Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS INDONESIA

INTEGRITAS PEMILU DI INDONESIA STUDI KASUS MALPRAKTIK PEMILU


ANGGOTA KPU KOTA PALEMBANG PADA PEMILU TAHUN 2019

Makalah Penelitian
Mata Kuliah: Assemen Kualitas Pemilu
Pengajar: Drs. Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D
Dr. Isbodroini Suyanto M.A

Oleh Kelompok IX
Achmad Andrian NPM: 1906436740
Andi Muhammad Irvandi Thamrin NPM:

Pascasarjana FISIP UI
2

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

Program Pascasarjana Ilmu Politik

Depok 2020

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (Pemilu) adalah institusi pokok pemerintahan perwakilan yang
demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintahan hanya diperoleh
atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan
persetujuan tersebut melalui pelaksanaan Pemilu yang bebas, jujur dan adil. Bahkan dinegara
yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi
corak legitimasi kekuasaan (otoritas).1
Sebagai salah satu perwujudan demokrasi, menyelenggarakan Pemilu yang berkualitas
merupakan solusi yang dapat dijalankan bagi negara-negara yang menganut sistem politik
demokratis. Untuk dapat mewujudkan pemilu yang berkualitas salah satu tolak ukur
penilaiannya ialah Pemilu yang berintegritas diselenggarakan di negara nya. Menurut
Mozzafar dan Schelder (2002) Kualitas dan integritas Pemilu merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, penyelenggara Pemilu berintegritas merupakan syarat mutlak

1
Marzuki, Pengaruh sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD
di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999,
Disertasi, Medan Program pasca Sarjana USU, 2007, hal. 143.

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


3

terwujudnya Pemilu berkualitas. Pemilu berkualitas dapat dinilai dari proses tata kelola
Pemilu.2
Pemilu berintegritas memiliki pengertian dimana Pemilu yang berlangsung telah
mengikuti standar dan norma-norma internasional dalam konteks Pemilu yang bebas dan adil
(free and fair election). Konsep adil dan bebas ini adalah merefleksikan Pemilu yang subtantif
dan Pemilu sesungguhnya (genuine election) yang mencerminkan kehendak bebas memilih.
Menurut perspektif ACE Project (2013) genuine election merupakan jantung dari
Pemilu berintegritas yang mencangkup aspek utama yaitu accountability, transparency,
accuracy dan ethical behaviour. Empat aspek tersebut harus hidup dan berkembang dalam
setiap siklus Pemilu yang dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang kredibel. Semangat
dari Pemilu berintegritas dapat dikatakan terkait dengan tujuan untuk menghasilkan Pemilu
yang dapat diterima peserta Pemilu, pemilih atau rakyat serta dunia internasional. Karena itu
kunci untuk menghasilkan Pemilu yang memiliki legitimasi harus dimulai dari penyelenggara
Pemilu yang kredibel, akuntabel, transparan, akurat dan taat etik dalam menjujung norma-
norma Pemilu universal.3
Merujuk pada pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 yang lalu, pelanggaran Pemilu
yang dilakukan penyelenggara Pemilu masih kerap terjadi. Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) mencatat pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh penyelenggara Pemilu sepanjang tahapan Pemilu tahun 2019, dimana yang paling banyak
diduga dilanggar adalah prinsip professional sebanyak 484 kasus, disusul dengan dugaan
pelanggaran prinsip berkepastian sebanyak 152 kasus dan dugaan pelanggaran prinsip mandiri
pada posisi ketiga sebanyak 109 kasus.4
Kasus pelanggaran prinsip professional yang paling banyak dilanggar pada
penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Tidak lepas dari malpraktik administrasi Pemilu yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu yang dapat terjadi karena tidak memelihara dan
menjaga kehormatan penyelenggara pemilu, tidak menjalankan tugas sesuai, visi, misi, tujuan
dan program lembaga penyelenggara pemilu, tidak melaksanakan tugas sesuai jabatan dan
kewenangan yang didasarkan pada UUD 1945, peraturan perundang- undangan, dan
keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan, lalai dalam menjamin kualitas

2
S. Mozaffar & A. Schedler, The Comparative Study of Electoral Governance-Introduction, International
Political Science Review. 23 (1), 2002, hal. 124-135.
3
Ace Project, The Encyclopedia: Electoral Integrity. Dapat di akses di http://aceproject.org/ace-en, 2013, yang
dikutip oleh Kris Nugroho dan Ferry Daud M Liando, Nilai dan Asas Pemilu, Tata Kelola Pemilu di Indonesia,
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2019, hal. 25.
4
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Bab III Penanganan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Tahun
2019, Laporan Kinerja DKPP, 2019, hal. 50.

