Anda di halaman 1dari 16

KEDUDUKAN HUKUM INTERNASIONAL DI INDONESIA

Diajukan dalam rangka memenuhi Tugas hukum Internasional

Dosen Pengampu: Harisman S.H., M.H

DISUSUN OLEH:

ESTER YUSPITA SARAH

2206200256

KELAS: III-C-1 PAGI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN
TA. 2023/2024

KEDUDUKAN HUKUM INTERNASIONAL DI INDONESIA


ESTER YUSPITA SARAH
2206200156
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Esteryuspitasarah@gmail.com

ABSTAK

Perjanjian internasional yang telah disepakati dan di sahkan dalam suatu ratifikasi
oleh suatu negara, maka perjanjian tersebut berlaku mengikat bagi semua dan
menjadi sumber hukum bagi penegak hukum dalam mengambil keputusan. Hal ini
berlaku juga di Indonesia. Setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh
Indonesia baik yang sudah tertuang dalam suatu persyaratan ratifikasi atau tidak,
tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kedudukan hukum internasional di dalam
Pembukaan UUD NRI 1945. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), konseptual (conceptual approach) dan pendekatan historis
(historical approach) yang kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini
menyimpulkan bahwa Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai rechtside Indonesia
nyatanya memuat secara implisit keinginan konstitusi untuk melegitimasi hukum
internasional dalam sistem hukum Indonesia di mana di dalamnya mengandung nilai-
nilai: pertama Pembukaan UUD NRI 1945 memuat perintah menjunjung tinggi
norma-norma internasional melalui pengakuan, penghormatan dan jaminan terhadap
perikemanusiaan dan perikeadilan sehingga menolak segala bentuk penjajahan di atas
dunia. Dan kedua, Pembukaan UUD NRI 1945 telah memberi arah guna turut
mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial sebagai salah satu tujuan bernegara selaku tujuan tertinggi.
Kata kunci : Konstitusi; Pembukaan UUD NRI 1945; Hukum Internasional; Hukum
Nasional.

PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai sumber hukum merupakan persoalan yang sangat
penting dalam bidang hukum, bukan hanya dalam tataran Hukum Nasional (HN) tapi
juga Hukum Internasional (HI). Pemahaman tentang ini mutlak diperlukan
dikarenakan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum, sumber hukum
menjadi tempat diketemukannya dasar hukum yang dipakai sebagai pedoman.
Dewasa ini terdapat kecenderungan membicarakan kembali mengenai sumber hukum
dalam hukum internasional, karena perkembangan masyarakat intemasional yang
sangat cepat dan hukum internasional itu sendiri.Sumber hukum intemasional
berbeda dengan Hukum Nasional. HI memiliki keunikan tersendiri, terutama
ketiadaan pernyataan yang secara eksplisit menyebutkan apa sumber-sumber hukum
intemasional itu sendiri yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam memutuskan
sengketa internasional. HI tidak memiliki organ-organ yang pada umumnya ada di
tingkat nasional, seperti lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif.1
Pada umumnya undang-undang dasar suatu negara memiliki bagian
pembukaan dan batang tubuh yang menyatu dalam suatu naskah konstitusi. Bagian
pembukaan menjadi pernyataan isi atau substansi sebuah pembukaan dalam
kedudukannya terhadap batang tubuh Undang-undang Dasar. Di sisi lain, rangkaian
pasal-pasal selaku batang tubuh Undang-undang Dasar merupakan perwujudan dari
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan 2 Oleh sebab itu,
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI 1945 pada hakikatnya merupakan satu
rangkaian kesatuan yang tidak dapat dipisahkan selaku konstitusi tertulis Indonesia
3
Seiring dengan itu, King F. Sulaiman dengan mengutip James T. Mchugh
menyebutkan bahwa salah satu karakter utama dari konstitusi ialah merupakan
instrumen yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah dan
berfungsi sebagai medium yang dapat mengakomodasikan tatanan internasional ke
dalam sistem hukum nasional4 Terkhusus dalam hubungannya dengan
mengakomodasikan tatanan internasional yang dimaksud, lazimnya legitimasi
penggunaan hukum internasional termaktub di dalam konstitusi suatu negara. Hal ini
penting sebab menjelaskan bagaimana konstitusi mengatur kedudukan hukum
internasional dalam sistem hukum nasional, yang pada gilirannya terhindar dari
inkonsistensi dan keberagaman praktik pengadilan nasional dalam menerapkan
hukum internasional pada aras domestik5
Namun, di dalam UUD NRI 1945, terutama pada pasal-pasalnya, tidak
mengatur secara eksplisit ketentuan yang dimaksud. Padahal, di dalam Pembukaan
1
Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press Limited,Great Britain,
1993
2
Huda, N. (2005). Hakikat Pembukaan dalam UUD 1945. Jurnal Ius Quia Iustum. 12 (28): 12-25.
3
Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers
4
Mustakim & Dirgantara, H. (2021). Pengantar Hukum Konstitusi. Depok: Rajawali Pers.
5
Melatyugra, N & Kurnia, S. T. (2018). Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional: Perbandingan
Praktik Negara Indonesia, Inggris, dan Afrika Selatan. Jurnal Refleksi Hukum. 2 (2): 193-206.
UUD NRI 1945 telah termaktub 4 (empat) pokok tujuan bernegara yang salah
satunya berbunyi, “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Tak pelak, nilai yang
terkandung di dalamnya seharusnya dapat diterjemahkan ke dalam tatanan hukum
nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kedudukan hukum
internasional di dalam Indonesia. Kedudukan hukum internasional yang dimaksud di
sini terutama berkenaan dengan kedudukan perjanjian internasional, sebagai sumber
hukum internasional utama. Dapat dikatakan demikian jika ditinjau berdasarkan
kenyataan bahwa semakin banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat.
Dengan demikian, hal ini diharapkan menjadi bekal menciptakan konsistensi dan
keseragaman pengaplikasiannya di dalam sistem hukum nasional sebagai kesadaran
bahwa Indonesia merupakan bagian yang tidak terlepas dari komunitas internasional.6

