Anda di halaman 1dari 34

ARGUMENTASI HUKUM SEBAGAI STRATEGI

HAKIM DALAM BERPENDAPAT


Oleh ; Ruslan H.R.

I. Pendahuluan

Beberapa kali penulis mengikuti sidang di pengadilan tingkat banding,


baik pada waktu bertugas di Pengadilan Tinggi Agama Banten, Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta maupun di Pengadilan Tinggi Agama Bandung sering
menemukan rekan-rekan hakim tinggi hanya mengemukakan pendapat
hukum, sehingga yang tercipta bukan argmentasi hukum. Menurut penulis
pendapat hukum berbeda dengan argumentasi hukum. Argumentasi hukum
itu akan melahirkan penalaran hukum yang kemudian dituangkan dalam
pertimbangan hukum. Sementara pendapat hukum belum tentu dapat
dijadikan dasar sebagai penalaran hukum. Pendapat hukum itu bisa
dikemukakan kapan dan di mana saja, termasuk pada saat terjadi debat
hukum di acara ”Lawyer Club Indonesia” di tv-one yang diasuh oleh bung
Karni.
Dalam persidangan perkara, biasanya terdapat tiga orang hakim yang
ikut memberikan pendapat dalam bentuk argumentasi hukum dalam rangka
mencapai kesepakatan untuk mengambil keputusan. Yang menarik dari
sebuah persidangan terkadang masing-masing dari tiga orang hakim itu
dalam memberikan kontribusi pemikirannya sering menggunakan
pendekatan pengetahuan yang berbeda baik di dalam memahami penerapan
hukum acara (hukum formal) maupun di dalam penerapan hukum materiil.
Tentu saja perbedaan pendapat majelis hakim dalam menyikapi sebuah
kasus yang sedang diperiksa adalah suatu hal yang lumrah dan dianggap
sebagai sesuatu yang biasa dalam suatu persidangan, bahkan tidak jarang
persidangan itu harus sampai pada mekanisme desention opinion. Rata-rata
dari mereka (para hakim) mampu mengemukakan pendapat hukum yang jitu
dan masuk akal, namun terkadang pula mereka mengemukakan pendapat
hukum yang tidak masuk akal. Pendapat hukum mereka lahir berdasar pada
latar belakang ilmu dan pengalaman yang mereka miliki. Kalau diantara
mereka berlatar belakang ilmu hukum, maka pendapat mereka berdasar pada
argumentasi hukum. Demikian halnya dalam dunia politik kalau mereka
berlatar belakang ilmu politik, maka pendapat mereka berdasar pada
argumentasi politik. Kedua argumentasi inilah yang sulit dipisahkan.
Mengapa ? karena hukum itu sendiri lahir dari produk politik dan di dalam
substansi hukum itu memang ada politik hukum, yang biasanya dikemas
oleh pihak eksekutif bersama legislatif yang di dalamnya dapat diduga pasti
ada political wil dari pemerintah. Karena yang ditonjolkan political wil dari
pihak eksekutif, maka terkadang substansi hukum di dalam pasal-pasal
tertentu menjadi kabur dan tidak jelas. Persoalannya sekarang, apakah
sengaja dikaburkan atau mungkin tidak sempat terpikirkan pada saat
diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan. Di sinilah
diperlukan kemampuan seorang praktisi hukum di dalam memahami dan
menyikapi pasal-pasal setiap perundang-undangan dan dalam tataran ini
tidak cukup bagi seorang hakim hanya selalu melihat pada aspek normatif,
namun diperlukan kemampuan memahami ruhnya sebuah peraturan
perundang-undangan. Di dalam memahami ruhnya sebuah peraturan
perundang-undangan diperlukan pengetahuan yang dikaji dari berbagai
aspek dan cabang ilmu pengetahuan.
Katakanlah misalnya, seorang hakim memerlukan pengetahun di
bidang ilmu filsafat, filsafat hukum (Islam), teori hukum, teori perundang-
undangan, teori psikologi, teori komunikasi, teori psikologi dan lain-lain.
Tanpa pemahaman terhadap cabang ilmu yang disebutkan di atas,
dapat diduga bahwa hakim yang bersangkutan tidak cukup alat untuk
mengajukan pendapat yang memiliki nilai argumentasi hukum. Dalam hal
pemahaman kita terhadap hukum Islam bila dipandang dari sudut filosofi
hukum Islam sendiri, maka sumber hukum Islam itu berasal dari potensi-
potensi insani dan sumber Ilahi. Oleh karena itu pada dasarnya sumber
hukum Islam adalah sumber naqliyah dan aqliyah. Penggabungan kedua
sumber ini melahirkan sumber ketiga yang disebut kasyfiyyah, yaitu
kebenaran yang bersumber dari intuisi atau kebenaran intuitif 1.
Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa ketika hakim
memutus sebuah perkara pasti tetap akan menimbulkan kontroversi di
kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan melahirkan opini dan dugaan
yang bermacam-macam yang tentu saja dapat merusak nama baik dan citra
lembaga peradilan. Contoh, ketika Mahkamah Agung RI memutus dan
menguatkan putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat pertama
dengan hukuman mati dalam kasus pidana narkoba, pada saat itu masyarakat
berkata ternyata di Mahkamah Agung masih ada hakim agung yang punya
hati nurani dalam menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi ketika
Mahkamah Agung RI membebaskan seorang bandar narkoba dari hukuman
mati menjadi hukuman 12 tahun penjara, masyarakat pun berkata bahwa
Mahkamah Agung RI jauh dari penegakan hukum dan keadilan. Yang aneh
bin ajaib memang, bila hakim itu ikut bermain di arena perkara, sementara
hakim yang lain ikut pula memberikan opini dan pendapat yang kontroversi
seperti halnya pendapat masyarakat umum. Apapun putusan hakim, harus
dipandang benar dan bagi mereka yang tidak puas terhadap sebuah putusan
hakim termasuk masyarakat umum, dipersilahkan menggunakan mekanisme
1
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Lathifah Press, Tasikmalaya, 2009, hlm. 50.
pengawasan melalui lembaga yang telah disiapkan oleh negara, misalnya ;
Dewan Kehormatan Hakim, KY (Komisi Yudisial), KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan juga anggota LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang tersebar di mana-mana di seluruh Indonesia.
