DISUSUN OLEH:
2206200256
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
TA. 2023/2024
ABSTAK
Perjanjian internasional yang telah disepakati dan di sahkan dalam suatu ratifikasi
oleh suatu negara, maka perjanjian tersebut berlaku mengikat bagi semua dan
menjadi sumber hukum bagi penegak hukum dalam mengambil keputusan. Hal ini
berlaku juga di Indonesia. Setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh
Indonesia baik yang sudah tertuang dalam suatu persyaratan ratifikasi atau tidak,
tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kedudukan hukum internasional di dalam
Pembukaan UUD NRI 1945. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), konseptual (conceptual approach) dan pendekatan historis
(historical approach) yang kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini
menyimpulkan bahwa Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai rechtside Indonesia
nyatanya memuat secara implisit keinginan konstitusi untuk melegitimasi hukum
internasional dalam sistem hukum Indonesia di mana di dalamnya mengandung nilai-
nilai: pertama Pembukaan UUD NRI 1945 memuat perintah menjunjung tinggi
norma-norma internasional melalui pengakuan, penghormatan dan jaminan terhadap
perikemanusiaan dan perikeadilan sehingga menolak segala bentuk penjajahan di atas
dunia. Dan kedua, Pembukaan UUD NRI 1945 telah memberi arah guna turut
mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial sebagai salah satu tujuan bernegara selaku tujuan tertinggi.
Kata kunci : Konstitusi; Pembukaan UUD NRI 1945; Hukum Internasional; Hukum
Nasional.
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai sumber hukum merupakan persoalan yang sangat
penting dalam bidang hukum, bukan hanya dalam tataran Hukum Nasional (HN) tapi
juga Hukum Internasional (HI). Pemahaman tentang ini mutlak diperlukan
dikarenakan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum, sumber hukum
menjadi tempat diketemukannya dasar hukum yang dipakai sebagai pedoman.
Dewasa ini terdapat kecenderungan membicarakan kembali mengenai sumber hukum
dalam hukum internasional, karena perkembangan masyarakat intemasional yang
sangat cepat dan hukum internasional itu sendiri.Sumber hukum intemasional
berbeda dengan Hukum Nasional. HI memiliki keunikan tersendiri, terutama
ketiadaan pernyataan yang secara eksplisit menyebutkan apa sumber-sumber hukum
intemasional itu sendiri yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam memutuskan
sengketa internasional. HI tidak memiliki organ-organ yang pada umumnya ada di
tingkat nasional, seperti lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif.1
Pada umumnya undang-undang dasar suatu negara memiliki bagian
pembukaan dan batang tubuh yang menyatu dalam suatu naskah konstitusi. Bagian
pembukaan menjadi pernyataan isi atau substansi sebuah pembukaan dalam
kedudukannya terhadap batang tubuh Undang-undang Dasar. Di sisi lain, rangkaian
pasal-pasal selaku batang tubuh Undang-undang Dasar merupakan perwujudan dari
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan 2 Oleh sebab itu,
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI 1945 pada hakikatnya merupakan satu
rangkaian kesatuan yang tidak dapat dipisahkan selaku konstitusi tertulis Indonesia
3
Seiring dengan itu, King F. Sulaiman dengan mengutip James T. Mchugh
menyebutkan bahwa salah satu karakter utama dari konstitusi ialah merupakan
instrumen yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah dan
berfungsi sebagai medium yang dapat mengakomodasikan tatanan internasional ke
dalam sistem hukum nasional4 Terkhusus dalam hubungannya dengan
mengakomodasikan tatanan internasional yang dimaksud, lazimnya legitimasi
penggunaan hukum internasional termaktub di dalam konstitusi suatu negara. Hal ini
penting sebab menjelaskan bagaimana konstitusi mengatur kedudukan hukum
internasional dalam sistem hukum nasional, yang pada gilirannya terhindar dari
inkonsistensi dan keberagaman praktik pengadilan nasional dalam menerapkan
hukum internasional pada aras domestik5
Namun, di dalam UUD NRI 1945, terutama pada pasal-pasalnya, tidak
mengatur secara eksplisit ketentuan yang dimaksud. Padahal, di dalam Pembukaan
1
Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press Limited,Great Britain,
1993
2
Huda, N. (2005). Hakikat Pembukaan dalam UUD 1945. Jurnal Ius Quia Iustum. 12 (28): 12-25.
3
Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers
4
Mustakim & Dirgantara, H. (2021). Pengantar Hukum Konstitusi. Depok: Rajawali Pers.
