1
peraturan- peraturan hukum. Ada tiga (3) macam sumber hokum formil menurut
beliau yakni : Undang- undang, kebiasaan dan traktat6 .
3. Sumber hukum dalam arti yang lain, yakni yang mempersoalkan atau meneliti tentang
kekuatan – kekuatan atau factor- factor kausal atau penyebab (politis,
kemasyarakatan, ekonomis, teknis, psikologis) yang turut membantu di dalam
pembentukan hukum (kaidah) sebagai suatu bentuk perwujudan atau gejala social
dalam kehidupan masyarakat manusia. Sebagaimana halnya sumber hukum dalam arti
materiil maka sumber hukum dalam arti yang ketiga ini – pun sesungguhnya
merupakan persoalan ekstra yuridis (falsafah). Menurut Van Apeldoorn, factor- factor
yang membantu pembentukan hukum adalah perjanjian, yurisprudensi dan doktrin,
akan tetapi ketiga factor tersebut tidak dimasukkan/ diklasifikasikan sebagai sumber
hukum7.
6
Van Apeldoorn, 1975, Inleiding tot de Studies van Het Nederlands (Pengantar Ilmu Hukum),
Terjemahan : Penerbit Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 89 – 90.
7
Ibid. Lihat juga pendapat Prof. Mahadi, 1956, Sumber-sumber Hukum, jilid kesatu, Penerbit
NV. Soeroengan, Jakarta, h. 35 – 55. Dimana beliau juga membedakan sumber hokum dalam arti
sejarah, falsafah dan dalam arti formil.
8
Max Sorensen , 1968, Manual of Publik International Law, London – Melbourne, Toronto to
St. Martin’s Press, New York. Page 120
2
Berbicara mengenai sumber hukum internasional dalam arti materiil, berarti
kita mempersoalkan tentang dasar berlakunya atau dasar kekuatan mengikat atau
daya ikat (basis of the binding force) dari hukum internasional 9. Persoalan ini
menarik untuk dibahas, oleh karena hukum internasional (berbeda dengan tata
nasional), tidak memiliki lembaga- lembaga yang diasosiasikan dengan hukum dan
pelaksanaannya.Masyarakat internasional tidak mengenal suatu kekuasaan
eksekutif pusat yang kuat, badan legislative dan badan yudikatif seperti dalam
Negara- Negara nasional, melainkan dalam bentuknya sekarang merupakan suatu
tertib hukum koordinasi dari sejumlah Negara – Negara yang masing – masing
berdaulat10.
Keadaan yang demikian ini dapat dimengerti oleh karena masyarakat
internasional bukanlah merupakan suatu Negara dunia (Word State), yang
memiliki suatu badan kekuasaan (pemerintah) pusat seperti halnya suatu Negara,
melainkan ia hanya merupakan suatu masyarakat Negara-negara yang
keanggotaannya didasarkan atas kesukarelaan dan kesadaran, sedangkan
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi tetap berada di tengah Negara itu masing
– masing. Oleh karena itu, pelaksanaan (enforcement) daripada hukum
internasional tidaklah dapat dipaksakan seperti dalam hukum nasional, sehingga J.
Austin menyatakan, bahwa hukum internasional bukanlah merupakan hukum
dalam arti yang sebenarnya melainkan ia lebih tepat disebut sebagai “kesusilaan”
(moral) internasional positif (positive international morality) 11.
Meskipun demikian, dalam kenyataannya kaidah- kaidah hukum
internasional juga ditaati oleh Negara- Negara anggota masyarakat bangsa –
bangsa. Dengan demikian, ia juga mempunyai kekuatan berlaku atau daya
mengikat. Yang menjadi persoalan adalah dimanakah letak dasar kekuatan
berlakunya (daya mengikat daripada hokum internasional atau dengan kata lain :
mengapa hukum internasional mengikat Negara- Negara / anggota masyarakat
internasional? Persoalan inilah yang merupakan inti daripada sumber hokum
internasional dalam arti materiil12.
9
Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar hukum Internasional, Penerbit Alumni Bandung,
h. 30.
10
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, h. 42
11
John Austin, 1873, Lectures on Jurisprudence, page 187. Terkutip dari bukunya Utrecht,
Op.Cit, P. 568
12
Beberapa penulis menyamakan sumber hukum internasional dalam arti materiil dengan
“penyebab dari hukum internasional (causes of international law), lihat Herbert W. Briggs, The Law of
Nations: Second edition, Apleton – Century Crofts, Inc. New York, P.44. Didalamnya juga dinyatakan
bahwa sumber hokum internasional sering dikacaukan dengan dasar (basis) dan bukti (evidence)
3
Pokok Persoalan yang terkandung dalam pengertian dasar daya ikat hokum
internasional adalah bagaimana himpunan azas – azas dan aturan- aturan yang
merupakan hokum internasional mendapatkan daya ikat hukum dalam suatu
masyarakat internasional yang terdiri dari Negara berdaulat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Fenwick :
“How was is that body of principles and rules which constituse international law
come to acquire the binding force of law in on international community of
souvereign state”.
Ada dua (2) teori yang membahas tentang persoalan dasar daya mengikat
daripada hukum internasional, yakni pertama, teori hukum/aliran naturalis,
atau doktrin yang bersandar pada hak- hak azasi / hak- hak alamiah (fundamental
of natural rights); yang berpendapat bahwa bahwa kekuasaan mengikat dari
hokum internasional didasarkan pada hukum alam (natural law), yang pada
hakekatnya merupakan hukum yang berasal dari Tuhan, dan di dalam bentuknya
yang disekularisir dipastikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakekat
manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah- kaidah yang
diilhamkan alam pada akal manusia 13.
Sehingga mengikatnya hukum internasional menurut teori ini disebabkan
karena hukum internasional menurut teori ini disebabkan karena hukum
internasional itu sendiri tidak lain adalah hukum alam yang diterapkan pada
masyarakat bangsa – bangsa. Dengan demikian kedudukan atau derajatnya
dianggap lebih tinggi daripada hukum nasional, sehingga karenanya semua Negara
terikat dan berkewajiban untuk mentaatinya. Pencetus dari teori ini adalah Grotius
(Hugo de Groot), yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Emmeric Vattel,
seorang ahli hukum dan diplomat Swiss14.
Kepercayaan ada kemungkinan adanya hukum alam tersebut berdasarkan pada
kenyataan bahwa seorang manusia oleh Tuhan dititahkan berbeda dari seekor
hewan sebab kepada manusia diberikan suatu kemampuan berpikir. Pikiran inilah
yang dikatakan seharusnya menyebabkan adanya azas- azas hukum yang sama
diseluruh dunia15.
4
Kelemahan teori Grotius itu adalah kabur atau belum jelasnya konsep hokum
alam yang dikemukakannya itu, dan nampaknya masih bersifat subyektif, oleh
karena teorinya itu menekankan pada factor keadilan sebagai ciri khas atau unsur
pokok dari system hukum yang sifatnya masih abstrak tersebut 16. Disamping itu,
satu hal yang kurang diperhatikan oleh Grotius adalah bahwa cara berpikir pun
diantara bangsa- bangsa dipelbagai Negara sebenarnya sudah berbeda, seperti
misalnya cara berpikir bangsa – bangsa pada umumnya adalah individualistis,
sedangkan bangsa- bangsa timur (seperti Indonesia) pada umumnya bersifat
kekeluargaan dan konkrit17. Namun meskipun demikian, konsepsi hukum alam dari
Grotius telah mempunyai pengaruh yang besar dan positif terhadap
perkembangan hukum internasional, antara lain karena teorinya itu
memperhatikan maksud tujuan dan watak dinamis dari hukum internasional itu
sendiri18.
Kedua, Teori Positivisme, yang pada hakekatnya mendasarkan berlakunya
hukum internasional pada kaidah – kaidah hukum internasional tersebut. Dalam
teori Positivisme itu sendiri terdapat tiga (3) teori/ aliran yaitu teori Common
concent, Selflimitation, dan Azas Pacta Sunt Servanda 19.
Menurut Teori “Common Consent”, yang merupakan dasar mengikat dari hukum
inetrnasional adalah persetujuan bersama/umum (Common Concent) dari Negara
– Negara. Hal ini analog dengan daya mengikat dari hokum pada umumnya yang
juga didasarkan atas persetujuan bersama (common consent) dari masyarakat
(community)nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Oppenheim, bahwa 20:
“If law is, ……, abody of rules for human conduct with in community shall be
enforced through external then common is the basis of all law”.
Pencetus dari aliran ini adalah Triepel, dimana beliau menolak konsepsi Jelinek
yang menekankan kehendak Negara sebagai suatu sumber hukum. Hukum
16
Mochtar Kusumaatmadja, Loc Cit.
17
Wirjono Prodjodipuro, Loc. Cit.
18
Lihat Mochtar Kusumaatmadja,Loc Cit. dan Sam Suhaedi, Loc Cit. Dalam hubungan ini perlu
kiranya dikemukakan pendapat Thomas Aquinas yang membedakan antara hokum abadi dan hukum
alam : hukum abadi adalah pola hikmah ke- Tuhanan yang kekal yang mengatur tertib alam jagad di
luar akal atau kemampuan paham manusia, sedangkan hokum alami adalah partisipasi yang pada
dasarnya tidak sempurna daripada akal manusia dalam hokum abadi, atas karunia Tuhan (Athur
Nussabaum : “Aconcise History of the Law of Nations”). “Sejarah Hukum Internasional “, Terjemahan
Sam Suhaedi Admawiria, Penerbit Binacipta Bandung, Cetakan pertama h. 51.
19
Sam Suhaesi Admawiria, Op.Cit. h. 47
20
Oppenheim, Op.Cit, p. 15 - 17
5
internasional dan hokum nasional dalam pendapat Triepel, mempunyai sumber
sendiri dan lingkungan berlaku tersendiri pula21.
Berbeda halnya dengan teori “Self- Limitation” yang mendasarkan kekuatan
mengikat dari hokum internasional pada kehendak Negara (staatswil) dimana
Negara dipandang sebagai sumber segala hukum, termasuk hukum internasional.
Jadi mengikatnya hukum internasional karena Negara- Negara itu atas kemauan
sendiri tunduk/ taat padanya. Titik tolak dari teori ini adalah : bahwa hokum
dipandang olehnya sebagai kehendak atau kemauan Negara dan di dalam
hubungan- hubungan internasional kedaulatan yang merupakan kekuasaan
tertinggi dari Negara tidak lagi bersifat mutlak, melainkan dibatasi. Oleh karena itu
teorinya disebut “Self – Limitation Theory” atau “auto limitation theory” 22.
Teori ini didasarkan atas falsafah Hegel, yang dahulu mempunyai pengaruh
luas di Jerman. Yang mendewakan Negara sebagai “absolute macht and erden
(kekuasaan absolut di atas bumi)”, dan menganggap kehendak Negara sebagai
dasar dan penegak hukum, serta tidak mau mengakui hukum lain di atas Negara.
Teori self – limitation bersama – sama dengan teori common concent dari
Triepel, sering dikombinasikan dengan sebutan “teori kehendak (Willens theory,
concent theory) atau teori Voluntaris.
Yang terakhir adalah teori azas pacta sunt servanda yang dianut oleh
madzab Wina, dengan pelopornya Hans Kelsen. Menurut beliau Pacta Sunt
Servanda adalah merupakan kaidah dasar (groundnorm) dari hukum
internasional23. Pengertian secara umum dari azas ini, tercantum dalam artikel 26
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention of the Law of
Treaties) Tahun 1969, yang menyatakan bahwa : Azas tersebut tidak tergantung
pada norma yang lebih tinggi melainkan azas itu sendiri yang merupakan norma
tertinggi (supreme norm)24.
