Anda di halaman 1dari 17

PENEMU

pengantar
Túlisan singkat berikut hni dimaksudkan sebagai pengantar diskusi tentang penemuan
hukum dalam putusan hakim, Tulisan pertama-tama akan memyingung tentang
kesenjangan hukum (legal gap) yang kerap terjadi dalam penerapan hukum. Kesenjangan
inilah yang membuka akses bagi penemuan hukurn. Penemuan hukurn sendiri tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas penalaran hukum, sehingga tidak mungkin kita dapat memahami
hakikat penemuan hukom tanpa mengaitkannya dengan proses penalaran hukum. Untuk
itu, uraian berikutnya berkisar seputar penalaran hukum dengan berbagai
langkah•langkahnya. Sebetum ditutup, akan dibahas keterkaitan ulasan sebeiumrya dengan
aktivitas penemuan hukum.

Kesenjangan Hukum
Dalam tradisi keluarga civil láv system, norma positif dalam sistem peraturan
perundang-undangan dipandang sebagai sumber formal hukum yang paling Utama,
Hal ini terlebih•lebih sangat ditekankan dalam ranah hukum pidana. Dalam alam
pikiran demikian, keberadaan hukum tertulis menjadi sangat penting, Makna hukum
tertulis dalam konteks hukum pidana kerap dibatasi denotasinya yaitu hanya berupa
undangundang.* Älhasil, undang-undang perlu dibuat selengkap mungkin agar mampu
mengakomodasi dan mengantisipasi setiap perilaku pelanggaran hukum.
Pembentuk undang-undang umumnya berkeyakinan bahwa undang•undang
yang dihasilkannya mampu mengakcmodasi dan mengantisipasi petanggaran-
pelanggaran hukum terkait dengan materi muatan yang tercantum dalam peraturan
tersebut. Jika mengikuti konsepsi teori kehendak dari John Austin, keyakinan demikian
dapat dibenarkan meneingat para pembentuk undang•undang sudah memastĺkan
bahwa undang-undang itu dibuat dengan menampung kehendak penuh sernua
pemangku kepentingan. 3 Oleh sebab itu, undang-undang yang dihasilkan sudah
dipastikan telah menampung rasa keadilan dan memuat jaminan kemanfaatan jika
diterapkan- Hakim yang menjumpai adanya peristiwa konkret (empiri) yang
dihadapkan di muka persidangan, dengan sendirinya tinggal menerapkan saja undang-
undang itu. Jadi, menerapkan undang-undang dengan sendirinya sudah menjamin
tegaknya keaditan dan kemanfaatan.
Nomta
soc.ava

on piti C

Namun. keyakinan seperti di atas sebenarnya hanya sebatas asurnst. Het


recht hinkt achtet de reiten aan: hukum selatu berjaian tertatlh-tatlh dl belakang
pertsttwa kcnkret- Oleh sebab Itu. cepat atau tambat, undang•undang akan
ternnggal oleh fakta. Jurang ketert•nggalan Itu klan melebar setring dengan
berubahnya tatanan sostal tempat hukurn itu hidup di datam alam kenyataannya.
Di stnltah terjadi legal gap antara hukum dl atas kertas (Iaw jn the books) dan
hukum yang hidup datam kenyataan (law in actiM; the living lawy
Dalam praktik di ruangmuang pengadilan. kesenjangan (gap) yang terjadi ini harus
diqasati oleh hakirn. Hakikat dari undakan untuk menvjasati kesenjangan inilah yang dF.ebut
dengan penemuan hukum (rechtsvinding). tn', dalam koea mata
penganut legisme. merupakao anomali dalam penegakan hukum. Anomali adalah yang buruk
karena ja berpotensi menggerogoti kewibawaan hukum.• Untuk itu. hakim disarankan untuk
tidak memelihara anornali tersebut. Jika ter jodi an«nali yang tidak mungkin ditoleransi tagi.
maka tugas jrmbentuk undang 'JRiangIah unti.A undang•undang tersebut melalui proses
legtslotive review.
Hakikat Penalaran Hükum
Sebagai ilme praktis, ilmu hükum berkewajiban menjawab langsung problematika
konkret yang diajukan masyarakat, yakni pertanyaan: jika orang melanggar hukurn, apa
hukumannya? Pertanyaan demikian harus dijawab segera, lugas, tegas, dan tidak boleh
diambangkan (lites finiri oportet),
Putusan hakim pada dasarnya dibuat dalam rangka memberikan jawaban seperti itu.
Oleh karena hakim dianggap tahu hükum (ius curia novit), maka putusan itü harus memuat
pertimbangan-pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar di kalangan
institusi kehakiman, forum ilmu pengetahuan hukurn, maşyarakat luas, dan para pihak yang
berperkara.$ Hakim perlu mencermatj apakah putusannya berpotensi untuk dikoreksi atau
dibatalkan oleh rekan-rekannya di jenjang peradilan berikutnya. la juga perlo mencermati
agar putusannya sejalan dengan doktrin ilmu pengetahuan hukum, Pada gilirannya, putusan
itupun wajib memperhatikan tanggapan masyarakat luas, dan dalam lingkup yang lebih
spesifik, juga tanggapan dari mereka yang tertibat langsurıg di dalam perkara itu.
Dalam proses lahivnya putusarı hakim itü, berlangsunglah apa yang disebut
penlaran hukum. Kenneth J, Vandevelde menekankan dua hal setiap kati orang
berbicara tentang penalaran hükum atau berpjkir ala ahli hukum. Menurutnya, "The
phrase •to think dike a iowyer' encapsulotes a way of thinking that is chomcterized by
both the goal pursued and the method used. "f Persoalan yang pert,pma (yoal pursued)
berdimensi aksiologis, sedangkan yang kedua (method used) berdimensi epistemologis.
Aspek epistemologjs berupa metode yang dimaksud dalam konteks ini adalah
hat. hal yang terkait dengan cara-cara penarikan kesimpulan dalam suatu proses
penalaran hükum- Pada galibnya, penalaran hükum (legal reasoninş) direpresentasikan
dengan mengikuti rangkaian proses bekerja (berpikit) seorang hakim Çjudjcial
reasoning).• Dengen demikian pengertian penalaran hükum seringkalj dipersempit
menjadi penalaran hakim talkala yang bersangkutan menghadapi suatu kasus konkret.
Dengan perkataan lain, penalaran hakim (jüdici0J reasoning) dipandang sebagai wujud
paling konkret dari penalaran hükum (leyo( reosonjny),

Langkah-Langkah Penalaran Hukum»


Terkait dengan langkah-langkah penalaran hukum, pertama-tema perlu
diperhatikan pandangan Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa seorang
sarjana hükum (termasuk hakim, tentü saja) se[ayaknya menguasai kemampuan
menyelesaikan perkara yuridis (Che power of solving legal problem). Kemampuan ini
terdiri dari tiga kegiatan utama yakni merumuskan masalah hükum (legal problem
indentification), memecahkannya (egal problem solving), dan terakhjr mengambil
keputusan (decision
Putusun hakim diarahkan apar davul "leh kıxınpat konmnen İni. dapat dibaca dalam N.E. Akpra K, Van DuyveıMİk,
ÇRechlsawn•eıng), lerıema.h'ü'ğ J.C.T. Simurangkır (Bandung: Binacipta, 1983), 352-357.
I Kenneth Vandevçldc, Thinking Like A legal (Colorado: Wcs1vİew Press,
1996), iılın, l,
Ke,cendcmngan İni deiiijkian kani, Pete' NOII mensinyalir, his helâle 'Yine
(ılınu hükum hnnya_lah ringgal yang mumi renlang
peradiianj, W.G, Van der Veldcn jüga heeft :ıch le de

"en (limu kual ilan İmik hali Liari para ahli ini, sch•agaiınnrıa
Van Schende]en, tela” ilmü İln"ıu Ke.:cndeıuntğliğj maTcrİ pcıniidikan ili mi, litval A. S, *itamiJ1t1, dalaın Maria 11Hlva1i dan
(Yogyakarta: Kanişi"', 1998), bili".
Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukurn, yaitu:t'
l. mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan
dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of
Caw);
2, menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukurn yang mungkin dan
kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3. mensintesiskan aturan hokum tersebut ke dalam struktur yang koheren, yakni struktur yang
mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan urnum
(synthesize the applicable rules o/ low into a coherent structure);
4. menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the avoifoble facts);
5. menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta•fakta untuk memastikan hak atau
kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam
aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to
the facts).

Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan
seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus. ll
•meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau mernaparkan kasus
dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya: memaparkan secara singkat duduk perkara
dari sebuah kasus (menskematisasi);
2. menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3. menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4, menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan•aturan hukum itu; 5,
menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6. mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7. merumuskan (formutasi) penyelesaian.
Dengan mempertimbangkan beberapa pandangan di atas, dapat disimputkan enam
langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1, mengidentifikasi fakta•fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-
sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber
hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
peristitahan yuridis (legal term);
3. menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies
underlying those rulesj, sehingga dihasjlkan suatu struktur (peta) aturan yang
koheren;
4. menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5, mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diforrnutasikan sebagai
putusan akhir.

Apabita diitustrasikan dalam sebuah skema, akan tampak simplifikasi dari enam

i.
penalaran tersebut dalam ragaan di bawah.13 Sebagaimana terbaca pada urajan
atas masıngmastng langkah tersebut, arah langkah demi langkah penalaran hükm ini
bukanlah pcvyaianan linear seakan-akan seorang penalar hükum (in hakım) yang sudah
Şampai pada langkah tertentu berada pada point öf no return. Ragaan yang menampilkan
langkahAangkah tersebut hanyalah asumsi-asumsi di atas kertas (teoretis). Sementara di
lapangan, langkah•langkah dalam proses penalaran itü dapat bergerak şecara simultan,
atau jika diperlukan, malahan dapat berbalik ke langkah sebelumnya (regresif).

a. Langkah Pertama
Dalam ragaan di atas diasumsjkan ada beberapa pihak (katakanlah X dan Y) yang
sedang berperkara. Pihak-pihak mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Hakim
berkewajiban untuk menempatkan para Pihak pada posisi yang sejajar dan ja
berkewajiban mendengarkan keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak
(audj et olteram portem). Tentü saja setiap pihak akan mengajukan versi kastıs
menurut pandangan masing-masing. Hakim akan melakukan identifikasi ataş setiap
versi kasus itti, dengan membuang keterangan-keterangao yang itelevan, sehingga ia
sampai pada tentang posisi kasus yang sesungguhnya, yang disebUt sebagai
struktur kasus atau stnjktut fakta.
Sekaüpun hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya
dengan atasan tidak ada hükum yang mengaturnya, tetap perlu diyakinkan oleh
masing-masing pihak melalui serangkaian argumentasi„ Dalam proses ini berarti
hakim dihadapkan pada dialektika infcrmasi yang dişodorkan masing-masing Pihak
agar ia dapar mernbuat tertentu. Sintesis ini mewujud menjadi keyakinan hakim,
yang pada saatnya dapat dijadikan sebagaj şurnber [hüküm] "otonom” bagi yang
bersangkütan dalam menyelesaikan kasus tersebut.

MeftOkusumo,Mengenol Hükum__ Cif.. hl'", 59.


