Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH DAN KEDUDUKAN YURISPRUDENSI SERTA PERBEDAAN

YURISPRUDENSI TETAP DAN TIDAK TETAP


MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fatwa dan Yurisprudensi

Dosen Pengampu: Cholis Rosyidatul Husnah, S.H., M.H.

Oleh:

Fajar Ilhami 214102010012


Hanifah A’inur Rohmah 214102010022
Sascia Dwi Putri Masruroh 214102010016

Mohammad Nurhadi 212102010016

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KYAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


NOVEMBER 2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita sehingga perencanaan, pelaksanaan, dan
penyelesaian makalah sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Fatwa dan
Yurisprudensi bisa terselesaikan dengan lancar.

Keberhasilan ini kami dapatkan karena dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu,
kami menyadari dan menyampaikan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada:

1. Ibu Cholis Rosyidatul Husnah, S.H., M.H. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Fatwa dan
Yurisprudensi yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

2. Mahasiswa dan Mahasiswi Hukum Keluarga 4 yang turut membantu untuk melengkapi
kekurangan dalam makalah ini.

Akhirnya, semoga segala amal baik yang telah Ibu dan Teman-teman seperjuangan
berikan kepada kami mendapat balasan yang baik dari Allah SWT.

Jember, 18 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Sejarah dan Dasar Pembentukan Yurisprudensi di Indonesia ........................................... 3
B. Syarat-Syarat Bagi Suatu Keputusan Hakim Bisa Dijadikan Yurisprudensi ..................... 4
C. Prosedur Penetapan Yurisprudensi .................................................................................... 7
BAB III .................................................................................................................................... 10
PENUTUP................................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan...................................................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menetapkan putusan, masing-masing hakim di Indonesia memiliki
kebebasan yang cukup untuk memutus perkara dengan dasar Undang-Undang
yang ada. Tidak jarang hakim juga harus menyelaraskan ketentuan hukum dalam
Undang-Undang dengan kenyataan karena ketentuan hukum dalam Undang-
Undang tersebut terkadang tidak lagi memadai atau tertinggal di belakang fakta
hukum yang ada. Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin “iuris prudential” yang
berarti ilmu hukum. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
“jurisprudentie” yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap. Istilah ini
banyak digunakan pada negara-negara common law yang menganut mazhab freie
rechtsbewegung dimana hakim adalah pencipta dan bukan hanya sekedar corong
Undang-Undang. Pada negara-negara common law, yurisprudensi adalah ilmu
pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain.
Namun, tidak demikian dengan negara-negara statute law / civil law yang banyak
menganut mazhab legisme yang tidak mengakui hukum diluar Undang-Undang.
Yurisprudensi diartikan sebagai berupa putusan-putusan hakim terdahulu yang
telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan
lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.
Sedangkan di Indonesia, meski mendapatkan pengaruh hukum kolonial
Belanda, dianut mazhab rectsvinding dimana hakim tetap harus berpegang pada
Undang-Undang namun diberi ruang gerak untuk menyelaraskan Undang-Undang
yang ada dengan tuntutan zaman, sehingga yuriprudensi masuk sebagai salah satu
sumber hukum formal. Tata urutan sumber hukum formal di Indonesia sebagai
berikut:
1. Undang-Undang;
2. Adat Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat;
5. Doktrin ahli hukum.

1
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hakim di
Indonesia, sebagaimana telah disebut, menganut aliran rechtsvinding dimana
hakim diberikan keleluasaan, berdasarkan Undang-Undang, untuk menyelaraskan
hukum yang ada dalam Undang-Undang. Hal ini untuk mencegah hukum
tertinggal dari fenomena kemajuan zaman dimana delik atau peristiwa hukum
yang terjadi mungkin belum diatur dalam Undang-Undang.1
Di Indonesia, yurisprudensi telah diakui sebagai sumber hukum formal sejak
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Yurisprudensi memainkan
peran penting dalam melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam
penerapan hukum dan memaksimalkan kepastian hukum. Terdapat beberapa
macam yurisprudensi, yaitu yurisprudensi tetap, yurisprudensi tidak tetap,
yurisprudensi semi yuridis, dan yurisprudensi administratif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya yurisprudensi antara lain
peraturan perundang-undangan yang kurang atau tidak jelas pengertiannya,
sehingga menyulitkan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Yurisprudensi juga memiliki peran penting dalam sistem hukum Islam, di
mana yurisprudensi dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam dan dapat
membantu hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan dasar pembentukan yurisprudensi di Indonesia?
2. Apa saja syarat-syarat bagi suatu keputusan hakim bisa dijadikan
yurisprudensi?
3. Bagaimana prosedur penetapan yurisprudensi?

