Nim: 044909299
1. Pada hakikatnya, sumber hukum dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat
membantu pembentukan hukum. Coba jelaskan menurut analisis saudara disertai contoh.
Adapun bentuk sumber hukum formal, Jimly membedakannya jadi (hal. 127):
b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang mengikat para pihak (contract, treaty);
1. Undang-undang
b. Bersifat universal untuk menghadapi peristiwa yang akan datang belum jelas bentuk
konkretnya;
c. Memiliki kekuatan mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri, adalah lazim jika
peraturan mencantumkan klausul yang memungkinkan dilakukan peninjauan kembali.
2. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan tetap dilakukan berulang-ulang dalam masyarakat mengenai hal
tertentu. Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan selalu dilakukan berulang-ulang
karena dirasakan sebagai sesuatu yang memang seharusnya, penyimpangan dari kebiasaan
dianggap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat. Timbulah suatu kebiasaan hukum
yang oleh pergaulan hidup masyarakat dipandang sebagai hukum (hal. 204).
Hukum adat termasuk dalam hukum kebiasaan. Kadang-kadang kebiasaan disebut sebagai istilah
adat. Hukum adat adalah hukum tak tertulis yang sejak lama ada di masyarakat dengan maksud
mengatur tata tertib (hal. 205).
3. Traktat
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih, bila diadakan dua negara
saja dinamakan perjanjian bilateral, sedangkan bila diadakan lebih dari dua negara dinamakan
perjanjian multilateral (hal. 206). Traktat bisa jadi hukum formal jika memenuhi syarat formal
seperti dengan ratifikasi (hal. 207).
4. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah putusan hakim (pengadilan) yang memuat peraturan sendiri kemudian
diakui dan dijadikan dasar putusan hakim lain dalam perkara yang sama. Apabila kemudian
putusan pertama itu mendapat perhatian dari masyarakat maka lama kelamaan jadi sumber yang
memuat kaidah yang oleh umum diterima sebagai hukum (hal. 205).
Mengapa hakim memakai putusan hakim lain sebelumnya atau yurisprudensi? Karena beberapa
hal berikut ini (hal. 205):
a. Pertimbangan Psikologis
Karena keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum, terutama keputusan tingkat Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
b. Pertimbangan Praktis
Karena dalam kasus yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terlebih dahulu
apabila putusan itu sudah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, maka lebih
praktis kalau hakim berikutnya memberikan dengan putusan yang sama.
Sebaliknya, bila keputusan hakim yang tingkatnya lebih rendah memberi keputusan yang
berbeda dengan putusan hakim yang lebih tinggi, maka keputusan itu berpotensi akan
dimintakan banding atau kasasi.
Karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan isi keputusan hakim lain yang terlebih
dahulu.
5. Doktrin
Doktrin adalah ahli-ahli hukum ternama yang punya pengaruh dalam pengambilan putusan
pengadilan. Dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan, seringkali hakim menjadikan
pendapat ahli-ahli yang terkenal sebagai alasan putusannya, yaitu dengan mengutip pendapat-
pendapat para ahli hukum tersebut. Dengan demikian putusan pengadilan terasa lebih berwibawa
(hal. 208).
Perlu diingat, doktrin yang berlum digunakan hakim dalam mempertimbangkan keputusannya
belum merupakan sumber hukum formal. Jadi, untuk dapat jadi sumber hukum formal, doktrin
harus memenuhi syarat tertentu yaitu doktrin yang telah menjadi putusan hakim (hal. 208).
Sebagai contoh misal ketika ditanyakan soal “Sumber hukum formal yang banyak digunakan
oleh hakim untuk memutuskan sebuah perkara disebut dengan apa saja?”
Jawabannya ada lima sumber hukum formal yang dapat digunakan hakim, yaitu undang-undang,
kebiasaan, traktrat, yurisprudensi, dan doktrin. Biasanya hakim dalam memutuskan perkara
didasarkan pada undang-undang, perjanjian internasional, dan yurisprudensi. Apabila ternyata
tidak ada sumber tersebut yang bisa memberikan jawaban tentang hukumnya, maka dicari
pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum.
Ilmu hukum adalah sumber hukum tetapi bukan hukum seperti undang-undang karena tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Meskipun tidak mempunyai kekuatan mengikat hukum, tetapi
ilmu hukum itu cukup berwibawa karena dapat dukungan para sarjana hokum.
Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa sumber hukum formal yang banyak digunakan oleh
hakim untuk memutuskan sebuah perkara disebut dengan undang-undang, perjanjian atau traktat,
dan yurisprudensi.
Referensi:
1. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2015;
2. Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015;
Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting yaitu
aspek statis (nomostatis) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis
(nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedman
mengungkapkan dasar-dasar esensial dari Satu Tujuan Teori Hukum, seperti tiap ilmu
pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi pemikiran Kelsen
sebagai berikut :
1. Tujuan Teori Hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif adalah hubungan
apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Hans Kelsen, sebagai tokoh positivisme hukum menjelaskan hukum dalam paparan sebagai
berikut : Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-
keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen). Baginya norma merupakan produk pemikiran
manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki
menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-niali yang baik.
Refrensi:
Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa'ar. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012
FX Adjie Samekto, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012
Istilah hukum progresif, diperkenalkan olah Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya
konstribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk
krisis bidang hukum itu sendiri.
Adapun pengertian hukum progresif adalah mengubah secara cepat, melakukan perbaikan yang
mendasar dalam teori dan praktis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan
tersebut didasarkan pafa prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegelisahan yang syarat dengan keinginan
untuk bertindak akan hukum yang kondisinya kian memburuk. Hukum progresif mengajak untuk
meninjau kembali cara-cara berhukum yang merupakan sebuah alternatif terobosan dari
kekakuan dan kemandegan hukum yang ada, dengan melihat dan mengkritisinya dari sudut
pandang lain. Sudut pandang bahwa karena hukum hanya menempati satu sudut kecil saja dalam
jagat ketertiban, maka hukum (terutama tertulis) tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan
yang ada dalam masyarakat. Karenanya hukum harus membuka diri terhadap disiplin ilmu lain
agar dapat memposisikan diri sesuai dengan jati dirinya. Bahwa hukum harus cair, mengalir,
mengikuti masyarakat yang ada dan yang diaturnya. Hukum progresif berpendapat bahwa hukum
bukan merupakan institusi yang absolut dan final. Hukum akan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya, sehingga manusialah yang menjadi penentu
dalam menerapkan hukum dalam suatu permasalahan yang dihadapi manusia. Selanjutnya
hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan
ditentukan oleh kemampuan hukum itu sendiri untuk mengabdi kepada manusia.
Penafsiran progresif menjadi sesuatu dilakukan oleh penegak hukum untuk memberikan keadilan
yang mutlak substantif dan tidak semata keadilan prosedural. Penafsiran ini hanya dapat dituntut
dari perilaku manusia yang menyadari paradigma sebelumnya dari keberadaan hukum, peranan
manusia dan kesadaran akan teks peraturan yang sangat membatasi konsepsi yang ingin dicapai.
Era Globalisasi ditandai melahirkan hukum-hukum modern yang bercirikan hukum yang terukur,
hukum yang teratur dan bersifat universal, karena era globalisasi menyebabkan batas negara
sudah semakin tidak jelas (boderless), namun semakin dirasakan hukumhukum yang universal
semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum modern yang dominan dibangun dari
mazhab positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte, yang disebutnya hukum 3 (tiga) tahap.
Pertama tahap teologis, dalam tahap ini manusia percaya pada kekuatan Ilahi di belakang gejal-
gejala alam. Tahap kedua adalah tahap metafisika, dalam tahap ini dimulai kritik terhadap segala
pikiran, termasuk pikiran teologis, ide-ide teologis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika
Tahap ketiga adalah tahap positif, Dalam tahap ini gejala-gejala tidak diterangkan lag i oleh
suatu ide alam yang abstrak tetapi ide diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum-
hukum diantara gejala-gejala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan
relasi yang konstan di antara gejala-gejala tersebut. Dengan demikian positivisme memuat nilai-
nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai
objek yang dapat dikontrol dan digeneralisasi sehingga gejala ke depan dapat diramalkan.
Pada dasarnya paradigma yang diajukan dalam mengkritisi hukum progresif berkaitan dengan
hukum secara umum tidak bertentangan dengan apa yang dikritisi oleh teori hukum pemikiran
hans kelsen. Keduanya sama berpendapat bahwa hukum tidak dapat dilihat sebagai sebuah titik
final yang baku, netral serta objektif Hukum harus dilihat secara cair, mengalir dipengaruhi oleh
faktor lain diluar hukum yang mempengaruhinya yaitu realita empiris.
Refrensi: