedamaian selama ada perkara

1
yang tidak atau belum diselesaikan. Dari sinilah timbul apa yang dinamakan yurisprudensi,
yaitu putusan hakim (pengadilan) yang memuat peraturan sendiri kemudian di ikuti dan di
jadikan dasar putusan oleh hakim yang lain dalam perkara yang sama.
Sejarah peradilan telah mencatat tidak sedikit hukum yang merupakan ciptaan hakim
melalui putusan-putusan yang lebih di kenal dengan nama "yurisprudensi" yang melengkapi
peraturan hukum in-abstrakto yang belum ada, maupun menyelaraskan peraturan hukum in
abstrakto yang sudah ada dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat Menyadari akan arti pentingnya kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum
untuk memperkaya informasi dan literatur hukum agar dapat dijadikan acuan bagi hakim
berikutnya, maka penulis berminat untuk meneliti seberapa besar kontribusi hakim di
Indonesia (kecuali, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam karena telah memiliki undang-
undang tersendiri) khususnya hakim di peradilan agama dalam memakai dan menghasilkan
yurisprudensi, serta perkara-perkara apa saja yang telah di putus oleh hakim, terutama hakim
pengadilan agama Jakarta Selatan hingga menjadi yurisprudensi.
Berbicara mengenai sejarah peradilan agama di Indonesia, dapat dilihat sejak zaman
kejayaan kerajaan-kerajaan Islam yang ada. Perjalanan kehidupan pengadilan agama
mengalami pasang surut.
Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang ada sesuai dengan nilai-nilai Islam dan
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya
dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali
mengalami berbagai rekayasa dari kolonial Belanda dan golongan masyarakat tertentu agar
posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat
maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah
berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-
masing. Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu
pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu
biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut
"Pengadilan Serambi".
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau
isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Keadaan demikian adalah merupakan hal yang wajar, karena agama Islam yang masuk ke

2
Indonesia sekitar abad ke tujuh/kedelapan masehi, telah berkembang secara meluas menjadi
agama yang paling banyak pemeluknya.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (lihat pasal
1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang
menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia ?
2. Bagaimana peradilan agama di Indonesia ?
3. Bagaimana kedudukan Yurisprudensi sebagai sumber hukum di Peradilan Agama ?

1.3 Tujuan
1. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai perkembangan suatu Hukum
Acara Peradilan Agama di Indonesia
2. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai Peradilan Agama di Indonesia
3. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai Yurisprudensi sebagai sumber
hukum di Peradilan Agama

1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, baik bagi penulis maupun pembaca itu sendiri dalam memperluas pengetahuan dan
wawasan mengenai Hukum Acara Peradilan Agama.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Peradilan Agama


Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya
wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi
dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami
berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar
posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat
maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah
berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-
masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M,
merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di
bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada
pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa
Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat
besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan
Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama
Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara
damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan
mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama
Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas
masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara
berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan
lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu,
maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap
memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas
menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih

4
dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut
pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan
ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat
dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan
hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan
wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan
olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga
proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla
al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada
permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat
sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan
bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam
yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu
wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan,
maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally
wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah
peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau
disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah
periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah
terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-
amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu
pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu
biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut
"Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di
seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau
hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau
isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut.
Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak
terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus

5
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC,
kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri
dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan
karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum
Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha
tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada
tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan
"landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire
verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita
barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns
berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang
Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor
24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang
pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan
kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah
ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan
agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah
wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial
Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak
mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta
di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor
5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian
Kehakiman ke dalam KementrianAgama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi
seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat
nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas
maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).