5
Melatyugra, N & Kurnia, S. T. (2018). Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional: Perbandingan
Praktik Negara Indonesia, Inggris, dan Afrika Selatan. Jurnal Refleksi Hukum. 2 (2): 193-206.
UUD NRI 1945 telah termaktub 4 (empat) pokok tujuan bernegara yang salah
satunya berbunyi, “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Tak pelak, nilai yang
terkandung di dalamnya seharusnya dapat diterjemahkan ke dalam tatanan hukum
nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kedudukan hukum
internasional di dalam Indonesia. Kedudukan hukum internasional yang dimaksud di
sini terutama berkenaan dengan kedudukan perjanjian internasional, sebagai sumber
hukum internasional utama. Dapat dikatakan demikian jika ditinjau berdasarkan
kenyataan bahwa semakin banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat.
Dengan demikian, hal ini diharapkan menjadi bekal menciptakan konsistensi dan
keseragaman pengaplikasiannya di dalam sistem hukum nasional sebagai kesadaran
bahwa Indonesia merupakan bagian yang tidak terlepas dari komunitas internasional.6
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normatif, yang
secara sederhana dapat diartikan sebagai penelitian hukum dogmatik yang mengkaji
aspek-aspek internal dari hukum positif (Benuf & Azhar, 2020). Penelitian ini pun
menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), konseptual
(conceptual approach) dan historis (historical approach). Data yang digunakan ialah
data sekunder baik dalam bentuk bahan hukum primer meliputi Undangundang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya serta ketetapan MPR
terkait, bahan sekunder maupun tersier. Teknik penelusuran bahan hukum dilakukan
melalui studi pustaka (library research). Dari data atau bahan yang diperoleh,
kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif, dengan cara menguraikannya secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga didapati
pemahaman atas hasil analisis.
10
Wiratraman, H. P. (2007). Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah Amandemen UUD 1945:
Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi. Jurnal Panta Rei. 1 (1): 1-19.
Kemudian, ihwal salah satu tujuan bernegara yang dimaksud, seperti diketahui
memuat frasa, “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Melalui frasa “kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, perumus konstitusi menyadari pentingnya
ketiga prinsip ini dalam menegakkan ketertiban dunia. Keberadaan Indonesia tak
pelak hanyalah salah satu dari sekian banyak bangsabangsa di dunia, dan karenanya
membutuhkan kerja sama sebagai sebuah kenyataan sosial yang tak dapat diindahkan.
Sejarah pun menyaksikan bagaimana Indonesia memelopori terbentuknya Konferensi
Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok dan ASEAN. Makna di dalam Pembukaan UUD
NRI 1945 itu tentu saja memperkuat keterbatasan teks pasal-pasal dalam
melegitimasi penggunaan hukum internasional. Hal ini bisa dipahami mengingat
upaya mempertautkan (koherensi) antara Pembukaan UUD NRI 1945 (yang di
dalamnya juga terformulasi rumusan Pancasila) dengan batang tubuh UUD NRI 1945
bukanlah pekerjaan mudah.
Dengan demikian, meminjam Penjelasan UUD NRI 1945 yang tidak lagi
disebut sebagai bagian UUD NRI 1945, bahwa untuk menyelidiki hukum dasar (droit
constitutionelle) suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki batang tubuh
konstitusinya (loi constitutionelle) saja, melainkan harus pula menyelidiki bagaimana
praktiknya, historisnya dan situasi kebatinannya (geistlichen hintergrund). Menjadi
tugas penyelenggara negara kemudian untuk memperhatikan sejauh mana batas-batas
penerimaan hukum internasional itu dapat dikategorikan konstitusional, mengukur
seberapa baik norma-normanya tersaji dan diterima secara universal, serta melihat
pada ukuran pembatasan-pembatasan dalam hukum internasional itu sendiri 11 Di sini
persisnya, dibutuhkan peran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mampu
‘mengutuhkan’ keinginan konstitusi itu melalui: pertama, kewenangan mendudukkan
hukum internasional lebih detil dalam UU Perjanjian Internasional dan UU
Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Kedua, ketepatan dalam mengesahkan
perjanjian internasional apakah menjadi Undang-undang Ratifikasi atau Peraturan
Presiden. Dan ketiga, kewenangan memutuskan apakah perjanjian internasional yang
telah disahkan itu bertentangan ataukah telah sesuai dengan konstitusi.12
Hukum Internasional dan Penerapannya di Indonesia
Kedudukan hukum internasional dalam hukum nasional suatu negara
umumnya bertumpu pada 2 (dua) teori yakni monisme dan dualisme. Dalam teori
monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama
dari sistem hukum umumnya. Keduanya dipandang sebagai suatu ketentuan tunggal
yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat negara-negara,
11
Melatyugra, N. (2015). Teori Internasionalisme dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Refleksi
Hukum. 9 (2): 199-207.