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normatif, yang
secara sederhana dapat diartikan sebagai penelitian hukum dogmatik yang mengkaji
aspek-aspek internal dari hukum positif (Benuf & Azhar, 2020). Penelitian ini pun
menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), konseptual
(conceptual approach) dan historis (historical approach). Data yang digunakan ialah
data sekunder baik dalam bentuk bahan hukum primer meliputi Undangundang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya serta ketetapan MPR
terkait, bahan sekunder maupun tersier. Teknik penelusuran bahan hukum dilakukan
melalui studi pustaka (library research). Dari data atau bahan yang diperoleh,
kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif, dengan cara menguraikannya secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga didapati
pemahaman atas hasil analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbedaan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Perbedaan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional Pelanggaran
terhadap hukum internasional akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan seining
dengan perkembangan masyarakat internasional, dan menjadi pembahasan yang
sangat menarik perhatian karena dalam kenyataan negaranegara sebagai subyek
hukum internasional tunduk dan mentaati kaidah-kaidah hukum internasional dalam
menyelesaikan sengketa intemasional. Struktur masyarakat internasional yang
koordinatif, antara lain ditandai oleh tiadanya badan supra nasional di atas subyek-
6
Pratiwi, D. K. (2020). Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Ratifikasi
Perjanjian Internasional. Jurnal Yudisial. 3 (1): 1-19.
subyek atau anggota masyarakat intemasional yang sama derajad antara satu dengan
lainnya. Apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional?
Sementara itu diketahui bahwa tiadanya badan supra nasional yang berwenang
membentuk dan memaksakan berlakunya hukum intemasional, akan dapat
menimbulkan sikap skeptis yaitu, apakah hukum internasional itu memang benar-
benar ada atau memenuhi kualifikasi sebagai hukum dalam pengertian yang
sebenarnya.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, hukum hanya dipandang sebagai suatu
mekanisme yang bekerja sesuai dengan norma-norma yang diwujudkan dengan
adanya aparat-aparat penegak hukum serta sanksi sebagai upaya memaksakan dan
mendayausahakan hukum itu sendiri.Padahal, sebenarnya hukum itu tidak saja
sekedar mekanisme pelaksanaan dan pemaksaan norma-norma melainkan jauh lebih
luas dari pada itu.Dalam tata masyarakat intemasional, tidak terdapat suatu badan
legislatif maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan
berlakunya kehendak masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam kaidah
hukumnya.Menurut Mochtar Kusumaatmadja, semua kelemahan kelembagaan
(institusional) ini telah menyebabkan beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan
Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat hukum internasional, dan
menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum dalam arti yang
sebenarnya. Para ahli menempatkan hukum intemasional segolongan dengan "the
laws of honour" dan "the laws set by fashion" sebagai "rules o fpositive morality".7
Lebih jauh Austin memandang hukum itu sebagai perintah yakni perintah dari
penguasa kepada pihak yang dikuasai. Penguasa itu memiliki kedaulatan yang
didalamnya termasuk pula kekuasaan untuk membuat hukum yang akan diberlakukan
kepada pihak yang berada di bawah kekuasaannya. Hal ini berarti bahwa, jika suatu
peraturan tidak berasal dari penguasa yang berdaulat, peraturan semacam itu
bukanlah merupakan hukum, melainkan hanyalah merupakan norma moral, seperti
misalnya norma kesopanan dan norma kesusilaan. Pandangan Austin ini mendasarkan
adanya hukum pada badan yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk
memaksakan berlakunya hukum kepada pihak yang dikuasainya, juga merupakan
penyangkalan atas eksistensi hukum yang berasal dari atau tumbuh dalam pergaulan
hidup masyarakat, seperti misalnya hukum kebiasaan (customary law). Menurut
Austin, hukum kebiasaan itu bukanlah hukum melainkan hanyalah norma moral saja.
Jika pandangan Austin ini diterapkan pada hukum intemasional, dimana masyarakat
internasional dan tata hukum intemasionaltidak mengenal badan supra nasional, dapat
dikatakan bahwa Austin memandang hukum internasional itu bukanlah hukum dalam
arti yang sebenarnya, tetapi hanyalah merupakan norma moral intemasional saja.
Bagi Austin, walaupun kini sudah ditinggalkan oleh para ahli hukum intemasional,
tetapi tidak jarang masih menghinggapi pola pikiran para ahli hukum terhadap
7
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,Binacipta, Bandung, 1989
eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Hal ini antara lain
