Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA

“Menyusun Kesimpulan dan Putusan Hakim dalam Persidangan”

Dosen Pengampu :

Muhammad Tahir, S. H., M.H

Disusun Oleh :

Teguh Firmansyah
A1011211066
Hukum Acara Perdata
Kelas C regular A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Menyusun Kesimpulan dan Putusan
Hakim dalam Persidangan.”

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen pada mata kuliah Hukum Acara Perdata. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
agar pembaca dan penulis mengetahui tentang Seluk Beluk Hukum Acara Perdata.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Bapak


Muhammad Tahir, S.H., M. H. selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan saya
tentang Hukum Acara Perdata. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah membantu saya menyediakan sumber referensi hingga dapat memberikan
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita.

Akhir kata, saya memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan. Karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.

Pontianak, 29 Oktober 2022

Teguh Firmansyah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………… 1

Daftar Isi …………………………………………………………………………… 2

BAB I Pendahuluan …………………………………………………....……..…… 3

1.1 Latar Belakang …………………………………………………....……. 3


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………....…... 7
1.3 Metode Penelitian………………………………………………………. 8

BAB II Pembahasan …………………………………………………....….....…… 10


1.1 Pengertian Kesimpulan dan Putusan Hakim…………..…………….. 10
1.2 Cara membuat kesimpulan……………………………………………. 12
1.3 Macam- macam kesimpulan dan Putusan Hakim…………………… 16

BAB III Penutup …………………………………………………....…….....…….. 22

3.1 Kesimpulan ………………………………………………….........…...... 22


3.2 Saran …………………………………………………....…….......……... 23

Daftar Pustaka …………………………………………………....……........……... 25


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana


caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan
hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. ukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan
hukum perdata materiil.

Menurut Prof. Dr. R. Wirjono, SH, hukum acara perdata adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat Cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka Pengadilan dan bagaimana cara Pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.

Menurut Prof. Dr. R. Supomo, SH, dalam peradilan perdata tugas hakim ialah
mempertahankan tata hukum perdata (Burgerlijke Rechts Orde), menetapkan
apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Menurut Simposium
Pembaharuan Hukum Perdata Nasional pada tahun 1981 di
Yogyakarta, Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata
material.

Menurut Para Ahli


Hukum perdata material yang hendak ditegakkan atau dipertahankan dengan
hukum perdata ialah peraturan-peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, seperti BW, WvK, Undang-undang
Perkawinan dan sebagainya dan peraturan hukum yang tidak tertulis yaitu
hukum adat atau kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.

Norma/kaedah hukum perdata tersebut harus ditegakkan. Apabila ada pihak


yang dirugikan, misalnya penjual tidak menyerahkan barangnya kepada
pembeli padahal ia telah menerima uang pembayarannya, maka hukum perdata
material itu harus ditegakkan dengan mempergunakan hukum acara perdata.
Tidak boleh pemulihan hak perdata diselesaikan dengan menghakimi sendiri
(eigenrichting). Dengan demikian diharapkan ketertiban dan kepastian hukum
perdata akan tercipta dalam masyarakat. Perkataan ”acara” di sini berarti proses
penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan).

Proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk memulihkan hak
seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana
seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan
hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana
mestinya.

Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa hukum acara perdata adalah


peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum
perdata karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim. Hukum acara
perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya
gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana cara orang
mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak
yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap
pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus
perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara
melaksanakan putusan hakim dan sebagainya.Sehingga hak dan kewajiban
orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya.

Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara perdata itu sebagai rangkaian


peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan. Serta cara bagaimana pengadilan itu harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.

Dalam mempelajari ilmu hukum, sumber hukum merupakan suatu bagian yang
sangat penting artinya, baik dilihat dari segi teori maupun dilihat dari praktek.
Sumber hukum dapat dibedakan menjadi (Soemardi, 1986: 1-2):
1. Sumber hukum dalam arti material;
2. Sumber hukum dalam arti formal.

Sumber hukum material adalah faktor-faktor yang turut serta menentukan isi
hukum. Faktor-faktor ini antara lain dapat berupa nilai-nilai ideal yang hidup di
dalam masyarakat, struktur ekonomi, kebiasaan dalam masyarakat, hukum
yang berlaku, kenyakinan tentang agama dan kesusilaan, dan kesadaran hukum
(Soemardi, 1986: 6-12).
Sumber hukum formal adalah kenyataan-kenyataan yang menimbulkan hukum
yang berlaku dan mengikat setiap orang. Kenyataan-kenyataan tersebut
dinamakan sebagai sumber hukum dalam arti formal berdasarkan kepada segi
bentuknya semata-mata, tanpa mempersoalkan faktor asal mula timbulnya isi
peraturan hukum. Jadi, yang menjadi titik beratnya adalah pada penampilan
lahiriyah dari hukum positif tersebut (Soemardi, 1986: 12). Sumber hukum
formal terdiri dari undang-undang, kebiasaan, traktat, dan yurisprudensi
(Soemardi, 1986: 12). Kemudian, sumber hukum dalam arti formal membantu
dalam mencarikan jawaban atas pertanyaan, “Di manakah kita mendapatkan
ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan
yang kongkret?” (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003: 113).

Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa sebagai salah satu sumber
hukum formal, maka yurisprudensi mempunyai arti penting sebagai acuan “Di
manakah kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai
kaidah dalam satu persoalan yang kongkret?”. Yurisprudensi dapat digunakan
sebagai dasar putusan bagi hakim lain di kemudian hari untuk mengadili
perkara yang memiliki unsur-unsur yang serupa.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, yang menjadi


pokok permasalahannya yaitu:

1. Apa yang di maksud dengan kesimpulan Hakim dalam persidangan?


2. Bagaiamana hakim membuat dan memutuskan perkara dalam persidangan
3. Apa saja macam-macam kesimpulan dan putusan hakim

C. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan penelitian hukum
ini menggunakan pendekatan yuridis normative, yakni melihat hukum
sebagai perilaku manusia dalam masyarakat. Studi yang demikian hukum
idak dikonsepkan sebagai gejala normative yang otonomi (study law in
books), tapi hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang riil dikaitkan
dengan variable social yang lain.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan


menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas,
konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan lembaga
Praperadilan dan Hakim pemeriksa Pendahuluan.Pendekatan ini dikenal
pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari jurnal-
jurnal, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.

2. Jenis Bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer


Bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif atau peraturan perundang-
undangan khususnya Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b) Bahan Hukum Sekunder


Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
berhubungan dengan objek penelitian seperti undang-undang, studi
dokumentasi melalui dokumen atau arsip-arsip dari pihak yang terkait yang
berhubungan dengan bahan hokum primer.

c) Bahan Hukum Tersier


Bahan-bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
ensiklopedia, kamus, glossary dan bahan lain seperti surat kabar serta
majalah.

2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

A. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan di penilitian ini adalah
model studi kepustakaan (library research). Maksudnya adalah pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum
normatif,8 yakni penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikan
obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif sitematis
guna mendapatkan kesimpulan yang tepat.

B. Studi Internet
Dengan melakukan penelusuran dan pencarian bahan-bahan melalui
internet atau website untuk melengkapi bahan hukum lainnya.

3. Teknis Analisa Bahan Hukum

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni


pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam
undang-undang. Kemudian dibuat menjadi sistematika yang akan menjadi
analisis mengenai kelebihan, kelemahan maupun perbedaan tindakan
penyidikan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukan dalam bentuk uraian
secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar jenis data. Selanjutnya
semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya atau
teorinya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kesimpulan dan Putuan Hakim dalam Acara Perdata

Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (Rechts
Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif memimpin acara dari
awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan
petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-
143 Rbg) dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas
persoalannya dan memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu.[1] Menurut
Darwan Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
pengadilan. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur tentang
kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:

1. Kekuatan Mengikat
Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat kedua belah
pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak kepada putusan
menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan
mengikat daripada putusan.

2. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang
merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti
bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanaanya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan
putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.

3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa
dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan
hak atau huumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya)
secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup
dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh
karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian
direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-
alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia.

B. Susunan dan Isi Putusan


Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang bagaiaman putusan hakim harus dimuat di dalam
putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR (Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27 RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu
putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:
a. Kepala Putusan
Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala Putusan
ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan.

b. Identitas Para Pihak


Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak, maka di
dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara lain: nama, umur, alamat,
dan nama pengacara kalau ada.

c. Pertimbangan
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan tentang duduk
perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya.

d. Amar
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang merupakan
amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan tanggapan terhadap petitum.