C. Tujuan
1. Untuk memahami sejarah dan dasar pembentukan yurisprudensi di Indonesia.
2. Untuk memahami syarat-syarat bagi suatu keputusan hakim bisa dijadikan
yurisprudensi.
3. Untuk memahami prosedur penetapan yurisprudensi.

1
https://ebook.bldk.mahkamahagung.go.id/index.php/product/147-kedudukan-dan-relevansi-yurisprudensi-
untuk-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan/ Di Akses Pada Senin, 20 November 2023 14.30 WIB.
2
https://pascasarjana.umsu.ac.id/sejarah-dan-fungsi-hukum-yurisprudensi/ Di Akses Pada Senin, 20
November 2023 15.00 WIB.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Dasar Pembentukan Yurisprudensi di Indonesia
Sejarah yurisprudensi ini memiliki akar yang panjang dan melibatkan evolusi
sistem hukum dari masa ke masa. Awalnya, yurisprudensi terkait erat dengan hukum
Romawi dan Yunani kuno, di mana pemikiran hukum diungkapkan dalam tulisan-
tulisan para filosof dan orator.
- Pada Abad Pertengahan, yurisprudensi mengalami perkembangan di bawah
pengaruh hukum kanonik (gereja) dan hukum umum. Renaissance
memperkenalkan revival studi hukum Romawi, yang memperkaya landasan
yurisprudensi.
- Pada era modern, yurisprudensi terus berkembang dengan kontribusi dari pemikir
hukum seperti William Blackstone dan Jeremy Bentham. Revolusi industri
membawa perubahan besar dalam struktur hukum dan menghadirkan tantangan
baru untuk dipahami dan diatasi melalui yurisprudensi.
- Dalam beberapa abad terakhir, yurisprudensi telah menjadi lebih kompleks
dengan pengaruh hukum positif, yaitu hukum yang tertulis, serta perkembangan
hukum internasional. Yurisprudensi terus berperan dalam membentuk norma
hukum dan memberikan interpretasi terhadap hukum yang berlaku.3

Yurisprudensi ini berasal dari kata“iuris prudential” (Latin), “Jurisprudentie”


(Belanda), “jurisprudence” (Perancis) yang beratri “ Ilmu Hukum” (Black’s law
dictionary, edisi II, 1979). Yurisprudensi merupakan sebuah keputusan-keputusan dari
hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu
perkara yang sama. Lahirnya Yurisprudensi ini karena adanya suatu peraturan UU
yang tidak jelas atau masih samar, sehingga menyulitkan hakim untuk membuat
keputusan mengenai suatu perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru
dengan mempelajari putusan hakim yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang
sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim terdahulu ini yang disebut dengan
yurisprudensi. Sedangkan Dalam system common law, yurisprudensi diartikan : Suatu

3
Anugrahdwi,Sejarah dan Fungsi Hukum Yurisprudensi,https://pascasarjana.umsu.ac.id/sejarah-dan-fungsi-
hukum-yurisprudensi/,Diakses pada 21November 2023,(Medan, Sumatera Utara,juni 2023.

3
ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungan dengan hukum lain”.
Sedangkan dalam system statute law dan civil law, diartikan sebagai “Putusan-
putusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para
hakim atau badan peradilan lain dalam memutus suatu perkara atau kasus yang sama”.

Menurut Prof. Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah “Putusan-


putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung
sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat
pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali
putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung
dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum
yurisprudensi .

Yurisprudensi ini diciptakan berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Mengenai


Kekuasaan Kehakiman, dalam UU ini dinyatakan : pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa perkara, mengadili perkara bahkan memutuskan perkara yang
diajukan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas (samar), melainkan wajib
memeriksa serta mengadilinya. Hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan
memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat.4

B. Syarat-Syarat Bagi Suatu Keputusan Hakim Bisa Dijadikan Yurisprudensi


Dalam membuat suatu putusan, yang terpenting bagi hakim adalah fakta dan
peristiwanya dimana dari fakta atau peristiwa tersebut dan telah setelah dibuktikan
hakim dapat menemukan hukum. Seorang hakim harus mampu mengeneralisir suatu
peristiwa yang telah dianggap benar melalui pembuktian. Dalam perkara perdata,
Hakim dalam pertimbangan hukum pada putusannya wajib melengkapi alasan-alasan
hukum yang tidak dicantumkan oleh para pihak.
Hakim harus memastikan peristiwa-peristiwa konkret yang disengketakan
melalui suatu pembuktian untuk kemudian dicarikan hukum yang sesuai. Inilah yang
dinamakan penemuan hukum (rechsvinding). Penemuan hukum bukanlah suatu
kegiatan yang berdiri sendiri melainkan suatu kegiatan yang bersinambungan dengan
kegiatan pembuktian. Dalam hal ini undang-undang harus disesuaikan dengan

4
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4
peristiwanya yang konkret agar undang-undang dapat ditetapkan. Contoh kasus
menyadap aliran listrik orang lain yang dikualifikasikan sebagai perbuatan mengambil
barang milik orang lain dengan melawan hukum di mana perbuatan tersebut
melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP mengenai pencurian.5
Dalam memutus suatu perkara hakim dapat menemukan hukumnya dari
berbagai sumber hukum hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber
hukum tertulis terdiri dari undang-undang, hukum trakat dan yurisprudensi.
Kemudian hukum tidak tertulis terdiri dari kebiasaan tidak tertulis, putusan desa dan
doktrin.6
Yurisprudensi semula merupakan doktrin yang berkembang dari ajaran
“hukum yang dibuat oleh hakim” (judge made law). Montesquieu mengatakan bahwa
badan peradilan sebagai salah satu unsur trias politica menjalankan kekuasaan
mengawasi pelaksanaan hukum dan menegakkan hukum. Dalam perkembangannya,
selain mengawasi pelaksanaan hukum dan menegakkan hukum, badan peradilan juga
bertugas sebagai pencipta (pembentuk) hukum, sehingga melahirkan ajaran “hukum
yang dibuat oleh hakim”. Ajaran judge made law itu berasalh dari sistem hukum
Inggris dan negara-negara dengan tradisi common law/case law system atau anglo
saxon lainnya yang juga dikenal sebagai precedent atau stare decisis.
Suatu putusan dikatakan sebagai yurisprudensi tetap apabila
sekurangkurangnya memiliki 6 ( enam ) unsur, yaitu sebagai berikut :

a. Putusan atau perkara yang belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang
jelas.

b. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap;

c. Putusan memiliki muatan kebenaran dan keadilan;

d. Putusan telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus
yang mempunyai kesamaan fakta, peristiwa, dan dasar hukum;

e. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah


Agung maupun uji eksaminasi atau notasi oleh Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung;

5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002), h. 201
6
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung :
Mandar Maju, 2009), h. 109-110

5
f. Putusan telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi
tetap.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 02 Tahun 1972


tentang Pengumpulan Yurisprudensi ditentukan bahwa demi terwujudnya kesatuan
hukum, hanya Mahkamah Agung satu-satunya lembaga konstitusional yang
bertanggung jawab mengumpulkan yurisprudensi yang harus diikuti oleh hakim
dalam mengadili perkara.

Yurisprudensi diterima sebagai suatu sumber hukum karena hal-hal berikut:

a. Adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya;

b. Salah satu fungsi pengadilan dalam pembaruan dan pembangunan hukum ialah
menciptakan sumber hukum baru;

c. Hasil penafsiran hakim terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam


mencari, mewujudkan, dan menegakkan keadilan.7

Syarat-syarat putusan hakim yang bisa menjadi yurisprudensi:

1. Pertama putusan itu mempunyai kriteria standar putusan pengadilan yang baik dan
bermutu.Putusan ini telah digunakan secara berulang-ulang.

