Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional di Indonesia

Oleh : Intan Mahabah Nabila,1506718742, HINPUB Paralel


Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, memiliki hukum nasionalnya sendiri. Sebagai
salah satu negara diantara negara-negara di dunia, untuk bekerjasama dan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup negara Indonesia pun turut serta mematuhi hukum internasional
yang disepakati bersama.
Antara hukum internasional dan hukum nasional yang dianut sebuah negara, terdapat
persoalan penting terkait kaitan antara kedudukan keduanya. Pertanyaan yang sering muncul
ialah, apakah hukum internasional dan hukum nasional merupaka dua bidang hukum yang
terpisah dan berdiri sendiri ataukah merupakan bagian dari suatu sistem hukum? Kemudian,
apakah diantara keduanya terdapat susunan hierarki dimana hukum internasional lebih unggul
daripada hukum nasional sebuah negara, dan/atau sebaliknya?
Untuk menjawab persoalan tersebut diatas, timbul 2 (dua) aliran sebagai paham yang dianut
dari tiap-tiap negara. Menurut paham dualisme yang bersumber pada teori bahwa daya ikat
hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Pandangan dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu akibat pokok
yang terpenting ialah bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan perkataan lain, dalam teroi
dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena pada hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan
tidak tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya.1
Sedangkan paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang
mengatur hidup manusia. Dalam ragka pemikiran ini hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang
mengatur kehiduoan manusia. Akibat pandagan monisme ini ialah bahwa antara dua
perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara
hukum nasionak dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan
yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam
hubungan antara hukum nasional dan hukum hukum internasional ini2. Ada pihak yang
menganggap bahwa hukum internasional lebih unggul daripada hukum nasional suatu negara,
dan ada pula pakar yang berpendapat sebaliknya, hukum nasional negara lebih utama
daripada hukum internasional.
Pernyataan kesediaan Negara Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia dan
perdamaian abadi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukkan komitmen
negara untuk tunduk pada hukum internasional.Tetapi syarat terhadap untuk tunduk pada
hukum internasional adalah kemerdekaan. Sebab kemerdekaan selain sebagai syarat
fundamental untuk menjadi subjek hukum internasional juga merupakan manifestasi
perikemanusiaan dan perikeadilan. Perwujudan ketertiban dunia dan perdamaian abadi hanya
mungkin terwujud jika perikemanusiaan dan perikeadilan tegak. Untuk itu validitas stand

1
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT.Alumni, 2015),
hlm.58
2
Ibid, hlm.60
point yang menjadikan negara Indonesia tunduk pada hukum interasional adalah Konstitusi
(UUD 1945) baik dalam arti formal maupun dalam arti materil.3
Secara konstituisonal, pengaturan hubungan Negara Indonesia dengan negara lain, ditetapkan
dalam UUD 1945 pasal 11 dan pasal 13. Kedua pasal ini mengatur tentang perjanjian
internasional, pengangkatan duta dan konsul, dan penerimaan penempatan duta negara lain.4
Selain itu, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia tidak secara tegas mendeklarasikan terkait
apakah Negara Indonesia merupakan negara penganut aliran monisme ataukah penganut
aliran dualisme dalam hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional.
Meskipun demikian, melihat pada praktiknya, menunjukkan bahwa Indonesia menghormati
Hukum Internasional. Hal ini dibuktikan dengan apa yang ditetapkan dalam Undang –
Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Hubungan Luar Negeri
menurut Undang – Undang ini adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga –
lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, atau
warga negara Indonesia. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hubungan luar negeri
diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-undangan nasional
dan hukum kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelenggara
hubungan luar negeri, baik pemerintah maupun non pemerintah.5
Dalam membuat Hukum Nasional, Indonesia senantiasa memerhatikan Hukum Internasional
yang sudah ada baik yang bersumberkan pada hukum kebiasaan internasional maupun
perjanjian internasional, Sebagai contoh dapat dikemukakan :
a. UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE mengadopsi ketentuan ZEE dalam konvensi
Hukum Laut 1982.
b. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM banyak mengadopsi ketentutan dalam
Statuta Roma 1998.6
Uraian diatas menunjukkan bahwa betapa pengaruh dari hukum internasional terhadap
hukum nasional. Masuknya hukum internasional ke dalam hukum nasional dan menjadi
bagian dari hukum nasional serta dalam beberapa hal memberi warna terhadap hukum
nasional, menunjukkan bahwa negara – negara tidak bisa mengabaikan arti dan peranan dari
hukum internasional.7
Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum Internasional sebagai
instrumen politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil.8 Seperti, masih
ada dalam praktiknya yang menggambarkan ketidakjelasan apakah Indonesia menganut teori
monisme atau dualisme, termasuk apakah suatu perjanjian internasional yang telah
diratifikasi melalui undang-undang atau keppres ratifikasi langsung dapat diberlakukan
langsung pada masyarakat Indonesia ataukah harus dibuat aturan pelaksanaannya lebih

3
Firdaus, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-undangan Nasional Indonesia” Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum (Januari-Maret, 2014), hlm.47
4
Dr.Marnixon R.C. WILA,S.H., M.H., Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara (Bandung: PT.Alumni, 2006), hlm. 116
5
SefrianI, S.H., M.Hum., Hukum Internasional : Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 94-95
6
Ibid, hlm.95
7
I Wayan Parthiana, SH, MH., Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.277
8
Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik”, Indonesian Journal of International
Law (Oktober 2003), hlm.95
dahulu.9 Ini menunjukkan bahwa sebaliknya, pendirian bahwa pada prinsipnya kita mengakui
supremasi hukum internasional, tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang
dinamakan hukum internasional. Uraian mengenai praktik Indonesia khususnya perihal
nasionalisasi milik asing dan mengenai batas lebar laut teritorial menunjukkan bahwa kita
tidak bersikap menerima begitu saja apa yang dikatakan sebagai kaidah hukum internasional.
Hal ini disebabkan sering kaidah itu, atau memang tidak jelas, atau sudah berubah sebagai
refleksi masyarakat internasional yang sedang berubah dengan cepat.10
Berlakunya hukum internasional (dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau
hukum kebiasaan internasional di Indonesia didasarkan pada keterikatan Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional dan berlakunya prinsip pacta sund servada. Apabila
perjanjian internasional (bilateral dan multilateral) telah disahkan dan diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu, hukum internasional berlaku dan menjadi hukum
nasional, sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman dalam penyelesaian sengketa atau
persoalan hukum di peradilan nasional.11 Lebih lanjut, dalam penerapan hukum internasional
ke dalam hukum nasional Indonesia menggunakan teori transformasi, dimana agar hukum
internasional dapat diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia, hukum internasional
tersebut perlu ditransformasikan dalam bentuk perundang-undangan yang diakui di
Indonesia. Jika diamati lebih detail, teori transformasi yang diadopsi oleh Indonesia adalah
teori transformasi yang bersifat hard, yang mana dalam hal ini hukum internasional hanya
dapat menjadi bagian dari hukum nasional negara melalui tindakan legislatif saja. Kondisi ini
terlihat pada bagian penjelasan Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24/2000 dimana DPR memiliki
peran yang besar dalam hal mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia. Bahkan, DPR
pun dapat membatalkan perjanjian nternasional yang dibuat oleh pemerintah, jika dianggap
merugikan kepentingan nasional, seperti yang tersurat dalam Pasal 18 UU ini.12

Berkaitan dengan hukum internasional, Indonesia dalam sejarahnya pernah melanggar hukum
kebiasaan internasional. Berdasarkan konsepsi TZMKO (Territoriale Zee en Maritime
Kringen Ordonantie) tahun 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia hanya meliputi jalur-
jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3
mil laut. Namun pada tahun 1957, pemerintah Indonesia melalui DEKLARASI DJUANDA,
mengumumkan secara unilateral/sepihak bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil.13
Jadi, terkait apakah Indonesia menganut aliran monisme atau dualisme dalam hubungan
hukum internasional dan hukum nasionalnya, tiap – tiap ahli hukum memiliki pendapat yang
berbeda. Menurut doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari negara yang
besangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme, mendapatkan
contohnya di negara-negara Asia Tengggara, termasuk juga di Indonesia.14

