Anda di halaman 1dari 53

Hukum Telematika 01

Pengertian dan Ruang Lingkup 

Hukum Telematika

Hukum Telematika (Cyber Law) sebagai kajian ilmu relatif belumlah lama muncul sebagai rezim hukum
baru. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat maupun peradaban
manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa
batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan
melawan hukum.

A. Pengertian Hukum Telematika


Cyber law adalah rezim hukum baru yang di dalamnya memiliki berbagai aspek hukum yang
sifatnya multidisiplin. Dalam modul ini cyberlaw juga diartikan sebagai hukum telekomunikasi
multimedia dan informatika (telematika). Pengertian ini menunjukkan sifat konvergentif dari
communication, computing, content, dan comunity sehingga cyber law membahas dari teknologi
dan informasi secara konvergensi. 
Definisi Hukum Telematika, atau yang dikenal dengan cyber law, adalah keseluruhan asas-asas,
norma atau kaidah lembaga-lembaga, institusi-institusi dan proses yang mengatur kegiatan virtual
yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (disingkat menjadi
TIK).
Perbuatan-perbuatan yang diatur seringkali bersifat tanpa batas (borderless) melintas batas-batas
teritorial negara, berlangsung demikian cepat sehingga seringkali menembus batas ruang dan
waktu. Perbuatan hukum ini meskipun memiliki karakter virtual tetapi berakibat sangat nyata. Saat
ini hampir seluruh umat manusia tidak dapat melepaskan diri dari unsur cyber law karena
penggunaan TIK telah memasuki hampir seluruh segmen kehidupan dari mulai penggunaan seluler,
pemanfaatan internet, penggunaan transaksi perbankan secara elektronik dan lain-lain.
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya
meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan
memasuki dunia cyber atau maya. Di negara yang telah maju dan negara berkembang dalam
penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka,
perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek
hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang
mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan
hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk
mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan
objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal
yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata
meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus
dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam
kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang
kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang dibuat di atas kertas.
Internet adalah milik seluruh penghuni dunia. Setiap orang atau lembaga dengan bebas dapat
menyambungkan komputernya di internet. Setiap pengguna internet semakin mendapat
kemudahan dalam berkomunikasi, baik itu hanya sekedar berkirim pesan, berdiskusi bahkan
melakukan transaksi. Internet secara cepat dan tidak disadari telah mempertemukan dan
menyatukan warga dunia. Dengan demikian batas negara di internet menjadi semakin memudar.
Samarnya batas-batas negara dalam dunia internet disebabkan oleh karena internet dapat diakses
oleh setiap penggunanya di seluruh dunia, dan para pengguna internet di seluruh dunia dapat
saling berhubungan dalam hitungan waktu sangat tepat, pada saat mereka mengakses ke dalam
jaringan (real time).
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa
kejahatan ini merupakan kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak
menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan
dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang
informasi. Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian
data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Sumber-sumber hukum telematika dapat dibagi menjadi sumber hukum yang sifatnya internasional
yang terdiri dari: 
1. konvensi-konvensi internasional publik dan perdata,
2. kebiasaan-kebiasaan internasional, policy international di bidang cyber law misalnya Uniform
Domain Name Resolution Dispute Policy (UDRP).
Ketentuan-ketentuan tentang cyber law yang tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Misal, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) khussusnya dalam
pembuktian. Dalam pembuktian undang-undang tindak pidana korupsi secara explicit diakui
keberadaan alat bukti virtual.
B. PERLINDUNGAN RAHASIA DATA PRIBADI DAN PRIVASI DI INTERNET
Salah satu faktor penting dalam transaksi dan kegiatan melalui fasilitas teknologi informasi adalah
perlindungan data-data pribadi dan rahasia. Data-data pribadi meliputi: data-data menyangkut hal-
hal yang sangat privat seperti data rekam medis, data keluarga, serta informasi yang sifatnya sangat
pribadi lainnya seperti nama gadis ibu kandung, data transaksi dan pembayaran kartu kredit, dan
lain-lain yang berpotensi digunakan oleh orang lain untuk tindakan kejahatan dan mencari
keuntungan secara ilegal. Sebagai contoh data yang menyangkut berapa saldo yang masih tersedia
sebagai fasilitas pemberian plafon dalam kartu kredit dapat diketahui apabila pihak yang
menghubungi card center penyelenggara kartu kredit dapat mengungkapkan data-data tersebut.
Maraknya penyalahgunaan kartu kredit melalui internet melahirkan persoalan baru, apakah
nomor-nomor kartu kredit harus secara eksplisit dikatakan sebagai bagian dari rahasia bank. Saat
ini terdapat fenomena yang sangat menggusarkan penyelenggara dan nasabah kartu kredit, di
mana alat-alat penyadap data kartu kredit telah begitu mudah didapatkan.
Mengenai persoalan perlindungan data yang bersifat rahasia juga telah di atur dalam Undang-
Undang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Indonesia yakni pada Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008.
Diskusikan Pasal berapakah dalam undang-undang ITE Indonesia dalam melindungi data yang
bersifat rahasia. Bagaimana korelasinya dengan pelanggaran kerahasiaan bank jika ada pelaku yang
melakukan pelanggaran. (lakukan di forum diskusi)
C. KEAMANAN
Masalah keamanan perlu memperoleh perhatian secara khusus, karena tingkat keamanan atas
transaksi transfer dana melalui internet merupakan faktor yang sangat menentukan. Dewasa ini
belum terdapat aturan yang menentukan standardisasi instrumen dan perangkat-perangkat yang
harus digunakan dalam suatu internet banking. Oleh karena itu, dalam UU Transfer Dana yang akan
datang harus secara eksplisit ditegaskan bahwa BI memiliki kewenangan untuk menetapkan
standar instrumen, perangkat-perangkat, sistem dan segala sesuatu yang terkait dengan sarana dan
prasarana yang digunakan oleh suatu bank dalam kegiatan transfer dana.
Dalam kaitan dengan pengamanan (Bank Indonesia) BI dapat bekerja sama dengan Indonesia
Computer Emergency Response Team (ID-CERT) yang berfungsi sebagai contact point tentang
masalah security, menyebarkan informasi masalah security, tempat pelaporan insiden yang dapat
ditindaklanjuti melalui pembuatan data statistik kasus, dan sebagai motor dalam sosialisasi security
termasuk pemberian security advisory dan layanan informasi di bidang keamanan lainnya.
D. PENYELESAIAN SENGKETA
Di Indonesia Penyelesaian kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan telematika dapat dilakukan
melalui litigasi dan nonlitigasi. Pada proses litigasi khususnya pada kasus pidana akan diproses
melalui sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia.
Kedudukan Hukum Telematika Dalam Ilmu Hukum
A. Hubungan Hukum Telematika dengan Hukum Tata Negara
Hukum telematika memiliki keterkaitan dengan ketatanegaraan. Bidang-bidang yang terkait
dengan telematika antara lain adalah penyelenggaraan pemilihan presiden, pemilihan kepala
daerah, pemilihan umum serta kegiatan-kegiatan lain seperti rapat-rapat penyusunan undang-
undang yang melakukan sarana teknologi informasi. Di sisi lain kegiatan-kegiatan
ketatanegaraan juga memerlukan saran teknologi informasi misalnya terkait dengan
pendokumentasian dan pengalihwujudan data-data dari dokumen-dokumen yang sifatnya di
atas kertas (paper based) menjadi dokumen elektronik.
Dapat kita sadari bahwa terdapat kesenjangan antara hukum dan teknologi. Hukum selalu
tertinggal oleh dinamika teknologi. Perkembangan hukum cenderung memakan waktu yang
lama, hal ini mungkin karena sifatnya yang kaku dan terlalu birokratis. Sementara, dinamika
teknologi berkembang begitu cepat tanpa batas-batas kaku yang birokratis seperti hukum.
Ketimpangan ini sering menimbulkan ruang-ruang kosong dalam hukum yang dapat
menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.
B. Hubungan Hukum Telematika dengan Hukum Administrasi Negara.
Hukum telematika memiliki keterkaitannya dengan Hukum Administrasi Negara. Mengenai
Hukum Administrasi Negara para sarjana hukum di negeri Belanda selalu berpegang pada
paham Thorbecke, beliau dikenal sebagai Bapak Sistematik Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara.
Beberapa bidang yang terkait dengan telematika antara lain adalah penyelenggaraan pelayanan
hukum yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik
misalnya e-KTP, e-government, e-passport dan pengesahan badan hukum. Dalam proses
pemberian pengesahan badan hukum (PT) pada saat ini dengan berkembangnya teknologi
informasi pendaftaran dilakukan secara on-line oleh notaris yang berada di seluruh tanah air.
Notaris cukup dengan mengakses melalui situs yang sudah disediakan. 
C. Hubungan Hukum Telematika dengan Hukum Perikatan.
Pada era teknologi informasi orang lebih memilih bertransaksi bisnis melalui media elektronik,
karena lebih efektif dan efisien. Transaksi yang dilakukan melalui media elektronik merupakan
bentuk kegiatan yang berhubungan dengan telematika, yang menjadi perhatian adalah
perjanjian secara elektronik atau electronic contract. Perjanjian di era digital akan
menggunakan data digital sebagi pengganti kertas. Penggunaan data digital sebagai media
dalam melakukan perjanjian akan memberikan efisiensi yang sangat besar terutama bagi
perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnisnya di internet.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja perjanjian jual beli yang dilakukan melalui media
elektronik internet tidak lain adalah merupakan perluasan dari konsep perjanjian jual beli yang
ada dalam KUH Perdata. Perjanjian jual beli melalui internet ini memiliki dasar hukum
perdagangan konvensional atau jual beli dalam hukum perdata. Perbedaannya adalah bahwa
perjanjian melalui internet ini bersifat khusus karena terdapat unsur peranan yang sangat
dominan dari media dan alat-alat elektronik
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu
suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar
mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu
prestasi. 
Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum. Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi
(personal law.
Seiring dengan pertumbuhan dunia usaha dan investasi dan keterbukaan informasi publik,
untuk mewujudkan pelayanan yang transparan dan akuntabel. Pemerintah memiliki beberapa
pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan dunia usaha
dan investasi. Pelayanan tersebut disajikan dengan sistem teknologi informasi sehingga
memudahkan bagi seluruh masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Sistem yang diterapkan oleh pemerintah dalam memberikan suatu surat keputusan yang
bersifat elektronik telah membuka pintu birokrasi yang awalnya lambat menjadi lebih cepat.
Karena dalam teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi semuanya dilakukan dengan
digitalisasi.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja mengenai kapan terjadinya kesepakatan menganut teori
penerimaan di mana suatu perjanjian telah lahir ketika pihak yang melakukan penawaran
menerima surat jawaban berupa penerimaan terhadap penawaran tersebut.

Urusan transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 5 s/d 22 UU ITE merupakan inti dari
masalah keperdataan dan bisnis. Urusan ini dalam peraturan pelaksanaan dan peraturan
teknisnya harus jelas dan detail, khususnya untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat, khususnya konsumen. Karena peluang pelanggaran melalui tele-marketing,
seperlindungan hukum terhadap konsumen diatur dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini diharapkan dapat menjamin kepastian
hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi e-commerce.

Hukum Telematika 02

I. PERANAN DAN DAMPAK PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI.


Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat
menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan
menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk
dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat
ini dan masa depan.

Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat
informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer,
pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.

Dampak positif pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi antara lain:

1. Peranan TIK dalam dunia pendidikan antara lain:


a. Berbagi hasil-hasil penelitian yang dimuat dalam internet akan mudah dimanfaatkan orang lain disegala
penjuru dunia dengan cepat;

b. Konsultasi dengan para ahli dibidangnya dapat dilakukan dengan mudah walaupun ahli tersebut berada
ditempat yang sangat jauh;

c. Perpustakaan online yaitu perpustakaan dalam bentuk digital;

d. Diskusi online yaitu diskusi yang dilakukan melalui internet;

e. Kelas online, aplikasi kelas online dapat digunakan untuk lembaga-lembaga pendidikan jarak jauh, seperti
universitas dan sekolah-sekolah terbuka.

2. Peranan TIK dalam bidang usaha/bisnis ANTARA LAIN:


Teknologi Informasi dan Komunikasi sangat membantu kelancaran komunikasi dalam bisnis. Seperti
misalnya perusahaan jasa kurir yang memanfaatkan sistem informasi untuk mengawasi sampai dimana
barang yang dikirimkan melalui bantuan internet. Seperti juga sms banking, internet banking, transfer dana
maupun e-commerce pada umumnya.

3. Peranan TIK dalam bidang pemerintahan (e-government).


Tujuan e-government adalah untuk meningkatkan hubungan pemerintah dengan pihak-pihak lain termsuk
dengan masyarakat. Bentuk-bentuk hubungan pemerintahan dalam pemanfaatan TIK antara lain:
a) Government to Citizen (G2C), adalah pemanfaatan TIK untuk melayani kebutuhan masyarakat seperti
KTP, SIM dan yang lainnya.
b) Government to bussiness (G2B), adalah pemanfaatan TIK untuk melayani kebutuhan dunia usaha seperti
izin usaha.
c) Government to government (G2), adalah pemanfaatan TIK untuk melayani kebutuhan lembaga
pemerintah lain, antar departemen, pemerintah diatas atau dibawahnya dan sebagainya.

4. Peranan TIK dalam bidang social.


Untuk memantau kondisi sosial masyarakat, pemerintah memanfaatkan TIK dengan programnya yang
disebut ICT4PR (Information and Communication Technology for Proverty Reduction). ICT4PR membangun
pusat-pusat teknologi informasi dan komunikasi yang disebut Telecentre. Telecentre adalah sejenis layanan
yang memberikan kontribusi kepada pembangunan dengan cara menyediakan akses informasi, komunikasi
dan teknologi pendidikan dan ketrampilan ke seluruh penduduk, menciptakan kompetensi masyarakat yang
mandiri dalam ekonomi informasi dan membangun pasar sertapeluang untuk sektor swasta. 

Pada hakikatnya teknologi diciptakan, sejak dulu hingga sekarang ditujukan untuk membantu dan
memberikan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada saat manusia bekerja, berkomunikasi,
bahkan untuk mengatasi berbagai persoalan pelik yang timbul di masyarakat. TIK tidak hanya membantu
dan mempermudah manusia tetapi juga menawarkan cara-cara baru di dalam melakukan aktivitas-aktivitas
tersebut sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat yang sudah tertanam sebelumnya.

II. DAMPAK PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI.


Beberapa dampak negatif penggunaan teknologi informasi dan komunikasi antara lain:
1. Pornografi
Berkembangnya situs pornografi telah meracuni kehidupan masyarakat terutama generasi muda. Anggapan
yang mengatakan bahwa internet sebagai salah satu produk teknologi identik dengan pornografi, memang
tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela.
Untuk mengantisipasi hal ini, para produsen browser melengkapi program mereka dengan kemampuan
untuk memilih jenis home-page yang dapat di-akses.Di internet terdapat gambar-gambar pornografi dan
kekerasan yang bisa mengakibatkan dorongan kepada seseorang untuk bertindak criminal. Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan
di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.

Saat ini pornografi diatur dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 yang memiliki tujuan Undang-
undang ini bertujuan:

a) Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat
kemanusiaan;
b) Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan
masyarakat Indonesia yang majemuk;
c) Memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d) Memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak
dan perempuan; dan
e) Mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
konten pornografi juga dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

2. Violence and Gore


Kekejaman dan kesadisan juga banyak ditampilkan. Karena segi bisnis dan isi pada dunia internet tidak
terbatas, maka para pemilik situs menggunakan segala macam cara agar dapat menjual situs mereka. Salah
satunya dengan menampilkan hal-hal yang bersifat tabu.

3. Penipuan (phissing)
Salah satu bentuk penipuan dengan menggunakan media elektronik untuk mendapatkan informasi sensitif,
seperti password dan informasi kartu kredit, dengan menyamar sebagai orang atau bisnis yang terpercaya
dalam sebuah komunikasi elektronik resmi. Cara yang terbaik adalah tidak mengindahkan hal ini atau
mengkonfirmasi informasi yang Anda dapatkan pada penyedia informasi tersebut.

4. Carding
Karena sifatnya yang real time (langsung), cara belanja dengan menggunakan Kartu kredit adalah cara yang
paling banyak digunakan dalam dunia internet. Para penjahat internet pun paling banyak melakukan
kejahatan dalam bidang ini. Dengan sifat yang terbuka, para penjahat mampu mendeteksi adanya transaksi
(yang menggunakan Kartu Kredit) on-line dan mencatat kode Kartu yang digunakan. Untuk selanjutnya
mereka menggunakan data yang mereka dapatkan untuk kepentingan kejahatan mereka.

5. Perjudian
Dampak lainnya adalah meluasnya perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, para penjudi tidak perlu pergi
ke tempat khusus untuk memenuhi keinginannya.

6. Spamming
Pengiriman email promosi tanpa persetujuan pemilik email, termasuk pengiriman email borongan (bulk
email) atau email sampah (junk email).

7. Fraud
Merupakan kegiatan manipulasi informasi khususnya tentang keuangan dengan target untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya. Contohnya adalah harga tukar saham suatu perusahaan dapat
direkayasa melalui rumor yang isinya bertentangan dengan kondisi sebenarnya sehingga memancing orang
lain untuk membeli saham tersebut. Situs lelang juga sangat membuka peluang munculnya praktek fraud ini
yaitu dengan cara tidak mengirimkan barang yang dilelang meskipun uang hasil lelang sudah dikirimkan.

Ragam bentuk yang akan disajikan merupakan aplikasi yang sudah berkembang diberbagai sektor, maka
tidak menutup kemungkinan terjadi tumpang tindih. Semua kegiatan dengan istilah work and play dapat
menggunakan telematika sebagai penunjang kinerja usaha semua usaha dalam semua sektor, sosial,
ekonomi dan budaya. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:

1) E-government
E-goverment dihadirkan dengan maksud untuk administrasi pemerintahan secara elektronik. Di Indonesia
ini, sudah ada suatu badan yang mengurusi tentang telematika, yaitu Tim Koordinasi Telematika Indonesia
(TKTI). TKTI mempunyai tugas mengkoordinasikan perencanaan dan mempelopori program aksi dan inisiatif
untuk menigkatkan perkembangan dan pendayagunaan teknologi telematika di Indonesia, serta
memfasilitasi dan memantau pelaksanaannya dan E-goverment juga dimaksudkan untuk peningkatan
interaksi, tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga antar sesama unsur pemerintah
dalam lingkup nasional, bahkan intrernasional. Pemerintahan tingkat provinsi sampai kabupaten kota, telah
memiliki situs online. Contohnya adalah DPR, DKI Jakarta, dan Sudin Jaksel. Isi informasi dalam e-
goverment, antara lain adalah profil wilayah atau instansi, data statistik, surat keputusan, dan bentuk
interaktif lainnya.

