Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENERAPAN SANKSI ADAT DALAM MASYARAKAT INDONESIA


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

DOSEN PEMBIMBING :

Hera Pratita Madyasti., S.H., LL.M.

DISUSUN OLEH :

Malini Irsadah (201810110311001)


Hafizh Anshari (201810110311007)
Kifayatul Akhyar (201810110311010)
Adinda Sheila Amandita (201810110311019)
Retno Meilanie (201810110311028)
Shofika Hardiyanti Qurrahman (201810110311031)
Khoirunnisa Almaas (201810110311040)
Uni Apriani (201810110311045)
Suci Rahmayanti (201810110311047)
M. Ravi Mahendra (201810110311056)

KELAS: A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG..................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 3
A. Pengertian Sanksi............................................................................. 3
B. Tujuan Sanksi.................................................................................... 3
C. Jenis atau Penggolongan Sanksi Adat............................................... 4
D. Contoh Penerapan Sanksi Adat di Beberapa Suku di Indonesia....... 5

BAB 3 PENUTUP...................................................................................... 14
KESIMPULAN.......................................................................................... 14
SARAN...................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 15

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Penerapan Sanksi Adat Dalam Masyarakat Indonesia”
ini dapat diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak terdapat
kesalahan didalamnya. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Hera Pratita
Madyasti., S.H., LL.M. yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan edukasi
mengenai bagaimana Penerapan Sanksi Adat Dalam Masyarakat Indonesia. Namun, tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kemudian makalah kami ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Kami juga
yakin bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik serta saran
dari pembaca, untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya.

Malang, 6 Mei 2019

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-


peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Hukum
adat sendiri ialah norma lama yang masih terdapat di mana saja, dan diterapkan oleh berbagai
macam suku di Indonesia. Hukum adat merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.
Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya
bagi kehidupan masyarakat. Hukum, meski tidak tertulis, terdapat dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat, mulai dari aturan pengelolaan lingkungan hidup hingga aturan
pergaulan sosial yang tentu saja memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di
dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Sebagaian
masyarakat masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat
kemajuan dan kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak
memengaruhi nilai tradisional. Meski demikian ada sebagian masyarakat Indonesia yang
masih memegang hukum adatnya dengan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan
selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Keluwesan hukum adat beberapa masyarakat ini berasal dari asas musyawarah adatnya. Jadi
keputusan hukum adat tidak pernah dijatuhkan oleh seorang, melainkan oleh suatu sidang
yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua. Dalam mengambil
keputusan, sidang hukum adat ini harus selalu memperhatikan dua dasar jiwa hukum adat,
yaitu menanyakan apakah perkara yang sama ini pernah terjadi sebelumnya, dan kedua,
berusaha agar hukuman yang akan dijatuhkan itu berdasarkan keadilan. Dengan demikian
hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan organisasi tradisional maupun yang
modern serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan. Manfaat hukum adat sendiri
adalah mengatur segala aspek atau bidang kehidupan dalam suatu masyarakat, yang mana
dari setiap aturan-aturan itu mempunyai sanksi jika ada seseorang yang melanggar aturan
tersebut. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa sanksi dibuat agar aturan dari hukum
adat itu dapat ditaati atau dipatuhi oleh setiap masyarakat adatnya. Dan setiap sanksi ini
berbeda-beda pula bentuknya tergantung dari kalangan adat mana orang tersebut, walaupun

1
berbeda-beda dari segi bentuknya akan tetapi dalam penggolongannya terdapat kesamaan
yakni berupa sanksi fisik, sanksi sosial, dan sanksi administratif.

B. Rumusan Masalah

Adapaun rumusan masalah pada makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan sanksi?


2. Apa tujuan dari sanksi menurut hukum nasional dan hukum adat/
3. Apa saja jenis atau penggolongan dari sanksi?
4. Bagaimana contoh penerapan sanksi adat terhadap beberapa suku yang ada di
Indonesia?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanksi

Sanksi berasal dari bahasa Belanda yaitu Sanctie yang artinya ancaman hukuman,


merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang misalnya sanksi
terhadap pelanggaran suatu undang-undang (J.C.T Simongkir, Rudy T. Erwin dan
Aj.T.Prasetyo, 2000: 152). Sanksi adalah tindakan-tindakan (hukuman) untuk memaksa
seseorang menaati aturan atau menaati ketentuan undang-undang (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1997: 878). Sanksi adalah alat pemaksa, dimana sanksi memaksa menegakkan
hukum atau memaksa mengindahkan norma-norma hukum. Sanksi sebagai alat penegak
hukum bisa juga terdiri atas kebatalan perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik
batal demi hukum maupun batal setelah ini dinyatakan oleh hakim (R.Subekti dan
Tjitrosoedibyo, 2005: 98). Adapun sanksi menurut sholehuddin (2003: 17):
Sanksi dalam hukum pidana terbagi atas dua yaitu: sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi
tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana
ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan
penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada
upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Jadi sanksi pidana lebih
menekankan unsur pembalasan (pengimbalan) dan merupakan penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar
perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Atau seperti dikatakan
J.E.Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan
yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.
Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu
perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.

B. Tujuan Sanksi

Adapun tujuan dari sanksi yang diambil berdasarkan pandangan dua hukum yaitu
hukum nasional dan hukum adat itu sendiri, berikut penjabarannya.

3
1. Tujuan sanksi adat menurut hukum nasional, menurut konsep hukum nasional adalah
untuk mengembalikan keseimbangan kosmis (keseimbangan masyarakat yang
ada/hallayak) dan juga untuk mendatangkan rasa damai antara sesama warga
masyarakat. Disamping itu sanksi adat menurut hukum nasional harus bersifat adil
artinya sanksinya harus dirasakan adil baik oleh pelaku, korban, ataupun oleh
masyarakat sehingga ketidak seimbangan menjadi sirna.
2. Tujuan sanksi hukum adat menurut hukum adat adalah memulihkan keadaan untuk
ketentraman dan keharmonisan masyarakat adat tersebut. Jangan sampai pemberian
sanksi tersebut berefek pada semakin tidak harmonisnya pihak-pihak yang
bersengketa atau antar pelaku pelanggaran adat dengan masyarakat adat tersebut dan
juga memberikan efek jera pada pelaku pelanggaran adat tersebut.

C. Jenis atau Penggolongan Sanksi Adat

Adapun jenis-jenis sanksi yang diterapkan oleh hukum adat yaitu sebagai berikut.

1. Sanksi sosial adalah sanksi yang dibebankan kepada seseorang karena kesalahan yang
telah diperbuat orang tersebut dalam proses berinteraksi atau bersosialisasi di
lingkungan sekitarnya, sanksi tersebut merupakan sanksi yang langsung diterima dari
masyarakat adat tersebut. Adapun jenis sanksi sosial meliputi:
 Sanksi nasehat, yakni sanksi yang paling ringan tingkatannya dalam sanksi sosial
karena hanya berupa nasehat yang diberikan kepada seseorang yang telah
melanggar peraturan adat itu sendiri. pemberian sanksi adat berupa nasehat ini
diharapkan pelaku akan sadar dan kembali pada keadaan semula, dengan
mengikuti nasehat berarti seseorang melaksanakan kewajiban yang dibebankan
dalam keputusan adat
 Sanksi teguran, yakni sanksi yang satu tingkat lebih tinggi dari sanksi nasehat,
dengan teguran seseorang dianggap bersalah dan berfungsi sebagai beban yang
dimaksudkan untuk memulihkan kondisi perilaku seseorang.
 Sanksi pernyataan maaf, yakni beban yang dipikulkan pada seseorang yang
bersalah. Dengan meminta maaf akan memulihkan keadaan dua orang yang
bersengketa atau pelaku pelanggaran adat dengan masyarakat.
 Sanksi dikucilkan oleh masyarakat, suatu hukuman atau perlakuan yang diberikan
kepada satu orang atau lebih karena sesuatu hal.  Orang yang dikucilkan biasanya
akan dipandang remeh, diabaikan, tidak dianggap, tidak diajak bicara, tidak