II. Argumentasi Hukum
Argumentasi hukum berasal dari istilah argumenteren (Belanda), atau
argumentation (Inggris) yang selanjutnya dimaknakan argumentasi hukum
atau nalar hukum. Argumentasi hukum atau nalar hukum bukan merupakan
bagian dari logika, namun merupakan bagian dari teori hukum. Dalam
praktik di persidangan sebagaimana pengalaman penulis, terkadang
ditemukan seorang hakim dalam mengemukakan pendapatnya hanya
mengandalkan logika dan pendekatan normatif semata, padahal logika itu
sesungguhnya bukan bagian dari argumentasi hukum. Seorang hakim ketika
akan berpendapat, seharusnya ia memulai dari pendekatan teori-teori hukum,
karena pada dasarnya di dalam teori hukum akan mudah didapati asas-asas
hukum melalui pendekatan ilmu hukum. Oleh karena itu di dalam menyikapi
dan memahami substansi sebuah kasus konkret, sebelum sampai pada
tataran penerapan hukum, sebaiknya dikaji dari segi aspek ontologinya,
epistimologinya dan aspek aksiologinya. Sebagai contoh dalam penerapan
Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang kini cenderung diabaikan sendiri oleh hakim-hakim
Pengadilan Agama. Secara sederhana dapat dikemukakan metode
berpikirnya sebagai berikut ;
Secara Ontologi (filosofinya) Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 itu
adalah ishlah atau perdamaian dan ini berkaitan dengan al-Quran surat an-
Nisa ayat 35. Inilah yang membedakan antara perkara syikak dengan
menggunakan jasa hakam dengan perkara non syikak yang tidak perlu
menggunakan jasa hakam. Perbedaan yang penulis maksudkan, bukan
perbedaan dari sisi jenis perkara, tetapi berbeda dari sisi kualitas perkara
yang berawal dari kata perselisihan dan percekcokan itu. Dengan demikian
hukum acaranya pun harus berbeda. Kalau yang dikehendaki adalah ishlah
atau perdamaian, maka epistimologinya hakim harus menerapkan ketentuan
Pasal 76 itu secara utuh dan sempurna dengan proses perkara melalui
mekanisme hakam. Maksudnya bila telah diterapkan saksi dari keluarga
dekat suami istri, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1),
maka hakim harus melangkah pada proses hakam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 ayat (2), dengan cara mengangkat satu orang hakam dari
keluarga dekat suami dan satu orang hakam dari keluarga dekat istri. Pada
akhirnya secara aksiologi, hakim akan menerapkan hukumnya apakah
berhasil dengan perdamaian atau harus berakhir ikatan perkawinan itu
dengan perceraian. Hal ini tergantung dari hasil kesepakatan antara dua
hakam yang kemudian akan disampaikan kepada majelis hakim. Majelis
hakimlah yang memutus perkara tersebut. Dalam konteks itu hakim tidak
boleh menyimpang dari bunyi undang-undang dan dalam teori hukum,
dikenal istilah “tiada imperatif tanpa suatu imperator ” dan imperatornya
adalah hakim yang memutus perkara 2.
Bagaimana dengan perkara yang konteksnya non syikak, hukum
acaranya harus kembali kepada penerapan Pasal 121 HIR/145 Rbg jo Pasal
22 PP No. 9 Tahun 1975. Perlu dijelaskan di sini bahwa Pasal 76 UU No. 7
Tahun 1989 itu, tidak tepat jika dikatakan lex specialis derogat legi
generalis dari Pasal 121 HIR/RBg, karena kedua ketentuan ini berbeda.
Syarat untuk dikatakan adanya lex specialis generalis itu ada tiga, yaitu ;
1) Kedua peraturan hukum itu sama dan sederajat
2
Munir Fuady, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum, Prenada Media Group, 2011, hlm. 21.
> Kita uji Pasal 121 HIR/Pasal 145 RBg dan UU No. 7 Tahun
1989, kedudukannya sama dan sederajat.
2). Kedua peraturan hukum itu ada yang lebih dahulu dan ada yang
kemudian
> Kita uji HIR/RBg lahir lebih dahulu dari pada undang-undang
3). Kedua peraturan hukum itu mengatur hal yang sama 3.
> Kita uji, HIR/RBg mengatur tentang dibolehkannya pihak
lawan untuk mengajukan jawaban dan saksi-saksi, sedangkan
Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 mengatur tentang saksi-saksi
keluarga atau orang dekat dan hakam. HIR/RBg sama sekali
tidak mengatur tentang adanya hakam.
Kata “dapat”, merupakan diskresi hakim, akan tetapi harus dilihat
dari sisi manfaat dan tujuan yang ingin dicapai, terutama bagi kepentingan
pihak-pihak prinsipal. Mungkin ada hakim yang berpendapat bahwa teori
hukum itu tidak diperlukan dalam mempertimbangkan dan memutus suatu
perkara, apalagi kalau volume perkara di sebuah pengadilan cukup besar
jumlahnya. Pendapat seperti ini tidak keliru, terutama di kalangan hakim
tingkat pertama, akan tetapi bagi hakim yang lebih tinggi termasuk hakim
tingkat banding sangat memungkinkan menggunakan teori-teori hukum itu
yang mampu melahirkan argumentasi hukum dan nalar hukum, karena
sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sebesar apapun perkara di tingkat
banding , tidak akan sebesar dengan perkara yang ada di tingkat pertama dan
di tingkat kasasi. Oleh karena itu ruang waktu bagi hakim tingkat banding
sangat memungkinkan untuk lebih banyak mempelajari dan memahami
teori-teori hukum itu.

3
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011, hlm. 37.
Memang masih ada segelintir orang yang beranggapan, bahwa teori
berada di kawasan yang jauh dari pada praktis, bahkan sering menimbulkan
kesan tidak praktis dan kurang membantu memecahkan persoalan-persoalan
secara konkret. Singkat kata, teori itu menghambat, bertele-tele, dan
memusingkan. Pendapat tersebut, tentu saja tidak benar. Fungsi utama teori
adalah memberikan kejelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik
kemampuan suatu teori untuk menjelaskan, semakin tinggi penerimaan
terhadap teori tersebut. Apabila di kemudian hari muncul teori baru yang
mampu memberikan penjelasan yang lebih baik, maka teori yang lama pun
akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu
pengetahuan. Menurut penulis suatu ilmu tanpa didukung dengan teori yang
kuat, bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu
hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan
wawasan berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law,
Jurisprudence), maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama
dalam rangka mengisi dan memperkaya wawasan dan pengetahuan hakim
dalam rangka membuat dan menyusun reasoning pertimbangan hukum. Di
sini bukan hanya tuntutan lahirnya suatu putusan yang argumentatif, tetapi
lebih dari itu bagaimana melahirkan pola pemikiran dan paradigma baru
serta pola perilaku aparat hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Penulis pernah ditanya oleh salah seorang sesama profesi hakim,
mana yang berat menurut Anda memeriksa perkara di tingkat pertama atau
memeriksa perkara di tingkat banding, penulis katakan ketika itu bahwa
jauh lebih berat memerika perkara di tingkat banding. Kenapa ?, karena
peradilan tingkat banding adalah yudex facti dan juga peradilan ulangan,
sebab hakim banding harus memeriksa ulang semua yang berkaitan dengan
perkara, termasuk dalil gugatan, jawaban, provisi, eksepsi, rekonvensi,
pembebanan pembuktian, penilaian alat bukti dan lain-lain . Di samping itu
hakim banding harus mampu menilai putusan hakim tingkat pertama,
karena pada saatnya akan menjatuhkan pula putusan pada tingkat banding.
Oleh karena itu bila seorang hakim banding hanya mengandalkan
pengetahuan hukumnya yang hanya berkisar pada pengalamannya pada
waktu bertugas sebagai hakim tingkat pertama, rasanya keadaan seperti itu
tidak cukup untuk dijadikan modal dalam mengemukakan sebuah
argumentasi hukum. Kalau sekedar mengemukakan pemikiran hukum
mungkin tidak ada masalah, tetapi ketika hakim itu harus mengemukakan
nalar hukum, yang pada saatnya akan dituangkan dalam pertimbangan
hukum, maka mau tidak mau pendekatan ilmu hukum dalam bentuk
pemahaman terhadap teori-teori hukum, asas-asas hukum, filsafat hukum
dan lain-lain sangat diperlukan dan sangat membantu hakim dalam
memecahkan kasus konkret di persidangan.
Perlu diketahui bahwa ilmu hukum itu adalah ilmu yang memiliki
kepribadian yang khas (suigeneris). Argumentasi hukum yang juga disebut
dengan legal reasoning merupakan suatu proses berpikir yang terikat dengan
jenis hukum, sumber hukum dan jenjang hukum. Dalam hal ini berarti selalu
berkaitan dengan pemahaman terhadap konsep hukum yang terdapat di
dalam norma-norma hukum dan asas-asas hukum4. Argumentasi hukum
memang sulit dalam tataran aplikasi, akan tetapi kesulitan tidak akan terjadi
bila seorang hakim mempunyai pemahaman yang cukup mengenai legal
consept dan logika hukum sebagai dasar pemikirannya.
Antara argumentasi hukum dengan logika tidaklah sama. Berpikir
adalah objek materiil logika. Argumentasi hukum merupakan suatu hasil
dari proses berpikir mengenai suatu masalah hukum. Suatu proses berpikir
4
Asri Wijayanti, Strategi Belajar Argumentasi Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm,. 2.
ini didasarkan pada dua hal, yaitu objek dan cara. Objek yang dijadikan
sebagai bahan kajian dalam argumentasi hukum adalah suatu argumentasi
yang mendasarkan pada legal concept atau konsep hukum. Konsep hukum
bersifat spesifik yang didasarkan pada teori hukum dan filsafat hukum.
Adapun cara berpikir untuk memperoleh kebenaran hukum dilakukan
melalui suatu penalaran dalam logika. Proses untuk menghasilkan suatu
argumentasi hukum yang berkaitan dengan legal concept dijalankan secara
bertahap. Tahap awal dimulai dari pengertian. Pengertian diberikan
berdasarkan teori hukum dan pemahaman terhadap filosofi hukum. Tahap
selanjutnya teori hukum dan filosofi hukum itu digunakan untuk
merumuskan suatu penerapan hukum, yang tentu saja didahului dengan
pembuktian dan pembuktian itu dikaji secara formal dan materiil, yang di
dalamnya terdapat lagi teori hukum pembuktian objektif dan subjektif.
Putusan hakim, haruslah benar dan sesuai dengan teori kebenaran, paling
tidak di dalamnya mengandung teori kebenaran ilmiah. Karena kebenaran
mutlak hanya ada di tangan Allah SWT. Putusan hakim itu sedapat mungkin
tidak terlepas dari nilai filosofi hukum. Selain itu juga tidak terlepas dari
logika hukum dan bahasa hukum yang baik dan benar. Pemahaman hakim
yang terus bertambah menjadi dasar analisis bagi pemecahan kasus hukum
atau disebut dengan legal problem solving. Prinsip dasar dari legal problem
solving adalah adanya suatu putusan yang benar.
Benar tidaknya suatu putusan atau pemecahan masalah hukum
tergantung pada ada tidaknya kekuatan nilai alat bukti dalam sebuah kasus
konkret. Dalam hukum pembuktian terdapat lagi pembebanan dan penilaian
alat bukti yang tepat dan benar. Dalam pembebanan pembuktian ditemukan
lagi apa yang disebut dengan teori pembuktian objektif dan subjektif dan
dalam penilaian alat bukti harus pula dinilai secara formal dan materiil.
Selain itu diperlukan adanya kesesuaian antara pertimbangan hukum dan
putusan berdasarkan alat bukti yang kuat dan relevan. Analisis yang tajam
dalam pertimbangan hukum oleh hakim dengan mendasarkan pada norma,
teori hukum dan filosofi hukum menjadikan putusan itu dinilai sebagai
putusan hakim yang argumentatif.
Salah satu contoh putusan yang berargumentasi tetapi tidak
argumentatif dan terkadang oleh KY (Komisi Yudisial) dinilai sebagai suatu
putusan yang tidak profesional, antara lain pertimbangan hukumnya sebagai
berikut ; ”Menimbang, bahwa berhubung karena pertimbangan hukum
hakim tingkat pertama sudah tepat dan benar, maka hakim banding dapat
mengambil alih pertimbangan tersebut menjadi pertimbangan dan pendapat
hakim banding”. Semestinya pertimbangannya kalau dianggap tepat dan
benar, mengapa benar dan mengapa tepat atau apa yang tepat dan apa yang
benar ?. Jawaban dari pertanyaan ini akan melahirkan filosofi hukum di
dalam pertimbangan tersebut. Hakim banding seharusnya mampu
menemukan hukum di dalam pasal undang-undang yang akan diterapkan.
Dalam mengambil kesimpulan hukum, harus diulas dan dikemas oleh hakim
banding melalui pendekatan teori hukum dan filosofi hukum, terutama bila
hakim banding akan mencoba melakukan sebuah konstruksi hukum dalam
rangka menguatkan putusan atau pun membatalkan putusan hakim tingkat
pertama dengan mengadili sendiri. Di sini hakim harus berhati-hati dalam
menyusun format putusan, terutama di dalam menentukan apa pokok
masalah dalam perkara tersebut.
III. Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Belajar Argumentasi Hukum
Tidak dapat disangkal bahwa untuk dapat mempelajari dan memahami
argumentasi hukum sangat dibutuhkan pemahaman awal mengenai bahasa
dan logika. Dalam hal ini bahasa secara khusus adalah bahasa hukum,
demikian pula logika hukum. Terdapat kekhususan dalam bahasa hukum
bila dibandingkan dengan ilmu bahasa pada umumnya. Bahasa hukum selalu
mendasarkan pada konsep-konsep hukum (legal concept) dalam
merumuskan kalimat-kalimat, termasuk di dalamnya seperti apa yang
diwujudkan dalam norma hukum, baik dalam bentuk rumusan pasal-pasal
maupun rumusan klausul yang ada dalam undang-undang. Argumentasi pada
dasarnya merupakan salah satu cara untuk melakukan komunikasi atau untuk
menyampaikan pendapat. Adapun pemahaman logika diperlukan karena
untuk menyatakan suatu pendapat bahwa seseorang sangat membutuhkan
dasar berpikir yang baik, tepat dan benar. Jadi alur berpikir untuk
menghasilkan suatu argumentasi hukum yang baik, harus mendasarkan pada
prinsip-prinsip dasar logika dan penuangannya dalam pernyataan tertulis
atau secara lisan dengan tetap memperhatikan tata bahasa Indonesia yang
baik dan benar, tentu saja sesuai dengan kaidah EYD (Ejaan yang
Disempurnakan). Apa jadinya bila terdapat suatu rumusan pasal dalam
sebuah peraturan perundan-undangan yang tidak jelas menyebutkan subjek
kalimatnya. Minimal norma hukum yang tertuang dalam suatu aturan hukum
atau klausul yang mengandung subjek dan predikat. Apabila dimaknai
secara hukum, terdapat kejelasan hubungan hukumnya, baik subjek hukum,
maupun objek hukunya. Ketepatan dalam merumuskan norma yang
memenuhi prinsip dasar logika maupun ketepatan dari segi bahasanya sangat
mempengaruhi dasar berpijak hakim dalam menerapkan hukum melalui
putusannya.
IV. Pengertian Nalar dan Penalaran
Nalar, menurut kamus bahasa Indonesia, artinya ; pertimbangan
tertentu tentang baik dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir5.
Jadi bernalar atau menggunakan penalaran, artinya berpikir logis. Sedangkan
penalaran artinya cara menggunakan nalar atau pemikiran logis.
