Anda di halaman 1dari 129

INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU ADHOC,

PRAKTIK ELECTORAL FRAUD OLEH PANITIA PEMILIHAN


DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Muhammad Iqbala, Sri Budi Eko Wardhanib


aProgram Tata Kelola Pemilu, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
bDosen S2 Tata Kelola Pemilu, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
E-mail: ibankjenage@gmail.com

ABSTRAK
Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc atau Panitia Pemilihan adalah Penyelenggara
Pemilu yang paling rentan menjadi pelaku kecurangan Pemilu (election fraud).
Anggota PPK, PPS dan KPPS memiliki akses untuk bersentuhan langsung dengan
peserta Pemilu dan alat kebutuhan pelaksanaan Pemilu, mulai dari TPS hingga
surat suara. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang memberikan
wewenang langsung kepada KPU Kabupaten/Kota untuk menindak dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan, terdapat 239 anggota
PPK, PPS dan KPPS yang telah diberhentikan tetap karena terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas. Provinsi
Sumatera Utara merupakan daerah yang paling banyak melakukan pemeriksaan
dugaan pelanggaran integritas oleh anggota Panitia Pemilihan. Pelanggaran yang
dilakukan terdiri dari pelanggaran administrasi, malpraktek pemilu hingga tindak
pidana pemilu seperti manipulasi pencoblosan surat suara, penggelembungan hasil
perolehan suara hingga praktek suap yang terungkap di pemeriksaan anggota
Panitia Pemilihan. Permasalahan integritas menjadi persoalan utama dalam
evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dari sudut pandang electoral integrity,
tingkat integritas Penyelenggara Pemilu pada tahun 2019 menjadi hal krusial
untuk perbaikan format kepemiluan di masa mendatang.

Kata Kunci: pemilu, panitia pemilihan, integritas, profesional, election fraud

THE INTEGRITY OF THE ADHOC ELECTION MANAGEMENT BODY, STUDY


CASE: ELECTORAL FRAUD PRACTICE BY ELECTION COMMITTEE IN NORTH
SUMATERA PROVINCE

ABSTRACT
The Adhoc election management body is the election organizer that is most vulnerable
in becoming perpetrators of election fraud. Sub Distict Election Committee (PPK),
Voting Committee (PPS) and Voting Organizers Group (KPPS) members have access to
come into direct contact with election participants and the tools needed for conducting
elections, from the polling stations to the ballots paper. Election abuse is most often
conducted by the election committee. Based on KPU Regulation No.8 of 2019 which
gives direct authority to General Election Commission (KPU) of Regency/City to take
action against suspected violations committed by election organizer members, there
are 239 PPK, PPS and KPPS members who have been terminated permanently
because they have been proven to have violated the Code of Ethics, Code of Conduct,
oath /pledge and integrity facts. The Province of North Sumatra is the area that carries
out the most checks on alleged integrity violations by members of the election
organizer members. The violations committed consist of administrative violations,
electoral malpractice to election crimes such as manipulation of ballot voting,
ballooning the results of votes to bribery practices that were revealed at the

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

examination of election organizer members. The issue of integrity becomes a major


issue in evaluating the implementation of the 2019 Simultaneous Elections is viewed
from the perspective of electoral integrity, the integrity level of the election organizers
in 2019 will be crucial for the improvement of the electoral format in the future.

Keywords: elections, ad hoc bodies, integrity, professional, election fraud

PENDAHULUAN
Kecurangan Pemilu merupakan salah satu bagian penting dalam
menguji integritas Pemilu dan pelaksanaan Pemilu yang jujur dan
berkeadilan. Praktek kecurangan Pemilu adalah asal mula dari perkara
pemilu (electoral dispute) yang menjadi bagian dari lingkaran tahapan
pemilu (election circle phase). Kecurangan pemilu atau sering disebut dengan
electoral fraud merupakan negasi dari gagasan mengenai integritas pemilu
(electoral integrity). Banyak istilah lain yang digunakan untuk menguji
integritas pemilu dalam banyak isu, seperti malpraktek pemilu (electoral
malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct),
manipulasi pemilu (electoral manipulation) dan kecurangan pemilu
(rigged/stolen elections). Istilah-istilah ini hanya bahasa diplomatik dalam
studi kepemiluan yang sering digunakan oleh observer pemilu dan ilmuwan
politik (Norris , 2014).
Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc atau sering disebut Panitia
Pemilihan adalah otoritas yang paling sering melakukan praktek-praktek
kecurangan Pemilu. Panitia Pemilihan adalah lembaga yang langsung
bersentuhan dengan peserta Pemilu karena bekerja di level bawah, bersifat
temporer dan garda terdepan melayani pemilih dan peserta Pemilu. Panitia
Pemilihan sering dianggap sebagai tulang punggung demokrasi, namun
sekaligus menjadi penyebab utama permasalahan integritas Pemilu,
mengingat perannya yang sangat krusial dalam pemungutan dan
penghitungan suara karena beberapa tahapan krusial Pemilu, dilakukan
oleh Panitia Pemilihan. Mulai dari distribusi logistik, pendaftaran pemilih,
pemutakhiran data pemilih, pemungutan suara, penghitungan perolehan
suara hingga rekapitulasi tingkat bawah (kecamatan) dilakukan oleh Panitia
Pemilihan. Semua tahapan tersebut merupakan celah terjadinya praktek
kecurangan Pemilu.
Bagian penting dari Badan Penyelenggara Pemilu (BPP) yang menjadi
ujung tombak penyelenggaraan Pemilu adalah Panitia Pemilihan. Panitia
Pemilihan menjadi otoritas yang paling banyak melakukan praktek
kecurangan Pemilu karena merupakan lembaga yang langsung bersentuhan
dengan peserta Pemilu, bekerja di level bawah, temporer dan garda terdepan.
Meskipun demikian, Panitia Pemilihan sering dianggap sebagai tulang
punggung demokrasi, namun sekaligus menjadi penyebab utama
permasalahan integritas Pemilu, mengingat perannya yang sangat krusial
dalam pemungutan dan penghitungan suara. Beberapa tahapan krusial
Pemilu dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Mulai dari distribusi logistik,
pendaftaran pemilih, pemutakhiran data pemilih, pemungutan suara,
penghitungan perolehan suara hingga rekapitulasi tingkat bawah
(kecamatan) dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Semua tahapan tersebut
merupakan celah terjadinya praktik kecurangan Pemilu. Dengan kata lain,
kepercayaan publik terhadap Pemilu sangat bergantung pada integritas

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Panitia Pemilihan. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Panitia


Pemilihan secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pelaksanaan
Pemilu.
Pemilu merupakan akar yang sangat diperlukan bagi demokrasi.
Global Commission on Elections, Democracy and Security telah memberikan
standar yang tinggi agar Pemilu suatu negara dianggap kredibel.
Kepercayaan publik terhadap Pemilu sangat bergantung pada integritas BPP
yang kompeten dengan kebebasan penuh dalam bertindak untuk
menyelenggarakan Pemilu yang transparan 1 . Ketika Pemilu memiliki
integritas, prinsip dasar demokrasi yaitu kesetaraan politik dihormati.
Apabila Pemilu dianggap tidak berintegritas, kepercayaan publik akan
melemah, pemerintah akan kurang legitimasinya2. Untuk menggambarkan
betapa integritas Pemilu merupakan poin paling krusial, Norris (2014)
menyebutkan bahkan negara yang telah melakoni demokrasi berabad-abad
sekalipun, tidak akan pernah luput dari persoalan integritas dan iregularitas.
Dalam bukunya Why Electoral Integrity Matters, Norris (2014) mengutip
langsung mukadimah Laporan Ketua Global Commission on Elections,
Democracy and Security yang juga dikenal sebagai mantan Sekjen PBB, Kofi
Annan:

“Building democracy is a complex process. Elections are only a starting point


but if their integrity is compromised, so is the legitimacy of democracy. …
Most countries have agreed to principles that would, if respected, lead to
credible electoral processs, but too often these principles are ignored because
of lack political commitment, insufficient technical knowledge or inadequate
international support”

Pertanyaan besar kemudian yang muncul adalah sebagai konsep,


bagaimana integritas itu dapat dimaknai untuk Pemilu. Integritas merujuk
pada sesuatu yang tidak dapat disuap atau kepatuhan yang kukuh pada
pedoman nilai dan moral (Global Commission on Elections, Democracy and
Security Report, 2012). Untuk mengatakan seseorang memiliki integritas
yang luar biasa adalah dengan mengatakan ia telah berbuat berdasarkan
pedoman beretika, tidak dapat disuap dengan pertimbangan apapun. Maka
secara normatif, integritas atau disintegritas merupakan persoalan
sosiologis yang dibebankan kepada perseorangan atau lembaga.
Pelanggaran yang dilakukan oleh personal atau institusi dapat ditelisik
melalui modus operandinya.
Salah satu fakta pelanggaran integritas Panitia Pemilihan adalah hasil
rilis DKPP pada Pemilu tahun 2014 yang menyebutkan berbagai celah
hukum dijadikan modus operandi dalam merencanakan kecurangan Pemilu
untuk memenangkan calon tertentu tanpa dapat dipersalahkan secara

1
Laporan dari Komisi Global Untuk Pemilihan Umum, Demokrasi dan Keamanan tahun 2012 menyebutkan
terdapat lima tantangan utama yang harus ditangani untuk menyelenggarakan Pemilu yang berintegritas
yakni (1) membangun peraturan hukum untuk keadilan Pemilu, (2) membangun EMB yang berkompeten,
(3) menciptakan institusi dann norma persaingan multi-partai, (4) menghilangkan hambatan, hukum
administratif, politik, ekonomi, dan sosial terhadap partisipasi politik yang setara dan universal, dan (5)
mengatur keuangan politik yang tidak dapat dikendalikan , tertutup dan samar.
2
Pada pendekatan lain, disintegritas pemilu akan berdampak sangat buruk pada penegakan hak asasi manusia
(ibid)
3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

hukum dan secara nyata merupakan pelanggaran hukum. Seperti


mengubah sertifikat hasil rekapitulasi penghitungan suara, menghilangkan
formulir C1, tidak membagikan petikan atau salinan hasil rekapitulasi suara,
penggunaan formulir C6 untuk menambah suara paslon tertentu oleh yang
bukan berhak, melakukan rekapitulasi penghitungan di tempat tertutup,
politik uang dan lain sebagainya. Seluruh kecurangan tersebut hanya dapat
dilakukan oleh Panitia Pemilihan.
Jika Penyelenggara Pemilu terbukti melakukan perbuatan dimaksud,
maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum
sudah dapat dipastikan merupakan pelanggaran Kode Etik. Modus
kecurangan yang banyak dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu dengan
bersembunyi pada ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural terutama
saat rekapitulasi penghitungan suara. Seperti mengabaikan keberatan saksi
dan memerintahkan untuk mengisi formulir pengaduan pada saat
rekapitulasi di tingkat penyelenggara yang lebih tinggi dengan alasan saat
rekapitulasi di tingkat penyelenggara yang lebih rendah tidak ada keberatan.
Merujuk pada hasil evaluasi pemilu tahun 2019 terkait penanganan
pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan, jenis
pelanggaran terungkap lebih masif karena proses penanganan melalui
tahapan pengawasan internal dan berdasarkan laporan/aduan
sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019.
Tabel 1.
Beberapa Jenis Pelanggaran yang Dilakukan oleh
Panitia Pemilihan pada Pemilu 2019
NO JENIS PELANGGARAN PROVINSI
1 Pencoblosan Surat Suara Sisa Sumatera Utara,

2 Penggelapan Gaji KPPS Sumatera Utara, Sulawesi


Tengah,
3 Memihak kepada Peserta Pemilu Sumatera Utara, Kalimantan
Tertentu/Tidak Netral Tengah, Sulawesi Utara,
Banten, Bengkulu, Kalimantan
Barat, Kalimantan Utara,
Kalimantan Timur, Riau
4 Terdaftar sebagai Pengurus Parpol Sulawesi Utara, Bengkulu,

5 Ikut Berkampanye bagi Peserta Pemilu Sulawesi Utara

6 Membuka Kotak Suara Tanpa Dihadiri Banten


Saksi dan Pengawas TPS
7 Tidak Memberikan Salinan Formulir Bengkulu
DAA1-KPU kepada Panwascam
8 Memanipulasi/Penggelembungan Sumatera Utara, Kalimantan
Perolehan Suara Calon Tertentu Utara, Sulawesi Tengah,
Sumatera Barat, Kalimantan
Timur, Maluku
9 Mencoblos Surat Suara Milik Pemilih Nusa Tenggara Timur
yang tidak hadir
Sumber: KPU RI (2019)

4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Salah satu kasus yang diambil peneliti adalah penanganan


pelanggaran election fraud yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan pada
Pemilu Tahun 2019. Jika diambil perbandingan data dari Pemilu 2014,
terdapat peningkatan jumlah penanganan kasus dan pemberian sanksi yang
signifikan kepada Panitia Pemilihan di Pemilu 2019. Terjadinya peningkatan
kasus pelanggaran integritas Pemilu oleh Panitia Pemilihan merupakan
konsekuensi dari berpindahnya penanganan pelanggaran Panitia Pemilu
adhoc dari DKPP ke KPU selaku organisasi induk.
Tabel 2.
Penanganan Pelanggaran Panitia Pemilihan Pemilu 2014
NO Panitia Peringatan Diberhentikan Diberhentikan Pidana
Pemilihan Sementara Tetap
1 PPK 3 292 45 orang 1
2 PPS 8 434 7 orang 3
3 KPPS - 614 - 8
Sumber: DKPP RI: Outlook 2016
Pelanggaran integritas ditenggarai sebagai salah satu faktor penyebab
sebuah Pemilu dianggap gagal. Pelanggaran integritas terjadi karena antara
lain adalah integritas Penyelenggara Pemilu yang buruk (Norris, 2014).
Kegagalan Pemilu (elections fail) tidak hanya sekedar disebabkan oleh faktor
struktural semata, tetapi juga integritas Panitia Pemilihan seperti kelalaian
dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, mulai dari segel surat
suara atau kotak suara yang rusak hingga praktek jual beli suara. Kegagalan
Pemilu yang disebut Norris disebabkan oleh kegagalan Penyelenggara
Pemilu mengejawantahkan prinsip Pemilu yang berintegritas dan integritas
Pemilu yakni independen, imparsial, integritas, transparan, efesien,
profesional, pelayanan publik dan bertanggung jawab (IDEA, 2010). Dalam
konteks Pemilu di Sumatera Utara, kegagalan ini banyak dipengaruhi oleh
faktor politik transaksional dan pengaruhnya dari relasi kekuasaan lokal.
Hipotesis ini tergambar jelas dalam fenomena pelanggaran Pemilu oleh
Panitia Pemilihan yang disampaikan penulis pada bagian pembahasan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengidentifikasi pelanggaran ini ke dalam
klasifikasi umum yaitu Pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji
dan pakta integritas.
Dalam membedah integritas Panitia Pemilihan dari sisi jumlah
pelanggaran yang terjadi, dapat ditelusuri dari perbandingan data dua
Pemilu terakhir. Dalam kurun dua Pemilu terakhir, terdapat perbedaan
wewenang penanganan pelanggaran Panitia Pemilihan antara DKPP dan
KPU. Pada Pemilu 2014, kewenangan KPU masih sebatas memberikan
sanksi pemberhentian sementara. Sementara untuk proses ajudikasi lebih
lanjut dilakukan oleh DKPP. Dari 726 anggota Panitia Pemilihan yang
diberhentikan sementara, hanya 52 orang yang diberhentikan tetap oleh
DKPP. Angka ini melonjak setelah hak ajudikasi penanganan pelanggaran
integritas Panitia Pemilihan dikembalikan ke KPU Kabupaten/Kota. Artinya,
setelah penanganan pelanggaran integritas Panitia Pemilihan dilakukan oleh
KPU selaku otoritas induk, semakin banyak terungkap kasus kecurangan
Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sebagian besar Panitia
Pemilihan melakukan kecurangan Pemilu yaitu dengan terlibat manipulasi
suara dan tidak netral dalam bertugas.

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tabel 3.
Penanganan Pelanggaran Panitia Pemilihan Pemilu 2019
No Keterangan Jumlah
1 Jumlah Kasus 542 Kasus
2 Peringatan 325 orang
3 Diberhentikan Sementara 78 orang
4 Diberhentikan Tetap 239 orang
5 Pidana 3 orang
6 Masih dalam pemeriksaan 165 kasus
Sumber: Biro Perencanaan dan Data KPU RI per Juli 2019
Dari rekapitulasi jumlah pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku,
sumpah/janji dan pakta integritas anggota Panitia Pemilihan Pemilu 2019,
Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat pertama daerah yang paling
banyak dijatuhi hukuman sanksi pemberhentian tetap. Dari total 417.508
anggota Panitia Pemilihan yang tersebar di 33 kabupaten/kota, terdapat 224
anggota Panitia Pemilihan yang telah diproses, di mana sebanyak 151
dijatuhi hukuman pemberhentian tetap. Sementara, per bulan Agustus
2019, terdapat 121 kasus dugaan pelanggaran integritas yang dilakukan
oleh anggota Panitia Pemilihan masih dalam proses pemeriksaan.
Pemberian sanksi pemberhentian tetap merupakan sanksi terberat
bagi anggota Panitia Pemilihan, karena dianggap terbukti telah melakukan
pelanggaran Pemilu serta sangat rentan untuk diteruskan ke ranah pidana.
Praktek pelanggaran Pemilu yang terbukti dilakukan oleh anggota Panitia
Pemilihan di Provinsi Sumatera Utara antara lain:

1. Pencoblosan surat suara sisa di Kabupaten Nias.


2. Penggelapan gaji KPPS di Kabupaten Padang Lawas.
3. Memihak kepada peserta Pemilu/tidak netral/diintervensi oleh Kepala
Daerah di Tapanuli Tengah.
4. Memanipulasi/penggelembungan perolehan suara di Kabupaten
Labuhan Batu.
5. Terindikasi menerima suap dari calon anggota legislatif di Kota Medan.

Jenis-jenis pelanggaran tersebut menjadi tantangan bagi proses


Pemilu yang kompetitif, kredibel, akseptabel, bebas, jujur dan berkeadilan
dalam suatu negara. Praktek pelanggaran ini juga dapat digunakan untuk
membuktikan frasa negatif Pemilu (electoral fraud, electoral malpractice,
electoral misconduct, dan lain-lain). Indikator-indikator ini oleh para
ilmuwan Pemilu dapat dijadikan tolak ukur untuk mengukur integritas
Pemilu dari sisi penyelenggara bahkan lebih ekstemnya dapat menentukan
berhasil atau tidaknya penyelenggaraan Pemilu. Ukuran keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu tidak semata dilihat dari hasil Pemilu semata
(electoral result) dapat dibedah lebih dalam dan ditinjau dari berbagai aspek.
Aspek utamanya adalah integritas Penyelenggara Pemilu yang berdampak
pada kurangnya legitimasi kekuasaan pemenang Pemilu dan ketidakpuasan
terhadap demokrasi (Norris, 2015). Konsekuesinya, terjadi krisis legitimasi
terhadap hasil Pemilu, turunnya kepercayaan publik dengan terhadap
produk-produk Pemilu (partai politik, parlemen dan eksekutif).
Secara umum, kesalahan Penyelenggara Pemilu menurut Vickery dan
Shein (2012) dibedakan menjadi dua, Penyelenggara Pemilu salah prosedur

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

karena lalai (malpractice) dan Penyelenggara Pemilu melakukan kecurangan


(fraud). Terdapat perdebatan diantara para scholar mengenai perbedaan dua
istilah ini. Birch (2011) menganggap malpraktek Pemilu sebagai kesalahan
yang disengaja, sedangkan untuk kelalaian/kesalahan tidak disengaja
disebut misspractice. Birch juga mendefinisikan fraud bagian dari
manipulasi suara/pencurian suara yang targetnya proses administrasi
Pemilu seperti menghalangi pencalonan kandidat yang potensial,
manipulasi daftar pemilih, kegagalan menyediakan pemungutan suara yang
memadai, manipulasi suara, manipulasi penghitungan dan rekapitulasi,
kesalahan mengalokasi kursi, menghalangi akses pengawas, mal
administrasi dalam penyelesaian sengketa pemilu. Lebih ekstrem, Birch
(2011) mengaitkan election fraud sebagai wujud dari korupsi pemilu (election
corruption).
Sementara Alvarez, (2008) mempersoalkan istilah electoral fraud yang
sama sekali tidak beririsan dengan korupsi (corruption). Menurutnya tidak
mudah memformulasikan tentang electoral fraud, termasuk mendeteksi dan
mencegahnya terjadi. Tidak ada cara yang tepat untuk mengaplikasikan
pemahaman tentang kecurangan Pemilu karena sangat bergantung pada
apa yang dianggap sebagai electoral fraud dari proses Pemilu dari waktu ke
waktu dan dari satu negara ke negara lain. Bahkan di kalangan akademis
sekalipun belum ada kesepahaman yang sama tentang fraud dalam hukum
internasional dan domestik, komparasi ilmu politik Amerika, dan
perkembangan administrasi Pemilu di negara berkembang. Argumen yang
dikemukakan oleh Alvarez dibuktikan dengan belum adanya kesepakatan
tunggal terkait fraud untuk diadopsi dalam undang-undang kepemiluan di
banyak negara demokrasi.
Secara umum, negara yang melaksanakan Pemilu menganggap fraud
terjadi apabila pelaksanaan Pemilu telah melanggar prinsip free and fair
elections berdasarkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.
Meskipun begitu, banyak dugaan tentang fraud masih belum jelas
bagaimana pembuktiannya. Sejauh ini pendekatan “kecurigaan atau
dugaan” masih menjadi bukti terjadinya kecurangan Pemilu dan sulit untuk
dibuktikan, karena masing-masing pelaku akan saling tuding, hingga pada
akhirnya hanya sebatas dianggap pelanggaran administrasi. Argumentasi
ini menunjukkan bahwa electoral fraud tidaklah ada batasan yang jelas.
Apakah manipulasi suara atau pencurian suara itu masuk ke dalam
kategori pemilu yang curang, misalnya hanya satu suara yang dimanipulasi
atau dicuri sehingga tidak mempengaruhi perilaku pemilih seperti misalnya
jika intimidasi dari peserta Pemilu atau perubahan sistem Pemilu yang lebih
berdampak besar.
Secara umum, pelanggaran yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan
merujuk pada kurangnya kemandirian, kompetensi dan integritas personil.
Meskipun kesalahan tertuju pada tataran individu, akan tetapi perlu dilihat
pula bahwa perlu penguatan pengelolaan oleh Lembaga baik dalam
mencegah, mendeteksi, maupun menangani malpraktek dan kecurangan.
Pemegang kuasa pengaturan tentang penyelenggara Pemilu adalah KPU
sebagai sentral dari KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan
KPPS. Seluruh kebijakan tersentralisasi disusun secara top down, seragam
dari atas ke bawah untuk seluruh rentang struktural. Perhatian KPU lebih

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

tercurahkan penuh ke pelaksanaan tahapan-tahapan besar, mengakibatkan


rancangan tentang pengelolaan Panitia Pemilihan yang meliputi PPK, PPS,
KPPS yang berada di level terbawah belum mendapatkan perhatian secara
maksimal. Dari sini dapat ditemukan titik temu bahwa kondisi struktural
berpengaruh terhadap integritas Pemilu (Norris, 2014).
Berdasarkan pemikiran tersebut penegakan integritas erat dengan
apa yang didorong apa yang dihindari dan dicegah. Definisi dan
kontekstualisasi tentang mandiri, integritas dan kompetensi membantu
penulis untuk mengkerangkai desain teknokratis administratif yang
terbentuk mampu mendorong Panitia Pemilihan untuk memahami dan
menaati Kode Etik, bersikap imparsial, mampu memilih serta membentuk
sumber daya yang memiliki kompetensi personal yang dibutuhkan dan
terampil sebagai Penyelenggara Pemilu untuk menjunjung nilai-nilai
demokratik.
Pelanggaran itu dapat dijumpai dalam setiap kali penyelenggaraan
pesta demokrasi. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
(DKPP) mengungkapkan data bahwa selama periode Januari hingga
Februari 2018 sudah memeriksa sebanyak 76 kasus pelanggaran Kode Etik
yang melibatkan unsur Penyelenggara Pemilihan umum 3 . Modus-modus
tersebut menunjukkan, bahwa terdapat pelanggaran Kode Etik oleh
penyelenggara pesta demokrasi tidaklah sedikit. Ada bermcam-macam jenis
pelanggaran yang dilakukannya, yang dapat dimaknai sebagai kecurangan
dalam Pemilu yang dilakukan oleh para Penyelenggara Pemilu.
Pelanggaran Pemilu secara umum dapat tergambar dari rekapitulasi
pelaporan dan temuan pelanggaran yang dirilis oleh Bawaslu (Pemilu
maupun Pemilihan Kepala Daerah):
Tabel 4.
Laporan dan Temuan Pelanggaran Pemilu dan Pemilihan yang
Dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu seluruh Indonesia
No Pemilu/ Dugaan Pelanggaran Tindak Lanjut
Pemilihan Laporan Temuan Dihentikan Ditindak Jumlah
Lanjuti Pelanggaran
1 2014 1.187 4.900 781 5.423 6.087
2 2015 2.758 2.613 2.536 2.838 5.371
3 2017 1.319 1.028 1.613 734 2.347
4 2018 1.758 3.415 - - 5.173
5 2019 586 441 258 832 900
Sumber: Laporan Tahunan Bawaslu RI Tahun 2014-2019

3
Menurut anggota DKPP Ida Budhiati, bahwa sejak Januari sampai 22 Februari 2018 DKPP sudah
memeriksa 76 perkara pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan melibatkan 163 oknum. Setelah
diperiksa, disimpulkannya kalau sebanyak 61,2 persen di antaranya melanggar Kode Etik. Dari jumlah.
itu, telah dilakukan tindakan berupa 37 peringatan keras, 27 orang diperingatkan, 3 diberhentikan
sementara, 11 diberhentikan tetap, 3 orang diberhentikan jabatannya sebagai ketua serta 76 orang
direhabilitasi. Dari 61,2 persen oknum yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik sebagian besar
berupa pelanggaran profesionalisme seperti bekerja tidak sesuai prosedur, tidak cermat, tidak teliti, dan
lain-lain. Namun kasus suap belum ditemukan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu
8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Ditengah teknis pelaksanaan Pemilu yang semakin komplek, ruang


untuk terjadinya malpraktek Pemilu menjadi terbuka lebar 4 . Beberapa
contoh malpraktek pemilu:
1. Tidak dilakukan pemungutan suara, oknum KPPS atau PPS langsung
mengisi formulir C1;
2. Pemungutan dan penghitungan suara dilakukan sepenuhnya oleh
oknum KPPS;
3. Pemungutan suara diwakilkan, seperti: satu orang bisa mewakili
seluruh keluarganya;
Pada realitasnya, Pemilu di daerah tertentu menunjukkan fakta
mengejutkan. Pelaksanaan Pemilu tidak sesuai regulasi menunjukkan
masih terdapat sejumlah daerah yang minim pemahaman tentang Pemilu
dan demokrasi. Minimnya pemahaman tersebut bisa dikarenakan akses
pendidikan demokrasi atau pendidikan Pemilu belum efektif sampai ke
daerah tersebut atau memang terdapat upaya pembiaran masyarakat tidak
memahami Pemilu (pembodohan). Dimungkinkan ada elite politik lokal
melestarikan kondisi ini untuk menjadikannya sebagai kantong suara yang
pasti dimilikinya pada ajang Pemilihan Umum.
Malpraktik ini penting menjadi perhatian para pihak untuk
melakukan kegiatan pendidikan demokrasi dan kepemiluan pada masa pos-
electoral secara terfokus. Kedua, praktik politik uang terjadi sebagai bentuk
menggunakan uang untuk memenangi pemilihan dengan membeli suara
pemilih. Suara pemilih dinilai dengan sejumlah rupiah. Politik uang kerap
disebut ibarat kentut, ada namun sulit untuk dibuktikan. Praktik politik
uang yang masif akan menghasilkan elite politik yang terpilih berdasarkan
uang bukan berdasarkan kepercayaan pemilih. Praktik politik uang
cenderung berbanding paralel dengan kekuasaan yang korup dan
membangun relasi politik menjadi transaksional serta pragmatis. Politik
uang pada akhirnya dapat membunuh sistem demokrasi. Ketiga,
Penyelenggara Pemilu tidak berintegritas menjadi bagian dari masalah
fundamental pelaksanaan Pemilu. Laksana permainan sepakbola, wasit
yang tidak netral dapat berdampak pada kemenangan yang tidak fair dan
sebagian berdampak pada konflik kekerasan yang menciderai nilai-nilai
demokrasi.
Penelitian yang mengkaji integritas Panitia Pemilihan dalam konteks
Pemilu menjadi sangat penting karena berdasarkan data-data diatas,
pelanggaran integritas masih menjadi bahan evaluasi penting di akhir
sebuah pelaksanaan Pemilu. Panitia Pemilihan merupakan badan
Penyelenggara Pemilu yang unik karena bersifat temporer namun sekaligus
menjadi institusi yang langsung berhadapan dengan pemilih, peserta pemilu
dan segala urusan teknis pemungutan dan penghitungan suara pemilu.
Oleh karenanya, Panitia Pemilihan memiliki tingkat kerentanan untuk

4
Viryan (2015) dalam tulisannya yang berjudul Catatan Integritas Pemilu 2014 membagi malpraktik Pemilu
ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama, Pemilu tanpa Pemilu; kedua, Politik uang kepada pemilih dan;
ketiga, Penyelenggara Pemilu tidak berintegritas. Pemilu tanpa Pemilu yang dimaksud sebagai praktik
kegiatan pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan pada hari pemungutan dan penghitungan
suara. Pemilu tanpa Pemilu dikarenakan masyarakat sekitar belum teredukasi demokrasi dan praktik
Pemilu tanpa Pemilu telah berjalan sejak Pemilu masa sebelumnya.

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

mudah dipengaruhi integritasnya. Catatan-catatan pelanggaran tersebut


menunjukkan bahwa Panitia Pemilihan tidak sekedar supporting system
semata, tetapi juga menjadi core dalam konteks integritas Pemilu.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai
sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah
manusia, berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang
dibangun dengan argumen, melaporkan pandangan informan secara
terperinci dan mengeksplorasi sedetail mungkin sejumlah contoh atau
peristiwa untuk mengungkap fakta dengan analisis yang sistematis
(Creswell, 1996). Penelitian ini akan ditunjang dengan penelitian
kepustakaan (library research), yaitu studi terhadap bahan-bahan tertulis
terkait dengan fokus penelitian.
Untuk itu, didalam penelitian ini penulis telah mengumpulkan bahan
pustaka dan melakukan kajian terhadap berbagai bahan pustaka tersebut
guna diperoleh data-data yang diperlukan. Selanjutnya, data tersebut diolah
dan dianalisis, kemudian disusun menjadi sebuah laporan penelitian
berbentuk tesis. Penulisan penelitian ini didasari atas pemantauan
penyelenggaraan Pemilu 2019 di Provinsi Sumatera Utara, khususnya di
Kabupaten Tapanuli Tengah. Penelitian ini juga sudah terintegrasi dan
terkoneksi dengan proses penanganan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku,
sumpah/janji dan pakta integritas yang berjalan di KPU. Penelitian ini
bersifat deskriptif kualitatif, dalam arti, penulis menggambarkan secara
kualitatif berbagai modus operandi pelanggaran Pemilu dan proses
penanganan pelanggaran tersebut oleh KPU. Unit analisa kajian ini adalah
KPU selaku Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan
Penyelenggara Pemilu.

Dua teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah:


1. Survey kepustakaan, yaitu melakukan observasi dan mencari
informasi tentang bahan-bahan pustaka yang memuat masalah yang
penulis teliti. Penulis melakukan kajian tentang badan Penyelenggara
Pemilu yang disediakan oleh IDEA dan referensi kepemiluan lainnya.
Selain itu referensi berupa jurnal, buku, Peraturan DKPP dan
Peraturan KPU yang berkaitan dengan integritas Penyelenggara
Pemilu serta contoh penegakan integritas Pemilu di beberapa negara.
Penulis juga melakukan analisis intensif dan mendalam terhadap
naskah-naskah dalam bentuk laporan, sertifikat rekapitulasi hasil,
berita acara pemeriksaan, formulir laporan/aduan dugaan
pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta
integritas Panitia Pemilihan, risalah Rapat Pleno KPU Kabupaten
Tapanuli Tengah dan laporan hasil-hasil pengawasan dari Bawaslu
Kabupaten Tapanuli Tengah.
2. Studi lapangan, sebagai upaya pengumpulan data primer untuk
memverifikasi dan pelengkapan dari data-data sekunder yang dapat
dikumpulkan. Studi lapangan akan menggunakan wawancara
mendalam (in-depth interview) dalam proses penarikan data. Proses
pemilihan informan penelitian disesuaikan dengan informasi yang
dibutuhkan penulis sesuai dengan keahlian, pengalaman,
10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

pengetahuan, otoritas, maupun informasi lain yang dimiliki. Berikut


daftar informan yang menjadi sumber data primer:
a. Anggota KPU RI Divisi SDM pada pemilu 2019;
b. Ketua KPU Provinsi Sumatera Utara;
c. Anggota KPU Tapanuli Tengah divisi SDM;
d. Anggota Bawaslu Tapanuli Tengah.

KONSEP DAN PENDEKATAN


Praktek kecurangan Pemilu tidak terjadi begitu saja tanpa ada
pemicunya. Akan tetapi terdapat penyebab dan aktor dibalik terjadi praktek
kecurangan Pemilu. Konsep integritas menurut IDEA tentang kesesuaian
antara tindakan dan perilaku. Namun terdapat hal yang dapat
mempengaruhi personal penyelenggara Pemilu sehingga melakukan
tindakan yang disebut oleh Norris (2018) sebagai electoral fraud. Lebih lanjut,
pengaruh terjadinya praktek pelanggaran Pemilu seperti manipulasi
pemungutan suara dapat diasumsikan karena sistem yang lemah, baik
secara regulasi pelaksanaan Pemilu maupun pengawasan dan juga faktor
politik yang mampu menjadi kekuatan penekan yang dapat mempengaruhi
hasil Pemilu. Bosissme Sidel menunjukkan bahwa kontrol oleh relasi
kekuasaan terhadap institusi-institusi terkait dapat mempengaruhi hasil
Pemilu yang pada akhirnya mampu merusak integritas institusi tersebut.
Adapun cara penulis menggunakan teori dan konsep ini adalah
sebagaimana pernyataan Evera (1997) bahwa dalam pembuatan dan
penggunaan teori tidak dapat dipisahkan dari proses hipotesis, eksplanasi
dan pemahaman kondisi awal. Teori tidak hanya berkenaan dengan hukum
hipotesis semata tetapi juga mengalami generalisasi variabel-variabel
spesifik. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan menggunakan konsep
“integritas” dan bossisme. Penulis menggunakan pendekatan institusional
yang secara normatif menjelaskan Penyelenggara Pemilu secara
kelembagaan dalam melaksanakan regulasi dikombinasikan dengan
pendekatan pendekatan struktural-fungsional5.
Oleh karena itu, penulis beranggapan kecurangan Pemilu yang
dilakukan oleh anggota Panitia Penyelenggara Pemilu tidak hanya didasari
atas faktor institusi semata tetapi terdapat pengaruh luar yang
mempengaruhi tindakan dari Penyelenggara Pemilu. KPU secara
kelembagaan sudah membangun sebuah sistem untuk mengantisipasi
pelanggaran Pemilu namun pengaruh dari komponen luar juga ikut
berperan penting dalam terjadinya praktek malpraktek Pemilu, manipulasi
pemungutan suara dan bentuk-bentuk kecurangan Pemilu lainnya.

5
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell berargumen bahwa dalam
memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusi atau struktur saja. Institusi-institusi harus
ditempatkan ke dalam konteks historis dan bergerak dinamis. Pendekatan struktural-fungsional melihat
seluruh obyek politik itu penting, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respons” yang sama
(input dan output). Pendekatan ini disusun berdasarkan beberapa komponen kunci termasuk kelompok
kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatf, peradilan, dan termasuk birokrasi.
http://suarata.blogspot.com/2014/01/pendekatan-teori-struktural-fungsional.html
11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Kontekstualisasi Teori dan Konsep Penelitian


Cara penulis dalam menggunakan teori dan konsep sebagai alat
analisis dalam penelitian ini adalah dengan mengkontekstualisasikan dalam
kasus pelanggaran Pemilu tahun 2019 di Kabupaten Tapanuli Tengah yang
dilakukan oleh anggota KPPS. Teori dan konsep menjelaskan mengenai
pelanggaran Pemilu 2019 di Kabupaten Tapanuli Tengah dilandasi oleh
banyak faktor internal dan eksternal dari sisi kelembagaan Penyelenggara
Pemilu, ditandai dengan banyaknya pemecatan terhadap anggota KPPS yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Tapteng. Oleh karena itu, dalam
menganalisis indikator-indikator modus-modus pelanggaran pemilu
(Sardini, 2015) tidak cukup hanya menggunakan satu variabel karena
konsep integritas Pemilu memiliki banyak keterkaitan. Terdapat banyak
instrument untuk mengukur integritas Pemilu sebagai usaha memenuhi
standar internasional dan norma-norma global.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Gambar 2. Kerangka Kecurangan Pemilu

Kecurangan  Faktor Sosiologis Kegagalan


Pemilu  Peran Lembaga Pemilu Pemilu
 Modernisasi= struktural dan kultural

Sumber: Norris, P. (2015). Why Elections Fail. New York: Cambridge University
Press.
12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 melibatkan 7.770.111
personil Panitia Pemilihan terdiri dari PPS, PPK dan KPPS serta PPLN dan
KPPSLN yang menyelenggarakan Pemilu Indonesia di Luar Negeri.
Pengaturan mengenai Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan diatur
dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan KPU Nomor 36 Tahun 2018 untuk Panitia Pemilihan
dalam negeri dan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2018 untuk Panitia
Pemilihan di Luar Negeri. Perjalanan penyusunan peraturan ini memiliki
semangat untuk menguatkan pondasi pelaksanaan Pemilu pada
Penyelenggara Pemilu tingkat bawah.
Dalam strategi memperkuat integritas anggota Panitia Pemilihan, KPU
mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang salah satu klausul
di dalamnya adalah menyerahkan wewenang yuridis kepada KPU
Kabupaten/Kota untuk mengadili anggota Panitia Pemilihan yang
bermasalah. Standar moral yang dipergunakan KPU dalam
menyelenggarakan Pemilu dituangkan dalam Kode Etik, Kode Perilaku,
sumpah/janji, pakta integritas yang wajib ditandatangi oleh seluruh anggota
Panitia Pemilihan. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah disintegritas
yang kerap dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah yang paling
banyak memberhentikan anggota Panitia Pemilihan semenjak
diberlakukannya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019. Peraturan KPU
Nomor 8 tahun 2019 sebenarnya diperuntukkan untuk memotong mata
rantai yang panjang dalam penanganan dugaan pelanggaran integritas oleh
Panitia Pemilihan. Instrumen Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan
pakta integritasnya pun sangat kuat. Menguji praktek election fraud
memang harus dilakukan melalui studi kasus (R. Michael Alvarez, 2008)
karena dibanyak negara, kultur politik dan kerangka hukum Pemilu-nya
mempengaruhi persepsi terhadap election fraud. Di Amerika Serikat pada
tahun 1960 an hak pilih berdasarkan voters classes baru dicabut, di tahun
1800 an, banyak negara mengalami intimidasi dan kekerasan dalam
kompetisi Pemilu. Konsentrasi election fraud dewasa ini adalah pembelian
suara (vote buying).
Berdasarkan rekapitulasi jumlah pelanggaran Kode Etik, Kode
Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas anggota Panitia Pemilihan
Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat pertama daerah
yang paling banyak dijatuhi hukuman sanksi pemberhentian tetap.
Pemberian sanksi pemberhentian tetap merupakan sanksi terberat bagi
anggota Panitia Pemilihan, karena dianggap terbukti telah melakukan
pelanggaran Pemilu serta sangat rentan untuk diteruskan ke ranah pidana.
Praktek pelanggaran Pemilu yang terbukti dilakukan oleh anggota Panitia
Pemilihan di Provinsi Sumatera Utara antara lain:
1. Pencoblosan surat suara sisa di Kabupaten Nias
2. Penggelapan gaji KPPS di Kabupaten Padang Lawas
3. Memihak kepada peserta Pemilu/tidak netral/diintervensi oleh kepala
daerah di Tapanuli Tengah
4. Memanipulasi/Penggelembungan perolehan suara di Kabupaten
Labuhan Batu

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

5. Terindikasi menerima suap dari calon anggota legislatif di Kota Medan

Tren pelanggaran pemilu di Provinsi Sumatera Utara memang cukup


tinggi, jika dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan
6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara melakukan Pemungutan Suara
Ulang (PSU).
Tabel 5.
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang Melaksanakan PSU
Berdasarkan Rekomendasi Bawaslu Setempat
No Kabupaten/Kota TPS
1 Padangsidimpuan TPS 10 Kelurahan Wek, Kecamatan
Padangsidempuan.
2 Mandailing Natal 1. TPS 14 Kelurahan Mompang Jae,
Kecamatan Panyabungan
2. TPS 1 Desa Huta Tinggi, Kecamatan
Panyabungan Timur
3 Padang Lawas Utara TPS 1 Desa Sigambal, Kecamatan Padang
Bolak.
4 Medan 1. TPS 35 Kelurahan Sei Agul, Kecamatan
Medan Barat
2. TPS 13 Kelurahan Dwikora, Kecamatan
Medan Helvetia.
5 Tapanuli Tengah 1. TPS 3 Desa Tumba Jae, Kecamatan
Manduamas;
2. TPS 2 Desa Lae Monong, Kecamatan
Manduamas;
3. TPS 13 Kelurahan Sibabangun, Kecamatan
Sibabangun;
4. TPS 1 Desa Sorkam Tengah, Kecamatan
Sorkam;
5. TPS 2 Desa Kebun Pisang, Kecamatan
Badiri;
6. TPS 7 Desa Aek Korsik, Kecamatan Badiri.
6 Nias Selatan Seluruh TPS di 5 Kecamatan Kabupaten Nisel
yakni Toma, Lolowau, Mazino, Sidua'ori, dan
Somambawa.