D. Jenis-jenis Putusan
Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Interlocotoir Vonis
Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum merupakan putusan
akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat berupa:
a. Putusan Provisional (Tak Dim). Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan
yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya
alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, di
mana gugatan pokoknya adlah “mohon cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami
yang digugat itu telah melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya
itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar nafkah kepada
istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu. Demikian juga halnya
mengenai mengizinkan seseorang untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo),
sesuai Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.
b. Putusan Preparatoir. Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan
putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan pengunduran sidang,
karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat diterima. Dalam praktek seringkali terjadi
perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat dengan tergugat,
maka dalam keadaan demikian hakim harus mengambil keputusan mengenai
pengunduran sidang itu.
c. Putusan Ins idental. Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara
insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah satu pihak
(penggugat/tergugat), dan lain-lain sebagainya. Terhadap putusan sela atau belum
merupakan putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara tersendiri.
Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan permohonan banding terhadap
putusan akhir (Pasal 9 Undang- Undang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan
permohonan banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok, adalah
untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.

2) Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:
a. Niet Onvankelijk Verklaart. Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat
diterima, yakni putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat tidak
dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan
suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah sebagai berikut:
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;
b) Gugatan tidak patut;
c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
d) Gugatannya salah;
e) Gugatannya kabur;
f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g) Objek gugatannya tidak jelas;
h) Subjek gugatannya tidak lengkap;
i) Dan lain- lain.

b. Tidak berwenang mengadili. Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang
tidak berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif,
akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili
gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

c. Gugatan dikabulkan. Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan


dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan terbukti seluruhnya,
maka gugatan akan hanya terbukti sebagian, mka akan dikabulkan sebagian pula
sepanjang yang dapat dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan
ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya kelemahan dalam
petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh pengadilan. Demikianlah misalnya
putusan perkara perdata Nomor 249/Pdt.G/1988/PN.Mdn, dimana tergugat MS
dihukum

Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek,


yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh
peradilan (Mertokusumo, 2002: 8).
Lebih jelas lagi, Prof. Subekti berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
yurisprudensi adalah:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat
dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi” (Kamil dan Fauzan, 2004:
10).
Jadi tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikatakan
sebagai yurisprudensi. Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
tahun 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai
yurisprudensi, apabila putusan hakim tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut
(Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-
undangannya;
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Kemudian, di kalangan praktisi sering pula dibedakan antara yurisprudensi tetap


dengan yurisprudensi yang belum tetap. Memang belum ada kesepakatan yang baku
tentang apa yang dimaksud dengan yurisprudensi tetap dan yurisprudensi belum tetap
itu. Mengenai belum adanya kesepakatan baku tentang pengertian yurisprudensi tetap
tersebut, menurut Prof. Sunaryati Hartono adalah disebabkan karena hakim di
Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas dan tidak
terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya,
sebagaimana yang berlaku di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon,
seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura (Hartono, 2002: 8).

Namun demikian, telah ada usaha juga dari beberapa hakim agung pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia untuk merumuskan pengertian yurisprudensi tetap ini,
yaitu sebagai (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):

“Putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat banding yang
telah berkekuatan hukum tetap, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah
berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya
yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim
berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan tersebut telah diuji secara
akademis oleh Majelis Yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di
Mahkamah Agung, dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang
berlaku mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam
memutus perkara yang sama.”

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, yurisprudensi tetap memiliki tahapan-tahapan


proses sebagai berikut (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
1. Adanya putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
2. Atas perkara atau kasus yang diputus yang belum ada aturan hukumnya atau
hukumnya kurang jelas;
3. Memiliki muatan keadilan dan kebenaran;
4. Telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang
sama;
5. Telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi yang terdiri dari
para Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan;
6. Telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi sebagai yurisprudensi
tetap.

Sayang sekali, pada saat ini belumlah dapat ditemukan kriteria bagi apa yang dapat
dikatakan sebagai yurisprudensi tetap Indonesia, hal ini adalah disebabkan hakim di
Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas dan tidak
terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya,
sebagaimana yang berlaku di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon,
seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura (Hartono, 2002: 8).

2.2 Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap

Hakim-hakim di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Amerika


Serikat, Malaysia dan Singapura, menerapkan asas stare decisis, sehingga mereka
dalam prakteknya saat memeriksa dan memutus perkara wajib mengikuti putusan
hakim yang lebih tinggi atau yang lebih dulu ada (Hartono, 2002: 8-9 dan 1991: 102).

Dalam kenyataannya di Indonesia, sikap hakim dalam memutus suatu perkara dengan
bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim
sebelumnya, sebenarnya malah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (Hartono,
2002: 8), apalagi apabila hakim yang bersangkutan kurang mampu dalam menyusun
pertimbangan hukum (legal reasoning) yang baik. Melihat kenyataan yang demikian,
maka sudah sebaiknya hakim di Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan
Indonesia mengadopsi asas stare decisis.Alasan yang menyatakan bahwa asas stare
decisis hanya berlaku untuk sistem hukum Anglo-Saxon, untuk saat ini sudah tidak
dapat dipertahankan lagi. Saat ini, baik Indonesia atau bahkan Belanda sekalipun,
sudah mengadopsi hukum dari negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon
(Hartono, 2002: 11-12), dan sebaliknya, negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon
juga telah mengadopsi hukum dari sistem Eropa Kontinental. Gejala semacam ini
disebut juga dengan konvergensi antarsistem hukum (Armia, 2003: 80).

Jika seorang hakim ingin menyimpang dari suatu yurisprudensi tetap, maka hakim
tersebut wajib memberikan alasan dan pertimbangan hukum yang memadai, yang
dapat menjelaskan adanya perbedaan fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya
dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara sebelumnya, sehingga ia memang cukup
beralasan untuk tidak terikat dan mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi atau
putusan hakim sebelumnya (Hartono, 2002: 10).

Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang
diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan
verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan
Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan
putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.Hakim dalam menjatuhkan pidana
didasarkan pada, minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan Hakim bahwa tindak
pidana benar benar terjadi serta terdakwalah pelakunya.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan berkekuatan hukum jika diucapkan di
sidang terbuka untuk umum. Putusan pidana ada 3 jenis yaitu putusan pemidanaan,
putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 197 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur hal-hal yg wajib ada
dalam putusan pemidanaan. Salah satu hal yang wajib ada dalam putusan pemidanaan
adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan Putusan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat
(1) (kecuali huruf g & i) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Surat keputusan
ditandatangani Hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Petikan
surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya segera
setelah putusan diucapkan.

Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik.
Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya atas
permintaan dari terdakwa/penasihat hukumnya.

Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan jaksa, untuk itu
panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa. Wakil Jaksa Agung
Darmono mengatakan bahwa begitu jaksa terima salinan putusan hakim/ekstrak vonis,
maka jaksa akan eksekusi sesuai bunyi putusan hakim.

Yang sering menjadi masalah adalah terpidana menolak eksekusi putusan pengadilan
karena unsur-unsur yang seharusnya ada pada putusan dianggap tidak terpenuhi. Hal
ini misalnya terjadi pada perkara Bupati Aru, Maluku, Theddy Tengko terkait putusan
kasasi dari Mahkamah Agung (MA). Pengacara Theddy, Yusril Ihza Mahendra tolak
eksekusi putusan MA karena majelis kasasi tidak mencantumkan perintah penahanan
terdakwa.

Ketentuan tentang pencantuman perintah penahanan kepada terdakwa diatur dalam


Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Yusril mengatakan putusan kasasi Theddy batal
demi hukum sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena tidak adanya perintah
penahanan. Theddy mengajukan permohonan penetapan ke PN Ambon atas tidak
dicantumkannya perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Pengadilan Negeri
Ambon mengabulkan permohonan Theddy.

Putusan kasasi Theddy non executable. Penetapan PN Ambon kemudian dibatalkan


MA dgn penetapan No.01/WK.MA.Y/PEN/X/2012 pd 25 Okt. 2012. MA
memutuskan dalam tingkat kasasi adalah pengadilan terakhir & tertinggi, sehingga
setelah amarnya diberitahukan, jaksa dapat melaksanakan putusan tersebut. Yang
berhak menyatakan putusan kasasi batal adalah pengadilan yang lebih tinggi. Secara
hierarki, MA adalah peradilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim di tingkat
I dianggap tidak punya kewenangan membatalkan/menyatakan batal putusan MA.
Pada 3 Juli 2012, Yusril menguji Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP
terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian Pasal 197 ayat (1)
huruf k & ayat (2) KUHAP terhadap UUD 1945 diajukan Yusril sebagai kuasa hukum
Parlin Riduansyah. Parlin Riduansyah adalah terpidana kasus perambahan hutan di
Kalimantan Selatan yang sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada 22
November 2012, MK dalam putusan No.69/PUU-X/2012 memutus pengujian Pasal
197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP. MK putusan yang tidak cantumkan perintah
penahanan tetap sah dan tidak batal demi hukum. benar bahwa suatu amar putusan
pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa ditahan, dst. Tapi ada/tidaknya pernyataan
itu tidak dapat jadi alasan mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan
hakim dalam amar putusannya. putusan pengadilan harus dianggap benar/sah &
mengikat sebelum ada putusan pengadilan lain yang membatalkan.

2.3 Putusan Perkara Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian


dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap” adalah :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam
waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi.

Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum


tetap adalah:
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu
tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada
terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234
ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali
untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan
tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat
belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan
kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).

c. Putusan kasasi
Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian
diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya
Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615)
sebagai berikut:

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali
tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh
upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali
baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup.
Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan
kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang
diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding
atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan
pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263
s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan
kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1]
KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263
ayat [2] KUHAP):

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.

2.4 Putusan Perkara Perdata

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum


Acara Perdata dalam Teori dan Praktek ketentuan untuk peninjauan kembali dalam
perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).
Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai


kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada
penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai
ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan
hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang
diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi
keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada
kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada
gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan
haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan
tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh
kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan
itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding
atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan
perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan
pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Grasi. Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan
kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya
(Pasal 66 ayat [2] UU MA)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya.


Dan proses interaksi itu tidak selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya
dihiasi dengan konflik horizontal sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu
institusi yang menjadi pemutus konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi
ini menjelma dalam bentuk Lembaga-lembaga peradilan.
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para
justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah
final dan berkekuatan hokum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi(akibat
dari putusan tersebut).

Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada


pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan
pengadilan.Tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah
menyelesaikan perkara secara tuntas, akan tetapi perkara akan dianggap selesai
apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi.

Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-
haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan
pengadilan/hakim . Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat
dilaksanakan.Dan dalam makalah singkat ini akan mengemukakan sedikit
pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksek usi

Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan.


Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah
berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan
upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Pengadilan Agama sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang
dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini
berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU
Peradilan Agama diatas adalah:
a. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri
dihapuskan.
b. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan
putusan-putusannya

Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela,atau Secara paksa dengan


menggunakan alat Negara,apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara
sukarela.Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara .
Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala
keputusannya berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.

Suatu putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh
hakimsebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka
persidangansesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para
pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu
perbuatan atau supaya jangan melakukansuatu perbuatan yang harus ditaati

Hukum adalah suatu peraturan yang harus ditaati. Agar kehidupan menjadi aman,
tenag dan teratur. Dalam peraturang negara banyak sekali peraturang yang telah
ditetapkan. Dan apabila seseorang melanggar peraturang tersebut maka akan dikenakan
sanksi.

Dalam pengadilan putusan hakim haruslah dilaksanakan, jika sudah diucapkan oleh
hakim. Akan tetapi jika masih dalam bentuk surat keputusannya, maka belum wajib
untuk dilaksanakan. Maka dari itu putusan antara yang tertulis dan yang terucap
haruslah sama. Banyak sekali teori-teori tentang kekuatan putusan hakim, diantaranya
1. Teori hukum materiil
2. Teori hukum acara
3. Teori hukum pembuktian
4. Teori hukum yang pasti
Daftar Pustaka

Sumber tulisan ini diambil dari kara ilmiah/sekripsi saudari Susanti, karya ilmiah
yang berjudul Penolakan Permohonan Kasasi Dlam Perkara Kepailitan (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
Semoga apa yang ditulis oleh saudaari Susanti bisa bermanfaat.

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110715075827AAFdgMS

http://hasyimsoska.blogspot.com/2013/04/eksekusi-putusan-pemidanaan-yang-
telah.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-
pengadilan-dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap

http://artikelthemis.blogspot.com/2008/10/oleh-endra-wijaya-dalam-
mempelajari.html

http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-
putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1993.


Susantio, Retnowulan, dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara
Perdata. Bandung, CV Mandar Maju, 2005.

Anda mungkin juga menyukai