Kelompok 8:
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam memecahkan masalah hukum konkret, hukumnya belum tentu lengkap atau
jelas, sehingga masih harus dicari, oleh karena itu hukumnya harus diketemukan, harus
dilakukan penemuan hukum. Walaupun hukum memang sekedar alat bantu untuk manusia,
bukan tujuan. Hukum ibarat rumah virtual untuk hidup bersama. Disatu sisi, ia diciptakan
untuk melindungi, tetapi disisi lain mengandung resiko membatasi, persis seperti tembok-
tembok yang menjadi tembok rumah maupun tembok penyekat kamar dalam rumah. Berikut
diuraikan lebih lanjut pembahasan mengenai penemuan hukum beserta cabang-cabang
terbentuknya.
2
Daftar Isi
Halaman Judul……………………………………………………………........... 1
Pendahuluan……………………………………………………………....... .......... 2
Daftar Isi……………………………………………………………………......... 3
Penutup........................................................................................................ ........... 23
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam praktek tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum
atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas.
Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-
jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur
kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung
jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang
masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang
lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat
diterapkan terhadap peristiwanya.
Dalam literatur dijumpai beberapa batasan atau pengertian penemuan hukum yang
dikemukakan para ahli, antara lain:1
a. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain
daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan
bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan
interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan
hukum).
b. John Z Laudoe, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan
ketentuan fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena tidak selalu
terdapat dalam undang-undang yang ada.
c. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
4
tugas menerapkan hukum terhadap peristwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan
kata lain,merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret(das sein)
tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, yaitu:
Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang
ada. Penemun hukum yang semata-mata mendasarkan pada undang-undang saja yang disebut
sistem oriented. Penemuan hukum pada dasarnya harus sistem oriented, tetapi apabila sistem
tidak memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented. Latar
belakang timbulnya problem oriented yaitu adanya kecenderungan masyarakat pada
umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu
hakim mendapat kebebasan lebih.
2
Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta:Liberty. 1996) hlm.36-37.
5
Wierda dalam bukunya “Drie Typen van Rechtvindding” membedakan penemuan
hukum menjadi 3, yaitu penemuan hukum otonom,penemuan hukum heteronom,dan
penemuan hukum campuran. Lebih lanjut tentang sistem penemaun hukum diuraikan
dibawah ini.
Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau
terompetnya undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau
3 http://patawari.wordpress.com/2009/03/12/proses-penemuan-hukum/ tgl.01/12/2011
6
perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri,
hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya.
Pandangan penemuan hukum otonom muncul pada sekitar tahun 1850, karena
aliran heteronom dari peradilan tidak dapat lagi dipertahankan. Tokoh-tokohnya antara
lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Franscois Geny, Oliver Wonder Holmes, Jerome
frank, dan Paul scholten. Dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum
(otonom dan heteronom) itu saling mempengaruhi dan tidak ada batas yang tajam satu
sama lain. Sehingga dalam praktik penemuan hukum, dijumpai pula penemuan hukum
campuran antara kedua sistem tersebut.
c. Campuran
7
force of precedent, seperti dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya
keyakinan bahwa putusan yang dianutnya itu memang tepat (the persuacive force of
precedent).5
Jadi ada hierarkhi atau tingkatan-tingkatan dari atas kebawah dalam memposisikan
sumber hukum. Hierarkhi ini juga menentukan sumber hukum utama yang digunakan
antara sumber hukum satu dengan yang lainnya.
Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang
untuk itu merupakan sumber hukum yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari
badan tersebut disebut sebagai kegiatan perundang-undangan yang menghasilkan substansi
yang tidak diragukan lagi kesalahannya. Tindakan yang dapat digolongkan ke dalam kategori
perundang-undangan ini cukup bermacam-macam, baik yang berupa penambahan terhadap
peraturan-peraturan yang sudah ada, maupun yang mengubahnya. Hukum yag dihasilkan oleh
proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan (enacted law,statute law)
berhadapan dengan hukum yang tidak diundangkan (unenacted law, common law).
Sudikno Mertokusumo.Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1996) hlm.165-166
8
Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari
sifa-sifat yang khusus dan terbatas.
Bersifat universal, Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan
datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karna itu ia tidak dapat dirumuskan
untuk mengatasi preistiwa-peristiwa tertentu saja.
Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah
lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan
dilakukannya peninjauan kembali.
b. Hukum Kebiasaan
Tahun 1800 SM, sebagian besar hukum yang digunakan adalah hukum kebiasaan.
Peranan hukum kebiasaan yang besar menurut Hart, terutama terjadi pada keadaan di mana
baru ada 2 model masyarakat, yaitu masyarakat dengan tatanan aturan-aturan kewajiban
primer dan sekunder. Pada tatanan yang disebut pertama, pedoman tingkah laku yang
dibutuhkan masih sangat sederhana dan mampu dicukupi oleh norma-norma yang elementer
sifatnya. Sifat elementer ini terlihat baik pada isi maupun bentuknya. Norma-norma pada
tatanan seperti itu sangatlah dekat dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Tidak seperi
halnya pada perundang-undangan, waktu itu belum dijumpai usaha yang dilakukan secara
sadar untuk membuat pedoman tingkah laku dalam bentuk yang formal definitif, yaitu
tertulis.6
9
Pasal 15 AB menyebutkan bahwa “hukum pada umumnya melengkapi undang-
undang dan tidak dapat mengesampingkan undang-undang”. Selanjutnya pasal 28 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.7 Oleh karena itu dalam keadaan tertentu, hukum kebiasaan dapat saja
mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap.
c. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah putusan hakim yag berkekuatan hukum tetap. Yahya Harahap
dalam hal ini menambahkan dua syarat dalam yurisprudensi, yaitu:
1. Semula janda hanya sebagai pihak yang berhak atas warisan, kemudian
kedudukannya berubah menjadi ahli waris (Yurisprudensi MA, tanggal 13 april 1960)
2. Beli sewa tidak diatur dalam perundang-undangan, tetapi dasar hukumnya
diketemukan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, tanggal 18 Desember 1957
3. Fiducia berdasarkan pasal 1152 KUH perdata adalah tidak sah, karena barang yang
digadaikan tetap dibiarkan dalam kekuasaan yang berhutang (peminjam barang),
tetapi kemudian dibenarkan dalam yurisprudensi Hooge Raad, tanggal 25 januari
1929. Oleh karena itu fiducia sering disebut dengan gadai yang terlarang.
10
bilateral, sedangkan apabila melibatkan banyak negara disebut multilateral. Dalam bidang
hukum, perjanjian internasional bisa berupa perjanjian ekstradisi pelaku kejahatan, kerjasama
dalam menyampaikan dokumen-dokumen serta bukti-bukti perkara dalam pengadilan dan
lian-lain.
f. Putusan Desa
g. Perilaku Manusia
Hukum tidak hanya berwujud kaidah atau norma saja, tetapi dapat berupa
perilaku(sein). Dari perilaku manusia ada yang bersifat aktif yaitu perbuatan konkret dan
adapula yang bersifat pasif seperti sikap atau iktikad.9
Sebelum 1800 sebagian besar hukum adalah hukum kebiasaan sebagai reaksi
terhadap ketidak-pastian dan ketidak-seragaman hukum, maka timbullah usaha untuk
penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi, yaitu menuangkan hukum dalam undang-
undang (codex). Lambat-laun timbullah masalah tentang apa yang merupakan (satu-satunya)
sumber hukum. Lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak
pada pandangan mengenai apa yang merupakan sumber hukum.