disebabkan oleh karena kita sudah terbiasa dalam suasana masyarakat dan hukum
nasional yang seperti telah diuraikan di atas, secara puma memiliki alat-alat
perlengkapan atau lembaga-lembaga dengan tugas dan wewenang yang jelas dan
tegas sehingga dapat memaksakan berlakunya hukum nasional kepada subyek-subyek
hukum nasional.
Dalam tata masyarakat dan hukum nasional, peranan lembaga dan
aparataparat penegak hukum beserta sanksi hukumnya tampak sangat menonjol dan
mendominasi mekanisme pembentukan, pelaksanaan dan pemaksaan hukum itu
sendiri.Dalam kenyataan memang terdapat peraturan-peraturan hukum nasional yang
seringkali mengalami kelumpuhan, disebabkan oleh karena kurang berperannya
lembaga dan aparat penegak hukum tersebut. Apalagi kalau lembaga dan aparat
penegak hukum itu tidak ada sama sekali, seperti halnya dalam masyarakat dan
hukum internasional, sudah barang tentu akan mengakibatkan hukum nasional itu
akan lumpuh sama sekali. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika timbul
pandangan pada sebahagian ahli hukum, lebih-lebih di kalangan orang yang awam
hukum bahwa adanya lembaga dan aparat-aparat penegak hukum serta sanksi hukum
yang tegas, merupakan faktor yang esensial bagi adanya suatu kaidah hukum.Dengan
demikian hukum dipandang selalu dalam keterkaitannya dengan lembaga dan aparat
penegak hukum.Tanpa adanya lembaga dan aparat, maka hukum itupun dipandang
seperti tidak pernah ada.
Sebenarnya pandangan seperti tersebut di atas, sudah lama
ditinggalkan.Lembaga dan aparat penegak hukum serta sanksi hukum bukanlah
merupakan unsur yang paling menentukan dari suatu norma hukum. Eksistensi suatu
norma hukum sebenanya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran
hukum dari masyarakat. Kalau masyarakat merasakan, menerima dan mentaatinya
sebagai suatu norma hukum, jadi sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat,
walaupun tidak ada lembaga yang membuat maupun aparat yang memaksakannya,
maka norma demikian itu adalah merupakan norma hukum. Mochtar Kusumaatmadja
menyatakan bahwa perkembangan ilmu hukum kemudian telah membuktikan tidak
benamya anggapan Austin tersebut mengenai hukum.Kita cukup mengingat adanya
hukum adat di Indonesia sebagai suatu sistem hukum yang tersendiri untuk
menginsyafi kelirunya pikiran Austin mengenai hakikat hukum. Keberadaan badan
legislatif, badan kehakiman dan polisi merupakan ciri yang jelas dari suatu sistem
hukum positif yang efektif, akan tetapi ini tidak berarti bahwa tanpa lembaga-
lembaga ini tidak terdapat hukum.
Keberadaan dan hakikat hukum internasional sebenamya tidak perlu
diragukan lagi, sehingga memerlukan dasar kekuatan mengikat hukum
internasional.Teori tentang kekuatan mengikat hukum internasional, seperti teori
hukum alam (natural law) mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional
sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri
keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannya dengan
keagamaan oleh Hugo Grotius.Dalam bentuknya yang telah disekularisir maka
hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia
sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal
manusia.Menurut para penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu
mengikat karena hukum internasional itu tidak lain karena "hukum alam" yang
ditetapkan pada kehidupan masyarakat bangsabangsa. Dengan demikian negara
terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu
sama lain karena hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih
tinggi yaitu "hukum alam’’. Pendapat ini kemudian dalam abad XVIII lebih
disempurnakan lagi, antara lain oleh seorang ahli hukum dan diplomat bangsa Swiss,
Emmerich Vattel (1714-1767) dalam bukunya Droit des Gens.
Teori-teori yang didasarkan pada asas hukum alam sangat samar dan
tergantung dari pendapat subyektif mengenai "keadilan", kepentingan masyarakat
internasional dan konsep lain yang serupa. Bahkan dalam hukum internasional,
banyak pandangan yang subyektif tentang isi dan pengertian hukum alam, karena
kaidah moral dan keadilan dimaknai beragam oleh para ahli yang mengemukakannya.
Hal ini disadari karena taraf integrasi yang rendah dan masyarakat internasional
dewasa ini dan adanya pola hidup kebudayaan dan sistem nilai yang berbeda dari satu
bangsa ke bangsa lain, maka pengertian tentang nilainilai yang biasa diasosiasikan
dengan hukum alam mungkin sekali juga akan berbeda, walaupun istilah yang
digunakan mempunyai kesamaan. Walaupun demikian teori hukum alam dan konsep
hukum alam telah memberi pengaruh besar dan baik terhadap perkembangan hukum
internasional, karena telah meletakkan dasar moral dan etika yang berharga bagi
hukum internasional dan perkembangan selanjutnya.
Keberadaan hukum internasional sebagai suatu norma hukum, sebagai hukum
yang tumbuh, berlaku dan berkembang di dalam masyarakat internasional-tanpa
dibuat dan dipaksakan oleh lembaga supra nasional- sangat sulit untuk dibantah
eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Eksistensi hukum
internasional sekarang ini tidak perlu diragukan lagi.masyarakat internasional kini
telah menerimanya sebagai suatu norma hukum yang mengatur masyarakat
internasional.beberapa bukti seperti di bawah ini dapat dikemukakan untuk
menunjukkan bahwa hukum internasional dalam kehidupan sehari-hari telah diterima,
dipatuhi dan dihormati sebagai suatu norma hukum, seperti misalnya :
a. Alat-alat perlengkapan negara, khususnya yang bertugas menangani
masalahmasalah luar negeri atau internasional, menghormati kaidah-kaidah hukum
intemasional yang mengatur hubungan-hubungan yang diadakannya dengan sesama
alat-alat perlengkapan dari negara lain. Mereka bertindak untuk dan atas nama
negaranya masing-masing. Ini berarti bahwa negaranegara itu menghormati hukum
internasional tersebut. Sebagai contoh, perjanjian antara dua negara tentang garis
batas wilayah, perjanjian tentang perdagangan dan lain-lainnya, mereka taati sebagai
norma hukum intemasional yang mengikat dan berlaku bagi mereka. Mereka atau
salah satu pihak tidak mau melanggarnya, meskipun kesempatan dan kemungkinan
untuk melakukan pelanggaran itu selalu terbuka.
b. Perselisihan-perselisihan internasional, khususnya yang menyangkut
masalah yang mengandung aspek hukum-walaupun tidak selalu- diselesaikan melalui
jalur-jalur hukum internasional, seperti misalnya mengajukan ke Mahkamah
Internasional, Mahkamah Arbitrase Internasional dan upaya-upaya hukum lainnya.
Demikian pula putusan-putusan dari badan-badan peradilan itu-diakui oleh para
pihak-mengandung nilai-nilai hukum internasional, meskipun dalam praktiknya
kadang-kadang tidak ditaati. Namun demikian, hal ini tidaklah mengurangi nilai
hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Pelanggaran-pelanggaran atas kaedah-kaedah hukum internasional ataupun
konflik-konflik intemasional yang sering kita jumpai dalam berita-berita media
massa, hanyalah sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan perilaku dan tindakan-
tindakan negara-negara yang mentaati hukum internasional itu. Hal serupa juga
terjadi di dalam masyarakat nasional dengan tata hukum nasionalnya yang jelas dan
tegas serta dilengkapi dengan aparat-aparat penegak hukumnya. Pelanggaran-
pelanggaran atas hukum nasional pun hampir setiap hari dapat dijumpai serta tidak
kalah jumlah maupun kualitas pelanggarannya dibandingkan dengan pelanggaran atas
hukum internasional. Pelanggaranpelanggaran atas hukum nasional tidak dapat
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa hukum nasional itu tidak ada. Sudah tentu
demikian pula dengan pelanggaran-pelanggaran atas hukum internasional, tidak dapat
dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa hukum intemasional itu tidak ada.
Masih lebih banyak anggota masyarakat yang mentaati hukum internasional
dibandingkan dengan yang melanggarnya.
d. Kaidah-kaidah hukum internasional dapat diterima dan diadaptasi sebagai
bagian dari hukum nasional negara-negara. Hal ini berarti bahwa negaranegara sudah
menerima hukum internasional sebagai suatu bidang hukum yang berdiri sendiri yang
dengan melalui cara atau prosedur tertentu dapat diterima menjadi bagian dari hukum
nasional. Bahkan dalam beberapa hal, hukum internasional mau tidak mau hams
diperhitungkan dan diperhatikan oleh negara-negara di dalam menyusun peraturan
perundangundangan nasional mengenai suatu masalah tertentu. Sebagai contohnya,
pada waktu suatu negara akan menyusun ketentuan undang-undang pidana tentang
kejahatan penerbangan, negara itu tidak dapat melepaskan din dari Konvensi-
konvensi Intemasional yang berkenaan dengan kejahatan penerbangan seperti
misalnya Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970 dan Konvensi
Montreal tahun 1971. demikian pula dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982, yang
merupakan norma hukum laut bam dan modem yang menggantikan kaidahkaidah
hukum laut sebelumnya (Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958). Jika suatu negara
meratifikasi Konvensi tersebut, hal ini tentu saja akan memaksa negara itu untuk
menyesuaikan peraturan-peraturan hukum laut nasionalnya dengan isi dan jiwa
Konvensi Hukum laut 1982 itu.
Hukum internasional, pada dasamya ditujukan untuk mengatur hubungan
negara-negara pada tataran intemasional. Utamanya dilakukan oleh negara sebagai
salah satu subyek hukum intemasional.Sementara itu, hukum intemasional terkait
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara- negara dalam melangsungkan
hubungan antara masing-masing negara.Oleh karena itu tidaklah terlalu penting untuk
mempertanyakan ada tidaknya kekuasaan tertinggi dalam hukum intemasional. Sebab
tanpa adanya kekuasaan tertinggi sekalipun, kebanyakan negara mematuhi
kesepakatan-kesepakatan intemasional. 8

Kedudukan Hukum Internasional dalam Pembukaan UUD NRI 1945


Ketiadaan ketentuan secara eksplisit di dalam pasal-pasal UUD NRI 1945
tidak dapat serta merta menutup kemungkinan mengaplikasikan hukum internasional
dalam sistem hukum di Indonesia. Menelusuri praktek yang berlangsung pada negara-
negara dalam menyikapi hubungan hukum internasional dan hukum nasional
tergambarkan bahwa tidak ada yang secara strict berdiri pada satu aliran apakah
monisme atau dualisme. Hal tersebut terlihat pada perangkat konsep operasional
kedua aliran, yakni inkorporasi dan transformasi digunakan secara bersamaan oleh
hampir seluruh negara-negara di dunia. Contohnya Amerika Serikat yang secara
umum diketahui sebagai negara penganut aliran monisme dan inkorporasi, dalam
prakteknya ketika terjadi pertentangan hukum internasional dan hukum nasional,
penentuan dapat berlaku dan mengikatnya hukum internasional diperoleh setelah
mendapat persetujuan Kongres sebagai undang-undang. Manakala proses legislasi itu
belum berujung, maka hukum nasional lebih diutamakan sebagai dasar pertimbangan
dalam mengambil keputusan. Hal itu menunjukan bahwa Amerika Serikat pada
kondisi tertentu juga menerapkan transformasi atau menganut dualisme dalam
mengaplikasikan hukum internasional9
Terlebih, menurut Ninon Melatyugra, selain monisme dan dualisme, sumber
legitimasi terhadap hukum internasional dapat dijelaskan melalui teori international
constitution. Dengan mengutip Sarah Cleveland dalam tulisannya, “Our International
Constitution”, sumber legitimasi pengaplikasian hukum internasional dapat
8
Sunyowati,D.(2013).Hukum Internasional sebagai sumber hukum dalam Hukum Nasional (Dalam
perspektif Hubungan Hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia).jurnal Hukum dan
peradilan,2(1),67-84
9
Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional
Indonesia. Jurnal Fiat Justisia. 8 (1): 36-52.
disandarkan melalui penelusuran terhadap keinginan implisit dari konstitusi
(Melatyugra, 2015). Dengan menjabarkan lebih jauh makna yang terkandung di
dalam teks dan aspek sejarah yang melingkupi seputar Pembukaan UUD NRI 1945,
hal ini akan menyajikan pedoman imperatif mendudukkan hukum internasional
secara konsisten dan seragam di dalam sistem hukum nasional. Para pendiri negara
sesungguhnya telah menyadari pentingnya menegakkan norma-norma internasional di
samping menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan nasional. Karena itu dalam
alinea pertama Pembukaan UUD NRI 1945 dirumuskan, “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ..... perikemanusiaan dan perikeadilan”. Sebagai nilai-nilai yang
bersifat universal, hak bangsa atas kemerdekaan merupakan hak asasi yang
fundamental. Muatannya tidak saja menyoal hak Indonesia untuk merdeka, namun
juga hak bangsa-bangsa lainnya karena penjajahan tak lain merupakan pengingkaran
atas kemanusiaan dan keadilan. Tidak heran jika Herlambang P. Wiratraman
menyebut bahwa secara historis dan konsepsional, rumusan alinea pertama UUD NRI
1945 yang lebih dulu lahir sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) 1948 itu mengandung perspektif yang progresif 10
Dengan begitu, bagi Indonesia, perjuangan kemanusiaan tidak saja meliputi
wilayah internal belaka, namun juga terhadap bangsa-bangsa lainnya yang masih
dirundung krisis kemanusiaan. Karena itu, sejak awal Indonesia diproklamasikan,
perjuangan kemanusiaan terhadap bangsa-bangsa lainnya berjalan beriringan dengan
perjuangan kemanusiaan di dalam negeri yang masih diliputi dengan kemiskinan,
keterbelakangan pendidikan, kesehatan yang buruk dan problem-problem
kemanusiaan lainnya. Perwujudan itu misalnya dapat dilihat melalui komitmen dan
konsistensi Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina dan penolakannya
membuka hubungan diplomatik terhadap Israel. Contoh lainnya, yakni peran penting
Indonesia dalam upaya mengatasi konflik dan krisis kemanusiaan di Myanmar yang
mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih lanjut, menelusuri
alinea keempat, selain memuat rumusan Pancasila, juga termaktub tujuan pokok
negara yang berkenaan dengan hukum internasional. Ihwal Pancasila yang memuat
sila ke-2, “kemanusiaan yang adil dan beradab”, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno
menjelaskan, “Kita maksudkan bahwa kita daripada Republik Indonesia merasakan
bahwa kita ini bukanlah satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah satu bangsa
dalam keluarga bangsa-bangsa. Bahwa memang umat manusia sekarang ini yang
terdiri dari pelbagai bangsa-bangsa pada hakikatnya pun adalah satu rantai yang tiada
terputus-putus. Terutama sekali di dalam abad kedua puluh ini tak dapat kita
membayangkan adanya sesuatu bangsa yang dapat hidup dengan tiada hubungan
dengan bangsa-bangsa yang lain. Tak dapat kita bayangkan mungkin hidupnya
sesuatu bangsa yang sama sekali terasing daripada bangsa-bangsa yang lain.

10
Wiratraman, H. P. (2007). Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah Amandemen UUD 1945:
Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi. Jurnal Panta Rei. 1 (1): 1-19.
Kemudian, ihwal salah satu tujuan bernegara yang dimaksud, seperti diketahui
memuat frasa, “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Melalui frasa “kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, perumus konstitusi menyadari pentingnya
ketiga prinsip ini dalam menegakkan ketertiban dunia. Keberadaan Indonesia tak
pelak hanyalah salah satu dari sekian banyak bangsabangsa di dunia, dan karenanya
membutuhkan kerja sama sebagai sebuah kenyataan sosial yang tak dapat diindahkan.
Sejarah pun menyaksikan bagaimana Indonesia memelopori terbentuknya Konferensi
Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok dan ASEAN. Makna di dalam Pembukaan UUD
NRI 1945 itu tentu saja memperkuat keterbatasan teks pasal-pasal dalam
melegitimasi penggunaan hukum internasional. Hal ini bisa dipahami mengingat
upaya mempertautkan (koherensi) antara Pembukaan UUD NRI 1945 (yang di
dalamnya juga terformulasi rumusan Pancasila) dengan batang tubuh UUD NRI 1945
bukanlah pekerjaan mudah.
Dengan demikian, meminjam Penjelasan UUD NRI 1945 yang tidak lagi
disebut sebagai bagian UUD NRI 1945, bahwa untuk menyelidiki hukum dasar (droit
constitutionelle) suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki batang tubuh
konstitusinya (loi constitutionelle) saja, melainkan harus pula menyelidiki bagaimana
praktiknya, historisnya dan situasi kebatinannya (geistlichen hintergrund). Menjadi
tugas penyelenggara negara kemudian untuk memperhatikan sejauh mana batas-batas
penerimaan hukum internasional itu dapat dikategorikan konstitusional, mengukur
seberapa baik norma-normanya tersaji dan diterima secara universal, serta melihat
pada ukuran pembatasan-pembatasan dalam hukum internasional itu sendiri 11 Di sini
persisnya, dibutuhkan peran lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mampu
‘mengutuhkan’ keinginan konstitusi itu melalui: pertama, kewenangan mendudukkan
hukum internasional lebih detil dalam UU Perjanjian Internasional dan UU
Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Kedua, ketepatan dalam mengesahkan
perjanjian internasional apakah menjadi Undang-undang Ratifikasi atau Peraturan
Presiden. Dan ketiga, kewenangan memutuskan apakah perjanjian internasional yang
telah disahkan itu bertentangan ataukah telah sesuai dengan konstitusi.12
Hukum Internasional dan Penerapannya di Indonesia
Kedudukan hukum internasional dalam hukum nasional suatu negara
umumnya bertumpu pada 2 (dua) teori yakni monisme dan dualisme. Dalam teori
monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama
dari sistem hukum umumnya. Keduanya dipandang sebagai suatu ketentuan tunggal
yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat negara-negara,
11
Melatyugra, N. (2015). Teori Internasionalisme dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Refleksi
Hukum. 9 (2): 199-207.
12
Maryani, H. (2019). Yurisdiksi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum. 6 (1): 50-56.
individuindividu atau kesatuan lain yang bukan negara13 Antara hukum internasional
dan hukum nasional dinilai merupakan kesatuan hukum yang terintegrasi dan tak
dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, teori monisme terbagi menjadi dua yakni
aliran monisme dengan primat hukum internasional dan aliran monisme dengan
primat hukum nasional. Pandangan monisme dengan primat hukum nasional menilai
bahwa dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional maka
yang utama adalah hukum nasional. Sementara itu, pandangan monisme dengan
primat hukum internasional meyakini bahwa yang utama ialah hukum internasional.
Dalam teori monisme, keduaduanya dimungkinkan 14
Sementara itu, berkebalikan dengan teori monisme, teori dualisme
menempatkan hukum internasional terpisah dengan hukum nasional. Seperti
dinukilkan oleh Anthony D’Amato, teori ini pun memberi supremasi kepada hukum
nasional atas dasar daulat negara sehingga hukum internasional tak dapat serta merta
memaksa hukum nasional untuk patuh padanya 15ementara itu, Anthony Aust
menjelaskan bahwa dalam teori dualisme, konstitusi menetapkan bahwa tidak ada
status khusus bagi hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional,
sehingga segala hak dan kewajiban yang dihasilkan tidak memiliki daya keberlakuan
di hukum nasional kecuali terpenuhinya proses legislasi nasional16. Dari perbedaan
yang kontras terhadap kedua teori itu, pada gilirannya dalam pengaplikasiannya di
hukum nasional menimbulkan perbedaan mencolok. Dalam teori monisme, teknik
yang digunakan ialah inkorporasi di mana negara dapat langsung menerapkan hukum
internasional tanpa mengubah dasar hukumnya (self-executing). Sementara dalam
teori dualisme, teknik yang digunakan tak lain ialah transformasi di mana hukum
internasional harus terlebih dahulu melalui prosedur legislasi guna dapat diterapkan
dalam sistem hukum nasional (non-self-executing).
Sementara itu, berkebalikan dengan teori monisme, teori dualisme
menempatkan hukum internasional terpisah dengan hukum nasional. Seperti
dinukilkan oleh Anthony D’Amato, teori ini pun memberi supremasi kepada hukum
nasional atas dasar daulat negara sehingga hukum internasional tak dapat serta merta
memaksa hukum nasional untuk patuh padanya (Melatyugra, 2016). Sementara itu,
Anthony Aust menjelaskan bahwa dalam teori dualisme, konstitusi menetapkan
bahwa tidak ada status khusus bagi hukum internasional, dalam hal ini perjanjian
internasional, sehingga segala hak dan kewajiban yang dihasilkan tidak memiliki