21
Terkutip dari Sam Suhaedi Admawiria, Loc Cit. Teori Triepel tersebut antara lain diikuti oleh
Oppenheim – Lauterpacht yang memberikan arti pada common concent sebagai “general consensus”
dan bukan sebagai “unanimons consent”. Menurut beliau common concent itu dapat dinyatakan
secara tegas/nyata (the express concent) atau secara diam – diam (to cit concent) Oppenheim, op
cit., p. 47. Selain Oppenheim – Lauterpacht, teori Triepel juga diikuti oleh Chan dan Korowics.
22
Ibid.
23
Hans Kelsen, 1952, Principle of International, New York, terkutip dari Mochtar
Kusumaatmadja, Buku I, Op. Cit, h. 48
24
Sam Suhaedi Admawiria, Op.Cit, h. 55
6
Azas tersebut sebenarnya berasal dari azas hukum perdata yang berarti
persetujuan – persetujuan harus ditaati/ dilaksanakan pihak – pihak dan
merupakan warisan dari kebudayaan jaman Romawi25.
Dengan demikian, azas tersebut tidak hanya terbatas adanya pada hokum
internasional saja, bahkan umurnya lebih tua dari hokum internasional.
Sebagaimana dinyatakan oleh Lord Mc. Nair, bahwa “the principle of pacta sunt
servanda is not confined to international law and is older than international law”.
Disamping teori / aliran hokum alam dan positivism (yang terdiri dari tiga
(3) teori) tersebut di atas, ada pula suatu teori yaitu madzhab Perancis yang
mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kenyataan –
kenyataan hidup manusia yakni factor- factor biologis, social, dan sejarah
kehidupan manusia yang merupakan “fakta- fakta kemasyarakatan (fait social)”.
Faktor – factor atau fakta – fakta kemasyarakatan inilah yang menjadi dasar
kekuatan mengikat dari semua hukum, termasuk hukum internasional. Pelopor
utama dari madzhab ini adalah : Fauachile, Scelle dan Duguit.
25
Mochtar Kusumaatmadja, Buku I, Op.Cit, h. 139
26
Starke.,J.G., 1972, An Introduction to International Law, ed Butterworth, London, page 30
7
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Di dalam hokum tertulis ada dua (2) tempat
yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber – sumber hokum
internasional dalam arti formil, yaitu :
1. Pasal 7 Konvensi ke-XII Den Haag tertanggal 18 Oktober 1907 yang
mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal Di Laut (International
Price Court); dan
2. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen, tertanggal 16 Desember
1920, yang kini tercantum dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional
(Statuta of International Court of Justice).
Yang penting dibicarakan sekarang adalah sumber hokum ke-2, yaitu Pasal 38 (1)
Piagam Mahkamah Internasional, sedangkan sumber hokum yang ke-1 hanyalah merupakan
dokumen historis, sebab Mahkamah Internasional mengenai kapal di laut dalam
kenyataannya tidak pernah terbentuk, karena tidak mencapai jumlah ratifikasi yang
diperlukan.
Dalam pada itu, perlu kiranya dicatat bahwa mengenai sumber hokum internasional
dalam arti formal yang ada dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional tersebut
adalah merupakan sumber hokum internasional yang paling utama dan sebagaimana
dinyatakan oleh Brierly memiliki otoritas tertinggi serta bersifat authentic yang dapat
dipergunakan oleh Mahkamah (dan mengikat Mahkamah) di dalam menyelesaikan atau
memutuskan suatu sengketa internasional.
27
Mochtar Kusumaatmadja, Buku I, Op.Cit, h. 107
8
1. Perjanjian- Perjanjian (Konvensi - Konvensi) internasional, baik yang bersifat umum
maupun khusus yang mengandung ketentuan – ketentuan hokum yang diakui secara
tegas oleh Negara – negara yang bersangkutan.
2. Kebiasaan- kebiasaan internasional, sebagai bukti daripada suatu kebiasaan umum
yang telah diterima sebagai hokum.
3. Azas – azas hokum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa yang beradab.
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran – ajaran sarjana – sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai Negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah-kaidah
hukum.
Namun ketentuan dalam Pasal 38 (1) tersebut tidak mengurangi kekuasaan hakim
untuk memutus suatu perkara berdasarkan “keadilan (exacque et bono), apabila para pihak
menyetujuinya”. This provisions shall not prejudice the power of the court to decide exacque
et bono if the parties agree there to, hal ini diatur dalam Pasal 38 (2) Statuta Mahkamah
International.
Ketentuan yang serupa juga kita dapati pada badan/ pengadilan arbitrase, dimana
para arbiter juga memiliki kekuasaan atau wewenang untuk memutus suatu perkara,
menurut azas ex acque et bono, asalkan disetujui oleh pihak – pihak yang bersangkutan.
Sebagai contoh : ketentuan yang tercantum dalam artikel 33 (2) peraturan arbitrase Uncitral
(Uncitral Arbitration Rules), yang menyatakan bahwa 28:
“If the parties agree to this, the tribunal may give its award” ex acque et bono, “or
as” amiables compositeurs”. This means that the tribunal can decide more on the
basis of what it concidere reasonable and equitable than on the basis of the law;
onley mandatary provisions of the applicable law cannot be setaside by the tribunal”.
Ketentuan Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional tersebut oleh Brierly
menganggap sebagai suatu teks yang memiliki otoritas tertinggi dan kita boleh memberikan
asumsi bahwa pasal tersebut menyatakan kewajiban bagi tiap pengadilan yang ditugaskan
memberikan putusan pada bidang hukum internasional (this is a texs of the highest
authority, and we may fairly assume thas it express the duty of any tribunal which is called
upon administer law)29.
Sesungguhnya Pasal 38 (1) itu sendiri tidak menyebutkan secara tegas bahwa hal – hal
yang disebutkan di dalamnya itu adalah merupakan sumber hukum internasional. Demikian
pula ia tidak bersandar kepada perbedaan antara sumber formil dan materiil. Bahkan Ian
28
Sudargo Gautama, 1980, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, h. 42
29
Brierly, 1963, The Law of Nations, introduction to the international La of Deace, Sixth
edition, Oxford at the Clarendom Press, p. 56.
9
Brownlie berpendapat bahwa apabila dilihat secara tertutup (sempit), pasal tersebut tidak
dapat dianggap sebagai suatu penyebutan/ perincian secara jelas/nyata daripada sumber-
sumber hukum internasional30.
Lebih lanjut, ia menyatakan : in general article 38 does not rest upon a distinction
between formal and material services and system of priority of application defends simply on
order (a) to (d), and the reference to subsidiary mean 31.
Disamping itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, baik isi maupun urutan yang
tercantum di dalam pasal itu tidak menggambarkan suatu pendapat yang diterima secara
umum, bahkan jumlah sumber hukum yang disebutkan disitu masih belum lengkap,oleh
karena itu di dalamnya tidak terdapat penyebutan keputusan mahkamah – mahkamah atau
peradilan arbitrase maupun keputusan – keputusan badan – badan atau organisasi
internasional, yang akhir- akhir ini merupakan sumber hukum yang kian bertambah penting.
Demikian pula penyebutan sumber – sumber hokum dalam pasal 38 (1) tersebut
tidaklah menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hokum itu sebagai
sumber hokum formil, karena hal yang demikian memang tidak diatur secara tegas oleh
pasal 38 tersebut.
30
Brownlie. Ian.., 1973, Principle of Public International Law, Clarendom Press, Oxford,
Page 3
31
Ibid
10