11
Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang ajaran sumber hukum. Beberapa aliran
penemuan hukum yaitu:10
1. Aliran Legisme
1. Mazhab Historis
Mahzab historis lahir pada abad 20,sebagai hasil kesadaran bahwa UU tidak
mungkin lengkap. Seiring dengan waktu nilai yang dituangkan dalam UU tidak lagi sesuai
dengan perkembangan zaman. Konsekwensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan
dalam UU. Oleh karena itu hakim dapat membuat hukumannya(judge made law). Hukum
kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi UU dan dianggap sebagai unsur sistem
hukum. Menurut Von Savigny(1779-1861) kesadaran hukum (volksgeist),yang paling murni
terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan
hukum dan praktik-praktik yang terdapat dalam kehidupan bersama.
12
2. Begriffsjurisprudenz
Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf van
Jhering(1818-1890),yang menekankan pada sistematik hukum. Menurut aliran ini,yang ideal
adalah apabila sistem yang ada itu berbentuk suatu piramida dengan puncakknya suatu azas
utama,dari situlah dapat dibuat pengertian-pengertian baru sebagai suatu sistem penemuan
hukum.11
13
Metode penafsiran yang digunakan terutama theologis,yang lebih memperhatikan
tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-katanya saja.
4. Aliran Studi Hukum Kritis
Aliran ini mengkritik hukum yang berlaku karena nyatanya memihak ke politik,dan
sama sekali tidak netral.
Aliran ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan
batasan-batasan tertentu. Aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi
kemanusiaan.
Aliran ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak tetapi
pengetahuan yang benar-benar obyektif.
Aliran ini menolak perbedaan antara teori dan praktik,dan menolak perbedaan antara
fakta dan nilai,yang merupakan karakteristik dari faham liberal.
Pada prinsipnya aliran ini menolak anggapan ahli hukum tradisional yang
mengatakan bahwa hukum itu obyektif(kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum),hukum
itu sudah tertentu(hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti),hukum itu
netral(tidak memihak pada pihak tertentu).
13
Sudikno Mertokusumo.2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.(Yogyakarta: Liberty).hlm.109
14
Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.70-71
14
Hukum mencari legitimasi yang salah
Hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah,dengan jalan mistifikasi,dengan
menggunakan prosedur hukum yang berbelit dan bahasa yang susah
dimengerti,sehingga pihak yang ditekan oleh orang yang punya kuasa cepat percaya
bahwa hukum adalah netral.
Tidak ada yang namanya prisip-prinsip dasar dalam hukum
Menurut mereka pemikiran yang rasional itu merupakan ciptaan masyarakat
juga,yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Hukum tidak netral
Aliran ini berpendapat bahwa hukum tidak netral,dan hakim hanya berpura-pura atau
percaya secara naif bahwa dia mengambil keputusan secara netral dan tidak memihak
dengan mendasari putusannya pada undang-undang,yurisprudensi,atau prinsip
keadialan. Padahal mereka selalu bisa dipengaruhi oleh ideologi yang dianutnya untuk
memperkuat kelas yang dominan.15
15
Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan
metode interpretasi tertentu,tetapi yang terpenting bagi hakim ialah interpretasi yang dipilih
dapat tepat sasaran,yaitu dapat memperjelas peraturan perundang-undangan sehingga dapat
secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.17 Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan
dikenal beberapa macam metode interpretasi,yaitu:
Interpretasi Subsumptif
Adalah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap kasus dengan belum
memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit,tetapi sekedar
menerapkan sillogisme(bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpualan dari
peristiwa umum). Contoh: “barang siapa mencuri dihukum”(peraturan). “kuncung
mencuri burung”(peristiwannya). Kesimpulannya: “karena kuncung mencuri
burung,maka ia harus dihukum”. Hal ini sama dengan penemuan hukum heteronom.
Interpretasi Gramatikal
Adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah
bahasa(hukum tata bahasa) yang berlaku.
Misalnya: istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan dengan
“menghilangkan”. Dan istilah “meninggalkan” anak dalam pasal 305 KUHP
ditafsirkan dengan “menelantarkan”.
Interpretasi Sistematis (logis)
Adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum(undang-undang lain) atau dengan
keseluruhan sistem hukum. Dalam menafsirkan peraturan perundangannya tidak
boleh keluar atau menyimpang dari sistem perundangan suatu negara.