5
Keyakinan hakim tentang düdük perkara suatu kasus sangat penting," khususnya da
sistem peradilan dalam keluarga sistem civil Iaw yang menempatkan hakim sebagai
pemberi keputusan tunggal baik dari segi fakta (penetapan guilty or not guiItY) maupun
hukumnya. Dapat tidaknya perkara ini dilanjutkan, sangat bergantung pada keyakinan
hakim tentang peta kasus tersebut sebagaimana terkonstruksi di benaknya.
Sekali lagi ditegaskan, bahwa langkah pertama ini tidak şelalu berjalan linear
mendahului langkah-langkah berikutnya seperti akan dikemukakan kemudian. Menurut
Brught dan Winkelman, langkah-langkah itü seringkali saling bertumpuan. Pengetahuan
itentang isi dari aturan hükum yang dapat diterapkan ikut menentukan pada waktu hakim
menyelek5i fakta-fakta mana yang dianggapnya relevan. Logika induktif banyak berperan
dalam langkah pertama ini.
Patut dicatat bahwa tidak semua kasus yang diajukan ke pengadilan berdimensi
sengketa. Kasus-kasus berupa permohonan penetapan hakim, seperti pergantian nama
seseorang atau adopsi anak, tidak menghadapkan pihak-pihak yang bersengketa di
dalamnya. Dalam perkara seperti ini, struktur kasusnya tentü akan lebih mudah
dipetakan oleh hakim. Sekalipun demikian, secara teoretİs hakim tetap dianggap tedah
melakukan penarikan kesimpulan (inferensi) dalam menangani kasus semacam itü yang
dişebut inferensi langsung. la tetap berkewajiban mengkonstatasi fakta-fakta dalam
kasus tersebut dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang irelevan.
b. Langkah Kedua
Pada langkah berikutnya, hakim akan melakukan pengkualifikasian dengan
menerjemahkan kasus itü ke dalam peristilahan yuridis. Pengkualifikasian merupakan titik
krusial dalam penalaran hüküm. Fakta-fakta yang dikemukakan para pihak umumnya
diformutasikan dalam simbol, sebagian beşar berupa kata-kata, yang mungkin dimaknai
şecara berbeda menurut kaca mata yuridis. Burght dan Winkelman memberi contoh
sederhana dengan kata "membeli." Bagi orang awam, istilah "membeli” sering
dimanfaatkan untuk menyatakan bahwa seseorang menjadi pemilik suatu benda. Padahal,
datam bahasa hukum, kata ini menunjukkan hal mengadakan perjanjian obligaıoir yang (di
kemudian hari) akan menimbulkan penyerahan (levering) dan perolehan hak milik
(eigendomsverkrijging).
Seorang hakim, sebagai pengemban hüküm, tentü saja telah dibekali pengetahuan
yang cukup tentang macam-rnacam kualifikasi perbuatan hüküm. Tiap-tiap kualifikasi
tersebut diberi peristilahan yuridis (legal term) melatuj sumber-sumber hükum yang telah
disistematisasi oleh ilmu hüküm. ”Mengambil milik orang lain dengan maksud dimiliki
secara melawan hüküm" diberi kualifikasi sebagai pencurian. ”Menghilangkan nyawa orang
lain" sebagai "pembunuhan” dan seterusnya. Demikian pula dengan kuaiifikasi perbuatan
hükum pidana, perdata, administrasi negara, dan seterusnya.
Pengkualifikasian tersebut dapat mudah dilakukan apabila kasus yang dihadapi
Dalanı hükum acara pidana dikenal scdikitnya tiya pendekatan dalam mcninjau alat-alat bükti: ( I ) sistem
wenelijk, yaitu hakim wajib tcrikat alat hukti minimum mcnurut tctapi masih pcrlu ditamhah kcyakman
hakim: (2) sistem yakni kcyakinam hakim, Icnlakwa Ictap dapal scpanjang (3) vrjj
yang kcyakinan hakım. sekalipıın tanpa alat bakli lain, hakim daput mcnjatuhkan pidana_ UU No. K
Vahan 1981
Hukmm Avara sistem neganefwellehjk, Lihat Andi Hamzalı & Ildan Dahlan, Pevbandjngan
(Jakarta: 1984). hım, 254—255,
Brught & Cin, hım, 39, dcngnn dipcnuhİ
Hitler-
Katolik pada bendem sebagai 'ICIİk K[JHP
CİMİ yaİlü "dem Dieh M" (orang pcncurİ)_ 4 (Jakarta: Bina 1987)
strukturnya sederhana (clear case). Namun, dalam kenyataannya, tidak semua kasus
mempunyai struktur yang sederhana. Ada kasus yang strukturnya sedemikian kompleks
(hard case; doubful case; penumbral case) karena terdiri dari kombinasi berbagai bidang
hukum dan perbuatan hukum sekaligus, misalnya kasus yang membuka kemungkinan
terdakwa diadili di pengadilan koneksitas atau tindak pidananya bersifat konkursus. Belum
lagi jika sumber hukum yang diacu tidak memberikan rumusan yang eksplisit, atau bahkan
sama sekali tidak menyediakan aturan apapun. Semua kondisi tersebut mengharuskan
hakim melakukan kegiatan penemuan hukum (rechtsvinding).
Kegiatan penemuan hukom pun sesungguhnya telah dimulai pada langkah
pengkualifikasian ini. Tindakan pengkualifikasian itu sendiri pertama-tama sudah
menggunakan logika induktif, yakni dengan menghubunekan fakta-fakta yang muncul
dalam peristiwa yang telah terindentifikasi tersebut dengan surnber hukum tertentu.
Langkah ini mungkin tidak berlangsung mulus, mengjngat tidak semua kasus dapat
dikualifikasikan secara mudah.
Untuk kasus yang komp(eks (hard case), dapat terjadi sumber hukurnnya tidak
dapat diacu secara cepat, sehingga dibutuhkan penyeleksian aturan-aturan secara [ebih
tepat untuk akhirnya dapat dipero(eh kepastian (dikonstatasi) bahwa peristiwa konkret
itu adalah suatu peristiwa hukum (peritiwa yang berakibat hukum). Mengingat sumber
hukum tersebut demikian banyaknya, penyeleksian tadi harus dilakukan dengan
hatihati. Sistem hukum suatu negara tentu telah memberikan pedoman tentang ja(inan
hubungan antara sumber-sumber hukum tersebut. Sebagai contoh, datam sistem
hukum Indonesia dapat ditunjukkan suatu jalinan hubungan antar-sumber hukum
seperti ragaan di bawah.
Sumber formal hukum secara klasikal dibedakan menjadi peraturan
perundangundangan, traktat, pertanjian di lapangan keperdataan (kontrak),
yurisprudensi, kebiasaaru dan doktrjn. Perkembangan dewasa ini te(ah menunjukkan
makin luas dan beragamnya sumber-sumber formal hukum itu.
Satu sumber formal hukum yang sudah eksis sejak lama, namun jarang
dikemukakan datam buku•buku teks adalah nilai-nilai atau asas•asas hukum." Asas
hukurn umumnya tidak dirumuskan datam bentuk norma tersendiri di datam
undangundang. Oleh karena itu, wujudnya masih berupa nilai, Ia ada di balik
ketentuan norma hukum positif tersebut. Principte of morality (sebutan dari John
Chipman
Grundnorm (istilah dari Hans Kelsen) atau Volksgeist (terminologj dari von Savigny)
termasuk datam kategori ini. Datam sengketa hukum internasional publik, asas
hukum ini (dirumuskan dengan kata-kata "general principles ot low recognized by
civilized nations") bahkan digunakan sebagai surnber hukum utama.
hüküm. Dalam Code Civil yang berlaku sejak 1804 di Prancis, sebagaimana
juga diikuti Kitab Undang-Undang Hükum Perdata di Indonesia, kebiasaan
menjadi faktor yang hanıs diperhatikan dalam membuat perjanjian.ll
Untuk konteks sistem hükum Indonesiaj kedildukan kebiasaan ini menjadi salah satu
sumber permasalahan tersendiri, mengingat terminologi ini serine diidentikkan
dengan hükum adat. Dalam konteks keindonesiaan, kebjasaan yang termasuk kategori
hükum adat tidak serta mevta dapat dijadikan sumber formal hukum, kecudli jika telah
ditunjuk oleh undang-undang.u Kompleksitas permasalahan ini akan mempengaruhi
pola penalaran hükum yang diperagakan oleh pengemban hükum di Indonesia
sebagaimana akan dielaborasi kemudjan dalam Bab IV karya tulis ini.
şumber formal hükum yang mungkin belum banyak disinggung adalah apa yang
oleh Edgar Bodenhejmer dişebut sebagai autonomjc legi51ation. 15 Bentuk
ini antara lain bevupa kode etik profesi. Hampir tidak ada ahli
hükum yang menyadan bahwa sumber formal hükum seperti ini telah maşuk ke
dalam sistem hükum positif Indonesia (bahkan ke dalam sistem hükum pidana yang
terkenal kakuj, sekalipun mungkin hal ini dilakukan secara tidak dişengaja,
Pada vagaan di atas juga terlihat ada pola hubungan yang bersifat normatifimperatif.
Jika sumber hükum itü dilihat sattı demi çatu secara terpisah, masing-masing memang
memiliki sifat normatjl-imperatif, sepanjang sumber hükum itü memang dengan kasus yang
dihadapi, Sebagai contoh, untuk sengketa sewa-menyewa antara dua orang warganegara
ındonesia ataş properti yang dilindungi olein hükum Indonesia, tentü kontrak di antara pihak
penyewa dan yang menyewakan akan memiliki sifat normatif-imperatif. Sebaliknya sumber
hükum berupa traktat internasional tidak memiliki sifat normatif-imperatii karena tidak
relevan bagi kaşus tersebut.
Mengingat sumber-sumber formal hükum itü berada dalam satu sistem, maka ada pola
hubungan yang normatif-koordinatif. Hakim hams memanfaatkan sifat hubungan ini agar
(angkah-langkah yang dilakukannya tetap betada dalam koridor sistem hükum yang ada
Apabila ada sumber•sumber hukum yang kontradiktif dalam melihat kasus konkret yang
dihadapjrtya, hakim harus mengambil sikap melalui pendekatan sistem. Dalam hal ini, asas-
asas hükum dapat digunakan unluk membantü mencari pemeçahan dati Situasi kontradiksi
itil.
Pada gariş yang lain, tampak ada gambaran pola hubungan yang normatif-persuasif.
palam sistem hükum Indonesia, atau keluarga sistem civil Iow pada umumnya, hal ini
berlakU urıtuk sumber formal hükum berupa putusan pengadilan, Putusan yang ditetapkan
oleh hakim selalu bernuansa personal-kasuistik.il Karena sifat demikian, sejumlah ahli
hükum seperti van Apeldoorn, menolak memasukkan putusan hakim sebagai sumber formal
hukum, Menurutnya, putusan hakim bersama dengan perjanjian (di lapangan hükum
keperdataan) dan doktrin adalah faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum,
karena mereka semua tidak membentuk peraturan secara abstrakto.Z8
Di muka telah disinggung bahwa kegiatan menghubungkan fakta-fakta yang
ditemukaıı dalam kasus konkret dengan sumber hükum merupakan proses penemuan
hükum (rechtsvinding) sebagai bagian dari aktivitas penalaran hükum (juridisch
redenering). Di sini pola penalaran hakim justru pertama-tama dibangun secara induktif,
dengan mencermati fakta demi fakta yang dibentangkan sebagai posisi kanış tersebut.
Baru kemudian hakim akan mengkualifikasi peristiwa konkret tadj agar dapat diberj
predikat sebagai peristiwa hukurn,