4
dilihat, didiamkan, dan lain sebagainya.  Orang yang dikucilkan pada umumnya
akan merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan karena merasa disisihkan,
dimusuhi, dianggap tidak ada, dan lain-lain.  Kebutuhan untuk bersosialisasi yang
tidak berjalan lancar tersebut secara otomatis akan menjadi siksaan batin orang
yang sedang dikucilkan.
 Sanksi dikeluarkan oleh masyarakat, yakni sanksi berupa pengeluaran atau
pengusiran pelaku dari lingkungan masyarakat adat sebagai akibat dari
perbuatannya. Dikeluarkan dari masyarakat adalah sanksi yang paling berat, oleh
karena itu sanksi ini hanya dapat dijatuhkan kepada seseorang yang telah
melanggar peraturan adat yang berat dan sudah diberi kesempatan untuk
memperbaiki perilaku tetapi juga tetap melakukan pelanggaran yang dimaksud.
2. Sanksi denda/Pengganti kerugian adalah sanksi yang dibebankan kepada seseorang
yang telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dan dibebani kewajiban
mengganti denda atau mengganti kerugian terhadap orang lain yang dirugikan baik
dalam bentuk kerugian materil maupun moril. Denda ini harus dibayarkan
berdasarkan sebesar kerugian yang ditimbulkan oleh orang tersebut.
3. Sanksi fisik adalah sanksi yang dibebankan kepada seseorang yang melanggar hukum
adat, sanksi tersebut berupa kekerasan fisik atau hukuman badan seperti potong
tangan, cambuk, hukuman mati dan lain-lain.

D. Contoh Penerapan Sanksi Adat di Beberapa Suku di Indonesia

1. Suku Osing atau Banyuwangi

Sanksi dalam hukum adat di suku Osing (Banyuwangi) Jawa Timur dibagi dalam
hukum perdata dan hukum pidana :

1. Hukum pidana

Dalam ranah pidana terdapat kasus kawin colong. Perbuatan hukum dalam
perkawinan adat Osing di Banyuwangi dalam proses adalah sosialisasi dan saksi. Jadi,
jika ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh perbuatan itu, maka segera
melakukan tindakan hukum. Makna perkawinan menurut masyarakat osing nyata
dalam prosesi nyadok atau nyurup. Tetapi apabila dilihat dari zaman dahulu
perkawinan colong ini sudah menjadi suatu adat/tradisi turun temurun bagi
masyarakat Osing khususnya di Desa Boyolangu dan belum mengenal adanya Hukum
Negara yang sudah berlaku saat ini. Tata cara dari perkawinan colong ini dalam
5
masyarakat Osing apabila setelah ada kesepakatan bersama maka bertemulah kedua
sejoli itu dan langsung dibawa pulang ke rumah orang tuanya yang dalam hal ini
orang tuanya berpura-pura tidak mengetahuinya. Namun, setelah sampai di rumah,
anak laki-lakinya itu langsung membicarakan kepada orang tuanya mengenai duduk
perkara mengapa ia berani untuk melarikan perempuan pujaannya itu dan mohon
segera untuk dinikahkannya. Setelah itu, orang tuanya laki-laki segera mengutus dua
orang saudaranya atau tetangganya untuk mendatangi rumah orang tua perempuan
yang dibawa lari itu. Biasanya mereka datang kerumah orang tua yang kehilangan
anaknya itu malam hari. Setelah sampai di rumah yang dituju dan dipersilahkan untuk
duduk, kemudian mereka berdua mengenalkan diri dan silaturahmi. Pada waktu colok
menyampaikan berita tersebut orang tuanya akan menerima dengan senang hati atau
secara baik-baik tanpa ada ekspresi marah. sedikitpun. Hanya saja yang umum terjadi
orang tua tersebut akan menangis. Akibat hukum dari perkawinan colong ini menurut
hukum Adat masyarakat Osing dalam mekanisme pelaksanaannya harus berdasarkan
mekanisme adat sampai kepada yang berhubungan dengan sanksi-sanksi bagi yang
melanggarnya. Kasus perkawinan colong pada dasarnya suatu perbuatan yang tidak
menyenangkan dan tidak terpuji, karena perbuatan tersebut akan mempengaruhi status
sosial orang tua dan keluarga. Tetapi karena perkawinan colong tersebut merupakan
suatu kebiasaan yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat Osing Kabupaten
Banyuwangi khususnya pada umumnya, maka apabila terdengar orang yang
melaksanakan perkawinan colong, oleh masyarakat itu sudah menjadi hal yang biasa.