Bawaslu dalam buku Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Tahun 2019


menjelaskan kecurangan pemilu yang paling sering terjadi adalah tindakan
langsung (dari eksekutif atau peserta Pemilu) atau tindakan pembiaran (oleh
Penyelenggara Pemilu) yang menganggu proses Pemilu. Bentuk-bentuk
pelanggaran tersebut direpresentasikan dalam modus-modus pelanggaran
pemilu oleh penyelenggara pemilu seperti yang tertulis dalam Bab 2.
Pelanggaran-pelanggaran ini melekat pada Provinsi Sumatera Utara,
sebagaimana tergambar dalam Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2015 yang
dikeluarkan Bawaslu. Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam lima besar
provinsi paling rawan pada kontestasi Pilkada Serentak pertama tersebut.
Tiga kota di Kepulauan Nias (Nias Selatan, Nias Utara dan Nias Barat) masuk
ke dalam 5 besar kota paling rawan. Sementara, jumlah Penyelenggara
Pemilu yang menjadi teradu pada Pemilihan 2015 hasil rilis dari DKPP
menempatkan Provinsi Sumatera Utara diperingkat kedua dengan jumlah
teradu mencapai 47 orang dengan 7 anggota yang diberhentikan tetap.
14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Pada pilkada serentak 2018, Provinsi Sumatera Utara kembali


menempati posisi lima besar provinsi paling rawan berdasarkan IKP yang
dikeluarkan Bawaslu tahun 2018. Laporan dugaan pelanggaran di
Sumatera Utara mencapai 176 kasus. Sedangkan laporan pelanggaran etika
di DKPP sebanyak 42 pengaduan, terbesar kedua setelah Provinsi Papua.
Dalam konteks tersebut, pada setiap evaluasi Pemilu dan Pemilihan,
Provinsi Sumatera Utara selalu masuk dalam daftar daerah yang
bermasalah dari sisi integritas. Hasil data-data tersebut diperkuat dengan
pola pengawasan ketat yang dilakukan oleh KPU RI kepada Sumatera Utara
dalam setiap perhelatan pemilu maupun pilkada. Hal demikian dijelaskan
oleh Anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik saat ditemui oleh penulis.

“Sumatera Utara memang wilayah yang terus menjadi sorotan dan


dibawah pengawasan ketat kami. Dari dulu, daerah-daerah seperti di
Kepulauan Nias, Tapanuli Tengah, dan beberapa daerah lain sangat rentan
terjadi manipulasi pemungutan suara. Dalam setiap kesempatan, kami
selalu meminta Bawaslu agar memberikan perhatian lebih kepada
beberapa titik di Sumatera Utara, sembari kami juga memberikan supervisi
yang ketat agar jajaran kami terhindar dari pelanggaran pemilu.”
(Wawancara oleh penulis, Kamis, 2 Januari 2020 di Kantor KPU RI).

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara


pada Pemilu 2019 menjadi salah satu fokus pengawasan internal yang
dilakukan KPU. Salah satu latar belakang diberikannya wewenang
penanganan pelanggaran Panitia Pemilihan oleh KPU Kabupaten/Kota
sebagaimana termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 adalah
untuk memperketat sistem pengawasan dari internal KPU. Temuan pada
Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah yang paling banyak
melakukan penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh panitia pemilihan
dari total 417.508 anggota panitia pemilihan yang tersebar di 33
Kabupaten/Kota, terdapat 224 anggota Panitia Pemilihan yang telah
diproses, di mana sebanyak 151 dijatuhi hukuman pemberhentian tetap.
Sementara, per bulan Agustus 2019, masih terdapat 121 kasus dugaan
pelanggaran integritas yang dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan masih
dalam proses pemeriksaan.
Praktek Pemilu 2019 menjadi salah satu contoh paling mutakhir
(sophisticated) untuk menganalisis fenomena ini. Pelaksanaan Pemilihan
Serentak yang tahapannya beririsan dengan Tahapan Pemilu Presiden dan
Legislatif, membuka ruang sebesar-besarnya untuk terjadinya disintegritas
Penyelenggara Pemilu. Kerangka hukum di dalam Undang-Undang 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum yang membuka ruang kosentrasi
pelaksanaan Pemilu tidak hanya terpusat pada satu kompetisi saja. Desain
kerangka hukum dan Penyelenggara Pemilu ini yang mempertaruhkan
integritas Penyelenggara Pemilu (Norris, 2014).
Para peserta Pemilu untuk memenuhi ambisi politiknya tidak lagi
mendekati pemilih semata, tetapi menyasar langsung penyelenggara Pemilu
tingkat bawah. Jika seorang kandidat calon legislatif membutuhkan total
10.000 suara untuk mendapatkan kursi parlemen, namun prediksi
perolehan suaranya hanya sekitar 7.000 suara, maka jalan untuk
memenuhi ambang batas suara adalah dengan mempengaruhi Panitia
15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Pemilihan agar memanipulasi hasil suara yang diperolehnya. Kabupaten


Tapanuli Tengah memiliki kasus yang cukup unik, terdapat 166 anggota
PPS dan KPPS yang diberhentikan tetap. KPU Kabupaten Tapanuli Tengah
memberhentikan tetap anggota Panitia Pemilihan tersebut karena dianggap
telah melanggar Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta
integritas Penyelenggara Pemilu berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2
Tahun 2017 dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019.
Kabupaten Tapanuli Tengah berada di peringkat teratas daerah di
Provinsi Sumatera Utara yang paling banyak melakukan penanganan
pelanggaran integritas Panitia Pemilihan dengan jumlah 205 kasus.
Sebanyak 193 anggota Panitia Pemilihan Kabupaten Tapanuli Tengah
diberhentikan tetap. Kemudian Kabupaten Nias Selatan yang menangani
112 kasus, Kabupaten Deli Serdang sebanyak 24 kasus dan Kabupaten Nias
Barat sebanyak 23 kasus.
Dari sekian banyak daerah di Provinsi Sumatera Utara yang menangani
kasus pelanggaran integritas Panitia Pemilihan, peneliti mengambil kasus di
Kabupaten Tapanuli Tengah. Berdasarkan berita acara pemeriksaan yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Tapanuli Tengah, sebagian besar yang
diberhentikan adalah anggota KPPS. Dalam pemeriksaan, KPPS terbukti
melakukan pelanggaran berupa memiliki keterikatan dan keterkaitan
dengan Pemerintah Daerah setempat. Di dalam sidang pemeriksaan,
beberapa anggota KPPS yang menjadi teradu mengakui mendapatkan
sejumlah insentif dari Pemerintah setempat untuk memenangkan kandidat-
kandidat tertentu. Keterangan ini diperkuat dengan fakta terdapat sejumlah
nama calon anggota legislatif yang masih memiliki kekerabatan dengan
Bupati Tapanuli Tengah yang juga menjabat ketua cabang salah satu partai
nasional.
Bupati Tapanuli Tengah dilaporkan ke Bawaslu terkait dugaaan
kecurangan masif Pemilu, yang disinyalir melibatkan Aparatur Sipil Negara
(ASN). Kecurangan proses pemungutan suara bahkan tersebar melalui video
yang viral, memperlihatkan penghitungan suara tidak sesuai dengan
ketentuan dan pelanggaran aturan dengan mencoblos surat suara untuk
caleg tertentu. Laporan kepada Bawaslu tersebut menyebutkan, kecurangan
hampir terjadi di setiap TPS. Petugas KPPS membacakan surat suara yang
tidak sesuai dengan pilihan pemilih. Kecurangan dilakukan dengan cara
menggelembungkan jumlah perolehan suara di formulir C1 yang merupakan
salinan rekapitulasi. Modus operandi ini diperparah dengan formulir
tersebut tidak diberikan salinannya kepada saksi maupun pengawas6.
Pada proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, hakim memutuskan
Tapanuli Tengah merupakan salah satu daerah yang diperintahkan untuk
dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Terdapat belasan TPS di
Tapanuli Tengah yang melakukan PSU berdasarkan rekomendasi dari
Bawaslu dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Intervensi Pemerintah lokal
terhadap Panitia Pemilihan menjadi salah satu faktor utama terganggunya
integritas Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini terkait dengan aturan

6
Situs berita https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupati-
tapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaan-kecurangan-masif-pemilu
(dikutip tanggal 1 Oktober 2019, pukul 22.30).
16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

mengenai Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas yang
wajib ditandatangani oleh Panitia Pemilihan pada saat pelantikan.
Birch (2011) dalam briefing papernya memperkenalkan istilah electoral
corruption untuk menggambarkan semua fenomena praktek kecurangan
Pemilu. Menurutnya, malpraktik Pemilu, kecurangan Pemilu, kesalahan
Pemilu, dan manipulasi Pemilu semuanya adalah praktek korupsi Pemilu
yang melibatkan lembaga pemilihan untuk kepentingan kelompok atau
pribadi. Electoral corruption dibaginya menjadi tiga kategori, manipulasi
kerangka hukum, manipulasi pemilih, dan manipulasi pemungutan suara.
Contoh paling layak menggambarkan definisi yang dikemukakan oleh
Birch adalah kasus di Kota Medan. Praktek pelanggaran sudah mengarah
ke tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota PPK Medan Helvetia.
Diduga, oknum PPK ini meningkatkan perolehan suara calon tertentu
dengan menggunakan surat suara yang tidak sah lalu menerima sejumlah
imbalan uang.
Surat suara yang tidak sah digunakan untuk menambah perolehan
suara calon tertentu yang dicatat didalam formulir DA1. Berdasarkan
keterangan Ketua KPU Sumatera Utara Herdensi, anggota PPK Medan
Helvetia atas nama Kun Hidayat ditawari uang ratusan juta rupiah oleh
salah satu caleg DPRD Kota Medan. Caleg tersebut memintanya untuk
melakukan manipulasi perolehan suara karena perolehan suara yang
didapatnya tidak mencakup untuk masuk ke Parlemen Kota Medan, Dugaan
pelanggaran ini terungkap setelah dilakukan Rapat Pleno oleh KPU Provinsi
Sumatera Utara terhadap hasil rekapitulasi suara Pemilu calon anggota
Legislatif. KPU Provinsi Sumatera Utara mendapatkan laporan dari salah
satu peserta Pemilu yang menduga adanya penggelembungan suara
terhadap calon tertentu. Di dalam Pleno Terbuka, KPU Provinsi Sumatera
Utara melakukan penyandingan formulir DA1 dengan formulir lain sehingga
ditemukan adanya peningkatan perolehan suara yang signifikan yang
didapatkan oleh calon tertentu. Praktek kecurangan ini memang dapat
dilakukan oleh anggota PPK pada saat dilakukan rekapitulasi atau
pengetikan hasil rekapitulasi di DA1 Plano (Catatan hasil rekapitulasi) yang
akan berbeda dengan Berita Acara Hasil Rekapitulasi di tingkat TPS.
Praktek election fraud sudah melibatkan institusi pemerintah yang
berkeinginan mengendalikan hasil Pemilu demi kepentingan pemerintahan.
Rekayasa Pemilu dilakukan dengan mempengaruhi komponen paling
penting dari Pemilu, yaitu Panitia Pemilihan. Simpser (2013) menyebut
Pemilu selalu diwarnai dengan rekayasa, seperti misalnya permasalahan
berkaitan dengan kotak suara, jual beli suara, dan intimidasi terhadap
pemilih atau peserta Pemilu yang dilakukan penguasa. Rekayasa Pemilu
adalah strategi politik yang menelan biaya besar dan sangat beresiko.
Apabila rekayasa Pemilu diketahui oleh publik dan dipermasalahkan, maka
akan mempengaruhi legitimasi hasil Pemilu dan bukan tidak mungkin akan
membawa situasi politik yang chaos (Simpser, 2013).
Penyelenggaran pemilu yang kompleks dan melibatkan Panitia
Pemilihan dengan personil jumlah besar merupakan tantangan besar bagi
KPU untuk mengelolanya. Apalagi mereka rentan dari kesalahan. Negara
yang dalam kondisi ekonomi baik akan berbanding lurus dengan indeks
integritas pemilunya (Norris, 2015). Dengan keadaan ekonomi yang baik

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

warga negara cenderung memiliki beberapa pra-syarat mewujudkan Pemilu


yang berintegritas. Norris (2015) mengeksplorasi penyebab gagalnya sebuah
Pemilu bisa disebabkan oleh struktur, kultur dan kapasitas dari badan
Penyelenggara Pemilu. Kapasitas dan integritas Penyelenggara Pemilu sama
pentingnya dengan membangun kerangka hukum (undang-undang) yang
mengatur aturan main Pemilu. Gagasan tentang integritas Pemilu akan
selalu berkaitan dengan frase negatif tentang Pemilu seperti, electoral
malpractice, flawed elections dan electoral fraud yang semuanya sama.
Temuannya pada penelitian adalah penyebab pelanggaran yang
disengaja/kecurangan terkait erat dengan Penyelenggara Pemilu yang
dipolitisir. Penyelenggara Pemilu bekerja dalam setting-an bahwa ada
pertukaran kepentingan dalam penentuan keputusan mereka sehingga
keputusan yang dibuat tidak memperlihatkan kemandirian dan integritas
Penyelenggara Pemilu. Pemihakan terhadap peserta tertentu bisa dirancang
oleh oknum sebelum rekrutmen dengan menanam orang untuk menjadi
penyelenggara. Oknum bermain dengan mekanisme rekrutmen yang selama
ini cenderung tertutup karena pemilihannya berdasarkan rekomendasi dan
penunjukan. Rekomendasi dan penunjukan memungkinkan penyelenggara
bekerja dalam ruang intervensi yang menunjuk. Atau Panitia Pemilihan
tergiur tawaran salah satu peserta setelah direkrut.

KESIMPULAN
Beberapa faktor terjadinya election fraud adalah pertama, kerangka
hukum pemilu yang membuka ruang terjadinya kegagalan pemilu, kedua,
lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh badan Penyelenggara Pemilu,
dan ketiga faktor ekonomi dan sumber daya manusia.
Kerangka hukum berarti berkaitan dengan peraturan-peraturan yang
mengatur tentang integritas Panitia Pemilihan. KPU telah menerbitkan
peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 sebagai ruang pengawasan dan
penanganan internal bagi Panitia Pemilihan. KPU Kabupaten/Kota kini telah
memiliki wewenang memberhentikan tetap bagi Panitia Pemilihan yang
dianggap melanggar Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta
integritas Penyelenggara Pemilu. Peraturan ini juga yang menjadi pemicu
meningkatnya kasus pelanggaran Panitia Pemilihan yang selama ini tidak
terungkap secara maksimal. Namun di sisi lain, kerangka hukum Pemilu
2019 juga memiliki celah bagi persoalan integritas dari sisi rekrutmen
Panitia Pemilihan. Persyaratan anggota Panitia Pemilihan yang tidak terlalu
ketat dan memiliki alternatif rekrutmen tertutup menjadi pintu masuk
terjadinya pelanggaran integritas. Kasus diberhentikannya KPPS di
Kabupaten Tapanuli Tengah salah satunya disebabkan kegagalan KPU
Kabupaten Tapanuli Tengah melaksanakan rekrutmen KPPS secara ketat
dan terbuka sehingga membuka ruang intervensi dari birokrasi lokal.
Sementara pembekalan integritas Penyelenggara Pemilu lewat bimbingan
teknis juga tidak berjalan maksimal karena minimnya dukungan anggaran
dan infrastruktur.
Terkait dengan pengawasan, kegagalan Bawaslu dan Gakkumdu
dalam penegakan hukum pemilu (law enforcement) juga turut menopang
buruknya integritas Pemilu di Provinsi Sumatera Utara. Di Tapanuli Tengah,
tidak ada satupun Panitia Pemilihan yang terjerat pidana Pemilu. Padahal,
bukti-bukti berupa tayangan video pelanggaran yang viral merupakan bukti
18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

sahih terjadinya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif. Dari


sisi KPU, pengawasan internal sebenarnya terbukti efektif untuk menjaga
integritas Panitia Pemilihan. Secara umum di Sumatera Utara, anggota
Panitia Pemilihan diberhentikan tetap setelah ditemukan adanya dugaan
pelanggaran berdasarkan hasil pengawasan internal, berdasarkan
wewenang yang diberikan dalam peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019.
Namun ada banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan pelanggaran
Panitia Pemilihan tetap tumbuh subur, salah satunya jika dilihat dari
pendekatan faktor ekonomi dan sumber daya manusia. Jumlah Panitia
Pemilihan yang sangat banyak dalam menyelenggarakan pesta demokrasi
besar berdampak langsung pada pengeluaran negara untuk membayar para
Panitia Pemilihan. Gaji yang diterima oleh anggota PPK, PPS dan KPPS
sangat kecil. Sementara aliran dana yang beredar di masa Pemilu sangat
besar dan jumlahnya tidak terbatas. Suap (bribery) dan korupsi menjadi dua
hal yang akhirnya sulit dilepaskan dari election fraud. Sekuat-kuatnya
pondasi integritas penyelenggara yang dipasang oleh KPU, akan sulit
menyangga integritas para Panitia Pemilihan. Keadaan ini diperburuk oleh
budaya politik uang yang kental di Sumatera Utara. Anggota KPU RI yang
berasal dari Sumatera Utara, Evi Novida Ginting, menyatakan praktek
kecurangan pemilu lewat vote buying dan bentuk-bentuk manipulasi suara
lainnya sudah mahfum terjadi di beberapa wilayah di Sumatera Utara.
Daerah yang paling sering disoroti karena paling sering terjadi dispute akibat
dugaan kecurangan adalah Kabupaten Nias Selatan dan Tapanuli Tengah.
Suburnya politik uang dalam Pemilu tidak lepas dari cara pandang
masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang. Fenomena ini
berimplikasi pada metode para pelaku bossism dalam relasi kekuasaan
dengan menggunakan sumber-sumber daya yang dimiliki, salah satunya
birokrasi, guna mempertahankan atau meraih kekuasaaan dengan jalan
memanipulasi Pemilu. Gambaran dalam kasus pelanggaran pemilu oleh
Panitia Pemilihan di Tapanuli Tengah misalnya, menggambarkan Pemilu
yang diwarnai oleh klientilisme, patronase dan korupsi. Salah seorang
mantan Ketua KPPS di desa Kebon Pisang, Kecamatan Badiri, Kabupaten
Tapanuli Tengah, mengaku kepada penulis telah menerima sejumlah uang
dari peserta Pemilu dan perangkat desa untuk agenda pemenangan salah
satu calon legislatif dan hal itu menurutnya merupakan hal yang biasa
terjadi di setiap Pemilu. Motivasinya adalah faktor ekonomi dikarenakan
upah sebagai anggota KPPS yang sangat kecil.
Di sisi lain, KPU selaku penyelenggara utama Pemilu terus berupaya
menekan election fraud seminimal mungkin. Dibandingkan Pemilu 2014,
integritas Penyelenggara Pemilu Adhoc pada Pemilu 2019 mengalami
peningkatkan. Hal ini dibuktikan dengan penurunan angka laporan
pelanggaran kode etik oleh panitia pemilihan. Kehadiran Peraturan KPU
Nomor 8 Tahun 2019 lewat instrument kode etik, kode perilaku,
sumpah/janji dan Pakta Integritas penyelenggara Pemilu, berhasil menekan
keinginan para Panitia Pemilihan untuk berbuat curang dan mempercepat
proses penanganan pelanggaran.

19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

REKOMENDASI
1. Kunci dari pembangunan integritas Penyelenggara Pemilu ada pada
masa rekrutmen. Rekrutmen Panitia Pemilihan harus berlangsung
sesuai dengan peraturan yang sudah diatur dan tidak ada intervensi dari
birokrasi atau relasi kekuasan lainnya.
2. Selain dari sisi rekrutmen yang harus diperbaiki, manajemen
pengelolaan Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc harus dibenahi dari sisi
persyaratan dan komposisi anggota. Pada Pemilu mendatang, hak
ajudikasi KPU Kabupaten/Kota dalam menangani Panitia Pemilihan
harus diperkuat dengan peraturan-peraturan tambahan untuk
mempermudah jalannya proses pemeriksaan. Proses pemeriksaan
hingga pemberian sanksi harus memiliki standar waktu, mengingat
subjek hukumnya adalah bersifat ad hoc. Selain itu, persyaratan
menjadi anggota Panitia Pemilihan lebih diperketat, syarat periodesasi
diterapkan dengan efektif, dan pengawasan internal dari KPU
Kabupaten/Kota semakin diintensifkan. Celah pelanggaran Pemilu akan
selalu ada pada setiap gelaran Pemilu, namun upaya untuk mereduksi
hal tersebut juga harus terus dilakukan. Integritas menjadi isu paling
krusial bagi Penyelenggara Pemilu di setiap tingkatan.
3. Law enforcement Pemilu harus dilaksanakan dengan maksimal antara
KPU dan Bawaslu. Kedua lembaga ini memiliki wewenang dan peran
penting untuk menegakkan integritas Pemilu. Bawaslu bersama
Gakkumdu bahkan memiliki wewenang untuk memberikan sanksi
pidana Pemilu bagi Panitia Pemilihan maupun pihak lain yang
melakukan modus-modus pelanggaran Penyelenggaraan Pemilu.
4. KPU harus secara masif mengkampanyekan Peraturan KPU Nomor 8
Tahun 2019 yang mengatur tentang mekanisme pengawasan internal
dan laporan/aduan sebagai langkah preventif mencegah terjadinya
pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sekaligus
memberikan sosialisasi bagi KPU daerah cara menangani dugaan
pelanggaran etik yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sosialisasi ini
juga harus menyentuh stakeholder Pemilu karena dapat berperan
sebagai mitra menegakkan integritas Pemilu lewat mekanisme
Laporan/Aduan.
5. Perlu adanya revisi regulasi dalam Undang-Undang Pemilu terutama
mengenai persyaratan anggota Panitia Pemilihan. Anggota Panitia
Pemilihan sebaiknya direkrut dari lembaga Pendidikan seperti sekolah
menengah atas, universitas atau perguruan tinggi dan lembaga profesi.
Gagasan ini dipercaya mampu meningkatkan kualitas Panitia Pemilihan
dan mempermudah pengawasan yang dilakukan.
6. Bonus demografi Indonesia adalah memiliki mayoritas penduduk yang
masih usia muda. Syarat periodesasi bagi Panitia Pemilihan harus
dijalankan dengan maksimal atau membatasi usia maksimal bagi
anggota Panitia Pemilihan pada Pemilu berikutnya. Hal ini perlu
dilakukan untuk menghentikan tren anggota Panitia Pemilihan yang
berusia tua. Selain untuk meminimalisir adanya korban meninggal
dunia seperti Pemilu 2019, juga untuk memutus mata rantai terpilihnya
anggota Panitia Pemilihan senior yang memiliki kepentingan dan relasi
dengan penguasa atau peserta Pemilu tertentu.

20
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR REFERENSI
Alvarez, R. M., E. Hall, T., & Hyde, S. (2008). Election Fraud. Washington:
The Brooking Institution.
Baubock, R. (2007). Stakeholder Citizenship and Transnational Political
Participation: A Normative Evaluation of External Voting. Fordham
Law Review.
Birch, S. (2011). Electoral Corruption. IDCR, 1.
Creswell, J. W. (1996). Research Design: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: KIK Press.
DKPP. (2016). Outlook 2016 Refleksi & Proyeksi. Jakarta: Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.
Feith, h. (1999). Pemilihan Umum 1955. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
IDEA. (2010). Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA.
Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral
Assistance (IDEA).
Klassen, A. J. (2009). Electoral Management Autonomy: A Cross-National
Analysis from Latin America. Australia National University, 1.
Lasswell, H. D. (1936). POLITICS: Who Gets What, When, How. USA: McGraw-
Hill Book Co.
Lipson, D. (2004). The New Politics of Affirmative Action: How an Endangered,
Liberal, Civil Right Policy Has Transformed Into an Entrenched,
Conservative, Diversity Management Policy. Manitoba:: Canadian
Political Science Association.
Norris, P. (2014). Why Electoral Integrity Matters. New York: University of
Cambridge.
Norris, P. (2015). Why Elections Fail. New York: Cambridge University Press.
Reynolds, A. (2005). Electoral System Design: The New International IDEA
Handbook. Stockholm: IDEA.
Okezone. (2019, April 24). Okezone.com. Retrieved from Okezone:
https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupati
-tapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaan-
kecurangan-masif-pemilu.
Sardini, N. H. (2015). Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Jakarta: LP2AB.
Simpser, A. (2012). Why Goverment and Parties Manipulate Elections. New
York: Cambridge University Press.
Surbakti, R., & Kris Nugroho. (2015). Studi Tentang Desain Kelembagaan
Pemilu yang Efektif. Jakarta: Kemitraan Partnership.
Thoha, M. (2014). Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum di Indonesia.
Jakarta: Prenadamedia Group.

Tesis
Umar, AA (2017). Manajemen Pemilu: Mempersiapkan Panitia Pemilihan yang
Mandiri, Kompeten dan Berintegritas (Studi PPK, PPS dan KPPS di
Kabupaten Temanggung Pemilu Legislatif Tahun 2014). Universitas
Gadjah Mada

21
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Website
Okezone. (2019, April 24). Okezone.com. Retrieved from Okezone:
https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupati
-tapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaan-
kecurangan-masif-pemilu

22
MANAJEMEN DISTRIBUSI LOGISTIK PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL
BUPATI PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN
SANGIHE TAHUN 2017

Franky Gilbert Nainggolan a, Daud Markus Liando b, Johny Peter


Lengkong c
a Program Tata Kelola Pemilu Batch II, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia
b Dosen S2 TKP Fisip, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia
c Dosen S2 TKP Fisip, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia

e-mail: frankygilbert83@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu aspek penting bagi keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
terletak pada keberhasilan penyelenggara Pilkada dalam menyiapkan logistik
Pilkada di dalam suatu kegiatan manajemen logistik. Berjalannya kegiatan logistik
tentu saja didukung oleh komponen-komponen yang ada dalam sistem logistik
meliputi struktur fasilitas, transportasi, pengadaan persediaan, komunikasi,
penanganan dan penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis manajemen distribusi logistik Pilkada Kabupaten Kepulauan
Sangihe tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang fokus
pada komponen-komponen sistem logistik. Hasil penelitian ini diperoleh struktur
fasilitas dalam mendistribusikan logistik, mulai dari gudang KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe kemudian ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS), kurangnya ketersediaan sarana transportasi di PPK dan PPS di daerah-
daerah kepulauan, dan kurangnya ketersediaan gudang logistik yang
representative di PPK. Transportasi yang digunakan adalah truk, pickup, kapal
pajeko dan pumpboat, kurangnya ketersediaan moda transportasi yang handal
untuk mendistribusikan logistik dipengaruhi kondisi cuaca, dan kapal-kapal
digunakan oleh pihak lain untuk kampanye, menyebabkan keterlambatan
pendistribusian. Pengadaan persediaan dilakukan melalui e-tendering/e-katalog
Lembaga Kebijakan Pengadaan barang Jasa Pemerintah (LKPP) dan pengadaan
langsung, beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, ada beberapa
item logistik yang tidak lengkap halaman dan jumlahnya, dan kedatangan logistik
dari penyedia tidak bersamaan menyebabkan pengepakan dan penyimpanan
logistik menjadi terlambat pada akhirnya menyebabkan terlambatnya jadwal
distribusi. Tidak tersedianya logistik pengaman sebagai cadangan juga
menyebabkan ketidakpastian sistem logistik yang menyebabkan terlambatnya
pendistibusian logistik. Kurangnya komunikasi menyebabkan moda transportasi
tidak tersedia dan terlambatnya pengadaan persediaan yang akhirnya
terlambatnya pendistribusian logistik. Penanganan dan penyimpanan logistik
dilakukan dari menerima, menyortir, melipat kertas suara, mengeset formulir, dan
mengepak logistik kedalam kotak suara, ada beberapa item logistik yang
pengadaannya terlambat, menyebabkan terlambatnya kegiatan pengepakan
akhirnya menyebabkan jadwal pendistribusian logistik terlambat.

Kata Kunci: Manajemen, Distribusi, Logistik

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

LOGISTIC DISTRIBUTION MANAGEMENT OF REGENT


AND DEPUTY REGENT ELECTION AT ELECTION COMMISSION OF SANGIHE
ISLANDS REGENCY IN 2017

ABSTRACT
One important aspect of Regional Head Election (Pilkada's) success lies in the
success of Pilkada organizers in preparing Pilkada logistics in a logistics
management activity. Logistics activities are supported by components in logistics
system including facility structure, transportation, procurement, communication,
handling and storage. This study aims to determine and analyze the management
of logistics distribution Pilkada Sangihe in 2017. This study uses qualitative
methods that focus on the components of logistics systems. The results of this study
obtained the structure of facilities in distributing logistics, ranging from warehouse
of the Sangihe Islands Regency Election Commission distributed to Sub District
Election Committee (PPK), Voting Committee (PPS) and Voting Organizers Group
(KPPS), lack of transportation facilities availability of PPK and PPS in archipelago
areas, and lack of logistics warehouses availability that are representative in PPK.
Transportation used is truck, pickup, pajeko and pumpboat. Lack of reliable
transportation mode to distribute logistics influenced by weather conditions, and
ships are used by other parties for campaign, causing delays in logistic distribution.
The procurement of inventory is conducted by e-tendering / e-catalog of Government
Services Procurement Policy Agency (LKPP) and direct procurement. Some logistics
items procurement are held lately, some logistic items are incomplete amount and
pages, and the logistics from the provider does not arrival simultaneously causing
the packing and the storage of logistic handling lately, this cause ultimately led to a
delayed distribution schedule. The unavailability of safety logistics as a reserve also
leads to the uncertainty of the logistics system leading to delays in logistic
distribution. Lack of communication causes unavailable transportation modes and
late procurement of supplies that cause ultimately delay the distribution of logistics.
Logistic handling and storage is conducted by receiving, sorting, folding ballot paper,
setting up forms, and packing logistics into the ballot, some logistics items are
delayed, causing late packing activities eventually leading to the late logistics
distribution schedules.

Keywords: Management, Distribution, Logistics

PENDAHULUAN
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan Pilkada, terletak pada
keberhasilan penyelenggara dalam menyiapkan sarana dan prasarana
Pilkada berupa logistik atau perlengkapan penyelenggaraan di dalam suatu
kegiatan manajemen logistik yang efektif dan efesien. Logistik bukan hanya
pelengkap dalam proses Pilkada, melainkan syarat mutlak
terselenggaranya Pilkada yang demokratis. Banyak hal yang bisa menjadi
sumber masalah berasal dari logistik. Dari hasil evaluasi penyelenggaraan
Pemilu terdapat banyak kendala dalam manajemen logistik terutama
pengadaan dan pendistribusian logistik di beberapa daerah.
Kesulitan yang sama juga masih dihadapi KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe. Pada Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun
2017 lalu, terjadi keterlambatan pendistribusian logistik di Kecamatan
Nusa Tabukan sebanyak 9 TPS, logistik baru bisa terdistribusi di hari
pemungutan suara tanggal 15 Februari 2017, KPU Kabupaten Kepulauan

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Sangihe membuat keputusan untuk menunda pemungutan suara di 9 TPS


tersebut. Pemungutan suara susulan ini tidak sesuai lagi dengan standar
Pilkada serentak. Dengan demikian, bahwa permasalahan logistik Pilkada
ini menimbulkan banyak dampak pada berbagai proses Pilkada. Distribusi
merupakan salah satu dari fungsi manajemen logistik. Dimana manajemen
logistik Pilkada memiliki peran yang sangat penting untuk menentukan
keberhasilan penyelenggaraan Pilkada. Guna memenuhi logistik Pilkada ke
seluruh PPK, PPS, dan TPS di Kabupaten Kepulauan Sangihe secara tepat
jumlah; tepat jenis; tepat sasaran; tepat waktu; tepat kualitas; dan efisien
maka diperlukan manajemen distribusi logistik Pilkada yang baik.
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan rumusan masalah
yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis manajemen distribusi
logistik Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe tahun 2017.
Logistik merupakan proses pengelolaan yang penting terhadap
pemindahan dan penyimpanan barang dari penyuplai kepada
perindustrian dan kepada konsumen. Manajemen Logistik adalah
merupakan satu aktivitas perindustrian yang tertua tetapi juga yang
termuda. Aktivitas logistik (lokasi fasilitas, transportasi, inventarisasi,
komunikasi, dan pengurusan dan penyimpanan) sudah dillakukan orang
semenjak awal spesilisasi komersil (Bowersox, 2002:13).
Menurut Kusumastuti (2014:5-9) dalam perkembangannya terdapat
berbagai peranan manajemen logistik diantaranya sebagai berikut: (1)
Peranan logistik dalam organisasi publik, yang sangat berhubungan erat
dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Proses ini tidak hanya di sekitar aktivitas
pengadaan barang untuk kebutuhan pemerintah, tetapi juga mempunyai
peranan penting dalam kehidupan masyarakat, seperti pemberian
pelayanan prima kepada seluruh masyarakat. (2) Peranan logistik dalam
mendukung kegiatan pemasaran, karena harus mengintegrasikan
gagasan-gagasan untuk memperoleh produk yang cepat, pada saat yang
tepat, promosi yang memadai, dan tempat yang memadai. Logistik
mendukung pengiriman barang pada saat dan di mana produk tersebut
dibutuhkan. (3) Peranan logistik dalam ekonomi, yaitu: logistik merupakan
pengeluaran utama dalam bisnis, yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh aktivitas ekonomi lainnya, logistik mendukung pergerakan dan aliran
dari sejumlah transaksi ekonomi, logistik menambah nilai dengan
menciptakan kegunaan (utilitas) waktu dan tempat, dalam perdagangan
internasional pemerintah ikut memerankan kebijakan maupun
pengawasan perdagangan karena merupakan perluasan kegiatan ekonomi
dan (4) Peranan logistik dalam militer, begitu pentingnya kontribusi logistik
terhadap kemenangan sekutu di Perang Dunia Kedua keberhasilan
pasokan, pendistribusian, dan penyimpanan merupakan keberhasilan
Pasukan Militer.
Untuk mencapai tujuan logistik perusahaan atau organisasi
membutuhkan fungsi-fungsi logistik guna mencapai misi logistiknya.
Fungsi manajemen logistik adakah suatu proses yang berkelanjutan dan

3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

saling berhubungan satu sama lainnya serta saling mendukung satu sama
dan lainnya. Proses manajemen logistik menurut Subagya (1996:10) terdiri
dari: (1) Fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan. Perencanaan
mencakup kegiatan dalam menetapkan sasaran-sasaran, pedoman-
pedoman, pengukuran penyelenggaran bidang logistik. Penentuan
kebutuhan merupakan perincian (detailering) dari fungsi perencanaan. (2)
Fungsi penganggaran, yaitu kegiatan dan usaha-usaha untuk menetapkan
secara rinci penentuan kebutuhan dalam suatu skala standar. (3) Fungsi
pengadaan, merupakan kegiatan dan usaha untuk menambah dan
memenuhi kebutuhan barang dan jasa berdasarkan peraturan yang
berlaku, menciptakan sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada. (4)
Fungsi penyimpanan dan penyaluran, merupakan pelaksanaan,
penerimaan, peyimpanan dan penyaluran perlengkapan yang telah
diadakan untuk kemudian disalurkan kepada instansi-instansi pelaksana.
(5) Fungsi pemeliharaan, merupakan usaha atau proses kegiatan untuk
mempertahankan kondisi teknis, daya guna dan daya hasil barang. (6)
Fungsi penghapusan, merupakan kegiatan dan usaha membebakan
barang dari pertangungjawaban. (7) Fungsi pengendalian, merupakan
fungsi untuk mengawasi dan mengamankan keseluruhan pengelolaan
logistik. Fungsi-fungsi tersebut diatas pada dasarnya merupakan siklus
kegiatan yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-
pisahkan, secara umum disebut siklus logistik.
Proses manajemen logistik pada dasarnya menciptakan faedah
(utility) waktu, tempat, dan pengalihan hak milik. Dalam menciptakan
ketiga faedah tersebut, terdapat dua aspek penting yang terlibat
didalamnya, yaitu: lembaga yang berfungsi sebagai saluran distribusi
logistik (channel of distribution) dan aktivitas yang menyalurkan arus fisik
barang (physical distribution). Manajemen logistik terpadu merupakan
konsep berbeda dalam manajemen logistik, yang mengintegerasikan
sistem-sistem manajemen distribusi fisik dan manejemen material. Konsep
logistik terpadu itu sendiri terdiri dari dua usaha yang berkaitan yaitu
operasi logistik dan koordinasi logistik (Bowersox, 2002:24).
Sistem ini mengulas mengenai bagaimana suatu material diproses,
manufaktur, disimpan, diseleksi, untuk kemudian dijual atau dikonsumsi.
Pembahasan dalam sistem logistik ini merupakan pembahasan yang
komperhensif, termasuk pembahasan mengenai proses manufaktur dan
perakitan, pergudangan, pendistribusian, titik/poin pengalihan angkutan,
terminal transportasi, penjualan eceran, pusat penyortiran barang dan
dokumen, pusat penghancuran, dan pembuangan dari keseluruhan
kegiatan industri (Ghiani dkk, 2004:1). Berjalannya kegiatan logistik tentu
saja didukung oleh komponen-komponen yang ada dalam sistem logistik
tersebut. Menurut Bowersox (2002:63) ada 5 (lima) komponen yang
bergabung untuk membentuk sistem logistik, komponen- komponen yang
antara lain terdiri dari: struktur fasilitas, transportasi, pengadaan,
persediaan, komunikasi, penanganan dan penyimpanan.

