Pertemuan ke-5
Penjelasan tentang Norma Hukum Negara, Hirarki Norma Hukum ( stufen Theori dari
Hans Kelsen ), tentang struktur Norma dan Struktur Lembaga ( Benyamin Akzin)
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf
Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
(rechtskracht) yang relative, oleh karena msa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma
hukum yang ada diatasnya.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada
norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi
dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem
norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma
di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma
yang ada di bawahnya
B. Struktur norma dan struktur Lembaga
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang
jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu
norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang
di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma
Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar
antara lain:
(Staatsfundamentalnorm)
Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma
hukum Negara adalah “staatsfundamentalnorm”. Istilah staatsfundamentalnorm ini
diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga
yang pertama ( 10 November 1995) dengan Pokok kaidah fundamental Negara kemudian
joeniarto, dalam bukunya yang berjudul ‘ sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia ‘
menyebutnya dengan istilah norma pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan
istilah ‘staatsfundamentalnorm’ ini dengan ‘ Norma Fundamental Negara’.
Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat
‘pre-supposed’ atau ‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu Negara dan
merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika
norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan
merupakan norma yang tertinggi.
Menurut hans Nawisky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara
(staatsfundamentalnorm),termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang
dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi
menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat dan bentuk
suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form einer politischen einheit),
yang disepakati oleh suatu bangsa.
Selain hal itu norma dasar (grundnorm atau disebut juga ursprungsnorm atau urnorm)
sebagaimana yang disebutkan bersifat ‘pre-supposed’ dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat
diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan
untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya
menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori
jenjang norma (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang norma hukum (die theorie
vom stufenordung der rechtsnormen) dari hans nawiasky.
(Staatsgrundgesetz)
Menurut hans nawiasky, suatu dasar Negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan
dalam suatu dokumen Negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan
dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal
mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur
juga hubungan antara lembaga-lembaga Negara, serta mengatur Negara dengan warga
negaranya, atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa
yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanva
pemerintahan, karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh
karena itu, menurut Thomas Paine:
“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and
a government without a constitution is power without right”.
Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam Batang
Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi
Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang
(formell gesetz) atau aturan yang lebih rendah[7].
“Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya
memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara Negara untuk mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
Terutama bagai Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu
hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat,mengubah
dan mencabut.”
Dengan demikian jelaslah bahwa Batang Tubuh UUD 1945 merupakan aturan dasar
Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu
Undang-Undang (formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu
peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang lainnya adalah aturan-aturan yang
tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan garis-garis besar haluan Negara.
Ketetapan ini juga masih merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan
ketetapan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta
belum disertai norma sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam
pembrentukan peraturan perundang-undangan walau hanya secara material.
Selain Batang Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR, masih dikenal pula adanya
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu Konvensi Ketatanegaraan yang
merupakan hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat.
Diakuinya hukum dasar tidak tertulis di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
Angka I UUD 1945 yang berbunyi :
“Undang-Undang Dasar satu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-
Undang Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dari praktek penelenggara Negara meskipun tidak tertulis”
Contoh dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya kebiasaaan penyelengaraan pidato
kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus.
4. Undang-Undang “FORMAL”
(formell Gesetz).
Di Indonesia istilah formell Gesetz atau formell wetten ini sayogjanya diartikan
dengan undang-undang saja tampa menambah kata formal dibelakangnya. Oleh karena itu
apabila formell gesetz diartikan Undang-Undang formal, hal itu tidak sesuai dengan
penyebutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas
Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat
langsung setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud dengan UU
dalam arti luas adalah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai
tingkat yang rendah yang isinya mengikat setiap penduduk.
Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum
yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif.
Naskah hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act, karena
dalam proses pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan
keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.
5. Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan Otonom
Contohnya :
1. Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) member kewenangan kepada
presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika
terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal
136 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk
Peraturan Daerah dengan sanksi pidana setinggi-tingginya 6 (enam) bulan
kurungan dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut tidak
diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara
dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Contohnya :
1. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, “Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.”
2. Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang merumuskan,” untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan
perundang-undangan, Kepada Daerah menetapkan Peraturan Daerah dan atau
Keputusan Daerah.
Pertemuan ke-7
1.Asas Legalitas : Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een
daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga
pengertian, yaitu: Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas) aturan-aturan hukum pidana
tidak berlaku surut.
Asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa
salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu
dibebaskan dari dakwaan.
2. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori
Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen
dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah
hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara
Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-
undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam
hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 adalah ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti
dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist
yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat
Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup
disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
4. Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota
harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama
juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga
keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap dipertahanka
5. UU Tidak dapat diganggu gugat, artinya siapapun tidak boleh melakukan uji material
atas isi undang-undang, kecuali oleh Mahkamah Konstitusi. Asas ini berkaitan dengan hak
menguji perundang-undangan (teotsingsrecht). Sebagaimana diketahui hak menguji
perundang-undangan ada dua macam yakni:
Materi atau isi undang-undang tidak dapat diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan
pembentukannya sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat
menguji dan mengadakan perubahan hanyalah badan pembentuk undang-undang itu sendiri
(Pemerintah dengan persetujuan DPR) atau badan yang berwenang lebih tinggi.
UNDANG DASAR 1945
Apabila dilihat dari teori jenjang norma hukum dari Hans Hawiasky, makakelompok
norma dari Staatsgrundgesetz di negara Republik Indonesia terdiri dari
VerfassungsnormUUD 1945 yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 ,ketetapan MPR,
serta Hukum Dasar tidak tertulis ( konvensi ketatanegaraan).
Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara Aturan Pokok Negara
yaitu dalamVerfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR merupakannorma-norma
hukum yang masih bersi aturan umum dan garis besar serta masihmerupakan norma tunggal,
jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa, Secara hierarkis
kedudukanVerfassungsnormUUD 1945 lebih tinggi. daripada ketetapan MPR, Walaupun
keduanya dibentuk oleh lembaga tertinggi di negara Republik Indonesia
Selama ini sebelum adanya perubahan UUD 1945masih banyak orang yangmempersoalkan
mengapap ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebihrendah daripada Undang-
Undang Dasar 1945, padahal keduanya dibentuk olehsebuah lembaga yang sama yaitu
Majelis PermusyaWaratan Rakyat" Pertanyaan initimbul karena selama ini banyak orang
yang beranggapan bahWa ketiga Fungsi dari Majelis Permusywaratan Rakyat itu mempunyai
bobot yang sama, namun demikian,apabila diperhatikan secara saksama, ketiga fungsi dari
majelis Permusya&aratanRakyat itu bisa dibedakan dalam dua kualitas yaitu
Sesudah perubahan UUD 1945, terdpat perubahan yang mendasar tentangfungsi Majelis
Permusya&aratan Rakyat. berdasarkan Perubahan UUD 1945 Majelis PermusyaWaratan
Rakyat adalah :
Dilihat dari sisem norma hukum negara Republik Indonesia, maka staatsfundamentalnorm
Pancasila verffassungsnorm UUD 1945,Grundgesetznormketetapan MPR, danGesetznorm
Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistemnorma hukum !egara Republik
Indonesia"Staatsfundamentalnorm PanCasila yangmerupakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-
pasal dalamVerfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan
aturan-aturan dalamGrundgesetznorm Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber
dan dasar bagi pembentukanGesetsznorm Undang-Undang" Oleh karena Grundgesetznorm
Ketetapan MPR itu jugamerupakan Aturan Dasar NegaraATuran Pokok negara yang
berada diatas Gesetsznorm Undang-Undang, maka Grundgesetznorm ketetapan MPR ini
juga merupakan sumber bagi pembentukan norma-norma hukum dalam GesetBnorm
Undang-Undang yang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara
Republik Indonesia.
‘’Maka telah Cukup jikalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok,hanya
memuat garis-garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan
sosial".Terutama bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis
ituhanya memuat aturan-aturan pokok. Sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan
aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah Caranya
membuat,merubah dan menCabut"
Apabila memba'a uraian tersebut, dapat dilihat bah&a berbagai ketentuan dalam
aturan pokok negara yang ter'antum dalam UUD 1945 dapat dikembangluaskan atau diatur
lebihlanjut dalam undang-undang yang lebih mudah Caranya membuat, mengubah dan
mencabut .Berdasarkan hal itu maka suatu undang-undang dapat melaksanakan atau
mengatur lebihlanjut hal-hal yang ditentukan sec'ara tegas oleh UUD 1945 maupun hal-hal
yang se'ara tidak tegas menyebutkannya.Selain itu, undang-undang adalah peraturan
perundang-undanganyang tertinggi di negara republik indonesia, sehingga undang-undang
juga merupakansumber dan dasar bagi peraturan perundang-undangan lain yang berada di
bawahnya, yangmerupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom.
Apabila dilihat dari siFat norma hukumnya, dapat diketahui bahwa norma-norma
hukumdalam suatu hukum dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal, masih mengatur
hal-hal umum dan secara garis besar atau masih merupakan norma-norma hukum yang
pokok- pokok saja, sehingga norma-norma dalam suatu hukum dasar itu belum dapat
langsung berlaku mengikat umum,hal tersebut beda dengan norma-norma hukum dalam
suatu peraturan perundang-undangan" Dalam peraturan perundang-undangan, norma-norma
hukumitu sudah lebih konkret, lebih jelas dan sudah dapat langsung mengikat umum, bahkan
dalamsuatu peraturan perundang-undangan sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi
pemaksa.
Pendapat ini sc'ara kajian Perundang-undangan adalah tidak tepat, oleh karena
ketentuan dalam Pasal II aturan tambahan tersebuttidak menyatakan pencabutan secara tegas
terhadap Penjelasan UUD 1945, selain ituPenjelasan adalah interpretasi yang merupakan satu
kesatuan dengan ketentuan yangdijelaskan dan bukan norma yang berbeda. Berdasarkan
uraian tersebut dapat dilihat bah&a, adar supaya norma-norma hukum yangterdapat dalam
Hukum Dasar(Verfassungsnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya,maka norma-
norma hukum itu harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam PeraturanPerundang-
undangan(Gesetzgebungsnorm) oleh karena norma hukumnya bersiat umum dandapat
mengikat seluruh Narga negara.
Pertemuan ke 9
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan terdiri atas:
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
UU 12/2011 di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.Peraturan Perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
Pada masa VOC peraturan yang tertinggi adalah perintah dari Raja Belanda, kemudian
yang ada dibawahnya adalah “Heeren Zewentie” yaitu peraturan yang dibuat di plakat-plakat
buatan VOC untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu penanganan secara khusus.
Kemudian Heeren Zewentie tersebut dikodifikasai dan diberi nama menjadi “Statuta van
Batavia” Penjajahan pada masa Belanda dapat kita bedakan menjadi beberapa masa:
1). Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
Berdasarkan pasal 36 Netherland Gronwet 1814, menytakan bahwa “Raja yang berdaulat
punya kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di daerah-daerah
lain....”. Dalam melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang
biasa disebut dengan “Algemene Verordering”(peraturan pusat) atau “Koninklijk
Besluit”(besluit raja) yang berlaku dibidang eksekutif dan “Aglemene Maatregel van
Bestuur”(AmvB).Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838, Komisi Undang-
undang untuk Hindia Belanda membuat peraturan yang terdiri dari:
Pada masa ini terjadi perubahan Grondwet di negeri Belanda, dari monarki konstitusional
menjadi monarki konstusional parlemen. Dari perubahan tersebut membuat kekuasaan raja
atas daerah jajahan menadi sedikit terkurangi. Bentuk undang-undang (wet) pada waktu ini
dinamakan Regerings Reglement (RR) diundangkan mulai tanggal 1 Jannuari 1854.
Pada tahun 1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk ikut serta dalam
pembuatan undang-undang. Pada tahun 1922 terjadi perubahan grondwet di negeri Belanda.
Grondwet tersebut kemudian diberi nama “Indische Staatregeling” yang memberi kekuasaan
kepada daerah jajahannya untuk membuat peraturan sendiri.
Jepang adalah sebuah negara yang terletak di Asia Timur. Tiga setengah tahun menjajah
Indonesia merupakan hal yang tak terlupakan bagi Indonesia, karena selama masa
penjajahannya rakyat Indonesia merasa teramat sengsara. Melakukan kerja paksa atau biasa
disebut romusha merupakan hal yang dapat kita lihat di seluruh penjuru negeri. Dengan
sistem paksanya, kediktatorannya membuat Indonesia terkekang bak kalung rantai yang
menjerat leher. Tetapi, masa-masa tersebut adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak bisa
diubah. Kini, sebagai penerus bangsa, kita harus mengambil hikmah dari salah satu masa
kelam Indonesia tersebut dan mengolahnya menjadi sebuah kekuatan demi memajukan
bangsa di masa kini dan nanti.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1940-an, ketika berkecamuk Perang Dunia II,
negara Jepang adalah salah satu peserta yang cukup diperhitungkan di dunia terutama setelah
kemenangannya melawan Rusia. Demi memperoleh kemenangan dalam perang akbar ini,
Jepang berusaha mengumpulkan sumber daya manusia dan sumber daya bahan baku perang
dengan cara menginvasi dan ekspansi. Salah satu negara yang berhasil diduduki Jepang pada
masa tersebut adalah Indonesia. Dengan perang sebagai latar belakangnya, Jepang yang
dituntut untuk mengumpulkan sumber daya dalam waktu sesingkat mungkin dan sebanyak
mungkin, memberlakukan sistem “militerisme” dalam masa pendudukannya di Indonesia.
Hal ini bisa terlihat dari pemerintahan yang dipimpin oleh seorang gunseikanbu yang
memerintah seperti dalam dunia tentara dimana bila gunseikanbu memutuskan “a” maka
sampai rakyat jelata di tingkat RT pun harus mengikuti keputusan “a”. Kebijakan-kebijakan
gunseikanbu ini termaktub dalam undang-undang yang disebut Osamu Shirei
Demi meraih tujuannya dan dalam proses pengejawantahan Osamu Shirei, Jepang
melakukan berbagai propaganda kepada rakyat, antara lain melalui gerakan 3A, Kebijakan
penghapusan Bahasa belanda dan pengembangan Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Selain itu,
untuk menyiasati pengendalian pemerintahan di nusantara yang luas digunakanlah siasat
indirect ruler system, dimana Jepang mempergunakan orang-orang yang dulunya pangreh
praja pada masa Belanda sebagai kepanjangan tangan. Jepang pun menerapkan sistem tonari
gumi untuk memobilisasi masa.
Bila kita menengok sedikit lebih ke belakang, maka akan kita temukan bahwa pada masa
penjajahan Belanda sistem birokrasi dibuat seefisien mungkin,disediakan sekolah bagi
pribumi, lembaga hukum khusus bagi pribumi, dan tersedianya Voolkstrad (lembaga
perwakilan bagi pribumi). Semua sistem ini mengarah pada pembagian penduduk menjadi 3
strata : warga Eropa, warga Timur Tengah, dan pribumi. Saat Jepang datang, Semua
perbedaan strata ini langsung dihapuskan. Pemerintah Jepang juga merubah sistem
perundang-undangan dan peradilan.
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk seluruh warga. Hal ini memperlihatkan kalau Jepang tidak
meninggikan orang-orang Eropa maupun Timur Tengah2) Beberapa peraturan militer
disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Hal ini terkait dengan
mendesaknya kebutuhan untuk memperoleh pasokan sumber daya demi peperangan
2) Unifikasi kejaksaan. Atau dalam bahasa lain penyatuan kejaksaan. Kejaksaan yang
pada masa Belanda dipisahkan antara kejaksaan bagi orang Eropa dangan kejaksaan pribumi,
maka pada masa Jepang dijadikan satu dan disamaratakan.
1. Undang-undang (Federal) landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 127 s/d Pasal
138;
2. Undang-undang Darurat, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 139 s/d Pasal
140;
Pada masa KRIS 1949 ini telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, oleh
Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta, yang merupakan bagian dari Republik
Indonesia Serikat. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah
Pusat adalah: Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
Peraturan Pemerintah; dan Peraturan Menteri. Di samping itu dikeluarkan pula Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan,
Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah,
Sebagai Undang-undang Federal.
b) Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) terdiri atas:
2. Undang-undang Darurat, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 96 dan Pasal 97;
Dalam Surat Presidenkepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No. 2262/HK/59 tanggal
20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No.
3639/HK/59 tanggal 26 November 1959, disebutkan “bentuk-bentuk” Peraturan-peraturan
Negara ialah:
1. Undang-undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Penetapan Presiden;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden;
7. Keputusan Presiden, dan
8. Peraturan/Keputusan Menteri.
Penetapan Presiden (Penpres) adalah untuk melaksanakan Dekrit 5Juli 1959 tentang
“Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Peraturan Presiden (Perpres) adalah
Peraturan yang didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan untukmelaksanakan Penpres.
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden kemudian diralat dan
dihapuskan oleh Surat Presiden No.3639/HK/59 untuk mencegah supaya tidak ada “Peraturan
Pemerintah” yang berbeda jenis, maka “Peraturan Pemerintah” jenis kedua ini dihapus dan
diberi bentuk “Keputusan Presiden”. KeputusanPresiden (Keppres) berisi tindakan/perbuatan
tertentu Presiden yang bersifat penetapan (beschikking) misalnya dalam pengangkatan
pejabat tertentu. Peraturan dan Keputusan Menteri, yang dibuat di Kementerian-kementerian
Negara/Departemen-departemen Pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal
(regeling) dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan (beschikking).
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, maka pada tahun 1966, MPRS
mengeluarkan TAPMPRS No. XX/MPRS/1966. TAP MPRS ini dimaksudkan untuk
membenahi dan mendudukkan secara konstitusional jenis dan bentuk peraturan perundang-
undangan yang banyak “menyimpang” dari UUD 1945. Bentuk (yang dimaksud adalah jenis)
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II TAP MPRS
tersebut adalah sebagai berikut:
TAP S ini selama kurang lebih 30 tahun menjadi hukum positif dan menjadi sumber hukum
dari jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan. Banyak sekali kekurangan atau lobang-
lobang yang ada dalam TAP MPRS tersebut yang bersifat konstroversial yang membuat para
ahli hukum tata negara/administrasi negara dan praktisi hukum yang berkecimpung dalam
perundang-undangan, banyak mengeluh. Salah satu contoh adalah tidak diaturnya secara
tegas jenis peraturan tingkat daerah khususnya Peraturan Daerah (Perda), sehingga berkesan
kurang dihormatinya Perda (dan Kepda yang bersifat pengaturan (regeling)) sebagai bagian
dari sistem peraturan perundang-undangan nasional. TAP MPRS tersebut memang
diperintahkan oleh TAP MPR No. V/MPR/1973 joTAP MPR No. IX/MPR/1978 untuk
disepurnakan. Namun rupa-rupanya Pemerintah Orde Baru (dan MPR) tidak bersedia untuk
menyempurnakannya, bahkan “mensakralkan” UUD 1945 untuk tidak diubah yang
berpengaruh kepada jenis peraturan perundang-undangan di bawahnya (termasuk TAP MPR).
Dalam Sidang Umum MPR tahun 1983, 1988, 1993, 1998, Sidang Istimewa MPR 1998, dan
Sidang Umum MPR tahun 1999, TAP MPRS tersebut juga tidak disinggung-singgung
penyempurnaannya.
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan berhentinya Presiden
Soeharto tanggal 21 Juli 1998 yang menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Habibie,
kemudian dilanjutkan dengan Sidang Istimewa (SI) MPR pada tahun yang sama, dan
dilanjutkan dengan Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999 (hasil Pemilu 1999), kemudian
dilanjutkan dengan Sidang Tahunan MPR tahun 2000, barulah MPR menetapkan TAP MPR
No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000
adalah:
1. UUD-RI;
2. Ketetapan(TAP) MPR;
3. Undang-Undang(UU);
4. PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. PeraturanPemerintah (PP);
6. KeputusanPresiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah(Perda).
Karena adanya dominasi dan kekuatan dari MPR yang dirasa terlalu besar, maka
dikeluarkanlah UU No 10/2004 yang menentukan tata peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
Sumber : topik 5
https://sahabatgembel.wordpress.com/2015/05/31/materi-diskusi-ilmu-peraturan-perundang-
undanga/
Sumber : topik 6
Jimly Asshiddiqie, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
http://bismillahirrahmanirrahim1305.blogspot.com/2015/04/norma-hukum-dalam-
negara.html
Sumber : topik 7
https://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt581212a18dce4/jika-hakim-ragu--
asas-iin-dubio-pro-reo-i-jawabannya
http://ahlilirfan.blogspot.com/2014/10/asas-asas-berlakunya-undang-undang.html
http://ekothetrackerz.blogspot.com/2012/02/asas-perundang-undangan.html
Sumber : topik 8
http://www.academia.edu/29047500/Bahrul_ulum._ilmu_perundang_undangan
Sumbe : topik 9
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4012/hierarki-peraturan-perundang-undangan-
di-indonesia
http://storyofwc.blogspot.com/2016/04/makalah-sejarah-peraturan-perundang.html
https://mandawibisono.wordpress.com/2011/10/04/sistem-hukum-pada-masa-pendudukan-
jepang/
http://jajat-wae.blogspot.com/2012/12/ilmu-perundang-undangan.html