6
Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung
ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja
dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan,
sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai
nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-
prinsip sebagai berikut :
1. Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa";
2. Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha
Negara;
3. Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
4. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris,
administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan.
5. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing
diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian
peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di
Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan memperkokoh
keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh
pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia
dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang
telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan

7
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan
lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu
dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal
itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut
di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan
Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang
bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV
pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul
Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam
penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah
Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari
Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH.
Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua
Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun
sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya
untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi
agama.
Dati uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman
dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum
tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :
1. Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain -
yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang
memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Materi Hukum
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam
ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum
Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian
hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula
dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.
3. Personil

8
Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang
profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang
yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu
masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.

2.1.1 Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda


Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan
Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan
menggunakan hukum adat.
Sejak ahun 1800, pemerintah Hindia Belanda telah secara tegas mengakui bahwa UU
Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini
tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder
regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR) staatsblad
tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini mengakui bahwa telah
diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk
Indonesia.
Pasal 78 RR 1854 berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk
pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau
ketentuan-ketentuan lama mereka.”
Pada Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan
agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama
kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 agustus 1882 kelahiran ini
berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni Raja Willem III
tanggal 19 januari 1882 No. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No. 152. Badan peradilan
ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad
Agama dan terakhir dengan pengadilan agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan
berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No.153, sehingga
dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan Peradilan Agama di Indonesia
adalah 1 Agustus 1882.
Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda membentuk
Pengadilan di Kalimantar Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah, yang
berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.

9
2.1.2 Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang
Pada zaman Jepang, posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat
perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan
peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942,
pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi
pembentukan Gunsei Hoiin (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) di tanah Jawa dan Madura.
Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:
 Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)
 Keizai Hooin (Hakim Polisi)
 Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
 Gun Hooin (Pengadilan kewedanan)
 Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
 Sooryoo Hooin (Rapat Agama)

2.1.3 Peradilan Agama pada awal Kemerdekaan


Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor
5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian
Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi
seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah / badan yang bessifat
nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas
maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi:3)

2.1.4 Peradilan Agama sejak tahun 1974


Melalui Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI, No.14/1970, memberikan
kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan yang lain sebagai lembaga kekuasaan
Negara yang menyelenggarakan peradilan.“Kekusaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna mengakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasilan demi terselenggarnya Negara Hukum Republik Indonesia” (UU
Kekasaan Kehakiman No. 14/1970 ps.1)“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan: a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d.
Peradilan Tata Usaha Negara”. (UU Kekasaan Kehakiman No. 14/1970 ps. 10)

10
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan
lainnya.

2.2 Peradilan Agama Dalam Negara Republik Indonesia


2.2.1 Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara
Kalau peradilan agama masa sebelum panjajahan telah berjalan secara mandiri, penuh
dengan wewenang yang luas, sepenti peradilan umum sekarang,12 dan semasa penjajahan
kewenangan mengadilinya dikurangi dan dibatasi, maka setelah Indonesia merdeka sampai
sekarang, terdapat kecenderungan adanya usaha-usaha untuk memperbaiki dan
mengembangkannya.
Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 10 ayat (1) dinyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata usaha Negara.”
Dengan demikian peradilan agama mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar
dengan peradilan lainnya. Ini menghilangkan anggapan yang mulai ada sejak jaman
penjajahan, bahwa peradilan agama dianggap rendah dan kedudukannya dibawah peradilan
umum.Keempat macam peradilan tersebut masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak
ada kaitannya satu dengan yang lain. Dalam menjalankan tugasnya, secara organisatoris,
finansial dan administratif dibawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Sedang
kekuasaan mengadillnya masing-masing berdiri sendiri-sendiri dibawah Mahkamah Agung,
baik sebagai peradilan terakhir maupun sebagai pengawas.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 dan proyek-proyek kompilasi tentang peraturan peradilan Agama serta
kompilasi hukum Islam dan lain sebagainya, memberikan isyarat tentang makin membaiknya
eksistensi peradilan agama dalam Negara Republik Indonesia.