2) E-commerce
Globalisasi telah menghasilkan pergeseran dalam dunia pendidikan, dalri pendidikan tatap muka yang
konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka. Di Indonesia sudah berkembang pendidikan terbuka
dengan modus belajar jarah jauh (distance learning) dengan media internet berbasis web atau situs.

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

1. PERMASALAHAN UMUM PADA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Permasalahan yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi
dan atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Urgensi dibentuknya UU ITE sangat penting dalam kaitannya dengan semakin meluasnya penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi diberbagai aktivitas seperti transaksi “electronic banking, electronic
government, electronic procurement” dan transaksi lainnya.

Kelahiraan UU ITE bukanlah dimaksudkan untuk mengekang kreativitas di bidang TIK karena pada saat ini
kita juga telah memasuki konvergensi telematika dimana pada akhirnya telekomunikasi, penyiaran dan
teknologi informasi akan semakin terpadu sehingga pada akhirnya akan mengkonvergensi sistem
hukumnya.
Relevansi dari UU ITE akan memberikan manfaat antara lain:
a) Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik;
b) Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia;
c) Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan yang berbasis pada teknologi informasi.
d) Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya
bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai Orang yang
telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya
dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan
teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu,
terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek
teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan
sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan
pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.

Untuk menerapkan etika TIK, maka diperlukan terlebih dahulu mengenal dan memaknai prinsip yang
terkandung di dalam TIK diantaranya adalah:
a) Tujuan teknologi informasi yaitu memberikan bantuan kepada manusia untuk menyelesaikan masalah,
menghasilkan kreativitas, untuk membuat manusia lebih bermakna jika tanpa menggunakan teknologi
informasi dalam aktivitasnya;
b) Prinsip high tech high touch yaitu lebih banyak bergantung kepada teknologi tercanggih, lebih penting
kita menimbangkan aspek high touch yaitu manusia.
c) Sesuaikan teknologi informasi kepada manusia, kita sepantasnya menyesuaikan teknologi informasi
kepada manusia, daripada meminta manusia menyesuaikan dengan teknologi informasi.
TIK tidak terlepas dari berbagai keterbatasan, oleh karena itu dalam penggunaan teknologi informasi
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu:
a) Kesadaran dalam mengetahui kemampuan dan keterbatasan teknologi informasi dan komunikasi;
b) Teknologi informasi dan komunikasi agar digunakan secara betul, beretika dan untuk perlindungan
terhadap data dan informasi.

Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat
maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial,
ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Dampak negatif yang serius karena berkembangnya teknologi informasi terutama teknologi internet harus
segera ditangani dan ditanggulangi dengan segala perangkat yang mungkin termasuk perangkat
perundangan yang bisa mengendalikan kejahatan dibidang teknologi informasi. Sudah saatnya bahwa
hukum yang ada harus bisa mengatasi penyimpangan penggunaan perangkat teknologi informasi sebagai
alat bantunya, terutama kejahatan di internet (cybercrime) dengan menerapkan hukum siber (cyberlaw.

Alat bukti yang bisa digunakan dalam penyidikan selain alat bukti yang sudah diatur dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, catatan elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer merupakan alat bukti yang
sah. Catatan elektronik tersebut yang akan dijadikan alat bukti sah di pengadilan wajib dikumpulkan oleh
penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku.

Etika dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ialah sekumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, tata cara (adat, sopan santun) nilai mengenai benar dan salah, tentang hak dan
kewajiban tentang TIK yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Agar penggunaan TIK sesuai
bidang profesi yang dilakoni dan tidak melanggar kode etik yang ada. Sehinggah dampak negatif dari
penggunaan TIK dalam masyarakat berkurang atau bahkan tidak ada.

Teknologi merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia. Tidak dapat disangkal bahwa di
dalam masyarakat modern, teknologi menjadi kebutuhan primer anggota masyarakatnya, khususnya
teknologi informasi, yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk dapat berkomunikasi,
mendapatkan, maupun mengirimkan informasi dalam waktu yang singkat. Teknologi informasi dan
komunikasi telah mengubah perilaku manusia secara global, di mana dunia menjadi seolah tanpa batas dan
menyebabkan perubahan sosial yang signifikan dan cepat.

Informasi yang berbasis internet, memiliki prinsip Free Flow of Information, yaitu penyebaran dari
informasi tersebut tidak dapat dihambat, namun tidak berarti seluruh informasi yang berbasis internet
dapat diakses oleh siapapun tanpa batasan apapun. Setiap pemilik informasi dapat menentukan sendiri
perlindungan privasinya terhadap informasi yang dimiliki oleh yang bersangkutan di dalam media internet.

masyarakat, maka dari itu kemajuan teknologi informasi dapat juga menghasilkan suatu reaksi negative
berupa serangan balik yaitu sikap anti teknologi (Nasution, 1989 ; 119). Hal ini terlihat seperti sekarang ini
di Indonesia, yang cenderung ketimuran.

2. PERUBAHAN MASYARAKAT DENGAN ADANYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI


Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa ini merupakan suatu gejala
yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat kebagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat
adanya komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-
penemuan baru di bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian
yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang bertempat
tinggal jauh dari pusta terjadinya peristiwa tersebut di atas. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial,
stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Para sarjana sosiologi pernah mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan
masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana
terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-perubahan tadi
berjalan dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami pelbagai
perubahan-perubahan yang cepat. Memang, setiap masyarakat pada suatu masa dapat dianggap sebagai
masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lainnya dianggap sebagai masyarakat yang dinamis.
Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan belaka, akan tetapi dapat pula
berarti suatu kemunduran dari masyarakat yang berangkutan yang menyangkut bidang-bidang tertentu.
(Artikel Muliadi Nur: Hukum dan perubahan sosial).

Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah
dibentuk akan tetapi harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah
pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum. Suatu teori yang sejalan dengan pendapat Von
Savigny, penah dikembangkanoleh seorang yuris Austria yang bernama Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan
antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelakuan sosial, dengan hukum memaksa yang berasal
dari negara. Dia menekankan bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang
lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup yang
hampir mengatur semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas
terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti
perubahan-perubahan sosial lainnya.
Perkembangan dalam dunia internet telah memberikan kontribusi yang besar pada setiap masyarakat. Saat
ini pengguna internet mencapai tingkat yang sangat tinggi ini terlihat jelas pada data statistik di atas. Hal ini
terjadi karena internet menyajikan informasi-informasi yang sangat besar, serta memberikan fitur-fitur
yang dibutuhkan oleh para konsumen.

Internet pun bisa menjadi ajang mencari keuntungan secara illegal, seperti transaksi elektronik (e-
commerce) dengan menggunakan kartu kredit yang bukan haknya. Banyak sekali hal-hal yang buruk terjadi.
Maka dari itu khususnya di Indonesia, pemerintah membuat hukum baru yang menjerat tindakan-tindakan
melawan hukum dalam teknologi informasi. Hukum baru tersebut ialah undang-undang No.11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik. Hukum ini mencakup kejahatan-kejahatan dalam dunia siber
(cyberspace).Dengan adanya undang-undang tersebut serta pemahaman terhadap teori perubahan sosial
dan perubahan perilaku maka menurut saya akan terjadi sebuah perubahan perilaku yang biasa dilakukan
oleh para pengguna teknologi informasi. Hal ini dikarenakan bahwa para pengguna merasa takut terjerat
oleh pasal yang berlaku dalam UU RI tersebut. Misalnya : sebelum adanya UU ITE tersebut para pengguna
internet dengan bebas membuka fitur-fitur porno, serta mendownload berbagai file yang dianggap
dilarang, ataupun para hacker yang selalu berupaya menjebol sistem kemanan suatu lembaga atau
perorangan dan banyak lagi hal lainya yang dianggap merugikan. Namun setelah adanya UU ITE yang
mencakup hal-hal tersebut maka dengan itu para pengguna internet berhati-hati dalam menggunakan
internet.

Pada diskusi Inisiasi ke 2 ini akan membahas tentang:

Sebagaimana diketahui bahwa bersamaan dengan kemajuan teknologi maka akan berdampak negatif yakni
banyaknya kejahatan di duniamaya.dalam mengatasi kejahatan didunia mayantara selain menggunakan
perangkat hukum juga harus memahami realitas sosialnya. Yang akan saya tanyakan adalah dalam
menanggulangi kejahatan dunia maya selain menggunakan perangkat hukum, mengapa juga perlu
memahami raelitas social yang terjadi?

Dan mohon di diskusiakan pada forum diskusi 2.

Selamat berdiskusi..

Hukum Telematika 03

I. PENGGUNAAN DOMAIN NAME 


Salah satu masalah hukum yang dihadapi oleh mereka yang bermaksud mendirikan perusahan dan
berusaha di dunia virtual ialah penentuan alamat, atau dalam istilah internet disebut domain name. makin
mirip domain name dengan nama perusahaan atau merek barang dagang yang dijual, makin mudah bagi
pelanggan untuk menemukan alamat atau domain name tersebut. Andaikata saja ada suatu bank di
Indonesia yang bernama Bank Umum Indonesia (BUI) dan web-site bank tersebut akan mudah ditemukan
orang dari pada apabila bank tersebut menggunakan domain name lain.

Sebelum suatu perusahaan menentukan domain name tertentu , seyogyanya terlebih dahulu menghubungi
organisasi pendaftaran domain name, misalnya InterNIC untuk mengecek apakah domain name yang akan
digunakannya itu telah digunakan oleh pihak lain. InterNIC adalah suatu organisasi yang mendaftarkan
domain name dan mengikuti perkembangannya melalui suatu database searcher yang disebut Whois.
Apabila nama yang diinginkan telah didaftarkan oleh pihak lain (terdaftar) (pada proses pengecekan
dilakukan oleh Internet service Provider yang dipakai oleh perusahaan tersebut ), maka perusahaan
tersebut harus menghubungi pihak yang telah mendaftarkan terlebih dahulu domain name yang
diinginkannya dan menjajaki kemungkinan adanya apakah perusahaan tersebut dapat membeli hak
pengguna domain name itu, atau mengambil tindakan hukum terhadap pihak tersebut. 

II. KETERKAITAN NAMA DOMAIN DENGAN MEREK


Nama domain memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan merek, namun demikian perlu ditegaskan
bahwa nama domain tidak identik dengan merek karena meskipun keduanya sama-sama merupakan jati
diri suatu produk atau suatu nama perusahaan atau badan hukum lainnya, tetapi memiliki sistem dan
syarat-syarat pendaftaran dan pengakuan eksistensinya secara berbeda.

Untuk diakui sebagai merek dan dilindungi di bawah rezim hukum merek harus terlebih dahulu ditempuh
proses pendaftaran merek dan uji substantif. Dalam Pasal 3 UU Merek No. 15 Tahun 2001 juga disebutkan
bahwa apabila dalam penerapan nama domain dikenal istilah first come first served, yaitu pihak yang
memiliki nama domain adalah pihak yang mendaftar nama domain tersebut terlebih dahulu. Penerapan ini
serupa dengan sistem merek Indonesia.

Harus pula ditempuh mekanisme selanjutnya termasuk didalamnya proses pengumuman dalam waktu
tertentu yang memungkinkan pihak-pihak yang dirugikan mengajukan bantahan terhadap pendaftaran
merek tersebut. Sanggahan dapat diajukan melalui sanggahan secara tertulis kepada Dirjen HKI
Kementerian Hukum dan HAM, hal ini dimaksudkan agar pihak yang dirugikan dapat mencegah
pendaftaran merek yang dilakukan orang yang tidak beritikad baik. Merek diakui keberadaannya
berdasarkan stelsel konstitutif dengan kata lain tidak ada perlindungan tanpa pendaftaran.

Kantor merek juga wajib melakukan seleksi terlebih dulu terhadap merek-merek yang akan didaftar
mengingat tidak semua pengajuan akan diterima, seperti diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 UU No. 15 Tahun
2001 yang menyatakan bahwa Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang beritikad tidak baik (Pasal 4) dan Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut
mengandung salah satu unsur di bawah ini:
1) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau
ketertiban umum;
2) Tidak memiliki daya pembeda;
3) Telah menjadi milik umum;
4) Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran.

Dalam Pasal 6 UU No. 15 tahun 2001 dinyatakan bahwa berikut ini:


1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah
terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik
pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah
dikenal.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih
lanjut dengan Peraturan Permerintah.
3) Pemohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang
lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau
emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak
yang berwenang;
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau
lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Prosedur dan mekanisme semacam ini tidak dikenal dalam pendaftaran nama domain, karena prinsip yang
digunakan dalam pendaftarannya adalah first come first served sehingga tidak dikenal adanya uji substantif
pada proses pendaftaran. Hal ini dapat dipahami mengingat secara teknis uji substantif akan
menghilangkan sifat teknologi informasi tentang pendaftaran nama domain yang semuanya dilakukan
secara aktivitas virtual, tanpa ada kontak secara fisik berlangsung demikian cepat dan pengecekannya
dilakukan melalui teknologi internet yang sangat cepat dan efisien. Dengan demikian pengecekan yang
diakukan pengelola nama domain cukup dengan mencocokkan nama domain yang dalam proses
pendaftaran dengan nama domain yang telah terdaftar sebelumnya, jika ternyata tidak terdapat kesamaan
secara utuh maka pendaftaran nama domain baru dapat diterima. Sebagai contoh apabila telah terdapat
nama domain www.klikbca.com tetapi kemudian ada orang lain mendaftarkan nama
domain www.clickbca.com atau www.klik-bca.com maka dapat saja pendaftar dua nama domain terakhir
itu diterima karena memiliki perbedaan karakter penulisan. Dalam praktik para pengelola nama domain
biasanya membuat suatu persyaratan yang menyatakan bahwa pemegang nama domain tidak boleh
mendaftarkan nama domain yang bertentangan dengan hak kekayaan intelektual atau hak-hak lainnya
milik orang lain.
Ketentuan tentang merek di Indonesia merupakan implementasi dari ketentuan yang terdapat dalam Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods (TRIPs-WTO). Dalam ketentuan
TRIPs diatur hal-hal yang terkait dengan perlindungan merek dalam bentuk instrumen hukum internasional.

Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak
memperoleh ijinnya dalam menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau
menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa
untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan
ketidakpastian.

III. EKSISTENSI NAMA DOMAIN DAN ASPEK HUKUMNYA


Pada sisi lain internet menimbulkan masalah baru dibidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI). Copyright,
trademark, patent, trade secret dan moral right sangat terpengaruh oleh internet. Internet memiliki
beberapa karakteristik teknis yang membuat masalah-masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) tumbuh
dengan subur. Maka hampir disetiap negara membentuk regulasi/peraturan yang berbeda-beda tetapi
tetap mengacu pada konvensi-konevensi Internasional khususnya pada bidang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HKI) dan Internet. Salah satu hal yang menjadi permasalahan di bidang HKI dan internet adalah
Domain Name.

Masalah yang saat ini muncul terutama berkaitan dengan nama domain (domain names) di internet.
Banyak merek yang secara hukum telah dimiliki oleh seseorang ternyata tidak dapat digunakan sebagai
nama domain atas namanya di internet, karena telah digunakan oleh pihak lain terlebih dulu. Pemakaian
semacam ini sama sekali tidak mengurangi hak-hak pemilik merek asli untuk dilindungi sebagai pemilik
merek yang sebenarnya, dan pihak yang menggunakan nama domain dengan merek tertentu itu juga sama
sekali tidak memiliki hak atas merek terdaftar tersebut.

Pelanggaran terhadap hal ini dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana oleh pemilik merek sesuai
dengan UU No. 15 Tahun 2001. Kenyataan yang cukup mengkhawatirkan adalah sampai saat ini Undang-
Undang Merek (UU No. 15 Tahun 2001) tidak mengatur sama sekali ketentuan yang menyangkut
perlindungan merek dalam kaitannya dengan nama domain. Prinsip yang digunakan oleh UU Merek adalah
stelsel konstitutif (pendaftaran). Dengan demikian, pemilik Merek hanya akan dilindungi secara hukum jika
ia telah mendaftarkan Mereknya di Kantor Merek.

Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukan bahwa nama domain telah menjadi salah satu
masalah serius, seperti terjadi dalam kasus BCA. Kenyataan ini menunjukkan perlunya diatur secara khusus
hal-hal yang terkait dengan nama domain di dunia perbankan. Satu bank dengan bank lainnya dilarang
menggunakan nama domain yang mirip (belakangan ini ada beberapa nama bank yang mirip satu sama lain,
hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri).

Pemakai nama domain wajib membuat pernyataan bahwa nama domain yang dipakainya tidak
bertentangan atau melanggar hak-hak orang lain atau badan usaha milik orang lain. Setiap orang yang
dirugikan karena penggunaan nama domain secara tanpa hak oleh orang lain berhak mengajukan gugatan
ganti rugi secara perdata. Nama domain terdaftar pun tidak boleh bertentangan dengan merek terdaftar,
nama badan hukum terdaftar, indikasi geografis atau indikasi asal sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perlu juga dibuat ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku pelanggaran nama
domain, yang menyesatkan nasabah seperti halnya dalam kasus BCA. Seseorang yang telah membuat situs
dengan penyesatan berupa penggunaan nama domain yang mirip apalagi sama selain dapat dikenakan
tuntutan berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek juga harus dapat dijerat dengan UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Pelanggar dapat pula dikenakan sanksi penyalahgunaan rahasia bank, jika ia secara nyata menyadap PIN
nasabah. Penting juga diatur ketentuan yang terkait dengan situs-situs yang terinterkoneksi, misalnya
menyangkut tanggung jawab terhadap nasabah atau konsumen lain yang dirugikan oleh situs yang
teriterkoneksi dengan situs lainnya.

Setiap orang berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Pemilikan dan
penggunaan nama domain wajib didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha
secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain. Oleh karena itu, setiap orang yang dirugikan karena
penggunaan nama domain secara tanpa hak oleh orang lain berhak mengajukan gugatan ganti rugi.
Pengelola nama domain yang berada diluar wilayah Indonesia harus diakui keberadaannya.
IV. KELEMBAGAAN PENGELOLA NAMA DOMAIN DI INDONESIA.
Aspek kelembagaan, khususnya di bidang pendaftaran nama domain di Indonesia, memiliki masalah
tersendiri. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki prosedur yang jelas mengenai lembaga yang
berwenang dan tata-cara pendaftaran nama domain.

Sementara ini lembaga yang diberikan otorisasi pengelolaan nama domain di Indonesia adalah PANDI yang
juga memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri mengenai pendaftaran nama domain. Namun demikian,
ketentuan mengenai penyelesaian sengketa nama domainnya tetap harus merujuk kepada ketentuan-
ketentuan UDRP jika diselesaikan melalui mediasi dan arbitrase, kecuali jika sengketa tersebut diselesaikan
dan diputus oleh pengadilan.

Kerjasama Kantor Merek dengan PANDI (pengelola nama domain di Indonesia) menjadi sangat penting
dilakukan. Lebih baik apabila Merek-Merek yang terdaftar di Kantor Merek Ditjen HKI juga dapat sekaligus
didaftarkan di PANDI, sehingga menutup kemungkinan pendaftaran oleh pihak lain yang tidak berhak.

Untuk menghindari pemilikan secara melawan hukum, perlu juga menerapkan batas waktu non-aktivasi,
artinya, jika pemilik nama domain tidak menggunakannya dalam waktu tertentu (di AS dibatasi 90 hari),
maka pemilik dianggap telah melepaskan nama domain dimaksud. Ketentuan ini dapat mencegah upaya
pendaftaran nama-nama domain milik orang lain demi keuntungan secara illegal.

Sebagai bahan perbandingan, berikut ini diulas tentang kelembagaan yang mengelola nama domain secara
internasional. Penamaan domain di internet bersifat standar dan hierarkis melalui system distributed
database yang dikenal dengan nama Domain Name System (DNS). DNS adalah system penamaan domain
yang digunakan untuk memberikan identitas sebuah host atau server dalam jaringan internet. Secara
teknis, fungsi domain name systems (DNS) ini dikerjakan oleh sekumpulan DNS servers diseluruh dunia
yang terhubung secara hierarki seperti layaknya sebuah organisasi.

Kegiatan pendaftaran nama domain di dunia saat ini ditangani oleh tiga kelompok lembaga, yaitu sebagai
berikut:
1) ICANN untuk domain .gov, .edu, dan .mil. Domain ini bersifat tertutup atau membutuhkan persyaratan
yang lebih ketat dan masih dikelola oleh ICANN;
2) Registrar gTLD untuk domain .net, .com, dan .org. Sifat domain ini terbuka dan pendaftarannya ditangani
oleh sekitar 100 Registrar;
3) Registrar ccTLD untuk domain indikasi negara. Sifat domain ini sebenarnya tertutup, tetapi ada beberapa
negara yang memperjual belikan domain secara terbuka, misalnya .to (negara Tonga) dan .tv (negara
Tuvalu) melalui beberapa Registrar. Adanya jual beli nama domain jenis ccTLD ini belum ada aturan
pelanggarannya dalam ICANN.

Di Indonesia, PANDI merupakan lembaga registrasi yang mengelola ccTLD .id, berbentuk yayasan. Dalam
mengelola ccTLD .id seperti lazimnya ccTLD lainnya diturunkan ke SLD terlebih dahulu, PANDI membagi
pendaftaran nama domain dalam tujuh SLD, yaitu : ac.id, co.id, go.id, mil.id, net.id, or.id, dan web.id.

V. INSTRUMEN INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NAMA DOMAIN KHUSUSNYA MELALUI


UNIFORM DOMAIN NAME POLICY RESOLUTION (untuk selanjutnya cukup disebut UDRP).

Hal yang menarik untuk dikaji terkait dengan regulasi e-commerce adalah eksistensi dari Uniform Domain
Name Policy Resolution (UDRP) yang merupakan sebuah regulasi yang bersifat unik, karena bersifat global,
law enforcement-nya jelas dan pasti, berlaku secara universal tanpa perlu ratifikasi, dan bersifat memaksa
bagi para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui WIPO Mediation and Arbitration.

UDRP yang diprakarsai oleh suatu organisasi non-profit yang berkedudukan di Amerika Serikat bernama
Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) yang mempunyai peranan utama sebagai
organisasi yang mengatur lalu lintas pembuatan nama domain di seluruh dunia, dapat digunakan oleh
berbagai pihak dalam menangani masalah sengketa kepemilikan nama domain yang bersifat dan berlaku
secara universal.

UDRP disahkan dan telah diberlakukan sejak tanggal 26 Agustus 1999, serta digunakan oleh seluruh
organisasi yang menyediakan jasa untuk pendaftaran nama domain (registar) untuk nama domain yang
berakhiran .com (dot com), .net (dot net), dan .org (dot org), selain itu pula berlaku juga bagi nama domain
yang termasuk kedalam kategori country-code top-level domains seperti .id (dot id), .nu (dot nu), .tv (dot
tv), .ws (dot ws), dan lain-lain.

UDRP digunakan sebagai bagian dari isi perjanjian dalam setiap pendaftaran nama domain antara pihak
registrar dan pihak pemilik nama domain (pemegang nama domain) yang mengatur mengenai berbagai
ketentuan pokok dan tata cara penyelesaian sengketa dengan pihak ketiga yang diakibatkan oleh
penggunaan nama domain tersebut.

Ketentuan Tentang Mekanisme Pendaftaran Nama Domain Diatur Dalam Paragraf 2 Udrp. Dalam hal ini,
untuk melakukan pendaftaran maupun memperbaharui nama domain kepada pihak registrar, terdapat
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang nama domain antara lain adalah: Pertama,
telah mengisi segala pernyataan secara benar dan akurat dalam perjanjian dengan pihak pemegang nama
domain pada saat pendaftaran nama domain. Kedua, pembuatan suatu nama domain tidak melanggar hak
dan kepentingan pihak ketiga. Ketiga, pihak pemegang nama domain dilarang untuk membuat nama
domain yang digunakan untuk tujuan tidak baik. Keempat, pembuatan suatu nama domain tidak
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Pihak pemegang nama domain bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap segala akibat pelanggaran yang terjadi dengan pihak ketiga atas pendaftaran nama
domain yang dilakukannya.

Ketentuan Mengenai Pembatalan, Pemindahan Dan Perubahan Nama Domain Secara Lengkap Diatur
Dalam Paragraf 3 UDRP. ketentuan Paragraf 3 UDRP bahwa pihak registrar berhak untuk membatalkan,
memindahkan maupun mengubah nama domain yang telah didaftarkan oleh pihak pemegang nama
domain, melalui tiga hal: Pertama, permintaan tertulis dari pihak pemegang nama domain. Kedua, putusan
atau perintah dari lembaga pengadilan maupun forum arbitrase yang berwenang. Ketiga, putusan
administrasi Panel berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam UDRP.

Penyelesaian Sengketa Nama Domain Harus Ditempuh Proses Administrasi Sebagaimana Diatur Dalam
Paragraf 4 UDRP. Dalam hal ini ketentuan Paragraf 4 UDRP tersebut dinyatakan bahwa pihak pemegang
nama domain diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah administratif yang sesuai dalam penyelesaian
sengketa nama domain melalui jasa salah satu provider yang terdaftar dalam ICANN. Disamping itu, dalam
proses penyelesaian secara administratif, pihak penggugat harus dapat membuktikan seluruh bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak domain-name holder . Adapun Pihak pemegang nama domain
diwajibkan untuk menempuh jalur administratif manakala terjadi gugatan dari pihak ketiga atas
pendaftaran nama domain yang dilakukannya berdasarkan ketentuan dari UDRP jika :
1) Pertama, nama domain tersebut sama atau terdapat kemiripan yang dapat membingungkan atas hak
merek ataupun logo yang dimiliki oleh pihak ketiga, 
2) Kedua, pihak pemegang nama domain tidak mempunyai kepentingan maupun berhak atas penggunaan
nama domain tersebut, 
3) Ketiga, nama domain yang didaftarkan telah digunakan dengan itikad buruk. UDRP mengaturnya secara
tersendiri dan memberikan definisi pendaftaran nama domain yang dapat dikategorikan sebagai tindakan
dengan itikad buruk adalah:
a. Pertama, pihak pemegang nama domain mendaftarkan suatu nama domain dengan tujuan utama untuk
menjual, menyewakan, ataupun memindahkan nama domain tersebut kepada pihak penggugat selaku
pemilik hak atas merek nama domain tersebut, maupun juga menjualkannya kepada pesaing dari pihak
penggugat tersebut dengan sejumlah imbalan tertentu.
b. Kedua, pihak pemegang nama domain dengan sengaja telah mendaftarkan suatu nama domain agar
pihak penggugat selaku pemilik hak atas merek nama domain tersebut tidak dapat membuat nama domain
dengan nama yang melambangkan mereknya.
c. Ketiga, pihak pemegang nama domain telah mendaftarkan suatu nama domain dengan tujuan untuk
mengganggu jalannya persaingan bisnis pihak ketiga.
d. Keempat, pihak pemegang nama domain secara sengaja telah berusaha untuk menarik perhatian
khalayak dalam mencari keuntungan dari merek nama domain yang telah didaftarkannya dengan cara
membuat bingung para pengguna internet, selaku konsumen dari merek tersebut.

Dalam hal ini jika pihak pemegang nama domain digugat oleh pihak ketiga mengenai sengketa nama
domain yang telah didaftarkannya, maka pihak pemegang nama domain harus dapat membuktikan hak
kepemilikan atas nama domain tersebut berdasarkan ketentuan UDRP yang antara lain:
1) Pertama, nama domain tersebut digunakan untuk tujuan menawarkan barang dan jasa yang merupakan
hasil dari produksi sendiri yang original (bona fide);
2) Kedua, pihak pemegang nama domain telah dikenal secara umum oleh khalayak melalui nama domain
yang telah didaftarkan, meskipun merek yang dimilikinya belum terdaftar.
3) Ketiga, nama domain tersebut telah digunakan secara itikad baik dengan tujuan yang bersifat non
komersial tanpa bermaksud untuk membingungkan para konsumen atas nama suatu merek tertentu.
Dalam penyelesaian sengketa nama domain, pihak penggugat akan memilih dari sekian Provider yang telah
ditunjuk dan diberi wewenang oleh ICANN dan kemudian akan mengajukan gugatannya melalui Provider
tersebut, kecuali dalam sengketa yang cara penyelesaiannya menggunakan proses konsolidasi.

Panel Administrasi yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan ketentuan dari UDRP berhak untuk
membuat segala bentuk putusan sebagai usaha dalam penyelesaian sengketa nama domain.

Jika pihak pemegang nama domain dengan pihak penggugat ingin menyelesaikan sengketanya melalui
proses konsolidasi maka para pihak harus membuat suatu keterangan tertulis yang ditujukan kepada Panel
Administrasi berisikan tentang pernyataan bahwa para pihak telah sepakat untuk melakukan konsolidasi
berdasarkan ketentuan UDRP.

Segala biaya perkara ditanggung oleh pihak penggugat, kecuali dalam perkara yang melibatkan tiga orang
panelis maka biaya perkara ditanggung oleh kedua belah pihak antara pemegang nama domain dan
penggugat secara adil dan merata. Dalam hal pihak Registrar tidak akan turut serta dalam proses
penyelesaian sengketa nama domain maupun bertanggung jawab atas segala keputusan yang telah
ditetapkan oleh Panel Administrasi.

Provider akan memberitahukan segala hasil putusan yang telah dikeluarkan oleh Panel Administrasi kepada
pihak registrar yang kemudian selanjutnya akan dipublikasikan keseluruh jaringan internet.

Dalam hal ini segala ketentuan proses administratif yang diatur dalam UDRP tidak menutup kemungkinan
bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan yang berwenang (mempunyai
jurisdiksi dalam memutus perkara tersebut). Jika Panel Administrasi telah memutuskan bahwa suatu nama
domain harus dibatalkan ataupun dipindahkan dari pemegang nama domain kepada pihak penggugat,
maka pihak registrar harus menunggu selama 10 (sepuluh) hari setelah putusan tersebut diterima sebelum
diperkenankan melakukan proses eksekusi. Jika registrar menerima pemberitahuan bahwa telah terjadi
suatu kesalahan prosedur maupun penerapan hukum pemeriksaan sengketa dalam jangka waktu 10
(sepuluh) hari kerja tersebut, maka pihak registrar tidak dapat dieksekusi sebagai tindak lanjut dari putusan
Panel Administrasi, sebelum menerima : bukti menyakinkan tentang proses penyelesaian sengketa antara
para pihak penggugat dan pemegang nama domain, bukti yang menyakinkan bahwa gugatan balik dari
pihak pemegang nama domain tidak dikabulkan oleh Panel Administrasi, dan salinan putusan pengadilan
yang menyatakan bahwa gugatan balik dari pihak pemegang nama domain tidak dikabulkan, serta
menyatakan bahwa pihak pemegang nama domain tidak berhak lagi untuk menggunakan nama domain
tersebut.

Segala bentuk penyelesaian sengketa nama domain antara pemegang nama domain dan pihak ketiga, yang
tidak diatur dalam proses administrasi UDRP, dapat diselesaikan melalui lembaga pengadilan, forum
arbitrase maupun proses penyelesaian sengketa lainnya. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam
Paragraf 5 UDRP.

Ketentuan mengenai keterlibatan pihak Registrar dalam suatu sengketa diatur dalam Paragraf 6 UDRP
bahwa pihak registrar tidak akan melibatkan diri maupun untuk mendukung salah satu pihak yang
bersengketa. Jika salah satu pihak yang bersengketa melibatkan pihak registrar sebagai pihak yang dinilai
bertanggung jawab dalam sengketa tersebut, maka pihak registrar berhak untuk melakukan segala tindakan
yang diperlukan untuk membela kepentingannya sendiri.

Mengenai status Quo dalam ketentuan UDRP menyebutkan Ketentuan-ketentuan dalam UDRP tidak
memungkinkan terjadinya keadaan dimana suatu nama domain tidak berada dalam suatu penggunaan dan
kepemilikan oleh suatu pihak tertentu, meskipun dikarenakan adanya gugatan suatu pihak terhadap
penggunaan dari kepemilikan nama domain tersebut. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Paragraf 7
UDRP menyatakan bahwa pihak registrar tidak akan melakukan pembatalan, pemindahan, pengaktifan,
penghentian maupun mengubah status kepemilikan nama domain kecuali berdasarkan ketentuan tertentu
yang telah diatur dalam UDRP.

Mekanisme pemindahan nama domain diatur secara khusus dalam Paragraf 8 UDRP b. ketentuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa, Pertama, pihak pemegang nama domain tidak dapat melakukan pemindahan
nama domain miliknya kepada pihak lain pada saat : selama proses pemeriksaan administratif atau 15 (lima
belas) hari setelah pemeriksaan tersebut berakhir, ataupun selama proses pemeriksaan melalui lembaga
pengadilan maupun forum arbitrase, kecuali jika pihak tersebut telah menyetujui secara tertulis untuk
terikat kepada putusan pengadilan maupun forum arbitrase, Kedua, pihak Registrar berhak untuk
membatalkan pemindahan nama domain, jika salah satu pihak telah terbukti melakukan pelanggaran, Pihak
pemegang nama domain tidak dapat melakukan pemindahan (transfer) atas nama domain yang dimilikinya
kepada pihak registrar lainnya selama proses pemeriksaan administrasi atau 15 (lima belas) hari setelah
pemeriksaan tersebut berakhir. Jika pemegang nama domain telah melakukan pemindahan nama domain
kepada registrar lain selama proses pemeriksaan, maka usaha tersebut tidak akan menghapus sengketa
yang sedang terjadi dan masih terikat kepada ketentuan pendaftaran nama domain pada registrar yang
lama.

Pengaturan mengenai perubahan dari ketentuan-ketentuan dalam UDRP ini diatur juga dalam Paragraf 9
yang menentukan bahwa, pihak registrar berhak untuk memodifikasi isi ketentuan UDRP pada setiap saat
dengan seizin ICANN, kemudian akan memberitahukan tentang perubahan tersebut kepada seluruh pihak
pemegang nama domain selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum ketentuan baru tersebut berlaku
efektif, kecuali jika ketentuan baru tersebut telah digunakan oleh pihak ketiga sebagai dasar gugatan yang
diajukan melalui Provider.

Hukum Telematika 04

Inisiasi 4
Delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE, antara lain:

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:

- kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);


- perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
- penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
- pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
- berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
- menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
- mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi
(Pasal 29 UU ITE);

b. Dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE);


c. Intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:


a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);


5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
Terakhir diperbaharui: Senin, 22 September 2014, 09:57

Hukum Telematika 05

PERLINDUNGAN HAK CIPTA MELALUI HUKUM INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA 

Dari tinjauan umum mengenai media internet terdapat beberapa risiko di antaranya risiko yang sering
timbul seiring dengan pengawasan yang tidak sejalan dengan perkembangan teknologi di bidang teknik
informatika. Selain risiko terjadinya pelanggaran dengan cara perbanyakan lagu pada media internet,
dengan sistem yang terdapat pada media internet yang secara mudah dan praktis dalam menyiarkan lagu,
juga menimbulkan risiko pelanggaran terhadap hak moral Pencipta lagu. Rentannya pelanggaran yang
timbul dalam penyiaran karya cipta lagu pada media internet dalam kaitannya dengan hak cipta menjadi
sebuah masalah yang harus diteliti lebih lanjut. Risiko akan pelanggaran hak cipta pada media internet
merupakan sebuah kerugian bagi pihak-pihak yang terkait dengan adanya hak cipta sebuah lagu.
Berdasarkan hal ini, hukum harus dapat menjaga adanya sebuah hak dari sebuah karya cipta lagu.
Rentannya pelanggaran hak cipta pada media internet ditunjang pula dengan penegakan perlindungan
karya cipta lagu yang sulit. Pengawasan yang sejalan dengan perkembangan masyarakat merupakan sebuah
sarana bagi penegakan hukum di berbagai dimensi kehidupan manusia. Media internet dipandang sebagai
jaringan-jaringan tanpa batas yang menghubungkan seluruh dunia dengan suatu sistem jaringan.