2. Putusan atas peristiwa hukum yang belum jelas peraturannya

3. Putusan telah berkekuatan hukum tetap

4. Putusan berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara sama

5. Putusan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat

6. Putusan telah dibenarkan oleh MA-RI General Practice of law sistem hukum
bersumber/bertumpu pada hukum tidak tertulis/kebiasaan di dalam peradilan, yaitu
yurisprudensi. berlakulah asas preseden bagi setiap hakim di negara-negara yang
menganut sistem hukum ini.8

7
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Yogyakarta: PT Grafindo Persada, 2006), h. 124-
125
8
Syarat-syarat-putusan-hakim-yang-bisa.html

6
C. Prosedur Penetapan Yurisprudensi
1. Pengertian prosedur
Para pakar mencoba merumuskan definisi prosedur adalah sebagai berikut:
b. Prosedur adalah tata cara kerja atau menjalankan suatu pekerjaan.
b. Prosedur adalah suatu rangkaian tugas-tugas yang saling berhubungan yang
merupakan urutan-urutan menurut waktu dan tatacara tertentu untuk melaksanakan
suatu pekerjaan yang dilaksanakan berulang-ulang.
c. Prosedur adalah rangkaian tata pelaksanaan yang diatur secara berurutan, sehingga
berbentuk urutan kerja secara bertahap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
2. Penetapan dan putusan hakim
a. Penetapan
Penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunteer),
misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adat, poligami,
perwalian, itsbat nikah dan sebagainya.Penetapan merupakan jurisdiction
valuntaria(bukan peradilan yang sesungguhnya).Karena pada penetapan hanya ada
permohon tidak ada lawan hokum.Dalam penetapan, Hakim tidak menggunakan kata
“mengadili”, namun cukup dengan menggu nakan kata ”menetapkan”
b. Putusan Hakim
Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Putusan Hakim adalah merupakan suatu
hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan,
sedangkan menurut hukum Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah (pihak yang
dimenangkan) dari mahkum-alaih (pihak yang dikalahkan), jadi tidaklah ada
perbedaan.

3. Prosedur Penetapan Keputusan Hakim

Dalam prosedur penetapan keputusan hakim untuk memberikan putusan terdapat


beberapa tahap- tahap persidangan.
Adapun tahap-tahap persidangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sidang Pertama
Sidang ditetapkan oleh Majelis Hakim dan dibuka dengan cara sebagai berikut :
1) Majelis hakim memasuki ruang sidang

7
Yang pertama sekali memasuki ruang sidang adalah: panitera pengganti. jaksa
penuntut umum, dan penasehat hukum serta pengunjung, masing-masing duduk di
tempat yang telah ditempatkan lalu Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata
“Sidang pengadilan negeri praya yang memeriksa perkara pidana nomor….atas nama
terdakwa….pada hari…tanggal….dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”,
sambil mengetuk palu sebanyak 3x.
2) Pemanggilan terdakwa masuk ke ruang sidang
Jaksa Penuntut Umum (JPU) memerintahkan pada petugas agar terdakwa dibawa
masuk ke ruang sidang.Petugas membawa terdakwa masuk ke ruang sidang dan
mempersilahkan duduk di kursi pemeriksaan. Jika terdakwa tersebut ditahan ,
biasanya dari ruang tahanan pengadilan hingga keruang sidang terdakwa dikawal oleh
beberapa petugas, sekalipun demikian ,terdakwa harus diperhadapkan dalam keadaan
bebas, artinya tidak perlu diborgol.
Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, Hakim ketua mengajukan pertanyaan
sebagai berikut:
1) Apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa ?
2) Menanyakan identitas terdakwa: nama, umur, alamat,dll.
3) Pembacaan Surat Dakwaan Hakim ketua mempersilahkan kepada JPU untuk
membacakan
3) Pembacaan surat dakwaan hakim ketua mempersilahkan kepada JPU untuk
membacakan surat dakwaan dan meminta kepada terdakwa untuk mendengarkan
dengan seksama.
4) Pengajuan Eksepsi (keberatan) Hakim ketua menanyakan pada terdakwa atau
PHnya, apakah akan mengajukan tanggapan atau keberatan atas surat dakwaan JPU,
dan Hakim bertanya pada terdakwa dan memberi kesempatan untuk menangapi
5) Pembacaan atau pengucapan putusan sela Tata caranya adalah putusan sela tersebut
diucapkan/dibacakan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya.Apabila naskah
putusan sela tersebut panjang, tidak menutup kemungkinan putusan sela tersebut
dibacakan secara bergantian dengan hakim anggota.Pembacaan amar putusan di
akhiri dengan ketukan palu 1x.
b. Sidang Pembuktian
Sebelum memasuki acara pembuktian, hakim ketua mempersilahkan terdakwa supaya
duduknya berpindah dari kursi pemeriksaan ke kursi terdakwa yang berada di

8
samping kanan kursi Panesehat Hukum (PH).selanjutnya, prosedur dan tata cara
pembuktian adalah sebagai berikut:
1. Pembuktian Oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu Pengajuan saksi yang memberatkan
(saksi a charge). Hakim ketua bertanya kepada JPU apakah telah siap menghadirkan
saksi-saksi pada sidang hari ini, apabila JPU telah siap, maka hakim segera
memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan saksi seorang demi seorang ke
dalam ruang sidang danSaksi yang pertama kali diperiksa adalah”saksi korban”. Dan
setelah itu baru saksi yang lain yang dipandang relevan dengan tujuan pembuktian
mengenai tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa, baik saksi yang tercantum
dalam surat pelimpahan perkara maupun saksi tambahan yang diminta oleh JPU
selama sidang berlangsung.
2. Pembuktian Oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum yaitu Pengajuan saksi yang
meringankan terdakwa( saksi a de charge). Hakim ketua bertanya kepada
terdakwa/PH apakah ia akanmengajukansaksi yang meringankan (a de charge), Jika
terdakwa/PH tidak akan mengajukan saksi ataupun bukti lainnya,maka ketua majelis
menetapkan bahwa sidang akan dilanjutkan pada acara pengajuan tuntutan oleh JPU.
Apabila terdakwa/PH akan dan telah siap mengajukan saksi yang meringankan, maka
hakim ketua segera memerintahkan agar saksi di bawaah masuk ke ruang sidang
untuk diperiksa.
3. Pemeriksaan Pada Terdakwa Hakim ketua mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada
terdakwa diikuti oleh hakim anggota, JPU dan PH. Majelis hakim dapat menunjukkan
segala jenis barangbukti dan menanyakan pada terdakwa apakah ia mengenal benda
tersebut. Jika perlu hakim juga dapat menunjukkan surat-surat atau gambar atau photo
hasil rekonstruksi untuk meyakinkan jawaban atas pertanyaan hakim atau untuk
menegaskan suatu fakta.9

9
https://muhammadriza23.blogspot.com/2013/12/syarat-syarat-dan-prosedur-yurisprudensi.html?m=1

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi ini
diciptakan berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Mengenai Kekuasaan Kehakiman,
dalam UU ini dinyatakan : pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara,
mengadili perkara bahkan memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan hukum
tidak ada atau kurang jelas (samar), melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya.
Hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai
hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Suatu putusan dikatakan sebagai yurisprudensi tetap apabila


sekurangkurangnya memiliki 6 ( enam ) unsur, yaitu sebagai berikut :

a. Putusan atau perkara yang belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang
jelas.

b. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap;

c. Putusan memiliki muatan kebenaran dan keadilan;

d. Putusan telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus
yang mempunyai kesamaan fakta, peristiwa, dan dasar hukum;

e. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah


Agung maupun uji eksaminasi atau notasi oleh Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung;

f. Putusan telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi


tetap.

B. Saran

Kami sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ditemukan
banyak sekali kekurangan. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber bacaan dan
keterbatasan penulis. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga makalah ini
bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://ebook.bldk.mahkamahagung.go.id/index.php/product/147-kedudukan-dan-
relevansi-yurisprudensi-untuk-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan/

https://pascasarjana.umsu.ac.id/sejarah-dan-fungsi-hukum-yurisprudensi/

Anugrahdwi,Sejarah dan Fungsi Huku


Yurisprudensi,https://pascasarjana.umsu.ac.id/sejarah-dan-fungsi-hukum-
yurisprudensi

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002)

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2009)

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Yogyakarta: PT Grafindo


Persada, 2006

Syarat-syarat-putusan-hakim-yang-bisa.html

https://muhammadriza23.blogspot.com/2013/12/syarat-syarat-dan-prosedur-
yurisprudensi.html?m=1

11

Anda mungkin juga menyukai