12
Maryani, H. (2019). Yurisdiksi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum. 6 (1): 50-56.
individuindividu atau kesatuan lain yang bukan negara13 Antara hukum internasional
dan hukum nasional dinilai merupakan kesatuan hukum yang terintegrasi dan tak
dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, teori monisme terbagi menjadi dua yakni
aliran monisme dengan primat hukum internasional dan aliran monisme dengan
primat hukum nasional. Pandangan monisme dengan primat hukum nasional menilai
bahwa dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional maka
yang utama adalah hukum nasional. Sementara itu, pandangan monisme dengan
primat hukum internasional meyakini bahwa yang utama ialah hukum internasional.
Dalam teori monisme, keduaduanya dimungkinkan 14
Sementara itu, berkebalikan dengan teori monisme, teori dualisme
menempatkan hukum internasional terpisah dengan hukum nasional. Seperti
dinukilkan oleh Anthony D’Amato, teori ini pun memberi supremasi kepada hukum
nasional atas dasar daulat negara sehingga hukum internasional tak dapat serta merta
memaksa hukum nasional untuk patuh padanya 15ementara itu, Anthony Aust
menjelaskan bahwa dalam teori dualisme, konstitusi menetapkan bahwa tidak ada
status khusus bagi hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional,
sehingga segala hak dan kewajiban yang dihasilkan tidak memiliki daya keberlakuan
di hukum nasional kecuali terpenuhinya proses legislasi nasional16. Dari perbedaan
yang kontras terhadap kedua teori itu, pada gilirannya dalam pengaplikasiannya di
hukum nasional menimbulkan perbedaan mencolok. Dalam teori monisme, teknik
yang digunakan ialah inkorporasi di mana negara dapat langsung menerapkan hukum
internasional tanpa mengubah dasar hukumnya (self-executing). Sementara dalam
teori dualisme, teknik yang digunakan tak lain ialah transformasi di mana hukum
internasional harus terlebih dahulu melalui prosedur legislasi guna dapat diterapkan
dalam sistem hukum nasional (non-self-executing).
Sementara itu, berkebalikan dengan teori monisme, teori dualisme
menempatkan hukum internasional terpisah dengan hukum nasional. Seperti
dinukilkan oleh Anthony D’Amato, teori ini pun memberi supremasi kepada hukum
nasional atas dasar daulat negara sehingga hukum internasional tak dapat serta merta
memaksa hukum nasional untuk patuh padanya (Melatyugra, 2016). Sementara itu,
Anthony Aust menjelaskan bahwa dalam teori dualisme, konstitusi menetapkan
bahwa tidak ada status khusus bagi hukum internasional, dalam hal ini perjanjian
internasional, sehingga segala hak dan kewajiban yang dihasilkan tidak memiliki
13
Nurhidayatulloh. (2012). Dilema Pengujian UndangUndang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Konteks Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi. 9 (1): 113-134.
14
Kusumaatmadja, M & Agoes, E. R. (2019). Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kedua. Bandung:
PT. Alumni.
15
Melatyugra, N. (2016). Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional:
Penerapan Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia. Jurnal Refleksi Hukum. 1 (1): 45-60.
16
Melatyugra, N & Kurnia, S. T. (2018). Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional: Perbandingan
Praktik Negara Indonesia, Inggris, dan Afrika Selatan. Jurnal Refleksi Hukum. 2 (2): 193-206.
daya keberlakuan di hukum nasional kecuali terpenuhinya proses legislasi nasional
17
Dari perbedaan yang kontras terhadap kedua teori itu, pada gilirannya dalam
pengaplikasiannya di hukum nasional menimbulkan perbedaan mencolok. Dalam
teori monisme, teknik yang digunakan ialah inkorporasi di mana negara dapat
langsung menerapkan hukum internasional tanpa mengubah dasar hukumnya (self-
executing). Sementara dalam teori dualisme, teknik yang digunakan tak lain ialah
transformasi di mana hukum internasional harus terlebih dahulu melalui prosedur
legislasi guna dapat diterapkan dalam sistem hukum nasional (non-self-executing).