Tetapi karena perkawinan colong tersebut merupakan suatu kebiasaan yang


telah diakui keberadaannya oleh masyarakat Osing Kabupaten Banyuwangi
khususnya pada umumnya, maka apabila terdengar orang yang melaksanakan
perkawinan colong, oleh masyarakat itu sudah menjadi hal yang biasa. Perkawinan
colong atau kawin lari menurut ketentuan Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana menegaskan. Dalam hukum adat biasanya akan dilakukan mediasi atau
musyawarah oleh para tetua adat dengan kedua belah pihak orang tua laki laki
maupun perempuan bagaimana kelanjutannya. Karena di satu sisi pihak perempuan
merupakan korban terhadap penerapan sanksi sosial karena dicolong tersebut. Jika
tidak terjadi kesepakatan atau pihak perempuan tidak terima maka akan diserahkan
pada hukum positif Indonesia.

6
2. Hukum perdata

Dalam ranah perdata di suku using terdapat salah satu contoh pada saat pembagian
waris, dalam pembagian waris ini diserahkan kepada kebijakan masing masing
keluarga. Tetapi sesuai dengan ketentuan hukum adat, jika laki laki mendapatkan dua
bagian, maka pihak perempuan mendapatkan satu bagian dan ada kriteria lainnya
tersendiri mengenai status dan posisinya dalam pihak keluarga. Jika tidak mengikuti
hukum adat, masyarakat percaya akan mendatangkan keburukan atau hal hal tidak
baik menimpa keluarganya.

2. Suku Bugis (Sulawesi Selatan)


1. Cappa ba’bala atau pelanggaran ringan
Cappa ba’bala atau pelanggaran ringan merupakan bentuk pelanggaran yang
tempat terjadinya berada di kawasan adat dengan cara menebang pohon yang ada di
kebun warga. Adapun hukuman dari jenis pelanggaran ringan ini adalah denda dan
pelaku harus menyerahkan kain putih sebanyak satu gulung. Baik denda maupun kain
putih diserahkan kepada Ammatoa sebagai tanda bahwa pelaku menyesal atas
perbuatan yang telah dilakukan.
2. Tangnga ba’bala atau pelanggaran sedang.
Tangnga ba’bala atau pelanggaran sedang merupakan bentuk pelanggaran yang
tempat terjadinya berada di hutan perbatasan atau yang sering disebut oleh
masyarakat adat Kajang sebagai Borong Batasayya. Masyarakat adat Kajang boleh
mengambol hasil hutan di hutan perbatasan apabila telah mendapatkan izin dari
Ammatoa, akan tetapi yang mengambil kayu tanpa izin Ammatoa akan mendapatkan
hukuman berupa denda sebanyak delapan real atau delapan ratus ribu rupiah. Selain
denda, pelaku juga harus menyerahkan satu gulung kain putih.

3. Poko’ ba’bala atau pelanggaran berat

Poko’ ba’bala atau pelanggaran berat merupakan bentuk pelanggaran yang terjadi
di hutan keramat atau yang sering disebut oleh masyarakat adat Kajang sebagai
Borong Karamaka. Sanksi untuk pelanggaran berat ini diberlakukan bagi semua
anggota masyarakat adat Kajang yang melakukan pelanggaran dengan cara
mengambil hasil hutan yang ada di hutan keramat.

7
Selain ketiga sanksi di atas, terdapat sanksi yang lebih berat yaitu sanksi adat
dalam bentuk pengucilan dari penduduk setempat. Juma Darmapoetra menjelaskan
bahwa apabila ada penduduk yang melakukan pelanggaran dalam kategori berat maka
bentuk sanksi adat yang diberikan adalah pengucilan bukan hanya kepada pelaku
pelanggaran akan tetapi juga kepada tujuh turunannya. Apabila ada pelanggaran akan
tidak diketahui pelakunya maka akan diadakan Attunu Panrolik.
4. Attunu Panrolik
Juma Darmapoetra menjelaskan bahwa Attunu panrolik merupakan sebuah ritual
untuk mengetahui pelaku pelanggaran. Ritual tersebut dilaksanakan dengan
mengumpulkan masyarakat adat Ammatoa yang ditandai dengan bunyi gendang.
Setelah itu, linggis dipanaskan dengan cara membakar. Setiap warga harus memegang
linggis tersebut, tangan yang tidak melepuh menandakan bahwa orang tersebut bukan
pelaku, akan tetapi apabila melepuh maka itu pertanda pelaku pelanggaran. Juma
Darmapoetra menjelaskan bahwa apabila dengan Attunu panrolik pelaku tidak
ditemukan diakibatkan oleh tidak hadirnya pelaku pada ritual tersebut maka akan
diadakan ritual yang sanksinya lebih berat yaitu attunu pasauk atau pattunuan passau.
Ritual tersebut dilaksanakan karena dalam waktu tertentu pelaku tidak menyerahkan
diri. Arti kata dari attunu pasauk adalah membakar dupa. Sanksi yang akan
didapatkan adalah kutukan bukan hanya bagi pelaku akan tetapi juga kepada
keturunannya yang dipercayai oleh masyarakat adat bahwa kutukan tersebut datang
dari Turiek Arakna. Upacara tersebut berlangsung di hutan keramat atau borong
karamaka. Ammatoa dan para pemangku adat merupakan pelaksana ritual tersebut.
Salah satu contoh kejahatan yang dilakukan dan dikenai sanksi attunu pasauk adalah
tindak pidana pembunuhan. Apabila terjadi pembunuhan, pencurian, dan delik adat
seperti silariang kemudian pelakunya tidak menyerahkan diri maka diadakan attunu
pasauk. Sanksi tersebut berupa kematian yang akan diterima oleh pelaku dan orang
yang mengetahui pelakunya.
5. Delik Adat Malaweng (Kesusilaan)
Di dalam sistem nilai kebudayaan siri’ perempuan sangat berperan dalam
menjaga kontinuitas harkat kehormatan siri’ kerabat mereka. Oleh karena itu
kedudukan, status, serta martabat perempuan acap kali menjadi taruhan nyawa bagi
upaya penegakan hargai diri dan kehormatan siri’ mereka. Dalam konsep siri’
terkandung hak asasi manusia, terutama anggota kerabat (Bugis, rapu, appang)
perempuan untuk menjaga siri’ dan derajat keluarga dan kerabatnya. Dikatakan
8
bahwa dalam masyarakat Bugis-Makassar yang berstratifikasi, maka kedudukan dan
fungsi perempuan sangat penting dalam menjaga siri’ dan darah keluarga dan kerabat
mereka. Dalam hal ini dikatakan, bahwa seorang perempuan sama sekali tidak boleh
mengawini lebih dari seorang laki-laki (sekaligus) dan tidak boleh mengawini laki-
laki yang derajatnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Maka seorang perempuan
tidak akan berfungsi untuk memperluas keluarga, seperti fungsi laki-laki. Fungsi
perempuan adalah menjaga darah dan siri’ dari keluarganya. Bahkan ada
kemungkinan akan menaikkan status kebangsawanan keluarganya, mana kala ia
berhasil dikawini oleh laki-laki yang berderajat lebih tinggi daripada dia. Sehubungan
dengan fungsi perempuan dalam kekerabatan, sebagai simbol siri’ dan darah keluarga
yang harus dijaga baik-baik. Maka dikatakan bahwa dalam kekerabatan menurut
sistem panngadérréng, fungsi laki-laki ialah melihat ke bawah, mengenal keluarganya,
menciptakan dan memperluas kekerabatan, sedangkan perempuan, berfungsi menjaga
darah (derajat kebangsawanan) dan siri’ keluarga, yang merupakan sebab sehingga
saudara laki-laki dianggap tinggi derajatnya. Di sini perempuan berfungsi
menjelaskan dan memastikan derajat kebangsawanan saudara laki-lakinya. Dalam