c. Langkah Ketiga
Langkah kevjga yang harus dilakukan hakim adalah menyeleksi sumber hükum
dan hükum yang retevan untuk kemudian mencari tahtı kebijakan yang terkandung
di dalam avutan hükum itü (the policies underlyiny those ru(eş), sehingga dihasilkan
suatu strukmr (peta) aturan yang koheren. Pada langkah ketiga ini didapati ada liga
tingkatan aktivitas: (I ) menyeleksi sumber hükum terberi (yiven legal resourceş). (2)
menyeleksi aturan hükum dalam sumber hükum terberi, dan (3) mencauj kebijakan
dalam aturan tersebut, Apa yang dimaksud dengan kebijakan ini, dalam terminologj
ilmu politik sering juga disebüt dengan istilah”politik hukum. "
Dalam prakik penanganan perkara, khususnya kasus-kasus hükum pidana,
hakim berada dalam posisi menerima saja pilihan sumber dan dasar hükum yang
telah dipılih oleh jakşa penuntut umum, Oleh şebab itü, tingkatan aktivitas yang
biasa dilakukan oleh hakim langsung pada butir ketiga, yakni mencari kebijakan
dalam aturan tadi.
Apabila dari sumber-sumber hükum yang sudah dişeleksi itü ditemukan
sejumlah duran (norma) yang tingkat koherenşinya tidak sempurna, maka harus
dilakukan penyeleksian oturan secara hati-hati, Dalam konteks ini, dapat digunakan
asas-asas dalam hal terjadi kontuadiksi normatif antara:
1 . undang•undang yang umum dan undang•undang yang khusus. dayat dicari pemeçahannya
dengan asas lex spedalis derogat legi generali;
2, undang-undang lama dan undang-undang barut dapat dicari pemecahannya
dengan lex posterm derogat degi priori;
3. undang-undang lebih tinggi dan undang-undang lebih rendah 6eperti undang-undang [dalam
arti dengan peraturan pemerintah), dapat dicari pemecahanoya dengan asas iex şuperjor
derogat legi inferiorj;
4. undang-undang dan puujsan hakim, dapat dicarj peınecahönrt"ğl dengan asas res
ftJdİCUIO pro veritate habetun;
5, undang•undang mengatur dan kebjasaanj dapat dicavj pemecahannya dengan asas Die
norrnotieve Kraft deş Faktişchen;
60 undang•undang memak5ö dan kebiasaan, dapat dicari pemecahannva dengan duro
sed turnen stripta.
struktur aturan dari sebuah ketentuan normatif. Setiap rumusan norma dapat terdiri
dari norma primer dan norma sekunder- Norma sekunder yang dimaksud di sini tidak
lain adalah konsekuensi dari terpenuhinya norma primer, yang lazim disebut ancaman
hukuman. Norma primer ini memuat unsur•unsur berupa: (aj subjek hukum yang
menjadi sasaran norma (normadressaat); (b) modus perilaku, yakni sifat•sjfat norma
terebut (modus van behoren); (c) objek norma, yaitu perilaku yang diminta untuk
dikerjakan atau tidak dikerjakan (normgedrag); dan (d) kondisi norma, yakni
persyaratan yang menyertai pelaku atau perilaku itu (normcondities). Apabila sebuah
pasal atau rangkaian pasa! dipitah menjadi unsur-unsur dari dasar hukum yang dipakai
di datam tuntutan atau gugatan, maka sesungguhnya keempat hal di atas sudah harus
tercermjn.
Sublek yang terkena sasaran norma, apabila dirumuskan dengan kata•kata
"setiap orang" atau "barangsiapa" tentu berbeda jika dirumuskan dengan kata.kata
"setiap warganegara". Dalam konteks hak asasi di dalam konstitusi, rnisalnya, ada
perbedaan antara penduduk dan warga negara.
Detilikian pula halnya dengan modus perilaku, Oalam modus ini ada koherensi
sifat. sifat norma (perintah, larangan, izin, dan dispensasi) yang harus Relasi
keempat sifat aturan normatif ini rnembentuk pola yang ditunjukkan datam ragaan
di bawah.

DIAGRAM RELASI
Pola relasi antara Perintah Carangan lzin (l), dan
Dispensasi (O) dalam bentuk diagram (segi empat
oposisi):

Impljkasi Implikasi
(subalternasi) (su balternasi)

Jjk,a persoalan koherensi antar-aturan itu telah terataSif maka komposisi aturan,
aturannya dapat disajikan. Namun, sernua aturan tadi betumlah "berbicara" untuk
memecahkan kasus tersebut, Untuk itu, hakim terlebih dula harus menqanalisis
aturanaturan ini. Itulah yang dimaksud dengan mencari kebijakan dalam aturan tersebut,
Menurut Burght dan Winkelman, syarat pertama untuk dapat mengenali isi suato aturan
hukurn adalah pernbacaan teks dengan baik, Hal ini penting karena tidak sernua
ıaturan hükum dirumuskan secara jelas. Upaya memperbesar pemahaman adalah
perlu ntuk menganalisis dan mengikhtisarkan teks demikian secara gramatikal. Syarat
kedua dalah pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam
attıran hükum 'tu. Apa arti, misalnya, suatu benda terdaftar (registergoed) itu? Apa
pengalihan (pverdracht) itu? Apa arti itikad baİk (te goedertrouw) itu?
Pandangan Burght dan Winkelman tersebut mengantarkan hakim kepada
keperluan untuk melakukan interpretasi. Paul Scholten menegaskan, "Tiap undang-
undang, juga yang terbaik dirumuskan, memerlukan penafsiran.
Metode penafsiran adalah salah satu metode penernuan hükum
(rechısvimding). Di luar itü ada metode lain, yang disebut dengan metode
konstruksi, Sudikno Mertokusumo membedakan kedua metode ini secara
sederhana sebagai berikut: ll
Interpretasi adalah metode penemuan hükum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya, Sebaliknya dapat terjadj juga hakim harus memeriksa
dan mengadili perkara yang Vidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi
kekosongan atau ketidak-lenekapan undang-undang yang hams ditsi 3taı,ı dilengkapi, Şebab hakim
tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumrıya atau tidak
lengkap hükumnya Çbandingkan Pasa' 22 Peraturan Umum Mengenai Perundang•undangan Uncuk
indonesia/S. dengân Pasal 14 üLj no. 14 tahtın 1910). Dalam hal ini apa yang harus
OLeh hakim untUk menemukan hükumnya? untuk mengisi kekosongan itU digupakan
metode berfikir annlogf, metode penyempjtan hükum dan mezode a contrario,