Contoh: apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan dari
pernikahan orang tuanya,hakim tidak cukup mencari ketentuan dalam KUH Perdata
saja,tetapi juga harus dihubungkan dengan pasal dalam KUH Pidana.
Interpretasi Historis
Adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah,baik sejarah Perdata nya. Interpretasi ini biasanaya bersifat
membatasi/mempersempit suatu pengertian dalam undang-undang.
16
Contoh: setiap tetangga itu termasuk seorang penyewa dari pekarangan
disebelahnya,tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa,ini
berarti hakim telah melakukan interpretasi restriktif(penafsiran dengan memperluas
cakupan suatu ketentuan).
Interpretasi Ekstensif
Adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil
interpretasi gramatikal. Digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-
undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.
Contoh: perkataan “menjual” dalam pasal 1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan
secara luas bukan hanya jual-beli saja tetapi juga menyangkut peralihan hak
milik(termasuk tukar-menukar,hibah dan pewarisan).
Interpretasi Otentik atau Secara Resmi
Adalah memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna yang sah atau yang
resmi. Dalam hal ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara
lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya didalam undang-undang itu
sendiri. Itu artinya ketentuan pasal dalam undang-undang itu sudah sangat
jelas,tegas,tertentu maksud yang dituju,sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam
penerapannya.
Contoh: “apabila dalam undang-undang atau suatu perbuatan perdata,digunakan
istilah barang bergerak perkakas rumah,mebel atau perabot rumah tangga dengan
segala sesuatu yang ada didalamnya dan semuanya tanpa kata tambahan,perluasan
atau pembatasan maka istilah itu harus dianggap meliputi benda-benda yang ditunjuk
dalam pasal tersebut”.
Interpretasi Interdisipliner
Dalam hal ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut
berbagai disiplin ilmu hukum. Digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang
ilmu hukum. Contoh: pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”,hakim menafsirkan
ketentuan pasal dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana,administrasi
negara,dan perdata.18
Interpretasi Multidisipliner
Dalam hal ini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
Para hakim bebas menggunakan metode interpretasi mana yang dianggap paling
17
tepat,meyakinkan,dan memuaskan. Hakim bersifat otonom dalam menentukan
pilihannya,bahkan metode interpretasi secara campur aduk atau lebih dari satu jenis
interpretasi sering digunakan.
Interpretasi dalam Kontrak Perjanjian
Suatu perjanjian lahir karena ada kata sepakat diantara pihak dan kesepakatan itu baru
ada kalau kehendak para pihak yang dinyatakan tersebut telah saling bertemu.19
Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata,untuk menetapkan isi kontrak perlu
dilakukan penafsiran sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam
kontrak. Penafsiran menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan
menetapkan akibat hukum yang timbul karenanya.
Interpretasi dalam Perjanjian Internasional
Interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah hukum internasional akan
semakin bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup internasional.
Hubungan kerjasama antarnegara senantiasa dipelihara dan ditingkatkan.
2) Metode Argumentasi
Metode Analogi
Metode ini berarti memperluas peraturan perundang-undangan,yang terlalu sempit
ruang lingkupnya,dan diterapkan pada peristiwa yang diatur undang-undang. Metode
analogi sering digunakan dalam perkara perdata. Analogi merupakan metode
penemuan hukum dalam hal hukumnya tidak lengkap,jadi merupakan pengisian atau
penciptaan hukum baru dan bukan sebagai bentuk penafsiran.
Metode a Contrario
Merupakan cara menjelaskan makna undang-undang dengan didasarkan pada
pengertian yang sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa
19 Ibid.95
20 Peter Mahmud Marzuki.2007.Penelitian Hukum.(Jakarta:Prenada Media Group).hlm.84
18
yang diatur dalam undang-undang. Esensinya adalah mengedepankan cara penafsiran
yang berlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang.
Contoh: apabila disuatu tempat dilarang merokok,dengan menerapkan metode
tersebut berarti dengan demikian seorang meludah boleh karena yang dilarang hanya
merokok.
Metode Penyempitan Hukum
Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu aturan hukum
yang terlalu abstrak,luas,dan umum,supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu. contoh: “perbuatan melanggar hukum”,yang luas ruang lingkupnya
dipersempit seperti masalah ganti kerugian,yurisprudensi menetapakan bahwa kalau
ada kesalahan pada yang dirugikan, hanya dapat menuntut sebagian kerugian yang
diakibatkan olehnya.21
Metode Fiksi Hukum
Adalah sesuatu yang khayal yang digunakan didalam ilmu hukum dalam bentuk kata-
kata,istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud
untuk memberikan suatu pengertian hukum.
Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas
hukum,juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Atau fiksi hukum
itu bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem
hukum yang ada.22
Contoh: “anak yang berada dalam kandungan seorang wanita,dianggap telah
dilahirkan,jika kepentingan anak menghendakinya”. Apabila bapak si anak wafat,anak
tersebut tidak akan kehilangan hak kewargaannya,anak itu mempunyai hak atas
warisan ayahnya.
Tujuannya adalah untuk menghemat kata-kata yang digunakan dalam merumus
kaidah hukum,sehingga dari satu pengertian akan mengandung pengertian yang lebih
luas. Hendaknya ahli hukum menjauhkan dari pembentukan hukum yang khayal
berusaha menyingkirkan istilah dan kalimat hukum yang sulit dipahami
masyarakat,karena hukum itu bukan kesenian.
19
3) Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Tujuannya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkret dapat memenuhi
tuntutan keadilan,dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah “pencurian” adalah
suatu kontruksi hukum,suatu pengertian tentang mengambil barang dengan maksud untuk
memiliki secara melawan hukum. Metode eksposisi dibagi dua,yaitu metode eksposisi verbal
dan tidak verbal. Metode eksposisi verbal meliputi:
23
Ibid.115-116
20
diamati dengan pancaindera (nama dan barang: almari,kursi,hijau,lembutaku,kamu,gempa
bumi,tsunami,dll). 24
Tergugat →
Penggugat→ ↓
Putusan
Keterangan:26
Penggugat mengajukan gugatan yang berisi peristiwa konkret yang dijawab oleh
tergugat dan dalam jawabannya yang berisi peristiwa konkret pula. Dari jawab
menjawab itu dapat diketahui oleh hakim peristiwa manakah yang sekiranya menjadi
sengketa antara kedua belah pihak.
21
Peristiwa konkret itu masih harus diteliti kebenarannya,hakim harus memperoleh
kepastian melalui sesi tanya jawab tersebut. Setelah itu baru diseleksi yang mana
peristiwa pokok/relevan dan yang tidak relevan.
Kemudian hakim mulai merumuskan masalah dan hanya peristiwa konkret (relevan)
saja yang harus dibuktikan. Setelah peristiwa konkretnya terbukti kemudian
dicaraikan peraturan hukumnya. Sumber penemuan hukumnya dapat diperoleh dari
(peraturan perundang-undangan,putusan hakim,doktrin).27
Setelah menemukannya kemudian dibahas,ditafsirkan,dan dianalisis,setelah
ditentukan maka peraturan diterapkan pada peristiwa hukumnya. Setelah itu diambil
suatu putusan (yang sebelumnya harus direnungkan,dipertimbangkan,dan dievaluasi
alternatif mana yang akan diambil). Tugas hakim adalah memeriksa,mengadili,dan
memutuskan perkara.
Dalam suatu putusan idealnya ada 3 unsur,yaitu cita hukum(kepastian hukum) secara
proporsional,kemanfaatan,dan keadilan,akan tetapi pada penerapannya jarang terdapat
putusan yang mengandung 3 unsur itu. Dan hakim dalam memutuskan perkara bukan
hanya sekedar harusselesai tetapi harus juga tuntas.28
22
Penutup
23
Daftar Pustaka
http://patawari.wordpress.com/2009/03/12/proses-penemuan-hukum/
24