Pelanggaran pengumuman ciptaan lagu melalui komputer tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta
dapat terjadi dikarenakan adanya dua buah program komputer memiliki source code (pencarian kode) yang
sama. Dengan demikian dimungkinkan telah terjadi peniruan terhadap salah satu program komputer,
karena tidak mudah menentukan seberapa besarkah kesamaan dari source code tersebut sehingga dapat
dikatakan melanggar hak cipta.

Konsep UUHC tidak memberikan perlindungan yang bersifat kuantitatif, yaitu yang mengatur seberapa
besar kemiripan antara kedua program komputer, salah satu perlindungan di dalam UUHC yang terkait
dengan program komputer di antaranya sebagai berikut:
a) Dalam lisensi ini di dalamnya mencakup ketentuan-ketentuan pada UUHC;
b) Software tersebut dapat diunduh hanya pada satu mesin;
c) Dilarang melakukan perbanyakan software tersebut untuk keperluan hal lain (dalam hal ini pengguna
diberi kesempatan membuat satu buah backup copy/data cadangan);
d) Dilarang memberikan software tersebut kepada pihak lain untuk kepentingan lain.

Berdasarkan batasan di atas maka tindakan mengunduh program komputer ke dalam lebih dari satu mesin
atau di luar ketentuan yang dikeluarkan oleh satu lisensi, pinjam meminjam program komputer dan
mengunduh, mengkopi atau memperbanyak program komputer tersebut, dapat dikategorikan sebagai
tindakan perbanyakan tanpa hak tanpa seizin pencipta.

Pelanggaran Hak Cipta program komputer di Indonesia, paling banyak dilakukan pada Microsoft Software
yaitu dengan dilakukan perbanyakan program komputer tanpa seizin perusahaan Microsoft. Menurut
Microsoft ada lima macam bentuk perbanyakan tanpa hak atau tanpa seizin pencipta software, di
antaranya:
a) Pemuatan ke dalam harddisk. Hal ini dilakukan seseorang saat membeli personal komputer generik di
toko komputer, yang oleh penjual langsung diunduh satu sistem operasi yang hampir seratus persen adalah
Windows;
b) Softlifting. Jika sebuah lisensi dipakai melebihi kapasitas penggunaannya seperti ada lima lisensi tetapi
dipakai pada sepuluh mesin computer;
c) Pemalsuan. Penjualan CD-R illegal pada penyewaan software (program);
d) Downloading Illegal. Mengunduh sebuah program komputer dari internet. Copyright atau hak cipta yang
melindungi ekspresi fisik dari suatu ide misal tulisan, musik, siaran, software dan lain-lain tumbuh ketika
proses penyalinan dapat dibatasi tetapi untuk saat ini sulit untuk mencegah dilakukan penyalinan tersebut
sehingga usaha untuk menerapkan praktek monopoli pada usaha kreatif menjadi tidak beralasan.

Pada era tahun 1980 sampai dengan tahun 1986 ketika perusahaan software sangat khawatir dengan
masalah pengumuman, maka dimanfaatkan teknik proteksi disk yang membuat para pihak menyalin disk
atau program untuk pengumumannya. Tetapi hal ini menyebabkan pengguna mengalami kesulitan untuk
menggunakannya, maka setelah perusahaan perangkat lunak menyadari bahwa mereka tetap memperoleh
keuntungan yang besar dari hal lain seperti servis dan pembelian perangkat lunak asli yang tetap tinggi
maka mereka meniadakan proteksi penyalinan ini. Batasan-batasan yang diberikan oleh UUHC terhadap
penggunaan program komputer menyebabkan banyak perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
yang melanggar hak cipta.

Perlindungan hak cipta selain menggunakan undang-undang Hak Cipta juga dapat diberlakukan dengan
undang-undang ITE. Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 21 April 2008, telah menimbulkan banyak korban di kalangan para
pengguna internet. Berdasarkan pemantauan yang telah aliansi lakukan paling tidak telah ada 4 orang yang
dipanggil oleh aparat hukum dan menjadi tersangka karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur
dalam UU ITE. Para tersangka atau korban UU ITE tersebut merupakan pengguna internet aktif yang
dituduh telah melakukan pelanggaran pada media internet. berdasarkan Pasal 25, Pasal 26, Pasal 30, Pasal
32 ayat 1 UU ITE dengan ancaman berdasarkan Pasal 46 UU ITE, Pasal 48 ayat 2. 

Pasal 25 jo Pasal 26 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi
sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
terdapat pula ketentuan dalam Pasal 32 ayat 1 UU ITE yang mengatur mengenai larangan bagi setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik. Atas pelanggaran
Pasal 32 ayat 1 UU ITE tersebut, Pasal 48 ayat 1 UU ITE mengatur sanksi pidana penjara maksimum 8
(delapan) tahun dan/atau denda maksimum Rp 2 miliar.

Pasal 30 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja atau tanpa hak melakukan tindakan melawan
hukum dengan cara mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain atau dengan melawan
hukum dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik atau dokumen elektronik. Apabila setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer atau sistem elektronik
dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (Pasal
30 UU ITE).

Pada Pasal 46 disebutkan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pada Pasal 32 ayat 2 UU ITE yang mengatur larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU ITE tersebut, maka orang yang melakukannya dapat dipidana
penjara maksimum 9 tahun dan/atau denda maksimum Rp 3 miliar menurut ketentuan Pasal 48 ayat 2 UU
ITE. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE tersebut mengakibatkan
kerugian bagi orang lain, maka ancaman pidananya menjadi lebih besar. Pasal 36 juncto Pasal 51 ayat 2 UU
ITE mengatur ancaman pidana perbuatan tersebut menjadi maksimum 12 (dua belas) tahun penjara
dan/atau denda maksimum Rp 12 miliar.

Apabila setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dikenakan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus
juta rupiah). Serta apabila setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) dikenakan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah). Kedua ancaman hukuman diatur dalam UU ITE ini merupakan pasal-pasal
penting bagi perlindungan hukum ciptaan-ciptaan dilindungi hak cipta yang diumumkan melalui suatu
media internet (Pasal 46 UU ITE). Jadi dapatlah disimpulkan bahwa undang-undang ITE yang melindungi
hak cipta di Internet diatur dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 32 ayat 1 UU ITE dengan ancaman
berdasarkan Pasal 46 UU ITE, Pasal 48 ayat, tetapi tentulah penggunaan Pasal tersebut haruslah didukung
alat bukti elektronik maupun bukti fisik yang memenuhi persyaratan pembuktian baik yang diatur dalam
Pasal 183 maupun Pasal 184 KUHAP dengan Undang-Undang ITE Pasal 5 tentang alat bukti elektronik.

Diskusikanlah di Forum Diskusi inisiasi 5.

Apakah undang-undang Perlindungan Hak Cipta sudah memadai dalam menanggulangi pelanggaran
pelanggaran terhadap hak cipta yang terjadi di masyarakat? Sebutkan juga Pasal-pasal yang melindungi hak
cipta baik individu maupun korporasi yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Dapatkah dalam menanggulangi pelanggaran dan menjerat pelanggar hak cipta di dunia maya digunakan
secara kumulatif kedua undang-undang yakni Undang-undang Hak Cipta dengan Undang-Undang ITE?

Hukum Telematika 06

PERJANJIAN PADA TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KETENTUAN TANDATANGAN DIGITAL

A. PERJANJIAN BERDASARKAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA PADA HUKUM PERDATA (BW).
Sebelum membahas perjanjian pada transaksi elektronik, akan dikemukakan / dijelaskan hukum perjanjian
yang terdapat di dalam hukum perdata (BW) pada buku III. Hal tersebut hukum perjanjian yang terdapat
dalam hukum perdata (BW) juga berlaku pada perjanjian transaksi elektronik. 
I. Dasar Dasar Hukum Perjanjian Secara Umum.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata pada Buku III (BW), menyebutkan bahwa Perjanjian adalah Perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
II. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, diantaranya yang merupakan azas
terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1) Azas Konsensualitas
Bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama
para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata (BW) mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2) Azas Kebebasan Berkontrak
Bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam
Pasal 1338 KUH Perdata (BW) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini meliputi ruang
lingkup sebagai berikut:
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia (subjek hukum) ingin membuat perjanjian;
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f) Kebebasan untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan undang-undang yang bersifat opsional.

3) Asas Kekuatan Mengikat.


Prinsip atau asas kekuatan mengikat menegaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi apa
yang telah dituangkan dalam perjanjian sehingga merupakan perikatan para pihak satu sama lain dalam
perjanjian yang dibuat dan disepakatinya. Pada asas kekuatan mengikat dapat ditemukan dasar hukumnya
dalam Pasal 1374 ayat (1) Buku III Hukum Perdata (BW) yang menegaskan “semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Perjanjian).
Selain itu asas ini juga ditemukan dalam Pasal 1339 (BW) Hukum Perdata yang menyatakan bahwa ”suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

III. Syarat Sahnya Perjanjian


Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
a) Sepakat (Syarat Subyektif)
Mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan,
kekhilafan dan penipuan.

b) Kecakapan (Syarat Subyektif)


bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang
melakukan perjanjian. Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang
cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Berdasarkan
pada Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
yaitu:
i. Orang yang belum dewasa;
ii. Mereka yang berada di bawah pengampuan;
iii. Pemadat;
iv. Lemah akal;
v. Sudah sangat berumur dan pelupa.
c) Hal tertentu (Syarat Objektif)
Maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.

d) Sebab yang halal (Syarat Objektif)


yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban.

Note untuk syarat sahnya perjanjian:


Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah
dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan
oleh hakim/pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum.
Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
IV. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Pembayaran;
b) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera
Pengadilan Negeri;
c) Pembaharuan utang atau novasi;
d) Perjumpaan utang atau Kompensasi;
e) Percampuran utang;
f) Pembebasan utang;
g) Musnahnya barang yang terutang;
h) Batal/Pembatalan;
i) Berlakunya suatu syarat batal;
j) Lewat waktu (Daluwarsa/jangka waktu perjanjian telah lewat/habis).

V. Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan
apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
a) Tidak melaksanakan isi perjanjian baik sebagian maupun seluruhnya;
b) Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c) Terlambat melaksanakan isi perjanjian;
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

VI. Force Majeur


Kegagalan pelaksanaan perjanjian oleh pihak debitor memberikan hak gugat kepada kreditor dalam upaya
menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hak kreditor tersebut, meliputi: pemenuhan, pembubaran dan ganti
rugi. Namun demikian dalam proses penyelesaian sengketa yang berlangsung, penegakan hak kontraktual
kreditor senantiasa berbanding terbalik dengan hak-hak kontraktual debitor. Artinya, hukum memberikan
penghargaan yang sama kepada debitor untuk mempertahankan haknya melalui beberapa cara, yaitu:
pertama, mengajukan eksepsi atau tangkisan berdasarkan doktrin “pelepasan hak”. Pelepasan hak ini
didasarkan pada sikap kreditor yang terkesan menerima prestasi debitor, meskipun prestasi tersebut tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan. Kedua, mengajukan eksepsi atau tangkisan berdasarkan doktrin
“exceptio non adimpleti contractus”. Doktrin ini merupakan sarana pembelaan bagi debitor terhadap dalil
gugatan kreditor, di mana tangkisan debitor tersebut isinya menyatakan bahwa kreditor sendiri tidak
melaksanakan eksepsi. Ketiga, mengajukan eksepsi atau tangkisan karena adanya overmacht.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa dalam transaksi elektronik
khususnya hukum privat dasar yang digunakan adalah aturan-aturan dalam KUH Perdata (BW) terutama
Buku III tentang Perikatan. Pada perikatan ini menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya pihak-
pihak diberi kebebasan dalam membuat perjanjian atau transaksi asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Dalam transaksi elektronik dituntut adanya itikad
baik para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok
yang diperjanjikan.

B. PENYELENGGARAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


Lingkup penyelenggaraan transaksi elektronik dapat berupa public maupun privat. Penyelenggaraan
Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan Sistem Elektronik untuk
kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau Sertifikat Elektronik yang
telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan sistem elektronik Indonesia yang terdaftar.

Penyelenggaraan transaksi elektronik yang bersifat public meliputi:


a) Penyelenggaraan transaksi elektronik oleh instansi atau pihak lain yang menyelenggarakan layanan
public sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE;
b) Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup public lainnya sebagaimana yang diatur dalam
peraturan undang-undang;
c) Dan melaksanakan ketentuan peraturan pemerintah No 82 Tahun 2012.

Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi Transaksi Elektronik yakni sebagai
berikut:
a) Antar-Pelaku Usaha dengan model transaksi Business to Business 
b) Antara Pelaku Usaha denganmodel transaksi konsumen dengan model transaksi Business – consumer.
c) Antarpribadi dengan model transaksi consumer to consumer.
d) Antar-Instansi dengan model transaksi antar transaksi.
e) Antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan Transaksi Elektronik di wilayah Negara Republik Indonesia harus:


a) Memperhatikan aspek keamanan, keandalan, dan efisiensi;
b) Melakukan penyimpanan data transaksi di dalam negeri;
c) Memanfaatkan gerbang nasional, jika dalam penyelenggaraannya melibatkan lebih dari satu
penyelenggara sistem elektronik. Apabila belum dapat dilaksanakan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik
dapat menggunakan sarana lain atau fasilitas dari luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari Instansi
Pengawas dan Pengatur Sektor terkait;
d) Memanfaatkan jaringan sistem elektronik dalam negeri.

Persyaratan transaksi elektronik, bahwa transaksi elektronik yang dilakukan oleh para subjek hukum
memiliki akibat hukum kepada pihak yang melaksanakannya. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang
dilakukan para subyek hukum wajib memperhatikan:
a) Iktikad baik;
b) Prinsip kehati-hatian;
c) Transparansi;
d) Akuntabilitas dan Kewajaran.
Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya
sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak (subyek hukum). Suatu perjanjian atau Kontrak
Elektronik dianggap sah secara hukum apabila:
a) Terdapat kesepakatan para pihak
b) Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
c) Terdapat hal tertentu dan 
d) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
e) Harus dibuat dalam bentuk bahasa Indonesia.

Perjanjian atau Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan
mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian atau
Kontrak Elektronik paling sedikit memuat:
a) Data identitas para pihak;
b) Objek dan spesifikasi;
c) Persyaratan transaksi elektronik ;
d) Harga dan biaya;
e) Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak ;
f) Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang
dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi dan ;
g) Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.

Pelaku usaha yang melakukan penawaran, penjualan suatu produknya wajib:


a) Menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
b) Memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
c) Memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak
sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. 
d) Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim
tanpa dasar kontrak.
e) Menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.

Transaksi elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak yang berkehendak, kesepakatan
tersebut terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah disetujui dan diterima oleh
penerima. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan cara:
a) Tindakan penerimaan dengan pernyataan persetujuan atau 
b) Tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh Pengguna Sistem Elektronik.

Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menjamin:


a) Pemberian data dan informasi yang benar dan 
b) ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan 
c) Selain itu juga wajib menentukan pilihan hukum secara seimbang terhadap pelaksanaan transaksi.

Ketentuan tandatangan elektronik, bahwa tandatangan elektronik berfungsi sebagai alat autentifikasi dan
verivikasi atas:
a) Identitas penandatangan. 
b) Keutuhan dan keautentikan Informasi Elektronik
Dengan ketentuan bahwa Tanda Tangan Elektronik berfungsi sebagaimana tanda tangan manual dalam hal
merepresentasikan identitas Penanda Tangan. Dalam hal pembuktian keaslian (autentikasi) tanda tangan
manual dapat dilakukan melalui verifikasi atau pemeriksaan terhadap spesimen Tanda Tangan Elektronik
dari Penanda Tangan. Pada Tanda Tangan Elektronik, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik berperan
sebagai spesimen Tanda Tangan Elektronik dari Penanda Tangan. Tanda Tangan Elektronik harus dapat
digunakan oleh para ahli yang berkompeten untuk melakukan pemeriksaan dan pembuktian bahwa
Informasi Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut tidak mengalami
perubahan setelah ditandatangani.

Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Elektronik merupakan persetujuan Penanda Tangan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik
tersebut. Apabila terjadi penyalahgunaan tandatangan elektronik maka tanggungjawab pembuktian
penyelahgunaan tandatangan tersebut dibebankan kepada penyelenggara sistem elektronik. Tandatangan
elektronik yang telah digunakan dalam transaksi elektronik dapat dihasilkan melalui berbagai prosedur
penandatanganan. Dan tandatangan elektronik memiliki kekuatan hukum, akibat hukum dan sah apabila:
a) Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan
b) Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa
penanda tangan 
c) Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui 
d) Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui dan berlaku sepanjang digunakan untuk menjamin
integritas informasi elektronik.
e) Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penanda tangannya dan 
f) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan
terhadap informasi elektronik yang terkait.

Jenis tandatangan elektronik yakni sebagai berikut:


a) Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
i. Dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik dan
ii. Dibuktikan dengan sertifikat elektronik.
b) Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yakni dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara sistem
elektronik.
Note:
Akibat hukum dari penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau yang tidak tersertifikasi
berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian. Tanda Tangan Elektronik yang tidak tersertifikasi tetap
mempunyai kekuatan nilai pembuktian meskipun relatif lemah karena masih dapat ditampik oleh yang
bersangkutan atau relatif dapat dengan mudah diubah oleh pihak lain. Dalam praktiknya perlu diperhatikan
rentang kekuatan nilai pembuktian dari Tanda Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian lemah, seperti
tanda tangan manual yang dipindai (scanned) menjadi Tanda Tangan Elektronik sampai dengan Tanda
Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian paling kuat, seperti Tanda Tangan Digital yang diterbitkan oleh
penyelenggara sertifikasi elektronik yang tersertifikasi.

Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik wajib secara unik merujuk hanya kepada Penanda Tangan dan
dapat digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan dalam hal ini dapat dibuat oleh Penyelenggara
Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda Tangan Elektronik. Selain itu juga harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) Seluruh proses pembuatan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik dijamin keamanan dan
kerahasiaannya oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda Tangan
Elektronik 
b) Jika menggunakan kode kriptografi, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik harus tidak dapat dengan
mudah diketahui dari data verifikasi Tanda Tangan Elektronik melalui penghitungan tertentu, dalam kurun
waktu tertentu, dan dengan alat yang wajar
c) Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik tersimpan dalam suatu media elektronik yang berada dalam
penguasaan Penanda Tangan dan 
d) Data yang terkait dengan Penanda Tangan wajib tersimpan di tempat atau sarana penyimpanan data,
yang menggunakan sistem terpercaya milik Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung
Layanan Tanda Tangan Elektronik yang dapat mendeteksi adanya perubahan dan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
i. hanya orang yang diberi wewenang yang dapat memasukkan data baru, mengubah, menukar, atau
mengganti data. 
ii. informasi identitas Penanda Tangan dapat diperiksa keautentikannya dan 
iii. perubahan teknis lainnya yang melanggar persyaratan keamanan dapat dideteksi atau diketahui oleh
penyelenggara sistem elektronik tersebut

Sebelum melakukan penandatanganan terhadap suatu dokumen elektronik, penandatangan wajib


mengetahui, memahami segala informasi dokumen elektronik yang akan ditandatanganinya tersebut.
Penanda Tangan elektronik wajib menjaga kerahasiaan dan bertanggung jawab atas Data Pembuatan Tanda
Tangan Elektronik. Pada proses penandatanganan wajib dilakukan mekanisme untuk memastikan Data
Pembuatan Tanda Tangan Elektronik:
a) Masih berlaku, tidak dibatalkan, atau tidak ditarik
b) Tidak dilaporkan hilang
c) Tidak dilaporkan berpindah tangan kepada orang yang tidak berhak dan 
d) Berada dalam kuasa penanda tangan.

Persetujuan Penanda Tangan terhadap Informasi Elektronik yang akan ditandatangani dengan Tanda
Tangan Elektronik wajib menggunakan mekanisme afirmasi dan/atau mekanisme lain yang memperlihatkan
maksud dan tujuan Penanda Tangan untuk terikat dalam suatu Transaksi Elektronik. Untuk metode dan
teknik yang digunakan untuk membuat Tanda Tangan Elektronik paling sedikit harus memuat:
a) Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik
b) waktu pembuatan Tanda Tangan Elektronik dan 
c) Informasi Elektronik yang akan ditandatangani.

Perubahan Tanda Tangan Elektronik dan/atau Informasi Elektronik yang ditandatangani setelah waktu
penandatanganan wajib diketahui, dideteksi, atau ditemukenali dengan metode tertentu atau dengan cara
tertentu. Dalam kaitannya dengan tandatangan elektronik penyelenggara sistem elektronik wajib:
a) Bertanggung jawab atas penggunaan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik atau alat pembuat Tanda
Tangan Elektronik 
b) Menggunakan alat pembuat Tanda Tangan Elektronik yang menerapkan teknik kriptografi dalam proses
pengiriman dan penyimpanan Tanda Tangan Elektronik.

Ketentuan Identifikasi, Autentikasi, dan Verifikasi Tanda Tangan Elektronik sebelum Tanda Tangan
Elektronik digunakan, Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik wajib memastikan identifikasi awal Penanda
Tangan dengan cara:
a) Penanda Tangan menyampaikan identitas kepada Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik 
b) Penanda Tangan melakukan registrasi kepada Penyelenggara atau Pendukung Layanan Tanda Tangan
Elektronik dan 
c) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik dapat melimpahkan secara rahasia data
identitas Penanda Tangan kepada Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik lainnya atau Pendukung Layanan
Tanda Tangan Elektronik dengan persetujuan Penanda Tangan.

Mekanisme yang digunakan oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik untuk pembuktian identitas
Penanda Tangan secara elektronik wajib menerapkan kombinasi paling sedikit 2 (dua) faktor autentikasi
dan pada proses verifikasi Informasi Elektronik yang ditandatangani dapat dilakukan dengan memeriksa
Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik untuk menelusuri setiap perubahan data yang ditandatangani.

Hukum Telematika 07

E-Banking dan I-Banking

A. Dasar hukum electronic banking

Electronic banking merupakan instrumen transaksi non tunai melalui perangkat elektronik seperti
komputer ataupun telepon. Instrumen semacam ini bisa juga disebut sebagai internet banking dan/atau
phone banking. Untuk menggunakan fasilitas ini, bank menyediakan password, atau pun ID bagi
pelanggannya. Penggunaan instrumen biasanya untuk melakukan transaksi pembayaran ataupun transfer.
Manajemen bank menyadari bahwa, keandalan bank di masa depan lebih ditentukan oleh seberapa efisien
dalam menggali sumber dana murah untuk intermediasi dan seberapa besar bank mendapatkan
pendapatan non bunga. Cara paling ampuh untuk meraih masa depan itu adalah mengembangkan saluran
elektronik atau dikenal sebagai electronic banking.

Electronic banking pada dasarnya memiliki sejumlah saluran (channel), yaitu anjungan tunai mandiri (ATM),
layanan pesan singkat (SMS-banking), internet (internet banking), telepon (call center), dan mesin gesek
kartu di toko-toko (merchant). Pemanfaatan layanan electronic banking mensyaratkan nasabah harus
memiliki rekening tabungan terlebih dahulu untuk menyimpan uang yang akan ditransaksikan. Jadi,
semakin electronic banking diminati, semakin banyak pula bank mengumpulkan dana murah.

Keamanan memang merupakan isu utama dalam electronic banking karena sebagaimana kegiatan lainnya
di internet, transaksi perbankan di internet juga rawan terhadap pengintaian dan penyalahgunaan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebuah situs electronic banking diwajibkan untuk menggunakan
standar keamanan yang sangat ketat untuk menjamin bahwa setiap layanan yang mereka sediakan hanya
dimanfaatkan oleh mereka yang memang berhak. Salah satu teknik pengamanan yang sering digunakan
dalam electronic banking adalah melalui SSL (Secure Socket Layer) maupun lewat protokol HTTPS (Secure
HTTP). Secure sockets layer yang pada awalnya dikembangkan oleh netscape diakui oleh industri internet di
dunia sebagai sebuah layer berkemampuan khusus yang menjembatani network layer transmission control
protocol/internet protocol (TCP/IP) dengan application layer hyper text transport protocol (HTTP) dan
internet messaging acces protocol (IMAP). Kemampuan khusus SSL tersebut adalah pada sistem
penyandian yang mampu menghasilkan kode angka acak sepanjang 128 bit. Mudahnya, TCP/IP ibarat
sebuah pipa paralon yang fungsinya menghantar segala paket data dan informasi transaksi electronic
banking.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyatakan bahwa:
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian
hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”

Sedangkan berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1) mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;


2) mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public;
4) membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab;
5) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi
informasi.

Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan Pasal 29 Ayat (4) yang menyatakan bahwa:
“untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko
kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko
dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) yang
menyatakan bahwa:
“layanan perbankan melalui media elektronik atau selanjutnya disebut Electronic Banking adalah layanan
yang memungkinkan nasabah bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan
transaksi perbankan melalui media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer,
internet banking, mobile phone.”

Dasar hukum mengenai transaksi electronic banking khususnya bagi kegiatan perbankan belum ada
undang-undang secara khusus yang mengaturnya, namun ketentuan-ketentuan berupa peraturan dan
Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat digunakan sebagai dasar
hukum transaksi electronic banking.

B. JENIS-JENIS PRODUK ELECTRONIC BANKING


Beberapa gambaran umum mengenai jenis-jenis teknologi electronic banking dapat dilihat di bawah ini
yakni sebagai berikut:
1) Automated Teller Machine (ATM)
Terminal elektronik yang disediakan lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan
nasabah untuk melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek
saldo, atau pemindahan dana. ATM (Automated Teller Machine) atau Anjungan Tunai Mandiri, ini adalah
saluran electronic banking paling populer yang kita kenal. Fitur tradisional ATM adalah untuk mengetahui
informasi saldo dan melakukan penarikan tunai.

2) Computer Banking
Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke pusat data bank untuk melakukan
beberapa layanan perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.
3) Debit (check) Card
Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan
memperoleh dana yang langsung di debet (diambil) dari rekening banknya.

4) Direct Deposit
Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau instansi
pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana
ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah.

5) Direct Payment dan electronic bill payment.


Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana
elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct
payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct
payment.

6) Electronic Bill Presentment and Payment (EBPP)


Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara
online, misalnya melalui e-mail atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut,
pelanggan boleh membayar tagihan tersebut secara online juga. Pembayaran tersebut secara elektronik
akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.

7) Electronic Check Conversion


Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (nomor rekening, jumlah transaksi, dan lain-lain) ke
dalam format elektronik agar bisa dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.

8) Electronic Fund Transfer (EFT).


Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.

9) Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oleh pemberi kerja sebagai pengganti cek yang
memungkinkan pegawainya mengakses pembayarannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi
kerja menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.

10) Preauthorized Debit (automatic bill payment)


Bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang
diambil dari rekening banknya pada tanggal-tanggal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran
tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telepon, dan lain-lain). Dana secara elektronik ditransfer dari
rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom).

11) Prepaid Card


Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan
sudah membayar nilai tersebut ke penerbit kartu.

12) Smart Card


Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu atau lebih chips atau microprocessors
sehingga bisa menyimpan data, melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus
(misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi). Kartu
ini bisa digunakan pada sistem terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi publik) atau sistem
tertutup (misalnya Master Card atau Visa networks).
13) Stored-Value Card
Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh
pelanggan atau melalui simpanan yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk single-
purpose stored value card, penerbit (issuer) dan penerima (acceptor) kartu adalah perusahaan yang sama
dan dana pada kartu tersebut menunjukkan pembayaran di muka untuk penggunaan barang dan jasa
tertentu (misalnya kartu telepon). Limited-purpose card secara umum digunakan secara terbatas pada
terminal POS yang teridentifikasi sebelumnya di lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines di
sekolah-sekolah). Sedangkan multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa penyedia jasa dengan
kisaran yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo Master Card, Visa, atau logo lainnya dalam jaringan
antar bank.

C. Dasar hukum perlindungan terhadap nasabah

Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. 
Selain itu tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.”

Sedangkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles), tercantum dalam Pasal 4 Ayat (2) yaitu tentang identitas calon nasabah harus dibuktikan
dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung. Dalam Pasal 5 calon nasabah dibedakan dalam 4
golongan, meliputi nasabah:
1) perorangan;
2) perusahaan;
3) kelembagaan;
4) bank.
Pada Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa:
“hak atas kenyamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Selain itu tercantum
dalam Pasal 4 huruf c yang menyatakan bahwa hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
Undang-undang perlindungan konsumen memuat pokok materi di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Product Liability;
2) Contractual Liability;

Pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 18, yang intinya melarang pencantuman
exoneration clauses yang berbentuk klausula baku/standard contract.
1) Professional Liability
2) Criminal Liability
Lembaga independen yang mengurus masalah hak-hak konsumen, di Indonesia adalah Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia disingkat YLKI yaitu organisasi non-pemerintah dan nirlaba yang didirikan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 1973. Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen
tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya . Yayasan
lembaga konsumen Indonesia menanggapi bahwa sudah selayaknya bank memberi keterangan mengenai
transaksi electronic banking yang mengandung risiko, diharapkan nasabah selaku konsumen bank akan
memperoleh perlindungan hukum yang memadai mengenai transaksi-transaksi yang mengandung risiko.
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan pengertian nasabah adalah pihak yang
menggunakan jasa bank.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pengertian nasabah penyimpan adalah:
“nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan.”
Dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan pengertian nasabah debitur adalah: 
“nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Selain itu
tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.”
Pada PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Bank Indonesia mewajibkan seluruh
bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian
finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tata cara penerimaan, penanganan, dan juga
pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank diwajibkan pula untuk memberikan laporan
triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian pengaduan nasabah tersebut. Pada
prinsipnya, PBI di atas mengatur bahwa bank tidak diperkenankan menolak setiap pengaduan yang
diajukan secara lisan maupun tertulis. Untuk pengaduan lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam waktu 2
hari kerja sedangkan untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu 20 hari kerja dan dapat
diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu.
Dari perspektif regulator, penerbitan PBI Penyelesaian Pengaduan Nasabah ini memiliki dua tujuan utama
yaitu untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan untuk
menurunkan publikasi negatif terhadap bank yang dapat mempengaruhi reputasi bank tersebut. Dari sisi
bank, keberadaan PBI ini juga akan sangat membantu bank dalam beberapa hal, antara lain:
1) mengidentifikasi permasalahan yang terdapat pada produk-produk yang ditawarkannya kepada
masyarakat;
2) mengidentifikasi penyimpangan kegiatan operasional pada kantor-kantor bank tertentu yang
mengakibatkan kerugian pada nasabah;
3) memperoleh masukan secara langsung dari nasabah mengenai aspek-aspek yang harus dibenahi untuk
mengurangi risiko operasional;
4) memperbaiki karakteristik produk untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan nasabah.

Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak akan selalu dapat
memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak
dipenuhi bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara
nasabah dengan bank yang dapat merugikan hak-hak nasabah.
Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak terbatas hanya
pada program-program yang terdapat pada Arsitektur Perbankan Indonesia (API) saja. Dalam hal ini, empat
program perlindungan dan pemberdayaan nasabah yang terdapat dalam program-program API merupakan
program inti yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan program peningkatan dan perlindungan nasabah
perbankan ke depan. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menjadi nasabah bank, peningkatan
pelayanan bank kepada nasabah, dan peningkatan kesetaraan hubungan nasabah dengan bank masih
menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Bank Indonesia yang implementasinya tentu saja
memerlukan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Hukum Telematika 08

Aspek-aspek Hukum tentang Electronic Banking dan Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Bank
Dan 
Review Peraturan Pemerintah Ri No 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi
Elektronik

Bank sebagai lembaga keuangan yang dipercaya oleh masyarakat (fiduciary financial institution)
dihadapkan pada dua kewajiban yang saling bertentangan dan tidak dapat dirundingkan, di satu pihak bank
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of
confidentiality). Kewajiban ini timbul dan erat kaitannya dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat
atau para nasabahnya kepada bank selaku lembaga pengelola keuangan atau sumber dana masyarakat.
Kewajiban menjaga rahasia ini sering timbul atas dasar kepercayaan (fiduciary duty), di lain pihak bank juga
berkewajiban untuk mengungkapkan (disclose) keadaan dan catatan keuangan nasabahnya dalam keadaan-
keadaan tertentu mengenai kewajiban untuk membuka rahasia bank.

Layanan teknologi informasi mempunyai arti penting dalam dunia perbankan dimana kemajuan suatu
sistem perbankan sudah barang tentu ditopang oleh peran teknologi informasi. Semakin berkembang dan
kompleksnya fasilitas yang diterapkan perbankan untuk memudahkan pelayanan, itu berarti semakin
beragam dan kompleks adopsi teknologi yang dimiliki oleh suatu bank. Tidak dapat dipungkiri, dalam setiap
bidang termasuk perbankan penerapan teknologi bertujuan selain untuk memudahkan operasional intern
perusahaan, juga bertujuan untuk semakin memudahkan pelayanan terhadap nasabah. Apalagi untuk saat
ini, khususnya dalam dunia perbankan hampir semua produk yang ditawarkan kepada nasabah serupa,
sehingga persaingan yang terjadi dalam dunia perbankan adalah bagaimana memberikan produk yang
serba mudah dan serba cepat.

Melalui penggunaan internet sebagai sarana pertukaran informasi di bidang komunikasi, maka waktu dan
tempat bukanlah menjadi penghalang untuk melakukan transaksi perbankan. Internet banyak
dipergunakan dalam kegiatan perbankan di berbagai negara maju, sebagai alat untuk mengakses data
maupun informasi dari seluruh penjuru dunia. Electronic Fund Transfer (EFT) merupakan salah satu contoh
inovasi dari penggunaan teknologi internet yang mendasar dalam Teknologi Sistem Informasi (TSI) di bidang
perbankan. Electronic Fund Transfer (EFT) diartikan sebagai segala jenis transfer (selain transaksi melalui
cek, draft atau instrumen sejenis) yang dilakukan melalui terminal, instrumen telepon, atau komputer, atau
magnetic tape, untuk memberikan arahan, instruksi atau perintah, atau memberikan wewenang kepada
institusi keuangan (bank, credit union) untuk melakukan pendebetan atau pengkreditan terhadap suatu
rekening.

Sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting di berbagai bidang,
antara lain ke dalam kegiatan masyarakat khususnya di bidang finansial, kegiatan ekonomi serta untuk
memenuhi kebutuhan pribadi seseorang. Di mana semuanya itu dapat dipenuhi melalui jasa-jasa
perbankan. Jasa-jasa yang dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah harus seusai dengan ketentuan yang ada yaitu
berdasarkan pada jenis banknya. Berdasarkan pada penggolongan jenis bank ini maka menurut ketentuan
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, jasa-jasa yang dapat dilakukan oleh bank umum salah satunya adalah mengenai
pemindahan uang transfer.

Pada saat ini, perbankan Indonesia telah mengambankan electronic banking system atau lebih dikenal
dengan perkembangan elektronik. Sistem perbankan elektronik adalah segala macam transfer dan
pemrosesan data dengan menggunakan sistem dan peralatan elektronik yang meliputi transaksi intern dan
ekstern satu bank. Kegiatan transfer dana dengan menggunakan sistem dan peralatan elektronik tersebut
dikenal dengan istilah electronic funds transfer (EFT) atau transfer dana elektronik. Sistem dan peralatan
elektronik yang digunakan dalam transfer dana berupa telepon, komputer, pita magnetis dan lain-lain.

Pengertian elektronik transfer adalah merupakan transfer dana di mana satu atau lebih bagian dalam
transfer yang dahulu digunakan memakai warkat transfer secara fisik kemudian diganti dengan teknik
elektronik. Munir Fuady mengemukakan yang dimaksud dengan transfer uang melalui bank adalah
pengiriman uang atas permintaan pihak pengirim (remitter transferor) dengan menggunakan bank sebagai
perantara (remitting bank, transferor bank, transferee bank) di tempat keberadaan pihak penerima kiriman
(beneficiary, transferee), di tempat keberadaan pihak penerima kiriman (beneficiary, transferee), atau
kepada bank yang diinginkan oleh pihak penerima kiriman uang tersebut (beneficiary) agar uang tersebut
dibayar kepada pihak yang dituju (beneficiary, transferee).

Pada dasarnya transaksi dengan menggunakan electronic funds transfer berbeda dengan transaksi secara
konvensional yang digunakan dengan menggunakan kertas paper maka dalam electronic funds transfer
adalah transaksi pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan kertas paper atau warkat melainkan
menggunakan media elektronik. Transfer dana harus dibedakan antara transfer dana secara elektronik
dengan menggunakan internet dan transfer dana elektronik non internet.

Rachmat Syafe’I mengemukakan pengertian transfer adalah satu jasa atau tugas perbankan untuk
membantu masyarakat dalam mengirim uang dari satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan pengertian
diatas, transaksi perbankan menggunakan electronic funds transfer mencangkup semua transaksi
perbankan yang dilakukan secara paperless antara lain automatic teller machine (ATM) dan kartu kredit
(credit card). Sedangkan transfer dana yang dilakukan melalui layanan internet banking adalah layanan
yang benar-benar menggunakan teknologi internet di mana nasabah memiliki acount internet banking
sehingga melakukan transfer dana melalui jaringan internet dengan menggunakan fasilitas- fasilitas website
dari bank bersangkutan.

Semua jenis transaksi yang ada dalam electronic funds transfer (EFT) tersebut sudah diterapkan dalam
perbankan Indonesia yang paling banyak digunakan oleh masyarakat sekarang ini adalah produk ATM dan
transfer melalui layanan internet banking. Electronic funds transfer memiliki beberapa fungsi yaitu, sebagai
bentuk pelayanan yang efisien yang diberikan oleh pihak bank kepada para nasabah dan sebagai produk
yang dapat memberikan kemudahan bagi nasabah dalam melakukan transaksi perbankan antara lain
penarikan uang tunai, pembayaran uang belanja di pasar swalayan, melakukan transaksi inquire saldo serta
pemindahan saldo ke rekening nasabah yang bersangkutan.

Transaksi dengan mengguna electronic funds transfer khususnya pada transfer dana yang dilakukan secara
elektronik sangat rentan terhadap timbulnya penipuan (fraud) yang antara lain dapat dilakukan oleh
nasabah atau pihak yang berhubungan dengan nasabah, pihak bank dalam hal ini adalah pegawai bank itu
sendiri maupun transmisi telekomunikasi. Selain penipuan (fraud) juga dimungkinkan adanya kesalahan
(erorr) yang disebabkan oleh tidak adanya standarisasi dari format messages, tidak ada standarisasi
prosedur electronic funds transfer, juga kesalahan dari peralatan atau softwere yang digunakan. Dalam hal
ini human erorr juga dapat terjadi. 
Beberapa tindakan pengamanan telah dilakukan oleh pihak bank guna menghindari penipuan (fraud)
hingga saat ini, di antaranya adalah dengan memberikan kebebasan kepada nasabah untuk menentukan
sendiri nomor PIN dan dengan menggunakan memuat foto diri dari nasabah yang bersangkutan pada
kartunya tersebut. Secara teknis, juga telah dilakukan dengan meningkatkan metode verifikasi atas
pemegang kartu dan otorisasi untuk setiap transaksi. Walaupun pihak bank telah memberikan tindakan
perlindungan bagi nasabah tetapi dalam praktiknya jika muncul satu permasalahan maka nasabah dapat
dikalahkan karena nasabah memiliki kedudukan yang lemah. Salah satu contoh kasus yang terjadi dialami
oleh nasabah yang akan melakukan transfer dari rekening BNI dengan menggunakan fasilitas internet
banking ke rekening BRI pada tanggal 3 Desember 2010 pukul 05.00 WIB. Di dalam perintah layanan
internet banking menyatakan semua data pengirim dan penerima sudah dinyatakan benar datanya, akan
tetapi setelah di cek kepada penerima dana yang ditransferkan belum masuk rekening. Pengirim
memberitahukan kepada pihak bank, namun pihak bank hanya mengklaim bahwa apabila transaksi gagal
uang akan secara otomatis masuk lagi ke rekening artinya transaksi yang telah dilakukan sudah sesuai
prosedur yang ada dalam layanan internet tersebut berhasil. Pada situasi ini, terlihat bahwa nasabah
sebagai konsumen pengguna jasa electronic funds transfer memiliki kedudukan yang lemah dan nasabah
sering dirugikan\ dan hal itu dapat dilihat juga pada klausula baku antara nasabah dengan bank.

Peraturan perundang-undangan di bidang Perbankan tidak memberikan pengertian tentang transfer dana,
namun undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum, antara lain,
meliputi: ‘’memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.

Dalam ruang siber (cyber space) pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan
pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi,
mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di
Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis yurisdiksi, yakni yurisdiksi untuk menetapkan
undang-undang (the jurisdiction to prescribe), yurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to
enforce), dan yurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate). 

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan,
yaitu: pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan
berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat
utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang
bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan
hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan yurisdiksi
berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum
didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di
luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam,
asas Universality.

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), suara elektonik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan/atau menyebabkan informasi.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum
yang sah. Informasi Elektonik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: (a) surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dalam UU ITE menegaskan bahwa Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut. (a) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
terkait hanya kepada Penanda Tangan; (b) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; (c) segala perubahan terhadap
Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (d) segala
perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah
waktu penandatanganan dapat diketahui; (e) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi
siapa Penandatangannya; dan (f) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah
memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait. UU ITE ini memberikan pengakuan
secara tegas meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang
sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.
Persyarat dimaksud di atas merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda
Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk
mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.

Setiap orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas
Tanda Tangan Elektronik yang digunakan. Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sekurang-kurangnya
meliputi: (a) sistem tidak dapat diakses orang lain yang tidak berhak; (b) Penanda Tangan harus
menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait
pembuatan Tanda Tangan Elektronik; (c) Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara
yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya
harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap mempercayai Tanda
Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika: (1) Penanda Tangan
mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau (2) keadaan yang
diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data
pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan (d) dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung
Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan keberadaan dan keutuhan semua informasi
yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut. Setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan
bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

UU ITE ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia , yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan
kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Para pihak memiliki
kewenangan untuk memiliki hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan
forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara
negara, orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan
secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana di sahkan pada tanggal 23 Maret 2011,
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Puji
Atmoko mengatakan ada keterkaitan karena sebelumnya Rancangan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Rancangan Undang-undang Transfer Dana berkeinginan untuk dimajukan
bersamaan, karena Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah payung hukum umum
terhadap segala jenis transaksi yang berkaitan dengan elektronik.

Pada zaman sekarang hampir segala jenis transaksi dilakukan dengan menggunakan elektronik, ada
beberapa hal yang diatur dalam UU ITE diatur juga di dalam UU Transfer Dana di antaranya: pengakuan alat
bukti elektronik, pengakuan tanda tangan elektronik, beban pembuktian, pengakuan transfer melalui
media elektronik. 

Dalam Undang-Undang Transfer Dana Pasal 76 menyebutkan bahwa Informasi elektronik, dokumen
elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana merupakan alat bukti hukum yang sah
dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Tanda tangan elektronik dalam kegiatan Transfer Dana memiliki kekuatan hukum yang sah. Tanda Tangan
Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

1) Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
2) Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada
dalam kuasa Penanda Tangan;
3) Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui;
4) Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
5) Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
6) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Sistem keuangan merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis karena terus-menerus berubah sebagai
reaksi terhadap pergeseran atau perubahan yang terjadi pada permintaan dari masyarakat dan
perkembangan teknologi informasi. Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang
memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa konsekuensi pada
timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai pengguna jasa
perbankan. Dari sisi pihak yang memiliki kelebihan dana, interaksi dengan bank terjadi pada saat pihak yang
kelebihan dana tersebut menyimpan dananya pada bank dalam bentuk giro, tabungan, deposito,
sementara dari sisi pihak yang memerlukan dana interaksi terjadi pada saat pihak yang memerlukan dana
tersebut meminjam dana dari bank guna keperluan tertentu. Interaksi antara bank dengan nasabah salah
satunya bank sebagai penyelenggara transfer dana harus memiliki kepastian hukum terhadap nasabahnya
dalam melakukan segala jenis transaksi melalui media internet dengan cara mentransfer.

Transfer dana secara elektronik adalah seluruh kegiatan transfer dana yang dilaksanakan menggunakan
infrastruktur elektronik dalam pelaksanaannya transfer dana elektronik ini dapat berupa; Transfer dana
melalui sistem elektronik banking dalam arti kegiatan transfer dana benar-benar melalui teknologi internet
di mana nasabah memiliki acount internet banking sehingga melakukan transfer dana melalui jaringan
internet dengan menggunakan fasilitas menggunakan fasilitas website dari bank bersangkutan. Penggunaan
internet banking dilakukan melalui komputer milik nasabah yang langsung mengakses jaringan internet
milik bank dengan demikian nasabah seolah olah memiliki atm sendiri. Karena nasabah bisa melakukan
transfer dana juga pembayaran-pembayaran transaksi lainnya. Pengaturan mengenai keabsahan dokumen
elektronik dan tanda tangan elektronik merupakan payung hukum bagi masyarakat yang melakukan
kegiatan transfer melalui elektronik.

Undang-undang mengenai Transfer dana mengatur hal yang sama mengenai penyelenggara elektronik di
mana nasabah mengalami kerugian. Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang
menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau Penerima, Penyelenggara dan/atau pihak lain yang
mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya
keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana tersebut. Artinya baik pengirim dan penyelenggara harus
mampu membuktikan kesalahan transfer yang mengakibatkan kerugian terhadap nasabah.

Dalam rangka memberikan perlindungan dan keamanan bagi penyelenggaraan kegiatan transaksi
elektronik, sejalan dengan UU ITE, Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai pengaturan (regulasi) terkait
penggunaan teknologi informasi bagi perbankan dan lembaga penyelenggara sistem pembayaran dalam
bentuk Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia. Pengaturan tersebut antara lain
ditujukan untuk meningkatkan keamanan, integritas data, dan ketersediaan layanan transfer melalui media
elektronik, misalnya dengan mewajibkan seluruh penerbit kartu untuk menggunakan chip pada kartu-kartu
pembayarannya, menggunakan ‘two factors authentication’ pada transaksi on-line yang bersifat financial,
melakukan enkripsi pada transaksi mobile banking.

Penyusunan ketentuan mengenai Penerapan Manajemen Risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi
oleh Bank dalam PBI No. 9/15/PBI/2007 dimaksudkan untuk menjadi pokok-pokok penerapan manajemen
risiko dalam penggunaan teknologi informasi yang harus diterapkan oleh Bank untuk memitigasi risiko yang
berhubungan dengan penyelenggaraan teknologi informasi. Hal ini mengingat terdapat risiko yang dapat
merugikan Bank dan nasabah seperti risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi selain risiko
perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko kredit. Dalam PBI dimaksud diatur bahwa Bank dapat
menyelenggarakan teknologi informasi sendiri dan atau menggunakan jasa pihak penyedia jasa teknologi
informasi sepanjang memenuhi persyaratan antara lain:
1) bank bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko;
2) pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan seluruh informasi termasuk rahasia bank dan data
pribadi nasabah;
3) pihak penyedia jasa tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern dan bank Indonesia;
4) pihak penyedia jasa harus bersedia untuk kemungkinan early termination apabila menyulitkan fungsi
pengawasan Bank Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang tentang Transfer Dana, yang dimaksud dengan Transfer Dana adalah
rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan untuk memindahkan
sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan
diterimanya Dana oleh Penerima Dana. Yang dimaksud dengan Dana adalah (a) uang tunai yang diserahkan
oleh Pengirim kepada Bank Penerima; (b) uang yang tersimpan dalam Rekening Pengirim pada Bank
Penerima; (c) uang yang tersimpan dalam Rekening Bank Penerima pada Bank Penerima lainnya; (d) uang
yang tersimpan dalam Rekening Penerima pada Bank Penerima Akhir; (e) uang yang tersimpan dalam
Rekening Bank Penerima yang dialokasikan untuk kepentingan Penerima yang tidak mempunyai Rekening
pada Bank tersebut; dan/atau (f) fasilitas cerukan (overdraft) atau fasilitas kredit yang diberikan Bank
kepada Pengirim. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari Pengirim kepada Bank
Penerima untuk membayarkan sejumlah Dana tertentu kepada Penerima. Perintah Tidak Bersyarat adalah
suatu perintah yang pelaksanaannya tidak digantungkan kepada terjadi atau tidak terjadi suatu keadaan
tertentu yang dikehendaki Pengirim Asal.

Salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank
Indonesia diberikan kewenangan sebagai berikut. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian; memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan
pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
melaksanakan pengawasan bank secara langsung maupun tidak langsung; mengenakan sanksi terhadap
bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemajuan perekonomian bangsa jelas tidak akan maksimal bila tanpa ditunjang oleh kemajuan teknologi
dan informasi. Kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak lagi
terkongkong oleh batas-batas negara. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 18
Tahun 2002 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Teknologi diartikan sebagai berikut “Cara
atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan dan
peningkatan mutu kehidupan manusia”.

Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya penemuan-penemuan baru seperti internet,
merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan sosial. Internet menyentuh semua lapisan
masyarakat dunia, termasuk didalamnya dunia perbankan. Dunia Perbankan tidak berbeda dengan industri
lainnya dimana teknologi Internet mulai menjadi merasuk dan bahkan sebagian sudah menjadi standar
baku. Electronic Funds Transfer melalui Internet banking mulai muncul sebagai salah satu servis dari Bank.
Servis ini mulai menjadi tuntutan dari sebagian nasabah bank, sama halnya dengan servis layanan internet
banking, ATM dan phone banking. Akan aneh jika sebuah bank tidak memiliki ATM. Demikian pula tidak
lama lagi akan aneh jika sebuah bank tidak memiliki Internet Banking meskipun jumlah pengguna Internet
di Indonesia masih sedikit. Kegiatan transfer dana secara elektronik erat kaitannya dengan layanan internet
banking, karena kegiatan yang dilakukan benar-benar menggunakan fasilitas bank melalui internet.
Penyelenggaraan internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam
kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan semakin mudah, akan tetapi di sisi
yang lain membuatnya juga semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, faktor keamanan harus
menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor keamanan ini dapat menjadi salah
satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan oleh pihak bank. Prinsip kehati-hatian dalam perbankan haruslah
diutamakan dalam melakukan kegiatan perbankan. Hal ini terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
yaitu “perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.”

Aktivitas internet banking meningkatkan dan memodifikasi risiko-risiko seperti strategi, operasional dan
reputasi. Hal ini disebabkan risiko tersebut terkait langsung dengan ancaman terhadap aliran data yang
reliable dan semakin kompleksnya teknologi yang menjadi dasar internet banking. Beberapa risiko yang ada
dalam penyelenggaraan internet banking, yaitu sebagai berikut:
1) Risiko Kredit (Credit Risk);
2) Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk);
3) Risiko Likuiditas (Liquidity Risk);
4) Risiko Transaksi (Transaction Risk);
5) Risiko Komplain (Complience Risk);
6) Risiko Reputasi (Reputation Risk).

Seiring dengan meningkatnya pemanfaatan Internet Banking dalam melakukan transfer dana, akan semakin
banyak pihak-pihak yang mencari kelemahan sistem Internet Banking yang ada. Serangan-serangan
tersebut akan semakin beragam jenisnya dan tingkat kecanggihannya. Bila dahulu serangan tersebut
umumnya bersifat pasif, misalnya eavesdropping dan offline password guessing, kini serangan tersebut
menjadi bersifat aktif, dalam arti penyerang tidak lagi sekedar menunggu hingga user beraksi, akan tetapi
mereka beraksi sendiri tanpa perlu menunggu user. Beberapa jenis serangan yang dapat dikategorikan ke
dalam serangan aktif adalah man in the middle attack dan trojan horses. Berbagai upaya preventif memang
telah diterapkan oleh kalangan perbankan di Indonesia yang menyelenggarakan layanan Internet Bank.
Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas perbankan, menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Bank
Indonesia memiliki kewenangan sebagai berikut:
1) Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian;
2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank
Indonesia.

Sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan
beberapa peraturan mengenai internet banking yaitu, Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007
tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dan Surat
Edaran Bank Indonesia No.6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang penerapan Manajemen Risiko pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain
sebagai berikut:
1) Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada
aktivitas internet banking secara efektif;
2) Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman
tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank
Melalui Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia
tersebut;
3) Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking
adalah:
a. adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank;
b. pengendalian pengamanan (security control);
c. manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi.

Proses Transfer Dana berakhir pada saat (1) dana hasil transfer diterima oleh Penerima atau (2) Bank
Penerima Akhir telah melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana dari Bank Pengirim sebelumnya,
dengan melakukan kegiatan sebagai berikut. (a) menyampaikan pemberitahuan pengaksepan kepada Bang
Pengirim sebelumnya; (b) melakukan pendebitan Rekening Bank Pengirim sebelumnya pada Bank Penerima
Akhir; (c) mengalokasikan Dana untuk kepentingan Penerima; (d) menerima Perintah Transfer Dana dari
Bank Pengirim sebelumnya, antarBank Penerima Akhir dan Bank Pengirim tersebut telah terdapat
perjanjian bahwa setiap perintah transfer Dana yang diterima dari Bank Pengirim akan dilaksanakan oleh
bank penerima akhir; (f) mengirimkan pemberitahuan kepada penerima bahwa penerima mempunyai hak
untuk mengambil dana hasil transfer; (g) dalam bak bank penerima akhir melakukan lebih dari satu
kegiatan pengaksepan terhitung sejak dilakukan pengaksepan yang lebih dahulu terjadi.