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


4

pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai dengan standar professional administrasi
penyelenggaraan pemilu. Kasus malpraktik tersebut pastinya berdampak langsung terhadap
tingkat kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara Pemilu.
B. Permasalahan
Pada penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019, salah satu kasus yang menonjol
yang menjadi catatan DKPP terhadap pelanggaran malpraktik terhadap administrasi Pemilu.
pelanggaran tersebut mulai dari penanganan laporan pelanggaran Bawaslu, rekomendasi
Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti KPU, dan putusan Bawaslu yang tidak dilaksanakan KPU.
Isu ini cukup banyak terjadi pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara dan tahapan
rekapitulasi suara. Selain itu, permaslahan rekomendasi Bawaslu mengenai Pemungutan Suara
Ulang (PSU) atau Pemungutan Suara Lanjutan (PSL) juga menjadi perkara yang diperiksa dan
diputus DKPP.5
Makalah ini akan memfokuskan terjadinya malpraktik administrasi pemilu yang
dilakukan anggota KPU Kota Palembang pada penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019.
Bawaslu Kota Palembang mengajukan permohonan pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh Ketua dan Anggota KPU Kota Palembang ke DKPP dengan nomor pengaduan: 151-P/L-
DKPP/VI/2019 yang diregistrasi dengan Perkara Nomor 147-PKE-DKPP-VII/2019. Dalam
amar putusan DKPP tersebut, Teradu yaitu Ketua dan Anggota KPU Kota Palembang
dinyatakan bersalah dan DKPP memberikan sanksi kepada Teradu berupa pemberhentian
tetap sebagai ketua dan anggota KPU karena telah terbukti secara sah dan menyakinkan
berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Nomor 135/PID/2019/PT.PLG yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau Inkrah.
Latar belakang putusan DKPP tersebut dikarenakan Teradu telah melakukan
pelanggaran kode etik karena tidak menjalankan rekomendasi Panwaslu kecamatan Ilir Timur
II untuk melaksanakan Pemungutan Suara Lanjutan (PSL). pada tanggal 27 April 2019
seharusnya dilaksanakan PSL berdasarkan keputusan KPU Kota Palembang Nomor:
388/PL.01.7-Kpt/1671/KPU-Kot/IV/2019 di 16 TPS, tetapi hanya 13 TPS yang dilaksanakan
PSL. Bawaslu melakukan klarifikasi terhadap KPU Kota Palembang. Hasil klarifikasi
diperoleh fakta bahwa beberapa KPPS menandatangani surat pernyataan tidak mau
melaksanakan PSL yang formatnya sudah disiapkan oleh KPU Kota Palembang. Sehingga
tindakan KPU Kota Palembang yang tidak melaksanakan rekomendasi tersebut telah
bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena dianggap dengan
sengaja menghilangkan hak pilih masyarakat.
5
Ibid., hal. 62-63.

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


5

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan diatas, pertanyaan pada penelitian ini adalah
1. Bagaimana praktik malpraktik yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota KPU Kota
Palembang pada Pemilu Tahun 2019?
2. Bagaimana dampak negatif dari praktik malpraktik tersebut terhadap kualitas Pemilu?
D. Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah sebagaimana tersaji di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui malpraktik yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota KPU Kota
Palembang pada Pemilu Tahun 2019.
2. Untuk mengetahui dampak negatif dari praktik malpraktik tersebut terhadap kualitas
Pemilu.
E. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau signifikansi akademis dan
praktis sebagai berikut:
1. Signifikansi Akademis
Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah ilmu pengetahuan
dan ketajaman analisis yang terkait dengan masalah malpraktik administrasi pemilu yang
terjadi pada penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019.
2. Signifikansi Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
penyelenggara Pemilu, Pemilih dan pemerintah khususnya pembuat kebijakan untuk
dapat membuat kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas dan integritas Pemilu dengan
meminimalisir terjadinya praktik malpraktik administrasi Pemilu.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan
kontruktif, metode desriptif-analisis dan melakukan pengumpulan data melalui kajian
kepustakaan.
G. Landasan Teori
Pelanggaran Pemilu melalui malpraktik Pemilu merupakan permasalahan yang dapat
mengurangi kualitas pemilu yang berintegritas. Menurut sarah Birch malpraktik Pemilu dapat
dibedakan menurut objeknya: Pertama, manipulasi terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur Pemilu (manipulation of election legal framework), penyimpangan ini
biasanya terjadi sebelum pemilu dilaksanakan (pre-election manipulation). Kedua manipulasi

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


6

pilihan pemilih (manipulation of vote choice), bertujuan untuk mengarahkan atau mengubah
pilihan pemilh dengan berbagai cara yang berisfat manipulatif. Penyimpangan ini terjadi
mulai tahapan awal Pemilu sampai sesaat seblum pemberian suara (mid election period);
Ketiga, manipulasi terhadap proses pemungutan suara dan perhitungan suara, rekapitulasi
hasil perhitungan suara, penyimpangan ini terjadi mulai dari pemungutan suara sampai
pengumuman hasil pemilu (manipulation of electoral administration). Proses ini terjadi mulai
dari pemungutan suara sampai pengumuman hasil Pemilu.6
Selain itu Rafael Lopez Pintor (2010) mendefinisikan malpraktik Pemilu sebagai tindakan
pelanggaran terhadap integritas Pemilu, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, baik
legal maupun ilegal. Kecurangan Pemilu adalah bentuk malpraktik Pemilu yang serius karena
dilakukan dengan melanggar prosedur dan merubah hasil Pemilu.7
Pandangan lain oleh Chard Vickery dan Erica Shein (2012) Malapraktik pemilu adalah
pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu yang bersifat tidak sadar, atau tidak
sengaja, seperti lalai, ceroboh, tidak teliti, kekurangan sumber daya, atau ketidakmampuan
dari pihak penyelenggara dan pelaksana pemilu. Sementara pelanggaran yang secara sadar
atau sengaja dilakukan partai dan aparatnya, kandidat dan staf yang membantu dalam pemilu,
ataupun penyelenggara dan pelaksana pemilu dimasukkan ke dalam konsep baru yang disebut
electoral fraud.8
Menurut Ramlan (2014) manipulasi pemilihan terdiri atas 2 tipe yaitu mencegah warga
yang berhak memilih untuk memberikan suara secara bebas (bahkan ada kalanya mencegah
warga untuk memilih) serta dapat pula terjadi dalam bentuk mengubah hasil pemungutan dan
penghitungan suara. Malpraktik pemilu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu (penyelenggara tetap maupun sementara), peserta pemilu (termasuk tim
sukses dan calon legislatif), pejabat pemerintah (termasuk ASN), maupun pemilih baik
sengaja ataupun tidak, merekayasa/memanipulasi atau karena kelalaian/kecorobohan terhadap
proses dan integritas hasil pemilu.9
II. Uraian
Pemilu tahun 2019 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan secara serentak
dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan
6
Sarah Birch, 2011, Electoral Malpractice, Oxford: Oxford University Press, hal. 27-29.
7
Rafael Lopez Pintor, 2010, Assessing Electoral Fraud in New Democrasi Basic Canceptual Framework,
Washington DC: IFES, hal. 9.
8
Chard Vickery dan Erica Shein, Assessing Electoral Froud in New Democracies: Refining the Vocabulary,
Washington: IFES, 2012, hal. 9-12.
9
Ramlan Surbakti, dkk, 2014, Integritas Pemilu 2014 Kajian Pelanggaran Kekerasan, dan penyalahgunaan
Uang pada Pemilu 2014, Jakarta: Kemitraan, hal. 5.