Ada banyak metode interpretasi, yang satu sama lain bersifat saling melengkapi.
Tiap-tiap metode memiliki cirj-cjrinya sendiri, sehingga tidak ada petunjuk tentang
metode mana yang sesungguhnya harus digunakan dalam sebuah kasus konkret.
Namun, dalam ranah hükum perjanjian (keperdataan), memang ada rangkaian
ketentuan mulai dari Pasal 1342 KUH Perdata (asas sens-dair) yang membeui
rambu•rambu dalam menaf5jrkan isi perjanjian, Menurut Burght dan Winkelman, di
masa lalü memang telah "diperjuangkan" suatu pedoman yang kaku pada pemilihan
metode•metode interpretaşi, namun berlawanan dengan harapan itki, yang akhirnya
diperoleh sekadar petunjukpetunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit memperoleh
pemahamall tentang motif-motif sesunguhnya dari hakjm dalam mengambil suatu
keputusan tertentlj karena yang terlihat hanya argumen-argumen yang dikemukakan
secara eksplisit dalam vonisnya. n
Sangat menarik untuk mengamati bahwa batas-batas antara metode interpretasi
dan konstruk5i dalam banyak segi demikian tipis, Interpretasi ekstensif dan analogi,
misalnya, sama-sama terkesan memperluas keberlakuan suatu rumusan norma.
Walaupun demikian, garis batas kedua metode ini dapat ditarik tegas, sepetti
dikemukakan Moeljatno. Menurutnya, perbedaannya terkait dengan gradasi semaca.
Interpretasi ekstensif masih berpegang pada aturan yang ada, sementara pada analogi,
peristiwa yang menjadi persoalan tidak dapat dimasukkan ke dalam aturan yang ada,
meskipun diyakjni bahwa peristiwa itü şeharusnya joga diatLjr atau dijadikan peristiwa
hukum. 34 Itulah sebabnya, ada pandangan yang masifi menetjma interpretasi ekstentif
datam hükum pidama, analogi diarıggap bertentangan dengan
asas legalitas.
üntuk melakiJkan konstnjk5i, Paul Schoiteıa menyebüitkan tiga yarat, yaitu: (I )
metjputi materi poşitif (het dekken der poşitieve stof)', (2) ajarannya tidak koncradik5i şecara
internal (de leer mag niet zjch zelj tegenspreken); dan 43) memenuhi syarat

e
stetis (oesthetjsche adalah kurang lebih
sebagai berikut. Materi yang dikonstruksikan harus positif dalam artı' dapat diterima
sebagai pandangan yang sejalan dengan ajaran yang berlaku, bukan ajaran yang sudah
tersingkir oleh jaman. Kedua, hasil konstruksi tersebut harus diterima sebagai bagian
dari sistem hükum yang logis, dan terakhir, konstruksi itü pun harus memperhatikan
segisegi kesederhanaan dan kejelasan agar konklusi baru yang dihasilkannya mudah
dipahami,
Pembangunan struktur aturan yang dibentangkan di atas pada akhimya harus
tunduk pada asas-asas yang oleh .J.W. Harris disebut "the rule-swtematizing logic of
legal mence.” Ada empat asas yang disebutkan Harris, yaitu asas (1) eksklusi
(exclusion)•, (2) subsumsi (subsumption); (3) derogasi (derogation); dan (4)
nonkontradiksi (non-contradiction). 36 Asas pertama mengandaikan sejumlah sumber
legislatif independen (indcpcndcnt legislativc sources) membentuk jalinan yang
mengidentifikasikan sebuah sistem hukum. Selanjutnya, asas subsumsi mengandung
arti bahwa aturan-aturan itü tunduk pada sistem hirarkis, dan ini sejalan dengan asas
devogasi yang tidak menghendaki adanya konflik di dalam sistem aturan tersebut.
Attıran yang lebih tinggi akan mengenyampingkan aturan yang lebih rendah.
Konsektjensi leblh lanjut ditunjukkan oleh asas nonkontradiksi, yang menggarisbawahi
bahwa eksistensi sebuah kewajiban tidak dapat dihadirkan bersamaan dengan sebuah
nonkewajiban. Misalnya, peletakan kewajiban untuk membayar sejurnlah uang tidak
boleh dihadirkan bevsamaan dengan kewajiban untuk tidak membayar sejumlah uang.
Masih ada kemungkinan lain, Struktur aturan yang dibuat itu, sekalipun
telafi melewati "the mle-sysıematizing logic of legal science" temyata tetap tidak
mungkin hadir secara tunggal. Artma, ada beberapa struktur aturan yang
semuanya mungkin untuk diterapkan pada langkah keempat nanti. Pada kasus
yang kompleks (hard casc), tingkat probabilitas terjadinya situasi demikian
sangat tinggi. Apalagi,
yang ditanganinya. jika persidangannya
Setiap struktur aturanj şecaraberbentuk
deduktif akan majelis. Antara hakim
melahirkan minimal yangsatır
satu dengan hakim yang lain, mungkin saja masing-masing membangun struktur
jawaban, Setiap jawaban harus dibangun melalui proses penalaran yang dapat
aturan yang berbeda, berangkat dari sudut pandang senditi-sendiri, yang
dipertanggungıawabkan
ternyata sulit dipersatukan.şecara Dan,disiplin
seharusnya hukum, Bagi sejumlah
pada langkah ketiga inipun,
perbedaan struktur aturan itü disiplin
kalangan, pertanggııngjawaban tidak perluhükum buru-buru ini untuk hams dituntaskan
juga
(diseragamkan)
dipadukan dengan karena justru perbedaan ini
pertanggungjawaban sangat
moral. Denganberguna untukpenalaran
demikian, melahirkan hükum
alternatifalternatif solusj yang dilakukan pada langkah kelima.
(legal reasoning) adalah juga penalaran moral (moral reasoningL İtü terbukti dari teorj-teori
tentang d. etika,
Langkah yang sebagian beşar mengemukakan contoh-contoh peristjwa hükum di
Keempat
dalamnya,Langkah
seperti euthanasia,
keempat ini aborsi, diskriminasi
sebenarnya rasial, dengan
menyatu dan hl]kuman langkah mati. J9
kelima. Intinya,
pada kedua
Tiap-tiap langkahharus
alternatif ini si diverifikasi
hakim menghubungkan
dengan argomentasj struktur yang aturan dengan
tepat. Kenastruktur
sama
antavakasus-
hakim-hakim yang duduk dalam satu majelis diuji pada langkah kelima ini. Hakim
yang baik Pada
hanıs kasus-kasus
menerima apabilayang terang-benderang
argumentasi yang(Clear casej, hakim
diajukannya dikritiksangat mungkin
oleh rekannya.
tidak perlu berpikir keras untuk mencari alternatif lain daripada jawaban yang
Bahkan, iapun wajib mengkritisi penalarannya sendiri. ürttuk itü Langemeijer berpesan: 40
ditelurkan melalui metode interpretasi gramatikal. Lain halnya, jika yang terjadi
adatahBila kasus yang kompleks
undang-undang (hordumum"
dan "kesadaran cose; berdiam
penurnbrai Case).
diri, maka sehingga
keputusan hakimyang
dati orangv perlu
tidak
mempunyai beberapa
membuat rujuan lain pola
selain konklusi
mewujudkan hükumdengan
sesuai dan terdidik (terlatih) di Stuuktur
kompleksitas dalam menimbang
kasas
kepentingafi•kepentlngan dan argı.imen•argumen, adalah maş.ih yang terbaik yang terhadapnya dapat
yang dipetakannya.
membevikan kepercayaan.Seperti
Asalkan jakata Lon L Fuller, dalam
5fföt, yang mutlakarea
han.j5penurnbra,
djmjljkj georang"hakim
. men yang
connot live by(kriti;
baik•. zellkritiek deduction
terhadap alone. And
diri sendin atauitmampu
follows that ifdirilegal
mengkritjk arguments
sendiri). Seorang hakimandyang
legal
baik
harus,
deciSions jika ia djhadapkan
penumbrat pada suatu
questions penyelesajan,
are to be yang memuasĞnnya,
rational, thejr memiliki
rationoljty sedemikian
must banyak
lie in
pengetahuan tentang dirtnya sendiri sehingga dapat rr,empertanyakan kepada dirinya şendiri apakah
something
kepuasan tldax other Ihan adenqan
berkaıtan logicolpreferenşi•
realtion preferensi.
to premises. yang "38
ia ketahui bahwa tidak Şettap orang
mer•sakannva dengan cara yang sama dan sedernikian banvak pengetahuan centang masyarakat Şehjngga
e.iaLangkah Kelima
dapat rr•ıengetahcgi yang 4djsebutJ terakhir ini, Hanya setelah mampu pengujian terakhir ini makö
penilaiannya, yang terpaksa, kreatif , akan tidak subjektif lagi.
Seperti diuraikan di mıjka, pada kasıp; yang kompleks (hard case), hakim atau
majelis
Hakimhakim
adalahŞangat
profesimungkin memiliki dalam
yang independen lebih bernalar.
dari satuIndependensi
alternatif jawaban
ini harusataş
masalah
tetap dijamin, sekalipun ia düdük sebaeai anggota majelis. Hakim yang bersikeras
untuk mempertahankan alternatif lain di luar putusan rekan-rekannya, harus tetap
dihormati.w.EJ,Untuk
Tjeenk Willink, i 934). 65-66,
itu, argumentasi yang diajukannya sebaiknya dimuat dalam
hım 10.
putusan juga, baik dalam berupa disçenting opinion (contrariety of opinion)
maupun concurring
Handingkan opjnion.
peıqelaqaji B. A ricf '"Siruktur limu Üljjkum Indonesia," dalanı Wiln Supriadi. em,
Pe"lkun Guga.vun Hvkum ke-II' I Bundung: Mandar 1998), hım, 22, 23.
J.W, Op. Cil.,hlm. 141,
f. Langkah Keenam
Langkah keenam iği adalah langkah pamungkas, tetapi justru pal ing krusial
sifatnya, pada tahap ini hakim atau para hakim harus menetapkan pilihan ataş salah
satü alternatif yang paling sesuai dengan struktur kastjs, akhirnya diformulaşthan
sebagai putusan (termasuk juga yang (azim dişebut
Putusan hakim per definisi adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itil, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
para pihak.4J Dalam praktik, semua putusarı selalu dibacakan luitspraak) berdasarkan
naskah tertulis yang telah dipersiapkan, Dalam hükum acara di Indonesiaj misalnya,
dianut pendapat bahwa apabila ada perbedaan antara naskah tertulis dan ucapan
lisan pada saat naskah putusan dibacakan, maka yang dijadikan pegangan adalah
ucapan lisan.
Putusan pengadilan memang senantiasa bersifat individual kasuistik. Oleh karena
itu, seluruh isi putusan, terutama penalaran hukum yang menjadi benang merah