9
I Wayan Parthiana, SH, MH., op.cit, hlm. 97
10
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT.Alumni, 2015),
hlm.89
11
Dina Sunyowati, “Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum dalam Hukum Nasional (Dalam Perspektif
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia)” Jurnal Hukum dan Peradilan
(Maret,2013), hlm. 84
12
Wisnu Aryo Dewanto, “Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum di Indonesia” Mimbar Hukum
(Juni, 2009), hlm.337
13
http://www.bakosurtanal.go.id/artikel/show/peta-negara-kesatuan-republik-indonesia, diakses pada 9 Maret
2017
14
Jawahir Thontowi,SH.,Ph.D. dan Pranoto Iskandar,SH., Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT
Refika Aditama, 2006), hlm. 82
Menurut Eddy Pratomo (Duta besar RI untuk Republik Federal Jerman pada tahun 2009-
2013), “Dalam konteks Indonesia masih ada ketidaktegasan apakah menganut monisme atau
dualisme”. Lain halnya dengan pendapat dari Dosen Hukum Internasional Universitas
Surabaya, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara
dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam
sistem hukum nasional.
Sedangkan Menurut Mochtar Kusuaatmadja, Indonesia tidak menganut teori transformasi dan
tidak pula menganut sistem Amerika Serikat. Indonesia lebih condong kepada sistem Eropa
Kontinental. Artinya Indonesia langsung terikat terhadap konvensi atau perjanjian yang telah
disahkan, tanpa terlebih dahulu membuat undang-undang pelaksanaannya (implemeeting
legislation). Namun untuk beberapa hal mutlak diperlukan undang-undang pelaksanaannya,
yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang nasional yang
langsung menyangkut hak-hak warganegara.15
Selanjutnya pendapat beliau, “... Undang-undang Dasar 1945 tidak memuat ketentuan yang
demikian. Hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kita tidak mengakui
supremasi hukum internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan bahwa kita
menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum internasional. Mengatakan
demikian berarti menentang masyarakat internasional yang didasarkan atas hukum, dan
sebagai negara yang masih muda kiranya pendirian demikian bukan pendirian yang
bijaksana. Dari sudut perhitungan untung rugi saja (pragmatis) tidaklah bijaksana untuk
secara “a priori” menentang hukum internasional dan menyatakan hukum nasional sebagai
lebih penting dan harus didahulukan. Sikap demikian akan mengungkap sikap serupa dari
negara lain, dan kita sungguh tak dapat bayangkan apa yang akan terjadi” (Mochtar
Kusumaatmadja,1976;83)
Sesuai dengan uraian – uraian diatas, dapat dikatakan pada prinsipnya pemerintah Indonesia
mengakui eksistensi hukum internaisonal, namun demikian tidak berarti begitu saja
menerima hukum internasional, kecuali setelah dilakukan harmonisasi antara hukum
internasional dengan hukum nasional. 16 Indonesia memiliki sikap yang sama dengan negara-
negara Asia pada umumnya terhadap hukum internasional, yakni selektif: memilih norma
hukum internasional yang bermanfaat bagi perjuangannya dan menolak norma yang
merugikannya.17 Jadi, dalam pelaksanaan hukum internasional diantara hukum nasional
negara Indonesia bergantung pula pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Hal tersebut
sejalan pula dengan kondisi pasca kemerdekaan, dimana Indonesia telah menganut teori
Stufenbau dari Hans Kelsen. Dengan teori ini maka Indonesia telah membangun secara
hirarkis sumber hukum dan tata urutan perundang-undangannya yang dimulai dari norma
fundamental Pancasila, UUD 1945, UU dan seterusnya. Sistem hirarkis ini juga yang
menyisakan pertanyaan tentang bagaimana kedudukan hukum internasional (khususunya
perjanjian internasional) dalam bangunan hirarkis tersebut18.

15
Dadang Siswanto,SH., “Implementasi Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional” (makalah sebagai
bahan diskusi pada bagian Hukum Internasional, Semarang, 12 Oktober 2001), hlm.9
16
Ibid, hlm.13
17
James Leslie Brierly, The Law of Nations (1963), 43-44; J.J.G. Syatauw, Some Newly Established Asian
States and the Development of International Law (1961), 221.
18
Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum Internasional : Dinamika Posisi Indonesia Terhadap
Hukum Internasional”, Jurnal Opinio Juris (Januari-April,2014), hlm.35
Namun, para pakar meyakini bahwa negara yang tidak memiliki rejim hukum yang jelas
tentang hukum internasional akan mengalami risiko ganda, yaitu melanggar hukum
internasional dan merusak balance of powers dalam sistem konstitusinya.19
Melihat dari konstitusi Indonesia, praktik terkait hukum internasional di Indonesia yang telah
terjadi, serta pendapat para ahli hukum, penulis berpendapat bahwa Indonesia cenderung
menganut paham monisme. Dimana hukum internasional dan hukum nasional, walaupun
merupakan dua sistem hukum yang berbeda namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Dalam kesehariannya, hukum nasional Indonesia mengacu pada hukum internasional.
Pun terkadang, tak jarang kebalikannya hukum inernasional sebelum diberlakukan di
Indonesia, terlebih dahulu melihat pada kepentingan negara serta ketentuan hukum nasional
yang berlaku. Menimbang pada alasan tersebut, tidak bisa dikatan bahwa Indonesia menganut
paham dualisme yang menganggap bahwa hukum nasional & hukum internasional adalah dua
sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu sama lain.

19
Giuliana Ziccardi Capaldo, ‘Treaty and National Law in a Globalizing Sytem’, in The Global Community, 1
Yearbook of Internatioanl Law and Jurisprudence (2003) , 140.

Anda mungkin juga menyukai