Pengaturan tentang tanggung jawab bank terkait dengan keterlambatan transfer dana ditentukan dalam
Pasal 50 tentang Transfer Dana, sebagai berikut:

Pasal 50
1) Setiap Bank yang terlambat melaksanakan Perintah Transfer Dana bertanggung jawab dengan membayar
bunga atas keterlambatan tersebut kepada Penerima.
2) Ketentuan mengenai tatacara pembayaran, penghitungan jangka waktu, dan besarnya bunga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan berbasis transaksi elektronik, ternyata belum
diikuti dengan perkembangan hukum yang mengikuti percepatan kemajuan teknologi tersebut. Sistem
transfer dana baik secara elektronik maupun konvensional sebenarnya dapat memberikan banyak
kemudahan. Namun harus disadari bahwa sistem tersebut seringkali membuat perlindungan nasabah
menjadi tidak jelas. Pada dasarnya, transfer dana melalui media elektronik dasar pengaturannya telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Kegiatan transfer dana yang bersifat kredit maupun debit dapat dilakukan tergantung pada pemilihan
secara konvensional maupun elektronik, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sistem transfer dana
merupakan suatu kepentingan yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur mengenai tanggung jawab antara
penyelenggara sistem elektronik bank dan nasabah. Segala jenis memenuhi prinsip hubungan keperdataan
nasabah dengan bank, maka bank akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan
teknologi informasi yang menggunakan jasa pihak penyedia jasa. Demikian pula pihak penyelenggara jasa
tersebut akan terikat dengan segala ketentuan sebagai pihak terkait bank.

REVIEW
PERATURAN PEMERINTAH RI NO 82 TAHUN 2012
TENTANG
PENYELENGGARAAN SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

1. Peraturan pemerintah ini merupakan sebagai instrument hukum sebagai pelaksanaan dari Undang-
undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik khususnya yang berkaitan dengan Pasal
10 Ayat 2 yakni lembaga sertifikasi keandalan, Pasal 11 Ayat 2 yakni tandatangan elektronik, Pasal 13 ayat 6
yakni penyelenggara sertifikasi elektronik, Pasal 16 ayat 2 yakni penyelengaraan sistem elektronik, Pasal 17
ayat 3 yakni penyelenggaraan transaksi elektronik, Pasal 22 ayat 2 yakni penyelenggara agen elektronik,
Pasal 24 ayat 4 yakni pengelolaan nama domain.

2. Peraturan pemerintah ini mengatur hal-hal yang meliputi sebagai berikut:


a) Penyelenggaraan sistem elektronik
b) Penyelenggara agen elektronik.
c) Penyelenggaraan transaksi elektronik.
d) Tandatangan elektronik.
e) Penyelenggara serttifikasi elektronik.
f) Lembaga sertifikasi keandalan.
g) Pengelolaan nama domain.

3. Penyelengaraan sistem elektronik dilaksanakan oleh penyelengraa sistem elektronik yang bertujuan
untuk:
a) Pelayanan public (wajib melakukan pendaftaran sebelum sistem elektronik mulai digunakan kepada
menkoinfo)
b) Pelayanan non public (dapat dilakukan pendaftaran maupun tanpa pendaftaran).

4. Penyelengaraan sistem elektronik dalam hal ini meliputi pengaturan dalam hal:
a) Pendaftaran 
b) Perangkatkeras (hardware)
c) Perangkat lunak (software)
d) Tenaga ahli
e) Tata kelola
f) Pengamanan
g) Sertifikasi kelayakan sistem elektronik
h) Pengawasan.

5. Pengaturan perangkat keras (hardware) yang harus digunakan oleh penyelenggara elektronik harus
meliputi:
a) Memenuhi aspek interkonektivitas dan kompatibilitas dengan sistem yang digunakan.
b) Memperoleh sertifikat kelaikan dari Menteri informasi dan komunikasi.
c) Mempunyai layanan dukungan teknis, pemeliharaan, dan purnajual dari penjual atau penyedia.
d) Memiliki referensi pendukung dari pengguna lainnya bahwa perangkat keras yang berfunsi sesuai
dengan kegunaannya.
e) Memiliki jaminan ketersediaan suku cadang paling sedikit 3 (tiga) tahun; 
f) Memiliki jaminan kejelasan tentang kondisi kebaruan 
g) Memiliki jaminan bebas dari cacat produk 

6. Penyelenggara sistem elektronik wajib menjunjung tinggi netralitas teknologi dan kebebasan dalam
memilih perangkat keras yang ditetapkan oleh kementerian informasi dan komunikasi RI melalui peraturan
menteri.

7. Perangkat lunak yang digunakan oleh penyelenggara elektronik untuk pelanan public wajib:
a) Terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan 
b) Terjamin keamanan dan keandalannya sebagaimana mestinya
c) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

8. Penyedia yang mengembangkan Perangkat lunak yang khusus dibuat untuk suatu instansi wajib
menyerahkan kode sumber dan dokumentasi atas perangkat lunak kepada instansi yang bersangkutan dan
hal ini dapat pula dalam keadaan tertentu kode tersebut di simpan atau diberikan kepada pihak ketiga yang
dapat dipercaya dengan ketentuan bahwa penyedia wajib menjamin memperoleh dan atau akses terhadap
kode sumber dan dokumentasi atas perangkat lunak kepada pihak ketiga tersebut.

9. Penyelenggaraan sistem elektronik wajib menjamin kode kerahasiaan sumber perangkat lunak yang
digunakan terkecuali dalam hal kepeentingan hukum seperti penyidikan terhadap suatu kasus.
10. Tenaga ahli yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik harus wajib memiliki kemampuan
dibidang sistem elektronik dan atau teknologi dengan sertifikat keahlian ahli yang bersangkutan. Apabila
suatu penyelenggara elektronik tersebut bersifat strategis dan menyangkut pelayanan public yang mana
memerlukan tenaga ahli maka tenaga ahli tersebut haruslah berkewarganegaraan Indonesia dan apabila
tidak ada tenaga ahli kewarganegaraan Indonesia barulah dapat menggunakan tenaga ahli yang
berkewarganegaraan asing .

11. Mengenai tata kelola sistem elektronik, penyelenggara sistem elektronik wajib menjamin:
a) Tersedianya perjanjian tingkat layanan
b) Tersedianya perjanjian tingkat keamanan informasi terhadap jasa layanan teknologi Informasi yang
digunakan dan
c) Keamanan informasi dan sarana komunikasi internal yang diselenggarakan.
d) Wajib menjamin komponen dan keterpaduan seluruh sistem elektronik beroperasi tersebut.

12. Penyelenggara sistem elektronik harus memiliki dan menerapkan sistem resiko management kerusakan
atau kerugian yang timbul.

13. Penyelenggara sistem elektronik wajib memiliki sistim kebijakan tata kelola, prosedur kerja,
pengoperasian, dan mekanisme audit yang dilakukan secara berkala terhadap sistem elektronik tersebut.

14. Penyelenggara sistem elektronik wajib untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi yang dikelolanya.
b) Menjamin bahwa perolehan, penggunaan, dan pemanfaatan data pribadi berdasarkan persetujuan
pemilik data pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan undang-undang dan,
c) Menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan didasarkan persetujuan dari pemilik data
pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan yang disampaikan kepada pemilik data pribadi pada saat
perolehan data. Dalam hal penyelenggara elektronik gagal mengamabkan data, maka harus melakukan
pemberitahukan kepada pemilik data tersebut secara tertulis.

15. Khusus untuk penyelenggara elektronik yang sifatnya public harus lebih dan wajib menerapkan sistem
tata kelola yang baik dan akuntabel, yang setidaknya memiliki syarat:
a) Tersedianya prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik yang di dokumentasikan
dan atau diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dimengerti oleh pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
b) Adanya mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan dan kejelasan prosedur pedoman
pelaksanaan.
c) Adanya kelembagaan dan kelengkapan personel pendukun g bagi pengoprasian sistem elektronik
sebagaimana mestinya.
d) Adanya penerapan management kinerja pada sistem elektronik yang diselenggarakan untuk memastikan
sistem elektronik bekerja sebagaimana mestinya.
e) Adanya rencana menjaga keberlangsungan penyelenggaraan sistem elektronik yang dikelolanya.

16. Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib memiliki rencana keberlangsungan
kegiatan untuk menanggulangi gangguan atau bencana sesuai dengan risiko dari dampak yang
ditimbulkannya dan selain itu wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah
Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara
terhadap data warga negaranya.

17. Pengamanan penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan rekaman atau jejak histories audit
terhadap seluruh kegiatan penyelenggaraan sistem elektronik hal ini digunakan untuk kepentingan
penegakan hukum, pengawasan, penyelesaian sengketa, verivikasi, pengujian, dan pemeriksaan lainnya.

18. Penyelenggara sistem elektronik wajib melakukan pengamanan terhadap komponen sistem elektronik,
memiliki dan menjalankan prosedur serta sarana untuk melakukan pengamanan sistem elektronik dalam
menanggulangi menghindari gangguan kegagalan dan kerugian.

19. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, keautentikan, keteraksesan,
ketersediaan, dan dapat ditelusurinya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam penyelenggaraan Sistem Elektronik yang
ditujukan untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dapat dipindahtangankan,
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus unik serta menjelaskan penguasaan dan
kepemilikan.

20. Penyelenggara Sistem Elektronik harus menjamin berfungsinya Sistem Elektronik sesuai dengan
peruntukannya, dengan tetap memperhatikan interoperabilitas dan kompatibilitas dengan Sistem
Elektronik sebelumnya dan/atau Sistem Elektronik yang terkait.

21. Penyelenggara sistem elektronik wajib melakukan edukasi kepada pengguna sistem elektronik dan
edukasi ini minimal mengenai hak dan kewajiban dan tanggungjawab seluruh pihak terkait serta prosedur
komplain.

22. Penyelenggara sistem elektronik wajib menyampaikan informasi kepada pengguna sistem elektronik
paling sedikit mengenai hal-hal sebagai berikut:
a) Identitas penyelenggara sistem elektronik
b) Objek yang ditransaksikan
c) Kelayakan atau keamanan sistem elektronik
d) Tata cara penggunaan perangkat
e) Syarat kontrak
f) Prosedur mencapai kesepakatan
g) Jaminan privasi atau perlindungan data pribadi.

23. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan fitur sesuai dengan karakteristik Sistem Elektronik
yang digunakannya dan paling sedikit berupa:
a) Melakukan koreksi 
b) Melakukan pembatalan
c) Memberikan konfirmasi dan atau rekonfirmasi
d) Memilih meneruskan dan atau berhenti melaksanakan aktivitas berikutnya
e) Melihat informasi yang disampaikan berupa tawaran kontrak atau iklan.
f) Mengecek berhasil atau gagalnya suatu transaksi
g) Membaca perjanjian sebelum melakukan transaksi

24. Penyelenggara elektronik selain itu juga wajib mengamankan dan melindungi penggunanya dan
masyarakat luas dari kerugian yang ditimbulkan oleh sistem elektronik yang diselenggarakannya. 

25. Setiap orang yang bekerja di lingkungan penyelenggaraan Sistem Elektronik wajib mengamankan dan
melindungi sarana dan prasarana Sistem Elektronik atau informasi yang disalurkan melalui Sistem
Elektronik selain itu juga Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan, mendidik dan melatih
personel yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pengamanan dan perlindungan sarana dan
prasarana Sistem Elektronik.
26. Dalam hal untuk keperluan proses peradilan pidana, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
memberikan informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem
Elektronik atas permintaan yang sah dari penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan kewenangan
yang diatur dalam undang-undang.

27. Pengaturan sertifikasi kelayakan sistem elektronik, Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan
publik wajib memiliki Sertifikat Kelaikan Sistem Elektronik terhadap seluruh komponen atau sebagian
komponen dalam Sistem Elektronik sesuai dengan karakteristik kebutuhan perlindungan dan sifat strategis
penyelenggaraan Sistem Elektronik, yang mana sertifikat kelayakan sistem elektronik diperoleh melalui
proses sertifikasi kelayakan elektronik yang diberikan oleh menteri (menkoinfo) dengan memperhatikan
dan mengacu pada Standar dan/atau persyaratan teknis yang digunakan dalam proses Sertifikasi Kelaikan
Sistem Elektronik ditetapkan oleh Menteri (menkoinfo). 

28. Dalam mengeluarkan sertifikasi kelayakan elektronik menkoinfo dapat mendelegasikan kepada lembaga
sertifikasi yang telah diakui oleh kemententerian informasi dan komunikasi dengan tetap memperhatikan
dan mengacu pada Standar dan/atau persyaratan teknis yang digunakan dalam proses Sertifikasi Kelaikan
Sistem Elektronik ditetapkan oleh Menteri (menkoinfo).

29. Pengawasan sistem elektronik dilakukan oleh kementerian informasi dan telekomunikasi yang
mencakup pemantauan, pengendalian, pemeriksaan, penelusuran dan pengamanan, selain itu mengenai
Ketentuan mengenai pengawasan atas penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam sektor tertentu wajib
dibuat oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait setelah berkoordinasi dengan Menteri
komunikasi dan informasi. 

30. Ketentuan mengenai agen elektronik, Penyelenggara Sistem Elektronik dapat menyelenggarakan sendiri
Sistem Elektroniknya atau melalui Penyelenggara Agen Elektronik. Agen elektronik dapat berbentuk:
a) Visual
b) Audio
c) Data elektronik dan data lainnya.

31. Agen Elektronik wajib memuat atau menyampaikan informasi untuk melindungi hak pengguna yang
paling sedikit meliputi informasi mengenai: 
a) Identitas penyelenggara Agen Elektronik
b) Objek yang ditransaksikan
c) Kelayakan atau keamanan Agen Elektronik 
d) Tata cara penggunaan perangkat dan 
e) Nomor telepon pusat pengaduan 

32. Agen Elektronik wajib memuat atau menyediakan fitur dalam rangka melindungi hak pengguna sesuai
dengan karakteristik Agen Elektronik yang digunakannya, hal ini dapat berupa fasilitas, sebagai berikut:
a) Melakukan koreksi.
b) Membatalkan perintah.
c) Memberikan konfirmasi atau rekonfirmasi.
d) Memilih meneruskan atau berhenti melaksanakan aktivitas berikutnya.
e) Melihat informasi yang disampaikan berupa tawaran kontrak atau iklan dan/atau 
f) Mengecek status berhasil atau gagalnya transaksi.

33. Agen Elektronik dapat diselenggarakan untuk lebih dari satu kepentingan Penyelenggara Sistem
Elektronik yang didasarkan pada perjanjian antara para pihak dengan perjanjian yang dibuat dan disepakati
oleh para pihak tersebut yang mana paling sedikit perjanjian tersebut harus memuat hal-hal sebagai
berikut:
a) Hak dan kewajiban
b) Tanggung jawab
c) Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa 
d) Jangka waktu
e) Biaya
f) Cakupan layanan dan 
g) Pilihan hukum. 

34. Dalam hal Agen Elektronik diselenggarakan untuk lebih dari satu kepentingan Penyelenggara Sistem
Elektronik, penyelenggara Agen Elektronik wajib memberikan perlakuan yang sama seperti pemberlakuan
tarif, fasilitas, prosedur yang sama terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik yang menggunakan Agen
Elektronik tersebut.

35. Agen elektronik wajib melakukan pendaftaran sebagai agen elektronik di kementerian informasi dan
telekomunikasi. 

36. Penyelenggara agen elektronik harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:


a) Kehati-hatian.
b) Pengamanan dan integrasinya sistem teknologi informasi.
c) Pengendalian pengamanan atas aktivitas transaksi elektronik.
d) Evektifitas dan efisiensi biaya
e) Memperhatikan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam undang-undang perlindungan
konsumen.

37. Penyelenggara agen elektronik selain itu juga harus memiliki dan menjalankan prosedur standar
pengoprasian yang memenuhi prinsip pengendalian pengamanan data pengguna dan transaksi elektronik
yang meliputi hal hal sebagai berikut:
a) Kerahasiaan
b) Integritas
c) Ketersediaan
d) Keauntentikan
e) Otorisasi
f) Kenirsangkalan.

38. Penyelenggara agen elektronik wajib:


a) Melakukan pengujian terhadap keautentikan identitas dan memeriksa otorisasi pengguna sistem
elektronik yang melakukan transaksi elektronik.
b) Memiliki dan melaksanakan kebijakan serta prosedur mengambil tindakan jika terdapat indikasi
pencurian data.
c) Memastikan pengendalian otorisasi dan hak akses terhadap sistem, data base, dan aplikasi transaksi
elektronik.
d) Menyusun dan dan melaksanakan serta prosedur untuk melindungi dan atau merahasiakan integritas
data, catatan dan informasi terkait transaksi elektronik 
e) Memiliki dan melaksanakan standard dan pengendalian atas penggunaan dan perlindungan data jika
pihak penyedia jasa memiliki akses terhadap data tersebut.
f) Harus memiliki rencana keberlangsungan bisnis termasuk rencana kontigensi yang efektif untuk
memastikan tersedianya sistem dan jasa transaksi elektronik secara berkesinambungan dan,
g) Memiliki prosedur penanganan kejadian tak terduga yang cepat dan tepat untuk mengurangi dampak
suatu insiden, penipuan, dan kegagalan sistem elektronik.
h) Menyusun dan menetapkan prosedur untuk menjamin transaksi elektronik sehingga tidak dapat
mengingkari konsumen.

39. Lingkup penyelenggaraan transaksi elektronik dapat berupa public maupun privat.

40. Penyelenggaraan transaksi elektronik yang bersifat public meliputi:


a) Penyelenggaraan transaksi elektronik oleh instansi atau pihak lain yang menyelenggarakan layanan
public sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE,
b) Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup public lainnya sebagaimana yang diatur dalam
peraturan undang-undang.
c) Dan melaksanakan ketentuan peraturan pemerintah No 82 Tahun 2012.

41. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi Transaksi Elektronik: 
a) Antar-Pelaku Usaha dengan model transaksi Business to Business 
b) Antara Pelaku Usaha denganmodel transaksi konsumen dengan model transaksi Business – consumer.
c) Antarpribadi dengan model transaksi consumer to consumer.
d) Antar-Instansi dengan model transaksi antar transaksi.
e) Antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

42. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan Sistem
Elektronik untuk kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau Sertifikat
Elektronik yang telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan sistem elektronik Indonesia yang
terdaftar.

43. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik di wilayah Negara Republik Indonesia harus: 


a) Memperhatikan aspek keamanan, keandalan, dan efisiensi.
b) Melakukan penyimpanan data transaksi di dalam negeri.
c) Memanfaatkan gerbang nasional, jika dalam penyelenggaraannya melibatkan lebih dari satu
penyelenggara sistem elektronik. Apabila belum dapat dilaksanakan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik
dapat menggunakan sarana lain atau fasilitas dari luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari Instansi
Pengawas dan Pengatur Sektor terkait. 
d) Memanfaatkan jaringan sistem elektronik dalam negeri. 