tahirnya
Lİhat Victor Theop•y Jcvşry;
Prcmıce-HuIl, 1981), hım. 194 el seq

pcradil"”

itim,
168.
putusan tersebut, harus dipertanggungjawabkan kepada para pihak. Pada perkara hukum
publik, konotasi para pihak ini mencakup denotasi yang luas sekalj. Kendati demikian,
setelah dibacakan dan menjadi public domain, putusan ini akan terbuka sebagai bahan
wacana publik (public discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan yang utuh sangat
diperlukan agar masyarakat tidak hanya tercuri perhatiannya pada amar putusan, melainkan
terutama harus pada konsideran yang menggiring diktum putusan. Masyarakat yang
berkepentingan, khususnya para penstudi hukum harus diberi akses yang cukup agar setiap
putusan hakim dapat dikaji penalarannya.aa Putusan hakim adalah produk penalaran
hukum, sehingga tepat apa yang dikatakan Sir Alfred Denning. "In order that a trial should be
fair, it is necessary, not only that a correct decision should be reached, but Olso that it
should be seen to be based on reason; and that can only be seen if the judge himself states
his reason. "45
Formulasi putusan dilakukan dengan menggunakan simbol•simbol bahasa, yang
tentu memiliki keterbatasan. Burght dan Winkelman menyatakan, sama seperti bentuk
petaporan (ropportoge) lainnya, putusan pun harus disusun berstruktur, Pembagian dan
pembahasan butir demi butirnya harus menghindari konstruksi katimat yang _ielirnet- 40
Oteh karena itu, putusan hakim menunjukkan keterampitan (skill) dan seni (art) bernatar
ptaktis,
Formulasi putusan dengan demikian terkait erat dengan persoalan•persoalan
bahasa, seperti problematika pemilihan kata (diksi) dan pemaknaan (semantik) yang
telah banyak disoroti para penstudi dan pemerhati hukum. 4' Putusan yang bajk, yang
mempersiapkan diri sebagai bahan diskursus publik, akan memperhatikan
penggunaan terminologi hukum dan pemaknaannya secara tepat. Penggunaan term
yang tidak tepat, misalnya karena ekuivokasii amfibolia, dan aksentuasi, dapat
membawa kepada kesesatan penalaran para pengernban hukum yang menggunakan
putusan itu sebagaj somber,
Dalam formulasi putusan jni, teknik menguraikan pembuktian (betoog) menjadi
Sisi yang paling penting menurut perspektif penalaran hukum. Menurut M. Henket,
suatu uraian pembuktian minimal terdiri dari dua bagian, yaitu titik berdiri (pendirian,
standpunt) dan argumen. la selanjutnya membedakan (agi antara titik.titik berdiri
antara (tussenstandpunten) dan titik berdiri akhir (eindstandpunt). Hubungan
argumenargumen dalam mendukung suatu titik berdiri disebut dengan argumentasi,
sehingga ada pula argumentasi yang dibentuk oleh argumen-argumen yang diletakkan
di depan (vooruitwijzeode argumentatie) dan argumen-argumen yang diletakkan di
belakang (terugwijzende argumentatie), Titik berdiri antara biasanya ditandai dengan
kata-kata: "menyimpulkan... "jadi..., " atau "oleh karena " Titik berdiri akhir
menggunakan kata-kata: "mengabulkan " atau "menolak permohonan kasasi...,
Sudah dapat diduga bahwa titik berdiri akhir ini adalah bagian paling menarik bagi
masyarakdt urnum dan para pihak yang berperkara karena secara tangsung
mengindikasikan pihak mana yang menang dan kalah. Sementara bagi penstudi
hukum, ketertarikan mereka justru diarahkan kepada titik•titik berdiri antara beserta
argumen-argumennya.48
Argumentasi kebanyakan bersifat majernuk (complexe argumentatie). Hubungan
Sayangnya, Linn:ik kondisi di Indonesia publikasi putusan hakim secara masih terhalang antara
lain Herzlene Indoneusch Regtemenr (HIRE