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards karena ketiadaan peraturan
pelaksana dalam sistem hukum Indonesia pada saat itu. Namun di sisi lainnya,
terdapat pula yang berkeyakinan bahwa Indonesia dapat mengaplikasikan hukum
internasional secara langsung sekalipun belum ditransformasi ke dalam hukum
nasional. Bukti empirik atas hal itu ialah ketika Mahkamah Agung RI pernah
langsung menerapkan prinsip the diplomacy community pada Article 31 the 1961
Vienna Convention on Diplomatic Relations guna menyelesaikan kasus Kedutaan
Arab di Indonesia 18
Berkenaan dengan perjanjian internasional, rujukan utama di dalam konstitusi
selama ini mengacu pada Pasal 11 UUD NRI 1945. Meski demikian, Pasal 11 ayat
(1), (2) dan (3) tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya kedudukan perjanjian
internasional terhadap UUD NRI 1945. Namun, hal ini seharusnya dapat diantisipasi
pada level undang-undang (selanjutnya disebut UU) yakni UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional). Akibatnya, ketika
diajukan judicial review terhadap beleid ini pada 14 Februari 2018 lalu, Putusan
Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018 menyatakan poin a-f yang tercantum
dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2)
UUD NRI 1945 berdasarkan frasa “...menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang...”. Dengan begitu,
ketika suatu perjanjian internasional memang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar serta berkaitan dengan beban keuangan negara, pengesahannya tetap
dilakukan dengan undang-undang bersama DPR sebagai wujud persetujuan negara.
Di dalam putusan itu pula, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran baru
terhadap konsep pembagian wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam
konteks treaty making power berdasarkan UUD NRI 1945. Persetujuan DPR dapat
diwujudkan dengan mekanisme konsultasi antara pemerintah dan DPR dalam bentuk
rekomendasi, sedangkan pengesahannya diwujudkan dengan diterbitkannya undang-
undang atau peraturan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Perjanjian
Internasional19
17
Op.cit
18
Op.cit
Kegagalan mewujudkan kehendak konstitusi pada UU Perjanjian
Internasional juga tersibak pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 15
Tahun 2019). Sebab secara hierarkis, berdasarkan bunyi Pasal 7 ayat (1), peraturan
perundangundangan di Indonesia terdiri dari UUD NRI 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Artinya, UU ini tidak menyebutkan bagaimana sebenarnya
kedudukan dari perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia baik yang
pengesahannya melalui proses legislasi sehingga menghasilkan UU Ratifikasi
maupun yang tidak (Juwana, 2019). Pada gilirannya, timbul pertanyaan lebih lanjut,
dapatkah UU Ratifikasi dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi
sedangkan kedudukannya tak dijelaskan mendetail dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
KESIMPULAN
Sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting untuk setiap bagian
dari hukum manapun, bail( hukum nasional dan hukum internasional. Dalam
penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan hukum, maka sumber hukum menjadi
tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau pedoman
dalam menyelesaiakan persoalan tersebut. Berlakunya hukum internasional (dalam
bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau hukum kebiasaan internasional di
Indonesia didasarkan pada keterikatan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dan berlakunya prinsip pacta sund servada. Apabila perjanjian
internasional (bilateral dan multilateral) telah disahkan dan diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu, hukum internasional berlaku dan menjadi
hukum nasional, sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman dalam penyelesaian
sengketa atau persoalan hukum di peradilan nasional.
Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai rechtside Indonesia memuat secara
implisit keinginan konstitusi untuk melegitimasi hukum internasional dalam sistem
hukum Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya meliputi: pertama, sebagai
nilainilai pokok yang dijadikan pedoman dalam menjabarkan pasal-pasalnya,
Pembukaan UUD NRI 1945 memuat perintah menjunjung tinggi norma-norma
internasional melalui pengakuan, penghormatan dan jaminan terhadap
perikemanusiaan dan perikeadilan sehingga menolak segala bentuk penjajahan di atas
dunia. Kedua, Pembukaan UUD NRI 1945 telah memberi arah guna turut
19
Vrilda, T, Susetyorini, P & Roisah, K. (2019). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
13/PUUXVI/2018 Terhadap Proses Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia. Diponegoro Law
Journal. 8 (4): 2779-2796.
mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial sebagai salah satu tujuan bernegara selaku tujuan tertinggi. Secara
historis, nilai-nilai ini pun telah diwujudkan secara empirik sejak awal Indonesia
diproklamasikan. Atas hal itu, diperlukan perubahan di level UU yakni UU Perjanjian
Internasional dan UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang dapat
memperjelas kedudukan hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional
pada aras nasional.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers
Huda, N. (2005). Hakikat Pembukaan dalam UUD 1945. Jurnal Ius Quia Iustum. 12
(28): 12-25.