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


7

Mahkamah Konstitusi Nomor 14 / PUU-11/2013. KPU bersama KPUD melaksanakan pemilu


diseluruh daerah, salah satu daerah tersebut adalah Kota Palembang. Kota Palembang masuk
dalam salah satu kota di Indonesia yang paling tinggi tingkat kerawanannya, salah satu
faktornya adalah Palembang merupakan ibu Kota Provinsi, maka dari itu Jumlah DPT dan
Jumlah TPS paling tinggi di Sumsel sehingga kecurangan rawan terjadi yang dilakukan oleh
peserta maupun penyelenggara.
Integritas dari komisioner sebagai penyelenggara dibutuhkan, karena Penyelenggara
pemilu dipandang sebagai institusi yang memberikan pertanggungjawaban baik secara vertical
maupun horizontal selama proses pemilihan dengan meminta kepada para elit untuk mematuhi
peraturan yang ada serta menjamin hak pilih warga negara selama proses pemilihan (Kerr dan
Anna Lührmann, 2017). Sepuluh komisioner diatas menjadi orang yang paling bertanggung
jawab dalam menyukseskan pemilihan umum di Kota Palembang dengan melaksanakan
prinsip integritas pemilu.
KPUD bersama Bawaslu Palembang menjadi pelaksana pemilu tahun 2019 di Kota
Palembang, seperti dengan daerah lainnya masing – masing komisioner KPUD dan Bawaslu
terdiri dari 5 orang. Kelima komisioner KPUD tersebut adalah Eftiyani (Ketua), Abdul
Malik (Anggota), Syafarudin Adam (Anggota), Alex Berzili (Anggota), Yetty Oktarina
(Anggota). Sedangkan komisioner Bawaslu Kota Palembang terdiri dari M. Taufik (Ketua),
Dadang Apriyanto (Anggota), Eva Yuliani (Anggota), Eko Kusnadi (Anggota), Sri
Maryanti (Anggota).
Dalam pelaksanaan pemilu di Kota Palembang menimbulkan masalah berupa tidak
cukupnya logistik di beberapa TPS, seperti banyak terdapat kekurangan surat suara Presiden
yang terjadi di beberapa Kelurahan yang terdapat di Kec Ilir Timur II, yaitu diantaranya
terjadi di Kel. Sungai Buah, 2 Ilir dan Lawang Kidul, kekurangan surat suara tersebut tidak
bisa terpenuhi sampai dengan saat pencoblosan selesai dilaksanakan. Sehingga Panwaslu
mengeluarkan Rekomonedasi untuk dilaksanakannya PSL (Pemungutan Suara Lanjutan)
untuk menagkomodir pemilih yang belum menyalurkan suaranya. Sebanyak total 70 TPS
yang direkomendasikan untuk dilaksanakan. Tetapi hanya 16 TPS yang ditetapkan untuk
melakukan PSL di Kecamatan Ilir Timur II, tetapi lagi lagi dalam pelaksanaan PSL hanya di
13 TPS saja yang melaksanakan PSL. Dilakukan klarifikasi yang dilaksanakan oleh bawaslu
dan diperoleh fakta bahwa KPPS menolak untuk melaksanakan pemilihan ulang melalui surat
pernyataan yang dibuat oleh KPUD Kota Palembang. Hal ini Bertentangan dengan UU
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu karena dianggap dengan sengaja menghilangkan hak
pilih masyarakat.

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI


8

Bawaslu tidak puas dengan kinerja dari KPUD dalam menindaklanjuti rekomendasi
untuk dilaksanakan PSL (Pemungutan Suara Lanjutan) sehingga melaporkan Komisioner
KPUD kepada DKPP karena dinilai melanggar kode etik penyelenggaraan. Sehingga DKPP
berdasarkan penilaian terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan mengeluarkan
putusan Nomor: 147-PKE-DKPP/VII/2019 bahwa:
1. Mengabulkan Pengaduan Pengadu untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Teradu I Eftiyani, Teradu II Abdul Malik, Teradu III Syafarudin
Adam, Teradu IV Alex Berzili, dan Teradu V Yetty Oktarina tidak lagi memenuhi
syarat untuk menjadi penyelenggara pemilu di masa yang akan datang terhitung sejak
dibacakannya Putusan ini;
3. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melaksanakan
Putusan ini paling lama 7 (tujuh) hari sejak dibacakan; dan
4. Memerintahkan Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia untuk mengawasi
pelaksanaan Putusan ini.
Jika merujuk pada teori Sarah Birch manipulasi terhadap proses pemungutan suara dan
perhitungan suara, rekapitulasi hasil perhitungan suara, penyimpangan ini terjadi mulai dari
pemungutan suara sampai pengumuman hasil pemilu (manipulation of electoral
administration). Proses ini terjadi mulai dari pemungutan suara sampai pengumuman hasil
Pemilu

III. Kesimpulan
A. Kesimpulan

B. Temuan Penelitian

C. Implikasi Teoritis
IV. Daftar Referensi

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Anda mungkin juga menyukai