44. Persyaratan transaksi elektronik, bahwa transaksi elektronik yang dilakukan oleh para subjek hukum
memiliki akibat hukum kepada pihak yang melaksanakannya.

45. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang dilakukan para subyek hukum wajib memperhatikan: 
a) Iktikad baik. 
b) Prinsip kehati-hatian. 
c) Transparansi. 
d) Akuntabilitas dan 
e) Kewajaran. 

46. Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya
sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak (subyek hukum). 

47. Suatu perjanjian atau Kontrak Elektronik dianggap sah secara hukum apabila: 
a) Terdapat kesepakatan para pihak
b) Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
c) Terdapat hal tertentu dan 
d) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
e) Harus dibuat dalam bentuk bahasa Indonesia (Pasal 48 ayat 1 PP ini)

48. Perjanjian atau Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan
mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

49. Perjanjian atau Kontrak Elektronik paling sedikit memuat: 


a) Data identitas para pihak
b) Objek dan spesifikasi
c) Persyaratan transaksi elektronik 
d) Harga dan biaya
e) Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak 
f) Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang
dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi dan 
g) Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik. 

50. Pelaku usaha yang melakukan penawaran, penjualan suatu produknya wajib:
a) Menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
b) Memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
c) Memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak
sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. 
d) Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim
tanpa dasar kontrak.
e) Menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim. 

51. Transaksi elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak yang berkehendak,
kesepakatan tersebut terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah disetujui dan
diterima oleh penerima. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan cara:
a) Tindakan penerimaan dengan pernyataan persetujuan atau 
b) Tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh Pengguna Sistem Elektronik.

52. Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menjamin: 


a) Pemberian data dan informasi yang benar dan 
b) ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan 
c) Selain itu juga wajib menentukan pilihan hukum secara seimbang terhadap pelaksanaan transaksi. 

53. Ketentuan tandatangan elektronik, bahwa tandatangan elektronik berfungsi sebagai alat autentifikasi
dan verivikasi atas:
a) Identitas penandatangan. 
b) Keutuhan dan keautentikan Informasi Elektronik.
Dengan ketentuan bahwa Tanda Tangan Elektronik berfungsi sebagaimana tanda tangan manual dalam hal
merepresentasikan identitas Penanda Tangan. Dalam hal pembuktian keaslian (autentikasi) tanda tangan
manual dapat dilakukan melalui verifikasi atau pemeriksaan terhadap spesimen Tanda Tangan Elektronik
dari Penanda Tangan. Pada Tanda Tangan Elektronik, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik berperan
sebagai spesimen Tanda Tangan Elektronik dari Penanda Tangan. Tanda Tangan Elektronik harus dapat
digunakan oleh para ahli yang berkompeten untuk melakukan pemeriksaan dan pembuktian bahwa
Informasi Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut tidak mengalami
perubahan setelah ditandatangani.

54. Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Elektronik merupakan persetujuan Penanda Tangan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik
tersebut.

55. Apabila terjadi penyalahgunaan tandatangan elektronik maka tanggungjawab pembuktian


penyelahgunaan tandatangan tersebut dibebankan kepada penyelenggara sistem elektronik.

56. Tandatangan elektronik yang telah digunakan dalam transaksi elektronik dapat dihasilkan melalui
berbagai prosedur penandatanganan. Dan tandatangan elektronik memiliki kekuatan hukum, akibat hukum
dan sah apabila:
a) Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan
b) Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa
penanda tangan 
c) Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui 
d) Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui dan berlaku sepanjang digunakan untuk menjamin
integritas informasi elektronik.
e) Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penanda tangannya dan 
f) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan
terhadap informasi elektronik yang terkait.

57. Jenis tandatangan elektronik yakni sebagai berikut:


a) Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
i. Dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik dan
ii. Dibuktikan dengan sertifikat elektronik.
b) Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yakni dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara sistem
elektronik. 
Note:
Akibat hukum dari penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau yang tidak tersertifikasi
berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian. Tanda Tangan Elektronik yang tidak tersertifikasi tetap
mempunyai kekuatan nilai pembuktian meskipun relatif lemah karena masih dapat ditampik oleh yang
bersangkutan atau relatif dapat dengan mudah diubah oleh pihak lain. Dalam praktiknya perlu diperhatikan
rentang kekuatan nilai pembuktian dari Tanda Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian lemah, seperti
tanda tangan manual yang dipindai (scanned) menjadi Tanda Tangan Elektronik sampai dengan Tanda
Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian paling kuat, seperti Tanda Tangan Digital yang diterbitkan oleh
penyelenggara sertifikasi elektronik yang tersertifikasi.

58. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik wajib secara unik merujuk hanya kepada Penanda Tangan
dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan dalam hal ini dapat dibuat oleh
Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda Tangan Elektronik. Selain itu juga
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) Seluruh proses pembuatan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik dijamin keamanan dan
kerahasiaannya oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda Tangan
Elektronik 
b) Jika menggunakan kode kriptografi, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik harus tidak dapat dengan
mudah diketahui dari data verifikasi Tanda Tangan Elektronik melalui penghitungan tertentu, dalam kurun
waktu tertentu, dan dengan alat yang wajar
c) Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik tersimpan dalam suatu media elektronik yang berada dalam
penguasaan Penanda Tangan dan 
d) Data yang terkait dengan Penanda Tangan wajib tersimpan di tempat atau sarana penyimpanan data,
yang menggunakan sistem terpercaya milik Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung
Layanan Tanda Tangan Elektronik yang dapat mendeteksi adanya perubahan dan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
i. hanya orang yang diberi wewenang yang dapat memasukkan data baru, mengubah, menukar, atau
mengganti data. 
ii. informasi identitas Penanda Tangan dapat diperiksa keautentikannya dan 
iii. perubahan teknis lainnya yang melanggar persyaratan keamanan dapat dideteksi atau diketahui oleh
penyelenggara sistem elektronik tersebut. 

59. Penanda Tangan elektronik wajib menjaga kerahasiaan dan bertanggung jawab atas Data Pembuatan
Tanda Tangan Elektronik.

60. Pada proses penandatanganan wajib dilakukan mekanisme untuk memastikan Data Pembuatan Tanda
Tangan Elektronik: 
a) Masih berlaku, tidak dibatalkan, atau tidak ditarik
b) Tidak dilaporkan hilang
c) Tidak dilaporkan berpindah tangan kepada orang yang tidak berhak dan 
d) Berada dalam kuasa penanda tangan. 

61. Sebelum melakukan penandatanganan terhadap suatu dokumen elektronik, penandatangan wajib
mengetahui,memahami segala informasi dokumen elektronik yang akan ditandatanganinya tersebut.

62. Persetujuan Penanda Tangan terhadap Informasi Elektronik yang akan ditandatangani dengan Tanda
Tangan Elektronik wajib menggunakan mekanisme afirmasi dan/atau mekanisme lain yang memperlihatkan
maksud dan tujuan Penanda Tangan untuk terikat dalam suatu Transaksi Elektronik.

63. Untuk metode dan teknik yang digunakan untuk membuat Tanda Tangan Elektronik paling sedikit harus
memuat: 
a) Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik
b) waktu pembuatan Tanda Tangan Elektronik dan 
c) Informasi Elektronik yang akan ditandatangani 

64. Perubahan Tanda Tangan Elektronik dan/atau Informasi Elektronik yang ditandatangani setelah waktu
penandatanganan wajib diketahui, dideteksi, atau ditemukenali dengan metode tertentu atau dengan cara
tertentu.

65. Dalam kaitannya dengan tandatangan elektronik penyelenggara sistem elektronik wajib:
a) Bertanggung jawab atas penggunaan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik atau alat pembuat Tanda
Tangan Elektronik 
b) Menggunakan alat pembuat Tanda Tangan Elektronik yang menerapkan teknik kriptografi dalam proses
pengiriman dan penyimpanan Tanda Tangan Elektronik 

66. Ketentuan Identifikasi, Autentikasi, dan Verifikasi Tanda Tangan Elektronik sebelum Tanda Tangan
Elektronik digunakan, Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik wajib memastikan identifikasi awal Penanda
Tangan dengan cara: 
a) Penanda Tangan menyampaikan identitas kepada Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik 
b) Penanda Tangan melakukan registrasi kepada Penyelenggara atau Pendukung Layanan Tanda Tangan
Elektronik dan 
c) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik dapat melimpahkan secara rahasia data
identitas Penanda Tangan kepada Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik lainnya atau Pendukung Layanan
Tanda Tangan Elektronik dengan persetujuan Penanda Tangan. 

67. Mekanisme yang digunakan oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik untuk pembuktian identitas
Penanda Tangan secara elektronik wajib menerapkan kombinasi paling sedikit 2 (dua) faktor autentikasi
dan pada proses verifikasi Informasi Elektronik yang ditandatangani dapat dilakukan dengan memeriksa
Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik untuk menelusuri setiap perubahan data yang ditandatangani.

68. Penyelengara sistem elektronik baik diperuntukan pelayanan public maupun non public wajib memiliki
sertifikat electronic. Untuk mendapatkan atau memiliki sertifikat elektronik, penyelenggara atau pun
pengguna sistem elektronik harus mengajukan permohonan kepada penyelenggara sertifikasi elektronik
yang diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri informasi dan komunikasi.

69. Penyelenggara sertifikasi elektronik berwenang melakukan: 


a) Pemeriksaan calon pemilik dan/atau pemegang Sertifikat Elektronik 
b) Penerbitan Sertifikat Elektronik
c) Perpanjangan masa berlaku Sertifikat Elektronik; 
d) Pemblokiran dan pencabutan Sertifikat Elektronik; 
e) Validasi Sertifikat Elektronik; dan 
f) Pembuatan daftar Sertifikat Elektronik yang aktif dan yang dibekukan. 

70. Penyelenggara sertifikasi elektronik yang beroperasi di wilayah Indonesia wajib memperoleh pengakuan
dari kementerian informasi dan komunikasi. dan pengakuan tersebut memiliki tingkatan sebagai berikut:
a) Terdaftar, diberikan oleh Menteri setelah penyelenggara sertifikasi elektronik memenuhi persyaratan
proses pendaftaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri. 
b) Tersertifikasi, dapat diberikan oleh Menteri setelah penyelenggara sertifikasi elektronik memperoleh
status terdaftar dan mendapatkan sertifikat sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik tersertifikasi dari
lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik yang terakreditasi 
c) Berinduk, Diberikan oleh Menteri setelah penyelenggara sertifikasi elektronik memperoleh status
tersertifikasi dan mendapatkan sertifikat sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik berinduk 

71. Pengawasan terhadap penyelenggaraan sertifikasi elektronik dilaksanakan oleh Menteri, pengawasan
tersebut meliputi:
a) Pengakuan dan 
b) Pengoperasian fasilitas penyelenggara sertifikasi elektronik induk bagi penyelenggara sertifikasi
elektronik berinduk. 

72. Lembaga sertifikasi keandalan, Pelaku Usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat
disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi.

73. Sertifikasi keandalan terdiri atas:


a) Lembaga sertifikasi keandalan Indonesia harus berdomisili di Indonesia, harus terdaftar di kementerian
informasi dan komunikasi,
b) Lembaga sertifikasi keandalan asing harus terdaftar di kementerian informasi dan komunikasi,

74. Sertifikat keandalan elektronik mencakup pemeriksaan terhadap informasi yang lengkap dan benar dari
pelaku usaha beserta sistem elektroniknya untuk mendapatkan sertifikat keandalan, informasi lengkap dan
benar tersebut meliputi:
a) Memuat identitas subjek hukum; 
b) Memuat status dan kompetensi subjek hukum; 
c) Menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian; dan 
d) Menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan 

75. Tujuan adanya sertifikasi keandalan elektronik adalah untuk melindungi konsumen dalam transaksi
elektronik selain itu juga merupakan jaminan bahwa Pelaku Usaha telah memenuhi kriteria yang ditentukan
oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan dan apabila pelaku usaha sistem elektronik telah memilikinya maka
berhak untuk menggunakan sertifikat keandalan pada laman dan atau sistem elektroniknya.

76. Sertifikat Keandalan yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan meliputi kategori: 
a) Pengamanan terhadap identitas
b) Pengamanan terhadap pertukaran data 
c) Pengamanan terhadap kerawanan
d) Pemeringkatan konsumen dan 
e) Pengamanan terhadap kerahasiaan data pribadi.

77. Lembaga sertifikasi keandalan dibentuk oleh professional yang meliputi profesi:
a) Konsultan teknologi informasi 
b) Auditor teknologi informasi dan 
c) Konsultan hukum bidang teknologi informasi
d) Akuntan; 
e) Konsultan manajemen bidang teknologi informasi; 
f) Penilai; 
g) Notaris; dan 
h) Profesi dalam lingkup teknologi informasi yang ditetapkan dengan keputusan menteri informasi dan
telekomunikasi.

78. Apabila salah satu profesional pembentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan izin profesinya dicabut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Lembaga Sertifikasi Keandalan yang bersangkutan
harus mengganti profesional yang izin profesinya dicabut dengan profesional lain dalam bidang yang sama
dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari apabila lewat dari 90 hari tersebut, maka menteri informasi
dan komunikasi akan mencabut dan atau mengeluarkan lembaga sertifikasi tersebut dari daftar lembaga
sertifikasi keandalan. 

79. Pengawasan terhadap Lembaga Sertifikasi Keandalan dilaksanakan oleh Menteri informasi dan
komunikasi.

80. Untuk memperoleh pengakuan atas Lembaga Sertifikasi Keandalan dikenakan biaya administrasi yang
merupakan penerimaan negara bukan pajak. 

81. Ketentuan mengenai Pengelolaan Nama Domain, Pengelolaan Nama Domain diselenggarakan oleh
Pengelola Nama Domain, nama domain tersebut terdiri dari:
a) Nama Domain tingkat tinggi generik
b) Nama Domain tingkat tinggi Indonesia 
c) Nama Domain Indonesia tingkat kedua dan 
d) Nama Domain Indonesia tingkat turunan. 
82. Pengelola nama domain yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun dari masyarakat terdiri dari:
a) Registri Nama Domain, melaksanakan pengelolaan Nama Domain tingkat tinggi generik dan tingkat tinggi
Indonesia, Registri Nama Domain dapat memberikan kewenangan pendaftaran Nama Domain tingkat tinggi
generik dan tingkat tinggi Indonesia kepada Registrar Nama Domain, berfungsi :
i. Memberikan masukan terhadap rencana pengaturan nama domain kepada menteri
ii. Melakukan pengawasan terhadap registrar nama domain dan 
iii. Menyelesaikan perselisihan nama domain 

b) Registrar Nama Domain, melaksanakan pengelolaan Nama Domain tingkat kedua dan tingkat turunan,
Registrar Nama Domain terdiri atas Registrar Nama Domain Instansi dan Registrar Nama Domain selain
Instansi, Registrar Nama Domain Instansi melaksanakan pendaftaran Nama Domain tingkat kedua dan
Nama Domain tingkat turunan untuk kebutuhan Instansi yang dilaksanakan oleh menteri informasi dan
komunikasi, Registrar Nama Domain selain Instansi melakukan pendaftaran Nama Domain tingkat kedua
untuk pengguna komersial dan nonkomersial, Registrar Nama Domain selain Instansi wajib terdaftar pada
Kementeri informasi dan komunikasi.

83. Pengelola nama domain yang dibentuk oleh masyarakat harus berbadan hukum.

84. Pengelola Nama Domain ditetapkan oleh Menteri. 

85. Pendaftaran Nama Domain dilaksanakan berdasarkan prinsip pendaftar pertama yang harus memenuhi
persyaratan:
a) Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
b) Kepatutan yang berlaku dalam masyarakat dan 
c) Iktikad baik. 

86. Registri Nama Domain dan Registrar Nama Domain berwenang: 


a) Menolak pendaftaran Nama Domain apabila Nama Domain tidak memenuhi persyaratan.
b) Menonaktifkan sementara penggunaan Nama Domain atau 
c) Menghapus Nama Domain apabila pengguna Nama Domain melanggar ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.

87. Registri Nama Domain dan Registrar Nama Domain wajib menyelenggarakan pengelolaan Nama
Domain secara akuntabel. Dalam hal Registri Nama Domain atau Registrar Nama Domain bermaksud akan
mengakhiri pengelolaannya, Registri Nama Domain atau Registrar Nama Domain wajib menyerahkan
seluruh pengelolaan Nama Domain kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) bulan sebelumnya.

88. Nama Domain yang mengindikasikan Instansi hanya dapat didaftarkan dan/atau digunakan oleh Instansi
yang bersangkutan dan instansi wajib menggunakan Nama Domain sesuai dengan nama Instansi yang
bersangkutan.

89. Registri Nama Domain dan Registrar Nama Domain menerima pendaftaran Nama Domain atas
permohonan Pengguna Nama Domain, dan pengguna nama domain tersebut bertanggung jawab atas
Nama Domain yang didaftarkannya. 

90. Registri Nama Domain dan/atau Registrar Nama Domain berhak memperoleh pendapatan dengan
memungut biaya pendaftaran dan/atau penggunaan Nama Domain dari Pengguna Nama Domain, yang
mana merupakan pengelola Nama Domain selain Instansi, Registri Nama Domain dan Registrar Nama
Domain wajib menyetorkan sebagian pendapatan dari pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang
dihitung dari prosentase pendapatan kepada negara, pendapatan tersebut adalah pendapatan atau
penerimaan negara diluar pajak.

91. Pengawasan terhadap pengelolaan Nama Domain dilaksanakan oleh Menteri informasi dan komunikasi.

92. Pengaturan sanksi administrasi, sanksi administrasi bagi pelanggran peraturan pemerintah ini dapat
dikenakan sanksi berupa:
a) Teguran tertulis 
b) Denda administratif 
c) Penghentian sementara, Penghentian sementara dalam ketentuan ini berupa penghentian sebagian atau
seluruh komponen atau layanan pada Sistem Elektronik yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu.
d) Dikeluarkan dari daftar.

93. Sanksi administratif tersebut diatas diberikan oleh Menteri atau pimpinan Instansi Pengawas dan
Pengatur Sektor terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

94. Pengenaan sanksi oleh pimpinan Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait dilakukan setelah
berkoordinasi dengan Menteri, Pengenaan sanksi administrative tidak menghapuskan tanggung jawab
pidana dan perdata. 

Demikianlah review Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai