Anda di halaman 1dari 23

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Pertemuan ke-5

Topik/Sub Pokok Pembahasan :

Penjelasan tentang Norma Hukum Negara, Hirarki Norma Hukum ( stufen Theori dari
Hans Kelsen ), tentang struktur Norma dan Struktur Lembaga ( Benyamin Akzin)

NORMA HUKUM DALAM NEGARA

A.       Hierarki Norma Hukum

(Stufentheorie – Hans Kelsen)

Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie). Dalam teori


tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan
fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam
suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma
Dasar itu dikatakan pre-supposed .

Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf
Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
(rechtskracht) yang relative, oleh karena msa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma
hukum yang ada diatasnya.

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada
norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi
dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem
norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma
di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma
yang ada di bawahnya
B. Struktur norma dan struktur Lembaga

Dalam teorinya didalam buku yang berjudulLaw,State,and International Legal


Order,Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan Norma-norma Hukum publik
itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat karena apabila kita lihat pada
struktur norma,maka hukum publik itu berada diatas hukum privat,sedangkan apabila dilihat
dari struktur lembaga,maka PublicAuthorities terletak diatas population.

Pembentukannya,norma hukum publik iu dibentuk oleh Lembaga-lembaga


negara(Penguasa Negara,Wakil-wakil Rakyat)atau disebut juga Supra struktur sehingga
dalam hal ini terlihat jelas norma hukum yang diciptakan oleh lembaga ngara ini mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada norma yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut
juga infrastruktur.

Sebagai sutu norma yang dibentuk oleh Lembaga Negara sebenarnya


pembentukannya harus dilakukan berhati-hati,sebab norma-norma hukum publik ini harus
dapat memenuhi kehendak serta keinginan masayrakat,jadi berbeda dengan pmbentukan
norma-norma hukum Privat.Norma-norma Hukum Privat biasanya sesuai dengan
keinginan/kehendak masyarakat oleh karena hukum pivat ini dibentuk oleh masyarakat yang
bersangkutan dengan perjanjian-perjanjian atau transaksi yang bersifat perdata sehingga
masyarakat dapat merasakan sendiri apakah norma-norma hukum itu sesuai dengan
kehendak/keinginan masyarakat.
Pertemuan ke-6

Topik/Sub Pokok Bahasan :

Pembahasan tentang Hirarki Norma Hukum Negara ( Hans Nawiasky ),Norma


Fundamental Negara, Aturan Dasar/Pokok Negara, Undang-Undang Formal,
Peraturan Pelaksana Dan Peraturan Otonom.

1. Hierarki Norma Hukum Negara

(die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans Nawiasky)

Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang
jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu
norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang
di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma
Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar
antara lain:

Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);

Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);

Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);

Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan


otonom).

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya


dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia.
Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara
Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S.
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori
Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:

1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)


2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah
hingga Keputusan Bupati atau Walikota.[
2. Norma Fundamental Negara

(Staatsfundamentalnorm)

Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma
hukum Negara adalah “staatsfundamentalnorm”. Istilah staatsfundamentalnorm ini
diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga
yang pertama ( 10 November 1995) dengan Pokok kaidah fundamental Negara kemudian
joeniarto, dalam bukunya yang berjudul ‘ sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia ‘
menyebutnya dengan istilah norma pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan
istilah ‘staatsfundamentalnorm’ ini dengan ‘ Norma Fundamental Negara’.

Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat
‘pre-supposed’ atau ‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu Negara dan
merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika
norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan
merupakan norma yang tertinggi.

Menurut hans Nawisky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara
(staatsfundamentalnorm),termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang
dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi
menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat dan bentuk
suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form einer politischen einheit),
yang disepakati oleh suatu bangsa.

Selain hal itu norma dasar (grundnorm atau disebut juga ursprungsnorm atau urnorm)
sebagaimana yang disebutkan bersifat ‘pre-supposed’ dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat
diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan
untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya
menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya.

Di dalam suatu Negara norma dasar ini disebut juga staatsfundamentalnorm.


Staatsfundamentalnorm suatu Negara merupakan landasan dasar filosofisnya yang
mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan Negara lebih lanjut [5].

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori
jenjang norma (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang norma hukum (die theorie
vom stufenordung der rechtsnormen) dari hans nawiasky.

Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-


jenjang dan berlapis–lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang di atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak
dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’.

Perbedaanya adalah 1) hans kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu,


sedangkan hans nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang
berlainan. Perbedaan lainya adalah 2) teori hans kelsen membahas jenjang norma
secaraumum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma ( termasuk norma
hukum Negara), sedangkan hans nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih
khusus, yaitu dihubungkan dengan suatu Negara.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, 3)di dalam teorinya hans nawiasky


menyebutkan norma dasar Negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan
dengan istilah staatsfundamentalnorm. Hans nawiasky berpendapat bahwa istilah
staatsgrundnorm tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut norma dasar Negara, oleh
karena pengertian grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, atau
bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar Negara itu dapat berubah
sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Pendapat
nawiasky ini dinyatakan sebagai berikut :

“Norma tertinggi dalam Negara sebaiknya tidak disebut staatsgrundnorm melainkan


staatsfundamentalnorm, norma fundamental Negara. Pertimbangannya adalah karena
grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi suatu Negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, coup d’etat, putsch,
Anschluss dan sebagainya” [6].

3. Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara

(Staatsgrundgesetz)

Aturan dasar negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) merupakan kelompok


norma hukum dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari aturan dasar
Negara/aturan pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan
norma hukum tunggal.

Menurut hans nawiasky, suatu dasar Negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan
dalam suatu dokumen Negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan
dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.

Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal
mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur
juga hubungan antara lembaga-lembaga Negara, serta mengatur Negara dengan warga
negaranya, atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa
yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanva
pemerintahan, karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh
karena itu, menurut Thomas Paine:

“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and
a government without a constitution is power without right”.

Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan


peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri
tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.

Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam Batang
Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi
Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang
(formell gesetz) atau aturan yang lebih rendah[7].

Dalam Penjelasan Umum Angka IV UUD 1945 menyebutkan :

“Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya
memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara Negara untuk mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
Terutama bagai Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu
hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat,mengubah
dan mencabut.”

Dengan demikian jelaslah bahwa Batang Tubuh UUD 1945 merupakan aturan dasar
Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu
Undang-Undang (formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu
peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.

Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang lainnya adalah aturan-aturan yang
tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan garis-garis besar haluan Negara.
Ketetapan ini juga masih merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan
ketetapan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta
belum disertai norma sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam
pembrentukan peraturan perundang-undangan walau hanya secara material.

Selain Batang Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR, masih dikenal pula adanya
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu Konvensi Ketatanegaraan yang
merupakan hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat.
Diakuinya hukum dasar tidak tertulis di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
Angka I UUD 1945 yang berbunyi :

“Undang-Undang Dasar satu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-
Undang Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dari praktek penelenggara Negara meskipun tidak tertulis”

Contoh dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya kebiasaaan penyelengaraan pidato
kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus.

4. Undang-Undang “FORMAL”

(formell Gesetz).

Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan


pokok Negara (staatsgrundgesetz) adalah formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan
dengan Undang-Undang ‘formal’. Norma dasar Negara yaitu norma-norma dalam suatu
Undang-Undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan rinci, serta sudah
dapat lansung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini
tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat
merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder
disamping norma hukum primernya, dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah
dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa. Selain itu undang-undang (wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan
lainnya, oleh karena itu suatu undang-undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk
oleh suatu lembaga legislatif.[8]

Di Indonesia istilah formell Gesetz atau formell wetten ini sayogjanya diartikan
dengan undang-undang saja tampa menambah kata formal dibelakangnya. Oleh karena itu
apabila formell gesetz diartikan Undang-Undang formal, hal itu tidak sesuai dengan
penyebutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas
Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat
langsung setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud dengan UU
dalam arti luas adalah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai
tingkat yang rendah yang isinya mengikat setiap penduduk.

Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum
yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif.
Naskah hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act, karena
dalam proses pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan
keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.
5. Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan Otonom

(Verordnung & Autonome Satzung)

Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung)


dan peraturan otonom (Autonome Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah
undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang.
Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan otonom
bersumber dari kewenangan atribusi.

Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pemberian kewenangan


membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet (Undang-Undang
dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga pemerintahan/Negara. Kewenangan
tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu
diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.

Contohnya :

1. Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) member kewenangan kepada
presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika
terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal
136 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk
Peraturan Daerah dengan sanksi pidana setinggi-tingginya 6 (enam) bulan
kurungan dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

Delegasi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pelimpahan


kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perunang-undangan yang lebih
rendah., baik pelimpahan dilakukan dengan tegas atau tindakan.

Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut tidak
diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara
dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.