13
Nurhidayatulloh. (2012). Dilema Pengujian UndangUndang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Konteks Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi. 9 (1): 113-134.
14
Kusumaatmadja, M & Agoes, E. R. (2019). Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kedua. Bandung:
PT. Alumni.
15
Melatyugra, N. (2016). Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional:
Penerapan Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia. Jurnal Refleksi Hukum. 1 (1): 45-60.
16
Melatyugra, N & Kurnia, S. T. (2018). Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional: Perbandingan
Praktik Negara Indonesia, Inggris, dan Afrika Selatan. Jurnal Refleksi Hukum. 2 (2): 193-206.
daya keberlakuan di hukum nasional kecuali terpenuhinya proses legislasi nasional
17
Dari perbedaan yang kontras terhadap kedua teori itu, pada gilirannya dalam
pengaplikasiannya di hukum nasional menimbulkan perbedaan mencolok. Dalam
teori monisme, teknik yang digunakan ialah inkorporasi di mana negara dapat
langsung menerapkan hukum internasional tanpa mengubah dasar hukumnya (self-
executing). Sementara dalam teori dualisme, teknik yang digunakan tak lain ialah
transformasi di mana hukum internasional harus terlebih dahulu melalui prosedur
legislasi guna dapat diterapkan dalam sistem hukum nasional (non-self-executing).
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards karena ketiadaan peraturan
pelaksana dalam sistem hukum Indonesia pada saat itu. Namun di sisi lainnya,
terdapat pula yang berkeyakinan bahwa Indonesia dapat mengaplikasikan hukum
internasional secara langsung sekalipun belum ditransformasi ke dalam hukum
nasional. Bukti empirik atas hal itu ialah ketika Mahkamah Agung RI pernah
langsung menerapkan prinsip the diplomacy community pada Article 31 the 1961
Vienna Convention on Diplomatic Relations guna menyelesaikan kasus Kedutaan
Arab di Indonesia 18
Berkenaan dengan perjanjian internasional, rujukan utama di dalam konstitusi
selama ini mengacu pada Pasal 11 UUD NRI 1945. Meski demikian, Pasal 11 ayat
(1), (2) dan (3) tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya kedudukan perjanjian
internasional terhadap UUD NRI 1945. Namun, hal ini seharusnya dapat diantisipasi
pada level undang-undang (selanjutnya disebut UU) yakni UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional). Akibatnya, ketika
diajukan judicial review terhadap beleid ini pada 14 Februari 2018 lalu, Putusan
Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018 menyatakan poin a-f yang tercantum
dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2)
UUD NRI 1945 berdasarkan frasa “...menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang...”. Dengan begitu,
ketika suatu perjanjian internasional memang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar serta berkaitan dengan beban keuangan negara, pengesahannya tetap
dilakukan dengan undang-undang bersama DPR sebagai wujud persetujuan negara.
Di dalam putusan itu pula, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran baru
terhadap konsep pembagian wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam
konteks treaty making power berdasarkan UUD NRI 1945. Persetujuan DPR dapat
diwujudkan dengan mekanisme konsultasi antara pemerintah dan DPR dalam bentuk
rekomendasi, sedangkan pengesahannya diwujudkan dengan diterbitkannya undang-
undang atau peraturan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Perjanjian
Internasional19

17
Op.cit
18
Op.cit
Kegagalan mewujudkan kehendak konstitusi pada UU Perjanjian
Internasional juga tersibak pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 15
Tahun 2019). Sebab secara hierarkis, berdasarkan bunyi Pasal 7 ayat (1), peraturan
perundangundangan di Indonesia terdiri dari UUD NRI 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Artinya, UU ini tidak menyebutkan bagaimana sebenarnya
kedudukan dari perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia baik yang
pengesahannya melalui proses legislasi sehingga menghasilkan UU Ratifikasi
maupun yang tidak (Juwana, 2019). Pada gilirannya, timbul pertanyaan lebih lanjut,
dapatkah UU Ratifikasi dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi
sedangkan kedudukannya tak dijelaskan mendetail dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.

KESIMPULAN
Sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting untuk setiap bagian
dari hukum manapun, bail( hukum nasional dan hukum internasional. Dalam
penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan hukum, maka sumber hukum menjadi
tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau pedoman
dalam menyelesaiakan persoalan tersebut. Berlakunya hukum internasional (dalam
bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau hukum kebiasaan internasional di
Indonesia didasarkan pada keterikatan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dan berlakunya prinsip pacta sund servada. Apabila perjanjian
internasional (bilateral dan multilateral) telah disahkan dan diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu, hukum internasional berlaku dan menjadi
hukum nasional, sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman dalam penyelesaian
sengketa atau persoalan hukum di peradilan nasional.
Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai rechtside Indonesia memuat secara
implisit keinginan konstitusi untuk melegitimasi hukum internasional dalam sistem
hukum Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya meliputi: pertama, sebagai
nilainilai pokok yang dijadikan pedoman dalam menjabarkan pasal-pasalnya,
Pembukaan UUD NRI 1945 memuat perintah menjunjung tinggi norma-norma
internasional melalui pengakuan, penghormatan dan jaminan terhadap
perikemanusiaan dan perikeadilan sehingga menolak segala bentuk penjajahan di atas
dunia. Kedua, Pembukaan UUD NRI 1945 telah memberi arah guna turut

19
Vrilda, T, Susetyorini, P & Roisah, K. (2019). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
13/PUUXVI/2018 Terhadap Proses Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia. Diponegoro Law
Journal. 8 (4): 2779-2796.
mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial sebagai salah satu tujuan bernegara selaku tujuan tertinggi. Secara
historis, nilai-nilai ini pun telah diwujudkan secara empirik sejak awal Indonesia
diproklamasikan. Atas hal itu, diperlukan perubahan di level UU yakni UU Perjanjian
Internasional dan UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang dapat
memperjelas kedudukan hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional
pada aras nasional.

Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers

Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press


Limited,Great Britain, 1993

Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-


Undangan Nasional Indonesia. Jurnal Fiat Justisia. 8 (1): 36-52.

Huda, N. (2005). Hakikat Pembukaan dalam UUD 1945. Jurnal Ius Quia Iustum. 12
(28): 12-25.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,Binacipta, Bandung, 1989

Kusumaatmadja, M & Agoes, E. R. (2019). Pengantar Hukum Internasional. Edisi


Kedua. Bandung: PT. Alumni.

Maryani, H. (2019). Yurisdiksi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Illegal


Fishing di Indonesia. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum. 6 (1): 50-56.

Melatyugra, N. (2015). Teori Internasionalisme dalam Sistem Hukum Nasional.


Jurnal Refleksi Hukum. 9 (2): 199-207

Melatyugra, N. (2016). Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum


Internasional: Penerapan Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia.
Jurnal Refleksi Hukum. 1 (1): 45-60.
Melatyugra, N & Kurnia, S. T. (2018). Perjanjian Internasional dalam Hukum
Nasional: Perbandingan Praktik Negara Indonesia, Inggris, dan Afrika
Selatan. Jurnal Refleksi Hukum. 2 (2): 193-206

Mustakim & Dirgantara, H. (2021). Pengantar Hukum Konstitusi. Depok: Rajawali


Pers.

Nurhidayatulloh. (2012). Dilema Pengujian UndangUndang Ratifikasi oleh


Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi. 9
(1): 113-134

Pratiwi, D. K. (2020). Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-


Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional. Jurnal Yudisial. 3 (1): 1-19.

Sunyowati,D.(2013).Hukum Internasional sebagai sumber hukum dalam Hukum


Nasional (Dalam perspektif Hubungan Hukum internasional dan hukum
nasional di Indonesia).jurnal Hukum dan peradilan,2(1),67-84

Wiratraman, H. P. (2007). Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah


Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi.
Jurnal Panta Rei. 1 (1): 1-19.

Anda mungkin juga menyukai