4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu
metode penelitian yang dipakai untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah
dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif,
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono, 2015:1). Lokasi penelitian dilakukan di KPU
Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai pelaksana pendistribusian logistik
Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun
2017.
Fokus utama penelitian ini adalah manajemen distribusi logistik
pada KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dalam Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017 untuk memenuhi
penyediaan logistik secara tepat jumlah; tepat jenis; tepat sasaran; tepat
waktu; tepat kualitas; dan efisien.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil
penelitian yang didapatkan melalui dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Data-data primer tersebut, yaitu dokumen Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017, antara lain:
dokumen kebijakan tentang tahapan, dokumen kebijakan tentang
pengadaan kebutuhan dan pendistribusian logistik, dokumen kebijakan
tentang jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), dokumen kebijakan
tentang jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) serta dokumen-dokumen lain
yang terkait dalam penelitian ini. Waktu penelitian ini dilakukan dilakukan
dari bulan September 2017 sampai dengan bulan April 2018.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Logistik terpadu ini mengitegerasikan saluran distribusi dengan
manajemen distribusi fisik kedalam suatu sistem logistik. Berjalannya
kegiatan dan usaha logistik tentu saja sudah didukung oleh komponen-
komponen yang terdapat didalam sistem logistik tersebut. Pertimbangan
dalam salah satu fungsi logistik akan berakibat pada fungsi logistik
lainnya, inilah yang membuat keberhasilan manajemen logistik terpadu
yang sifatnya saling terkait. Menurut Bowersox (2002:63) ada 5 (lima)
gabungan komponen untuk membentuk suatu sistem logistik, komponen-
komponen yang antara lain terdiri dari: Struktur fasilitas, Transportasi,
Pengadaan persediaan, Komunikasi, Penanganan dan penyimpanan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui deskripsi objek
penelitian dan karakteristik informan, serta hasil wawancara dengan
informan. Peneliti akan membahas penelitian berdasarkan 5 (lima)
komponen yang ada didalam sistem logistik, sebagai berikut:

Struktur Fasilitas
Jaringan fasilitas suatu organisasi dalam sistem logistik merupakan
rangkaian tempat ke mana dan melalui mana material dan barang
diangkut. Untuk tujuan perencanaan, fasilitas-fasilitas tersebut meliputi
pabrik, gudang-gudang, dan distributor (Bowersox, 2002:64). Struktur
jaringan fasilitas ini juga biasa disebut saluran distribusi, saluran

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

distribusi fisik adalah metode dan sarana dimana suatu barang atau
berbagai barang dipindahkan secara fisik, atau didistribusikan, dari
tempat produksi sampai pada tempat di mana barang tersebut tersedia bagi
pengguna akhir (Rushton dkk, 2010:50).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan alur penerimaan dan
pendistribusian logistik Pilkada melalui struktur fasilitas yang ditetapkan
adalah untuk daerah daratan dimulai dari gudang KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe kemudian ke PPK, PPS dan KPPS. Untuk daerah
kepulauan dari gudang KPU Kabupaten Sangihe langsung ke PPS atau
KPPS, lalu logistik digunakan oleh KPPS dan pemilih pada hari
pemungutan suara.
Dari penelitian ini didapatkan pemilihan saluran distribusi ini sudah
cukup efektif, sesuai dengan pendapat Bowersox (2002:64), seleksi
serangkaian tempat yang unggul (superior) bisa memberikan banyak
keuntungan yang bersaing bagi organisasi. Tingkat ketepatan logistik yang
bisa dicapai itu berkaitan langsung dengan dan dibatasi oleh jaringan
fasilitas. Terlihat dari masing masing saluran distribusi yang dipilih KPU
Kabupaten Sangihe dapat menjangkau wilayah geografisnya masing-
masing, PPK yang berada di Kecamatan dapat menjangkau desa-desa
disetiap wilayah kerja PPK tersebut berada, kemudian PPS yang berada di
Desa/ Kelurahan menjangkau setiap lokasi TPS di wilayah kerja PPS
tersebut, dan KPPS sebagai pengguna logistik dapat mendistibusikan
logistik kepada pemilih sebagai pengguna akhir.
Dari keterangan informan dan data-data hasil penelitian didapati
permasalahan yang terjadi pada fasilitas saluran distribusi logistik Pilkada
Sangihe tahun 2017 adalah ketersediaan moda transportasi di PPK dan
PPS. Dilihat dari kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Sangihe yang
merupakan wilayah kepulauan, dari 15 Kecamatan di Kabupaten
Kepulauan Sangihe 7 Kecamatan merupakan daerah yang terdiri dari
pulau-pulau diantaranya Kecamatan Marore, Kecamatan Tatoareng,
Kecamatan Nusa Tabukan, Kecamatan Tabukan Selatan, Kecamatan
Tabukan Selatan Tengah, Kecamatan Mangintau Selatan, dan Kecamatan
Kendahe, penyaluran logistik dari gudang KPU Kabupaten Sangihe yang
berada di Tahuna ke kecamatan-kecamatan tersebut hanya bisa dilakukan
menggunakan transportasi laut yaitu kapal Pajeko/angkutan rakyat atau
pumpboat dimana transportasi laut ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
cuaca.
Selain ketersediaan moda transportasi struktur fasilitas juga harus
didukung fasiltas gudang, baik itu untuk penanganan dan penyimpanan
logistik. Dari hasil pengamatan dan wawancara gudang distribusi yang
digunakan oleh KPU Kabupaten Sangihe sudah cukup representative untuk
melakukan operasi logistik seperti penyortiran, pengesetan formulir dan
pengepakan, namun untuk di PPK menurut keterangan informan masih
kurang memadai untuk ketersediaan gudang di PPK, PPK harus bekerja
sama dengan pihak-pihak seperti Pemda dan Kepolisian untuk tempat
penyimpanannya, gudang logistik ini sangat dibutuhkan dalam kegiatan
logistik, terlebih lagi dalam proses setelah pemungutan suara dimana
rekapitulasi suara dilakukan di tingkat PPK, jadi seluruh logistik dari KPPS

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

untuk wilayah kecamatan itu disimpan di gudang PPK sampai dengan


rekapitulasi di tingkat PPK selesai, jadi sangat dibutuhkan gudang
penyimpanan yang memadai.
Struktur fasilitas dalam sistem logistik adalah suatu kegiatan awal
yang patut dilakukan sebelum KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe mulai
mendistribusikan logistik. Penentuan fasilitas logistik yang tepat akan
mempengaruhi kemampuan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dalam
melayani masyarakat sebagai pemilih untuk mendapatkan logistik yang
tepat. Kesalahan dalam pemilihan struktur fasilitas saluran logistik akan
berakibat pada biaya transportasi yang tinggi, kurangnya tenaga kerja,
tidak tersedianya persediaan logistik yang cukup, dan lain sebagainya.
Komponen sistem logistik yang salah satunya struktur fasilitas
adalah kunci bagi keberhasilan manajemen logistik. Pemenuhan pesanan
logistik Pilkada secara tepat adalah bagian penting dari manajemen logistik
Pilkada dan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe perlu untuk membuat
keputusan strategis pada jaringan logistik. Menurut penelitian Candra
(2013) desain dan operasi jaringan pada logistik memiliki pengaruh yang
berarti terhadap sistem logistik. Ketetapan penting yang dibutuhkan
adalah moda transportasi yang dipakai dan gudang pusat distribusi yang
digunakan.

Transportasi
Transportasi adalah pindahnya barang atau penumpang dari tempat
yang satu ketempat yang lain, dimana barang dipindahkan ke tempat
tujuan yang membutuhkan. Secara umum transportasi adalah suatu
aktivitas memindahkan sesuatu barang dan/atau orang dari tempat yang
satu ketempat yang lain, baik dengan atau tanpa sarana. (Bowersox,
2002:157). Menurut Kamaluddin (2003: 18-19) transportasi maka dapat
dibedakan beberapa moda transportasi berdasarkan unsur-unsurnya,
yaitu sebagai berikut: transportasi darat, transportasi air dan transportasi
udara.
Sebelum menentukan moda transportasi yang digunakan untuk
mengangkut logistik, KPU Kabupaten Sangihe terlebih dahulu membuat
perencanaan pendistribusian logistik dengan memetakan wilayah dengan
menetapkan daerah prioritas, menetapkan jadwal pendistribusian, dan
menetapkan moda transportasi yang akan digunakan. Skala prioritas yang
ditetapkan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah terdiri dari tiga
prioritas, yang dibagi kedalam dua wilayah, yaitu daratan dan kepulauan.
Seluruh wilayah kepulauan masuk kedalam prioritas utama
pendistribusian, sedangkan untuk wilayah daratan merupakan prioritas
sedang dan biasa. Jadwal distribusi dibagi kedalam dua bagian, yaitu
untuk wilayah daratan dimulai dari tanggal 12 Februari 2017 sampai
dengan 14 Februari 2017 dan wilayah kepulauan mulai dari tanggal 5
Februari 2017 sampai dengan 14 Febuari 2017. Moda transportasi yang
digunakan dalam melaksanakan pengangkutan dan pengiriman logistik ke
PPK, PPS, dan KPPS yaitu: truck/pickup untuk wilayah daratan dan kapal
pajeko/pumpboat untuk wilayah kepulauan.

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Dari hasil penelitian didapati terjadi penundaan pemungutan suara


ke Kecamatan Nusa Tabukan yang seharusnya dilakukan serentak tanggal
15 Februari 2017 namun baru dapat dilaksanakan pada tanggal 16
Februari 2017, di Kecamatan ini terdapat 9 TPS dengan jumlah pemilih
sebanyak 2.491 jiwa. Penundaan pelaksanaan pemungutan suara di
Kecamatan Nusa Tabukan dikarenakan terjadi keterlambatan
pendistribusian logistik, logistik baru sampai di Nusa Tabukan pada
tanggal 15 Februari 2017 pada pukul 13.00 Wita. Keterlambatan ini
disebabkan moda transportasi yang digunakan adalah kapal
pajeko/angkutan rakyat, moda transportasi ini tidak cukup andal untuk
mengangkut logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan disebabkan karena
kondisi cuaca ekstrim dan gelombang laut yang tinggi, moda transportasi
kapal pajeko ini tidak cukup andal untuk mendistribusikan logistik ke
Kecamatan Nusa Tabukan. Selain karena kurangnya ketersediaan sarana
transportasi yang andal dan konsisten, penelitian ini juga menemukan
keterlambatan pendistribusian logistik ini juga disebabkan oleh tidak
tepatnya penentuan rute transportasi.
Kecamatan Kendahe (khusus wilayah kepulauan), Kecamatan
Marore, dan Kecamatan Nusa Tabukan merupakan daerah prioritas utama
seharusnya untuk daerah-daerah prioritas pendistribusian dilakukan
terlebih dahulu dengan mempertimbangkan ketersediaan, keandalan dan
konsistensi moda transportasi yang digunakan, untuk Kecamatan
Kendahe, Kecamatan Marore dan Nusa Tabukan pengangkutan bisa
dilakukan menggunakan dua kapal pajeko, untuk kecamatan Kendahe dan
Kecamatan Marore dapat menggunakan satu kapal pajeko karena
merupakan satu rute pendistribusian, untuk menuju Kecamatan Marore
terlebih dahulu melalui Kecamatan Kendahe melalui Pelabuhan Tahuna
dan satu lagi untuk Kecamatan Nusa Tabukan menggunakan satu kapal
pajeko, pendistribusian dapat dilakukan mulai dari gudang KPU
Kabupaten Sangihe menuju Pelabuhan Petta menggunakan kendaraan
truck/pickup dan selanjutnya menggunakan kapal pajeko/pumpboat
menuju Kecamatan Nusa Tabukan. Dari penelitian ini didapatkan bahwa
keterlambatan logistik disebabkan minimnya ketersediaan sarana
transportasi yang cepat, handal, dan sanggup untuk mendistribusikan
logistik Pilkada tepat waktu dipengaruhi oleh kondisi cuaca, serta
penentuan rute transportasi yang tidak tepat menyebabkan keterlambatan
pendistribusian logistik.

Pengadaan Persediaan
Salah satu fungsi manajemen logistik adalah pengadaan, fungsi
pengadaan merupakan kegiatan dan usaha untuk menambah dan
memenuhi kebutuhan barang dan jasa berdasarkan peraturan yang
berlaku, menciptakan sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada
(Subagya, 1996:10). Tingkat persediaan menggambarkan keputusan
distribusi fisik lain yang mempengaruhi kepuasan pengguna logistik.
Organisasi menginginkan persediaan barang yang cukup guna memenuhi
semua kebutuhan masyarakat dengan segera (Kotler, 1993:295).

8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Dari hasil dan data-data penelitian yang didapat KPU Kabupaten


Kepulauan Sangihe melakukan pengadaan persediaan logistik melalui dua
cara yaitu menggunakan e-purchasing/e-katalog LKPP Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dan menggunakan metode
pengadaan langsung. Pengadaan surat suara, tinta, segel dan hologram
dilakukan melalui e-purchasing/e-katalog yang penyedianya ada di Pulau
Jawa. Pengadaan sampul, formulir, sticker, broiler dan alat kelengkapan
TPS diadakan dengan metode pengadaan langsung dari penyedia di
Manado.
Dari hasil penelitian ditemukan pengadaan logistik Pilkada yang
dilakukan terdapat kelebihan dan kekurangannya dari pengadaan yang
dilakukan melalui e-purchasing/e-katalog LKPP proses pengadaan dan
pendistribusian berjalan dengan baik dan cukup dapat menghemat
anggaran logistik karena pengadaan melalui e-purchasing/e-katalog LKPP
harganya lebih murah dan pendistribusiannya tepat waktu. Sedangkan
pengadaan persediaan yang dilakukan melalui pengadaan langsung dari
penyedia yang berada di Manado terdapat beberapa permasalahan
diantaranya: masih ada beberapa jenis logistik yang terlambat
kedatangannya sehingga membutuhkan waktu untuk menyortir pada
akhirnya waktu untuk mendistribusikan barang menjadi tertunda,
menjadikan barang tertumpuk serta tumpang tindih dengan barang yang
baru datang. Barang yang menggunakan basis hitungan satuan lembar
masih banyak kekurangan-kekurangan, baik dari jumlah isi maupun
lembar atau tidak tercetaknya beberapa halaman, sehingga proses
pemilahan dan penyortiran terganggu menunggu kedatangan penggantian
dan penambahan kekurangan tersebut. Dalam sistem logistik setiap
komponen-komponen yang ada didalamnya saling mempengaruhi, jadi
keterlambatan pengadaan persedian akan menghambat sistem logistik
lainnya yang pada akhirnya akan mengakibatkan sistem logistik berjalan
dengan tidak baik.
Selain pengadaan persediaan logistik yang sesuai kebutuhan
diperlukan juga persediaan cadangan sebagai pengaman untuk
mengendalikan ketidak pastian dalam sistem logistik. Persediaan
pengaman adalah pengadaan persediaan tambahan untuk melindungi atau
menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan atau barang/stock
out (Rangkuti, 2004:2). Dari hasil penelitian ini KPU Kabupaten Kepulauan
Sangihe tidak menyediakan persediaan pengaman untuk setiap item
logistik, persediaan pengaman yang disediakan oleh KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe hanya untuk kertas suara, kertas suara disediakan
untuk mengantisipasi jika terjadi kekurangan logistik pada saat
pemungutan suara di TPS dan untuk persediaan pemungutan suara ulang.
Tidak disiapkannya logistik sebagai cadangan untuk mengamankan
ketidakpastian kegiatan logistik sangatlah beresiko, terlebih lagi ketika
KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe diperhadapkan pada pelayanan
publik, dimana ketersediaan logistik adalah salah satu faktor suksesnya
pelaksanaan Pilkada, karena melalui logistik hak politik masyarakat
disalurkan. Seperti yang terjadi di Nusa Tabukan seharusnya hal ini dapat
di antisipasi dengan mendistribusikan logistik cadangan yang disediakan,

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

ketidaktersediaan logistik cadangan menyebabkan ketidakpastian dalam


sistem logistik dalam hal ini adalah terlambatnya pendistribusian logistik
ke Kecamatan Nusa Tabukan
Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterlambatan pengadaan
logistik, kedatangan logistik tidak bersamaan, dan terdapat beberapa jenis
logistik yang kurang lengkap serta tidak adanya persediaan cadangan
sebagai pengaman menyebabkan sistem logistik berjalan dengan tidak
baik. Menurut penelitian Candra (2013) ketersediaan logistik memiliki
pengaruh signifikan terhadap sistem logistik. Dalam sistem logistik
menyimpan banyak barang pasti akan memperbesar biaya, sedangkan jika
tidak ada persediaan akan sangat berisiko apabila ada PPK, PPS, dan KPPS
memerlukan logistik namun tidak tersedia, tentunya pemilih dapat
mengalami kerugian karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Ini
berarti akan mengurangi kesuksesan penyelenggaraan Pilkada itu sendiri
dan kinerja KPU akan dipertanyakan profesionalitasnya.

Komunikasi
Ada 2 (dua) tugas manejerial yang berkaitan langsung dengan
komunikasi logistik. Yang pertama adalah pengolahan pesanan dan yang
kedua adalah pengawasan pesanan. Pengolahan pesanan adalah suatu
arus komunikasi yang kritis yang merupakan masukan utama (prime out)
bagi sistem logistik. Pengawasan yang penting dilakukan dalam distribusi
logistik Pilkada adalah dengan melakukan pengendalian logistik. Salah
satu fungsi manajemen logistik adalah pengendalian, pengendalian
merupakan fungsi untuk mengawasi dan mengamankan keseluruhan
pengelolaan logistik. (Subagya, 1996:10). Dalam kaitannya dengan logistik
Pilkada hal-hal yang perlu di awasi dan dikendalikan adalah struktur
fasilitas saluran distribusi logistic, yaitu PPK, PPS dan KPPS, sarana moda
transportasi pengangkutan logistik, pengadaan persediaan logistik dan
penanganan penyimpanan, serta keamanan pendistribusiannya.
Dari penelitian ini ditemukan kurangnya upaya yang dilakukan oleh
KPU Kabupaten Sangihe untuk mengendalikan penyediaan sarana
transportasi dalam mendistribusikan logistik ke wilayah kepulauan hal ini
terlihat dari terjadinya keterlambatan pendistribusian logistik ke
kecamatan Nusa Tabukan disebabkan tidak tersedianya moda transportasi
untuk mengangkut logistik, dan juga kesalahan dalam menetapkan rute
transportasinya. Permasalahan tersebut diatas terlihat bahwa komunikasi
yang dilakukan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan pihak
penyedia moda transportasi sangatlah kurang, seharusnya KPU Kabupaten
Kepulauan Sangihe sudah mengkomunikasikan jadwal pendistribusian
dengan pihak penyedia transportasi dengan membuat perjanjian bahwa
moda transportasi yang telah disepakati tidak boleh digunakan oleh pihak
lain selama jadwal pendistibusian logistik dilakukan.
Dari penelitian ini juga di dapatkan bahwa kurangnya komunikasi
yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan
Pemerintah Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara
Nasional Indonesia dalam upaya koordinasi untuk mengantisipasi
kekurangan moda transportasi. KPU Kabupaten Sangihe dapat meminta

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

mengsiagakan moda transportasi yang handal seperti kapal laut kepada


Pemda, Kapal Perang (KRI) dan atau helikopter kepada TNI sekaligus
menyiapkan sarana pendukungnya (bahan bakar, dan lainnya), jadi ketika
ada permasalahan yang timbul langsung dapat segera diantisipasi, terlebih
lagi geografis Kabupaten Kepulauan Sangihe yang merupakan daerah
kepulauan yang rentan akan gangguan cuaca, dan dalam keadaan sangat
mendesak pelaksanaan pengangkutan dan pengiriman dapat dilakukan
melalui jalur angkutan udara/angkutan tercepat.
Selanjutnya dalam manajemen logistik pengendalian juga perlu
dilakukan pada komponen-komponen dari sistem logistik yang lainnya,
yaitu pengadaan persediaan, penanganan dan penyimpanannya. Dari hasil
penelitian terjadi permasalahan, yaitu keterlambatan pengadaan barang,
kedatangan barang dari penyedia yang tidak bersamaan serta beberapa
item barang yang tidak lengkap jumlahnya, permasalahan ini
menyebabkan penanganan barang (pensortiran, pengesetan dan
pengepakan) menjadi terhambat, dan pada akhirnya menyebabkan
mundurnya jadwal pendistribusian logistik. Dari permasalahan diatas
dapat di lihat pentingnya pengendalian dan koordinasi terkait pengadaan
persediaan, karena seluruh komponen sistem logistik adalah satu
kesatuan sistem, jika terjadi gangguan salah satu komponen sistem
logistiknya akan mengganggu komponen sistem logistik yang lainnya.
Komunikasi perlu dilakukan terhadap penyedia barang untuk
mengendalikan dan mengkoordinasikan proses produksi logistik,
pengadaan persediaan logistik harus sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan karena logistik Pilkada dibatasi dengan jadwal tahapan
pelaksanaan Pilkada, jadi ketepatan waktu pengadaan dan pendistribusian
logistik adalah suatu keharusan.
Dari hasil penelitian ini didapati komunikasi adalah faktor penting
dalam sistem logistik dimana komunikasi memberikan informasi di setiap
saluran distribusi, peran manajemen KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe
sebagai pihak yang membutuhkan logistik sangat penting untuk
mengendalikan dan mengkoordinasikan seluruh komponen sistem logistik,
hal ini sesuai dengan pendapat Bowersox (2002) bahwa informasi yang
tidak tepat bisa menyebabkan gangguan terhadap kinerja sistem, dan
keterlambatan pada arus komunikasi bisa memperbesar kesalahan itu
sehingga mengakibatkan serangkaian gangguan dalam sistem tersebut
karena perbaikan yang berlebihan dan perbikan yang kurang. Komunikasi
membuat dinamisnya suatu sistem logistik. Mutu dan informasi yang
tepat-waktu merupakan faktor penentu yang utama dari kestabilan sistem.

Penanganan dan Penyimpanan


Penanganan dan penyimpanan dalam arti luas, penanganan dan
penyimpanan (handling and storage) ini meliputi pergerakan (movement),
pengepakan, dan pengemasan (containerization). Penanganan material
dalam sistem logistik itu berpusat pada dan sekitar gudang. Khususnya
ada empat kegiatan gudang yang harus dilaksanakan: 1) Penerimaan, 2)
pemindahan, 3) seleksi dan 4) pengiriman (Bowersox, 2002:275).
Penanganan dan penyimpanan logistik Pilkada dilakukan untuk

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

mengidentifikasi kerusakan, kekurangan, maupun kelebihan barang dan


jasa logistik sehingga KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dapat dengan
segera mencari solusi atas hal-hal tersebut.
Dari penelitian ini bahwa dalam penanganan dan penyimpanan
logistik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe sudah
cukup baik, hal ini terlihat dari logistik yang masuk dalam kotak suara dan
ada logistik yang diluar kotak suara dan dikemas tersendiri, KPU telah
menetapkan satuan dasar atau standarisasi dalam penanganan logistik
dengan memperhitungkan kerusakan dan keamanan logistik, kemudahan
dalam menyimpan logistik serta kemudahan dalam memuat logistik
kedalam sarana transportasi pengangkut logistik. Sedangkan untuk
penyimpanannya sudah cukup memadai dengan didukung oleh kapasitas
gudang yang representative untuk melakukan kegiatan penanganan dan
penyimpanan logistik.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa proses penanganan dan
penyimpanan logistik Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe juga
mengalami hambatan disebabkan oleh permasalahan pada kegiatan
pengadaan persediaan logistik. Dimana telah dibahas sebelumnya pada
pengadaan persedian logistik, yaitu permasalahan pengadaan formulir
yang dilakukan melalui pengadaan langsung dari penyedia yang berada di
Manado terdapat beberapa halaman formulir yang tidak lengkap
mengakibatkan memerlukan waktu untuk penanganannya, kemudian
waktu kedatangannya juga tidak bersamaan menyebabkan proses
pengepakan terjadi keterlambatan, karena untuk mengepak logistik baru
bisa dilakukan ketika seluruh item logistik lengkap.
Jadwal pendistibusian juga menjadi terpengaruh akibat
terlambatnya penanganan dan pengepakan logistik. Hal ini terlihat dari
perencanaan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, di
mana untuk wilayah prioritas utama, yaitu wilayah-wilayah kepulauan
termasuk Kecamatan Nusa Tabukan, logistik akan didistribusikan mulai
dari tanggal 05 Februari 2017, namun kenyataannya pendistribusian
dilakukan pada tanggal 10 Februari 2017, terlambatnya pengepakan
logistik ini mempengaruhi jadwal distribusi logistik. Dari penelitian ini
dapat dikatakan bahwa suatu sistem logistik memerlukan keseimbangan
dari keseluruhan komponen sistem logistik, disini terlihat dari
permasalahan yang terjadi pada komponen pengadaan persediaan
mempengaruhi proses penanganan dan penyimpanan logistik dan pada
akhirnya akan mempengaruhi komponen sistem logistik yang lainnya, baik
itu struktur fasilitas dan transportasi untuk itu komunikasi logistik di
perlukan untuk mengendalikan serta mengawasi seluruh komponen sistem
logistik.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belum berjalan
dengan baiknya manajemen logistik Pilkada Sangihe tahun 2017
disebabkan karena komponen-komponen dalam sistem logistik Pilkada
belum berjalan dengan baik. Komponen-komponen dalam sistem logistik

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

merupakan keseluruhan komponen yang berkesinambungan yang saling


mempengaruhi satu sama lainnya dalam suatu sistem logistik.
Struktur fasilitas saluran distribusi logistik Pilkada Sangihe Tahun
2017 adalah untuk daerah kepulauan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe
langsung mendistribusikan logistik dari gudang logistik ke KPPS
didampingi oleh PPK dan PPS, sedangkan untuk wilayah daratan dimulai
dari KPU Kabupaten Sangihe ke PPK kemudian ke PPS, selanjutnya ke
KPPS. Struktur fasilitas distribusi logistik yang dilakukan KPU Kabupaten
Sangihe ini sudah cukup baik karena PPK, PPS dan KPPS dapat
menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan alur
pendistribusian sudah memperhitungkan skala prioritas pendistribusian,
yaitu kepulauan dan daratan. Permasalahan yang terjadi pada struktur
fasilitas distribusi logistik Pilkada Sangihe 2017 adalah kurangnya
ketersediaan sarana transportasi di PPK dan PPS terutama di daerah-
daerah kepulauan, dan kurangnya ketersediaan gudang logistik yang
representative di PPK. Permasalahan struktur fasilitas ini menyebabkan
sistem logistiknya tidak berjalan dengan baik.
Transportasi yang digunakan dalam mendistribusikan logistik
Pilkada Sangihe tahun 2017 adalah melalui darat menggunakan truk dan
pickup, serta melalui air menggunakan kapal pajeko (angkutan rakyat) dan
pumpboat. Dalam penelitian ini didapatkan permasalahan, yaitu
kurangnya ketersediaan moda transportasi yang handal untuk
mendistribusikan logistik, terutama untuk mendistribusikan logistik ke
wilayah kepulauan dimana transportasinnya sangat dipengaruhi kepada
kondisi cuaca, selain itu kurangnya ketersediaan transportasi juga
disebabkan kapal-kapal yang biasa digunakan untuk mendistribusikan
logistik digunakan oleh pihak lain untuk kampanye, kurangnya
ketersedian moda transportasi ini menyebabkan tidak tepatnya penetapan
rute transportasi yang pada akhirnya menyebabkan keterlambatan
pendistribusian logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan.
Pengadaan persediaan logistik Pilkada Sangihe Tahun 2017
dilakukan dengan metode e-tendering/e-katalog LKPP dan pengadaan
langsung. Permasalahan yang terjadi dalam pengadaan persediaan logistik
adalah ada beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, ada
beberapa item logistik yang tidak lengkap halaman dan jumlahnya, dan
kedatangan logistik dari penyedia tidak bersamaan menyebabkan sistem
logistik tidak berjalan dengan baik. Permasalahan pada pengadaan
persediaan ini menyebabkan kegiatan pengepakan dan penyimpanan
logistik menjadi terlambat pada akhirnya menyebabkan terlambatnya
jadwal distribusi, dalam logistik Pilkada pengepakan logistik kedalam kotak
suara baru dapat dilakukan ketika seluruh item logistik sudah lengkap.
Keterlambatan pengepakan logistik ini akhirnya menyebabkan penyaluran
logistik tidak sesuai jadwal yang direncanakan.
Tidak tersedianya logistik pengaman sebagai cadangan juga
menyebabkan ketidakpastian sistem logistik yang menyebabkan
terlambatnya pendistibusian logistik Pilkada Sangihe Tahun 2017. Dalam
sistem logistik, logistik pengaman sebagai persediaan cadangan diperlukan
untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam sistem logistik. Terkait

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

keterlambatan logistik ke Nusa Tabukan seharusnya dapat di antisipasi


dengan mendistribusiakan logistik cadangan dengan menggunakan moda
transportasi tercepat.
Komunikasi yang dilakukan dalam pendistribusian logistik Pilkada
adalah terkait pengendalian dan koordinasi untuk mengawasi logistik.
Kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Sangihe
kepada penyedia moda transportasi menyebabkan moda transportasi yang
seharusnya digunakan untuk mendistribusikan logistik Pilkada digunakan
oleh pihak lain, ketidaktersediaan moda transportasi tersebut
menyebabkan terlambatnya pendistribusian logistik ke kecamatan Nusa
Tabukan. Kurangnya pengendalian dan koordinassi terkait pengadaan
persediaan juga menyebabkan beberapa item logistik yang pengadaannya
tidak tepat waktu dan jumlah sehingga menyebabkan terganggunya
kegiatan penanganan logistik, serta kurangnya komunikasi yang dilakukan
oleh KPU Kabupaten Sangihe kepada Pemda, TNI dan Polri untuk
mengendalikan ketersedian moda transportasi juga menyebabkan
keterlambatan pendistribusian logistik, seharusnya komunikasi telah
dilakukan dalam perencanaan pendistribusian logistik.
Penanganan dan penyimpanan logistik KPU Kabupaten Kepulauan
Sangihe melakukan kegiatan mulai dari menerima logistik dari pihak
ketiga, kemudian dilakukan penyortiran, pelipatan kertas suara,
pengesetan formulir, dan pengepakan logistik kedalam kotak suara, dan
menyimpannya di gudang logistik sebelum diangkut menggunakan moda
transportasi yang tersedia. Permasalahan yang terjadi dalam penanganan
dan penyimpanan adalah ada beberapa item logistik yang pengadaannya
terlambat, keterlambatan pendistribusian logistik dari penyedia. Hal ini
menyebabkan terlambatnya kegiatan pengepakan logistik, karena
pengepakan dilakukan harus menunggu logistik lengkap. Pada akhirnya
menyebabkan jadwal pendistribusian logistik tidak sesuai dengan
perencanaan.
Komponen sistem logistik adalah struktur fasilitas, transportasi,
pengadaan persediaan, komunikasi serta penanganan dan penyimpanan.
Keberhasilan manajemen logistik Pilkada merupakan bentuk perwujudan
visi dan misi KPU untuk melayani masyarakat mengunakan hak pilihnya
melalui pengelolaan logistik sesuai dengan prinsip-prinsip logistik Pemilu
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keberhasilan
manajemen logistik dapat terwujud jika komponen-komponen dalam
sistem logistik dapat berjalan dengan baik, komponen-komponen sistem
logistik itu merupan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi, untuk itu
dapat disarankan beberapa hal terkait komponen-komponen sistem
logistik sebagai berikut:
1. Struktur Fasilitas. Dalam kegiatan perencanaan logistik untuk PPK
yang tidak memiliki gudang penyimpanan yang representative sebaiknya
di anggarkan biaya untuk menyewa gudang, karena pada proses
pengembalian logistik gudang di PPK dibutuhkan sampai rekapitulasi
suara selesai dilakukan, sebelum logistik di angkut ke gudang KPU
Kabupaten.

14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

2. Transportasi. Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan daerah yang


wilayah geografisnya adalah kepulauan. Kecepatan, keandalan
kemampuan serta frekuensi moda transportasi yang yang tersedia
untuk daerah ini sangat di pengaruhi oleh keadaan cuaca. Untuk itu
KPU Kabupaten Sangihe sebaiknya menganggarkan dan merencanakan
moda transportasi yang tepat dan andal dalam mendistribusi
logistiknya. KPU Kabupaten Sangihe juga dapat menjalin kerja sama
dengan TNI, Polri, Pemda maupun pihak terkait lainnya yang dapat
menyediakan transportasi yang tepat dan andal untuk
mendistribusikan logistik.
3. Pengadaan persediaan logistik dalam kaitannya dengan pengelolaan
logistik Pilkada, sebaiknya untuk daerah-daerah yang geografisnya sulit
seperti daerah kepulauan dan daerah-daerah pegunungan yang akses
distribusinya sulit dilihat dari ketersediaan transportasi, akses jalan
dan lain sebagainya serta kondisi cuaca yang berubah-ubah dapat di
buat regulasi yang mengatur khusus, dimana persediaan logistik
pengaman dapat diadakan secara lengkap setiap item logistiknya tidak
hanya surat suara, karena untuk daerah-daerah ini tingkat
ketidakpastian dalam distribusinya sangat tinggi, suatu distribusi
logistik dapat menggunakan ketersediaan logistik pada tingkat yang
tepat untuk meningkatkan responsiveness-nya serta untuk mendukung
kebutuhan masyarakat terhadap logistik dari KPU, dimana logistik
Pemilu merupakan sarana masyarakat untuk menyalurkan hak
pilihnya.
4. Komunikasi kepada pihak-pihak terkait demi kelancaran
pendistribusian logistik harus lebih ditingkatkan, komunikasi harus
sudah dilakukan dalam perencanaan pendistibusian logistik,
komunikasi yang dilakukan terkait struktur fasilitas, transportasi,
pengadaan persediaan, penanganan dan penyimpanan serta keamanan
pendistribusian logistik. Komunikasi dapat dilakukan kepada BMKG
untuk perkiraan cuaca dan penjadwalan pendistribusian, kepada
penyedia sarana tranportasi terkait jadwal dan ketersediaan moda
transportasi, kepada TNI, Polri dan Pemda untuk menyiapkan dan
mengsiagakan moda transportasi serta sarana pendukungnya (bahan
bakar dan lain sebagainya) seperti Kapal Pemda, kapal Perang/KRI,
helikopter dan moda tranportasi andal lainnya, yang dapat digunakan
kapan saja untuk keadaan darurat.
5. Pengendalian pengadaan persediaan logistik harus lebih ditingkatkan
terlebih dalam proses produksi, dipastikan logistik yang di produksi
sesuai dengan jumlah yang ditentukan, kualitasnya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan, serta pendistribusian dari penyedia ke
gudang logistik harus tepat waktu.

15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

DAFTAR PUSTAKA
Aslichati, Lilik., Prasetyo, Bambang dan Prasetya, Irawan. 2010. Metode
Penelitian Sosial. Jakarta: Universitas Terbuka.
Assauri, Sofjan. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi 4, Surabaya:
BPFE.
Bowersox, Donald J. 2002. Manajemen Logistik, Integrasi Sistem
Manajemen Distribusi Fisik dan Manajemen Manajerial. Edisi 1.
Jakarta: Bumi Aksara.
Bowersox, Donald J. Closs, David J. Cooper,. M. Bixby. 2002. Supply Chain
Logistics Manajement. Irwin: McGraw-Hill.
Dwiantara, Lukas dan Sumarto, Rumsari Hadi. 2004. Manajemen Logistik
Pedoman Praktis Bagi Sekretaris dan Staf Administrasi. Jakarta:
Gramedia.
Ghiani, Gianpaolo. Laporte, Gilbert. Musmanno, Roberto. 2013.
Introduction to Logistics Systems Planning and Control. 2nd edition New
York: John Wiley and Sons Ltd.
Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana.
Heizer, Jay & Barry Render. 2009. Manajemen Operasi. Diterjemahkan oleh
Chriswan Sungkono. Edisi Sembilan Buku Satu. Jakarta: Salemba
Empat.
Kamaluddin. 2003. Ekonomi Transportasi,: Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran. Diterjemahkan Hendra Teguh,
Dan Ronny A. Rusli. Jakarta: Prenhallindo.
___________, 1993, Marketing Esentials. New Jersey: Prentice Hall Inc,
Terjemahan Purwoko, Herujati. Marketing. Jakarta: Erlangga.
KPU, 2017. Penyelenggaraan Pilkada 2015 dan 2017. Jakarta: KPU.
Kusumastuti, Dyah, Sugiama, A. Gima dan Sudiarto, A. Edi, 2014.
Manajemen Logistik Organisasi Publik. Tanggerang Selatan:
Universitas Terbuka.
LP3ES, 2014. Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi Sosial.
Laporan Evaluasi Pemilu 2014. Jakarta: LP3ES.
Mahsun, Mohamad. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta:
BPFE.
Rangkuti, Freddy. 2004. Manajemen Persediaan, Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada
RI, Peraruran KPU Nomor 6 Tahun 2015 tentang Norma, Standar
Kebutuhan Pengadaan Dan Pendistribusian Perlengkapan
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
RI, Peraruran KPU 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor
6 Tahun 2015 tentang Norma, Standar Kebutuhan Pengadaan Dan
Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan
Wakil Walikota.
Rushton, Alan., Croucher, Phil, & Baker, Peter. 2010. The Handbook of
Logistics & Distribution Management. Great Britain: Kogan Page
Limited.

16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.


Yogyakarta: Graha Ilmu
Siagian, Sondang P. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Stanton, William. J. 1984. Fundamental of Marketing, Tokyo: Mc.Graw-Hill
Book. Terjemahan Sundaru, Sadu.1991. Prinsip Pemasaran, Jakarta:
Erlangga
Subagya, M.S. 1996. Manajemen Logistik, Jakarta: PT. Toko Gunung
Agung.
Sugiyono. 2015. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Sonta, FM. 2011. Panduan Logistik Indonesia, Jakarta: PPM Manejemen.
Warman, John. 2012. Manajemen pergudangan. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Jurnal dan Penelitian Terdahulu


Chandra, Afridel. 2013. Analisis Kinerja Distribusi Logistik Pada Pasokan
Barang Dari Pusat Distribusi Ke Gerai Indomaret di Kota Semarang.
Jurnal Institusional Repository. Hal. 15-24. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Fadli, Ainur Mansururi, 2014. Efektifitas Distribusi Fisik dalam
Meningkatkan Penjualan (Studi Kasus pada CV. Agrotama Gemilang
Kota Malang), Jurnal Administrasi Bisnis, Vol. 7 No. 1, Malang:
Universitas Brawijaya.
Perbrianti, 2015, Manajemen Logistik Pada Gudang Farmasi Rumah Sakit
Umum Daerah Kabelota Kabupaten Donggala. E-Journal Katalogis
Volume 3 Nomor 7 hal 127-138. Palu: Universitas Tadulako.
Roni, Hamda dan Puspita, Syifa, 2014. Pengaruh Distribusi Fisik Terhadap
Kepuasan Customer Pada PT. Beton Elemenindo Perkasa. Jurnal
Indonesia Membangun Vol 13, No 1. Bandung: STIE INABA
Sutanto, Michelle Ribka dan Sumarauw, Jacky S. B. 2014, Evaluasi Kinerja
Sistem Logistik Pada Perusahaan Vulkanisir UD. Sumber Ban, Tateli.
Jurnal EMBA Vol.2 No.3, Hal. 588-596, Manado: Universitas Sam
Ratulangi.

17
PERAN KPU KOTA METRO DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI
PENYANDANG DISABILITAS PADA PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Eni Lestaria, Garmien Melliab


a,b Program Tata Kelola Pemilu Batch IV, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia
E-mail: garmien@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu indikator keberhasilan pemilu adalah tingkat partisipasi yang tinggi.
Tingginya partisipasi menjamin legitimasi pemerintahan dan perlindungan hak
pilih warga negara, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Pada pemilu serentak tahun 2019, tingkat partisipasi pemilih penyandang
disabilitas di Kota Metro Provinsi Lampung termasuk rendah. Penelitian ini
bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
partisipasi pemilih penyandang disabilitas serta mengetahui peran KPU Kota
Metro dalam meningkatkan partisipasi pemilih penyandang disabilitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hambatan yang dihadapi masih bersifat
administratif dan psikologis yakni: (1) Kesulitan pendataan pemilih penyandang
disabilitas; (2) Sosialisasi yang belum optimal; dan (3) Belum adanya wadah resmi
yang menaungi seluruh penyandang disabilitas di Kota Metro. Peneliti
menganalisis peran yang dilakukan KPU Kota Metro dalam 3 (tiga) peran yaitu :
(1) Mendata dan memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat
terdaftar sebagai pemilih; (2) Memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi
kelompok penyandang disabilitas; dan (3) Menjamin ketersediaan sarana dan
prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak pilihnya.
Dalam menjalankan peran tersebut, didapati bahwa KPU Kota Metro telah
menjalankan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan UU
dan PKPU namun diperlukan adanya dukungan kelembagaan lain untuk
menunjang pendataan yang lebih valid serta sosialisasi yang lebih intensif.