kebudayaan Bugis-Makassar, kedudukan dan fungsi perempuan dapat dibandingkan
sebagai sebuah tangga, dimana derajat keluarga bisa naik-turun. Dalam bentuk
masyarakat yang bertingkat-tingkat itu, perempuan adalah anak tangganya. Sekeliling
meraka, dan keluarga, dapat naik atau turun derajat kebangsawanannya melalui anak
tangga itu. Jika perempuan sendiri dibolehkan turun atau kawin dengan sembarang
orang, maka perempuan tidak lagi merupakan anak tangga, semuanya sudah tidak
pasti karena jalan untuk naik, atau turun telah jadi licin. Pergaulan antara wanita
dengan laki-laki akan tercela bila mana telah melewati batas pergaulan wajar yang
disebut “malaweng”. Malaweng mempunyai beberapa tingkatan: (1) Malaweng
pakkita (gerak-gerik mata yang terlarang atau sumbang mata); (2) Malaweng kedo
(perbuatan, atau gerak-gerik dan tingkah-laku yang terlarang, tingkah laku sumbang);
(3) Malaweng luse (perbuatan meniduri atau seketiduran dengan orang yang terlarang
atau, sumbang seketiduran). Perbuatan malaweng pakkita dan malaweng kedo,
meskipun masih dipandang sebagai perbuatan tercela, tetapi tidak pernah lagi dijatuhi
pidana pembuatnya, teristimewa di kota. Akan tetapi ”delik malaweng luse” tetap
dipandang sebagai perbuatan yang sangat tercela, yang disamakan dengan perbuatan
binatang (gau olokolok). Perbuatan malaweng akan mengakibatkan timbulnya
pelanggaran siri’ dan mengakibatkan kesukaran berat bagi orang tua dan sanak
9
keluarga (terutama dari pihak perempuan). Delik malaweng (kesusilaan) adalah delik
yang sangat berat dan hina dari semua delik adat di Tana Bugis. Perbutan ini disebut
perbuatan binatang, pangkaukeng olok’ kolok’. Terhadap perbuatan malaweng luse,
dikenakan pidana mati, dengan cara ditenggelamkan ke laut (ri labu) atau dibuang ke
tebing. Dikatakan bahwa di Kabupaten Bone, Kecamatan Awampone terdapat satu
tempat eksekusi terhadap orang-orang sala (to sala) yang disebut ‘pallette”. Di watang
Watasoppéng juga terdapat tempat eksekusi orang-orang salah (to sala) yakni sekitar
batu menhir yang bernama La Temmapole (tidak ada lagi putusan dibelakangannya)
dan tebing batu yang bernama La Gimporo. Delik malawéng (kesusilaan) menurut
pandangan Lontara’ adalah sumber malapetaka bagi masyarakat. Oleh karena itu
sanksi delik malawéng adalah kedua pelakunya ditenggelamkan ke dalam dasar laut,
karena pantang tubuh dan darahnya mengenai tana (negeri). Dalam kanon I La
Galigo, digambarkan malapetaka yang akan menimpa jika terdapat perbuatan
malaweng, yakni “dikutuk oleh langit dan seluruh isi bumi, meratalah gunung-
gunung, rebah-runtuh kayu besar, mengering-gersang samudra, menjadi abu sagu,
menjelma rumput-rumputan Sang Hiang Sri (Dewi Padi), dan punahlah orang-orang
di bumi”.
3. Suku Madura
Dalam suku Madura penerapan sanksi adat terhadap pelanggaran dibagi
menjadi dua pelanggaran menurut masyarakat Madura yaitu pelanggaran ringan dan
pelanggaran berat. Adapun sanksi yang didapat oleh pelaku akan berbda juga
tergantung dari sisi mana dia melanggar.
1. Pelanggaran Ringan
Pelanggaran ringan biasanya merupakan pelanggaran tentang kesopanan dan
kebiasaan buruk seperti (anak perempuan pulang malam, berbicara kasar, tidak
permisi saat ada orang, dll) sanksi yang didapat oleh pelaku adalah sanksi sosial
berupa teguran langsung, jika pelaku masih melakukan hal yang sama sanksinya akan
berbeda pula. Sanksi yang di dapat adalah sanksi sosial tetapi berupa sindiran
(cemooh) dari masyarakat. Pada dasarnya orang Madura memang menjunjung tinggi
nilai kesopanan karena biasanya orang Madura melihat seseorang dari tabiat tingkah
lakunya atau dalam bahasa Madura adalah tengka ghulina. Terutama untuk seorang
anak perempuan, jika seorang anak perempuan tabiat tingkah lakunya buruk maka
sindiran atau cemooh dari masyarakat akan sangat keras dan bahkan sampai