11
2.2.2 Hubungan Peradilan Agama dengan Peradilan Lainnya
Dimuka telah disinggung bahwa sekarang, kedudukan peradilan agama adalah sejajar
dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Semuanya
dibawah dan atas pengawasan Mahkamah Agung. Oleh karena itu peradilan agama hanya
mempunyai hubungan vertikal dengan Mahkamah Agung dalam proses peradilannya dan
tidak mempunyai hubungan horizontal dengan peradilan lainnya.
2.3 Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Di Peradilan Agama Dalam
Perkembangan Sejarah Peradilan Agama

2.3.1 Pengertian Yurisprudensi


Yurisprudensi berasal dari kata, "Jurisprudentia" (Latin), yang berarti pengetahuan
hukum (rechtsgeleerheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya
dengan kata "Jurisprudentie" (Belanda), dan "Jurisprudence" (Prancis), yaitu peradilan tetap
atau hukum peradilan. Kata "Jurisprudence" (Inggris) berarti teori ilmu hukum (Algemene
Rechtsleer, General Theory of Law), sedang untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan
istilah-istilah "Case Law" atau "Judge Made Law”
Pengertian yurisprudensi di negara- negara Anglo Saxon yang menganut sistem
common law seperti, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan lainnya, berbeda dengan
Negara- negara Eropa Kontinental (Daratan Eropa) yang menganut sistem civil law seperti,
Jerman, Prancis, Belanda, dan lain sebagainya.
Dalam sistem common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai, "suatu ilmu
pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain". Sedangkan
dalam sistem statute law dan civil law, diterjemahkan, "Putusan-putusan hakim terdahulu
yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain
dalam memutus perkara atau kasus yang sama".
Di dalam sistim comon law putusan- putusan hakim yang lebih tinggi dan yang diikuti
secara tetap sehingga menjadi bagian dari ilmu hukum di sebut sebagai case law atau di sebut
juga sebagai judge made law."
Lahirnya Yurisprudensi karena adanya peraturan peraturan UU yang tidak jelas atau
masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu
perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru dengan mempelajari putusan hakim
yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim
terdahulu ini yang disebut dengan yurisprudensi.

12
Yurisprudensi diciptakan berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Mengenai Kekuasaan
Kehakiman, UU ini menyatakan : pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara,
mengadili perkara dan memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada
atau kurang jelas (kabur), melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya. Hakim
diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Terdapat beberapa macam yurisprudensi, macam-macam yurisprudensi tersebut


sebagai berikut :
1. Yurisprudensi Tetap
Yurisprudensi Tetap adalah suatu putusan dari hakim yang terjadi oleh karena
rangkaian putusan yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk
memutuskan suatu perkara.
2. Yurisprudensi Tidak Tetap
Yurisprudensi Tidak Tetap ialah suatu putusan dari hakim terdahulu yang tidak
dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan.
3. Yurisprudensi Semi Yuridis
Yurisprudensi Semi Yuridis yaitu semua penetapan pengadilan yang didasarkan
pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon.
Contohnya : Penetapan status anak.
4. Yurisprudensi Administratif
Yurisprudensi Administratif adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)
yang berlaku hanya secara administratif dan mengikat intern di dalam lingkup
pengadilan.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah
hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan
Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan
bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum
yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.

2.3.2 Prasyarat Suatu Putusan Menjadi Yurisprudensi

13
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap putusan hakim yang akan dijadikan
yurisprudensi, karena tidak semua putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap harus
dipublikasikan. Hanya putusan-putusan yang punya dampak penting ditinjau dari segi hukum
dan perkembanganya, dengan tujuan demi tercapainya kepastian hukum, kesamaan hukum
dan predikbilitas.
Mahkamah Agung dalam kurun waktu 1989 sampai 1992 pernah membuat prasyarat
terhadap putusan-putuan hakim yang dapat dijadikan yurisprudensi. Putusan-putusan hakim
tersebut baru dapat di publikasikan (dijadikan yurisprudensi) apabila.
1. Putusan tersebut menarik perhatian masyarakat
2. Putusan tersebut mencerminkan pendekatan baru terhadap sesuatu masalah
hukum
3. Putusan tersebut melibatkan berbagai masalah hukum (complexitas yuridis)
4. Putusan tersebut mempertegas sesuatu aspek hukum
5. Putusan tesebut mencerminkan arah perkembangan hukum nasional
6. Putusan tersebut menyangkut kepentingan masyarakat luas
7. Putusan tersebut mencerminkan konsistensi pendirian Mahkamah Agung sebagai
suatu lembaga tinggi negara
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) tahun 1994/1995, bahwa putusan hakim dapat di sebut sebagai
yurisprudensi apabila putusan itu sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok,
a. Putusan atas sesuatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-
undangannya
b. Putusan tersebut harus sudah merupakan putusan tetap
c. Telah berulangkali diputus dengan putusan yang sama dalam kasus yang sama
d. Memenuhi rasa keadilan
e. Putusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Di dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa alasan dapat diterimanya
yurisprudensi sebagai sumber hukum adalah:
a. Adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya
b. Salah satu fungsi pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah
menciptakan sumber hukum baru
c. Hal yang baik dalam mencari dan menegakkan keadilan.

14
Maka dengan demikian putusan hakim (Mahkamah Agung) barulah dapat dikatakan
sebagai yurisprudensi apabila telah memenuhi lima unsur pokok sebagaimana hasil penelitian
di atas. Bahkan dikalangan praktisi masih dibedakan antara yurisprudensi tetap dan
yurisprudensi tidak tetap. Adapun yang dimaksud yurisprudensi tetap, ialah putusan hakim
yang terjadi karena rangkaian putusan serupa dan dijadikan dasar atau patokan untuk
memutus suatu perkara (standard arresten). Sedangkan yurisprudensi tidak tetap, ialah
putusan hakim terdahulu yang bukan standard arresten.

2.3.3 Peran Yurisprudensi di Peradilan Agama


Seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan karena belum ada aturan hukumnya, atas
nama peradilan ia diminta menemukan hukumnya sendiri. Bila ia menolak menerima perkara
maka ia bisa dikenakan sangsi pidana.
Hal ini sebagaimana telah diatur dalam pasal 22 AB (Algemene Bepalingen Van
Vetgeving/ Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan) yang berbunyi:
"'seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih bahwa undang-undang tidak
terang atau kurang lengkap, dan lain-lain, dapat dituntut karena mengingkari hukum".
Sedangkan Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan:
" Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya"
Dalam menghadapi perkara yang tidak ada atau belum jelas dasar hukumnya, hakim
diberi wewenang untuk melakukan penafsiran dengan berbagai cara penafsiran yang diakui
terhadap hukum tertulis ataupun hukum tidak tertulis yang diakui oleh hukum perdata
Indonesia. Hal itu sejalan dengan pasal 28 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang memerintahkan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Oleh sebab itu hakim dalam menafsirkan hukum dan rasa keadilan masyarakat yang
tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan dapat merumuskan putusannya sendiri
dengan cara menggali hukum yang ada di masyarakat baik itu berupa hukum adat maupun

15
hukum islam, yang mana bila putusan itu dipakai dandiikuti oleh hakim selanjutnya ia dapat
menjadi putusan yurisprudensi (bila telah memenuhi persyaratan yang ada).
Walaupun pada dasarnya hakim tidak terikat oleh yurisprudensi, namun bila ia
menghadapi kasus demikian (tidak ditemukan UU tertulisnya) ia dapat memakai putusan
hakim terdahulu (yurisprudensi) sebagai pertimbangan putusannya manakala putusan itu
sudah dianggap tepat dan adil, serta kasus yang diperiksanya sama atau hampir sama.
Pada tahun 1992/1993, Badan Pembinaan Hukum Nasional membentuk satu tim
untuk menginventarisasi, sekaligus menganalisa dan mengevaluasi yurisprudensi peradilan
agama selama 27 tahun, mulai dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1985. Dipilihnya tahun
tersebut, karena bahan-bahan yang dapat dikumpulkan adalah putusan-putusan peradilan
agama pada tahun-tahun itu. Ini berart bahwa yurisprudensi itu dibuat sebelum undang-
undang tentang peradilan agama dan Kompilasi Hukum Islam berlaku. Tim inventarisasi,
analisa, dan evaluasi Badan Pembinaan Hukum Nasional itu terdiri dari para teoritisi dari
perguruan tinggi dan BPHN serta praktisi dari pengadilan tinggi agama, pengadilan tinggi
negeri dan mahkamah agung.
Pengalaman menggali asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam untuk dijadikan
bahan baku penyusunan dan pembangunan hukum nasional melalui yurisprudensi terbukti
berhasil dengan baik waktu pembuatan kompilasi hukum Islam dahulu, yang kini berlaku
secara nasional dan karena itu merupakan bagian hukum nasional Indonesia.
Yurisprudensi peradilan agama sama makna dan unsurnya dengan yurisprudensi
peradilan umum, yang berbeda hanyalah ruang lingkupnya. Ruang lingkup yurisprudensi
peradilan agama terbatas pada hukum yang menjadi wewenangnya dan hukum acara
peradilan agama. Yurisprudensi peradilan agama merupakan jalan terbaik untuk di tempuh
dalam pengembangan hukum islam di Indonesia. Yurisprudensi peradilan agama yang telah
di analisis dan di evaluasi oleh tim analisa dan evaluasi peradilan agama di mahkamah agung
dapat di kembangkan menjadi yurisprudensi tetap, karena bersifat mengembangkan kaidah
hukum Islam dan menjamin kepastian hukum di lingkungan peradilan agama.

16
17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peradilan Agama yang merupakan lambang kekuasaan hukum Islam eksistensinya
berbarengan dengan berlakunya hukum Islam, karena keduanya tidak dapat dipisahkan.
Keadaan demikian itu sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia dijajah Oleh Belanda.
Dimasa penjajahan Belanda, eksistensi Peradilan agama tersebut terus berlangsung, walaupun
terdapat usaha-usaha untuk mengebirinya dan dibuat mandul. Pada masa Penjajahan Jepang,
demikian juga keadaannya. Kenyataan ini membuktikan bahwa peradilan agama mutlak
diperlakukan oleh Ummat Islam di Indonesia, yang merupakan mayoritas penduduk. Usaha-
usaha untuk menghapuskan peradilan agama bagikan gajah yang bersikeras ingin masuk ke
lubang jarum.
Setelah Indonesia merdeka, terutama sejak masa pemerintah orde baru, kenyataan
menunjukkan adanya kecenderungan yang lebih baik dalam menempatkan peradilan agama
didalam konstalasi peradilan di Indonesia, walaupun belum memuaskan. Semua itu sejalan
dengan kesadaran umat terhadap Islam. Kesadaran hukum masyarakat yang disalurkan
melalui peradilan Agama mempunyai arti besar dalam pembentukan politik hukum
pemerintah. Dengan demikian semakin ummat berkomitmen kepada Islam, semakin sadar
perlunya hukum islam bagi dirinya, semakin tegak dan tegarlah peradilan agama dimasa
mendatang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Agus A.A.. (2005). Konstribusi Hakim Peradilan Agama dalam Proses Pembentukan
Yurisprudensi. UIN Syarif Hidayatullah.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag .
diakses pada tanggal 17 Mei 2023.
Muhyidin. (2020). Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Jurnal Gema Keadilan. Vol
7, Edisi 1.
Yurisprudensi - Pengadilan Agama Sumber Kelas IA (pa-sumber.go.id). diakses pada tanggal
17 Mei 2023.

19

Anda mungkin juga menyukai