Dari pengertian di atas, penulis dapat memberikan contoh konkret
dalam pengertian aktivitas seseorang berpikir logis.
Contoh ; Hakim tingkat banding menjatuhkan putusan sela, untuk
tambahan pemeriksaan dengan memerintahkan kepada ; Pengadilan
Agama, untuk melakukan pemanggilan kepada Pembanding dan
Terbanding, agar supaya hadir pada persidangan di Pengadilan Tinggi
Agama guna dimintai keterangannya. Tetapi pada amar yang lain,
memerintahkan pula Pengadilan Agama yang bersangkutan untuk
melakukan sidang di tempat atas obyek sengketa, yang terletak di
beberapa daerah di Indonesia, tanpa menyebutkan ketentuan batas waktu.
Pernyataan ini sesungguhnya tidak memiliki kandungan nalar dan
penalaran yang tepat dan benar, karena ada dua hal yang tidak masuk
akal, yaitu;
1. Bagaimana mungkin sidang di Pengadilan Tinggi Agama
digelar yang pada intinya, bertujuan untuk mengetahui secara
jelas dan konkret atas obyek sengketa dengan penentuan waktu
yang lebih dahulu, sementara memerintahkan pula Pengadilan
Agama untuk melakukan sidang pemeriksaan di tempat, tanpa
menyebutkan batas waktunya.
2. Apa yang mau diperjelas dan konkret pada persidangan di PTA
pada tanggal yang telah ditentukan, sementara pemeriksaan
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm.772
setempat oleh Pengadilan Agama di beberapa daerah di
Indonesia belum dilakukan.
V. Proses Nalar dan Penalaran
Proses nalar merupakan proses berpikir yang sistemik untuk
memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Dari proses bernalar, maka
penalaran dibagi atas ;
1. Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan
dari prinsip/sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang
bersifat khusus (induksi)
2. Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu; menarik
kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-
fakta yang umum (deduktif)6.
Dalam proses menulis paragraf dapat digunakan penalaran deduktif
dan penalaran induktif. Paragraf deduktif menempatkan kalimat utama pada
awal paragraf. Sedangkan paragraf induktif menempatkan kalimat utama
pada akhir paragraf.
Penalaran juga dapat digunakan untuk membuat analogi. Sedangkan
yang dimaksud dengan analogi adalah kesimpulan tentang kebenaran suatu
gejala, ditarik berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah gejala khusus
yang bersamaan.
Dari isinya analogi dibedakan, atas ;
1. Analogi deklaratif, yaitu ; ”Menjelaskan sesuatu yang sudah dikenal
berdasarkan persamaannya dengan sesuatu yang sudah dikenal.
Analogi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru dan tidak
merupakan kesimpulan.
Contoh ; Seharum bunga, seindah warna pelangi.
6
Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, Pustaka Book Publisher, Jogyakarta, 2007, hlm. 202.
Adapun analogi deklaratif yang di dalamnya terdapat kesimpulan.
Contoh ; Suami istri di atas mobil. Ketika di dalam mobil, mereka
ribut dengan menggunakan bahasa Inggris dan ketika istri turun dari
mobil, ia menghempaskan pintu mobil dengan keras dan ketika suami
masuk rumah, ia menghempaskan pintu rumah dengan keras.
Analogi yang lahir dari kasus ini sebagai bentuk penalaran dan
kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suami istri itu, sedang
bertengkar atau cekcok di atas mobil atau telah terjadi perselisihan.
Analogi seperti ini bisa dijadikan sebagai bukti persangkaan
dan merupakan fakta hukum oleh hakim, bila peristiwa itu telah
didukung dengan alat bukti misalnya dengan alat bukti kesaksian dua
orang saksi dari pihak yang berperkara.
2. Analogi induktif, yaitu menarik kesimpulan tentang fakta yang baru
berdasarkan persamaan ciri dengan sesuatu yang sudah pernah terjadi.
Kebenaran yang berlaku untuk yang satu (lama) berlaku pula untuk
yang lain (baru).
Contoh ; A meminta kepada B untuk mampir sejenak (transit) di
rumahnya, karena menempuh perjalanan KA. Argo Anggrek,
sepanjang malam dari Surabaya ke Jakarta. Karena sesuai pengalaman
A yang lalu dalam acara yang sama (Seminar Nasional), ia transit di
rumah B tersebut. Lalu dijawab oleh B yang tinggal di Jakarta itu.
Untuk singgah di rumah boleh-boleh saja, tetapi di rumah saya saat ini
banyak orang, karena anak dan cucu-cucu sedang berlibur di Jakarta.
Analogi yang bisa kita tarik sebagai suatu kesimpulan, bahwa
B sebagai teman A, tidak berkenan untuk transit dan singgah transit di
rumahnya, walaupun terdapat persamaan antara peristiwa lama
dengan peristiwa baru.
VI. Fungsi Penalaran Dalam Ilmu
Fungsi ilmu, menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan. Untuk
dapat meramalkan, seorang ilmuwan terlebih dahulu harus dapat
menjelaskan ; apa, mengapa dan bagaimana memecahkan/mengatasi sebuah
masalah yang dihadapi. Semua itu memerlukan penalaran.
Jadi penalaran adalah sarana untuk memecahkan dan menemukan sesuatu
yang baru dari sebuah masalah, sehingga kita dapat menarik sebuah
kesimpulan.
Contoh; Seorang pencari keadilan mengajukan pengaduan atas sita
eksekusi yang telah dilaksanakan oleh pihak Pengadilan Agama. Melihat
berita acara sita eksekusi itu, ternyata objek sengketa pada dasarnya bisa
dilakukan eksekusi riil, karena hanya tanah kosong dan di atasnya ada los
kaki lima yang sifatnya sementara. Pertanyaan pun lahir mengapa pihak
Pengadilan Agama melakukan sita eksekusi. Bukankah sita eksekusi itu
berkaitan dengan pembayaran sejumlah uang dan atau ganti rugi ?.
Bukankah sita eksekusi itu biasanya didahului dengan sita jaminan. Dengan
melihat putusan Pengadilan Agama, tidak ada alasan dan tidak memenuhi
syarat untuk dilakukan sita eksekusi. Tetapi penerapan hukum acaranya
cukup melalui eksekusi riil. Dari kasus ini dapat melahirkan nalar hukum
bahwa pihak Pengadilan Agama belum dapat membedakan antara eksekusi
riil dengan sita eksekusi. Dan langkah yang dilakukan itu tidak mengandung
nilai penalaran ilmiah.
Adapun yang dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah penalaran
yang dilakukan sesuai dengan alur atau pola penalaran deduktif yang
rasional dan penalaran induktif yang empiris7. Sebuah penalaran ilmiah
harus didukung dengan ; penemuan dan perumusan masalah,
7
Ibid
penyusunan/perumusan hipotesis, pengumpulan data, verifikasi dan
penarikan kesimpulan8
Penalaran juga dapat digunakan dalam membuat silogisme. Silogisme
merupakan sebuah bentuk cara berpikir di mana dua premis/statemen
dihubungkan satu sama lain untuk kemudian sampai pada suatu kesimpulan.
Contoh ;
a. Premis mayor ; Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan menurut agama Islam
b. Premis minor ; Chica Mokhtar dan Moerdiono menikah secara
Islam
c. Kesumpulan ; Perkawinan Chica Mokhtar dengan Moerdiono sah
menurut agama Islam.
Kesimpulan di atas terdiri dari tiga term, yaitu ; premis mayor, premis
minor dan kesimpulan. Term-term inilah yang disebut proposisi.
Selain itu dikenal pula istilah ”Entimen”, dasarnya adalah silogisme,
tetapi salah satu premis dihilangkan atau tidak diucapkan, karena sama-sama
sudah diketahui.
Contoh ; Berzina adalah dosa, karena merugikan diri sendiri dan
orang lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal menjadi dua, yaitu ;
a. Berzina adalah dosa
b. Berzina merugikan diri sendiri dan orang lain.
VII. Beberapa Kekeliruan Dalam Penalaran
Dalam sebuah penalaran tidak selalu tepat dan kemungkinan
terjadi kekeliruan. Kekeliruan yang biasa terjadi dapat dilihat dalam
bentuk ;
8
Op cit, hlm. 204
1. Suatu kesesatan logis, yaitu penalaran yang tidak mengikuti atau
melanggar aturan-aturan penyimpulan.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ; Obyek harta waris ”X” tidak pernah
disebutkan dalam posita dalam perkara waris antara Penggugat dan
Tergugat
Amar putusan ; Hakim, menetapkan obyek harta waris ”X” adalah
budel waris dari almarhum ”A”. Atau sebaliknya
Contoh ;
Pertimbangan hukum ; Menyatakan perkara ini adalah wewenang
Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No. 7 Tahun
1989, padahal tidak pernah ada eksepsi dari Tergugat.
Amar putusan ; Tidak ditemukan amar yang menyatakan Pengadilan
Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
2. Suatu argumen yang tidak terarah dalam arti bahwa argumen itu tidak
tepat, tetapi dapat meyakinkan orang-orang mengenai ketepatannya.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ; Hakim tidak menemukan alat bukti kesaksian
saksi-saksi yang melihat, mendengar atau mengalami adanya
perselisihan dan percekcokan antara Penggugat dan Tergugat.
Amar putusan ; Hakim menjatuhkan talak satu bain sugra Tergugat
terhadap Penggugat .
3. Suatu argumen yang cacat, karena tidak tepat, di mana kesimpulan
tidak dibenarkan oleh pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ; Hakim mempertimbangkan tentang
ketidakbenaran pelaksanaan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat, sehingga perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Amar putusan ; Hakim menjatuhkan amar putusan ; membatalkan
Akta nikah antara Penggugat dan Tergugat.
Kesimpulan hakim di sini keliru dan tidak tepat, karena ;
a. Pertimbangan hukumnya adalah ”batalnya perkawinan”
b. Amar putusannya ”batalnya Akta nikah”
Kedua substansi ini berbeda. Batal perkawinan adalah kewenangan
Pengadilan Agama. Sedangkan batal Akta nikah adaalah kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
VIII. Macam-macam Kekeliruan Dalam Penalaran
1. Kekeliruan amfiboli ; kekeliruan yang terjadi bila kalimat-kalimat
seseorang memungkinkan kata-katanya ditafsir lebih dari satu arti.
Contoh ; “Marzuki Alie kacau dalam berwacana”
Ada dua tafsir yang mungkin timbul dari kalimat di atas, yaitu ;
a. Yang kacau adalah Marzuki Alie atau
b. Yang kacau adalah wacana Marzuki Alie.
2. Kekeliruan aksen ; kekeliruan yang terjadi bila perkataan dibiarkan
berubah artinya selama argumen berlangsung sebagai akibat derajat
tekanan yang diberikan.
Contoh ; ”Jangan-jangan hakim A salah paham dalam memahami
hukum acara”.
Penalaran bisa terjadi tetapi belum tentu benar.
3. Kekeliruan ekuivokari ; kekeliruan yang dilakukan bila suatu kata
digunakan pertama dalam satu arti dan kemudian dalam arti lain
selama argumen berlangsung, yang memungkinkan sebuah
kesimpulan yang sebetulnya tidak mungkin.
Contoh ; ”Bimtek (Bimbingan Teknis) yang saya dapat di pelatihan
hakim, sebaiknya digunakan pula untuk pembinaan administrasi
umum”.
Dua analogi yang tidak mungkin akan terjadi, yaitu ;
a. Bimtek ; menyangkut administrasi perkara dan administrasi
peradilan
b. Bimum ; menyangkut administrasi umum, kepegawaian dan
keuangan
4. Kekeliruan komposisi ; kekeliruan yang dilakukan bila kita bernalar
dari sifat-sifat bagian dari suatu keseluruhan ke sifat-sifat keseluruhan
itu sendiri tanpa suatu kualifikasi.
Contoh ; ”Waluyo selaku panitera pengganti, selalu bekerja atas dasar
petunjuk Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat ; karyawan lainnya
memang tak pernah bekerja dengan otaknya sendiri”.
Nalar kita berkata bahwa Waluyo juga adalah karyawan, maka pasti
ia tidak bekerja dengan otaknya sendiri. Tetapi butuh bantuan otak
orang lain.
5. Kekeliruan devisi ; kekeliruan yang dilakukan bila bernalar dari sifat-
sifat suatu keseluruhan ke sifat-sifat bagian-bagiannya.
Contoh ; ”Si A mestinya sudah menjadi wakil ketua PTA, karena dia
memiliki kemampuan di segala bidang pengetahuan dan pengalaman”.
Nalar kita berkata bahwa tidak semua orang yang menjadi wakil ketua
mempunyai kemampuan di segala bidang pengetahuan dan
pengalaman.
6. Kekeliruan argumentum ad populum ; kekeliruan yang dilakukan bila
suatu kesimpulan dikemukakan bukan dengan evidensi, tetapi dengan
menggunakan bahasa yang menggugah perasaan.
Contoh ; ”Tuada Uldilag menghimbau kepada hakim-hakim
Pengadilan Agama untuk ikut dalam program studi S3, tetapi pada
saatnya reputasi gemilang seorang hakim tetap menurun, karena
lemah pengetahuannya dalam bidang teknis justisial dan pola
bindalmin”.
Nalar kita berkata, kalau sudah masuk dalam program studi S3, hakim
tidak boleh lagi lemah pengetahuan dalam bidang teknis justisial dan
pola bindalmin.
7. Kekeliruan reifikasi atau hipostatisasi ; kekeliruan terjadi dengan
membuat sesuatu dari yang bukan sesuatu dan menarik kesimpulan
darinya. Salah satu bentuknya yang umum adalah personifikasi.
Contoh ; Aneka ragam pertanyaan tim penguji kepada promovendus,
menambah semarak jalannya ujian terbuka tersebut. Mereka berbicara
dalam bahasa filsafat.
Nalar kita berkata, semaraknya ujian terbuka, bukan karena bahasa
filsafat, tetapi ratusan warga peradilan agama yang datang
berbondong-bondong memenuhi auditorium UGM, karena yang ujian
terbuka adalah Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan
Peradilan Agama.
8. Argumentum ad baculum ( argumen dengan tongkat) ; kekeliruan
yang dilakukan bila seseorang menggunakan kekuasaan atau ancaman
guna mendapatkan persetujuan atas kesimpulan yang dibuatnya.
Contoh ; Kalau ada hakim yang memutus ringan perkara narkoba,
maka bubarkan saja MA.
Nalar kita berkata, apakah kalau ada orang yang keliru memutus
perkara, maka MA harus dibubarkan. .
9. Argumentum ad Hominen (argumen tunjuk langsung orang) ;
kekeliruan yang dilakukan bila seseorang mengarahkan argumennya
kepada orang dan bukan kepada pokok masalah.
Contoh ; Memori banding yang dibuat oleh kuasa hukum
pembanding, hanya isapan jempol, karena ia hanya asal bicara saja,
dan pandai bersilat lidah.
Nalar kita berkata, apakah betul memori banding pembanding
tersebut, tidak memiliki sekucil apapun dari segi aspek hukum ?
10. Argumentum ad misericordiam (argumen minta kerahiman) ;
kekeliruan yang dilakukan ketika dimintakan kerahiman seseorang,
guna menerima kesimpulan dan bukan bukti.
Contoh ; Jika diangkat menjadi KPTA, X akan memimpin PTA
dengan baik. Dia telah berkorban banyak dalam membangun PA di
daerah ini dan telah berjuang keras dengan pihak pemerintah daerah.
Nalar kita berkata, apa hubungannya antara jabatan KPTA dengan
kontribusi perjuangan X dengan pemda di daerah tersebut ?
11. Kekeliruan pertanyaan kompleks ; kekeliruan yang dilakukan ketika
tidak diketahui bahwa jawaban untuk suatu pertanyaan tertentu
mengandaikan suatu jawaban sebelumnya untuk pertanyaan
sebelumnya.
Contoh ; Adakah sejarahnya PTWP Pengadilan Tinggi Agama
menjuarai Mahkamah Agung Cup ?
Nalar kita berkata, apakah PTWP PTA tidak layak untuk menjadi
juara dalam Mahkamah Agung Cup yang akan datang di Surabaya ?.
12. Kekeliruan hipotesis kompleks ; kekeliruan yang dilakukan, ketika dari
dua hipotesis, diangkat yang lebih kompleks. Padahal hipotesis yang
kurang kompleks, cukup memadai untuk menjelaskan sebuah fakta.
Contoh ; Mengapa PTA harus memanggil hakim-hakim PA, bila
ditemukan ada kekeliruan/kesalahan (satu hipotesis) dalam
putusannya. Putus sela saja untuk pemeriksaan tambahan sesuai
kewenangannya (satu hipotesis).
Nalar kita berkata, apakah PTA hanya memiliki fungsi justisial.
Bukankah PTA memiliki pula fungsi pembinaan dan pengawasan
sebagai kawal depan MA saat ini ?.
13. Kekeliruan hitam putih ; kekeliruan ini dilakukan ketika kita diberitahu
untuk memilih antara dua alternatif dan tidak dipedulikan alternatif
lainnya, padahal masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan.
Contoh ; Anda memilih karir untuk diangkat sebagai KPA di luar
Jawa atau tetap akan melanjutkan kuliah S3 di Unisba ?
Nalar kita berkata, apakah tidak ada kemungkinan saya diangkat
menjadi KPA di daerah Jawa Barat atau saya juga diangkat sebagai
KPA yang ada sekolahnya untuk program S3 .
14. Kekeliruan argumen spekulatif ; kekeliruan yang terjadi dengan
mengangkat sebuah hipotesis yang berlawanan dengan fakta, dan
kemudian mengatakan benar apa yang menjadi kesimpulannya.
Contoh ; Kalau mau efektif pemberantasan korupsi di Indonesia,
maafkan koruptor atau putihkan kasus-kasus korupsi dan kembalikan
uang negara serta bayar pajak uang korupsi itu.
Nalar kita berkata, apa betul dengan cara itu, pemberantasan korupsi
bisa diatasi secara efektif ? Apakah koruptor tidak bertepuk tangan
dan tertawa terbahak-bahak ?.
15. Kekeliruan contradictio in adjecto ; kekeliruan yang dilakukan bila
sebuah sifat tidak konsisten dengan kata benda yang diterangkannya.
Contoh ; Semua hakim pengadilan, nakal.
Nalar kita berkata, apakah tidak ada hakim pengadilan yang tidak
nakal. Tentu yang nakal adalah oknum.
Dari beberapa contoh argumen yang keliru di atas,
menyebabkan lahirnya penalaran yang keliru dan pada akhirnya
akan melahirkan pula kesimpulan yang keliru. Kiranya sebagai warga
pengadilan, terutama hakim sedapat mungkin terhindar dari nalar dan
penalaran yang keliru, terutama dalam membuat reasoning
pertimbangan hukum. Dan ketika hakim tingkat pertama salah dalam
penalaran hukum, maka hakim tingkat banding berkewajiban
meluruskan atau membenarkan penalaran hukum yang keliru itu.
Demikian pula hakim agung, wajib hukumnya untuk meluruskan
penalaran yang keliru yang terjadi di peradilan di bawahnya, sebab
sesuai praktek di persidangan, hakim salah dalam menerapkan hukum
pada umumnya disebabkan karena salah dalam mengemukakan
argumentasi hukum dalam penalaran hukum.
IX. Penalaran Dalam Pertimbangan Hukum
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis, artinya berpikir menggunakan cara atau metode
tertentu yaitu logika. Pada dasarnya penalaran hukum merupakan kegiatan
berpikir problematis9, sehingga kegiatan berpikir berada dalam wilayah
penalaran praktis. Sebagai contoh ; hakim pada saat bersidang menggunakan
hukum acara, pada saat ini hakim selalu berusaha sesuai dengan hukum

9
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006,
hlm. 155.
formal dan pada saat yang sama, ia selalu berpikir problematis dan
menggunakan penalaran praktis. Demikian pula ketika hakim akan
menerapkan hukum materiil, pada saat ini hakim pun selalu berusaha
menggunakan ketentuan hukum yang tepat pada kasus konkret. Di sini pun
hakim selalu berpikir problematis dan harus menggunakan penalaran praktis.
Studi penalaran hukum atau argumentasi yuridis yang berintikan
hubungan antara hukum dan logika, mulai berkembang pada tahun 1980-an
dan memperoleh perhatian besar tahun 1990-an. Menurut Sudikno
Mertokusumo, seorang sarjana hukum khususnya hakim, selayaknya
menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving
legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yakni : Merumuskan,
masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya (legal
problem solving),dan terakhir mengambil keputusan10.
Menurut Kenneth J. Vandevelde, secara epistimologis penalaran
hukum terdiri dari lima langkah, yaitu ;
1.Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the
applicable sources of law)
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menerapkan aturan
hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze
the souces of law)
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang
koheran, yakni strktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di
bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law in to a
coherent structure)

10
Sudikno Mertokusumo Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan, dalam Sidharta, Karakteristik
Penalaran Hukum Dalam Kofonteks Keindonesiaan, CV. Utmo, Bandung, 2006, hlm. 196.
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts)
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk
memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu
dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan
hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure
of rules to the facts)11
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa penalaran hukum
merupakan keseluruhan tahapan berpikir dari ; identifikasi perkara, aturan
hukum, pengujian dengan teori kebenaran serta membuat formulasi konklusi
dan solusi. Penalaran hukum digunakan sebagai alat menyusun argumen-
argumen pada pertimbangan hukum putusan. Argumen-argumen tersebut
menggiring alur pikir yang dibangun hakim untuk menjatuhkan putusan,
sebagaimana yang tertuang dalam amar putusan. Penerapan penalaran
hukum dalam pertimbangan hukum dapat membimbing para pencari
keadilan untuk mengetahui, memahami pemikiran dan pendapat hakim
dalam memutus perkara12
Dengan penalaran yang benar, suatu pertimbangan hukum putusan
dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan
benar tidaknya suatu peristiwa atau suatu dalil gugat. Sebaliknya
pertimbangan hukum yang tidak menggunakan penalaran yang benar, dapat
membingungkan pencari keadilan dalam memahami putusan pengadilan.
Pemikiran dapat dikatakan tepat, jika jalan pikiran sesuai dengan keteraturan
berpikir, sebagaimana disebutkan dalam logika. Ukuran pemikiran yang
benar bukan karena rasa senang dan enak didengar atau tidak, melainkan
sesuai dengan fakta yang ada.
11
Kenneth J.Vandevelde, Thinking Like A Lawyer ; An Introduction to Legal Reasoning, Westview Press,
Colorado, 1996, hlm, 2.
12
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 2008, hlm, 69.
Syarat pokok suatu penalaran yang dapat menghasilkan kesimpulan
yang benar, adalah pemikiran harus berpangkal dari teori atau kenyataan
serta titik pangkalnya harus benar, alasan-alasan yang diajukan harus tepat
dan kuat dan jalan pikiran harus logis13.
Penerapan penalaran induktif dan deduktif seorang hakim dalam
pertimbangan hukum dan suatu putusan tidak dapat dipisahkan. Keduanya
sangat berperan dalam proses mencari dan menarik kesimpulan yang benar.
Secara teoritis, penalaran deduktif bertolak dari aturan hukum yang berlaku
pada kasus individual secara konkrit dan digunakan untuk mendapatkan
kesimpulan dari hal yang bersifat umum kepada kasus yang bersifat
individual. Pada tahap menggali fakta hukum dengan memeriksa surat-surat
bukti ataupun saksi-saksi yang diajukan di persidangan. Ketika hakim
mempertimbangkan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa berdasarkan
surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi Penggugat atau Tergugat yang
dihubungkan dengan dalil-dali Penggugat atau sangkalan Tergugat,
kesemuanya telah bersesuaian satu sama lain dan menyimpulkan bahwa
pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum telah terpenuhi, adalah
menggunakan penalaran induktif. Dalam hal pertimbangan hukum, hakim
menyatakan bahwa dengan demikian dalil gugatan Penggugat dapat
dikabulkan atau ditolak, adalah menggunakan penalaran deduktif.
X. Argumentasi Dalam Pertimbangan Hukum
Esensi argumentasi dalam pertimbangan hukum, merupakan alasan
dan dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya, baik karena
menggunakan pendekatan normatif, yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maupun karena sifatnya sosiologis
(pendekatan kemanfaatan) dan sifatnya folosofis (pendekatan keadilan).
13
W. Poespoprodjo, dan EK.T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Pustaka Grafika, Bandung, 1999, hlm.20.
Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ; ”Putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Argumentasi hukum merupakan jenis penalaran yang melibatkan
proses intelektual insan hukum dalam menjustifikasi rasionalita, konsistensi
logika dan konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam
memutuskan suatu problem permasalahan (perkara). Argumentasi hukum
yang rasional (Drie niveaus van rationale juridische argumentatie), terdiri
dari tiga lapisan antara lain ;
1. Lapisan logika, lapisan ini merupakan struktur intern dari suatu
argumentasi, juga bagian dari logika tradisional. Isu yang muncul
berkaitan dengan premis-premis yang digunakan dalam menarik suatu
kesimpulan logis dan langkah dalam menarik kesimpulan, misalnya
deduksi dan analogi
2. Lapisan dialektik, lapisan ini membandingkan argumentasi pro dan
argumentasi yang kontra. Ada dua pihak yang berdialog atau
berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban
karena sama-sama kuatnya.
3. Lapisan prosedural (struktur, acara penyelesaian sengketa) ;
Prosedur tidak hanya mengatur perdebatan, tetapi perdebatan itupun
menentukan prosedur. Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada
aturan main yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur
yang rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang jelas. Dengan
demikian terdapat saling keterkaitan antara lapisan dialektik dan
lapisan prosedural14.
Menurut Bernard Arief Sidharta, argumentasi hukum terdiri dari unsur
discourse hukum, retorika hukum dan logika hukum, sehingga melibatkan
penerapan perangkat kaidah logika formal dan metode pemaparan jalan
pikiran yang lain15.
Ada beberapa sebab kegagalan argumen, antara lain ;
1. Memuat premis (pernyataan) dari proposisi yang keliru. Jika premis
keliru, argumen tersebut akan gagal dalam menetapkan kesimpulan
2. Kegagalan dapat terjadi karena argumen ternyata memuat premis-
premis yang tidak berhubungan dengan penarikan kesimpulan
3. Penalaran yang disebabkan karena kecerobohan dan kurangnya
perhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait16.
Oleh karena itu dalam menyajikan argumentasi hukum sebagai
manifestasi pertanggungjawaban, argumentasi disusun dengan menggunakan
penalaran hukum, baik secara induktif, maupun deduktif.
Tahap berikutnya hakim menggabungkan penalaran deduktif dan
induktif dengan mendasarkan berbagai teori hukum yang relevan. Dengan
mendasarkan pada teori-teori yang relevan dan rasional, argumentasi hukum
yang dikemukakan secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Kesimpulan yang didasarkan pada argumentasi hukum yang tepat ini
dinamakan pendapat hakim yang kemudian dituangkan dalam putusan. Jika
pertimbangan hukum telah dibuat dan dilakukan analisis dengan

14
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, GajahMada Press, Yogyakarta, 2005,
hlm. 18.
15
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Op cit, hlm. 164.
16
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Op cit, hlm. 84.
menggunakan metodologi yang tepat, sehingga putusan dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis.
XI. Sistimatika Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum pada esensinya merupakan pertanggungjawaban
yuridis atas perkara yang disidangkan oleh hakim dengan
mempertimbangkan berbagai aspek. Sebagai pertanggungjawaban,
pertimbangan hukum harus disajikan secara alur dan runtut serta
intedependensi, artinya harus sistimatis dan kronologis. Jadi semua kerangka
penalaran reasoning yang terurai dalam pertimbangan hukum merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maksud dan
tujuan mensistematisir pertimbangan hukum, agar para pencari keadilan
mudah memahami isi putusan tersebut. Kedudukan pertimbangan hukum,
merupakan bagian putusan yang paling penting dan menentukan. Secara
substansial memuat uji korelasi dan penilaian majelis hakim terhadap
perkara yang disidangkan dengan menggunakan penalaran hukum yang
benar dan tepat.
Uraian sistematika pertimbangan hukum, banyak referensi yang bisa
dijadikan acuan, antara lain misalnya ; Prof. Paulus Latulung, Ellyana
Tansah, L.J. Ferdinandus, M. Taufiq dan lain-lain. Namun yang sangat
sederhana dan mudah dipahami, seperti yang telah diuraikan oleh M.
Taufiq, yang pada pokoknya memberikan uraian sebagai berikut ;
1. Dalil gugatan Penggugat dalam surat gugatan, merupakan informasi
dari Penggugat dan jawaban Tergugat juga merupakan informasi dari
Tergugat, yang biasa disebut dengan fakta biasa.
2. Dalil gugatan Penggugat yang diakui oleh Tergugat bukan
merupakan pokok masalah, sehingga tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut sebagai suatu sengketa.
3. Dalil gugatan Penggugat yang dibantah oleh Tergugat, merupakan
pokok masalah, sehingga harus dipertimbangkan lebih lanjut sebagai
suatu sengketa.
4. Rumusan pokok masalah tersebut harus ditentukan lebih awal,
dalam suatu bentuk kalimat yang singkat, sederhana dan konkret.
5. Pokok masalah tersebut ; harus disertai dan dengan diuji dengan
alat bukti-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di persidangan.
6. alat bukti-alat bukti yang diajukan itu ; berdasarkan pembebanan
pembuktian oleh hakim kepada para pihak yang berperkara.
7. Berdasarkan alat bukti-alat bukti tersebut ; ada dua kemungkinan
yang bisa terjadi, yaitu ;
a. Memperkuat atau memperlemah dalil gugatan
b. Memperkuat atau memperlemah dalil-dali sangkalan.
Dan itulah merupakan fakta hukum di persidangan
8. Fakta hukum itu ; lahir dari nilai alat bukti yang terungkap di
persidangan.
9. Penerapan hukum ; bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku ataupun sumber-sumber hukum lainnya yang diambil
oleh hakim, dengan berdasar pada fakta-fakta hukum .
10. Amar putusan ; merupakan jawaban dari petitum yang dijatuhkan
oleh hakim, berdasar pada penerapan hukum yang ada.
Bagaimana halnya, jika Tergugat tidak pernah hadir di persidangan
dan tidak mengajukan tanggapan ataupun jawaban, sehingga hakim sulit
untuk merumuskan pokok masalah. Dalam situasi seperti ini, hakim tidak
perlu merumuskan bukan pokok masalah, tetapi cukup merumuskan pokok
gugatan karena kemungkinan akan dijatuhkannya putusan verstek.
Sebagaimana diketahui yang dimaksud dengan pokok masalah adalah
rumusan gugatan Penggugat yang dibantah oleh Tergugat, sedangkan yang
dimaksu dengan pokok gugatan adalah rumusan atau resume dari uraian
posita dan petitum yang dituangkan dalam surat gugatan.
XII. Amar Putusan
Esensi amar putusan adalah merupakan jawaban hakim atas petitum
Penggugat atau jawaban atas petitum Tergugat, baik yang diajukan dalam
gugat pokok perkara, maupun yang diajukan dalam jawaban, eksepsi
ataupun rekonvensi. Substansi amar putusan merupakan perintah atau
pernyataan sikap hakim dalam mengadili dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya. Sehingga apabila petitum gugatan Penggugat didukung
dengan posita gugatannya, maka amar putusan hakim harus mengabulkan
gugatan tersebut. Sebaliknya apabila suatu petitum tidak didukung oleh
positanya, maka amar putusan harus dinyatakan N.O (tidak diterima).
Setiap amar putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus jelas, tegas dan
konkret, jangan sampai mengandung multi tafsir, sehingga menimbulkan
interpretasi dan masalah baru, yang pada akhirnya para pihak yang
berperkara tidak menemukan kepastian hukum dari pengadilan agama.
Apabila ada petitum gugatan, sebagian dikabulkan dan sebagian
dinyatakan tidak dapat diterima serta yang lainnya ditolak, maka dalam amar
putusan harus jelas ; petitum mana yang dikabulkan, petitum mana yang
tidak diterima dan petitum mana yang ditolak. Sehingga penulisan amar
putusan harus dituangkan secara lengkap satu demi satu. Hanya dengan cara
seperti itu para pihak yang berperkara tidak bingung dan tidak akan
menggunakan penalaran hukum yang keliru, akibat adanya putusan
pengadilan agama yang tidak jelas dan konkret.
XIII. Penutup
Begitu pentingnya penalaran, termasuk penalaran hukum sebagai
sebuah alat dalam argumentasi hukum. Maka tidak satupun orang terlepas
dari fungsi dan penggunaan penalaran, baik di kalangan hakim, advokat
ataupun masyarakat pencari keadilan pada umumnya. Dan dalam
penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau penegak hukum lainnya
kadang-kadang memang sering ditemukan salah dalam menggunakan
argumentasi hukum dan logika hukum. Sehingga timbul penafsiran hukum
yang keliru. Kekeliruan itu bisa teratasi melalui pembelajaran, baik secara
foramal maupun informal, bahkan mungkin bisa didapat melalui pengalaman
masing-masing (pengalaman yang benar). Itulah sebabnya sistem pembinaan
karir hakim yang tepat bila dilakukan mutasi atau promosi dari satu tempat
ke tempat yang lain, artinya dari kelas pengadilan yang lebih rendah ke kelas
pengadilan yang lebih tinggi . Bukan harus dilihat dari latar belakang daerah
di mana hakim itu berasal, di situlah hakim ditempatkan, dimutasi dan atau
dipromosi. Cara berpikir seperti itu adalah cara berpikir yang tidak
berwawasan nasional, tetapi hanya berpikir sektoral dan tidak banyak
mengandung manfaat, baik terhadap diri hakim yang bersangkutan maupun
terhadap lembaga peradilan.
Keliru memang bila sistem pembinaan karir hakim ; ada hakim yang
diberi tugas sejak ia menjadi hakim tingkat pertama sampai ia menjadi
hakim tinggi, hanya bertugas di satu tempat tertentu dan tidak pernah
dimutasi ke tempat lain. Kondisi hakim seperti ini akan mendapat tantangan
yang berat bagi dirinya sendiri terutama di dalam mengembangkan
pengetahuannya di bidang hukum, baik hukum acara maupun hukum
materiil dan juga dalam keadaan seperti itu sudah dapat dipastikan bahwa
hakim yang bersangkutan akan kurang pengalaman dalam praktik hukum,
terlebih lagi kalau seorang hakim hanya ditempatkan pada pengadilan kelas
II. Mereka akan sadar dan merasakan betapa kekurangan yang dimilikinya
pada saat ia melaksanakan tugas pada daerah tertentu yang memang
memerlukan energi pemikiran hukum yang lebih luas, karena ia dituntut
untuk bertindak lebih profesional, sebagaimana yang diamanatkan dalam
Rapat Kerja Nasional 2012 beberapa waktu lalu di Manado. Namun bila
waktu telah berlalu, tidak akan mungkin dikejar dan akan kembali lagi.
Wallahu a’lam.
Bengkulu, 19 November 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Bina Ilmu Offset,


Surabaya, 2008.
Asri Wijayanti, Strategi Belajar Argumentasi Hukum, Lubuk Agung,
Bandung, 2011.
B. Arief Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks
Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006.
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2001.
Kenneth J.Vandevelde, Thinking Like A Lawyer ; An Introduction to Legal
Reasoning, Westview Press, Colorado, 1996.
Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, Pustaka Book Publisher, Jogyakarta,
2007.
Poerwandari, K, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,
LPSP3, Jakarta,2005.
Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada Press, Yogyakarta, 2005.
Sudikno Mertokusumo Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan,
dalam Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Kofonteks
Keindonesiaan, CV. Utmo, Bandung, 2006.
Ujian terbuka promovendus Andi Syamsu Alam, UGM, Jogyakarta, 12 Juli
2011.
W. Poespoprodjo, dan EK.T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Pustaka
Grafika, Bandung, 1999.

Anda mungkin juga menyukai