" Sir Alfred lhnning, ne Road re, Stevens & sons. 1955). him. 29 dikutip Sudikno llukum Op. Cil_, him.
178,
Gr. van der Burght & J-I).C_ Winkclnxan.Loc. Cir. bun. SV hukuzn dan bahasa. termasuk
juga banyak menyita perhatia.» abh bukum. Sulah satunya
James Boyd White. Pemikiran White bahkan telah diteliii khosus bentuk di Uruiveßitws Ernsmus Adriana
MÆ•. Graakeer, De van hef Wooed: he' wee-rk van James Boyd While Perspectiefvan (AftihCT": Sanders
Instiruut. 995).
M. Hcnkct. Tearj dan nukum, Tenemahan B_ Arief Sidhalta (Bandung: Pencrb•itan 'Iidak Herkala
No. Laboratorium Hokum FH Unpag. 2003), 12.
argumen•argumen yang mendukung titik berdiri ini dibedakan oleh Henket dalam tiga
bentUk dasar, yang dilihat dari posisi argumen-argumennya terhadap titik berdirj. pertoma,
ada argumen-argumen yang bergantung (dalam ragaan ditunjukkan oleh BentUk A). Dalam
ragaan tersebut terlihat bahwa Pernyataan 2 (Pi) atau Pernyataan 3 (PJ) secara sendiri-
sendiri tidak cukup mendukung titik berdiri Pernyataan 1 (Pi). Titik berdiri ini baru eksis jika
dan pa saling melengkapj, Argumen-argumen demikian disebut argumen-argumen
bergantung atau tidak bebas (afhankelijke argumenten). Contoh rumusan titik berdiri dan
argumen•argumennya dapat diljhat pada ragaan di bawah. Keduaş ada argumen•argumen
yang bebas (onafhankelijke orgumenten) karena masing-masing pernyataan (argumen)
secara terpisah dapat mendukung titik berdiri (lihat Bentuk B). Ketiga, ada bentuk
argumen•argumen yang disusun bertahap itapsgewijs). Sebuah argumen berfungsi
mendukung sebuah titik berdiri antara, yang pada gilirannya titik berdiri antara ini juga
berfungsi sebagai argumen untuk mendukung titik berdiri berikutnya (lihat Bentuk C)-
Sekalipun demikian, Henket mencatat, bahwa kebanyakan uraian pembuktian dalam
formulasi putusan hakim menampilkan bentukbentuk campuran (mengvovmen) dari bentuk-
bentuk dasar tersebut (contohnya lihat bentuk D)

K'terangam
BENTUK-BENTUK ARGUMENTASI Buru' alav pada tanda pand-, ğİka y
Ban :EeMB Nurvmya
M. 2003

p, p,

b
bunya

p,
p,
BENTUK 'A' jul
berqanlı_ıng Jan

p,

BENTUK
Argumentas[ ran

BENIUK
Aıqumenta%i bert

Keenam langkah tersebut, di ataş kertas, tampak berlangsung secara linear,


seakanakan kesimpulan akhir adalah konsekuensi logis dari setiap langkah yang
mendahuluj rangkaian penalaran itu. Dalam kenyataannya, boleh jadi tidak selalu
demikian. Dengan intuisinya, hakim terkadang telah terlebih dulu mampıj meyakinkan
dirinya tentang kesimpulan akhiÜ sepetti apa yang lahir dati perkara yang tengah
ditanganinya. Kesimpulan inilah yang akhirnya menjadi panduan baginya. la
membangun justifikasi dartdan kesimpulan tadi. Cara berpikir regresif demikian
terkadang tidak dapat dihindari
sah.sah saja, sepanjang formulasi putusan itu secara keseluruhan tetap dijalin dengan
pertimbangan•pertimbangan (motiveríng voni5) yang tepat, runtut, dan proporsional.

Penemuan Hukum
Untuk memastikan terdapat motivering vonis, hakim terutama dfwajibkan
memperagakan penalarannya metalui serangkaian silogisme. Ada dua jenis silogisme,
yakni silogisme kategoris dan silogisme hipotetis, Silogisme jenis pertama Ckategoris)
mempersoalkan distribusi terma-terma di dalarn premis mayor dan minor- Apabila
diyakni di dalam premis mayor, misalnya dikatakan bahwa semua tindakan genosida
adatah pelanggaran HAM berati dan pada premis minornya dibangun proposisi bahwa
operasi militer X adalah genosida, maka konklusinya sudah pasti adalah operasi militer X
merupakan pelanggaran HAM berat. Konklusi ini tidak dapat dihindarii sehingga pota
penataran deduktif seperti ini disebut pola yang tunduk pada sistem loyka tertutup
(closed logical system). Datam sistem (ogika tertutup, premis mayortah yang memegang
peranan menentukan,
Silogisme jenis kedua adalah silogisme hipotetis, yang mempersoalkan terpenuhi
tidaknya hubungan kausalitas antara anteseden dan konsekuen. Formulasj sitogisme
hipotetis dibangun dengan pola "jika...maka.„.". Premis mayor berbicara tentang
fakta yang bersentuhan dengan antieseden. sedangkan konklusi mernuat konsekuen.
Pada saat hakim membuat pertirnbangan hukum, struktur aturan yang sudah
dipersiapkannya hacus diderivasi menjadi unsur•unsur yang lebih spesifik. jika
ranahnya berada dalam hukum Pidana, misalnya, unsur-unsur dasar hukum yang
mernuat ketentuan tindak Pidana itulah yang diderivasiw Pengurutan lazimnya
ditakukan konsisten mengikuti bunyi pasal yang dhjadikan dasar tuntutan, bukan
mengikuti doktrin yakni mulai dari sasaran norma (normadressaat), modus perilaku
(modus van behoren), objek norma (normgedrag), dan kondisi norma
(normcondit/es), Ajaran doktrina( yang disebutkan di atas memang pertama-tama
diper(ukan untuk memastikan ketepatan pernaharnan terhadap struktur aturan
(terlebih-lebih jika terdapat beberapa pasal sekaligus yang dijadikan dasar pijakan)l
dan bukan dalam rangka mengurutkan silogisme demi silogisme da(am putusan.
Tentu saja, rumusan-rumusan silogisme di datam putusan tidak tampil eksplisit
dan harus dirumsukan secara baku. Redaksi putusan memang tidak harus didesain
seperth itu. Penulisan sitogisme secara baku dalam putusan justru akan membuat
putusan menjadi sulit dipaharni bagi kalangan awam_ Namun, bagi siapapun yang
mencermati putusan hakim, Silogisme-si(ogisme seimp(iSit apapun selalu bisa
dilacak dengan mudah dan dapat disusun ulang. Dengan perkataan Lain, hakim tidak
mungkin dapat rnenyembunyikan keberadaan silogisme•silogisme tadi di balik
permainan kata•kata. Strategi menyembunyikan sitogisme justru akan membuat
putusan itu kehilangan nilainya sebagai sebuah motiverjng vonis dan terdorone
mengarah kepada kesesatan (follocies) yang berbahaya, di mana jumping conclusion
akan terjadi.
Apabila penafsiran gramatika( dipandang sebagai sebuah metode penemuan
hukum, maka sebenarnya peragaan silogisme310gisme di atas sudah merupakan
penemuan hukum juga. 'tu berarti setiap putusan pasti mengandung penemuan
hukUifi. Datam praktiki saciar atau tidak sadar kita kurang dapat menerjrna
pandangan demihan. Penemuan hukurn biasanya dimaknai sesuatu yang lebih dari
sekadar memaknai ketentuan normatif mengikuti persis bunsti kata-katanya secara
gramatikal dan leksikal,
Dalam hat hakim berhasi( merumuskan Silogisme secara mengalir dan utuh
dari unsur-unsur tiodak pidana (di Siñi diarnbi( contoh kasusnya datarn pechara
pidana), maka "penernuan hukum" betum terjadi. Lain halnya jika hakirn
mengalarni "ketersendatan•• tatkala berhadapan dengan sebuah unsur tindak
pidona. Artinya ia tidak dapat terus ke silogisme berikutnya sebelum ia terlebih
dulU membereskan "ketersendatan" itu. Oi penemuan hukum baru terjadi.
Satü contoh klasik dapat ditunjukkan di sini, Dalam putusan terkenal dart
pengadilan Tinggi di Medan (Sumut) Nomor 144/Pid/1983/PT Mdn, majelis hakim
yang djpimpin Bismar Siregar menyusun silogisme satU demi satu terkait dengan
Pasal 378 KUHP, yaitu mengenai penipuan yang dituduhkan terhadap terdakwn
Mertua Raja
Sidabutar. Majelis hakim memulai silogisme dari unsur yang menunjukkan sasaran norma
(normadreş50üt), yaitu kata "barangsiapa" dan berlanjut ke unsur-unsur berikutnya dari
Pasal 378 KUHP itu. Tatkaia majelis sampai pada unsur "barang” terjadi "ketersendatan" itu.
Barang di sini tentü bisa dimaknai şecara gramatikal, tetapi makna demikian sangat berbeda
dengan fakta hukum. Hakim sadar dengan perbedaan makna ini, sehingga ia tidak bokeh
begitu saja mengabaikannya, Hakim hams berhenti sejenak dengan membuat silogisme
antaray yaitu sebuah silogisme yang khusus dibuat untuk kepentjngan menjelaskan makna
barang ini, Ungkapan silogisme antara ini sekaligus menje[askan apa yang dimaksud oleh
Henket dengan titik•titik berdiri antara (tussenstandpunten).
Penemuan hükum terjadi di sini, yakni penemuan hukum yang tidak sekadar
berangkat dari penafsiran gramatikal semata. Bita penafsiran gramatikal yang diandalkan,
konklusinya dapat diduga akan berujung menguntungkan terdakwa, Sangat mungkin
hakim tatkala itU sudah mempraktikkan cara bernalar regresif, Hakim sudah memiliki
kesimpulan lebih dulu, baru kemudian djcari justi[ikasinya. Kesimpulan ini mungkin sekali
bertolak dari niat baik hakim untuk memberi porsi keadilan bagi saksi korban, dalam hal
ini seorang perempuan muda, yang telah kehjlangan kehormatan dirinya (kegadisannya)
akibat teumakan bujuk rayu terdakwa. Hakim juga ingin putusannya bermanfaat, vaitu
agar menjadj preseden dan peringatan bagi kaum pria yang kerap mengambil
keuntungan sepihak dati perilaku buruk seperti yang dilakukan terdakwa.
Untuk itulah hakim lalü mencoba menggali makna "barang" dan berbagai
sumber, termasuk dari budaya setempat. Akhirnya, sebuah silogisme antara berhasit
dibangun oleh majelis hakim dengan kurang lebih dapat dieksphsitkan sebagaj
berikut:
Premis mayor Segala organ yang melekat pada tubuh seseorang adaldh BARANG
menurut ketentuan Pasal 378 KUHP,
Premis minor K adjsan adaldh or ay.yapg melekat pada tubuh seseorang.
Konklusi dari
Ke (seingga
adisan adalahbukan
BARANG penafsiran futuristis),
menurut ketentuan Pasalserta tidak mene!
378 KIJHP,
Dengan dibuatnya silogisme antara ini, "ketersendatan”
usuri sistem hilktjm negara lain (sehingga bukan penafsiran komparatif), Karena yang dikemukakan di
ataş, dengan ini sudah berhasil dişelesajkan. Dengan demikian, hakim dapat
hakimmeneruskan
menyebutkan ia terinspirasi dari budaya setempat, maka ia mungkin
lagi rangkaian silogisrne berikotnya, sampai akhirnya ja sampai pada
bermaksud
kesirnpulanmembuat akhir penafsiran sosiologis.tidaknya
tentang terpenuhi Namun,tindak
apapunpidana
nama penipuan
penafsirannya,yang
penernuan hukum
dikualifikasi olehdalam
Pasal putusan
378 KUHPiniitu„ telah
Jikamemberi
terpenuhi,dampak
maka normaperluasan
sekunder(ekstensif)
berupa
ancaman
dari kata "barang"pidana datamdapatPasal
dikenakan.
378 KUHP. Penerapan norma sekunder ini biasanya tidak
banyak
Tapi, disinggung
apakah putusan wacana penalaran hukum.
ini benar-benar sebuah Ranah filosofisnya
penafsiran? lebih banyak
Jika mengacu pada
bersentuhan
pembedaan antaradenganmetode wjtayah etika dan
penafsiran dan disktesi
metodehakim, daripada
konstrusi perbincangan
seperti logika.
telah diungkapkan
sebetumnyaJika diperhatikan
dalam dengan
tutisan ini, makna saksama,
"barang"premis
dalammayor
Pasal di378ataş jugadimerupakan
KIJHP sini sudah sebuah
ekspoşisi,
berpindah pijakan secara konseptual.Hakim di Sini mengenaj
Penjelasan sudah membı-ıat
hal ini sebuah definjşidalam
jetas berada baru tentang
terma
diskursus '*barang”
teoretis. di dalam konteks Pasal 378 adalah barang yang memiliki nilai
Barang
Dalam kasus
ekonomis, sehingga dalam di ataş, rumusan
konteks premis mayor
KUH Perdata tersebut
ia diatur dalam benar-benar
buku tersendirihaşil(hukum
kreasi
benda),dart hakim.
yang berbedaHakim kebetulan
dengan maknatidak meneambilnya
"barang" sebagaidari penjelasan
organ undang-undang
tubuh manusia (hukum
(şehingga
perorangan). Hukum bukan penafsiran
positif kita tidakotentik),
mengakui danorgan
tidaktubuh
juga sebagai
menainjam objekpengertian
hukum benda. dari
Denganutldang•undang
perbedaan konseptual lain (sehingga bukanilmu
ini, maka forum penaf5ira1N
pengetahuansistematis),
hukum sangat danmungkin
tidak
mengambllnya
berpendapat apa yang sejarah hükum
di(akukan sejarah
majelis urtdang-undang
hakirn pengaditan (sehingga bukan penalsjran
tinggi tersebut bukan (agi
historis),
menafsi(kan, dan tidaksudah
melainkan mengambil
mengkonstruk5ikan, tepatnya konstrusi yang memperiuas
(analogi). Penganut pahana legisrne sangat menafikan penerapan analogi dalam hukum
Alaş ILLaaı itü penuli% herpendap.t.
pidana karena dipandang bertentangan dengan asas legalitas.
ekspmis[ konstrüksi
Polemik tentang asas legalitas, dan seberapa jauh asas legatitas ini masih dapat
dipertahankan untuk sebuah hard case. akan membawa kita pada topik lain yang tidak
kalah menariknya, yaitu aliran•aliran pemikiran dalam hukum. Mengingat
keterbatasan tempat, topik mengenai hal ini tidak akan dibahas datam tutisan ini.

Penutup
A. Pitto pernah mengatakan, seorang penaisir yang baik adatah seorang ahli
hukum yang baik, dan bukan sebatiknya.%' la ingin mengingatkan bahwa penafsiran,
atau penemuan hukum secara umum, adalah bagian dari keterampilan yang harus
dibangun agar dapat mengarahkan seseorang menjadi ahli hukum yang baik. Jika
seseorang menjalankan keterampilan ini dengan baiki besar potensinya ia akan
menjadi ahli hukurT1 yang baik. Di sini Pitto sekaligus ingin mengingatkan pada sisi
tain, agar ahli hukum, khususnya hakim, tidak "berrnain-main" semaunya dengan
keterampilan ini- Sebab, dengan diskresi yang dimilikinya, aktivitas penafsiran itu
akan berpotensi untuk menjadi bias. C)

Ienlang Penernua"

Anda mungkin juga menyukai