Anda di halaman 1dari 9

Nama: Febrabin Angga Perdana

Nim: 044909299

Jurusan: Ilmu Administrasi Bisnis

Tugas 2 Pengantar Ilmu Hukum

1. Pada hakikatnya, sumber hukum dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat
membantu pembentukan hukum. Coba jelaskan menurut analisis saudara disertai contoh.

Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formal

Sebelumnya, dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 Tahun 2000 disebutkan sumber hukum


adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sumber
hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Adapun sumber hukum dasar
nasional adalah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:

1. Ketuhanan yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia; dan

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan;

5. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan

6. Batang tubuh UUD 1945.


Dalam Pasal 2 UU 12/2011 beserta perubahannya juga disebutkan bahwa sumber segala sumber
hukum negara adalah Pancasila. Peter dalam buku yang sama menerangkan dalam alam pikir
Anglo-American dibedakan antara sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum dalam
arti materiil. Sumber hukum formal adalah bersifat operasional yang berhubungan langsung
dengan penerapan hukum. Sementara itu, sumber hukum materiil adalah sumber berasal dari
substansi hukum (hal. 257-158). Senada dengan penjelasan di paragraf sebelumnya, Jimly
membedakan sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Menurutnya, kebanyakan
sarjana hukum biasanya lebih mengutamakan sumber hukum formal, baru setelah itu sumber
hukum materiil apabila dipandang perlu (hal. 127).

Adapun bentuk sumber hukum formal, Jimly membedakannya jadi (hal. 127):

a. bentuk produk legislasi atai produk regulasi tertentu;

b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang mengikat para pihak (contract, treaty);

c. bentuk putusan hakim tertentu (vonnis); atau

d. bentuk-bentuk keputusan administratif (beschikking) tertentu dari pemegang kewenangan


administrasi negara.

Mengutip Sudikno Mertokusumo dalam Mengenal Hukum, Fais Yonas Bo’a dalam


jurnalnya Pancasila Sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional  menyebutkan
bahwa sumber hukum materiil merupakan tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya
situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), perkembangan internasional,
keadaan geografis. Menurut Fais, salah satu sumber hukum materiil di Indonesia juga termasuk
Pancasila (hal. 31).

Theresia Ngutra dalam jurnalnya Hukum dan Sumber-sumber Hukum, mendefinisikan sumber


hukum formal sebagai sumber hukum yang dilihat dari segi bentuknya yang lazim terdiri dari
(hal. 210):

1. Undang-undang

Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang bercirikan:


a. Bersifat umum dan komprehensif;

b. Bersifat universal untuk menghadapi peristiwa yang akan datang belum jelas bentuk
konkretnya;

c. Memiliki kekuatan mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri, adalah lazim jika
peraturan mencantumkan klausul yang memungkinkan dilakukan peninjauan kembali.

2. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan tetap dilakukan berulang-ulang dalam masyarakat mengenai hal
tertentu. Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan selalu dilakukan berulang-ulang
karena dirasakan sebagai sesuatu yang memang seharusnya, penyimpangan dari kebiasaan
dianggap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat. Timbulah suatu kebiasaan hukum
yang oleh pergaulan hidup masyarakat dipandang sebagai hukum (hal. 204).

Hukum adat termasuk dalam hukum kebiasaan. Kadang-kadang kebiasaan disebut sebagai istilah
adat. Hukum adat adalah hukum tak tertulis yang sejak lama ada di masyarakat dengan maksud
mengatur tata tertib (hal. 205).

3. Traktat

Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih, bila diadakan dua negara
saja dinamakan perjanjian bilateral, sedangkan bila diadakan lebih dari dua negara dinamakan
perjanjian multilateral (hal. 206). Traktat bisa jadi hukum formal jika memenuhi syarat formal
seperti dengan ratifikasi (hal. 207).

4. Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah putusan hakim (pengadilan) yang memuat peraturan sendiri kemudian
diakui dan dijadikan dasar putusan hakim lain dalam perkara yang sama. Apabila kemudian
putusan pertama itu mendapat perhatian dari masyarakat maka lama kelamaan jadi sumber yang
memuat kaidah yang oleh umum diterima sebagai hukum (hal. 205).
Mengapa hakim memakai putusan hakim lain sebelumnya atau yurisprudensi? Karena beberapa
hal berikut ini (hal. 205):

a. Pertimbangan Psikologis

Karena keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum, terutama keputusan tingkat Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.

b. Pertimbangan Praktis

Karena dalam kasus yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terlebih dahulu
apabila putusan itu sudah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, maka lebih
praktis kalau hakim berikutnya memberikan dengan putusan yang sama.

Sebaliknya, bila keputusan hakim yang tingkatnya lebih rendah memberi keputusan yang
berbeda dengan putusan hakim yang lebih tinggi, maka keputusan itu berpotensi akan
dimintakan banding atau kasasi.

c. Pendapat yang Sama

Karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan isi keputusan hakim lain yang terlebih
dahulu.

5. Doktrin

Doktrin adalah ahli-ahli hukum ternama yang punya pengaruh dalam pengambilan putusan
pengadilan. Dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan, seringkali hakim menjadikan
pendapat ahli-ahli yang terkenal sebagai alasan putusannya, yaitu dengan mengutip pendapat-
pendapat para ahli hukum tersebut. Dengan demikian putusan pengadilan terasa lebih berwibawa
(hal. 208).

Perlu diingat, doktrin yang berlum digunakan hakim dalam mempertimbangkan keputusannya
belum merupakan sumber hukum formal. Jadi, untuk dapat jadi sumber hukum formal, doktrin
harus memenuhi syarat tertentu yaitu doktrin yang telah menjadi putusan hakim (hal. 208).
Sebagai contoh misal ketika ditanyakan soal “Sumber hukum formal yang banyak digunakan
oleh hakim untuk memutuskan sebuah perkara disebut dengan apa saja?”

Jawabannya ada lima sumber hukum formal yang dapat digunakan hakim, yaitu undang-undang,
kebiasaan, traktrat, yurisprudensi, dan doktrin. Biasanya hakim dalam memutuskan perkara
didasarkan pada undang-undang, perjanjian internasional, dan yurisprudensi. Apabila ternyata
tidak ada sumber tersebut yang bisa memberikan jawaban tentang hukumnya, maka dicari
pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum.

Ilmu hukum adalah sumber hukum tetapi bukan hukum seperti undang-undang karena tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Meskipun tidak mempunyai kekuatan mengikat hukum, tetapi
ilmu hukum itu cukup berwibawa karena dapat dukungan para sarjana hokum.

Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa sumber hukum formal yang banyak digunakan oleh
hakim untuk memutuskan sebuah perkara disebut dengan undang-undang, perjanjian atau traktat,
dan yurisprudensi.

Referensi:

1. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2015;

2. Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015;

3. Theresia Ngutra. Hukum dan Sumber-sumber Hukum. Jurnal Supremasi, Volume XI


Nomor 2, Oktober 2016.

4. Fais Yonas Bo’a. Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum


Nasional. Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 1, Maret 2018.
2. Hans Kelsen mendefinisikan hukum tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban
yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Berikan pendapat
saudara mengenai pernyataan di atas

Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting yaitu
aspek statis (nomostatis) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis
(nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedman
mengungkapkan dasar-dasar esensial dari Satu Tujuan Teori Hukum, seperti tiap ilmu
pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi pemikiran Kelsen
sebagai berikut :

1. Tujuan Teori Hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif adalah hubungan
apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Hans Kelsen, sebagai tokoh positivisme hukum menjelaskan hukum dalam paparan sebagai
berikut : Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-
keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen). Baginya norma merupakan produk pemikiran
manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki
menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-niali yang baik.