Kata Kunci: partisipasi, disabilitas, peran

THE ROLE OF THE GENERAL ELECTIONS COMMISSION OF METRO CITY


IN PROMOTING HIGHER TURNOUT FOR VOTERS WITH DISABILITIES
IN THE 2019 SIMULTANEOUS ELECTION

ABSTRACT
One of the indicators of successful election is high voter turnout rates. A high voter’s
turnout could guarantee of the government’s legitimacy and also the existence of
citizen voting rights protection, especially for those in marginal people such as people
with disabilities. In the 2019 simultaneous election, the rate of voters turns out of
disable voters was quite low in Metro City Lampung Province. The aim of This
research is to identify some factors causing the low of disable voter’s turnout and to
analyze the role of the General Elections Commission of Metro City in increasing
voters turn out of voters with disabilities. The research shows that there were
administrative and psychological factors faced by voters with disabilities in Metro
City such as (1) Difficulties in listing data of disable voters; (2) The Socialization
Programs have not optimal yet; (3) The absence of a well-established organization
for people with disabilities. The researcher analized the role of General Election
Commission of Metro City in 3 (three) roles, namely: (1) data collected and ensured
that the eligible disable voters has been registered as a voters; (2) to improve
socialization and political education programs to the disable voters; (3) to provide

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

supporting facilities and infrastructure availability for disable voters to use their
voting right. In conducting those roles, we found that the General Election
Commission of Metro City has been implementing the role as main task and function
mandated by the law and regulation, however it is needed more support by other
institution in order to ensure voters data validity and socialization program running
intensively.

Keywords: voter turnout, disabilities, role

PENDAHULUAN
Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan
rakyat sebagai pemegang suara tunggal melalui proses pemilihan umum
(Pramusinto dan Kumorotomo, 2009:46). Pemilihan Umum (Pemilu)
merupakan mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik yang
diselenggarakan secara berkala sebagai sarana ideal penyaluran
kedaulatan rakyat yang demokratis. Demokrasi berkaitan erat dengan
politik, karena untuk mewujudkan negara yang demokratis diperlukan
partisipasi politik yang aktif dari warga masyarakat. Sebagai syarat utama
dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal,
pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang
memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan
(representative government). Dengan pemilihan umum, masyarakat
secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil
rakyat maupun hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga
legislatif.
Pada pemerintahan yang menganut sistem demokrasi perwakilan,
tingkat partisipasi pemilih berperan penting dalam menentukan
stabilitas pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilu. Partisipasi
berkaitan erat dengan legitimasi, semakin tinggi tingkat partisipasi
pemilih dalam pemilu, maka semakin legitimate pemerintahan yang
dihasilkannya. Pemerintahan yang didukung oleh mayoritas
masyarakat secara natural akan lebih mudah mendapatkan dukungan
bagi program-program maupun kebijakan-kebijakan yang akan
dijalankan.
Adanya keterlibatan masyarakat dalam pemilihan wakilnya
memungkinkan adanya proses check and balance antara pejabat
politik hasil pemilu dengan konstituennya sehingga tali mandat antara
keduanya tidak serta-merta terputus. Salah satu indikator
keberhasilan pemilu kemudian adalah tingginya tingkat partisipasi
masyarakat dalam memberikan suaranya. Penyaluran hak pilih ini
menjadi simbol kepedulian masa depan bangsa dan merupakan
momen penting dimana masyarakat memiliki kuasa untuk
menentukan masa depan bangsa. Oleh karena itu, KPU selaku
penyelenggara pemilu memiliki agenda besar untuk mendorong
partisipasi masyarakat pada setiap pelaksanaan pemilihan, termasuk
dengan melakukan upaya-upaya guna mendorong partisipasi
kelompok-kelompok rentan seperti wanita, pemilih pemula, disabilitas,
kaum marginal, suku terasing, dan lain sebagainya.
Upaya KPU ini membuahkan hasil berupa meningkatnya angka
partisipasi pemilih pada pemilu serentak tahun 2019 menjadi 81%,

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

melebihi target 77,5% yang ditetapkan sebelumnya. Peningkatan


angka partisipasi pemilih ini patut diapresiasi karena merupakan
buah dari komitmen serius KPU untuk merangkul seluruh lapisan
masyarakat dan melindungi hak pilih warga Negara tanpa kecuali.
Angka partisipasi ini sejatinya tidak hanya dimaknai sebagai besaran
angka mayoritas masyarakat pengguna hak pilih saja, namun harus
dimaknai sebagai komitmen pemerintah untuk menjamin hak pilih
warga Negara-termasuk dari kelompok rentan-guna mewujudkan
pemerintahan yang adil dan berimbang bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Pasal 5 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah
memberikan jaminan bagi penyandang disabilitas untuk memiliki
kesempatan yang sama sebagai pemilih maupun sebagai peserta pemilu.
“Kesempatan yang sama” ini dalam penjelasannya diterangkan sebagai
keadaan memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada
penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek
penyelenggaraan Negara. KPU sebagai penyelenggara pemilu kemudian
berkewajiban menjalankan amanat UU tersebut dengan memastikan
bahwa hak penyandang disabilitas terpenuhi, baik sebagai peserta maupun
pemilih.
Perlindungan hak penyandang disabilitas ini kemudian semestinya
diimplementasikan dengan adanya jaminan pendataan penyandang
disabilitas ke dalam daftar pemilih yang akurat, sosialisasi tentang tahapan
pemilu dan tata cara pemberian suara, maupun kegiatan kampanye guna
memberikan pendidikan politik mengenai profil peserta pemilu. Dalam
bentuk yang lebih teknis, KPU selaku penyelenggara pemilu haruslah siap
dengan penyediaan TPS yang mudah dijangkau, adanya template ataupun
alat bantu lainnya guna memudahkan proses pemberian suara di TPS,
termasuk juga menyediakan bantuan tenaga pendamping bagi yang
membutuhkan.
Pada pemilihan umum serentak tahun 2019, jumlah pemilih
disabilitas secara nasional adalah sebesar 1.247.730 orang yang terbagi
dalam 5 (lima) kategori yakni tuna daksa, tuna netra, tuna rungu, tuna
grahita serta disabilitas lainnya. Pengelompokan jenis disabilitas yang
disandang pemilih dilakukan untuk memastikan ketersediaan alat bantu
yang tepat maupun petugas pendamping yang dibutuhkan. Kendati
berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi hak pilih dan
meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas, pada pemilu 2019 yang
lalu masih banyak terdapat catatan-catatan terkait penggunaan hak pilih
mereka tersebut. Ramadhanil, dkk (2019) dalam buku terbitan Perludem
menyatakan bahwa kelompok disabilitas masih berada dalam posisi yang
rentan dalam pemilu karena adanya permasalahan-permasalahan sebagai
berikut:
1. Tidak terdaftarnya nama kelompok disabilitas bisa tak masuk daftar
karena hambatan pendataan dari penyelenggara maupun sikap
keluarga sendiri yang merasa malu;
2. Kelompok penyandang disabilitas yang telah terdaftar belum tentu
mendapatkan informasi dan pendidikan pemilih yang baik;

3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

3. TPS yang tak aksesibel menjadikan prinsip pemilu Luber Jurdil tak
terpenuhi. Misal, kelompok dengan disabilitas fisik tak bisa
menggunakan hak pilihnya seperti umumnya warga karena
keadaan TPS yang sempit, berbatu, dan bertangga;
4. Perlakuan petugas yang tidak ramah, atau malah terlalu berlebihan
sehingga malah meniadakan jaminan kerahasiaan pilihan bagi
mereka yang membutuhkan bantuan dari petugas/pendamping.

Berbagai permasalahan tersebut di atas secara umum sesungguhnya


telah merangkum faktor-faktor penghambat partisipasi pemilih kelompok
penyandang disabilitas dalam pemilu. Meskipun demikian, identifikasi
terhadap faktor-faktor penghambat yang dominan mempengaruhi
partisipasi di tiap-tiap daerah sangatlah menentukan kebijakan dan
strategi yang tepat untuk diaplikasikan karena masing-masing daerah
tentunya memiliki hambatan yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik daerah dan masyarakatnya.
Di Provinsi Lampung, jumlah pemilih disabilitas adalah sebanyak
6.362 pemilih atau 0.105 % dari jumlah keseluruhan DPT Provinsi
Lampung sebanyak 6.074.137 pemilih dengan sebaran kategori sebagai
berikut :
Tabel 1
Jumlah Pemilih Disabilitas Provinsi Lampung
No Ragam Disabilitas Jumlah Persentase
1. Tuna Daksa 1.589 0.026%
2. Tuna Netra 1.372 0.023%
3. Tuna Rungu 1.040 0.017%
4. Tuna Grahita 909 0.015%
5. Lainnya 1.452 0.024%
Jumlah 6.362 0.105%
Sumber : diperoleh dari KPU Provinsi Lampung (2019)

KPU Provinsi beserta KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga


penyelenggara pemilu di wilayah Provinsi Lampung telah melakukan
upaya-upaya berupa pendataan terhadap penyandang disabilitas dan
melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi guna mendongkrak partisipasi
pemilih kelompok penyandang disabilitas. Meskipun demikian, partisipasi
kelompok penyandang disabilitas di Provinsi Lampung masih tergolong
rendah yakni sebesar 28.89 %, dimana angka ini masih jauh berada di
bawah target partisipasi disabilitas sebesar 50%.
Dari 15 (lima belas) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Lampung,
baru ada 3 (tiga) Kabupaten/Kota yang sudah mencapai angka partisipasi
disabilitas di atas 50 % yaitu Lampung Utara, Lampung Timur dan Pesisir
Barat, sementara Kabupaten/Kota lainnya masih dibawah 50 %. Salah
satu daerah di Provinsi Lampung dengan tingkat partisipasi disabilitas
rendah adalah di Kota Metro. Tingkat partisipasi disabilitas sebesar 34,26%
di kota ini sebenarnya cukup memprihatinkan karena apabila mengacu
pada faktor-faktor penghambat sebagaimana dijelaskan di atas, maka Kota
Metro mestinya tidak menghadapi hambatan yang berarti karena
karakteristik daerahnya sebagai berikut:

4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

1. Kota Metro merupakan Kota administratif dengan jumlah penduduk


±168.000 jiwa yang tersebar di 5 (lima) kecamatan. Kota ini
merupakan kota kecil dengan luas wilayah 68,74 km² dimana tidak
terdapat tantangan dan hambatan dari segi letak dan kondisi
geografis daerah. Selain itu luas wilayah yang tidak terlalu besar
memudahkan penyelenggara untuk mendata pemilih;
2. Kota Metro merupakan Kota Pendidikan dengan literasi politik yang
baik;
3. Kota Metro terletak dekat dengan ibukota provinsi sehingga akses
terhadap informasi serta penyediaan sarana dan prasarana tidak
terhambat;
4. Jumlah penduduk yang masuk dalam kategori penyandang
disabilitas adalah sebesar 218 jiwa. Jumlah ini bukanlah jumlah
yang besar dibandingkan jumlah penyandang disabilitas di
kabupaten lain (misalnya Lampung Timur, dengan jumlah
penyandang disabilitas lebih banyak yang tersebar di kecamatan
yang lebih banyak pula namun memiliki angka partisipasi
disabilitas lebih tinggi), sehingga kegiatan sosialisasi dan
pendidikan politik mestinya dapat dilaksanakan secara optimal.

Karakteristik Kota Metro di atas seharusnya dapat dijadikan sebagai


modal dasar bagi KPU Kota Metro untuk dapat melakukan upaya-upaya
peningkatan partisipasi pemilih disabilitas dengan semaksimal mungkin.
Tidak adanya tantangan kondisi geografis serta penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai menyisakan faktor keberhasilan sosialisasi dan
pendidikan politik serta kompetensi petugas/pendamping pada
pelaksanaan pemilu untuk membantu penyandang disabilitas
menyalurkan hak pilihnya. Meskipun demikian, hipotesis sementara
tersebut tentunya perlu ditegaskan dengan adanya data pendukung.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini peneliti ingin menggali lebih dalam
faktor-faktor yang menyebabkan partisipasi penyandang disabilitas masih
rendah dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa faktor yang menghambat penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi dalam pemilu serentak 2019 di Kota Metro?
2. Bagaimana peran Komisi Pemilihan Umum Kota Metro selaku
penyelenggara pemilihan umum dalam upaya meningkatkan
partisipasi di kalangan penyandang disabilitas?

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi


yang jelas mengenai partisipasi kelompok penyandang disabilitas di Kota
Metro serta dapat menjadi bahan rujukan bagi penentuan strategi
sosialisasi yang tepat maupun kajian penelitian selanjutnya di masa yang
akan datang.

KAJIAN TEORI
A. Konsep Pemilih
UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendefinisikan pemilih sebagai
warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun
atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Warga Negara

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Indonesia sebelumnya diartikan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli


dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga Negara. Secara umum untuk dapat menggunakan hak pilih
Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Adapun
syaratnya-syaratnya adalah : a) Genap berumur 17 tahun atau sudah
menikah; b) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan; c) Berdomisili di wilayah administrasi pemilih; d) Mempunyai
KTP elektronik; dan d) Tidak menjadi anggota TNI atau Kepolisian.
Pemilih adalah semua pihak sebagai tujuan utama para kontestan
untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mereka mendukung dan
kemudian dapat memberikan suaranya pada kontestan yang
bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun
masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat
yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian
termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik (Prihatmoko,
2005:46).
Ada beberapa pendekatan untuk melihat perilaku pemilih (Nursal,
2004 : 54-73), yaitu :
1. Pendekatan Sosiologis;
2. Pendekatan Psikologis;
3. Pendekatan Rasional; dan
4. Pendekatan Marketing atau domain kognitif.
Atas dasar model kesamaan dan kedekatan ideology dan Policy-
Problem-Solving, terdapat empat jenis tipologi pemilih (Firmanzah, 2008:99-
109). Empat tipologi tersebut terdiri atas :
1. Pemilih Rasional;
2. Pemilih Kritis;
3. Pemilih Tradisional; dan
4. Pemilih Skeptis.

B. Konsep Partisipasi Politik


1. Definisi Partisipasi Politik
Partisipasi di negara-negara berkembang khususnya telah
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pertumbuhan
yang lebih adil menuntut reorientasi kebijakan, program sosial dan
ekonomi. Dalam hal konteks masalah politik, pembaharuan akan
ditentang oleh sejumlah golongan elit yang lebih kecil dan menengah
atas yang lebih luas. Untuk itu, pemimpin politik harus mengatasi
perlawanan kaum elit dan kelas menengah atas jika ingin memberi
perubahan mendasar pada kebijakan pembangunannya dengan
memilih di antara atau kombinasi dari “TIGA STRATEGI DASAR”
menurut (Huntington & Nelson, 1974) yaitu:
a. Tawar menawar.
Beberapa bagian dari kelas atas dan menengah dibujuk untuk
menghentikan atau memperlunak oposisinya. Dapat juga
dilakukan tawar menawar untuk memperoleh kompensasi
pada perorangan atau golongan sebagai imbalan atau konsesi.

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

b. Penindasan atau represi


Strategi ini memerlukan kekuatan militer atau politisi yang
loyal dan efisien.
c. Mobilisasi politis
Golongan yang bersifat pasif atau aktif tetapi tidak efektif
dimobilisasi untuk mengimbangi atau mengatasi oposisi.
2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Menurut (Budiyanto, 2006:181) menyatakan bentuk-bentuk
partisipasi politik diberbagai negara, dapat dibedakan ke dalam
kegiatan politik dalam bentuk :
a. Konvensional
1. Pemberian suara (voting)
2. Diskusi politik
3. Kegiatan kampanye
4. Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
5. Komunikasi individual dengan kelompok pejabat
administrasi
b. Nonkonvensional
1. Pengajuan petisi
2. Berdemontrasi
3. Konfrontasi
4. Mogok
5. Tindak kekerasan politik
Pada hakekatnya partisipasi politik adalah keikutsertaan seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu aktivitas yang lebih besar, dan
partisipasi akan lebih bermakna apabila disertai dengan rasa tanggung
jawab. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah
(Budiardjo, 2004:119). Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah
tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga
sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative government).
Dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki
hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun hak untuk
memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Partisipasi
politik dari seluruh warga Negara yang memenuhi syarat tanpa kecuali
merupakan perwujudan dari esensi demokrasi yang sesungguhnya
dimana terdapat kesetaraan hak dan kesamaan kesempatan bagi
seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Tingkat partisipasi pemilih yang rendah dari kelompok
penyandang disabilitas menunjukkan belum tercapainya kesetaraan
yang diharapkan tersebut. Hak politik penyandang disabilitas masih
berada dalam posisi yang rentan dan belum terlindung dengan baik.

C. Konsep Penyandang Disabilitas


Berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
maka penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dalam jangka waktu lama (paling singkat 6 bulan dan/atau bersifat


permanen) yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Berdasarkan
kondisinya, penyandang disabilitas dikelompokkan ke dalam ragam
disabilitas sebagai berikut :
1. Penyandang Disabilitas Fisik, yaitu penyandang disabilitas dengan
gangguan fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau
kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta,
dan orang kecil;
2. Penyandang Disabilitas Intelektual, yaitu penyandang disabilitas
dengan gangguan fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah
rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down
syndrom;
3. Penyandang Disabilitas Mental, yaitu penyandang disabilitas
dengan gangguan fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a) psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas,
dan gangguan kepribadian;
b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada
kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif;
dan
4. Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu penyandang disabilitas
5. Disabilitas dengan gangguan salah satu fungsi dari panca indera,
antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau
disabilitas wicara.
Pada kondisi tertentu, seorang penyandang disabilitas dapat saja
mengalami gangguan ragam fungsi tersebut di atas secara tunggal, ganda,
atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,
penyandang disabilitas tersebut akan disebut sebagai “Penyandang
Disabilitas Ganda/Multi”, yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai
dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan
disabilitas netra-tuli.
Dalam konteks politik, penyandang disabilitas memiliki hak-hak
politik yang dijamin pemerintah dengan memperhatikan keragaman
penyandang disabilitas tersebut. Hak-hak politik penyandang disabilitas
berdasarkan Pasal 13 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
adalah sebagai berikut :
a) memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
b) menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
c) memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta
dalam pemilihan umum;
d) membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi
masyarakat dan/atau partai politik;
e) membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang
Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada
tingkat lokal, nasional, dan internasional;
f) berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada
semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;

8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

g) memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana


penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur,
bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
h) memperoleh pendidikan politik.
Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam huruf (g) di atas
diartikan sebagai kemudahan yang disediakan penyelenggara pemilu bagi
penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
Berdasarkan Pasal 20, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, dalam melaksanakan
prinsip aksesibilitas, KPU selaku penyelenggara pemilu bersikap dan
bertindak sebagai berikut:
a) menyampaikan informasi Pemilu kepada penyandang disabilitas
sesuai kebutuhan;
b) memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya;
c) memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat
mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai
calon Anggota DPR, sebagai calon Anggota DPD, sebagai calon
Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon Anggota DPRD, dan
sebagai Penyelenggara Pemilu.
D. Konsep Peran
(Sarwono, 2015) mendefinisikan person sebagai karakterisasi yang
disandang untuk dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas
drama, yang dalam konteks sosial peran diartikan sebagai suatu fungsi
yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur
sosial. Peran seorang aktor adalah batasan yang dirancang oleh aktor lain,
yang kebetulan sama- sama berada dalam satu penampilan/ unjuk peran
(role perfomance). Pada tataran perilaku organisasi, Kahn, dkk (1978)
dalam (Wickham & Parker, 2007) menyatakan bahwa organisasi sejatinya
adalah jaringan pegawai (network of employees) dengan peran tertentu yang
“diharuskan” dan “dibutuhkan” dalam organisasi tersebut. Peran-peran
tertentu itulah yang kemudian membagi organisasi ke dalam divisi-divisi
sesuai dengan peran kerja yang dibutuhkan sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan dengan efektif dan efisien.
Dalam penelitian ini, peran KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam
meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas akan mengacu pada
tugas pokok dan fungsi KPU dalam melindungi dan memfasilitasi hak pilih
penyandang disabilitas sesuai dengan amanat undang-undang
berdasarkan tahapan pemilu sebagai berikut:
1. Peran KPU dalam mendata dan memastikan penyandang disabilitas
yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih;
2. Peran KPU dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi
kelompok penyandang disabilitas; dan
3. Peran KPU dalam menjamin ketersediaan sarana dan prasana
pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak
pilihnya.

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU


Partisipasi pemilih disabilitas ini sesungguhnya telah menarik
perhatian beberapa peneliti sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
perlindungan hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas memang
merupakan hal yang penting, karena menunjukkan esensi utama dari
demokrasi yakni kesetaraan hak memilih bagi seluruh warganegara
terutama dari kelompok rentan seperti wanita, kaum disabilitas, dan
masyarakat adat.
Dalam jurnal yang berjudul “Partisipasi Politik Penyandang
Disabilitas di Kota Semarang pada Pilwalkot 2015”, menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi penyandang
disabilitas adalah: 1) pendataan (kesulitan petugas pendataan yang
disebabkan kurangnya keterbukaan dari pihak keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang disabilitas), 2) sosialisasi pemilihan (penyandang
disabilitas yang tergabung dalam organisasi atau memiliki pergaulan luas
cenderung mempunyai kesempatan mengikuti program-program
sosialisasi yang dilakukan oleh KPU maupun pihak lain) dan 3) fasilitas
dan aksesibilitas (minimnya template Braille dan tidak adanya
pendampingan yang cenderung menyebabkan penyandang disabilitas
enggan untuk mencoblos), (Nur, 2017).
Penelitian lain juga dilakukan oleh (Kharisma, 2016) dalam jurnal
yang berjudul “Problematika Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Studi
Kasus Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta” (Volume 5, Nomor 1, Juni 2016).
Adapun hasil penelitian ini menyebutkan bahwa meskipun KPU telah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti: membuat buku panduan KPPS
yang memuat akses bagi disabilitas, KPU melibatkan organisasi
penyandang disabilitas atau PPUA dalam pembuatan template Braile, serta
memberlakukan tanda coblos yang sebelumnya tanda contreng. Namun
kebijakan tersebut belum mampu untuk menopang akses penyandang
disabilitas dalam pemilu, sehingga masih ada kendala dalam memenuhi
hak suaranya, yaitu : a) jumlah penyandang disabilitas yang memiliki hak
suara tidak valid, b) lokasi TPS yang belum aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas, c) minimnya pemahaman KPPS terhadap pemilu yang
aksesibilitas, dan d) kurangnya pemahaman penyandang disabilitas
terhadap aksesibilitas dalam pemilu. Dari permasalahan-permasalahan
tersebut tentu sangat penting adanya pemahaman yang lebih baik yang
dibangun baik dari pihak penyelenggara, tokoh masyarakat, organisasi
disabilitas maupun penyandang disabilitas itu sendiri terhadap
pelaksanaan dilapangan, sehingga keadilan dan persamaan hak politik
dapat terwujud.
Hambatan-hambatan bagi pemilih penyandang disabilitas
diungkapkan oleh (Sabatini, 2018) dalam jurnal dengan judul “Partisipasi
Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota
Pekanbaru Tahun 2017 di Kecamatan Tenayan Raya” (Volume 5, Nomor 1,
April 2018), menyatakan bahwa masih terdapat adanya hambatan pemilih
penyandang disabilitas dalam proses pilkada, antara lain: a) hambatan
dalam bentuk administrasi (sulitnya pendataan oleh petugas sehingga
kurang memahami kondisi penyandang disabilitas), b) hambatan dalam
bentuk aksesibilitas (kesulitan dalam mengakses tempat pencoblosan di

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

TPS), dan c) hambatan dalam bentuk pendampingan (tidak didampingi oleh


keluarga atau petugas KPPS).
Dalam hal tata kelola pemilu, (Saputra, dkk, 2019) menyatakan
bahwa tata kelola pemilu tidak maksimal memenuhi hak-hak pemilih
disabilitas di Kabupaten Padang Pariaman. Pengabaian rule application
berupa tidak dilaksanakannya sosialisasi kepada pemilih disabilitas serta
masih adanya TPS yang sulit diakses menyebabkan rendahnya tingkat
partisipasi pemilih.
Guna membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, maka peneliti perlu menegaskan aspek kebaharuan sebagai
berikut :
1. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis dengan lokus
penelitian di Kota Metro, Lampung;
2. Penelitian sebelumnya dilakukan sebelum diberlakukannya UU No
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memuat jaminan
perlindungan hak pilih terhadap penyandang disabilitas yang lebih
komprehensif dibandingkan UU pemilu sebelumnya;
3. Karakteristik Kota Metro sebagaimana dijelaskan di atas
menjadikan kota ini sesungguhnya ideal untuk dijadikan
percontohan daerah dengan tingkat partisipasi disabilitas yang
tinggi, namun kenyataan yang sebaliknya menyebabkannya
tergolong sebagai anomali yang menarik untuk diteliti;
4. Penggalian terhadap faktor-faktor penyebab dan kendala-kendala
yang dihadapi serta mekanisme yang dilakukan oleh KPU Kota
Metro akan memperkaya hasil penelitian-penelitian sebelumnya
dan diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi
penyempurnaan strategi peningkatan partisipasi pemilih
kelompok penyandang disabilitas di masa yang akan datang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini
dipilih karena dipandang mampu memberikan gambaran komprehensif
mengenai partisipasi disabilitas di Kota Metro. (Creswell, 2009:4)
menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif proses penelitian meliputi
pengembangan pertanyaan dan prosedur, pengumpulan data dilakukan
sesuai dengan kondisi partisipan, analisis data dibangun secara induktif
dari tema khusus ke umum, dan peneliti melakukan interpretasi terhadap
data tersebut. Metode ini memungkinkan peneliti untuk melakukan
eksplorasi terhadap faktor-faktor penyebab dengan memaknai hubungan
sebab-akibat secara holistik karena penelitian kualitatif memberikan ruang
bagi peneliti untuk tidak terpaku pada jawaban yang tertutup saja
melainkan dapat mengarah pada variasi-variasi jawaban lainnya yang
mungkin dapat lebih memberikan informasi yang lebih tepat.
Data-data dalam penelitian ini didapatkan dengan wawancara kepada
narasumber yang dipilih secara purposif atau dengan pertimbangan
tertentu sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini:

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tabel 2
Informan Penelitian
No Informan Kode Alasan Memilih Informan
1. Komisioner KPU Kota INT1 INT1 bertanggungjawab terhadap
Metro Divisi pendataan dan pemutakhiran data
Perencanaan dan pemilih, termasuk di dalamnya mendata
Data periode tahun pemilih penyandang disabilitas di Kota
2014-2019 Metro.
2. Komisioner KPU Kota INT2 INT2 bertanggungjawab terhadap
Metro Divisi SDM dan program dan tahapan sosialisasi
Partisipasi terhadap pemilih penyandang disabilitas
Masyarakat periode serta memahami peran dan kendala
tahun 2014-2019 yang dihadapi KPU Kota Metro dalam
hal partisipasi pemilih penyandang
disabilitas
3. Komisioner KPU Kota INT3 INT3 bertanggungjawab terhadap teknis
Metro Divisi Teknis penyelenggaraan pemilu, termasuk
Penyelenggaraan didalamnya memastikan ketersediaan
periode tahun 2014- sarana dan prasarana penunjang bagi
2019 pemilih penyandang disabilitas

4. Ketua Komunitas INT 4 INT4 merupakan salah satu tokoh


Penyandang penggerak komunitas penyandang
Disabilitas di Kota disabilitas di Kota Metro yang biasa
Metro menjadi juru bicara mewakili rekan-
rekannya dari komunitas penyandang
disabilitas dan turut aktif berperan serta
dalam kegiatan sosialisasi yang
dilakukan oleh KPU Kota Metro bagi
pemilih penyandang disabilitas

5. Anggota Relawan INT5 INT5 merupakan anggota Relawan


Demokrasi Kota Demokrasi KPU Kota Metro untuk
Metro segmen pemilih penyandang disabilitas
sehingga ia turut menggagas dan terlibat
langsung dalam program-program
sosialisasi yang dilaksanakan KPU Kota
Metro terhadap pemilih penyandang
disabilitas

6. Penyandang INT6 INT6 merupakan penyandang disabilitas


Disabilitas tuna daksa yang menggunakan hak
pilihnya pada Pemilu 2019
7. Penyandang INT7 INT6 merupakan penyandang disabilitas
Disabilitas tuna daksa yang tidak menggunakan
hak pilihnya pada Pemilu 2019
Jumlah 7 Orang

Transkrip wawancara dengan para informan di atas menjadi data


primer dari penelitian ini. Selain itu peneliti juga melakukan analisis
terhadap data sekunder yaitu berupa dokumentasi dari laporan
pelaksanaan pemilu, laporan kegiatan sosialisasi, olahan yang diperoleh
dari Kantor KPU Provinsi Lampung dan KPU Kota Metro, yang meliputi

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

DPT, serta jumlah penyandang disabilitas yg telah mempunyai hak pilih


dan menggunakan hak pilihnya (Form DB), serta berita media massa.

PEMBAHASAN
A. Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Metro
Pada pemilu serentak tahun 2019 yang lalu, jumlah Daftar Pemilih
Tetap (DPT) Kota Metro secara keseluruhan adalah sebanyak 114.311
pemilih. Dari jumlah ini, penyandang disabilitas adalah sebanyak 218
pemilih atau sebesar 0.191 % yang terbagi dalam kelompok ragam
disabilitas sebagai berikut :
Tabel 3
Jumlah Pemilih Penyandang Disabilitas Kota Metro
No Ragam Disabilitas Jumlah Persentase
1. Tuna Daksa 50 0.044 %
2. Tuna Netra 18 0.016 %
3. Tuna Rungu/Wicara 59 0.052 %
4. Tuna Grahita dan 29 0.025 %
mental
5. Lainnya 62 0.054 %
JUMLAH 218 0.191 %
Sumber: diperoleh KPU Kota Metro (2019)

Pemilih penyandang disabilitas ini tersebar di 5 (lima) kecamatan


yang ada di Kota Metro dengan jumlah terbanyak berada di Kecamatan
Metro Timur yakni sebanyak 73 (tujuh puluh tiga) orang. Secara rinci,
dalam tabel berikut disajikan data pemilih penyandang disabilitas pada
pemilu serentak tahun 2019 sebagai berikut:
Tabel 4
Rekapitulasi Pemilih Penyandang Disabilitas dan Partisipasinya
pada Pemilu 2019 di Kota Metro
No Kecamatan Data Pemilih Pengguna Hak Tingkat
pilih Partisipasi (%)

L P Total L P Total

1. Metro Pusat 40 25 65 7 8 15 23.08


2. Metro Utara 25 14 39 1 - 1 2.56
3. Metro Timur 39 34 73 15 11 26 35.62
4. Metro Barat 14 11 25 6 9 15 60
5. Metro Selatan 14 12 26 12 9 21 80.76

JUMLAH 132 96 228 41 37 78 34.21


Sumber: diperoleh dari KPU Kota Metro (2019)

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan jumlah


data pemilih yang semula 218 (DPT) menjadi 228 pemilih. Perbedaan
tersebut dikarenakan adanya tambahan 10 (sepuluh) pemilih DPK (Daftar
Pemilih Khusus) yaitu daftar pemilih yang memiliki identitas

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

kependudukan tetapi belum terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan
DPTb (Daftar Pemilih Tetap tambahan). DPK ini memenuhi syarat sebagai
pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan
suara dengan menunjukkan KTP elektronik dan terdaftar di TPS sesuai
dengan alamat yang tertera di KTP elektronik. Secara keseluruhan tingkat
partisipasi penyandang disabilitas pada pemilu 2019 di Kota Metro adalah
sebesar 34,21%, dimana angka ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi
penyandang disabilitas masih rendah.

B. Penghambat Penyandang Disabilitas Dalam Berpartisipasi Dalam


Pemilu 2019
(Ardiantoro, 2014) membagi berbagai faktor-faktor yang menghambat
penyandang disabilitas tidak menggunakan hak pilihnya menjadi 2 (dua)
jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor-faktor yang menjadi alasan bagi pemilih untuk tidak menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu, faktor ini bersumber dari dalam dirinya sendiri,
seperti:
1. Ketidaktahuan tentang proses pendataan pemilih;
2. Ketidaktahuan bagaimana mengurus pindah memilih apabila
sedang tidak dalam wilayah TPS nya (prosedur pindah memilih);
3. Letak lokasi TPS yang jauh dari rumah dan tingkat aksesibilitas
yang kurang;
4. Beban sosial/psikis terkait kondisi fisik/mental sehingga malu
untuk keluar/beraktivitas;
5. Kegiatan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan;
6. Karena aktivitas ekonomi;
7. Tidak adanya pendamping atau sedang sakit;
8. Memilih untuk golput.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar yang


mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Ada 3 (tiga) kategori yang masuk dalam faktor eksternal yaitu:
1. Aspek administratif.
Adalah faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi
seperti tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapat kartu
pemberitahuan atau form. C6 dan surat suara yang tidak
cukup/tersedia pada saat datang ke TPS menggunakan KTP
elektronik serta surat suara khusus penyandang disabilitas atau
template braille yang tidak tersedia.
2. Aspek sosialisasi.
Belum terjangkaunya informasi tentang pemilu yang dilakukan
KPU, selama ini KPU cenderung melakukan sosialisasi sebatas ke
kelompok-kelompok atau komunitas penyandang disabilitas tapi
belum menyentuh penyandang disabilitas yang tidak aktif terlibat
dalam kelompok atau komunitas. Dengan kurangnya informasi
sosialisasi maka penyandang disabilitas kurang mengenal dan
bahkan tidak mengenal atau mengetahui para calon apalagi tahu
akan visi misi calon yang ikut dalam kontestasi pemilu.

14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

3. Aspek politik
Faktor politik yang menyebabkan pemilih tidak mau
menggunakan hak pilihnya seperti: ketidakpercayaan terhadap
partai politik, tidak mempunyai pilihan kandidat atau calon yang
bakal dipilih dan sikap apatis atau ketidakpercayaan bahwa
pemilu dapat membawa perubahan dan perbaikan terhadap
nasibnya. Dari hasil wawancara dengan INT4, didapati bahwa
beberapa faktor internal dan eksternal di atas masih menjadi
penghambat utama bagi penyandang disabilitas untuk
menyalurkan hak pilihnya. INT4 menyatakan bahwa:

“masih ada anggota keluarga yang merasa malu memiliki


keluarga yang sebagai penyandang cacat jadi keberadaannya
disembunyikan, tidak bisa didata”

Faktor malu ini kemudian juga menghambat jalannya program


sosialisasi sebagaimana dinyatakan oleh INT5 bahwa:

“Sulit untuk tahu jumlah pasti dari penyandang disabilitas,


karena ada yang nggak jujur saat pendataan. Karena nggak
bisa didata, maka nggak bisa (diberikan) sosialisasi”.

Ketiadaan pendamping dan masalah sosialisasi juga dikeluhkan


oleh INT7 yang menyatakan bahwa:

“Saya tidak mencoblos karena tidak ada sodara yang


mendampingi saya sehingga saya tidak mungkin pergi sendiri.
Saya juga tidak pernah ikut sosialisasi yang dilakukan oleh KPU
sehingga saya kurang paham mengenai pemilu”

Meskipun demikian tak dapat dipungkiri terdapat beberapa


hambatan yang telah bisa diatasi oleh KPU Kota Metro. INT3
menyatakan bahwa KPU Kota Metro berupaya keras untuk
menjamin ketersediaan sarana dan prasarana khusus untuk
penyandang disabilitas, jaminan untuk menyediakan TPS dengan
aksesibilitas yang dibutuhkan sesuai dengan PKPU, serta
melakukan upaya sosialisasi yang lebih gencar, meskipun ia
menyadari bahwa dari hasil evaluasi bersama relawan demokrasi
kegiatan sosialisasi ini dirasa masih belum optimal.

Faktor-faktor penghambat partisipasi penyandang disabilitas


di Kota Metro pada Pemilu Serentak 2019 dapat dirangkum
sebagai berikut:
1. Kesulitan pendataan pemilih penyandang disabilitas.
Pendataan dan pengembangan relasi dengan penyandang
disabilitas di Kota Metro masih menemui kendala karena masih
minimnya informasi atau data berkaitan dengan jumlah, jenis dan
domisili para penyandang disabilitas. Data induk dari Dukcapil
tidak secara rinci memuat apakah orang tersebut merupakan

15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

penyandang disabilitas atau tidak sehingga KPU Kota Metro harus


melakukan pendataan ulang dengan lebih aktif melibatkan unsur
RT/RW. Meskipun demikian, masih ditemukan keluarga yang
menutupi keberadaan penyandang disabilitas sehingga
menyulitkan proses pendataan dan pemutakhiran data pemilih.
2. Sosialisasi dan pendidikan pemilih masih belum optimal.
KPU Kota Metro sulit merangkul keseluruhan penyandang
disabilitas mengingat tidak ada wadah besar yang menaungi
mereka sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, tingkat
pengetahuan penyandang disabilitas terhadap tahapan pemilu,
peserta pemilu, serta tata cara menyalurkan suara di TPS tidak
bisa disamaratakan, mengingat tidak semua penyandang
disabilitas tergabung dan aktif di dalam komunitas. Selain itu,
tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada yang merasa malu dengan
kondisinya sehingga menghambat partisipasi aktif baik dalam
kegiatan sosialisasi maupun untuk menyalurkan suaranya.
Adanya relawan demokrasi, terutama dengan personil dari
penyandang disabilitas, dirasa telah berperan cukup besar dalam
kegiatan sosialisasi karena adanya faktor kedekatan dengan target
sosialisasi. Namun dari segi jumlah kegiatan, kegiatan sosialisasi
dirasa masih kurang.
3. Belum adanya wadah resmi yang menaungi para penyandang
disabilitas di Kota Metro.
KPU Kota Metro sulit melakukan kerjasama baik itu dalam
kondisi rangka melakukan sosialisasi maupun kegiatan
pendidikan politik lainnya. Komunitas penyandang disabilitas
masih terbentuk dalam skala kecil sehingga tidak semua
penyandang disabilitas tergabung di dalamnya.

C. Peran KPU
a) Peran KPU dalam mendata dan memastikan penyandang
disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih
KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum memiliki
tugas, wewenang dan peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan pemilu, dimana salah satu perannya adalah
melakukan pendataan kepada masyarakat yang memenuhi syarat
untuk dapat masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan
melakukan pemutakhiran data pemilih secara berkala. (Perdana,
dkk, 2019:33) menyatakan bahwa substansi pendaftaran pemilih
adalah mewadahi partisipasi pemilih sah pada saat pemberian
suara (pencoblosan). Dalam hal pengunaan hak suara, pemilih sah
(eligible) harus didata berdasarkan prinsip inklusi. Artinya, tidak
boleh ada potensi penghilangan hak pilih. Begitu pula, penetapan
pemilih tetap (DPT) harus dilakukan secara profesional dan tidak
mengandung diskriminasi dalam bentuk apapun (agama &
kepercayaan, gender & sex, etnik & ras, daerah & wilayah). Prinsip
pemilih diperlakukan sama menjadi penting sebagai bagian untuk
menghasilkan Pemilu yang inklusif.