Contohnya :

1. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, “Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.”
2. Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang merumuskan,” untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan
perundang-undangan, Kepada Daerah menetapkan Peraturan Daerah dan atau
Keputusan Daerah.
Pertemuan ke-7

Topik/ Sub Pokok Bahasan

Pembahasan tentang Azas-Azas berlakunya Hukum/uu, Azas Legalitas ( termasuk Azas


In Dubio Pro Rio), Azas lex Superiori Drogat Legi InPriori ( Anteriori), Azas Lex
Spesialis drogat legi generali, Azas hukum tidak dapat di ganggu gugat (Azas Certainly
of law), H ukum Harus mengikuti pembaharuan dan Pelestarian.

Azas-Azas berlakunya Hukum/uu

1.Asas Legalitas : Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een
daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga
pengertian, yaitu: Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas) aturan-aturan hukum pidana
tidak berlaku surut.

Asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa
salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu
dibebaskan dari dakwaan.

2. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori
Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen
dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah
hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara
Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-
undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam
hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 adalah ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

3. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti
dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist
yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat
Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup
disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

4. Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota
harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama
juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga
keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap dipertahanka

5. UU Tidak dapat diganggu gugat, artinya siapapun tidak boleh melakukan uji material
atas isi undang-undang, kecuali oleh Mahkamah Konstitusi. Asas ini berkaitan dengan hak
menguji perundang-undangan (teotsingsrecht). Sebagaimana diketahui hak menguji
perundang-undangan ada dua macam yakni:

a. Hak menguji secara materil (materiele toetsingsrecht) yaitu, menguji materi


atau isi perundang-undangan apakah bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
b. Hak menguji secara formal (formele toetsingsrecht) yaitu menguji apakah
semua formalitas atau tata cara pembentukannya sudah dipenuhi.

Materi atau isi undang-undang tidak dapat diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan
pembentukannya sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat
menguji dan mengadakan perubahan hanyalah badan pembentuk undang-undang itu sendiri
(Pemerintah dengan persetujuan DPR) atau badan yang berwenang lebih tinggi.

Kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia mempunyai hak menguji perundang-


undangan secara materil yang terbatas yakni terhadap perundang-undangan dibawah derajat
undang-undang (yang lebih rendah dari undang-undang).

5. H ukum Harus mengikuti pembaharuan dan Pelestarian

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan


hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum
yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-
undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-
undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai
sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi
pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti
peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah
pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah
kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang
hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti
hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru.
Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan
atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut
belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan
Pertemuan ke-8

Topik / Sub Pokok Bahasan :

Penjelasan tentang sistim norma hukum di Republik Indonesia,Pancasila pada UUD


NRI Tahun 1945 dan hubungan keduanya, Hubungan Pancasila/UUD NRI 1945 dengan
Tap MPR, hubungan N.H. Dasar dengan Norma perundang-undangan.

A.SISTEM NORMA HUKUM INDONESIA MENURUT UNDANG-

UNDANG DASAR 1945

Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya,


sertaditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, terbentuklah
pula sistemnorma hukum !egara Republik Indonesia" apabila dibandingkan dengan teori
jenjangnorma(Stufentheorie)dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum(die Theorie vo
mStufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans NaWiasky, maka dapat dilihat adanya
Cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum negara Republik
Indonesia"Dalam sistem norma hukum !egara Republik Indonesia maka norma-norma hukum
yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapislapis dan berjenjajenjang, sekaligus ber
kelompokkelompok, di mana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar  pada n
orma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar  pada normanorma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu no
rmadasar negara(Staatsfundamentalnorm)Republik Indonesia yaitu Pancasila"Di dalam suatu
norma hukum negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan norma(fundamental negara
yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-
turut diikuti oleh batang tubuh UUD 1945, petetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis
atau disebut juga KonVensi ketatanegaraan sebagai aturan Dasar negara peraturan Pokok
negara(Staatsgrundgesetz), Undang-Undang(formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan
dan Peraturan .tonom(Verodnung & Autonome Satznung)yang dimulai dariPeraturan
Pemerintah, keputusan Presiden, keputusan menteri, dan peratursan pelaksanaanserta
peraturan otonom lainnya (atu istilah yang dipakai oleh Undang-Undang no.10 thn 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah, peraturan Presidensampai
Peraturan Daerah, dan sebagainya).

B.HUBUNGAN ANTARA PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Pembahasan tentang hubungan antara norma (undamental


negara(Staatsfundamentalnorm)Pancasila dan aturan Dasar negara aturan Pokok
negara(Verfassungsnorm) Undang-Undang Dasar 1945, dapat dilakukan dengan melihat
danmen'ermati rumusan dalam Penjelasan uu 1945a ngka IIIyang menentukan sebagai
berikut :
“”Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
pembukaan di dalam pasal-pasalnya" Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasanakebatinan dari Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia" pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum
yang tertulis /Undang-Undang Dasar2 maupun hukum yang tidak tertulis"

Undang-undang dasar menciptakan pikiran ini didalam pasal-pasalnya"Dari


perumusan tersebut dapat dilihat bah&a kedudukan dari Pembukaan UUD194adalah lebih
utama daripada batang tubuh UUD 1945, oleh karena UUD 1945 itumengandung pokok-
pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut mencerminkan pancasila yang menciptakan pasal-
pasal dalam batang tubuh UUD 1945,dengan demikian Pancasila merupakan norma
fundamental negara(Staatsfundamentalnorm) yang menjadi dasar sumber aturan dasar negara
aturan Pokok negara(Verfassungnorm) yaitu batang tubuh UUD 1945 "Selain daripada itu
Penjelasan UUD 1945 juga menyebutkan istilah cita-cita hukum(Rechtsidee),Istilah cita-cita
hukum(Rechtsidee) di dalam Penjelasan UUD 1945 ini menurut A. Hamidi S. Attamimi
dikatakan kurang tepat oleh karena istilah CITA-CITA itu,   berarti keinginan, kehendak, atau
suatu harapan, sedangkan istilah Rechtsidee"  sendiri lebih tepat kalau diterjemahkan
denganCita Hukum.
Selanjutnya dikemukakan bahwa kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannyasebagai cita
hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
positif merupakan’’Bintang pemandu”yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam
semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan,dan secara
negatifemerupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan
tersebut" terhadap isi peraturan perundang-undangan sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakanasas hukum umum"
Dengan uraian tersebut jelaslah bah&a Pancasila sebagai norma fundamental
negara(Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai 8ita hukum merupakan sumber dan
dasar serta pedoman bagi batang tubuh UUD 1945 sebagai aturan Dasar negara aturan Pokok
negara(Verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

C. HUBUNGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN KETETAPAN MPR

a. Sebelum Perubahan UUD 1945

Apabila dilihat dari teori jenjang norma hukum dari Hans Hawiasky, makakelompok
norma dari Staatsgrundgesetz di negara Republik Indonesia terdiri dari
VerfassungsnormUUD 1945 yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 ,ketetapan MPR,
serta Hukum Dasar tidak tertulis ( konvensi ketatanegaraan).

Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara Aturan Pokok Negara
yaitu dalamVerfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR merupakannorma-norma
hukum yang masih bersi aturan umum dan garis besar serta masihmerupakan norma tunggal,
jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa, Secara hierarkis
kedudukanVerfassungsnormUUD 1945 lebih tinggi. daripada ketetapan MPR, Walaupun
keduanya dibentuk oleh lembaga tertinggi di negara Republik Indonesia
Selama ini sebelum adanya perubahan UUD 1945masih banyak orang yangmempersoalkan
mengapap ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebihrendah daripada Undang-
Undang Dasar 1945, padahal keduanya dibentuk olehsebuah lembaga yang sama yaitu
Majelis PermusyaWaratan Rakyat" Pertanyaan initimbul karena selama ini banyak orang
yang beranggapan bahWa ketiga Fungsi dari Majelis Permusywaratan Rakyat itu mempunyai
bobot yang sama, namun demikian,apabila diperhatikan secara saksama, ketiga fungsi dari
majelis Permusya&aratanRakyat itu bisa dibedakan dalam dua kualitas yaitu

a. fungsi I : Menetapkan Undang-Undang Dasar


b. fungsi II : a. Menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara b.memilih
Presiden dan wakil Presiden

b.Sesudah Perubahan UUD 1945

Sesudah perubahan UUD 1945, terdpat perubahan yang mendasar tentangfungsi Majelis
Permusya&aratan Rakyat. berdasarkan Perubahan UUD 1945 Majelis PermusyaWaratan
Rakyat adalah :

a. Fungsi I : Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar


b. Fungsi II : Melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden
c. ungsi III : a . memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD. fungsi III : b memilih wakil Presiden /dalam hal terjadi
kekosongan. fungsi III :memilih Presiden dan wakil Presiden /dalam hal terjadi
kekosongan2.