10
diasingkan, diasingkan disini bukan berarti dikeluarkan dari suku adat Madura tetapi
keberadaannya dianggap tidak ada.

2. Pelanggaran Berat
Pelanggaran berat biasanya merupakan pelanggaran pidana seperti mencuri,
membunuh, dll. Sanksi adat yang didapat oleh pelaku di suku Madura saat ini
biasanya pelaku akan dibawa ke pihak berwajib, dan biasanya keluarga dari pelaku
tersebut akan mendapat sanksi sosial berupa sindiran atau cemooh dari masyarakat.
Sanksi adat suku Madura terdahulu untuk pelaku pelanggaran biasanya akan dibawa
ke kepala desa atau tetua dimasyarakat tersebut kemudian akan di eksekusi
berdasarkan adat yang berlaku di daerah masing-masing. Berbeda kasusnya untuk
pelanggaran berupa perselingkuhan, biasanya suku Madura menggunakan tradisi
carok untuk menyelesaikan konflik karena ini sudah ada hubungannya dengan tengka
(tingkah laku) dan perasaan malu. Carok sendiri merupakan pertarungan satu lawan
satu dengan menjunjung tinggi kehormatan.
4. Suku Banjar
Dalam penyelesaian suatu permasalahan yang terjadi di masyarakat Suku Banjar
terdapat beberapa jenis sanksi adat yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Pengganti kerugian materiil
Jika ada dua orang muda –mudi yang belum terikat hubungan suami isteri
tertangkap (ketahuan) melakukan hubungan diluar nikah, maka akan di bawa ke balai
desa dengan diarak keliling kampung untuk dipertemukan dengan tetuha kampung,
setelah permasalahan tersebut diselesaikan oleh pihak balai desa maka konsekuensi
yang didapat oleh kedua muda-mudi adalah harus dikawinkan.
2. Permintaan Maaf (Badamai)
Apabila terjadi suatu insiden/kecelakaan maka sanksi untuk pelaku adalah
melakukan beparbaik yaitu dengan bertanggungjawab mengobati korban sampai
sembuh. Apabila si pelaku tidak bertanggung jawab maka akan ditindak oleh
masyarakat adat setempat dengan menangkap si pelaku untuk dibawa ke balai desa
agar menemukan jalan keluar permasalahan sebelum dibawa ke kepolisian.
3. Denda/ Pembayaran Uang Adat

11
Jika terjadi pencurian tanah adat maka akan si pelaku dikenakan sanksi berupa
denda uang satu tahel, jika dirupiahkan sebesar Rp. 1,2 juta dan Uang tersebut
diserahkan ke Balai Desa untuk disimpan atau dipergunakan dalam acara-acara adat.
4. Pengasingan dari Masyarakat
Apabila ada seseorang yang melakukan tindakan kriminal pencurian,pembunuhan,
dll. Maka sanksi yang didapatkan selain sanksi dari hukum positif adalah sanksi sosial
seperti pengasingan, pengucilan, dan bahkan bisa sampai pengusiran dari desa.
5. Dalam konteks perkawinan Suku Banjar
Apabila keluarga calon mempelai wanita menyebutkan nilai jujuran yang akan
memberatkan keadaan finansial keluarga calon mempelai pria, maka akan diberi
nasehat-nasehat oleh tetuha dikeluarga masing-masing agar tidak memberatkan
sebelah pihak.
5. Suku Tidung
Bangunan rumah adat Baloy Mayo adalah potret pelaksanaan hukum adat masyarakat
suku Tidung. Meskipun sebelumnya para pelanggar hukum telah diadili polisi, bila
mana masyarakat sekitar merasa tidak puas dengan ganjaran yang diberikan oleh
aparat kepolisan maupun pemerintah, hukuman adat siap diberikan.
Beberapa jenis sanksi adat dalam masyarakat suku Tidung, yaitu:
1. Nasehat
Contoh:
a. Dalam tradisi Perkawinan
Pengantin pria tidak diperbolehkan melihat wajah pengantin wanita sampai dia
menyanyikan beberapa lagu cinta, Tirai yang semula dipasang dan memisahkan
keduanya akan disingkap dan keduanya dapat melihat satu sama lain setelahnya, Oleh
pihak mempelai wanita, yakni dia tidak diizinkan meninggalkan batas-batas rumahnya
selama periode pertunangan. Mereka percaya jika tidak menjalankan larangan ini
maka nasib buruk akan menimpa pasangan pengantin. Pernikahan akan rusak, rumah
tangga akan tertimpa kasus perselingkuhan, atau kematian yang mengintai bagi anak
yang akan dilahirkan. Pada masa tradisi adat Perkawinan suku Tidung juga mereka
harus menahan buang air selama satu hari/selama prosesi adat Perkawinan. Oleh
karena itu syarat tidak buang air besar diantisipasi dengan hanya makan atau minum
sedikit.
2. Teguran

12
Teguran dalam adat masyarakat suku Tidung biasanya apabila nasehat tidak di
indahkan maka teguran menjadi penyelesaian yang kedua. Yaitu berupa peringatan
yang akan diingatkan oleh tetua di masyarakat tersebut.
3. Peringatan/Pengambilan Keputusan
Dalam masyarakat suku Tidung apabila seorang wanita didapat hanya berdua
dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya maka sanksi yang diberikan berupa
Perkawinan Paksa antar kedua calon, karena suku Tidung sangat menjaga nama baik
dan kehormatan suku mereka. Mereka mengantisipasi akan adanya zina dan dosa
yang dilakukan apabila seorang wanita dan laki-laki berduaan.
4. Denda
Adapun sanksi berupa denda. Hukum adat itu adalah sanksi denda, tergantung
kasusnya apa. Kalau kasus perkosaan, pelaku didenda emas setinggi orang yang
diperkosa. Kemudian sapi satu ekor, terus perlengkapan pakaiannya.
5. Pengusiran/Pengeluaran
Contoh: Kerusuhan di Tarakan
6. Permintaan Maaf
Mengapa permintaan maaf menjadi penyelesaian sanksi yang terakhir, karena
walaupun mereka meminta maaf mereka tetap harus membayar sanksi yang
disebutkan diatas. Permintaan maaf merupakan langkah dan penyelesaian masalah
terakhir pada masyarakat suku Tidung.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan lokal, ketinggalan
zaman, tidak sesuai dengan ajara agama, dan lain-lainya. Hal ini dapat dimaklumi karena adat
adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat. Namun pada
kenyataannya sampai dengan sekarang dalam masyarakat adat di Indonesia sendiri masih
tetap dipertahankan keeksistensinya karena hukum adat itu bersih, dapat meredakan konflik,
dan menghapus noda-noda yang terdapat dalam masyarakat. Dipertahanankan hukum adat
karena proses penyelesaian perkara dalam hukum adat bersifat musyawarah/mufakat, dan
selalu dikedepankan prinsip asas kekeluargaan, asas perdamaian, asas kerukunan, asas
keikhlasan, dan dapat menghubungkan kembali ikatan-ikatan yang sudah rusak antara pelaku
kejahatan dengan korban serta terwujud keseimbangan dalam masyarakat keseluruhan.

Upaya untuk menurunkan angka kriminalitas menggunakan sistem peradilan pidana


saja tidak cukup. Tetapi, dengan menggunakan cara-cara tradisional, misalnya hukum adat
yang ada pada daerah masing-masing bisa dikatakan mampu menurunkan angka kriminalistas
dibandingkan bila dimasukkan dalam sebuah sistem hukum. Hukum adat bercorak
tradisional, artinya bersifat turun-temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu
sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat
yang bersangkutan.

B. Saran

Pembuatan makalah ini diharapkan agar dapat membantu pembaca khususnya


mahasiswa fakultas hukum dalam melihat hukum adat sebagai latar belakang historis dari
kelahiran hukum positif di Indonesia serta hukum adat itu sendiri tidak bisa dihilangkan dan
dipisahkan dengan hukum yang ada sekarang ini, Demi tegaknya hukum adat dan demi
terwujudnya pembangunan hukum adat di Indonesia, maka perlu perhatian yang khusus dari
pihak pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga pembangunan hukum adat di
Indonesia betul-betul terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Erwin, Rudy T., Prasetyo, J.T., Simorangkir J.C.T. 2000, Kamus Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.

Hasan, Ahmadi. 2008. Adat Badamai : Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat
dalam Masyarakat Banjar. Antasari Press: Banjarmasin.

Tjitrosoedibyo dan R. Subekti, 2005, Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2016, Hukum (sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, [pdf]
(https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/13681, Diakses 7 Mei 2019)

Rokhyanto dan Marsuk, 2015, Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok,
[pdf] (https://media.neliti.com/media/publications/23793-ID-sikap-masyarakat-madura-
terhadap-tradisi-carok-studi-fenomenologi-nilai-nilai-bu.pdf, Diakses 7 Mei 2019)

15

Anda mungkin juga menyukai