16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Dari hasil wawancara dengan INT1, diketahui bahwa dalam


melakukan pendataan pemilih penyandang disabilitas, KPU Kota
Metro berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2018 yang
telah direvisi menjadi PKPU Nomor 38 tahun 2018 tentang
Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan
Pemilu. INT1 menyatakan bahwa:
“Pendataan disabilitas, pada prinsipnya semua warga negara
indonesia yang sudah mempunyai hak pilih memiliki hak yang
sama. Dalam kajian kepemiluan muncul istilah-istilah dalam
penyelenggaraan pemilu seperti istilah pemilu berintegritas,
pemilu demokratis, ada juga pemilu inklusif. Istilah ini umumnya
dipahami sebagai penyelenggaraan pemilu yang ramah dan
melayani semua baik pemilih maupun kandidat dengan ragam
identitas serta menghilangkan hambatan bagi kelompok-
kelompok rentan seperti kelompok disabilitas, perempuan
marjinal dan lain-lain. Pemilu inklusif sejalan dengan azas
pemilu kita yaitu luber (langsung, umum, bebas dan rahasia),
yakni umum artinya hak pilih itu melekat pada semua warga
negara yang telah memenuhi syarat tanpa melihat latar
belakang identitas maupun kondisinya”.
Sebagaimana dijelaskan dalam konsep tentang pemilih di atas
bahwa pemilih adalah warga Negara Indonesia berusia 17 tahun
atau lebih yang sudah atau pernah menikah, maka dasar utama
bagi penyusunan daftar pemilih adalah data kependudukan.
Keberadaan KTP Elektronik maupun Surat Keterangan
Kependudukan menjadi dokumen kependudukan yang dibutuhkan
dalam pendataan pemilih. Basis data penduduk penyandang
disabilitas yang dimiliki oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil kemudian diverifikasi kembali pada kegiatan pemutakhiran
data pemilih serta pencocokan dan penelitian (coklit).
Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) kemudian
memiliki peran penting dalam pemutakhiran data pemilih dengan
melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) kepada setiap pemilih
melalui koordinasi dengan Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua
Rukun Warga (RW). Koordinasi dengan perpanjangan tangan
pemerintah di unit terkecil masyarakat ini bertujuan untuk
memvalidasi data penduduk dengan lebih akurat. Pantarlih terdiri
atas perangkat kelurahan/desa, rukun warga, rukun tetangga,
dan/atau warga masyarakat yang diangkat dan diberhentikan oleh
PPS.
Dalam melaksanakan tugasnya, Pantarlih mendatangi RT/RW
untuk mengumpulkan informasi awal mengenai keberadaan
pemilih di lingkungannya. Pada saat melaksanakan coklit, Pantarlih
wajib mendatangi rumah per rumah dengan memperkenalkan diri
dan menunjukkan identitas sebagai Petugas Pantarlih. Pada
tahapan coklit ini, Pantarlih wajib menanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menyandang disabilitas. Setelah tahapan coklit
selesai dilaksanakan, Pantarlih kembali berkoordinasi dengan

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

RT/RW untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil


coklit.
Kegiatan coklit data pemilih untuk pemilu serentak tahun 2019
dilakukan secara serentak sesuai dengan gerakan coklit serentak di
seluruh Indonesia pada tanggal 17 April sampai dengan 17 Mei
2018. Kegiatan pemutakhiran data pemilih juga telah dilakukan
beberapa kali sampai akhirnya ditetapkan Daftar Pemilih Tetap
(DPT) Kota Metro sebesar 114.311 orang.

b) Peran KPU dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan politik


bagi kelompok penyandang disabilitas
Secara umum, kegiatan dan program sosialisasi ini diatur
dalam peraturan KPU Nomor 10 tahun 2018 tentang Sosialisasi,
Pendidikan Pemilih dan Partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu. Untuk menciptakan pemilu yang inklusif
serta tepat sasaran dalam memberikan pelayanan, penyelenggara
pemilu memasukkan norma baru yang mengutamakan asas
aksesibilitas ke dalam setiap peraturan yang dikeluakan oleh KPU
berkaitan penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, KPU juga
menggandeng Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat
(PPUA Penca) untuk melakukan audiensi terkait upaya pemenuhan
kebutuhan bagi kaum disabilitas dalam pemilu. KPU Kota Metro
telah melakukan serangkaian upaya sosialisasi terhadap pemilih
penyandang disabilitas sebagai berikut:
 Sejak tahun 2017, KPU Kota Metro telah mendeklarasikan
Gerakan Pemilu Ramah Disabilitas-Marginal sebagai salah satu
strategi meningkatkan partisipasi pemilih pada Pemilihan
Gubernur Lampung tahun 2018 dan Pemilu Serentak tahun
2019. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
melakukan “Dialog Pemilu Ramah Disabilitas dan Kelompok
Marginal” yang diselenggarakan pada tanggal 3 Desember 2017
yang juga bertepatan dengan Hari Disabilitas Nasional. Dialog ini
bertujuan untuk memberikan sosialisasi terkait agenda Pilgub
Lampung 2018 dan Pemilu Serentak 2019 sebagai wujud dari
pendidikan pemilih bagi penyandang disabilitas dan kelompok
marginal;
 Pada tanggal 27 Januari 2019, KPU Kota Metro membentuk
Relawan Demokrasi. Relawan Demokrasi ini adalah gerakan
sosial untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih
dalam menggunakan hak pilih. Dasar hukum pembentukan
Relawan Demokrasi ini adalah sebagai berikut :
a) UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD khususnya Pasal 246 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 247 ayat (1) yang menyatakan tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu;
b) Petunjuk Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi
Pemilu 2014 Nomor 609/KPU/IX/2013 tanggal 2
September 2013.
Adapun tujuan dari program Relawan Demokrasi ini adalah:

18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

a) Meningkatkan kualitas proses pemilu di Indonesia;


b) Meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam
pemilu;
c) Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses
demokrasi;
d) Membangkitkan kesukarelaan masyarakat sipil dalam
agenda pemilu dan demokrasi.

Relawan demokrasi menjadi mitra KPU dalam menjalankan agenda


sosialisasi dan pendidikan pemilih yang berbasis kabupaten/kota, yang
berjumlah 55 orang relawan di setiap kabupaten/kota. Terdapat 10
(sepuluh) basis atau segmen yang menjadi sasaran relawan demokrasi
yaitu basis keluarga, pemilih pemula, pemilih muda, perempuan,
penyandang disabilitas, berkebutuhan khusus, komunitas, marjinal,
keagamaan dan warga internet (netizen). Program relawan demokrasi ini
melibatkan langsung masyarakat sebagai relawan untuk ikut andil,
berpartisipasi dan berperan aktif dalam pemilu 2019 ini. Anggota Relawan
Demokrasi ini dipilih dari perwakilan masing-masing segmen, misalnya
basis pemilih pemula maka yang menjadi relawannya adalah anak/siswa
SMA kemudian basis penyandang disabilitas maka yang menjadi
relawannya adalah penyandang disabilitas juga, karena mereka lebih
memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik sehingga apa yang
disampaikan dapat mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Sejalan dengan hal ini, INT2 menyatakan bahwa:
“Berkaitan dengan kelompok disabilitas, KPU mengajak
penyandang disabilitas untuk aktif. Bahkan agar sosialisasi dapat
menyeluruh KPU juga merekrut beberapa penyandang disabilitas
sebagai relawan demokrasi”.
Agenda kegiatan Relawan Demokrasi meliputi:
a) Memetakan varian kelompok sasaran (mapping);
b) Mengidentifikasi kebutuhan varian kelompok sasaran;
c) Identifikasi materi dan metode sosialisasi yang akan
dilakukan;
d) Menyusun jadwal kegiatan dan berkoordinasi dengan relawan
pemilu yang lain;
e) Melaksanakan kegiatan sesuai jadwal;
f) Menyusun dan melaporkan kegiatan kepada KPU
Kabupaten/Kota.
Sosialisasi dengan program Relawan Demokrasi ini dianggap dapat
lebih mengena dan tepat sasaran karena karakteristiknya yang sudah
tersegmentasi sehingga masing-masing penggiat hanya berfokus pada
target sosialisasinya saja dalam skala yang lebih kecil. Kota Metro sendiri
belum terdapat perwakilan dari Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang
Cacat (PPUA Penca), baru ada komunitas/forum penyandang disabilitas,
itupun dalam ruang lingkup yang terbatas.
Oleh karena itu pendekatan sosialisasi terhadap penyandang
disabilitas memang harus dilakukan secara gencar dan terpisah,
mengingat belum ada organisasi besar yang mewadahi mereka. Keberadaan

19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Relawan Demokrasi ini diakui oleh INT4 sebagai terobosan yang baik
dimana ia menyatakan bahwa:
“Saya dan dua orang teman yang disabilitas ikut menjadi relawan
demokrasi yang diadakan oleh KPU Kota Metro. Jadi selain
sebagai pemilih saya juga ikut sosialisasi bareng kawan-kawan
yang lain. Menurut saya ini suatu kemajuan ya,mengikutsertakan
semua elemen untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu”.
Sejalan dengan ini INT5 menyatakan bahwa komponen personel
Relawan Demokrasi sesungguhnya sudah cukup ideal, namun belum dapat
menjamin program sosialisasi akan ramai dan menjangkau seluruh
penyandang disabilitas.
 KPU Kota Metro juga memfasilitas pendidikan politik melalui
Rumah Pintar Pemilu (RPP) Bumi Sai Wawai sebagai sarana
sosialisasi dengan memberikan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan inspirasi masyarakat tentang pemilu dan
demokrasi. Selain melakukan program pendidikan pemilih,
RPP Bumi Sai Wawai juga menjadi wadah bagi komunitas
pegiat pemilu untuk membangun gerakan peduli pemilu dan
demokrasi.
 RPP Bumi Sai Wawai ini terbuka untuk siapa saja baik
peserta pemilu maupun masyarakat umum termasuk
penyandang disabilitas yang ingin tahu atau menambah
wawasan tentang pemilu. Dengan adanya RPP Bumi Sai
Wawai ini diharapkan dapat memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat termasuk para penyandang disabilitas
sehingga dapat meningkatkan kesadaran politik penyandang
disabilitas.
 KPU Kota Metro melakukan sosialisasi tatap muka dengan
berbagai komunitas di Kota Metro sebagai berikut :
1) Sekolah Luar Biasa (SLB) pada tanggal 13 Maret 2019;
2) Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) pada tanggal
21 maret 2019;
3) Yayasan Widia (perkumpulan disabilitas) pada tanggal
01 april 2019 Sosialisasi ini bertujuan untuk
memberikan informasi terkait tahapan pemilu, profil
peserta pemilu serta tata cara pencoblosan dengan
menggunakan template Braille (bagi tuna netra);
 Laporan kegiatan sosialisasi pada pemilu 2019 dimasukkan
dalam aplikasi partisipasi masyarakat (SIPARMAS) yaitu
aplikasi pencatatan kegiatan pendidikan dan sosialisasi
dalam pemilihan dengan berbagai sasaran pemilih dalam
menyelenggarakan pemilu 2019.
 Aplikasi ini digunakan untuk merekam seluruh kegiatan
pendidikan pemilih dan rumah pintar pemilu disemua
tingkatan. Peluncuran SIPARMAS dilatarbelakangi
pentingnya pendidikan dan sosialisasi pemilih dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan adanya
SIPARMAS, KPU sebagai penyelenggara pemilu diharapkan
dapat melakukan monitoring terhadap 4 ruang lingkup

20
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

yaitu: pendidikan dan sosialisasi, inisiasi KPU, masyarakat,


sosialisasi media sosial, dan sosialisasi rumah pintar pemilu.
Pemanfaatan teknologi berbasis aplikasi ini secara umum
memudahkan KPU Kota Metro dalam memantau seluruh
kegiatan sosialisasi dan partisipasi masyarakat di sepanjang
tahapan Pemilu.

c) Peran KPU dalam menjamin ketersediaan sarana dan prasana


pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak
pilihnya
Berdasarkan PKPU Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PKPU
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam
Pemilihan Umum, terdapat beberapa ketentuan terkait pembuatan TPS
sebagai berikut :
1) Di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang
disabilitas;
2) Tidak menggabungkan kelurahan/desa atau nama lain;
3) Memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap
pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, umum,
bebas dan rahasia
Aksesibilitas TPS secara rinci mensyaratkan kondisi jalan menuju TPS
yang mudah dilewati bagi pengguna kursi roda maupun alat bantu berjalan
lainnya, rata, tidak ada bidang miring, dan tidak berbatu-batu ataupun
bergelombang. Selain itu, KPU harus memastikan bahwa alat kelengkapan
TPS untuk membantu penyandang disabilitas (misalnya template untuk
penyandang tuna netra) tersedia agar yang bersangkutan dapat
menyalurkan hak pilihnya.
PKPU Nomor 9 Tahun 2019 juga memungkinkan pemilih penyandang
disabilitas dapat dibantu oleh pendamping. KPU melalui KPPS salah
satunya bertugas memberikan pelayanan khusus terhadap penyandang
disabilitas, pemilih lanjut usia atau tidak dapat membaca dan menulis
pada saat pemungutan suara di TPS, untuk dapat membantu dengan
memberikan pendampingan. Apabila terdapat pemilih yang tidak dapat
memberikan suaranya di TPS pada hari H karena menjalani tahanan
sementara, rawat inap di rumah sakit atau puskesmas atau sakit di rumah
karena faktor usia, maka akan ada petugas KPPS yang bertugas
mendatangi pemilih agar dapat menggunakan hak pilihnya. Berkaitan
dengan ketersediaan logistik pemilu untuk mempermudah pemilih
penyandang disabilitas, KPU Kota Metro menjamin ketersediaan Template
Braille dalam jumlah sesuai yang dibutuhkan. INT 3 menegaskan bahwa:
“Untuk tempat pemungutan suara di Kota Metro sudah
aksesibilitas dengan pembuatan TPS yang tidak berundak-undak
atau naik turun tangga, pintu keluar masuk lebar sehingga pemilih
disabilitas yang memakai kursi roda dapat keluar masuk dengan
leluasa, meja tempat mencoblos juga berlobang bawahnya serta
penempatan kotak suara yang tidak terlalu tinggi sekitar 120 cm
sehingga memudahkan pemilih disabilitas. Demikian juga dengan
penyediaan Template Braille, sudah sesuai kebutuhan”.

21
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Sejalan dengan hal ini, INT6 menyatakan bahwa:


“TPS ditempat saya memilih sudah aksesibilitas dan saya juga
pernah ikut sosialisasi yang diadakan oleh KPU lewat forum
pengajian yang dilakukan oleh RT setempat”.

INT3 menjamin bahwa TPS yang ada telah memenuhi unsur-unsur


aksesibilitas sebagaimana diamanatkan dalam PKPU tersebut di atas. Pada
tahapan pembuatan TPS, KPU Kota Metro secara khusus melakukan
monitoring untuk memastikan kondisi TPS tersebut terkait aspek
aksesibilitasnya. Dalam Buku Panduan KPPS serta bimbingan teknis yang
dilakukan terhadap badan ad hoc, KPU Kota Metro juga senantiasa
memasukkan materi terkait fasilitasi penyandang disabilitas ini.
Meskipun demikian, untuk memenuhi kebutuhan pendamping, INT3
mengakui bahwa tidak semua TPS dengan penyandang disabilitas memiliki
pendamping. Dengan mengisi formulir permintaan pendamping,
sebenarnya seluruh TPS dengan pemilih penyandang disabilitas memiliki
kesempatan untuk mempunyai pendamping. Namun pada kenyataannya,
tidak semua TPS mengajukan permintaan tersebut dikarenakan tidak
semua penyandang disabilitas memerlukan pendampingan, atau malah
tidak mau didampingi.

KESIMPULAN
Rendahnya partisipasi penyandang disabilitas di Kota Metro pada
pemilu 2019 dipengaruhi beberapa faktor, yakni (1) Kesulitan pendataan
pemilih penyandang disabilitas; (2) Sosialisasi yang belum optimal; dan (3)
Belum adanya wadah resmi yang menaungi seluruh penyandang disabilitas
di Kota Metro. Peran KPU Kota Metro sebagai lembaga penyelenggara
pemilu dalam meningkatkan partisipasi pemilih penyandang disabilitas
mengacu pada tugas pokok dan fungsi KPU dalam melindungi dan
memfasilitasi hak pilih penyandang disabilitas sesuai dengan amanat
undang-undang berdasarkan tahapan pemilu yaitu: (1) Mendata dan
memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar
sebagai pemilih; (2) Memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi
kelompok penyandang disabilitas; dan (3) Menjamin ketersediaan sarana
dan prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan
hak pilihnya.
Dalam menjalankan peran-peran tersebut, dapat dilihat bahwa KPU
Kota Metro telah menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan memiliki komitmen untuk melindungi hak
pilih penyandang disabilitas. Rendahnya partisipasi pemilih penyandang
disabilitas lebih berkaitan dengan aspek administratif seperti kesulitan
pendataan dan belum adanya wadah resmi, serta faktor psikologis dari
keluarga maupun penyandang disabilitas itu sendiri.
Untuk itu penulis merekomendasikan kepada KPU Kota Metro agar
kedepannya (1) Mendorong lembaga yang memiliki akses terhadap data
kependudukan seperti Dukcapil atau BPS untuk dapat menyajikan data
penyandang disabilitas yang lebih komprehensif sehingga dapat dijadikan
basis data pemilih yang valid; (2) Mendorong didirikannya wadah resmi
yang menaungi seluruh penyandang disabilitas di Kota Metro, misalnya

22
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dengan berkoordinasi dengan komunitas yang telah ada, atau dengan


PPUA Penca untuk membangun jaringan di Kota Metro sehingga dapat
memudahkan kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik; (3) Membangun
relasi positif dengan komunitas penyandang disabilitas atau wadah resmi
(apabila telah terbentuk) secara berkesinambungan, tidak hanya menjelang
tahapan pemilu/pilkada saja, mengingat penyandang disabilitas
membutuhkan pendekatan sosialisasi yang lebih intensif dan
berkelanjutan; (4) Membangun relasi positif dengan unsur RT/RW dan
masyarakat dengan sosialisasi terkait perlindungan hak pilih penyandang
disabilitas guna meminimalisir faktor psikologis penghambat sebagaimana
dijelaskan di atas serta menghasilkan data pemilih yang lebih valid.
KPU Kota Metro dapat bekerjasama dengan unsur RT/RW, tokoh
masyarakat, serta anggota komunitas penyandang disabilitas untuk
mengadakan sosialisasi bagi para warga guna memberikan pemahaman
bahwa disabilitas bukanlah aib, dan penyandangnya juga adalah warga
Negara dengan hak politik yang setara dan oleh karenanya berhak dan
wajib untuk didata sebagai pemilih serta mendapatkan sosialisasi dan
pendidikan politik. Penanaman akan penerimaan kondisi diri dan keluarga
ini serta pemahaman akan hak dan kewajiban politik akan menjadi modal
dasar bagi tersedianya data penyandang disabilitas yang lebih reliabel dan
program sosialisasi yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Ardiantoro, J. (2014). Tingkat Melek Politik Warga dalam Pemilu 2014 (Seri
Riset). Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
Budiardjo, M. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Budiyanto. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan (Jilid I). Jakarta:
Erlangga.
Creswell, J. W. (2009). Research Design  : Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches (Third Edit). California: Sage Publications,
Inc.
Firmanzah. (2008). Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Huntington, S., & Nelson, J. (1974). No Easy Choice  : Political Participation
in Development Countries. Harvard University.
Kharisma, N. (2016). Problematika Penyandang disabilitas Dalam Pemilu
Studi Kasus Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta. Jurnal Ilmu
Kesejahteraan Sosial, 5(1).
Nur, S. F. (2017). Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota
Semarang pada Pilwakot 2015. Journal of Politic and Government
Studies, 6(3).
Nursal, A. (2004). Political Marketing  : Strategi Memenangkan Pemilu.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Perdana, A., & Dkk. (2019). Tata Kelola Pemilu di Indonesia. Jakarta: Komisi
Pemilihan Umum.
Pramusinto, A., & Kumorotomo, W. (2009). Governance Reform in
Indonesia  : Mencari Arah Kelembagaan yang Demokratis dan Birokrasi

23
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media untuk MAP UGM.


Prihatmoko, J. J. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia.
Semarang: Pustaka Pelajar.
Sabatini, A. (2018). Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas dalam
Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017 di Kecamatan
Tenayan Raya. Universitas Riau, 5(1). Retrieved from
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/17463/1
6867
Saputra, A. R., Jendrius, & Bakaruddin. (2019). Tata Kelola Pemilu dalam
Pemenuhan Hak-Hak Pemilih Penyandang Disabilitas. Journal Aristo
Sosial Politik Humaniora, 7(1), 64–79.
Sarwono, S. W. (2015). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Wickham, M., & Parker, M. (2007). Reconceptualising Organisational Role
Theory for Contemporary Organisational Contexts. Journal of
Managerial Psychology, 22(5)(July).

UU dan Peraturan
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
3. Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu
4. Peraturan KPU No. 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan
Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Umum
5. Peraturan KPU Nomor 38 tentang Penyusunan Daftar Pemilih
Didalam Negeri
6. Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum

24
PROBLEMATIKA DAN STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG
PEMILU SERENTAK 2019 DI INDONESIA
Lati Praja Delmanaa, Aidinil Zetrab, Hendri Koeswarac
a Program Tata Kelola Pemilu Batch IV, Universitas Andalas, Padang, Indonesia
b,cDosen S2 Tata Kelola Pemilu, Universitas Andalas, Padang, Indonesia

E-mail: latiprajadelmana@yahoo.com

ABSTRAK
Pemilu serantak Tahun 2019 meninggalkan permasalahan akut yang berdampak
pada kritisnya nilai demokrasi di Indonesia. Realitas menunjukan terdapat
banyak pelanggaran yang menyumbang penurunan kualitas Pemilu yang
disebabkan oleh politik uang. Permasalahan politik uang ini telah banyak dikaji
oleh peneliti sebelumnya, namun terdapat ruang kosong dalam penanganan
politik uang yaitu penanganan tidak cukup melalui penguatan kelembagaan tapi
juga melalui best practice dengan membandingkan penanganan politik uang
yang telah dilakukan oleh negara-negara luar dan disesuaikan dengan keadaan
Pemilu indonesia terutama kondisi lokal. Penelitian ini menggunakan metode
studi pustaka yang didukung oleh penelitian yang relevan. Hasil penelitian
menunjukan akar permasalahan munculnya politik uang adalah kandidat dan
masyarakat yang memiliki perilaku kapitalis didasarkan pada untung dan rugi
secara ekonomi. Sementara celah hukum, pengawasan yang lemah dan sistem
Pemilu proporsional membuka peluang berkembangnya politik uang.
Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui
efektifitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem
politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi
jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Pencegahan dapat juga
dilakukan melalui modifikasi sistem Pemilu campuran sehingga meningkatkan
hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak terputus pasca Pemilu pada
akhirnya akan meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg instan
menjelang Pemilu.
Kata Kunci: politik uang, pencegahan, penanganan

PROBLEMATICS AND MONEY POLITICAL HANDLING STRATEGY ON


INDONESIAN ELECTION IN 2019
ABSTRACT
The simultaneous 2019 Elections left an acute problem affecting the critical value of
democracy in Indonesia. Reality shows there are violations contributing to declining
of the quality of elections caused by money politics. This Money politic problems
has been widely examined by other previous researcher, however there is an
empty space for handling money politics problems, which is not enough handling
this problems only with institutional strengthening, but also needed best practices
by comparing the handling of money politics that have been carried out by foreign
countries and adjusted to the conditions of the Indonesian elections, especially
local conditions. This research uses literature study method which is supported by
another relevant research. The results showed that the root of the problem of
money politics is that the candidates and the people have capitalist behavior based
on economic gains and losses. While legal loopholes, weak surveillance and
proportional electoral systems open opportunities for the growing of money politics.
Prevention of money politics could be implemented systemically and

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

simultaneously through the effectiveness of the functions of the political


superstructure and infrastructure, reforming the political system, political culture,
moral education and political society with short-term, medium-term and long-term
strategies. Prevention could be implemented through modifying the mixed electoral
system so that improving relationship between voters and their representatives
who are uninterrupted after the election will ultimately minimize money politics and
reduce the number of instant candidates ahead of the election.
Keywords: money politics, prevention, handling

PENDAHULUAN
Pemilihan umum serentak Tahun 2019 sebagai sarana perwujudan
demokrasi di Indonesia dinodai dengan pelanggaran yang terjadi pada
setiap tahapannya. Pelanggaran tersebut terjadi akibat tidak mampunya
penyelenggara melaksanakan Pemilu dengan prinsip kebebasan, keadilan,
dan kesetaraan. Sesuai data hasil pelanggaran Pemilu Tahun 2019
(Bawaslu, 2019) menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah
diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik.
Pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang.
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat
politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran
politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang
terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi
praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia. Hal ini sejalan dengan
temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang
yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12
kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14
sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus
Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di
Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten
Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut. Kedua, menurut hasil
survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei
tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa
terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang
terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik
uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Sedangkan menurut data Koalisi Masyarakat Sipil, terdapat 44
temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019. Sementara
berdasarkan temuan Bawaslu terdapat 24 putusan tentang politik uang
yaitu 23 putusan inkarah dan 1 dalam proses banding. Praktik politik
uang sebagian besar terjadi pada hari pencoblosan tanggal 17 April, saat
massa tenang selama tiga hari, dan sebelum memasuki masa tenang.
Konsep politik uang yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori yang dikemukakan oleh Jensen dkk (2013). Demi memperoleh
kekuasaan dan menarik simpati rakyat, kandidat sering malakukan
transaksional politik. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi pada
masa tahapan pemungutan suara tapi juga pada tahapan pra, sampai
pasca Pemilu. Hal ini diakibatkan karena lemahnya pengawasan dan

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

regulasi hukum sehingga membuka peluang bagi masyarakat politik,


penyelenggara ataupun pemilih untuk masuk kedalam lingkaran
pelanggaran tersebut.
Dari berbagai permasalahan di atas maka penulis mengkaji
permasalahan tentang pencegahan dan penanganan politik uang pada
Pemilu 2019 dengan metode best practice yang telah dilakukan oleh
negara-negara demokrasi mapan ataupun baru. Penanganan kasus politik
uang yang dilakukan di negara luar dapat disesuaikan dengan budaya
lokal di Indonesia. Tujuan penulisan ini untuk mengidentifikasi politik
uang yang terjadi disetiap tahapan Pemilu, dan menciptakan strategi
pencegahan dan pemberantasan politik uang di Indonesia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan studi pustaka. Studi kepustakaan
dapat mempelajari berbagai referensi serta hasil penelitian sebelumnya
yang sejenis berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai
masalah yang akan diteliti. Studi kepustakaan dalam penelitian ini
dengan mengumpulkan data melaui penelaahan terhadap dokumen-
dokumen sumber serta laporan berkaitan dengan permasalahan politik
uang. Variabel yang akan dikaji adalah evaluasi politik uang yang terjadi
pada Pemilu 2019 dan analisis best practice pencegahan dan penanganan
politik uang pada Pemilu di Indonesia melalui perbandingan penanganan
politik uang di negara-negara demokrasi baru dan mapan yang
disesuaikan untuk kondisi politik lokal Indonesia.
Proses penelitian ini adalah pemilihan topik, eksplorasi informasi,
menentukan fokus penelitian, pengumpulan sumber data, persiapan
penyajian data dan penyusunan laporan. Sumber data dalam penelitian
ini adalah buku, jurnal dan situs internet. Sumber data pada penelitian
ini terdiri dari 10 jurnal tentang politik uang, 3 buah buku tentang
demokrasi dan politik uang.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi,
mencari data mengenai variabel yang diteliti dalam makalah, jurnal dan
laporan. Analisis data dilakukan dengan analisis konten, yang dapat
diteliti ulang melalui konteksnya. Peneliti mengamati proses pencegahan
dan penanganan kasus politik uang Pemilu 2019 dengan melihat
dokumen sumber berupa peraturan dan data-data.
Bagian ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, apa atau
siapa saja sumber datanya, bagaimana sumber data itu diperoleh (cara
menentukan sumber data) dan kemudian bagaimana data itu divalidasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelanggaran pidana Pemilu 2019 terkait penggunaan uang ataupun
barang untuk mempengaruhi pemilih paling banyak terjadi menjelang
hari pencoblosan tetapi sulit untuk dibuktikan/ditindaklanjuti sebagai
kasus pidana Pemilu. Terbukti hanya 24 kasus pelanggaran politik uang
yang ditemukan oleh Bawaslu secara nasional. Padahal diseluruh penjuru
negeri terdapat beragam jenis politik uang bahkan politisi semakin kreatif
dalam menjalankan aksi politik uangnya, seperti pemberian polis asuransi,

3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dan uang elektornik. Bawaslu menemukan sejumlah barang bukti, mulai


dari uang, deterjen, hingga sembako. Temuan uang paling banyak didapat
di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara
dengan jumlah uang Rp 190 juta. Lokasi praktik politik uang yang
ditemukan, di antaranya di rumah penduduk dan di tempat keramaian
seperti di pusat perbelanjaan.

Identifikasi Permasalahan Praktik Politik Uang


Berbagai permasalahan dan celah hukum yang terjadi selama
tahapan Pemilu dapat meningkatkan potensi praktek politik uang.
Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat
kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang
membuka berkembangnya politik uang. Berikut adalah beberapa
permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya
praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu:

Terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos


Dari Jeratan Undang-Undang
Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi
uang diatur dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) hanya pelaksana,
peserta atau tim kampanye. Pada tahap pemungutan suara subjek
pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak
kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta
atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan
kampanye dan masa tenang.
Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3)
pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota
legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang
dan organisasi yang ditunjuk partai politik. Secara normatif, pelaksana
kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye
(masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan
ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik
politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana
kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak
terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal
mengenai politik uang.
Kedua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang
kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak
diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan
penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan
mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain
itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan
perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga
substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.

4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang


mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan
mengarah kepada mahar politik. Presidential threshold akan menciptakan
oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang
menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan
terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga
dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar
pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari
pembatasan dalam pencalonan.
Keempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang
menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di
kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran
Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal
pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti
material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti
pendukung lainnya.
Kelima, menurut bunyi Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012 suatu
tindakan memenuhi unsur praktek politik uang jika pelaksana kampanye
melakukan pemberian uang/materi sebagai imbalan kepada peserta
kampanye (pemilih) untuk memilih atau tidak memilih parpol tertentu.
Untuk membuktikan adanya pelanggaran Pemilu pada masa sebelum
pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan
Bawaslu kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah
pada praktik politik uang. Padahal upaya untuk mendapatkan alat bukti
praktik politik uang tidak mudah jika saksi tidak bersedia bersaksi dan
bukti hasil transaksi politik uang tidak terpenuhi. Kondisi ini
menyebabkan penindakan pelanggaran politik uang yang terjadi sebelum
pencoblosan tidak dapat dilakukan maksimal. Jika ada bukti empirik
adanya praktik pemberian uang atau materi kepada pemilih, maka pihak
Bawaslu kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta keterangan.

Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik


Uang
Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara
langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang
berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara
pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara-
acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih yang paling
umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah
pengganti uang transportasi.
Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas
mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala
oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian
didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian,
sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan
untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit
didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan
langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena


kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah
sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi. Umumnya orang
yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena
khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam
rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi
fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan
menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak
didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku
dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat
melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau
kejaksaan. Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum
praktik politik uang gugur di tengah jalan.

Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka Menempatkan Calon Pada


Ketidakpastian Atas Keterpilihannya
Hal ini mendorong calon untuk melakukan penguatan elektabilitas secara
instan melalui politik uang. Selain itu, karakter pemilih yang kian
pragmatis dan tidak tegas dalam menolak pemberian uang/materi
membuat calon atau tim pemenangan calon makin leluasa mempengaruhi
independensi pemilih melalui strategi yang berbau politik uang.
Tabel 1.
Rekap Identifikasi Permasalahan dan Potensi Politik Uang Pemilu 2019
Tahapan Kelemahan Permasalahan Politik Solusi
Pemilu Uang
Regulasi - UU Nomor 7 - Terdapat subjek - Revisi UU nomor 7
Pemilu Tahun 2017 hukum yang dapat Tahun 2017 dengan
lolos dari jeratan memperluas subjek
- Presidential UU yang dapat terjerat
Treshold (ambang praktik politik uang,
batas) yang tinggi - Tidak mengatur mengatur secara tegas
tentang sanksi sanksi pidana terkait
pidana terkait mahar politik dan
mahar politik memperkecil
presidential threshold

- Ambang batas
presidential
threshold yang
tinggi akan
menciptakan
oligarki politik dan
berkembangnya
mahar politik atau
politik uang dalam
internal partai.

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Pendataan - Politik uang - Pelanggaran - Meningkatkan


Pemilih terjadi antara penipuan/ keakuratan data
kandidat dan kesalahan pemilih melalui
penyelenggara, disengaja untuk pembangunan sebuah
melalui data mobilisasi suara ke sistem data pemilih
pemilih yang tidak kandidat tertentu. yang terintegrasi
sesuai dengan dengan catatan sipil.
kenyataan.
- Meningkatkan
kualitas proses coklit
(pencocokan dan
penelitian)

Pendaftaran - Terdapat peluang - Korupsi Pemilu: - Melakukan perubahan


Peserta. Mahar politik. mahar politik, aturan yang
politik uang yang mendiskriminasi
tinggi dalam suatu golongan
internal partai
politik. - Pencegahan dan
pemberantasan mahar
- Penyuapan politik
terhadap
penyelenggara - Meningkatkan
untuk memenuhi rasionalitas dan
kelengkapan kecerdasan pemilih
persyaratan calon
(Tindak pidana
korupsi dan kode
etik), candidacy
buying.

Media - Kesulitan - Politik uang: - Ikut meningkatkan


Kampanye netralitas dan transaksional kecerdasan politik
berimbang media politik antara masyarakat melalui
media dan calon sosialisasi

- Pelanggaran kode - Membangun regulasi


etik ASN, TNI lebih ketat untuk
dalam penggunaan menutup celah politik
media untuk uang
fasilitasi calon
tertentu

- dana kampanye
yang ‘mengikat’
terkait media

Kampanye - Audit hanya - dana kampanye - Perubahan aturan KPU


dan masa dilakukan secara yang ‘mengikat’ untuk melaksanakan
tenang administratif (abusive donation) audit dana kampanye
investigatif dan audit
- Politik uang pada - Vote buying, politik forensik
saat kampanye uang dalam masa
dan masa tenang kampanye

Pemungutan - Kurangnya - Politik uang: - Meningkatkan fasilitas


Suara pilihan/kandidat pembagian beras, untuk disabilitas
yang berkualitas uang,
pembangunan - Meningkat
- Pendidikan politik daerah, vote aksesibilitas TPS bagi
rendah buying (pembelian pemilih penyandang
suara) disabilita
- Politik uang

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Penghitungan - Politik uang - Politik uang - Meningkatkan


dan sering terjadi terhadap kompetensi Petugas
Rekapitulasi penyelenggara, penyelenggara Pemilu
Suara - Undang-undang vote buying ad-hoc,
Pemilu tidak
mengatur politik
uang dalam
rekapitulasi - Electoral - Meningkatkan
suara administrative Integritas petugas
corruption penyelenggara
terhadap praktik
politik uang

Penyelenggara - Terdapat kasus - Pelanggaran kode - Meningkatkan


Pemilu pelanggaran kode etik dan pidana kompetensi dan
etik penyeelnggara pengawasan internal
pemilu, KPU
- Kurang penerimaan suap
profesionalitas dari partai politik - Merekrut
penyelenggara atau kandidat penyelenggara yang
tertentu kompeten dan
- Tidak memadai independen
keterbukaan
informasi - Meningkatkan
penyelenggara profesionalitas
penyelenggara melalui
pembelajaran yang
berkelanjuatan

- Mengevaluasi dan
meningkatkan kinerja
PPID

Sumber: Data diolah dari berbagai sumber


Potensi Politik Uang Pada Tahapan Pemilu 2019
Pada tabel 1 menunjukan rekap potensi politik uang yang terjadi
selama tahapan Pemilu 2019, berbagai permasalahan tersebut antara lain:

Pendataan Pemilih
Potensi pelanggaran politik uang dalam tahapan ini adalah
pelanggaran penipuan/kesalahan disengaja untuk mobilisasi suara ke
kandidat tertentu. Menurut (Marli, 2018) masalah pendataan pemilih ini
erat kaitannya dengan sumber daya manusia dilapangan yang kurang
teliti dan sistem e-ktp yang harus diakui masih banyak kelemahan. Dari
sisi penyelenggara, ketidakprofesionalitasan ini ditandai dengan tidak ada
problem solving dalam kasus yang ditemui. Peningkatkan keakuratan data
pemilih dapat dilakukan melalui pembangunan sebuah sistem data
pemilih yang terintegrasi dengan catatan sipil, kemendagri dan lembaga
lain yang memiliki data kependudukan, sehingga perubahan yang terjadi
di lapangan bisa langsung diketahui dan dirubah di sistem. Sesuai
dengan penelitian Perludem bahwa diperlukan adanya konsolidasi data
kependudukan yang sepenuhnya dikelola oleh KPU dan berkolaborasi
dengan kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan.
(Khairunnisa Agustyati, 2016).

8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Pendaftaran Calon
Dalam proses pendaftaran calon ini, dikatakan berintegritas jika
bebas dari diskriminasi dan kesetaraan. Terdapat beberapa permasalahan
pendaftaran calon yang mengurangi integritas pemilu antara lain
banyaknya kasus mahar politik dalam proses pencalonan oleh partai
politik. Pencegahan mahar politik dan politik uang dapat dilakukan secara
sistemik dan simultan, peran KPU disini adalah ikut melakukan
sosialisasi dampak buruk mahar politik dan politik uang dan
meningkatkan Efektifitas Pemantau dan Pengawas Pemilu.

Media Dalam Kampanye


Media lokal ataupun nasional masih jauh dari prinsip ideal.
Beberapa hal yang dicatat oleh Marli (2018) bahwa media wartawan
menerima imbalan dari berita yang dibuatnya, maraknya politik uang
terdistribusi dengan efektif ke pers, media elektronik, dan yang paling
berpengaruh secara signifikan adalah media televisi. Tidak adanya
batasan jelas antara advertorial dengan berita atau reportase yang
merugikan masyarakat serta ada nya keberpihakan media terhadap salah
satu calon. Kecenderungan keberpihakan ini salah satunya dilihat dari
indikasi berita yang dimuat atau tidak dimuat dalam medianya. Berita-
berita yang dimuat umumnya hanya berita seromonial yang hanya
bersifat kampanye dan branding. Berita yang tidak dimuat dapat berupa
kasus-kasus dimana publik perlu tahu tetapi tidak terlalu diberitakan
karena akan merugikan kandidatnya.
Kesulitan netralitas dan berimbang media dalam penyelenggaraan
kontestasi pemilu berkaitan dengan pendapatan media dimana dalam
pemilu serentak ada aturan bahwa iklan kampanye dibiayai oleh negara
sehingga pasangan calon dilarang membuat iklan lagi dimedia cetak. Hal
ini tentu saja mengurangi pendapatan media dari biaya iklan yang bisa
didapat jika pasangan calon diberi kebebasan memasang iklan.
Beberapa hasil pemantauan konten media juga didapatkan hasil
bahwa redaksi dan karyawan terkadang menjadi tim sukses dan
mendukung salah satu calon secara informal. Terlihat dari branding calon
yang mereka buat dalam news/berita seolah-olah ini adalah berita publik,
padahal dapat dikatakan bahwa itu adalah iklan branding terselubung.
Dihubungkan dengan petahana, maka petahana mendapat sedikit
keuntungan dalam pemberitaan media dibanding calon yang non
petahana. Modus bisa dengan membuat pemberitaan baik atau justru
dengan tidak memberitakan hal-hal negatif dimana seharusnya publik
mempunyai hak untuk mendapatkan berita.
Di lain hal, media sosial dapat dipakai untuk mengungkapkan
kecurangan dalam pemilu. Akan tetapi disisi lain lebih banyak juga media
sosial ini dipakai untuk menyebarkan black campaign, fitnah, hate speech
dan berita palsu/hoax. Sifat media sosial sebagai new media yang
mempunya karakteristik lebih mobile, real time dan penyebarannya yang
instan, maka susah untuk membendung efek negatif dari media sosial ini.
Namun jika digunakan untuk hal yang positif seperti menyebarluaskan

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

informasi pemilihan dan mengungkapkan kecurangan maka media sosial


dapat menjadi media yang bermanfaat.

Kampanye
Politik uang paling banyak ditemukan pada saat kampanye,
berbagai macam jenis politik uang yang terselubung seakan tidak dapat
terbendung karena semakin kreatifnya pelaku untuk menjalankan aksi
vote buying ataupun dana kampanye yang “mengikat” (abusive donation).

Pemungutan Suara
Pemungutan suara rentan terhadap pelanggaran politik uang.
Pelanggaran tersebut seperti vote buying/pembelian suara dan serangan
fajar. Permasalahan yang lain yang menjadi catatan dalam pemungutan
suara ini adalah kurangnya pilihan/kandidat yang berkualitas yang
ditawarkan kepada pemilih. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya
kaderisasi di partai politik, partai politik tidak menyiapkan calon yang
berkualitas dan sentralistiknya penentuan calon yang akan diusung oleh
partai politik, sehingga calon yang diusung bukan merupakan kandidat
yang merupakan aspirasi dari masyarakat di daerah.

Penghitungan Suara
Politik uang terjadi antara calon tertentu dengan penyelenggara.
Namun, Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam
rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena
kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi. Sehingga perlu
indikator kualitas Pemilu diatas dengan pengawasan dan hukum yang
tidak memihak,tegas dan jelas.
Dari berbagai analisis di setiap tahapan tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat tahapan yang rentan dalam kecurangan terutama politik
uang (Utari, 2016), yaitu sebagai berikut:

Tahapan Penjaringan Calon


Tahap ini menjadi tahapan paling rawan terjadi politik uang dan
mahar politik. Kelemahan tahapan ini: monopoli partai politik sebagai
penyokong kandidat presiden yang dicalonkan. Karena kandidat presiden
bisa dicalonkan kalau memiliki ambang batas 25%, menyebabkan politik
uang dan mahar politik. Menurut Ari Dwipayana, dengan memakai jasa
partai setiap calon kepala daerah mengeluarkan dana minimal 7-8 miliar
rupiah (Dwipayana, 2005). Sehingga munculah transaksional politik yang
melibatkan calon, partai politik dan stakeholder.