D.HUBUNGAN PANCASILA: UUD 1945: DAN KETETAPAN MPR

Dilihat dari sisem norma hukum negara Republik Indonesia, maka staatsfundamentalnorm
Pancasila verffassungsnorm UUD 1945,Grundgesetznormketetapan MPR, danGesetznorm
Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistemnorma hukum !egara Republik
Indonesia"Staatsfundamentalnorm PanCasila yangmerupakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-
pasal dalamVerfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan
aturan-aturan dalamGrundgesetznorm Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber
dan dasar bagi pembentukanGesetsznorm Undang-Undang" Oleh karena Grundgesetznorm
Ketetapan MPR itu jugamerupakan Aturan Dasar NegaraATuran Pokok negara yang
berada diatas Gesetsznorm Undang-Undang, maka Grundgesetznorm ketetapan MPR ini
juga merupakan sumber bagi pembentukan norma-norma hukum dalam GesetBnorm
Undang-Undang yang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara
Republik Indonesia.

E.HUBUNGAN NORMA HUKUM DASAR DAN NORMA PERUNDANG-


UNDANGAN
Hubungan norma hukum dasar (Verffassungsnorm) dan norma perundang-undangan
(gesetBgebungsnorm) dapat dipahami dari rumusan penjelasan UUD 1945, khususnya paada
angka Iv yang menentukan sebagai berikut :

‘’Maka telah Cukup jikalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok,hanya
memuat garis-garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan
sosial".Terutama bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis
ituhanya memuat aturan-aturan pokok. Sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan
aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah Caranya
membuat,merubah dan menCabut"

Apabila memba'a uraian tersebut, dapat dilihat bah&a berbagai ketentuan dalam
aturan pokok negara yang ter'antum dalam UUD 1945 dapat dikembangluaskan atau diatur
lebihlanjut dalam undang-undang yang lebih mudah Caranya membuat, mengubah dan
mencabut .Berdasarkan hal itu maka suatu undang-undang dapat melaksanakan atau
mengatur lebihlanjut hal-hal yang ditentukan sec'ara tegas oleh UUD 1945 maupun hal-hal
yang se'ara tidak tegas menyebutkannya.Selain itu, undang-undang adalah peraturan
perundang-undanganyang tertinggi di negara republik indonesia, sehingga undang-undang
juga merupakansumber dan dasar bagi peraturan perundang-undangan lain yang berada di
bawahnya, yangmerupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom.

Apabila dilihat dari siFat norma hukumnya, dapat diketahui bahwa norma-norma
hukumdalam suatu hukum dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal, masih mengatur
hal-hal umum dan secara garis besar atau masih merupakan norma-norma hukum yang
pokok- pokok saja, sehingga norma-norma dalam suatu hukum dasar itu belum dapat
langsung berlaku mengikat umum,hal tersebut beda dengan norma-norma hukum dalam
suatu peraturan perundang-undangan" Dalam peraturan perundang-undangan, norma-norma
hukumitu sudah lebih konkret, lebih jelas dan sudah dapat langsung mengikat umum, bahkan
dalamsuatu peraturan perundang-undangan sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi
pemaksa.

Setelah berlakunya Perubahan UUD 1945 terdapat pendapat bahwa Penjelasan


UUD1945 sudah tidak berlaku lagi.Pendapat tersebut biasanya dihubungkan dengan Pasal II
aturan Peralihan UUD 1945 Perubahan, yang menyatakan bahwa, “dengan diterapkannya
perubahan undang-undang dasar ini, undang-undang dasar negara Republik indonesiaTahun
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”

Pendapat ini sc'ara kajian Perundang-undangan adalah tidak tepat, oleh karena
ketentuan dalam Pasal II aturan tambahan tersebuttidak menyatakan pencabutan secara tegas
terhadap Penjelasan UUD 1945, selain ituPenjelasan adalah interpretasi yang merupakan satu
kesatuan dengan ketentuan yangdijelaskan dan bukan norma yang berbeda. Berdasarkan
uraian tersebut dapat dilihat bah&a, adar supaya norma-norma hukum yangterdapat dalam
Hukum Dasar(Verfassungsnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya,maka norma-
norma hukum itu harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam PeraturanPerundang-
undangan(Gesetzgebungsnorm) oleh karena norma hukumnya bersiat umum dandapat
mengikat seluruh Narga negara.
Pertemuan ke 9

Topik/ Sub pokok Bahasan:

Pembahasan tentang herarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada masa


penjajahan Belanda,masa penjajahan Jepang,masa Kemerdekaan sampai dengan
tahun 1966(Orde Lama), masa tahun 1966 sampai tahun 1998(Orde Baru)

Hirarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
UU 12/2011 di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.Peraturan Perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan

1. Peraturan perundang-undangan pada masa Kolonial Belanda

Pada masa VOC peraturan yang tertinggi adalah perintah dari Raja Belanda, kemudian
yang ada dibawahnya adalah “Heeren Zewentie” yaitu peraturan yang dibuat di plakat-plakat
buatan VOC untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu penanganan secara khusus.
Kemudian Heeren Zewentie tersebut dikodifikasai dan diberi nama menjadi “Statuta van
Batavia” Penjajahan pada masa Belanda dapat kita bedakan menjadi beberapa masa:
1). Masa Besluiten Regerings (1814-1855)

Berdasarkan pasal 36 Netherland Gronwet 1814, menytakan bahwa “Raja yang berdaulat
punya kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di daerah-daerah
lain....”. Dalam melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang
biasa disebut dengan “Algemene Verordering”(peraturan pusat) atau “Koninklijk
Besluit”(besluit raja) yang berlaku dibidang eksekutif dan “Aglemene Maatregel van
Bestuur”(AmvB).Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838, Komisi Undang-
undang untuk Hindia Belanda membuat peraturan yang terdiri dari:

a. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi


pengadilan;
b. Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan umum tentang
perundang-undangan;
c. Burgerlijke Wetboek (BW) Kitab Undang-undang Hukum Sipil;
d. Wetboek van Kophandel (WvK) KUHD
e. Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) peraturan tentang
Acara Perdata.

2). Masa Regerings Reglement (1855-1926)

Pada masa ini terjadi perubahan Grondwet di negeri Belanda, dari monarki konstitusional
menjadi monarki konstusional parlemen. Dari perubahan tersebut membuat kekuasaan raja
atas daerah jajahan menadi sedikit terkurangi. Bentuk undang-undang (wet) pada waktu ini
dinamakan Regerings Reglement (RR) diundangkan mulai tanggal 1 Jannuari 1854.

3). Masa Indische Staatsregeling 1926-1942

Pada tahun 1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk ikut serta dalam
pembuatan undang-undang. Pada tahun 1922 terjadi perubahan grondwet di negeri Belanda.
Grondwet tersebut kemudian diberi nama “Indische Staatregeling” yang memberi kekuasaan
kepada daerah jajahannya untuk membuat peraturan sendiri.

2. Pada masa penjajahan jepang

Jepang adalah sebuah negara yang terletak di Asia Timur. Tiga setengah tahun menjajah
Indonesia merupakan hal yang tak terlupakan bagi Indonesia, karena selama masa
penjajahannya rakyat Indonesia merasa teramat sengsara. Melakukan kerja paksa atau biasa
disebut romusha merupakan hal yang dapat kita lihat di seluruh penjuru negeri. Dengan
sistem paksanya, kediktatorannya membuat Indonesia terkekang bak kalung rantai yang
menjerat leher. Tetapi, masa-masa tersebut adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak bisa
diubah. Kini, sebagai penerus bangsa, kita harus mengambil hikmah dari salah satu masa
kelam Indonesia tersebut dan mengolahnya menjadi sebuah kekuatan demi memajukan
bangsa di masa kini dan nanti.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1940-an, ketika berkecamuk Perang Dunia II,
negara Jepang adalah salah satu peserta yang cukup diperhitungkan di dunia terutama setelah
kemenangannya melawan Rusia. Demi memperoleh kemenangan dalam perang akbar ini,
Jepang berusaha mengumpulkan sumber daya manusia dan sumber daya bahan baku perang
dengan cara menginvasi dan ekspansi. Salah satu negara yang berhasil diduduki Jepang pada
masa tersebut adalah Indonesia. Dengan perang sebagai latar belakangnya, Jepang yang
dituntut untuk mengumpulkan sumber daya dalam waktu sesingkat mungkin dan sebanyak
mungkin, memberlakukan sistem “militerisme” dalam masa pendudukannya di Indonesia.
Hal ini bisa terlihat dari pemerintahan yang dipimpin oleh seorang gunseikanbu yang
memerintah seperti dalam dunia tentara dimana bila gunseikanbu memutuskan “a” maka
sampai rakyat jelata di tingkat RT pun harus mengikuti keputusan “a”. Kebijakan-kebijakan
gunseikanbu ini termaktub dalam undang-undang yang disebut Osamu Shirei

Demi meraih tujuannya dan dalam proses pengejawantahan Osamu Shirei, Jepang
melakukan berbagai propaganda kepada rakyat, antara lain melalui gerakan 3A, Kebijakan
penghapusan Bahasa belanda dan pengembangan Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Selain itu,
untuk menyiasati pengendalian pemerintahan di nusantara yang luas digunakanlah siasat
indirect ruler system, dimana Jepang mempergunakan orang-orang yang dulunya pangreh
praja pada masa Belanda sebagai kepanjangan tangan. Jepang pun menerapkan sistem tonari
gumi untuk memobilisasi masa.

Bila kita menengok sedikit lebih ke belakang, maka akan kita temukan bahwa pada masa
penjajahan Belanda sistem birokrasi dibuat seefisien mungkin,disediakan sekolah bagi
pribumi, lembaga hukum khusus bagi pribumi, dan tersedianya Voolkstrad (lembaga
perwakilan bagi pribumi). Semua sistem ini mengarah pada pembagian penduduk menjadi 3
strata : warga Eropa, warga Timur Tengah, dan pribumi. Saat Jepang datang, Semua
perbedaan strata ini langsung dihapuskan. Pemerintah Jepang juga merubah sistem
perundang-undangan dan peradilan.

Perubahan dalam perundang-undangan adalah:

1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk seluruh warga. Hal ini memperlihatkan kalau Jepang tidak
meninggikan orang-orang Eropa maupun Timur Tengah2) Beberapa peraturan militer
disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Hal ini terkait dengan
mendesaknya kebutuhan untuk memperoleh pasokan sumber daya demi peperangan

Sementara perubahan dalam peradilan adalah :

1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan. Jepang menyamakan peradilan bagi


semua warga tanpa membedakan apakah dia orang pribumi ataukah orang kulit putih.

2) Unifikasi kejaksaan. Atau dalam bahasa lain penyatuan kejaksaan. Kejaksaan yang
pada masa Belanda dipisahkan antara kejaksaan bagi orang Eropa dangan kejaksaan pribumi,
maka pada masa Jepang dijadikan satu dan disamaratakan.

3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan


4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum

5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan


orang-orang pribumi. Hal ini terkait dengan kurangnya personil Jepang jika dibandingkan
dengan nusantara yang sangat luas, sehingga orang-orang Jepang hanya memegang pucuk-
pucuk kekuasaan sedang yang dibawahnya diisi oleh orang-orang pribumi.

3. Peraturan Perundang-undangan pada Masa Kemerdekaan dan Orde Lama


sebelum Dekrit 5 Juli 1959Masa sebelum 5 juli dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a) Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS (1949) terdiri atas:

1. Undang-undang (Federal) landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 127 s/d Pasal
138;

2. Undang-undang Darurat, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 139 s/d Pasal
140;

3. Peraturan Pemerintah, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 141.

Pada masa KRIS 1949 ini telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, oleh
Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta, yang merupakan bagian dari Republik
Indonesia Serikat. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah
Pusat adalah: Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
Peraturan Pemerintah; dan Peraturan Menteri. Di samping itu dikeluarkan pula Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan,
Mengumumkan dan Mulai Berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah,
Sebagai Undang-undang Federal.

b) Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) terdiri atas:

1. Undang-undang, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 89 s/d Pasal 95;

2. Undang-undang Darurat, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 96 dan Pasal 97;

3. Peraturan Pemerintah, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 98.

4.Peraturan Perundang-Undangan pada masa Orde Lama setelah Dekrit 5 Juli


1959

Dalam Surat Presidenkepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No. 2262/HK/59 tanggal
20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No.
3639/HK/59 tanggal 26 November 1959, disebutkan “bentuk-bentuk” Peraturan-peraturan
Negara ialah:

1. Undang-undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Penetapan Presiden;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden;
7. Keputusan Presiden, dan
8. Peraturan/Keputusan Menteri.

Dalam Surat Presiden No. 2262/HK/59 dijelaskansebagai berikut:

Penetapan Presiden (Penpres) adalah untuk melaksanakan Dekrit 5Juli 1959 tentang
“Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Peraturan Presiden (Perpres) adalah
Peraturan yang didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan untukmelaksanakan Penpres.
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden kemudian diralat dan
dihapuskan oleh Surat Presiden No.3639/HK/59 untuk mencegah supaya tidak ada “Peraturan
Pemerintah” yang berbeda jenis, maka “Peraturan Pemerintah” jenis kedua ini dihapus dan
diberi bentuk “Keputusan Presiden”. KeputusanPresiden (Keppres) berisi tindakan/perbuatan
tertentu Presiden yang bersifat penetapan (beschikking) misalnya dalam pengangkatan
pejabat tertentu. Peraturan dan Keputusan Menteri, yang dibuat di Kementerian-kementerian
Negara/Departemen-departemen Pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal
(regeling) dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan (beschikking).

6. Peraturan perundang undangan pada masa orde baru

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, maka pada tahun 1966, MPRS
mengeluarkan TAPMPRS No. XX/MPRS/1966. TAP MPRS ini dimaksudkan untuk
membenahi dan mendudukkan secara konstitusional jenis dan bentuk peraturan perundang-
undangan yang banyak “menyimpang” dari UUD 1945. Bentuk (yang dimaksud adalah jenis)
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II TAP MPRS
tersebut adalah sebagai berikut:

1). Undang-Undang Dasar 1945;


2). Ketetapan MPR;
3). Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4). Peraturan Pemerintah;
5). Keputusan Presiden;
6). Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

Peraturan Menteri - Menteri; dan lain-lain-nya.

TAP S ini selama kurang lebih 30 tahun menjadi hukum positif dan menjadi sumber hukum
dari jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan. Banyak sekali kekurangan atau lobang-
lobang yang ada dalam TAP MPRS tersebut yang bersifat konstroversial yang membuat para
ahli hukum tata negara/administrasi negara dan praktisi hukum yang berkecimpung dalam
perundang-undangan, banyak mengeluh. Salah satu contoh adalah tidak diaturnya secara
tegas jenis peraturan tingkat daerah khususnya Peraturan Daerah (Perda), sehingga berkesan
kurang dihormatinya Perda (dan Kepda yang bersifat pengaturan (regeling)) sebagai bagian
dari sistem peraturan perundang-undangan nasional. TAP MPRS tersebut memang
diperintahkan oleh TAP MPR No. V/MPR/1973 joTAP MPR No. IX/MPR/1978 untuk
disepurnakan. Namun rupa-rupanya Pemerintah Orde Baru (dan MPR) tidak bersedia untuk
menyempurnakannya, bahkan “mensakralkan” UUD 1945 untuk tidak diubah yang
berpengaruh kepada jenis peraturan perundang-undangan di bawahnya (termasuk TAP MPR).
Dalam Sidang Umum MPR tahun 1983, 1988, 1993, 1998, Sidang Istimewa MPR 1998, dan
Sidang Umum MPR tahun 1999, TAP MPRS tersebut juga tidak disinggung-singgung
penyempurnaannya.

7. Peraturan Perundang-Undangan pada Masa Reformasi

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan berhentinya Presiden
Soeharto tanggal 21 Juli 1998 yang menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Habibie,
kemudian dilanjutkan dengan Sidang Istimewa (SI) MPR pada tahun yang sama, dan
dilanjutkan dengan Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999 (hasil Pemilu 1999), kemudian
dilanjutkan dengan Sidang Tahunan MPR tahun 2000, barulah MPR menetapkan TAP MPR
No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000
adalah:

1. UUD-RI;
2. Ketetapan(TAP) MPR;
3. Undang-Undang(UU);
4. PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. PeraturanPemerintah (PP);
6. KeputusanPresiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah(Perda).

Karena adanya dominasi dan kekuatan dari MPR yang dirasa terlalu besar, maka
dikeluarkanlah UU No 10/2004 yang menentukan tata peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:

1). UUD 1945;


2). UU dan peraturan pengganti UU (perpu);
3). Peraturan pemerintah (PP);
4). Peraturan Presiden (Perpres);
5). Peraturan Presiden (Perda).
DAFTAR PUSTAKA

Sumber : topik 5

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta, Kanisius, 2010),


hal 41
Ibid, hal 42
http://bismillahirrahmanirrahim1305.blogspot.com/2015/04/norma-hukum-dalam-
negara.html

https://sahabatgembel.wordpress.com/2015/05/31/materi-diskusi-ilmu-peraturan-perundang-
undanga/

Sumber : topik 6

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010. Ilmu Perundang-Undangan.Yogyakarta: Kanisius.

Jimly Asshiddiqie, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

http://bismillahirrahmanirrahim1305.blogspot.com/2015/04/norma-hukum-dalam-
negara.html

Sumber : topik 7

https://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt581212a18dce4/jika-hakim-ragu--
asas-iin-dubio-pro-reo-i-jawabannya

http://ahlilirfan.blogspot.com/2014/10/asas-asas-berlakunya-undang-undang.html

http://ekothetrackerz.blogspot.com/2012/02/asas-perundang-undangan.html

Sumber : topik 8

http://www.academia.edu/29047500/Bahrul_ulum._ilmu_perundang_undangan

Sumbe : topik 9

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4012/hierarki-peraturan-perundang-undangan-
di-indonesia

http://storyofwc.blogspot.com/2016/04/makalah-sejarah-peraturan-perundang.html

https://mandawibisono.wordpress.com/2011/10/04/sistem-hukum-pada-masa-pendudukan-
jepang/

http://jajat-wae.blogspot.com/2012/12/ilmu-perundang-undangan.html

Anda mungkin juga menyukai