Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Teguh Firmansyah
A1011211066
Hukum Acara Perdata
Kelas C regular A
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Menyusun Kesimpulan dan Putusan
Hakim dalam Persidangan.”
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen pada mata kuliah Hukum Acara Perdata. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
agar pembaca dan penulis mengetahui tentang Seluk Beluk Hukum Acara Perdata.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita.
Akhir kata, saya memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan. Karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Teguh Firmansyah
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono, SH, hukum acara perdata adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat Cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka Pengadilan dan bagaimana cara Pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.
Menurut Prof. Dr. R. Supomo, SH, dalam peradilan perdata tugas hakim ialah
mempertahankan tata hukum perdata (Burgerlijke Rechts Orde), menetapkan
apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Menurut Simposium
Pembaharuan Hukum Perdata Nasional pada tahun 1981 di
Yogyakarta, Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata
material.
Proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk memulihkan hak
seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana
seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan
hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana
mestinya.
Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana cara orang
mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak
yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap
pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus
perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara
melaksanakan putusan hakim dan sebagainya.Sehingga hak dan kewajiban
orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Dalam mempelajari ilmu hukum, sumber hukum merupakan suatu bagian yang
sangat penting artinya, baik dilihat dari segi teori maupun dilihat dari praktek.
Sumber hukum dapat dibedakan menjadi (Soemardi, 1986: 1-2):
1. Sumber hukum dalam arti material;
2. Sumber hukum dalam arti formal.
Sumber hukum material adalah faktor-faktor yang turut serta menentukan isi
hukum. Faktor-faktor ini antara lain dapat berupa nilai-nilai ideal yang hidup di
dalam masyarakat, struktur ekonomi, kebiasaan dalam masyarakat, hukum
yang berlaku, kenyakinan tentang agama dan kesusilaan, dan kesadaran hukum
(Soemardi, 1986: 6-12).
Sumber hukum formal adalah kenyataan-kenyataan yang menimbulkan hukum
yang berlaku dan mengikat setiap orang. Kenyataan-kenyataan tersebut
dinamakan sebagai sumber hukum dalam arti formal berdasarkan kepada segi
bentuknya semata-mata, tanpa mempersoalkan faktor asal mula timbulnya isi
peraturan hukum. Jadi, yang menjadi titik beratnya adalah pada penampilan
lahiriyah dari hukum positif tersebut (Soemardi, 1986: 12). Sumber hukum
formal terdiri dari undang-undang, kebiasaan, traktat, dan yurisprudensi
(Soemardi, 1986: 12). Kemudian, sumber hukum dalam arti formal membantu
dalam mencarikan jawaban atas pertanyaan, “Di manakah kita mendapatkan
ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan
yang kongkret?” (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003: 113).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa sebagai salah satu sumber
hukum formal, maka yurisprudensi mempunyai arti penting sebagai acuan “Di
manakah kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai
kaidah dalam satu persoalan yang kongkret?”. Yurisprudensi dapat digunakan
sebagai dasar putusan bagi hakim lain di kemudian hari untuk mengadili
perkara yang memiliki unsur-unsur yang serupa.
B. RUMUSAN MASALAH
C. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan penelitian hukum
ini menggunakan pendekatan yuridis normative, yakni melihat hukum
sebagai perilaku manusia dalam masyarakat. Studi yang demikian hukum
idak dikonsepkan sebagai gejala normative yang otonomi (study law in
books), tapi hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang riil dikaitkan
dengan variable social yang lain.
A. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan di penilitian ini adalah
model studi kepustakaan (library research). Maksudnya adalah pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum
normatif,8 yakni penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikan
obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif sitematis
guna mendapatkan kesimpulan yang tepat.
B. Studi Internet
Dengan melakukan penelusuran dan pencarian bahan-bahan melalui
internet atau website untuk melengkapi bahan hukum lainnya.
Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (Rechts
Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif memimpin acara dari
awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan
petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-
143 Rbg) dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas
persoalannya dan memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu.[1] Menurut
Darwan Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
pengadilan. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur tentang
kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:
1. Kekuatan Mengikat
Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat kedua belah
pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak kepada putusan
menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan
mengikat daripada putusan.
2. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang
merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti
bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanaanya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan
putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.
3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa
dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan
hak atau huumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya)
secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup
dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh
karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian
direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-
alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia.
c. Pertimbangan
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan tentang duduk
perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya.
d. Amar
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang merupakan
amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan tanggapan terhadap petitum.
D. Jenis-jenis Putusan
Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Interlocotoir Vonis
Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum merupakan putusan
akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat berupa:
a. Putusan Provisional (Tak Dim). Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan
yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya
alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, di
mana gugatan pokoknya adlah “mohon cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami
yang digugat itu telah melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya
itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar nafkah kepada
istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu. Demikian juga halnya
mengenai mengizinkan seseorang untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo),
sesuai Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.
b. Putusan Preparatoir. Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan
putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan pengunduran sidang,
karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat diterima. Dalam praktek seringkali terjadi
perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat dengan tergugat,
maka dalam keadaan demikian hakim harus mengambil keputusan mengenai
pengunduran sidang itu.
c. Putusan Ins idental. Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara
insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah satu pihak
(penggugat/tergugat), dan lain-lain sebagainya. Terhadap putusan sela atau belum
merupakan putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara tersendiri.
Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan permohonan banding terhadap
putusan akhir (Pasal 9 Undang- Undang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan
permohonan banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok, adalah
untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.
2) Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:
a. Niet Onvankelijk Verklaart. Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat
diterima, yakni putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat tidak
dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan
suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah sebagai berikut:
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;
b) Gugatan tidak patut;
c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
d) Gugatannya salah;
e) Gugatannya kabur;
f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g) Objek gugatannya tidak jelas;
h) Subjek gugatannya tidak lengkap;
i) Dan lain- lain.
b. Tidak berwenang mengadili. Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang
tidak berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif,
akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili
gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun demikian, telah ada usaha juga dari beberapa hakim agung pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia untuk merumuskan pengertian yurisprudensi tetap ini,
yaitu sebagai (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
“Putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat banding yang
telah berkekuatan hukum tetap, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah
berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya
yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim
berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan tersebut telah diuji secara
akademis oleh Majelis Yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di
Mahkamah Agung, dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang
berlaku mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam
memutus perkara yang sama.”
Sayang sekali, pada saat ini belumlah dapat ditemukan kriteria bagi apa yang dapat
dikatakan sebagai yurisprudensi tetap Indonesia, hal ini adalah disebabkan hakim di
Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas dan tidak
terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya,
sebagaimana yang berlaku di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon,
seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura (Hartono, 2002: 8).
Dalam kenyataannya di Indonesia, sikap hakim dalam memutus suatu perkara dengan
bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim
sebelumnya, sebenarnya malah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (Hartono,
2002: 8), apalagi apabila hakim yang bersangkutan kurang mampu dalam menyusun
pertimbangan hukum (legal reasoning) yang baik. Melihat kenyataan yang demikian,
maka sudah sebaiknya hakim di Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan
Indonesia mengadopsi asas stare decisis.Alasan yang menyatakan bahwa asas stare
decisis hanya berlaku untuk sistem hukum Anglo-Saxon, untuk saat ini sudah tidak
dapat dipertahankan lagi. Saat ini, baik Indonesia atau bahkan Belanda sekalipun,
sudah mengadopsi hukum dari negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon
(Hartono, 2002: 11-12), dan sebaliknya, negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon
juga telah mengadopsi hukum dari sistem Eropa Kontinental. Gejala semacam ini
disebut juga dengan konvergensi antarsistem hukum (Armia, 2003: 80).
Jika seorang hakim ingin menyimpang dari suatu yurisprudensi tetap, maka hakim
tersebut wajib memberikan alasan dan pertimbangan hukum yang memadai, yang
dapat menjelaskan adanya perbedaan fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya
dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara sebelumnya, sehingga ia memang cukup
beralasan untuk tidak terikat dan mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi atau
putusan hakim sebelumnya (Hartono, 2002: 10).
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang
diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan
verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan
Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan
putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.Hakim dalam menjatuhkan pidana
didasarkan pada, minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan Hakim bahwa tindak
pidana benar benar terjadi serta terdakwalah pelakunya.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan berkekuatan hukum jika diucapkan di
sidang terbuka untuk umum. Putusan pidana ada 3 jenis yaitu putusan pemidanaan,
putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 197 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur hal-hal yg wajib ada
dalam putusan pemidanaan. Salah satu hal yang wajib ada dalam putusan pemidanaan
adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan Putusan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat
(1) (kecuali huruf g & i) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Surat keputusan
ditandatangani Hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Petikan
surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya segera
setelah putusan diucapkan.
Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik.
Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya atas
permintaan dari terdakwa/penasihat hukumnya.
Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan jaksa, untuk itu
panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa. Wakil Jaksa Agung
Darmono mengatakan bahwa begitu jaksa terima salinan putusan hakim/ekstrak vonis,
maka jaksa akan eksekusi sesuai bunyi putusan hakim.
Yang sering menjadi masalah adalah terpidana menolak eksekusi putusan pengadilan
karena unsur-unsur yang seharusnya ada pada putusan dianggap tidak terpenuhi. Hal
ini misalnya terjadi pada perkara Bupati Aru, Maluku, Theddy Tengko terkait putusan
kasasi dari Mahkamah Agung (MA). Pengacara Theddy, Yusril Ihza Mahendra tolak
eksekusi putusan MA karena majelis kasasi tidak mencantumkan perintah penahanan
terdakwa.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap” adalah :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam
waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi.
b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat
belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan
kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
c. Putusan kasasi
Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian
diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya
Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615)
sebagai berikut:
“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali
tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh
upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali
baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup.
Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan
kasasi.”
Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang
diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding
atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan
pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).
Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263
s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan
kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1]
KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263
ayat [2] KUHAP):
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan
haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan
tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh
kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan
itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding
atau kasasi.
Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan
perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan
pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Grasi. Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan
kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya
(Pasal 66 ayat [2] UU MA)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-
haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan
pengadilan/hakim . Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat
dilaksanakan.Dan dalam makalah singkat ini akan mengemukakan sedikit
pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksek usi
Suatu putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh
hakimsebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka
persidangansesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para
pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu
perbuatan atau supaya jangan melakukansuatu perbuatan yang harus ditaati
Hukum adalah suatu peraturan yang harus ditaati. Agar kehidupan menjadi aman,
tenag dan teratur. Dalam peraturang negara banyak sekali peraturang yang telah
ditetapkan. Dan apabila seseorang melanggar peraturang tersebut maka akan dikenakan
sanksi.
Dalam pengadilan putusan hakim haruslah dilaksanakan, jika sudah diucapkan oleh
hakim. Akan tetapi jika masih dalam bentuk surat keputusannya, maka belum wajib
untuk dilaksanakan. Maka dari itu putusan antara yang tertulis dan yang terucap
haruslah sama. Banyak sekali teori-teori tentang kekuatan putusan hakim, diantaranya
1. Teori hukum materiil
2. Teori hukum acara
3. Teori hukum pembuktian
4. Teori hukum yang pasti
Daftar Pustaka
Sumber tulisan ini diambil dari kara ilmiah/sekripsi saudari Susanti, karya ilmiah
yang berjudul Penolakan Permohonan Kasasi Dlam Perkara Kepailitan (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
Semoga apa yang ditulis oleh saudaari Susanti bisa bermanfaat.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110715075827AAFdgMS
http://hasyimsoska.blogspot.com/2013/04/eksekusi-putusan-pemidanaan-yang-
telah.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-
pengadilan-dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap
http://artikelthemis.blogspot.com/2008/10/oleh-endra-wijaya-dalam-
mempelajari.html
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-
putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/