Tahap Seleksi Administrasi Calon


Menurut Taufikurrachman Saleh banyak Tim sukses yang
menyusun skenario praktik tawar menawar uang dan lobi politik untuk
memuluskan jalannya, namun hal ini sulit didekteksi karena tim sukses
tidak dikaitkan dalam aturan politik uang, sehingga yang mereka lakukan
sulit untuk dikaitkan secara langsung dengan calon kepala daerah.

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tahap Pendataan Pemilih Dan Pengadaan Kartu Pemilih


Terjadi kolusi antara pihak pendata dengan pihak calon. Petugas
pendata memprioritaskan masyarakat yang mencadi pendukung salah
satu calon, sedangkan masyarakat pendukung calon yang lain diabaikan.
Pengadaan kartu pemilih melebihi jumlah pemilih setempat. Sehingga
harus dilakukan pembenahan panitia pemilihan.

Tahap Kampanye
Sering terjadi aksi sumbangan yang dialkukan kandidat untuk
mendapatkan simpati masyarakat, contoh bagi uang, sembako, proyek
bahkan kitab suci agama tertentu. Namun kelemahan ini terjadi juga
karena regulasi yang ada tidak merumuskan secara eksplisit perbuatan
tersebut termasuk melanggar hukum.

Tahap Pemungutan Suara


Sering terjadi serangan fajar, penyuapan kepada masyarakat, tokoh
masyarakat, bahkan oknum pengawas. Kasus penggelembungan suara,
kerjasama KPUD untuk pemenangan calon tertentu melalui
pengelembungan suara (Saleh, 2006)

Tahap Rekapitulasi Suara


Terjadinya politik uang melalui kerjasama antara calon tertentu
dengan penyelenggara, sehingga hasil rekapitulasi pemungutan dan
perhitungan suara. Namun Undang-undang pemilu tidak mengatur politik
uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan
karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi.

Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dari Berbagai Penelitian di


Dunia
Pencegahan dan penanganan politik uang dalam tulisan ini
berdasarkan best practise yang dilakukan oleh negara-negara luar dan
kajian-kajian terdahulu serta disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia.
Penanganan politik uang dapat dimulai dengan menghilangkan akar
permasalahannya penyebab terjadinya politik uang dan kondisi yang
membuat berkembangnya politik uang, dan strategi teknis untuk
menyelesaikannya. Faktor utama penyebab timbulnya politik uang dapat
dilihat dari berbagai aspek, baik dari segi demografis dan sosial ekonomi,
perilaku memilih, politik klientalisme, moneter dan sistem pemilu.
Pertama, dari aspek demografis dan sosial ekonomi (Vilalta, 2010).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan, tingkat
marginalitas, ukuran populasi, partai yang memerintah, tingkat
kompetensi pemilihan mempengaruhi vote buying. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Bratton (2008) yang menyatakan bahwa politik uang
berlaku untuk orang miskin dan tidak berpendidikan, penduduk
pedesaan. Sementara menurut Pradhanawati dkk (2018) warga negara
yang paling mungkin “memilih hati nurani” adalah pemilih

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

berpenghasilan rendah dan berpendidikan tinggi. Bagi warga negara ini,


kemiskinan menciptakan kebutuhan untuk menerima uang, sementara
pendidikan menuntun mereka untuk memilih kandidat yang mereka
sukai. Sebaliknya, warga paling mungkin menerima uang dan memilih
kandidat yang menawarkannya adalah pemilih loyalis partai, karyawan,
dan pemilih berpenghasilan rendah/kurang berpendidikan. Warga
kemungkinan besar menolak uang adalah warga negara berpendapatan
menengah dan atas yang juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih
tinggi.
Kedua, aspek perilaku memilih, politik uang akan terjadi pada
partisipan partai (petahanan dan oposisi) dibandingan non partai. Hal ini
juga sejalan dengan pendapat Cantu (2019) menyatakan bahwa kandidat
cenderung untuk menargetkan pemilih yang (1) mendukung oposisi di
masa lalu, (2) tinggal di daerah di mana oposisi telah mengerahkan upaya
mobilisasi. Saat menargetkan grup pemilih dengan karakteristik ini, pihak
mengidentifikasi mereka yang lebih mungkin untuk menjual suara
mereka, dengan melihat pada pilihan pemilihan mereka sebelumnya.
Ketiga, politik klientalisme, menurut William (2005) untuk melawan
politik uang perlu menantang dinamika hubungan antara klientalisme
dan politik. Penelitian ini menunjukan bahwa aktor yang paling
diuntungkan dalam vote buying dalam jangka pendek adalah broker dan
kaum borjuis (pemodal) karena aliran modal pada akhirnya tergantung
pada legitimasi demokrasi parlementer. Sementara dalam jangka panjang
kandidat terpilihlah yang memperoleh keuntungan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Edward dkk (2018) bahwa vote buying dilakukan dalam
struktur broker yang menggambar di jejaring sosial untuk
mengidentifikasi pemilih dan mengirimkan pembayaran kepada mereka.
Logika pasar menyusun sistem pembelian suara di Indonesia. Hasil studi
mengungkapkan pola pembelian suara yang sangat terfragmentasi,
dengan mayoritas kandidat mendapatkan total suara yang jauh lebih
rendah dari jumlah pembayaran individu yang didistribusikan. Calon
pembeli ini tergantung pada jaringan sosial yang ada dan pada pengaruh
otoritas lokal.
Keempat, aspek moneter, aspek ini cukup unik dan jarang
dihubungan dengan vote buying oleh peneliti sebelumnya, menurut Aidt
(2019), siklus pemilihan moneter jangka pendek bulanan menunjukan
tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) di sekitar pemilihan lebih
tinggi daripada di bulan-bulan lainnya. Pertumbuhan moneter tinggi yang
tidak normal di bulan pemilihan bisa menjadi indikasi pembelian suara
sistemik yang dipicu oleh efek permintaan uang tunai. Hal ini
memungkinkan jalan baru untuk menekan adanya politik uang dengan
cara mengurangi jumlah uang beredar dalam waktu bulan pemilu,
misalnya dengan menaikan nilai bunga deposito atau tabungan, tidak
memperbolehkan penarikan tunai dalam jumlah yang besar pada pemilu,
dan tidak memperbolehkan nilai uang cash dalam jumlah besar tertentu,
di mana bank sentral independen dari pengaruh politik.
Kelima, sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya
politik uang karena caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam
satu partai untuk mengejar personal vote. Kemudian karena kursi yang

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara terbanyak,


maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan
rival separtainya. Politik uang merupakan mekanisme diferensiasi seorang
caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing
internal (Burhanuddin dkk, 2019). Sejalan dengan pendapat Edward dkk
(2018) vote buying dan bertukar daftar klien dapat berkembang dalam
situasi di mana partai politik relatif lemah seperti Thailand, sedangkan di
Amerika Latin, yang relatif berfokus pada partai, menimbulkan asumsi
bahwa para pelaku yang melakukan pembelian suara adalah agen partai
(meskipun di sini juga, telah ditunjukkan bahwa partai merekrut broker
non-partai: Holland dan Palmer-Rubin 2015). Sebagian besar diskusi
tentang “turnout buying,” khususnya, muncul dari diskusi tentang politik
klientelist di Argentina, di mana pemilihan menggunakan daftar
proporsional daftar tertutup di mana tingkat identifikasi partai dalam
populasi relatif tinggi, sehingga dapat menekan vote buying.

Rekomendasi Perbaikan Untuk Pelanggaran Politik Uang


Pencegahan mahar politik dan politik uang, dikaji melalui peraturan
hukum, lembaga terkait, proses tahapan Pemilu, pengawasan dan praktik
terbaik yang telah dilaksanakan oleh negara-negara luar yang disesuaikan
dengan kondisi Indonesia. Konsep pencegahan ini mengembangkan model
strategi yang diungkapkan oleh IDEA (2017) dan Indah (2016). Strategi
pencegahan politik uang dan mahar dalam penelitian ini dilihat dari
aspek penguatan kelembagaan, hukum, stakeholder terkait dan aspek
moneter. Proses pencegahan politik uang dapat dimulai saat sebelum,
selama dan setelah pemilu dilaksanakan. Pencegahan yang dapat
dilakukan adalah:

Memperkuat Aturan Hukum Melalui Sanksi Pidana dan Administratif


Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10
Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik
atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk
apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi
pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk
periode berikutnya. Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon
terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017,
sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk
mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak
menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau
perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang
mahar. Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi
menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang-
undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan
ini secara rinci.

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi


hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar
politik ataupun politik uang. Aturan ini juga harus lebih mempermudah
pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach,
kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan
efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa.

Meningkatkan Kapasitas dan Efektifitas Lembaga Pemerintahan


(Infrastruktur dan Suprastruktur)
Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat aturan terkait
yang jelas sanksi atas pelanggaran. Memberikan sanksi yang jelas, tegas
dan tidak pandang bulu bagi pelaku politik uang dan mahar politik.
Kedua, Lembaga Yudikatif, menetapkan efektifitas penerapan
hukum melalui peningkatan keterpaduan kerja antar penegak hukum,
peningkatan kemampuan kerja antar aparat penegak hukum,
peningkatan kemampuan penguasaan hukum, keterampilan yuridis,
peningkatan integritas moral, profesionalisme, sarana dan prasarana yang
diperlukan. Melaksanakan eksekusi hukuman secara efektif melalui
pengawasan oleh pengadilan.
Ketiga, meningkatkan efektifitas fungsi pers. Mengembalikan peran
pers sebagai media yang memuat informasi yang benar, akurat dan
seimbang yang tidak memihak dan mengkritisi setiap temuan politik uang
dan mahar politik sehingga informasi yang ada dilapangan bisa cepat
diketahui.
Keempat, Meningkatkan peran Universitas dalam pendidikan politik.
Universitas bisa menjadi sarana untuk pendidikan moral dan politik,
sehingga masyarakat bisa membangun ideologi yang tepat, tidak
terpengaruh dengan mahar politik dan politik uang. Selain itu, perlu
adanya penyempurnaan sistem pendidikan profesi dengan
memprioritaskan kurikulum yang menunjang penguasaan materi hukum
dan keterampilan teknis yuridis, peningkatan integritas moral,
peningkatan prfoseionalisme, serta menunjang komitmen dan disiplin.
Kelima, Peningkatan Peran Organisasi Masyarakat (NGO),
Masyarakat Sipil Pemerhati Pemilu. Masyarakat sipil dan organisasi
berfungsi sebagai pengawas Pemilu dan mengkritisi pemerintah, sehingga
keganjalan yang terjadi dilapangan dapat dilaporkan oleh masyarakat sipil.
Selain itu masyarakat sipil perlu dibentuk persepsinya sehingga memiliki
ideologi pancasila, memiliki integritas, kejujuran sehingga tidak tertarik
dengan politik uang.
Keenam, Peningkatan Kompetensi Peserta Pemilu melalui kaderisasi
partai politik. Membangun ideologi, visi, misi dan program kerja yang jelas,
terukur dan dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Membangun
integritas dan moral dengan melaksanakan kode etik dan pengawasan
internal secara berkesinambungan.
Ketujuh, Peningkatan efektifitas peran partai politik, memiliki
standar baku (SOP atau peraturan) sistem kaderisasi ketua dan anggota
Parpol, penilaian jelas dan terukur dalam perekrutan anggota parpol,
perekrutan dilakukan secara berkesinambungan dan berjenjang.

14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Perekrutan anggota transparan dan informasi dapat diakses oleh umum


(rekrutmen politik terbuka).
Menurut Fadli (2018), pendidikan masyarakat harus ditingkatkan
melalui pendidikan politik yang diberikan oleh Partai Politik ataupun
Penyelenggara Pemilu melalui sosialisasi tahapan Pemilu. Masyarakat
yang cerdas dapat dicirikan sebagai masyarakat yang melek politik, yang
mengetahui tentang situasi politik, tahapan pemilu serta mengetahui
program kerja, visi misi kandidat ataupun partai politik, serta rekam jejak
mereka. Dilain sisi, aktor politik disini juga harus diberikan sosialisasi
ataupun pendidikan untuk menyadarkan bahwa kemenangan Pemilu
hanyalah 10 sampai 15 persen saja yang dipengaruhi oleh money politic
sesuai dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya. Psikologi aktor politik yang selalu berfikir para
penantangnya akan melakukan hal serupa, sehingga tidak percaya diri
dengan apa yang mereka tawarkan.
Kedelapan, peningkatan efektifitas lembaga pengawasan internal
(inspektorat), pengawasan eksternal (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu. Ketiga lembaga ini berperan dalam mengendalikan
proses tahapan pemilu agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Politik uang dan mahar politik akan dicatat sebagai pelanggaran oleh
Bawaslu dengan bukti yang jelas dan akan ditindaklanjuti oleh lembaga
wewenang kepolisian dan kejaksaan jika terjadi tindak pidana. Sedangkan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menangani pelanggaran yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu jika terbukti sebagai penerima suap
politik uang sehingga menghilangkan integritas dan kode etik
penyelenggara.
Kesembilan, meningkatkan integritas dan kompetensi lembaga
penyelenggara Pemilu, dengan cara menyusun peraturan teknis,
penetapan keputusan strategis, pelaksanaan tahapan pemilu, dan pilkada
sesuai aturan dan kode etik yang berlaku. Rekrutmen penyelenggara
pemilu harus transparan dan mengutamakan independensi, integritas,
kompetensi dan keahlian.

15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Gambar 1.
Rekomendasi Pencegahan Politik Uang dan Mahar Politik Melalui Penguatan
Kelembagaan, Hukum, Stakeholder, dan Pembenahan Sistem Pemilu

- Partai Politik - Masyarakat cerdas


- Tokoh politik politik
INFR - Kandidasi Pemimpin
ASTR - Masyarakat/
transparan
Mulai UKTU Organisasi - Calon Pemimpin
R Masyarakat integritas, kompeten
- Pers/Media - Transparansi
- Universitas pengelolaan keuangan
Parpol
- Efektifitas fungsi pers
- Partai Politik - Masyarakat Sipil
- Calon, ideologi pancasila
- Masyarakt - Efektifitas pemantau
dan pengawas Pemilu

SUPRA
STRUK - Revisi UU Sanksi Tegas
TUR dan Jelas
- Legislatif - Peningkatan Politik
Politik Uang - Yudikatif kompetensi, integritas Uang
moral suprastruktur Dicegah
- Membentuk Pokja “Stop
Politik Uang dan Mahar
Politik”
- Teknologi pemantau
terintegrasi

- Sistem seleksi
SIST administrasi
EM PEMBENA - Calon
PEM - Sistem pendataan pemilih
HAN
ILU - Sistem kampanye,
- Sistem pemungutan
- Rekapitulasi suara.

Pembenahan Sistem Pemilu


Pembenahan dilakukan dengan cara mengganti sistem Pemilu lama
menjadi sistem Pemilu campuran yaitu mengkombinasikan sistem distrik
dan proporsional dengan perbandingan PR: 60:40 dan 50:50. Perbedaan
komposisi ini bertujuan untuk memperlihatkan dampak kombinasi
terhadap besaran daerah pemilihan dan kursi sehingga akan berguna
dalam proses pembuatan keputusan untuk menyederhanakan partai
secra alami, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ambang batas presiden
ataupun parlemen.
Sistem pemilu campuran dipilih untuk melengkapi kekurangan di
antara sistem distrik dan proporsional, dengan cara mengkombinasikan
antara sistem pemilu distrik dengan proporsional. Konsep perwakilan
proporsional mendesain perwakilan secara berimbang antara jumlah
wakil dengan jumlah perolehan suara secara nasional, sedangkan konsep
perwakilan distrik membagi wakil berdasarkan distrik pemilihan.

16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Di sisi lain sistem campuran juga menutup kelemahan dari sistem


distrik yaitu dengan tetap menggunakan sistem proporsional untuk
mengakomodir kelompok yang heterogen dan minoritas. Penerapan sistem
campuran dilakukan dengan langkah sebagai berikut: pertama, daerah
pemilihan terbagi atas daerah pemilihan berdasarkan sistem distrik dan
daerah pemilihan berdasarkan sistem proporsional. Kedua, terdapat dua
calon yang ikut dalam pemilu yaitu calon yang maju melalui sistem distrik
(mayoritarian) dan calon yang maju menggunakan sistem proporsional.
Pada sistem pemilu proporsional, dimana distribusi kursi di antara
partai politik peserta pemilu dibagi berdasarkan proporsi perolehan suara
secara nasional menurut jumlah bilangan pembagi tertentu. Sistem
pemilu proporsional cenderung memperbesar jumlah partai efektif yang
berdampak pada terbentuknya sistem multipartai. Polarisasi yang tercipta
dalam sistem multipartai tidak jarang memicu instabilitas pemerintahan
dan demokrasi, yang disebabkan oleh sulitnya menyatukan berbagai
kutub kepentingan yang saling bertabrakan. Sedangkan sistem distrik
pemenang suara terbanyak pertama mewakili distriknya, sedangkan calon
pemenang kedua, ketiga, dan seterusnya terbuang begitu saja tanpa
dapat diperhitungkan dan dijadikan bilangan pembagi dalam perolehan
kursi.
Hasil rekayasa menunjukan bahwa sistem pemilu paralel dapat
menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen. Sesuai
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhasim (2014) dengan data Pemilu
2009 menunjukkan pemenang Pemilu memperoleh 36% suara, sedangkan
hasil simulasi dengan data Pemilu 2014 menggambarkan pemenang
pemilu memperoleh 26% suara. Pembuktian atas bekerjanya Sistem
Pemilu Paralel di atas telah diuji coba oleh tim peneliti dengan melakukan
simulasi menggunakan data Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, bahwa Sistem
Pemilu Paralel dapat menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal di
parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan modifikasi campuran ini
membuka peluang untuk menutup kelemahan sistem pemilu sebelumnya,
yaitu meningkatkan hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak
terputus pasca pemilu pada akhirnya akan memperkuat sistem
presidensial, dapat meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg
instan menjelang pemilu yang merusak kaderiasasi partai politik.

Menekan Praktik Klientaslime Dalam Politik


Praktik klientalisme dapat ditekan dengan cara meningkatkan
sumber daya ekonomi yang berasal dari berbagai sektor. Menurut Ward &
Aspinal (2018) jika pada suatu wilayah sumber daya ekonomi berasal dari
sedikit sektor pemerintah maka besar kemungkinan praktik klientalisme
tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakatnya tergantung kepada sektor
pemerintahan sebagai sumber pendapatan, sehingga mereka cenderung
mengambil posisi yang aman dengan mendukung pemerintahan yang
berkuasa. Hal ini juga berlaku untuk legislatif, eksekutif, pers dan
organisasi non pemerintah lainnya. Kondisi yang berbeda terjadi pada
wilayah yang mempunyai lebih banyak ragam sektor ekonomi.
Masyarakat memiliki alternatif mata pencarian diluar sumber daya negara

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dan lebih memiliki peluang untuk menghadirkan figur alternatif yang


bebas dari praktik klientalisme (Ward&Aspinal, 2018).

Aspek Moneter
Solusi dari aspek moneter untuk menekan politik uang dapat
dilakukan melalui kerjasama dengan Perbankan. Pada bulan kampanye
dan pada saat hari tenang sampai pemungutan suara berlangsung
dilakukan kebijakan jangka pendek moneter. Jangka pendek moneter
dapat dilakukan dengan cara menekan pertumbuhan jumlah uang
beredar, melakukan mekanisme kontrol terhadap transaksi mencurigakan
dan penarikan tunai dalam jumlah sebesar tertentu pada saat pemilu, di
mana bank sentral independen dari pengaruh politik.

KESIMPULAN
Persoalan politik uang perlu dianalisis untuk mendapatkan strategi
efektif dalam pencegahannya. Politik uang tidak sesuai dengan prinsip
teori demokrasi yang menuntut adanya kebebasan dan keadilan. Pemilu
dikatakan adil apabila semua masyarakat memiliki hak yang sama untuk
memilih pemimpin dengan cara yang tidak melanggar aturan. Politik uang
dan mahar politik ampuh dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Sesuai
dengan teori perilaku pemilih bahwa pemilih yang cendrung rasional akan
menimbang untung dan ruginya. Persepsi rasional disini lebih cenderung
negatif karena mementingkan keuntungan pribadi secara ekonomi diatas
kepentingan negara sehingga munculnya krisis budaya politik, krisis
integritas, dan kepercayaan hukum. Pencegahan politik uang dapat
dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektifitas fungsi
suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik,
budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi
jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Aidt, Toke dkk. 2019. “Vote Buying or (Political) Business (Cycle) . Review of
Economics and Statistics Journal” . hal 1-45
Agustyati, Khoirunnisa. 2016. “Menata Ulang Mekanisme Pendaftaran
Pemilih Pilkada, Jurnal Pemilu dan Demokrasi”, Edisi April, No 8, hal
43-61
Dwipayana, Ari AAGN. 2009. “Demokrasi Biaya Tinggi: Dimensi Ekonomi
dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru”.
Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Volume 12, Nomor 3
Dwipayana, Ari AAGN. 2005. “cost of democracy di tiga kabupaten
Yogyakarta”: Fisip UGM. Hal.17-20
Dendy Lukmajati. 2016. “Praktek Politik Uang Dalam Pemilu Legislatif
2014 Studi Kasus Kabupaten Blora”. Politika: Jurnal Ilmu Politik.
Volume 7 Nomor 1

18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Edward, Aspinall dkk. 2017. “Vote Buying In Indonesia: Candidate


Strategies, Market Logic And Effectiveness. Journal of East
Asian Studies”. Vol 17 no. 1. hal 1-27
Eklit,Jorgen dan Andrew Reynolds. 2005. “Framework for the Systematic
Study of Election Quality. Journal Democratization”. Vol 12 No 2. hal
147-162.
Faris Nadisa Rahman.2010. “Persepsi pengaruh politik uang dan jaringan
sosial terhadap perilaku pemilih pada kemenangan pasangan calon dr.
Hj. Widya Kandi Susanti dan wakilnya H. Mukh Mustamsikin, S.Ag,
M.Si”. www.fisip.undip.ac.id
Holland, Alisha C., dan Brian Palmer-Rubin. 2015. “Beyond the Machine:
Clientelist Brokers and Interest Organizations in Latin America.
Comparative Political Studies Journal”. Vol 48 no 9 hal 1186–1223.
Irawan, Dedi. 2015. “Studi Tentang Politik Uang (Money Politics) dalam
Pemilu Legislatif Tahun 2014”.ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id. Vol. 2 No 4
Jensen, Peter Sandholt dan Morgan K. Justesen. 2013. “Poverty and Vote
Buying: Survey-based evidence from Africa (Accepted Manuscript) dalam
Electoral Studies” (2013), doi: 10.1016/j.electstud.2013.07.020
Mutahdi, Burhanuddin. 2019. “Politik Uang dan New Normal Dalam Pemilu
Paska Orde Baru.Jurnal Anti Korupsi Integritas”. Vol 5 no 1 hal 55-74
Nurhasim, Moch dan Sri Yanuarti. 2013. “Mencari Sistem Pemilu Dan
Kepartaian Yang Memperkuat Sistem Presidensial”. Vol 10 no 2.
Sri Wahyu Ananingsih.2016. “Tantangan dalam penanganan Dugaan
Praktik Politik Uang Pada Pilkada Serentak 2017”. Jurnal: Masalah-
Masalah Hukum, jilid 45 no. 1, halaman 49-57
Utari, Indah Sri. 2016. “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan
Pilkada yang berkualitas: Sebuah Revitalisasi Ideologi”.
journal.unnes.ac.id. Volume 2 Nomor 1
Vilalta, Carlos. 2010. “Vote buying crime reports in Mexico: Magnitude and
Corelate”. Crime, Law and Social Change An Interdisciplinary Journal.
Vol 54 no. 5 hal 325-337
Buku
Effendi, Tohir. 2001.“Teori Politik Modren”. PT. Raja Grafindo Persada
Hopkin, J.2006. “Clientelism and Party Politics. In Richard S. Katz &
William Crotty (eds.), Handbook of Party Politics”. London: Sage
Publication.
Internasional institute for Democracy and Electoral Assistance. 2017.
“Money, influence, corruption and capture:can democracy be
protected?”. www.idea.int
Indra Ismawan. 1999. “Money politic: pengaruh uang dalam pemilu”. Media
pressindo
Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA).2002. “Standar
International Untuk Pemilihan Umum”. Bulls Tryckeri
Imam Hidayat.2009. “Teori-teori Politik”. Setara Pers
Kenneth Newton dan Jan W Van Deth. 2010. “Perbandingan sistem politik
teori dan fakta”. Nusa Media
Zamora, Kevin Casas, dkk. International IDEA. 2006. “The cost of
democracy”. www.idea.int

19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tesis
Marli,Hasnul. 2018. “Integritas Penyelenggaraan Pemilu Dalam
Penyelenggaraan Pilkada Serentak Di Sumatera Barat Tahun 2015-
2017”. Tesis: Universitas Andalas
Opini
Delia Wildianti. 2018. “mahar Politik dan Korupsi sistemik”
http://www.puskapol.ui.ac.id
Fauziah Mursid, “Definisi mahar politik menurut Fadli zon”.
http://nasional.republik.co.id
Fadhli Ramadhani. 2018. “Cara Paling Efektif Berantas Politik Uang
Menurut Peneliti Perludem”. www.m.tribunnews.com
Kompas. “Bawaslu Proses 35 Kasus Dugaan Politik Uang di Pilkada 2018
Terbanyak di Sulsel”. https://nasional.kompas.com
Saleh, Taufikurrahman. 2006. “Surplus atau defisit demokrasi? Pilkada
dibanyak daerah”. Opini Jawa Pos.
Makalah
Bratton, Michael dan Mwangi Kimenyi.2008. “Voting in Kenya: Putting
Ethnicity in Perspective”. University of Connecticut, Department of
Economics
Wahyudi Kumorotomo.2009. “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi:
Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”. Makalah
Konfrensi Administrasi Negara. www.kumoro.staff.ugm.ac.id
Laporan
Badan Pengawas Pemilu. 2019. “Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019”.
diunduh pada tanggal 25 Mei 2019.
https://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/hasil_pengawasan/Dat
a%20Pelanggaran%20Pemilu%20Tahun%202019%20per%2025%20M
aret%202019.pdf
Badan Pengawas Pemilu.2014, 2015, 2018. “Indeks Kerawanan Pemilu”
Badan Pengawas Pemilu.2019. “Indeks Kerawanan Pemilu”
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Alla. 2018. “Indeks
Kerawanan Pemilu Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang”

Peraturan
UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPRD
UU no 1 tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
UU nomor 10 tahun 2016, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Peserta
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

20
REKRUTMEN DAN PELATIHAN PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN
(PPK) PADA PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI OGAN
KOMERING ULU TAHUN 2020

Taufik Hidayat
Program Tata Kelola Pemilu Batch V, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia
E-mail : fixday99@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Ogan Komering Ulu merupakan salah satu dari 9 provinsi, 224
kabupaten dan 37 kota di wilayah Indonesia yang menyelenggarakan Pemilihan
Kepala Daerah secara serentak. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah pada saat ini
telah memasuki tahapan pembentukan Badan Penyelenggara Adhoc. Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan rekrutmen
dan pelatihan terhadap Panitia Pemilihan Kecamatan. Penulis tertarik untuk
mengetahui dan menganalisis bagaimana proses rekrutmen Panitia Pemilihan
Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan bagaimana pengaruh pelatihan
terhadap peningkatan pengetahuan Panitia Pemilihan Kecamatan di Kabupaten
Ogan Komering Ulu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Teknik Pengumpulan data dengan cara observasi dan dengan cara memberikan
soal-soal pretest dan posttest kepada seluruh Panitia Pemilihan Kecamatan di
Kabupaten Ogan Komering Ulu. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ogan
Komering Ulu melaksanakan tahapan-tahapan perekrutan Panitia Pemilihan
Kecamatan Kabupaten Ogan Komering Ulu mulai dari pendaftaran sampai dengan
pelantikan dengan mempedomani peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Ogan Komering Ulu berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan
Panitia Pemilihan Kecamatan Kabupaten Ogan Komering Ulu.

Kata Kunci : Panitia Pemilihan Kecamatan, Rekrutmen, Pelatihan, Pemilihan


Kepala Daerah

THE RECRUITMENT AND TRAINING OF THE SUB DISTRICT ELECTION


COMMITTEES (PPK) OF THE REGENT AND DEPUTY REGENT 2020
ELECTION IN OGAN KOMERING ULU

ABSTRACT
The Ogan Komering Ulu is one of the Regency from 9 Provinces, 224 Regencies and
37 Cities in Indonesia which held the Simultaneous Regional Head Elections in
2020. The stage of the Regional Election has now entered the stage of forming Adhoc
election management body. The Ogan Komering Ulu General Election Commission
had carried out recruitment and training of the District Election Committees. The
author interested in figure out and analize the recruitment process of the Sub District
Election Committees in Ogan Komering Ulu Regency and the influence of the training
in improving knowledge of the Sub District Election Committee in Ogan Komering Ulu
Regency. This research used quantitative research method. Data collection
techniques were obtained by observing and giving pretest and post-test questions to
the entire Sub District Election Committees in Ogan Komering Ulu Regency. The Ogan
Komering Ulu General Election Commission implemented the recruitment stages of
the Ogan Komering Ulu Sub District Election Committee starting from the registration
until the inauguration guiding recent applicable laws and regulations. The result

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

shows that the training organized by the Ogan Komering Ulu General Election
Commission was significantly affected knowledge improvement of the Ogan
Komering Ulu Sub District Election Committees.

Keywords: District Election Committees, Recruitment, Training, Regional


Head Election

PENDAHULUAN
Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan serentak, diikuti oleh 9
Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di wilayah Indonesia. Tahapan
Pemilihan Kepala Daerah pada saat ini telah memasuki tahapan
pembentukan Badan Penyelenggara Adhoc yang dimulai pada tanggal 15
Januari sampai dengan 28 Agustus 2020 sesuai dengan Peraturan KPU
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor
15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan rekrutmen
dan pelatihan bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Ogan
Komering Ulu. Pelatihan yang diselenggarakan setelah acara pelantikan ini
menghasilkan dua output sekaligus yaitu terbentuknya PPK secara resmi
dan meningkatnya pengetahuan PPK tentang Kepemiluan. Hal ini
mencerminkan bahwa KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu memperhatikan
prinsip-prinsip good governance dengan berupaya mengelola anggaran
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 secara
efektif dan efisien.
Menurut Nurmansyah (2011:71), rekrutmen merupakan kegiatan
untuk mendapatkan tenaga kerja baru untuk mengisi lowongan-lowongan
jabatan yang ada pada unit-unit dalam perusahaan. Sedangkan menurut
Sonny dalam (Sinambela, 2016:169), pendidikan dan pelatihan merupakan
salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya
manusia, pendidikan dan latihan tidak hanya menambah pengetahuan,
tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja sehingga meningkatkan
produktivitas kerja.
Kegiatan pelatihan ini juga merupakan strategi KPU Kabupaten Ogan
Komering Ulu dalam upaya memperkuat kelembagaan, untuk mencegah
pelanggaran-pelanggaran yang dapat terjadi akibat kurangnya pemahaman
PPK dalam menjalankan tugas di lingkungan wilayah kerjanya.
Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan guna
mengetahui bagaimana proses rekrutmen PPK di Kabupaten Ogan
Komering Ulu dan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan yang
diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu terhadap
peningkatan pengetahuan PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu sebagai
bekal dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, demi
menyukseskan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu
Tahun 2020. Tugas, wewenang dan kewajiban PPK diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Penelitian terdahulu diteliti oleh Haris (2016) dengan judul penelitian


“Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD Dan DPRD Tahun 2014 di Kecamatan
Palasa Kabupaten Parigi Moutong”. Permasalahan Penelitiannya adalah
untuk mengetahui kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun
2014 di Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Metode penelitian
menggunakan jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil
penelitian menyatakan bahwa Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
Kecamatan Palasa belum maksimal dalam menghasilkan penyelenggaraan
pemilihan umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di
Kecamatan Palasa, yang didasarkan atas produktivitas, responsivitas, dan
akuntabilitas. Selain itu, keterbatasan kemampuan yang dimiliki anggota
PPK tidak lain adalah keterbatasan dalam pengetahuan, keterampilan,
maupun kompetensi serta kesibukan pada profesi lainnya dimana sebagian
besar anggota PPK belum pernah melaksanakan tugas Pemilu sebelumnya
sehingga banyak kekurangan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Aziza, A. D. (2016) dengan
judul “Rekrutmen dan Pembekalan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan
Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
di Samarinda Tahun 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota
Samarinda”. Permasalahan penelitiannya adalah untuk mengetahui
tahapan seleksi, bimbingan teknis yang dilakukan, dan faktor penghambat
serta faktor pendukung dalam kegiatan rekrutmen yang dilaksanakan
sebagai salah satu tugas dan wewenang dari KPU Kota Samarinda. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa KPU Kota Samarinda
menyelenggarakan rekrutmen anggota PPK dan PPS sesuai dengan
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2015 yang dimulai melalui sosialisasi
menyeluruh menggunakan media elektronik maupun cetak, selanjutnya
mengadakan tahap seleksi meliputi seleksi administrasi, tes tertulis dan
tes wawancara. Selanjutnya anggota yang terpilih akan mendapatkan
bimbingan teknis (Bimtek) seperti pembekalan Sumber Daya Manusia
(SDM) serta pengolahan data dan sistem informasi perhitungan suara
(Situng). Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh hasil kinerja yang
berkualitas dan bertanggung jawab melihat sebagian besar peserta adalah
orang-orang baru di jabatannya.
Penelitian berikutnya oleh Turambi, J. M. (2017) dengan judul
“Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Tomohon Barat
pada Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Tomohon Tahun 2015”. Permasalahan penelitiannya adalah penelitian ini
berupaya menggali aspek keunggulan dari kinerja PPK di Kecamatan
Tomohon Barat pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tomohon
Tahun 2015. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian adalah Iklim keterbukaan yang dibangun di dalam
organisasi PPK Tomohon Barat merupakan salah satu kunci keberhasilan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab PPK Tomohon Barat. Dari

3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

penelitian ini ditemukan bahwa aspek pengalaman, profesionalitas, dan


integritas menjadi kata kunci keberhasilan kinerja PPK Tomohon Barat.
Dari penelitian ini diperoleh pula temuan penting bahwa aspek leadership
merupakan kunci keberhasilan manajemen organisasi. Sementara itu pola
human relation yang diterapkan, menjadi salah satu kunci keberhasilan
kinerja PPK Tomohon Barat.
Penelitian terdahulu di atas mempunyai persamaan dengan
penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang PPK, namun
perbedaannnya adalah dalam penelitian ini lebih fokus membahas proses
rekrutmen PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan bagaimana pengaruh
pelatihan yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu
terhadap peningkatan pengetahuan PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif, menggunakan one group pretest-posttest design. “M
Sugiyono (2012:110) menyatakan bahwa one group pretest-posttest design
adalah suatu teknik untuk mengetahui efek sebelum dan sesudah
pemberian perlakuan. Secara bagan, desain kelompok tunggal desain
pretest dan posttest dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
One group pretest-posttest design

Pretest treatment Posttest

O1 X O2

O1 = nilai pretest (sebelum diberi treatment)


O2 = nilai posttest (setelah diberi treatment)
X = treatment (pelatihan)
Sumber : Sugiyono (2012: 111)

Teknik Pengumpulan data dengan cara observasi dan dengan cara


memberikan soal-soal pretest dan posttest kepada seluruh PPK Kabupaten
Ogan Komering Ulu. Menurut Anas Sudijono (1996:69), Pretest atau tes
awal yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh
manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat
dikuasai oleh siswa. Sedangkan menurut Anas Sudijono (1996:70), Posttest
atau tes akhir adalah tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengetahui apakah semua materi yang tergolong penting sudah dapat
dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh siswa.
Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis
statistik inferensial dengan tipe statistik parametrik. Perangkat lunak yang
dipakai adalah IBM SPSS Statistics version 26.0. Ce Gunawan (2020:22)
menyatakan bahwa Statistik deskriptif lebih kepada bagaimana
menggambarkan atau mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pengumpulan, peringkasan serta penyajian hasil dari peringkasan
data, seperti: mean, median, modus, quartile, varians, dan standar deviasi.
4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Statistik inferensial dapat digunakan untuk membuat berbagai


inferensi terhadap sekumpulan data yang berasal dari suatu sampel.
Statistik parametrik merupakan salah satu tipe dari statistik inferensial,
digunakan dengan syarat data harus berdistribusi normal. Pengujian yang
dipakai dalam statistik parametrik adalah uji perbedaan terdiri dari
independent sample t test, paired sample t test, one sample t test, serta uji
asosiasi terdiri dari korelasi, Chi square, regresi (Jubile Enterprise, 2018:9).

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Rekrutmen PPK
PPK harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan agar
memenuhi kualifikasi dan kompetensi dalam melaksanakan tugas,
wewenang dan kewajibannya. Syarat untuk menjadi anggota PPK
diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun
2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Komisi Independen
Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja
yang menangani bidang Sumber Daya Manusia. Jumlah PPK adalah 5
orang untuk setiap kecamatan. Jumlah kecamatan di Kabupaten Ogan
Komering Ulu adalah 13 kecamatan, maka jumlah PPK di Kabupaten
Ogan Komering Ulu adalah 65 orang.
Biaya perekrutan dan pelatihan PPK Kabupaten Ogan Komering
Ulu Tahun 2020 direalisasikan sesuai dengan anggaran hibah
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020,
yang telah disusun berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor
1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan Petunjuk
Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa dan
Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil
Wali Kota Tahun 2020 beserta perubahannya, dengan mempedomani
prinsip-prinsip keuangan Pemilu yaitu transparan, integritas, efektif
dan efisien. Anggaran hibah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan
Komering Ulu Tahun 2020 dari Pemerintah Kabupaten Ogan Komering
Ulu kepada KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu, diregister ke
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR)
sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran ini
menggunakan standar mekanisme APBN. Keputusan KPU RI Nomor
88/Kpts/KPU/TAHUN 2016 menyatakan bahwa “Proses registrasi
hibah merupakan entry point untuk memasukan hibah dalam
mekanisme APBN, tanpa adanya nomor register akan berpengaruh
terhadap proses pelaksanaan dan pertanggungjawaban hibah
selanjutnya”.

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu mempersiapkan perencanaan


rekrutmen dengan membuat timeline pembentukan PPK Kabupaten
Ogan Komering Tahun 2020, dimulai dari pengumuman seleksi hingga
penetapan keputusan dan pelantikan PPK terpilih.
Tabel 1
Timeline Pembentukan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2020
No Kegiatan Durasi Tanggal
1 Pengumuman 3 hari 15-17 Januari 2020
2 Penerimaan Pendaftaran 7 hari 18-24 Januari 2020
3 Penelitian Administrasi 3 hari 25-27 Januari 2020
4 Pegumuman Hasil Penelitian 2 hari 28-29 Januari 2020
Administrasi
5 Seleksi Tertulis 1 hari 30 Januari 2020
6 Pemeriksaan Hasil Seleksi 3 hari 31 Januari -
Tertulis 2 Februari 2020
7 Pengumuman Hasil Seleksi 3 hari 3-5 Februari 2020
Tertulis
8 Tanggapan Masyarakat 9 hari 28 Januari -
Tahap I 5 Februari 2020
9 Wawancara 3 hari 8-10 Februari 2020
10 Pengumuman Hasil Seleksi 7 hari 15-21 Februari 2020
Wawancara (10 besar)
11 Tanggapan Masyarakat 7 hari 15-21 Februari 2020
Tahap II
12 Klarifikasi Tanggapan 4 hari 22-25 Februari 2020
Masyarakat Tahap II
13 Pengumuman Pasca Hasil 3 hari 26-28 Februari 2020
Klarifikasi Tanggapan
Masyarakat Tahap II
14 Pelantikan PPK 1 hari 29 Februari 2020
Sumber: diperoleh dari sumber data primer.

Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal


10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020, menyatakan bahwa dalam hal
sampai dengan masa pendaftaran berakhir tidak ada peserta yang
mendaftar atau kurang dari 2 (dua) kali jumlah PPK yang dibutuhkan, KPU
Kabupaten/Kota membuka perpanjangan waktu pendaftaran selama 3
(tiga) hari, sedangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, peserta yang
mendaftar lebih dari 2 (dua) kali jumlah PPK yang dibutuhkan, sehingga
tidak ada perpanjangan waktu pendaftaran.
Rekrutmen PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu berpedoman pada:
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan


Walikota Menjadi Undang-Undang;
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
c. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3
Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi/Komisi Independen Pemilihan Aceh dan
Komisi Pemilihan Umum /Komisi Independen Pemilihan
Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia
Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja yang
menangani bidang Sumber Daya Manusia; dan
d. Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10
Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020.
Tabel 2
Jumlah Peserta Rekrutmen Anggota PPK
Peserta Jumlah
Peserta yang mendaftar 314 orang
Peserta yang lulus seleksi administrasi 254 orang
Peserta yang lulus tes tertulis 125 orang
Peserta yang lulus tes wawancara 123 orang
Peserta yang terpilih 65 orang
Sumber: diperoleh dari sumber data primer

KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu menetapkan keputusan Nomor


45/PP.04.2-Kpt/1601/KPU-Kab/II/2020 tanggal 28 Februari 2020
tentang Penetapan dan Pengangkatan Panitia Pemilihan Kecamatan
Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pelantikan PPK Kabupaten Ogan Komering
Ulu dilaksanakan pada tanggal 29 Februari 2020. PPK Kabupaten Ogan
Komering Ulu mengucapkan sumpah/janji sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Setelah mengucapkan sumpah/janji, PPK Kabupaten
Ogan Komering Ulu menandatangani Pakta Integritas sebagaimana yang
tercantum dalam Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-
SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020.

2. Pelatihan
Pretest diberikan setelah pelantikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu
atau sebelum pembekalan pelatihan dimulai, sedangkan Posttest diberikan
setelah pembekalan pelatihan selesai atau sebelum acara penutupan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Slamet Riyanto & Aglis Andhita
Hatmawan (2020:100) yang menyatakan bahwa data pretest diperoleh
sebelum sample mendapatkan treatment atau perlakukan khusus dan data

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

posttest diperoleh setelah sample mendapatkan treatment atau perlakukan


khusus.
Tabel 3
Jadwal Acara Pelantikan dan Pembekalan
PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2020
No Tanggal Pukul (WIB) Acara Keterangan
1 29/02/2020 08:00-09:00 Registrasi Panitia
09:00-10:00 Pelantikan
10:00-10:15 Coffee Break
10:15-12:15 Materi 1 Pemateri
12:15-13:30 Ishoma
13:30-15:30 Materi 2 Pemateri
15:30-16:00 Coffee Break
16:00-18:00 Materi 3 Pemateri
18:00-20:00 Ishoma
18:00-20:00 Materi 4 Pemateri
2 01/03/2020 09:00-11:30 Materi 5 Pemateri
11:30-12:00 Penutupan
Sumber: diperoleh dari sumber data primer

Tabel 4
Muatan Soal Pretest dan Posttest
No Muatan Soal Jumlah
1 Sejarah Kepemiluan 1 soal
2 Sistem Pemilu di Indonesia 1 soal
3 Tokoh Nasional 1 soal
4 Penyelenggara Pemilu 1 soal
5 Asas Penyelenggaraan Pemilu 1 soal
6 Prinsip Penyelenggaraan Pemilu 1 soal
7 Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu 1 soal
8 Tugas Panitia Pemilihan Kecamatan 1 soal
9 Wewenang Panitia Pemilihan Kecamatan 1 soal
10 Kewajiban Panitia Pemilihan Kecamatan 1 soal
11 Tugas Panitia Pemungutan Suara 1 soal
12 Wewenang Panitia Pemungutan Suara 1 soal
13 Kewajiban Panitia Pemungutan Suara 2 soal
14 Perundang-Undangan 1 soal
15 Masa Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan 1 soal
16 Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara 1 soal
17 Sistem Informasi KPU 1 soal
18 Peran Pemerintah Daerah 1 soal
19 Pidana Pemilu 1 soal
20 Prinsip Pengelolaan Anggaran Pemilu 1 soal
21 Indeks Kerawanan Pilkada 2020 1 soal
Jumlah 22 soal
Sumber: Hasil Olahan, 2020

8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tabel 5
Data PPK pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu
Tahun 2020
Jenis
No PPK Pendidikan Usia Pengalaman
Kelamin
1 Baturaja Barat Laki-Laki Strata 1 48 Ya
2 Baturaja Barat Laki-Laki SLTA/Sederajat 27 Tidak
3 Baturaja Barat Laki-Laki Strata 1 32 Ya
4 Baturaja Barat Laki-Laki SLTA/Sederajat 30 Tidak
5 Baturaja Barat Laki-Laki Strata 1 59 Tidak
6 Baturaja Timur Laki-Laki Diploma 3 31 Ya
7 Baturaja Timur Laki-Laki Strata 1 32 Tidak
8 Baturaja Timur Laki-Laki Strata 1 35 Ya
9 Baturaja Timur Laki-Laki Strata 1 46 Ya
10 Baturaja Timur Laki-Laki SLTA/Sederajat 39 Tidak
11 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 35 Ya
Raya
12 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 37 Ya
Raya
13 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 44 Tidak
Raya
14 Kedaton Peninjauan Laki-Laki Diploma 3 29 Tidak
Raya
15 Kedaton Peninjauan Laki-Laki Strata 1 28 Tidak
Raya
16 Lengkiti Laki-Laki Strata 1 36 Ya
17 Lengkiti Laki-Laki SLTA/Sederajat 32 Tidak
18 Lengkiti Laki-Laki SLTA/Sederajat 30 Tidak
19 Lengkiti Laki-Laki SLTA/Sederajat 44 Ya
20 Lengkiti Laki-Laki SLTA/Sederajat 40 Ya
21 Lubuk Batang Laki-Laki Diploma 3 40 Tidak
22 Lubuk Batang Laki-Laki SLTA/Sederajat 38 Tidak
23 Lubuk Batang Laki-Laki SLTA/Sederajat 36 Ya
24 Lubuk Batang Laki-Laki Strata 1 28 Tidak
25 Perempua SLTA/Sederajat 30 Tidak
Lubuk Batang n
26 Lubuk Raja Laki-Laki SLTA/Sederajat 39 Tidak
27 Lubuk Raja Laki-Laki Strata 1 40 Tidak
28 Lubuk Raja Laki-Laki SLTA/Sederajat 39 Tidak
29 Lubuk Raja Laki-Laki SLTA/Sederajat 49 Ya
30 Perempua Strata 1 33 Ya
Lubuk Raja n
31 Muara Jaya Laki-Laki SLTA/Sederajat 34 Tidak
32 Muara Jaya Laki-Laki Strata 1 27 Tidak
33 Muara Jaya Laki-Laki Diploma 3 35 Ya

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Jenis
No PPK Pendidikan Usia Pengalaman
Kelamin
34 Muara Jaya Laki-Laki Strata 1 31 Ya
35 Muara Jaya Laki-Laki Diploma 3 38 Ya
36 Pengandonan Laki-Laki Diploma 3 29 Ya
37 Pengandonan Laki-Laki Strata 1 31 Ya
38 Perempua Strata 1 37 Tidak
Pengandonan n
39 Pengandonan Laki-Laki Strata 1 34 Ya
40 Pengandonan Laki-Laki SLTA/Sederajat 46 Tidak
41 Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 33 Tidak
42 Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 41 Tidak
43 Perempua SLTA/Sederajat 32 Ya
Peninjauan n
44 Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 47 Ya
45 Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 37 Ya
46 Semidang Aji Laki-Laki Diploma 3 38 Tidak
47 Semidang Aji Laki-Laki Strata 1 37 Ya
48 Semidang Aji Laki-Laki Strata 1 37 Tidak
49 Semidang Aji Laki-Laki SLTA/Sederajat 41 Tidak
50 Semidang Aji Laki-Laki Strata 1 32 Ya
51 Sinar Peninjauan Laki-Laki Strata 1 32 Ya
52 Perempua Strata 1 30 Tidak
Sinar Peninjauan n
53 Sinar Peninjauan Laki-Laki Strata 1 26 Tidak
54 Sinar Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 40 Tidak
55 Sinar Peninjauan Laki-Laki Strata 1 25 Tidak
56 Sosoh Buay Rayap Laki-Laki Strata 1 36 Tidak
57 Sosoh Buay Rayap Laki-Laki SLTA/Sederajat 34 Ya
58 Sosoh Buay Rayap Laki-Laki SLTA/Sederajat 32 Tidak
59 Sosoh Buay Rayap Laki-Laki Strata 1 23 Tidak
60 Sosoh Buay Rayap Laki-Laki Strata 1 51 Tidak
61 Ulu Ogan Laki-Laki SLTA/Sederajat 34 Tidak
62 Ulu Ogan Laki-Laki Strata 1 29 Ya
63 Ulu Ogan Laki-Laki Strata 1 31 Ya
64 Ulu Ogan Laki-Laki SLTA/Sederajat 50 Tidak
65 Ulu Ogan Laki-Laki Strata 1 33 Ya
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Data PPK pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu
Tahun 2020 beserta hasil pretest dan posttest dianalisis menggunakan
analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial.

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

a. Analisis Statistik Deskriptif


Analisis Statistik Deskriptif berguna untuk memaparkan dan
menggambarkan data penelitian, mencangkup jumlah data, nilai
minimal, nilai maksimal, nilai rata-rata, dan standar deviasi.

Tabel 6
Analisis Deskriptif Hasil pretest dan posttest
Descriptive Statistics
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Pretest 65 14 86 49.00 17.166
Posttest 65 27 91 63.23 16.028
Valid N (listwise) 65
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Terdapat peningkatan nilai PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu setelah
diberikan pelatihan, nilai minimum meningkat sebesar 13 poin atau
48,14% dari 14 poin menjadi 27 poin dan nilai maksimum PPK meningkat
sebesar 5 poin atau 5,49% poin dari 86 poin menjadi 91 poin.

Tabel 7
Analisis Deskriptif Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Laki-Laki 60 92.3 92.3 92.3
Perempuan 5 7.7 7.7 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Hasil Olahan, 2020

PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu berjumlah 65 orang terdiri dari 60


orang laki-laki atau 92,3%, dan 5 orang perempuan atau 7,7% yang
tersebar di wilayah kerja PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu.

Tabel 8
Analisis Deskriptif Pendidikan
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Strata 1 29 44.6 44.6 44.6
SLTA / 29 44.6 44.6 89.2
Sederajat
Diploma 3 7 10.8 10.8 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Syarat pendidikan untuk menjadi anggota PPK adalah paling rendah


sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sederajat. PPK Kabupaten Ogan
Komering Ulu yang berpendidikan SLTA/sederajat berjumlah 29 orang

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

atau 44,6%, berpendidikan Diploma 3 berjumlah 7 orang atau 10,8%,


berpendidikan strata 1 berjumlah 29 orang atau 44,6%.

Tabel 9
Analisis Deskriptif Usia
Kelompok Usia
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 17 - 25 tahun 2 3.1 3.1 3.1
26 - 35 tahun 33 50.8 50.8 53.8
36 - 45 tahun 22 33.8 33.8 87.7
46 - 55 tahun 7 10.8 10.8 98.5
56 - 65 tahun 1 1.5 1.5 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Syarat usia untuk menjadi anggota PPK adalah paling rendah 17 (tujuh
belas) tahun. PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu yang masuk dalam
kategori remaja akhir berjumlah 2 orang atau 3,1%, kategori dewasa awal
berjumlah 33 orang atau 50,8%, kategori dewasa akhir berjumlah 22 orang
atau 33,8 persen, kategori lansia awal berjumlah 7 orang atau 10,8%,
kategori lansia akhir berjumlah 1 orang atau 1,5%.
Kategori usia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2009 yaitu sebagai berikut :
1. Masa balita usia 0 sampai dengan 5 tahun;
2. Masa kanak-kanak usia 5 sampai dengan 11 tahun;
3. Masa remaja awal usia 12 sampai dengan 16 tahun;
4. Masa remaja akhir usia 17 sampai dengan 25 tahun;
5. Masa dewasa awal usia 26 sampai dengan 35 tahun;
6. Masa dewasa akhir usia 36 sampai dengan 45 tahun;
7. Masa lansia awal usia 46 sampai dengan 55 tahun;
8. Masa lansia akhir usia 56 sampai dengan 65 tahun;
9. Masa manula usia 65 tahun ke atas.

Tabel 10
Analisis Deskriptif Pengalaman
Pengalaman
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 29 44.6 44.6 44.6
Tidak 36 55.4 55.4 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Hasil Olahan, 2020.

PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu yang berpengalaman sebagai


penyelenggara Pemilu berjumlah 29 orang atau 44,6%, yang belum
berpengalaman berjumlah 36 orang atau 55,4%. Namun pengalaman PPK
dibatasi dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2017, salah satu syarat
untuk menjadi anggota PPK yaitu belum pernah menjabat 2 (dua) kali

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

periode penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan dalam tingkatan yang sama


sebagai anggota PPK.

b. Analisis statistik inferensial dengan tipe statistik parametrik


1. Uji Normalitas
Untuk mengetahui data penelitian berdistribusi normal atau tidak
dilakukan uji normalitas (Kolmogorov-Smirnova dan Shapiro-Wilk).
Syarat mutlak uji paired sample t test dan uji independent sample t test
adalah data harus berdistribusi normal.
Tabel 11
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Test
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Pretest .131 65 .007 .965 65 .066
Hasil
Posttest .114 65 .037 .964 65 .053
a. Lilliefors Significance Correction
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Berdasarkan output di atas diketahui nilai signifikansi (Sig.) untuk


semua data baik pada uji kolmogorov –smirnov maupun uji shapiro-wilk
lebih besar dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian
berdistribusi normal. Karena data penelitian berdistribusi normal,
maka analisis data dapat dilanjutkan dengan menggunakan statistik
parametrik (uji paired sample t test dan uji independent sample t test)
untuk melakukan analisis data penelitian.

2. Uji paired sample t test


Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata dua sampel
yang berpasangan dilakukan uji paired sample t test. Persyaratan dalam
uji paired sample t test adalah data harus berdistribusi normal,
berdasarkan hasil uji normalitas menyatakan bahwa data penelitian
berdistribusi normal. Untuk varian data homogen bukanlah
merupakan persyaratan dalam uji paired sample t test. Uji paired
sample t test dalam penelitian ini dipakai untuk mengetahui apakah
pelatihan berpengaruh terhadap pengetahuan PPK Kabupaten Ogan
Komering Ulu. Untuk itu, uji paired sample t test dilakukan terhadap
data pretest dan posttest.
Tabel 12
Uji Paired Samples Test
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence Sig.
Std. Std.
Interval of the T Df (2-
Mean Devia- Error
Difference tailed)
tion Mean
Lower Upper
Pair Pretest - -14.231 11.393 1.413 -17.054 -11.408 -10.070 64 .000
1 Posttest
Sumber: Hasil Olahan, 2020

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Berdasarkan output Pair 1 diperoleh nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,000


lebih kecil dari 0,05, maka dapat dijelaskan bahwa ada perbedaan rata-
rata hasil pelatihan untuk pretest dengan posttest. Hal ini berarti bahwa
ada pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan PPK Kabupaten Ogan
Komering Ulu.

3. Uji Homogenitas
Guna mengetahui suatu varian data bersifat homogen atau heterogen
dilakukan uji homogenitas. Data yang homogen merupakan salah satu
syarat tetapi tidak mutlak dalam uji independent sample t test. Dalam
penelitian ini, uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah
varian data hasil pretest dan data posttest bersifat homogen atau tidak.
Tabel 13
Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variance
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Hasil Based on Mean .062 1 128 .803
Based on Median .103 1 128 .749
Based on Median and with .103 1 119.840 .749
adjusted df
Based on trimmed mean .052 1 128 .820
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Berdasarkan hasil di atas diperoleh nilai signifikansi (Sig.) Based on


Mean adalah sebesar 0,803 lebih besar dari 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa varian data pretest dan data posttest adalah
homogen. Dengan demikian, maka salah satu syarat, tetapi tidak
mutlak dari uji independent sample t test sudah terpenuhi.

4. Uji Independent sample t test


Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaaan rata-rata dua sampel
yang tidak berpasangan dilakukan uji independent sample t test.
Persyaratan pokok dalam uji independent sample t test adalah data
harus berdistribusi normal dan homogen (tidak mutlak). Dari analisis
di atas, maka hasil yang diperoleh adalah data berdistribusi normal dan
homogen. Guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
bagaimana pengaruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan
PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu, maka data hasil pretest PPK
Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan data hasil posttest PPK
Kabupaten Ogan Komering Ulu diuji dengan menggunakan independent
sample t test.

14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tabel 14
Uji Independent Sample Test

Sumber: Hasil Olahan, 2020

Berdasarkan output di atas, pengaruh pelatihan terhadap peningkatan


pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu diperoleh nilai Sig. (2
tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 artinya ada pengaruh
signifikan rata-rata pengetahuan sebelum diberikan pelatihan dengan
sesudah diberikan pelatihan.
5. Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Pretest
Untuk menganalisis pengaruh jenis kelamin dengan hasil pretest,
penulis menggunakan Chi-Square Test dari aplikasi SPSS Statistics
26.0. Ketentuannya jika nilai Asymptotic Significance lebih kecil dari
0,05, maka terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin
dengan hasil pretest. Namun, jika nilai Asymptotic Significance lebih
besar dari 0,05, maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
jenis kelamin dengan hasil pretest.

Tabel 15
Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Pretest
Chi-Square Tests
Value Df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 14.836a 15 .463
Likelihood Ratio 11.881 15 .688
Linear-by-Linear .144 1 .704
Association
N of Valid Cases 65
a. 28 cells (87.5%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .08.
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic


Significance adalah 0,463 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh yang

15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

signifikan dengan nilai hasil pretest PPK Kabupaten Ogan Komering


Ulu.

6. Pengaruh Jenis Kelamin dan Hasil Posttest


Tabel 16
Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Posttest

Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 7.845a 13 .854
Likelihood Ratio 9.313 13 .749
Linear-by-Linear .037 1 .847
Association
N of Valid Cases 65
a. 22 cells (78.6%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .08.
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic
Significance adalah 0,854 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan dengan nilai hasil posttest PPK Kabupaten Ogan Komering
Ulu.

7. Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Pretest


Tabel 17
Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Pretest
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 42.487a 30 .065
Likelihood Ratio 41.774 30 .075
Linear-by-Linear .780 1 .377
Association
N of Valid Cases 65
a. 46 cells (95.8%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .11.
Sumber: Hasil Olahan, 2020

Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic


Significance adalah 0,065 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan tingkat pendidikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest yang
diperolehnya.

16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

8. Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Posttest


Tabel 18
Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Posttest
Chi-Square Tests
Value Df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 21.208 a 26 .731
Likelihood Ratio 23.456 26 .607
Linear-by-Linear .315 1 .575
Association
N of Valid Cases 65
a. 42 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .11.
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic
Significance adalah 0,731 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa tingkat pendidikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest
yang diperolehnya.

9. Pengalaman dengan Hasil Pretest


Tabel 19
Analisis Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Pretest
Chi-Square Tests
Value Df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 11.490a 15 .717
Likelihood Ratio 14.544 15 .485
Linear-by-Linear .002 1 .965
Association
N of Valid Cases 65
a. 30 cells (93.8%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .45.
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic
Significance adalah 0,717 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa pengalaman PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest.

10. Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Posttest


Tabel 20
Analisis Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Posttest
Chi-Square Tests
Value Df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 9.793a 13 .711
Likelihood Ratio 11.779 13 .546
Linear-by-Linear .401 1 .526
Association
N of Valid Cases 65
a. 27 cells (96.4%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .45.
Sumber: Hasil Olahan, 2020

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic


Significance adalah 0,711 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa pengalaman PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest.

11. Pengaruh Usia dengan Hasil Pretest


Tabel 21
Analisis Pengaruh Usia dengan Hasil Pretest
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 58.561a 60 .528
Likelihood Ratio 47.820 60 .872
Linear-by-Linear 1.480 1 .224
Association
N of Valid Cases 65
a. 79 cells (98.8%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .02.
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic
Significance adalah 0,528 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa usia PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest yang
diperolehnya.

12. Pengaruh usia dengan Hasil Posttest


Tabel 22
Analisis Pengaruh Usia dengan Hasil Posttest
Chi-Square Tests
Value Df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 98.602 a 52 .000
Likelihood Ratio 53.029 52 .434
Linear-by-Linear .984 1 .321
Association
N of Valid Cases 65
a. 69 cells (98.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is .02.
Sumber: Hasil Olahan, 2020
Dari hasil Chi-Square Test sebagaimana tabel di atas, nilai Asymptotic
Significance adalah 0,000 yaitu lebih kecil dari 0,05, maka dapat
diartikan bahwa usia PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu mempunyai
pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest yang diperolehnya,
dengan kata lain faktor usia mempengaruhi daya serap pengetahuan,
sehingga berpengaruh terhadap nilai hasil posttest.

KESIMPULAN
1. KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan tahapan-
tahapan perekrutan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu mulai dari
pendaftaran sampai dengan pelantikan dengan mempedomani Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016,

18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

PKPU Nomor 13 Tahun 2017 dan Surat Ketua KPU RI Nomor


12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang
pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan
Serentak Tahun 2020.
2. Pelatihan yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering
Ulu berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan PPK
Kabupaten Ogan Komering Ulu.
3. Dari hasil analisis, terdapat pengaruh yang signifikan antara usia
dengan hasil posttest. Hal ini berarti faktor usia mempengaruhi daya
serap pengetahuan, sehingga berpengaruh terhadap nilai hasil posttest
PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. Sedangkan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, serta pengalaman tidak mempunyai Pengaruh yang
signifikan dengan hasil pretest maupun posttest.

SARAN
1. Penulis menyarankan kepada KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu, agar
PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu diberikan pelatihan-pelatihan
lainnya terutama berkaitan dengan teknis kepemiluan, seperti
pelatihan penyusunan daftar pemilih, pelatihan manajemen logistik,
serta pelatihan pemungutan dan penghitungan suara.
2. Penulis menyarankan kepada akademisi agar turut serta meneliti lebih
dalam tentang Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan
Suara dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, karena badan
adhoc merupakan bagian dari penyelenggara yang tidak kalah penting
yang turut serta berperan dalam suksesnya penyelenggaraan suatu
Pemilihan.

DAFTAR PUSTAKA
Anas, Sudijono. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Aziza, A. D. 2016. Rekrutmen dan Pembekalan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) di Samarinda Tahun 2015 oleh KPU (KPU)
Kota Samarinda. eJournal Ilmu Pemerintahan, 4 (4): 1489-1498.
Enterprise, Jubilee. 2018. Lancar Menggunakan SPSS untuk Pemula.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Gunawan, Ce. 2020. Mahir Menguasai SPSS Panduan Praktis Mengolah
Data Penelitian. Yogyakarta: Deepublish.
Haris. 2016. Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD Dan DPRD
Tahun 2014 di Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal
Untad. 4 (4) : 4.
Nurmansyah. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu Pengantar.
Pekanbaru: Unilak Press.
Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja
Grafindo.

19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Riyanto, Slamet dan Aglis Andhita Hatmawan. 2020. Metode Riset


Penelitian Kuantitatif Penelitian di Bidang Manajemen, Teknik,
Pendidikan dan Eksperimen. Yogyakarta: Deepublish.
Sinambela, L.P. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Afabeta.
Turambi, J. M. 2017. Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
Kecamatan Tomohon Barat pada Penyelenggaraan Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Kota Tomohon Tahun 2015. Jurnal Unsrat.
6(1): 1.

Peraturan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/ Komisi Independen
Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja
yang menangani bidang Sumber Daya Manusia.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 15
Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
88/Kpts/KPU/TAHUN 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pengelolaan, Penyaluran Dan Pertanggungjawaban Penggunaan
Anggaran Dana Hibah Untuk Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur
Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota
Dan Wakil Walikota

20
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor


1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan
Petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa
dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil
Wali Kota Tahun 2020.
Surat Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang
pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan
Serentak Tahun 2020.

21
PROBLEMATIKA PELAPORAN DANA KAMPANYE PADA
PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019

Rudi Hermanto
Program Tata Kelola Pemilu Batch II , Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia
E-mail: rudihermanto1980@yahoo.com

ABSTRAK
Pendanaan kampanye adalah salah satu faktor penentu kemenangan pada
kompetisi Pemilu 2019. Tranparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye
sangat menentukan integritas Pemilu di Indonesia. Tulisan ini mengkaji laporan
dana kampanye partai politik peserta Pemilu 2019 dengan fokus pada aspek
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, serta kepatuhan pada aturan dana
kampanye yang berlaku. Melalui metode kualitatif dengan menggunakan data
sekunder, berupa Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK)
dan Laporan Asuransi Independen dari Kantor Akuntan Publik ditemukan bahwa
penerimaan dana kampanye partai politik Peserta Pemilu 2019 didominasi oleh
sumbangan dari calon legislatif dan pengeluaran terbanyak dana kampanye
berasal dari jasa kampanye. Hasil audit memperlihatkan masih adanya
ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye dari
mayoritas partai politik. Lemahnya sanksi diduga menjadi salah satu penyebab,
disamping regulasi dana kampanye yang belum mengatur batasan sumbangan
dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, serta batasan pengeluaran
dana kampanye sehingga prinsip kesetaraan dan prinsip keadilan Pemilu
tercederai.

Kata Kunci: dana kampanye, calon legislatif, partai politik, pemilu 2019

PROBLEMATIC REPORTING OF CAMPAIGN FUNDS IN THE


2019 LEGISLATIVE ELECTIONS
ABSTRACT
Campaign funding is one of the determining factors of victory in the 2019 Election
competition. Transparency and accountability of campaign finance reports highly
determine the integrity of elections in Indonesia. This paper reviews the campaign
finance reports of political parties participating in the 2019 Election with focus on
aspects of revenue and expenditure campaign funds, as well as compliance with
applicable campaign finance rules. Through qualitative methods using secondary
data, in the form of Reports on Revenue and Expenditure of Campaign Funds
(LPPDK) and Independent Insurance Reports from Public Accountant Offices, it was
found that the revenue of campaign funds for political parties participating in the
2019 Election was dominated by contributions from legislative candidates and most
expenditure for campaign funds came from campaign services. The audit results
show that there is still a lack of transparency and disobedience with the campaign
finance rules on majority of political parties. Weak sanctions are presumed to be one
of the causes, in addition regulation of campaign funds that have not set yet
limitation of campaign fund contributions from political parties and candidates, as
well as limitation on expenditure of campaign funds so that the principle of equality
and the principle of electoral justice are defective.

Keywords: campaign funds, legislative candidate, political parties, 2019


election

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

PENDAHULUAN
Kampanye merupakan tahapan krusial dalam pemilu dimana
pasangan calon dan calon legislatif akan berlomba menawarkan visi dan
misi serta program kerja jika terpilih kepada pemilih sebagai pemilik
kedaulatan dalam negara demokrasi. Kampanye sejatinya adalah
sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengenal
sosok calon pemimpin dan model pengelolaan negara yang ditawarkan.
Pendanaan kampanye menjadi penting karena akan menjadi salah satu
faktor penentu kemenangan kandidat, disamping faktor-faktor lainnya.
Karena kerja-kerja dalam kampanye membutuhkan pembiayaan tim
sukses, logistik, ongkos sosialisasi kepada pemilih, iklan media dan survei
elektabilitas.
Salah satu faktor yang menghalangi proses politik untuk mencapai
demokrasi yang ideal dibanyak negara adalah pengaruh uang. Uang
menjadi sangat penting untuk politik demokrasi, juga bisa menjadi alat
untuk mempengaruhi proses politik dengan cara membeli suara atau
mempengaruhi pengambilan kebijakan.
Sistem pemilu proporsional terbuka memaksa setiap kandidat untuk
lebih menawarkan sosok dirinya sebagai kandidat daripada partai
politiknya. Kandidat akan berlomba dengan rekan separtainya untuk
memasarkan dirinya masing-masing. Tentu saja hal ini akan membawa
permasalahan pada semakin besarnya pembiayaan kampanye masing-
masing kandidat dan pelaporan dana kampanyenya. Karena pengaturan
dana kampanye pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum sama seperti peraturan terdahulu menjadikan partai
politik sebagai subjek pelapor bukan kandidatnya. Sumber dana kampanye
bisa datang dari perseorangan maupun perusahaan/badan usaha non-
pemerintah.
Pemilu Legislatif di Indonesia dalam hubungannya dengan kampanye
beserta pembiayaannya memunculkan 2 gejala menarik, yaitu : pertama,
peningkatan jumlah pembiayaan kampanye, dan kedua, menguatnya
orientasi kampanye berbasis caleg. Dua gejala tersebut pada akhirnya
membatasi kontrol partai terhadap agenda isu, program, maupun
kualifikasi caleg, dan terbatas pada fungsi nominasi. Dampak selanjutnya,
muncul ketergantungan partai terhadap pembiayaan kampanye yang
bersumber dari sumbangan caleg dibandingkan sumber pembiayaan dari
partai politik (Mellaz, 2019 : 26).
Studi Mellaz (2018 : 64) dalam pembiayaan kampanye Pemilu
Legislatif Tahun 2014 menunjukan oreintasi personal kandidat dalam
kampanye. Pengeluaran pembiayaan kampanye merupakan cermin dari
belanja yang dilakukan oleh setiap caleg di dapilnya. Sistem proporsional
terbuka linier dengan beban pembiayaan kampanye yang mayoritas
ditanggung oleh caleg.
Tidak berbeda dengan Pemilu Legislatif Tahun 2019, pada Pemilu
Legislatif Tahun 2019 penerimaan dana kampanye didominasi oleh
sumbangan calon legislatif sebesar 84%, sementara sumbangan dari partai
politik hanya 13,3 % saja.
Hasil audit LPPDK memperlihatkan masih adanya
ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dari mayoritas partai politik. Ditemukan sebanyak 8 partai politik masuk


kategori patuh dan 8 lainnya masuk kategori tidak patuh. Transparansi
identitas penyumbang dana kampanye juga masih bermasalah, terdapat 9
partai politik yang identitas penyumbangnya tidak lengkap.
Beberapa penelitian mengenai pendanaan politik dan kampanye
dilakukan : Pertama, Sukmajati dan Dsyacitta (2019) meneliti pendanaan
kampanye Pemilu Serentak 2019 di Indonesia dihubungkan dengan
penguatan pola politik klientelisme dan patronase serta watak rejim
kekuasaaan yang akan lahir dari Pilpres dan Pileg 2019. Kedua, Mietzhner
(2015) meneliti mengenai disfungional pendanaan kampanye yang
menyebabkan tingkat korupsi tinggi di Indonesia. Pendanaan partai politik
dari iuran keanggotaan, sumbangan, dan subsidi negara tidak berjalan
efektif, hal ini disebabkan elit politik yang lebih menyukai penggalangan
dana ilegal Akibatnya, korupsi politik terus berlanjut, oligarki telah
menembus politik partai, dan anggaran negara disalahgunakan untuk
tujuan politik. Ketiga, Avkiran, et.al (2015) mengkaji bagaimana
pengetahuan tentang peraturan dana kampanye secara substansial
mengurangi persepsi warga terhadap korupsi, khususnya pada
kepercayaan pada politisi. Pengurangan dalam persepsi korupsi politik
melalui penyebaran informasi tentang peraturan keuangan kampanye
akan menjadi tambahan bagi legitimasi demokrasi. Keempat, Mas’oed &
Savarini (2011) meneliti praktik-praktik pendanaan politik dari perspektif
politik ke perspektif sosio-historis. Penelitiannya menunjukkaan
pendanaan politik tidak lagi relevan, karena modal budaya, politik dan
sosial dapat berkontribusi dalam mendukung karier politik sesorang.
Kelima, Claessens, et.al (2008) mempelajari hubungan politik yang dibeli
oleh perusahaan dengan berkontribusi pada kampanye kandidat pemilihan
dan kemungkinan saluran yang digunakan politisi untuk membayar
kembali kontribusi ini. Keenam, Hamm (2008) meneliti pengaruh peraturan
dana kampanye terhadap pencalonan dalam pemilihan legislatif.
Berbeda dengan hasil kajian sebelumnya, tulisan ini secara spesifik
fokus pada pendanaan kampanye Pileg 2019 saja, dengan mengeksplorasi
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye berdasarkan Laporan
Penerimaan dan Pengeluaran dana Kampanye (LPPDK) dari partai politik
peserta Pemilu Serentak 2019 dan Laporan Asurans Independen setiap
Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memeriksa masing-masing partai politik
tersebut.

METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model
studi kasus, dimana penulis berusaha untuk mengungkapkan secara
empiris problematika laporan dana kampanye pada Pemilu 2019.
Penelitian ini menggunakan data sekunder, berupa Laporan Penerimaan
dan Pengeluaran dana Kampanye (LPPDK) dari partai politik peserta
Pemilu Serentak 2019 dan Laporan Asurans Independen dari setiap Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang memeriksa LPPDK partai politik peserta
Pemilu Serentak 2019 dari website KPU RI dan hasil penelitian lembaga
riset dan civil society pemerhati pemilu. Data hasil penelitian dianalisa

3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

menggunakan analisis deskriptif yang kemudian ditafsir dengan teori dan


konsep yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaporan Dana Kampanye : Tinjauan Teoritis
Falguera, et.al (2014 : 2) mendefinisikan pendanaan politik sebagai
pendanaan (legal dan ilegal) kegiatan partai politik yang berkelanjutan dan
kampanye pemilu(khususnya kampanye oleh kandidat dan partai politik,
tapi juga pihak ketiga.
Menurut Ohman (2014 : 16-19) reformasi pendanaan politik akan
tergantung pada tujuan politik dan konteks perubahan akan dilakukan,
yaitu sistem politik dan faktor-faktor teknis serta tantangan pengaturan
uang dalam politik. Dalam sistem proporsional tertutup, peran kandidat
sangat kecil dalam kampanye. Sebaliknya dalam sistem distrik, fokus
kampanye ada pada kandidat. Faktor lain adalah sistem pemerintahan.
Partai politik cenderung lemah dalam sistem presidensial, dan berperan
besar dalam sistem parlementer dimana pengaturan pendanaan politik
sangat penting dilakukan. Faktor lain yang berperan adalah penetrasi
sistem perbankan dan teknologi informasi dalam negeri. Apabila semua
warga negara memiliki rekening bank dan fasilitas internet banking, maka
donasi bisa dielektronikan agar memudahkan pengawasan.
Terdapat dua tantangan dalam pendanaan politik, yaitu Pertama,
tantangan sistem politik. Diantaranya akses yang tidak sama untuk
mendanai bagi aktor politik, kepentingan yang banyak untuk
mempengaruhi politik, masuknya pendanaan ilegal ke dalam politik,
kooptasi politik oleh kepentingan bisnis, penyalahgunaan sumber negara,
dan menyebarnya jual beli suara. Kedua, adalah tantangan untuk
mengendalikan pendanaan politik. Seperti : ketidakcocokan legislasi,
kurangnya kemauan politik untuk mengontrol uang dalam politik,
populernya penerimaan jual beli suara, kurangnya kemandirian dari
institusi penegakkan aturan, biasnya pemberlakuan pengaturan
pendanaan politik, dan kurangnya sumber daya untuk menegakkan
peraturan (Ohman, 2014 : 20).
Pendanaan politik perseorangan adalah sejenis lobi dimana seorang
donatur berusaha mempengaruhi kebijakan publik dengan menawarkan
dukungan keuangan kepada politisi. Peraturan pendanaan politik
dirancang untuk melarang donasi yang anonim, membatasi jumlah donasi
dan mewajibkan para politisi untuk melaporkan semua keuangan mereka.
Menurut Pinto-Duschinsky (2002) dan Leoang et,al (2013) peraturan
tersebut dibuat untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas,
kesetaraan politik, serta meminimalkan korupsi (Avkiran, et.al, 2015 : 4).
Dana kampanye merupakan akumulasi biaya berupa uang, barang,
dan jasa yang digunakan peserta pemilu untuk membiayai kegiatan
kampanyenya. Hampir semua negara mewajibkan partai politik dan calon
untuk memberikan laporan dana partai politik berdasarkan perintah
Undang-Undang, laporan tersebut disampaikan pada badan publik,
parlemen, atau badan khusus serta harus dipublikasikan. Masalah utama
yang sering timbul adalah data dari organisasi partai politik lokal dan
regional tidak dimasukkan. Masalah dengan pemantauan dan

4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

pengendalian dana partai politik dan dana kampanye telah mendorong


perubahan regulasi dan meningkatnya transparansi dibanyak negara
(Nassmacher, 2014 : 746-747).
Lebih spesifik Van Biezen menyebutkan bahwa pendanaan kampanye
sangat terkait dengan isu pembelanjaan dari segi kandidat dalam rangka
memobilisasi pencalonannya dalam sebuah pemilu, di sana terdapat
dimensi penerimaan, pengeluaran, dan pengelolaannya (Sukmajati &
Perdana, 2018 : 5).
Peraturan dana kampanye kampanye yang terdiri dari : batas
kontribusi, pembiayaan publik, dan batas pengeluaran memiliki tujuan
yang berbeda. Misalnya batasan kontribusi, bertujuan untuk : Pertama,
mengurangi persepsi publik terhadap korupsi dengan mengurangi
pengaruh kontributor besar. Kedua, membuat proses penggalangan dana
kampanye lebih demokratis dengan memaksa calon untuk mengumpulkan
uang dari kontributor yang lebih kecil. Ketiga, peningkatan batas
kontribusi akan meningkatkan daya saing dengan mengurangi beban
penggalangan dana pada kandidat yang tidak mampu (Gross, 2002 : 146-
147).
Menurut Gross (2002 : 148) pembiayaan publik, tidak hanya
diciptakan untuk menghadapi persepsi tentang "politik uang" tetapi juga
untuk meningkatkan persaingan pemilu dengan memberikan uang kepada
penantang, agar politik elektoralnya sejajar. Dalam hal mendistribusikan
dana publik, negara-negara memilih untuk memberikan langsung kepada
kandidat, ke partai politik, atau keduanya. Sedangkan, batas
pembelanjaan membantu mengendalikan biaya kampanye politik dan
dalam kombinasi dengan ketentuan pembiayaan publik berfungsi untuk
meningkatkan persaingan pemilu.
Bussey (2000 : 74-75) menyatakan bahwa pendanaan kampanye yang
tidak jelas dari dalam/luar negeri dapat mengubah hasil pemilu dengan
penggalangan dana besar dan membuka jalan bagi kriminalitas untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal tersebut tentu saja dapat
mengancam pasar ide dan gagasan, mengikis kepercayaan publik pada
kekuatan suara individu dan demokrasi. Liberalisasi ekonomi yang terjadi
menciptakan kelas taipan baru dengan uang tunai untuk mendapatkan
kekuasaan di pemerintahan. Pada saat yang sama, ketika peran ideologi
telah berkurang dan para pencari jabatan di seluruh dunia telah bergerak
menuju pusat spektrum politik, pemilu telah berubah menjadi kampanye
citra yang semakin mahal untuk merayu para pemilih.

Pelaporan Dana Kampanye Pemilu Legislatif Tahun 2019


Peraturan dana kampanye di Indonesia telah mengalami beberapa
kali perubahan terkait sumber dan batasan sumbangan dana kampanye.
Berikut ini perbandingan batasan sumbangan dana kampanye dari
peraturan yang pernah diberlakukan:

5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Tabel 1
Perbandingan Batasan Sumbangan Dana Kampanye
UU No. 12/2003 UU No. 10/2008 UU No. 8/2012
Perseorangan Kelompok Perseorangan Kelompok Perseorangan Kelompok

100 juta 750 juta 1 Milyar 5 Milyar 1 Milyar 7,5 Milyar

Sumber : Junaidi, 2012 : 5

Salah satu alasan legislator menaikan batasan sumbangan dana


kampanye adalah agar peserta pemilu jujur dalam melaporkan penerimaan
sumber dana kampanye, karena kecilnya batasan sumber dana kampanye
akan menyebabkan paslon atau caleg berbohong dalam laporan dana
kampanyenya (Salabi, 2018 : 1).
Pengaturan dana kampanye untuk Pemilu Tahun 2019 terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tabel dibawah ini sekilas menjelaskan tentang pengaturan dana kampanye
tersebut :
Tabel 2
Pengaturan Dana Kampanye menurut Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
PERIHAL PRESIDEN DPR/DPRD DPD
Prov/DPRD Kab-Kota
Sumber a. Pasangan calon; a. Parpol; a. Calon anggota
dana yang b. Parpol/gabungan b. Calon anggota DPR, DPD; dan
dibolehkan parpol; dan/atau DPRD Provinsi, dan b. Sumbangan yang
c. Sumbangan yang DPRD sah menurut
sah menurut Kabupaten/Kota hukum dari pihak
hukum dari pihak parpol lain :
lain : bersangkutan; dan - Perseorangan
- Perseorangan c. Sumbangan yang - Kelompok;
- Kelompok; sah menurut dan/atau
dan/atau hukum dari pihak Perusahaan atau
- Perusahaan atau lain : badan usaha non
badan usaha non - Perseorangan pemerintah. (p.
pemerintah. - Kelompok; dan/ 19)
d. Dapat didanai APBN atau Perusahaan
(p. 325) (p. 329)

Bentuk dana a. Uang ; a. Uang; a. Uang;


kampanye b. Barang; dan/atau b. Barang); dan/atau b. Barang);
c. Jasa). (p. 325) c. Jasa). (p. 329) dan/atau
c. Jasa). (p. 20)

Batasan a. Perseorangan: a. Perseorangan: a. Perseorangan:


Sumbangan Rp. 2.500.000.000 Rp. 2.500.000.000, Rp. 750.000.000
b. Kelompok dan/atau b. Kelompok b. Kelompok
badan usaha non dan/atau badan dan/atau badan
pemerintah usaha non usaha non
Rp. 25.000.000.000 pemerintah pemerintah Rp.
(25 M). (p. 325) Rp. 25.000.000.000 1.500.000.000
(p. 331) (p.333)

6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Sumber a. Pihak asing;


dana yang b. Penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
dilarang c. Hasil tindak pidana;
d. Pemerintah, Pemda, BUMN dan BUMD; atau Pemerintah desa dan
BUMDes. (p.339)
Laporan - Paslon dan tim - Parpol peserta pemilu - Calon anggota DPD
Dana kampanye di tingkat anggota DPR, DPRD peserta pemilu
Kampanye pusat wajib Provinsi dan DPRD wajib memberikan
memberikan laporan Kabupate / Kota laporan awal dana
awal dana kampanye sesuai tingkatannya kampanye (LADK)
(LADK) Pemilu dan wajib memberikan Pemilu dan
rekening khusus laporan awal dana rekening khusus
dana Kampanye kampanye (LADK) dana Kampanye
(RKDK) Paslon paling Pemilu dan rekening (RKDK) Pemilu
lama 14 hari setelah khusus dana kepada KPU
paslon ditetapkan Kampanye (RKDK) melalui KPU
sebagai Peserta Pemilu kepada KPU, Provinsi paling
Pemilu Presiden dan KPU Provinsi dan lambat 14 hari
Wakil Presiden.(p. KPU Kabupaten/Kota sebelum hari
334) paling lambat 14 hari pertama jadwal
- Laporan dana sebelum hari pertama pelaksanaan
kampanye paslon jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu
dan tim kampanye Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat
yang meliputi dalam bentuk rapat umum. (p. 334)
penerimaan dan umum. (p. 334) - Laporan dana
pengeluaran wajib - Laporan dana kampanye calon
disampaikan kepada kampanye parpol anggota DPD
akuntan publik (KAP) peserta pemilu yang peserta pemilu
yang ditunjuk KPU meliputi penerimaan yang meliputi
paling lama 15 hari dan pengeluaran penerimaan dan
sesudah hari wajib disampaikan pengeluaran wajib
pemungutan suara. kepada akuntan disampaikan
- KAP menyampaikan publik yang ditunjuk kepada akuntan
hasil audit kepada KPU paling lama 15 publik yang
KPU, KPU Provinsi, hari sesudah hari ditunjuk KPU
dan KPU pemungutan suara. paling lama 15 hari
Kabupaten/Kota - KAP menyampaikan sesudah hari
paling lama 30 hari hasil audit kepada pemungutan suara.
sejak diterimanya KPU, KPU Provinsi, - KAP
laporan. dan KPU kabupaten/ menyampaikan
- KPU, KPU Provinsi, Kota paling lama 30 hasil audit kepada
dan KPU hari sejak KPU, KPU Provinsi,
Kabupaten/Kota diterimanya laporan. dan KPU
menyampaikan hasil - KPU, KPU Provinsi, kabupaten/Kota
audit dana kampanye dan KPU paling lama 30 hari
paling lama 7 hari Kabupaten/Kota sejak diterimanya
setelah menerima menyampaikan hasil laporan.
dari KAP. audit dana kampanye - KPU, KPU Provinsi,
- KPU, KPU Provinsi, paling lama 7 hari dan KPU
dan KPU setelah menerima Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota dari KAP menyampaikan
mengumumkan - KPU, KPU Provinsi, hasil audit dana
hasil pemeriksaan dan KPU kampanye paling
dana kampanye Kabupaten/Kota lama 7 hari setelah
pemilu kepada publik mengumumkan hasil menerima dari KAP
paling lambat 10 hari pemeriksaan dana - KPU, KPU Provinsi,
setelah diterimanya kampanye pemilu dan KPU
laporan hasil kepada publik paling Kabupaten/Kota
pemeriksaan. (p 335) lambat 10 hari mengumumkan

7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

setelah diterimanya hasil pemeriksaan


laporan hasil dana kampanye
pemeriksaan (p 335) pemilu kepada
publik paling
lambat 10 hari
setelah diterimanya
laporan hasil
pemeriksaan
(p 335)
Sanksi - Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak
benar dalam laporan kampanye dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000
(12Jt). (p. 496)
- Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar
dalam laporan kampanye dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000 (24Jt). (p.
497)
- Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha
nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye melebihi batas yang
ditentukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt). (p. 525)
- Setiap Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak
melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak
menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara paling lambat
14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000 (500 Jt).(p.525)
- Setiap orang, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha
nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi
batas yang ditentukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt). (p.526)
- Setiap Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak
melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak
menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara paling lambat
14 hari setelah masa Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000
(500 Jt). (p.526)
- Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dana Kampanye
Pemilu dari sumber dana yang dilarang dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,
(36 Jt). (p.527)
- Peserta Pemilu yang menerima sumbangan dari sumber dana yang
dilarang dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak
menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang
diterima. (p.528)
- Pelaksana dan tim kampanye yang menggunakan dana dari
sumbangan yang dilarang dan/atau tidak melaporkan dan/ atau tidak
menyetorkan ke kas negara paling lambat 14 hari setelah masa
Kampanye Pemilu berakhir, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang
diterima. (p.528)

Sumber : UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012


tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah terdapat kenaikan

8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

batasan sumbangan dana kampanye, dari perseorangan asalnya 1 milyar


menjadi 2,5 milyar, dan kelompok/BUNP asalnya 7,5 milyar menjadi 25
milyar (pasal 331). Larangan asal sumbangan dana kampanye bertambah
dengan asal sumbangan bukan hasil tindak pidana (pasal 339). Ada juga
tambahan aturan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan tidak benar dalam laporan kampanye dimana
pidana kurungan dan dendanya dua kali lipat dari peserta pemilu (pasal
497).
Hukuman denda bagi setiap orang, kelompok, dan atau badan usaha
nonpemerintah yang memberikan dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan dan bagi peserta pemilu yang menggunakan kelebihan
sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU,
dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara
paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berkurang 4,5
milyar, dari 5 milyar hanya menjadi 500 juta (pasal 525).
Kemudian terdapat tambahan aturan pidana bagi peserta pemilu
yang menerima sumbangan dari sumber dana yang dilarang dan tidak
melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda sebanyak
3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima. Serta bagi pelaksana dan tim
kampanye yang menggunakan dana dari sumbangan yang dilarang
dan/atau tidak melaporkan dan/ atau tidak menyetorkan ke kas negara
paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari
jumlah sumbangan yang diterima (pasal 528).
Akan tetapi, seperti halnya pengaturan dana kampanye dalam
peraturan terdahulu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum tidak mengatur tentang batasan sumbangan dana
kampanye dari partai politik dan caleg, batasan pengeluaran dana
kampanye, dan objek pelapor dana kampanye masih partai politik bukan
calon legislatifnya.
Ketiadaan batas sumbangan dana kampanye dari partai politik dan
calon legislatif memberi jalan belakang bagi perseorangan dan perusahaan
untuk memberi sumbangan melampaui batas yang ditentukan dan
membuat calon legislatif berburu dana kampanye kemana saja. Calon
legislatif dapat menerima sumbangan langsung dari perseorangan dan
perusahaan, untuk kemudian diatasnamakan dirinya pada saat
sumbangan tersebut disetorkan ke dana kampanye partai politik
(Supriyanto, D & Wulandari, L, 2013 :140). Persaingan tidak sehat akan
terjadi diantara calon legislatif, karena calon legislatif yang dananya
seadanya akan berhadapan dengan calon legislatif yang dananya
berlimpah.
Tidak adanya pembatasan pengeluaran dana kampanye selain
menegasikan prinsip kesetaraan, juga mengakibatkan partai politik dan
calon legislatifnya berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye demi
kemenangan elektoral yang pada akhirnya menjadi bibit koruptif.
Secara operasional KPU kemudian mengeluarkan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye
Pemilihan Umum yang diubah terakhir dengan Peraturan Komisi Pemilihan

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Umum Nomor 34 Tahun 2018, dan secara teknis diatur dalam Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 1126/PL.01.6-Kpt/03/KPU/IX/2018
tentang Pedoman Teknis Pelaporan Dana Kampanye Pemilihan Umum dan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1781/ PL.01.6-
Kpt/03/KPU/XI/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Laporan Dana
Kampanye Pemilihan Umum.
Sumber penerimaan dana kampanye pada Pemilu Tahun 2019, yang
terdiri dari sumbangan dari partai politik, calon legislatif, perseorangan,
kelompok, dan badan usaha non-pemerintah dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 3
Penerimaan Dana Kampanye Pemilu Tahun 2019

Sumber : www.kpu.go.id

Penerimaan dana kampanye didominasi oleh sumbangan calon


legislatif sebesar 1,99 trilyun (84%), disusul kemudian sumbangan partai
politik dengan nilai 315,6 milyar atau 13,3% dari total penerimaan dana
kampanye, setelah itu sumbangan dari perseorangan senilai 19,7 milyar
(1%) dan sumbangan lain-lain (komitmen/bunga bank) sebesar 16,5
milyar, terakhir adalah sumbangan dari badan usaha non-pemerintah
sebesar 15 milyar (0,6%) dan sumbangan kelompok sebesar 9,5 milyar
(0,4%).
PDIP tampil sebagai partai politik dengan penerimaan sumbangan
dana kampanye terbesar dengan nilai 345 milyar, mayoritas sumber
sumbangannya berasal dari calon legislatifnya dengan nilai 338 milyar atau
98% dari total penerimaan dana kampanyenya. Kemudian Golkar dengan
total penerimaan 307 milyar dan Nasdem 259 milyar. Sedangkan partai
politik dengan penerimaan dana kampanye terkecil adalah Garuda dengan
nilai 3,4 milyar.
Sebagai partai lawas PDIP dan Golkar meskipun secara kelembagaan
telah terkonsolidasi dengan baik sampai ke pelosok, dalam menominasikan

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

caleg tentu saja mengutamakan modal kapital yang dimiliki caleg untuk
menyokong sumbangan dana kampanye dari pribadi mereka sendiri dan
menjalankan mesin politik atau tim suksesnya untuk meraup dukungan
politik. Seperti Pemilu Tahun 2014, penerimaan dana kampanye Pemilu
Serentak Tahun 2019 mayoritas berasal dari caleg, hal tersebut disebabkan
desain sistem pemilu proporsional-terbuka yang memaksa setiap caleg
untuk mengeluarkan biaya berlipat untuk memenangkan kursi karena
harus bersaing tidak hanya dengan caleg yang berbeda partai politik,
namun dengan teman sejawat di internal partai politiknya. Mereka harus
mengeluarkan modal untuk melakukan kampanye dalam bentuk
pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, pembuatan alat peraga
kampanye dan penyebaran bahan kampanye kepada konstituennya.
Perindo menjadi partai politik yang sumbangan dana kampanyenya
terbesar berasal dari internal partai politik sendirinya dengan nilai 88
milyar, disusul kemudian Nasdem sebesar 80 milyar, dan Golkar 72 milyar.
PKPI adalah satu-satunya partai politik yang dana kampanye tidak
bersumber dari kas partai politik, melainkan dari sumbangan kelompok
sebesar 4,7 milyar dan sumbangan dari caleg sebesar 1,5 milyar.
Perindo dan Nasdem mampu mencukupi kebutuhan finansialnya
secara mandiri dengan mengandalkan dana dari pendiri dan korporatnya
yang memiliki latar belakang pengusaha. Kedua partai ini tidak tergantung
pada partisipasi anggota melainkan pada kekuatan
perorangan/sekelompok orang. Paloh dan Hary dengan mudah
menggerakan industri media yang dipimpinnya dan jaringan bisnis media
massanya untuk mengkampanyekan parpolnya masing-masing, sebuah
karakter parpol yang disebut oleh Noor (2017 : 115) sebagai partai-partai
post democracy.
Hanura menjadi satu-satunya partai politik yang menerima dana
kampanye dari kelompok dengan total sumbangan 9,5 milyar. Adapun
partai politik penerima sumbangan dana kampanye terbesar dari
perseorangan adalah Demokrat dengan dilai 7,1 milyar, berikutnya adalah
PKPI dengan nilai 4,7 milyar dan PSI dengan nilai 3,8 milyar. Sepertinya
partai-partai politik besar/lama gagal untuk menarik partisipasi
masyarakat dalam penggalangan dana kampanye.
Penerima sumbangan dana kampanye dari badan usaha non-
pemerintah terbesar adalah PKB dengan besaran sumbangan 7,4 milyar,
disusul kemudian oleh PSI dengan nilai 6,2 milyar, Nasdem dengan nilai 1
milyar, dan Golkar 395 juta. Sedangkan partai politik yang lain tidak
menerima sumbangan dari badan usaha non-pemerintah.
Dari sisi pengeluaran dana kampanye, kecendrungan seluruh partai
politik menggunakannya untuk jasa kampanye calon legislatif, penyebaran
bahan kampanye, produksi iklan, pembuatan alat peraga kampanye, dan
sumbangan terhadap calon legislatif. Berikut total pengeluaran dana
kampanye seluruh partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 :

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Grafik 1
Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu Serentak 2019

PKPI 6,289,666,567
PBB 117,756,600,000
DEMOKRAT 189,410,785,377
HANURA 49,485,201,423
PAN 169,048,328,526
PSI 84,657,844,428
PPP 76,551,752,526
PERINDO 228,116,161,935
PKS 150,025,870,027
BERKARYA 107,159,300,058
GARUDA 3,361,424,903
NASDEM 232,113,494,650
GOLKAR 307,471,571,477
PDIP 345,006,553,771
GERINDRA 134,717,249,021
PKB 141,012,647,279

- 100,000,000,000 200,000,000,000 300,000,000,000 400,000,000,000

Sumber : www.kpu.go.id

Pengeluaran untuk jasa kampanye memiliki porsi terbesar untuk


mayoritas partai politik, yaitu 1,9 trilyun (85,03%) dari keseluruhan
pengeluaran dana kampanye 2,3 trilyun. PDIP dengan pengeluaran
terbesar 338,3 milyar, sedangkan yang terkecil adalah PKPI dengan nilai
1,5 milyar.
Grafik 2
Pengeluaran Jasa Kampanye Calon Legislatif

133,715,077,635
338,339,772,456
350,000,000,000
300,000,000,000
250,000,000,000 180,871,110,071
235,131,587,510 138,141,622,439
200,000,000,000
150,000,000,000 177,863,557,751 123,606,099,035 116,960,000,000
100,000,000,000 105,864,300,058 168,948,328,526
133,587,647,279
50,000,000,000
64,138,502,526
0
1,294,515,041
42,657,646,880 28,858,287,278

1,530,743,254

Sumber : www.kpu.go.id

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Total pengeluaran partai politik untuk penyebaran bahan kampanye


adalah 77 milyar atau 3,30% dari keseluruhan pengeluaran dana
kampanye. Golkar mengeluarkan 36,3 milyar sebagai yang terbesar,
disusul Perindo 29,9 milyar, dan PPP 5,2 milyar. Sedangkan PKB, PDIP,
Garuda, Berkarya , PAN, dan Demokrat tidak mengeluarkan anggaran
untuk penyebaran dana kampanye.
Grafik 3
Penyebaran Bahan Kampanye

40,000,000,000 36,390,000,000
35,000,000,000
29,983,412,000
30,000,000,000

25,000,000,000

20,000,000,000 5,242,500,000

15,000,000,000 2,978,365,192
274,570,300
10,000,000,000 25,000,000 194,100,000
5,000,000,000 900,000,000 820,000,000
0 0 0 0 0 0 524,850,000
0

Sumber : www.kpu.go.id

Pengeluaran partai politik selanjutnya adalah untuk produksi iklan.


Total belanja produksi iklan keseluruhan partai politik bernilai 74 milyar
atau 3,19% dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye. Jika
dibandingkan dengan data Pileg 2014 biaya iklan kampanye ini mengalami
penurunan. Pada Pileg 2014 belanja iklan sebesar 343 milyar atau 9,56%
dari total pengeluaran dana kampanye. Pengeluaran belanja iklan terbesar
dikeluarkan Hanura sebesar 70,5 milyar, diikuti Demokrat 56,8 milyar,
PAN 43,8 milyar, Golkar 39,8 milyar, dan PDIP 33,5 milyar (Melaz, A, 2018 :
87-88).

13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Grafik 4
Produksi Iklan

DEMOKRAT, PKPI, 562,000,000 PKB, 0 GERINDRA, 0


PBB, 0
3,992,637,000
PDIP, 0
HANURA,
6,537,500,000
GOLKAR,
PAN , 0
12,061,587,650

PSI,
20,850,294,170
NASDEM,
29,112,260,609

PPP, 0

PERINDO, 0

PKS, 1,494,760,000
BERKARYA, GARUDA,
77,000,000 86,909,862

Sumber : www.kpu.go.id

Nasdem sebagai partai politik baru pada Pemilu Serentak 2019


mengeluarkan anggaran terbesar dengan nilai 29 milyar, selanjutnya PSI
20 milyar, Golkar 12 milyar, Hanura 6 milyar, Demokrat 3 milyar, PKS 1
milyar, PKPI 562 juta, Garuda 86 juta, dan Berkarya 77 juta. PKB,
Gerindra, PDIP, Perindo, PPP, PAN, dan PBB tidak mengeluarkan anggaran
untuk produksi iklan. Sebagai partai politik baru Nasdem dan PSI sangat
wajar mengeluarkan anggaran besar untuk mendongkrak popularitas
partai politiknya agar lebih dikenal pemilih. Partai politik yang lain tidak
memiliki cukup dana untuk belanja iklan kampanye seperti Pileg
sebelumnya, disamping daya tarik Pilpres yang lebih banyak menyerap
iklan kampanye.
Pengeluaran dana kampanye yang cukup besar selanjutnya adalah
pembuatan alat peraga kampanye. Jumlah pengeluaran untuk pembuatan
alat peraga kampanye seluruh partai politik adalah 60,5 milyar atau 2,59%
dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye. Golkar mendominasi
pengeluaran ini dengan nilai 19,2 milyar, disusul Perindo 18 milyar, dan
PKS 8,3 milyar. PSI, Hanura dan PKPI pada kisaran 3-5 milyar. Nasdem
dan PBB pada kisaran 500-700 juta, sedangkan PBB, Gerindra, PDIP,
Garuda, PPP, dan Demokrat nihil.

14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Grafik 5
Pembuatan Alat Peraga Kampanye

25000000000

GOLKAR,
20000000000 19,289,000,000
PERINDO,
18,050,895,500

15000000000

PKS,
8,365,750,0
00
10000000000

HANURA,
PSI, 4,241,540,000
BERKARYA,
1,218,000,000 4,717,699,25
0
5000000000 PKPI,
3,572,122,625
PBB,
PKB, 0 PDIP, 0 NASDEM, 602,500,000
520,000,000
GERINDRA, 0 GARUDA, 0 PPP, 0 PAN , 0 DEMOKRAT, 0

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

-5000000000

Sumber : www.kpu.go.id

Grafik 5 diatas memperlihatkan kecendrungan partai-partai politik


lama/yang memiliki kursi di parlemen, kecuali Golkar dan PKS untuk
meminimalisir pengeluaran untuk alat peraga kampanye. Sebaliknya partai
politik baru seperti Perindo dan PSI mengeluarkan banyak anggaran untuk
alat peraga kampanye.
Pengeluaran dana kampanye yang didominasi oleh partai-partai
politik baru selanjutnya adalah pengeluaran untuk pertemuan terbatas
sebesar 27,8 milyar atau 1,19% dari dari keseluruhan pengeluaran dana
kampanye, seperti terlihat dalam grafik 6 dibawah ini :

15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Grafik 6
Pertemuan Terbatas
30000000000 23,767,110,510
20000000000
10000000000
0 0 0 0 1,116,784,433 2,900,586,500
0 0 0
0 0
0 0 17,578,000
0 0

Sumber : www.kpu.go.id

Partai politik dengan pengeluaran terbesar pertama adalah Nasdem


dengan nilai 23,7 milyar, kemudian PSI 2,9 milyar, PKS 1,1 milyar, dan
PKPI 17,5 juta. Partai-partai politik lainnya tidak mengeluarkan anggaran
untuk pertemuan terbatas. Pengeluaran dana kampanye yang didominasi
juga oleh partai-partai politik baru adalah pengeluaran untuk sumbangan
pada calon legislatif dengan nilai 24,2 milyar atau 1,04% dari dari
keseluruhan pengeluaran dana kampanye, seperti terlihat dalam grafik 7
dibawah ini:
Grafik 7
Sumbangan kepada Calon Legislatif

GERINDRA, 0
DEMOKRAT, PKB, 0 PKPI, 0 PBB, 0
3,165,500,000
PDIP,
4,670,420,000
HANURA, 0

PAN , 0 GOLKAR,
395,000,000

PSI, NASDEM, 0
4,362,472,666

GARUDA,
1,980,000,000

PKS, 0
PPP, 0

PERINDO,
9,705,483,000

Sumber : www.kpu.go.id

Terlihat dari grafik 7 diatas, Perindo merupakan partai politik dengan


sumbangan pada calon legislatif terbesar dengan nilai 9,7 milyar, diikuti
oleh PDIP 4,6 milyar, PSI 4,3 milyar, Demokrat 3,1 milyar, Garuda 1,9

16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

milyar, dan Golkar 395 juta. Sedangkan partai politik lainnya tidak
mengeluarkan anggaran untuk sumbangan dana kampanye.
Pengeluaran dana kampanye selanjutnya adalah pengeluaran untuk
rapat umum. Kampanye dalam bentuk rapat umum nampaknya tidak
diminati oleh mayoritas partai politik peserta Pemilu Serentak 2019. Hanya
dua partai politik lama yang masih melakukannya, yaitu Golkar dan PDIP.
Golkar mengeluarkan 4,2 milyar dan PDIP 1,9 milyar. Jumlah pengeluaran
untuk rapat umum keseluruhan hanya 6,1 milyar atau 0,26% saja dari
total pengeluaran dana kampanye.
Grafik 8
Rapat Umum

DEMOKRA
BERKARYA
GERINDRA
PERINDO
HANURA
NASDEM
GARUDA
PKPI
PKB
PKS
PAN
PBB
PPP
PSI
0%
T
0%

PDIP,
1,995,000,…
GOLKAR,
4,203,808,278

Sumber: www.kpu.go.id
Dalam kompetisi pemilu yang berpusat pada calon legislatifnya,
bentuk kampanye konvensional seperti rapat umum dan pertemuan tatap
muka mulai ditinggalkan. Sama dengan pengeluaran rapat umum,
pengeluaran keseluruhan partai politik untuk pertemuan tatap muka
hanya 6,1 milyar atau 0,2% dari saja dari total pengeluaran dana
kampanye. Hanya dua partai saja yang mengeluarkan anggaran untuk
pertemuan tatap muka, yaitu PSI dengan besaran 6 milyar dan Gerindra 1
milyar.
Grafik 9
Pertemuan Tatap Muka

HANURA, 0 GERINDRA, PKS, 0


PBB, 0 PKB, 0 PKPI, 0
100,500,000
BERKARYA, 0
PAN , 0 PERINDO, 0
PPP, 0 GARUDA, 0
NASDEM, 0 DEMOKRAT, 0

GOLKAR, 0
PDIP, 0

PSI, 6,073,392,752

Sumber : www.kpu.go.id

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Pola pembiayaan kampanye Pileg 2019 kali ini tidak jauh berbeda
dengan pola pembiayaan kampanye di Pileg 2014 sebelumnya, yaitu
bersifat padat modal. Selanjutnya terdapat indikasi kuat bahwa para
kandidat juga mengalokasikan pengeluaran dana kampanye mereka untuk
melakukan praktik-praktik pembelian suara dengan bentuk pemberian
uang dan sembako semakin gencar dilakukan pada saat hari tenang dan
menjelang hari pemungutan suara. Praktik-praktik tersebut bersifat lebih
variatif dan masif (Sukmajati, M & Disyacitta, F., 2019 : 90-91). Sisi
transparansi sumber dana kampanye juga masih bermasalah, dari 16
partai politik peserta Pemilu Tahun 2019 terdapat 9 partai politik yang
identitas penyumbangnya. Ketidaklengkapan tersebut dapat dilihat pada
tabel 3 dibawah ini:
Tabel 4
Identitas Penyumbang Partai Politik Yang Tidak Lengkap

Identitas Penyumbang Keterangan


No Partai Politik Yang Tidak Lengkap
Perseorangan Kelompok Badan Usaha
Non-
Pemerintah
1 PKB 6 1 - No Telepon

2 GOLKAR 1 - 1 No Telepon

3 NASDEM - - 1 No Telepon

4 GARUDA 3 - - NPWP

5 BERKARYA 1 - - No Telepon

6 PSI 70 2 - No Telepon,
NPWP
7 HANURA 1 1 - No Telepon

8 DEMOKRAT 4 - - No Telepon

9 PKPI 3 - - No Telepon

Total 89 4 2
Sumber: Bawaslu, 2019 : 285

Dari tabel 3 diatas terlihat PSI menjadi partai politik teratas dalam
ketidaktertiban administrasi, sebanyak 70 penyumbang perseorangan dan
2 kelompok yang tidak melengkapi nomor telepon dan NPWP. Sementara
itu, 7 partai politik telah melengkapi persyaratan administrasi, yaitu :
Gerindra, PDIP, PKS, Perindo, PPP, PAN dan PBB.
Berdasarkan hasil audit KAP terhadap LPPDK partai politik peserta
Pemilu 2019 ditemukan sebanyak 8 partai politik masuk kategori patuh
dan 8 lainnya masuk kategori tidak patuh. 8 partai politik yang masuk
kategori patuh adalah Golkar, Nasdem, Garuda, PKS, Perindo, PSI, PKPI

18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

dan Hanura. Temuan ketidakpatuhan LPPDK 9 partai politik dapat dilihat


pada tabel 8 dibawah ini:
Tabel 5
Temuan Ketidakpatuhan LPPDK Partai Politik Peserta Pemilu 2019
No Partai Politik Temuan Ketidakpatuhan

1 PKB 1. Transaksi penerimaan tidak masuk RKDK namun


dikeluarkan oleh pribadi calon legislatif.
2. Partai politik membiayai pengeluaran dana kampanye
tidak menggunakan dana yang ditempatkan RKDK.

2 GERINDRA 1. Periode LADK dibuka pada tanggal 20 Februari 2018


sedangkan RKDK baru dibuka tanggal 21 September
2018.
2. Pengeluaran dana kampanye Rp. 3.511.740.000 yang
telah disampaikan dalam LADK tidak dilaporkan dalam
LPPDK Partai Gerindra.

3 PDIP 1. PDIP menggunakan rekening lama untuk pembukuan


RKDK, namun pengurus partai politik yang bertanda
tangan di specimen telah berubah.
2. Terdapat beberapa calon legislatif yang tidak
menandatangani LPSDK.

4 BERKARYA 1. Pada LPSDK ditemukan nama calon legislatif dicatat


dua kali, sehingga transaksi penerimaan dan
pengeluaran dana sumbangan dalam bentuk jasa calon
legislatif sebesar Rp. 865.500.000 dilakukan
pencatatan dua kali, tidak ada bukti pendukung.
2. Saldo akhir minus sebesar Rp. 1.958.000 berdasarkan
pengujian bukti pendukung, namun pada RKDK saldo
akhir per 25 April 2019 sebesar 5.000.000.
3. Pada LPPDK terdapat nama calon legislatif dicatat dua
kali, sehingga transaksi penerimaan dana sumbangan
dalam bentuk jasa dan pengeluaran dalam bentuk jasa
caleg sebesar Rp. 868.500.000 dilakukan pencatatan
dua kali, tidak ada bukti pendukung. Jumlah
keseluruhan dana kampanye yang tidak ada bukti
pendukung sebesar Rp. 18.761.241.104.
4. Ditemukan pengeluaran dana kampanye tidak melalui
RKDK.

5 PPP 1. Terdapat 159 calon legislatif yang tidak mengumpulkan


LADK7- Parpol dari 554 calon legislatif.
2. Ada 159 calon legislatif yang tidak mengumpulkan
LPSDK-4 Parpol, dan LPSDK4-Parpol tidak didukung
oleh bukti penerimaan masing-masing calon legislatif.
3. Hanya 360 caleg yang mengumpulkan LPPDK7-Parpol.
4. Terdapat kesalahan klsifikasi pengeluaran.
Pengeluaran dalam bentuk lain-lain sebesar
7.170.750.000 yang berupa sumbangan PPP dalam
bentuk mobil Daihatsu Luxio (5 unit) dan Grandmax (48
unit) seharusnya bukan kategori pengeluaran, tetapi
masuk dalam kategori penerimaan barang bergerak
tidak habis pakai. Mobil masuk dalam kategori modal
maka tidak perlu ada pengeluaran sehingga langsung
menjadi saldo akhir dalam bentuk barang.

19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

5. Dalam LPPDK7-Parpol banyak ditemukan


ketidaksesuaian antara jumlah pengeluaran dan
kuitansi yang dilampirkan.

6 PAN 1. RKDK hanya dibuka oleh bendahara umum DPP PAN,


seharusnya specimen dilakukan bersama 2 orang
pengurus parpol.
2. Tanggal awal periode LADK1-Parpol adalah 20 Februari
2018 seharusnya LADK dibuka sesuai dengan tanggal
pembukuan RKDK, yaitu 21 September 2018.
3. Periode pembukuan LPPDK tidak sesuai ketentuan.
4. Terdapat penerimaan sumbangan dari calon legislatif
yang tercatat pada LPPDK1-Parpol namun tidak
tercatat pada LPPDK3-Parpol sebesar 8.099.583.250.
5. Penerimaan sumbangan partai politik tercatat sebesar
Rp. 100.000.000, namun pada RKDK hanya Rp.
99.000.000.
6. Terdapat 40 aktivitas pengeluaran calon legislatif
dengan nilai Rp. 2.902.553.998 yang tidak sesuai
dengan bukti pengeluarannya.

7 DEMOKRAT 1. Ditemukan transaksi sebesar Rp. 1.048.896.058 tidak


dilengkapi dengan bukti transaksi.
2. Terdapat 120 calon legislatif tidak melaporkan LPPDK.
3. Ditemukan pengeluaran sebesar Rp. 1.200.000.000
dalam LPPDK calon legislatif untuk membiayai saksi.

8 PBB 1. Model LPPDK7-Parpol Maluku, Maluku Utara, Papua


dan Papua Barat tidak ada dalam berkas yang diterima.
2. Terdapat selisih bukti pengeluaran dana kampanye
dengan penarikan dari RKDK, sehingga saldo per-25
April 2019 di LPPDK2-Parpol lebih besar dari RKDK.

Sumber : www.kpu.go.id

Ketidakpatuhan LPPDK oleh mayoritas partai politik dikarenakan


lemahnya sanksi bagi partai politik yang melanggarnya. Audit dana
kampanye hanya berupa audit kepatuhan untuk menilai kesesuaian
pelaporan dana kampanye dengan peraturan perundang-undangan. KAP
tidak berkewajiban untuk menyelidiki kesesuaian transaksi dana
kampanye dengan realitas aktivitas kampanye dilapangan. Tidak terdapat
sanksi administratif bagi ketidakpatuhan pelaporan dana kampanye dari
KPU ataupun Bawaslu.
Peraturan dana kampanye juga tidak memberikan sanksi bagi partai
politik dan caleg yang gagal memperoleh kursi yang tidak menyampaikan
laporan dana kampanye, sehingga prinsip akuntabilitas dan kesetaraan
peserta pemilu terabaikan. Seharusnya sanksi administratif diberikan
berupa larangan untuk mengikuti pemilu berikutnya. Jika hal ini tidak
dilakukan dampaknya prinsip akuntabilitas transparansi akan terus
tercederai, pada ujungnya praktek koruptif dalam pengelolaan
pemerintahan terus berjalan dan kepercayaan publik pada politisi dan
partai politik akan terus menurun.
Legislator memiliki kecendrungan untuk melonggarkan aturan dana
kampanye, agar tidak membuat mereka repot dalam ketentuan
administrasi. Selain itu partai politik sudah terlanjur dikuasai oleh

20
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

pemodal yang masuk atau di luar kepengurusan partai politik. Mereka


menolak pengetatan pengaturan dana kampanye karena akan mengurangi
pengaruhnya di dalam partai politik (Supriyanto, D & Wulandari, L , 2013 :
221).
Pengetatan regulasi dana kampanye dapat mengurangi persepsi
negatif publik terhadap korupsi politik dan meningkatkan kepercayaan
publik pada institusi partai politik dan legislatornya. Sebenarnya reformasi
dana kampanye bisa dilakukan dengan mewajibkan transaksi sumbangan
dana kampanye melalui RKDK peserta pemilu dengan asumsi sebagian
besar penyumbang memiliki rekening bank dan fasilitas internet banking
agar memudahkan pengawasan dan menghindari pencucian uang. Jika
dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan sistem proporsional
daftar terbuka, caleg diwajibkan untuk menyampaikan laporan dana
kampanye. Hal seperti ini terjadi di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis,
dimana selain partai politik, para caleg juga memiliki kewajiban untuk
melaporkan dana kampanye (Mellaz, 2018 : 68).
Pembatasan pengeluaran dana kampanye perlu diterapkan untuk
mengurangi keuntungan partai politik dan caleg yang memiliki banyak
uang, terutama bagi para caleg yang mendanai kampanye dengan uang
sendiri. Sekitar 30% dari semua negara membatasi jumlah pengeluaran
partai politik, sementara lebih dari 40% membatasi pengeluaran caleg.
Efektivitas batas pengeluaran bergantung pada apakah batas tersebut
ditetapkan pada tingkat yang tepat untuk mengekang keuntungan mereka
yang memiliki banyak uang tanpa menghalangi kampanye yang inklusif
dan menarik (Ohman, 2014 : 27).
Menurut Mellaz untuk mencegah potensi pembiayaan ilegal dalam
kampanye perlu kesadaran bersama untuk mengawasi pembiayaan
kampanye, karena dana yang disetor caleg bisa saja merupakan dana dari
sponsor yang di masa depan akan dipenuhi permintaan politiknya. Senada
dengan Mellaz, Sukmajati juga mengatakan bahwa selain pelaporan formal
sebenarnya ada pula kebutuhan informal yang menguras kocek caleg,
minimnya sumbangan partai politik berpotensi membuat caleg
mengandalkan pendanaan gelap (Daud, 2019 :1).

KESIMPULAN
Pada penelitian ini diperoleh beberapa temuan, diantaranya:
1. Regulasi dana kampanye tidak mengatur tentang batasan sumbangan
dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, batasan
pengeluaran dana kampanye, dan objek pelapor dana kampanyenya
partai politik bukan calon legislatifnya.
2. Penerimaan dana kampanye partai politik Peserta Pemilu 2019
didominasi oleh sumbangan dari calon legislatif, dan pengeluarannya
terbanyak pada jasa kampanye.
3. Hasil audit KAP terhadap LPPDK partai politik peserta pemilu 2019
memperlihatkan adanya ketidaktransparan dan ketidakpatuhan pada
aturan dana kampanye dari mayoritas partai politik. Laporan dana
kampanye masih bersifat formalitas dan KPU tidak memiliki
kewenangan lebih lanjut mengenai ketidakpatuhan partai politik dalam
pelaporan dana kampanye.

21
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Berdasarkan temuan tersebut, penulis merekomendasikan hal-hal berikut


ini :
1. Perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, dengan memasukan aturan pembatasan
sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif,
serta diberlakukannya batasan pengeluaran dana kampanye.
Ditambahkan regulasi yang mengatur calon legislatif menjadi objek
pelapor dana kampanye dan adanya sanksi larangan menjadi peserta
pemilu berikutnya bagi calon legislatif dan partai politik yang tidak
melaporkan dana kampanye.
2. Untuk transparansi dan akuntabilitas dana kampanye KPU
membuat aplikasi dana kampanye yang dapat diakses pemilih untuk
melihat sumber dan pengeluaran dana kampanye peserta Pemilu
2019.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mellaz, A. (2018). Personal Vote, Candidate-Centered Politics, dan
Pembiayaan Pileg 2014. Dalam Sukmajati, M & Perdana, A (ed) (2018).
Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Jakarta : Bawaslu.
__________. (2019). Pembiayaan Kampanye Pemilu 2019 : Personal Vote dan
Candidate Centered Politics dalam Bingkai Pemilu Serentak. Dalam Dede
Sri Kartini (ed), (2019). Perihal Penyelenggaraan Kampanye. Jakarta :
Bawaslu.
Nassmacher, K H .(2014). Regulasi Keuangan Partai. Dalam Katz, RS &
Crotty, W. Handbook Partai Politik. Bandung : Nusa Media.
Falguera, et.al (2014). Funding of Political Parties and Election Campaigns :
A Handbook on Political Finance. Stockholm : IDEA.
Ohman, M (2014). Getting the Political Finance System Right. Dalam
Falguera et.al . Funding of Political Parties and Election Campaigns : A
Handbook on Political Finance. Stockholm : IDEA.
Supriyanto, D & Wulandari, L (2013). Basa-Basi Dana Kampanye :
Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu.
Jakarta : Yayasan Perludem.
Sukmajati, M & Perdana, A (2018). Pendahuluan: Pembiayaan Pemilu di
Indonesia. Dalam Sukmajati, M & Perdana, A (ed) (2018). Pembiayaan
Pemilu di Indonesia. Jakarta : Bawaslu.
RI, BAWASLU (2019). Laporan Kinerja 2019. Jakarta : Bawaslu.

Jurnal
Avkiran, et.al. (2015). Knowledge of campaign finance regulation reduces
perceptions of corruption. Accounting & Finance , 1-23.
Bussey, J. (2000). Campaign Finance Goes Global. Foreign Policy, (118), 74-
84.
Claessens, S,. et.al (2008). Political conections and preferiantials acess to
finance : The role of campaign contributions. Journal of Financial
Economics, 88, 554-580.
Gross, et.al. (2002). State Campaign Finance Regulations and Electoral
Competition. American Politics Research, 30(2), 143-165.

22
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 2, Mei 2020
www.journal.kpu.go.id

Hamm, K.E & Hogan R.E. (2008). Campaign Finance Laws and Candidacy
Decisions in State Legislative Elections. Political Research Quarterly,
61(3), 458-467.
Junaidi, V. (2012). Pengaturan Dana Kampanye Pemilu : Mau Dibawa
Kemana ?. Jurnal Pemilu & Demokrasi, 3, 1-26.
Mas’oed, M & Savarini, A (2011). Financing Politics in Indonesia. PCD
Journal, III(1-2). 63-94.
Mietzner, M. (2015). Dysfunction by Design : Political Finance and
Corruption in Indonesia. Ciritical Asian Studies 47(4), 587-610.
Noor, F. (2017). Fenomena Post Democracy Party di Indonesia : Kajian Atas
Latar Belakang, Karakteristik dan Dampaknya. Jurnal Penelitian
Politik 4(2), 109-125.
Sukmajati, M & Disyacitta, F. (2019). Pendanaan Pemilu Serentak 2019 di
Indonesia : Penguatan Demokrasi Patronase ?. Jurnal Antikorupsi
INTEGRITAS 5(1). 75-95.

Artikel Online
Daud, A. (2019). Sejumlah LSM Soroti Penurunan Dana Kampanye 2019.
Diakses 5 April 2020, dari :
https://katadata.co.id/berita/2019/01/28/sejumlah-lsm-soroti-
penurunan-dana-kampanye-pemilu-2019
Salabi, A. (2010). Dana Kampanye di Politik Elektoral 2019, Menanti
Keberanian Penyelenggara Pemilu. Diakses 5 Maret 2020, dari :
http://perludem.org/2018/04/13/dana-kampanye-di-politik-
elektoral-2019-menanti-keberanian-penyelenggara-pemilu-oleh-
amalia-salabi/

23

Anda mungkin juga menyukai