Refrensi:

Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa'ar. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012
FX Adjie Samekto, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012

3. Saat ini mulai berkembang paradigma hukum progresif yang mendobrak


pemikiran formalistik dan legalistik dari penegak hukum terutama hakim. Berikan
opini saudara tentang paradigma hukum progresif tersebut

Istilah hukum progresif, diperkenalkan olah Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya
konstribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk
krisis bidang hukum itu sendiri.

Adapun pengertian hukum progresif adalah mengubah secara cepat, melakukan perbaikan yang
mendasar dalam teori dan praktis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan
tersebut didasarkan pafa prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegelisahan yang syarat dengan keinginan
untuk bertindak akan hukum yang kondisinya kian memburuk. Hukum progresif mengajak untuk
meninjau kembali cara-cara berhukum yang merupakan sebuah alternatif terobosan dari
kekakuan dan kemandegan hukum yang ada, dengan melihat dan mengkritisinya dari sudut
pandang lain. Sudut pandang bahwa karena hukum hanya menempati satu sudut kecil saja dalam
jagat ketertiban, maka hukum (terutama tertulis) tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan
yang ada dalam masyarakat. Karenanya hukum harus membuka diri terhadap disiplin ilmu lain
agar dapat memposisikan diri sesuai dengan jati dirinya. Bahwa hukum harus cair, mengalir,
mengikuti masyarakat yang ada dan yang diaturnya. Hukum progresif berpendapat bahwa hukum
bukan merupakan institusi yang absolut dan final. Hukum akan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya, sehingga manusialah yang menjadi penentu
dalam menerapkan hukum dalam suatu permasalahan yang dihadapi manusia. Selanjutnya
hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan
ditentukan oleh kemampuan hukum itu sendiri untuk mengabdi kepada manusia.
Penafsiran progresif menjadi sesuatu dilakukan oleh penegak hukum untuk memberikan keadilan
yang mutlak substantif dan tidak semata keadilan prosedural. Penafsiran ini hanya dapat dituntut
dari perilaku manusia yang menyadari paradigma sebelumnya dari keberadaan hukum, peranan
manusia dan kesadaran akan teks peraturan yang sangat membatasi konsepsi yang ingin dicapai.

Era Globalisasi ditandai melahirkan hukum-hukum modern yang bercirikan hukum yang terukur,
hukum yang teratur dan bersifat universal, karena era globalisasi menyebabkan batas negara
sudah semakin tidak jelas (boderless), namun semakin dirasakan hukumhukum yang universal
semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum modern yang dominan dibangun dari
mazhab positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte, yang disebutnya hukum 3 (tiga) tahap.
Pertama tahap teologis, dalam tahap ini manusia percaya pada kekuatan Ilahi di belakang gejal-
gejala alam. Tahap kedua adalah tahap metafisika, dalam tahap ini dimulai kritik terhadap segala
pikiran, termasuk pikiran teologis, ide-ide teologis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika
Tahap ketiga adalah tahap positif, Dalam tahap ini gejala-gejala tidak diterangkan lag i oleh
suatu ide alam yang abstrak tetapi ide diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum-
hukum diantara gejala-gejala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan
relasi yang konstan di antara gejala-gejala tersebut. Dengan demikian positivisme memuat nilai-
nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai
objek yang dapat dikontrol dan digeneralisasi sehingga gejala ke depan dapat diramalkan.

Pada dasarnya paradigma yang diajukan dalam mengkritisi hukum progresif berkaitan dengan
hukum secara umum tidak bertentangan dengan apa yang dikritisi oleh teori hukum pemikiran
hans kelsen. Keduanya sama berpendapat bahwa hukum tidak dapat dilihat sebagai sebuah titik
final yang baku, netral serta objektif Hukum harus dilihat secara cair, mengalir dipengaruhi oleh
faktor lain diluar hukum yang mempengaruhinya yaitu realita empiris.

Refrensi:

Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat ketertiban,


FX Adji Samekto, Bandung, Citra Aditya Bhakti

Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing

Anda mungkin juga menyukai