2013
www.kpk.go.id
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
Ringkasan Eksekutif
Dalam era demokrasi, pemilu sebagai praktik politik praktis merupakan faktor penting yang dapat
menjadi instrumen kontrol masyarakat kepada penguasa. Pemilu melahirkan pemimpin dan partai
politik yang mengemban amanah untuk mensejahterakan masyarakatnya dan juga menjadi saringan
terhadap para politisi berdasarkan preferensi tertentu dari pemilih, termasuk integritasnya.
Masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi di eksekutif dan legislatif dapat
menjadi indikasi bahwa pemilu belum efektif dalam menghasilkan politisi-politisi dan partai politik
yang berintegritas. Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam
membantu mewujudkan para pemimpin dan partai politik yang berintegritas melalui pemilu yang
berintegritas semakin signifikan dalam agenda pemberantasan korupsi.
Survei Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu (SPM Integritas Pemilu) tahun 2013 berusaha
untuk memperlihatkan gambaran persepsi, tingkat pemahaman, sikap dan kecenderungan perilaku
masyarakat terhadap integritas para peserta pemilu, termasuk agenda pemberantasan korupsi.
Survei ini diharapkan juga dapat menjadi alat ukur tingkat pemahaman dan ekspektasi masyarakat
mengenai pemilu yang berintegritas dan membantu kinerja KPK dalam upaya mewujudkan sistem
politik yang berintegritas sebagai salah satu poin penting strategi pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan survey dalam
mengumpulkan data dan informasi, gambaran tentang pengetahuan dan persepsi masyarakat
terhadap integritas pemilu. Pengumpulan data primer SPM Integritas Pemilu tahun 2013
menggunakan metode wawancara langsung (tatap muka) dengan responden. Alat bantu yang
digunakan dalam wawancara langsung ini adalah kuesioner terstruktur.
Pada tahun 2013 ada 16 Provinsi, 80 Kabupaten/kota1 yang melaksanakan Pemilukada. Agar lebih
fokus pada hasil yang diharapkan dan keterbatasan waktu yang dimiliki, maka pengambilan sampel
penelitian ditujukan kepada daerah yang akan dan telah melaksanakan pemilukada provinsi pada
tahun 2013 di Indonesia dan mewakili Indonesia bagian Barat, bagian Tengah dan bagian Timur.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, terpilih 10 kota yaitu: Medan (Provinsi Sumatera Utara),
Palembang (Provinsi Sumatera Selatan), DKI Jakarta, Bandung (Provinsi Jawa Barat), Surabaya
(Provinsi Jawa Timur), Samarinda (Provinsi Kalimantan Timur), Mataram (Provinsi Nusa Tenggara
Barat), Denpasar (Provinsi Bali), Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Ambon (Provinsi Maluku).
Khusus untuk DKI Jakarta, meskipun Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan tahun 2012,
tetap dimasukan dalam lokasi survei karena merupakan ibu kota negara dan menjadi barometer
politik nasional.
Penentuan sebaran responden di 10 kota didasarkan pada rasio antara jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
dengan bobot 30 : 30 : 20 : 20. Kota DKI Jakarta mendapat porsi responden paling besar yaitu
sebanyak 300 orang dan kota Ambon yang terkecil sebanyak 45 orang. Jumlah responden dalam
SPM Integritas Pemilu tahun 2013 secara keseluruhan adalah 1220 orang (melebihi target awal
sebanyak 1200 responden), terdiri dari 44.67% pria (545 orang) dan 55.33% wanita (675 orang).
1
Data berdasarkan pada jadwal pemilukada yang dilaksanakan pada tahun 2013, diunduh dari
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/%2819.2.2013%29%20AMJ%20PEMILUKADA%202013.pdf
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK i
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
Survei ini secara umum mengukur 3 variabel yakni; Variabel Pengetahuan dan Kesadaran akan
Pemilu yang beritegritas, dan Variabel memilih dengn cara yang berintegritas. Hasil dari survey
terhadap 3 variabel tersebut antara lain;
1. Dari 3 variabel utama yang diukur oleh Survei ini, maka Variabel Pengetahuan dan kesadaran
akan Pemilu yang berintegritas adalah variabel yang paling rendah pencapaiannya atau
paling perlu menjadi perhatian bagi KPK dibanding dua variabel lainnya. Hal tersebut
dibuktikan dengan fakta berikut;
a. Integritas belum dikenal oleh masyarakat Indonesia. Hanya 26.39% responden yang
menyatakan pernah mendengar, membaca atau mengetahui kata “integritas” dan hanya
7.43% responden yang memahami “integritas” sesuai dengan definisi KPK
b. 78.20% responden sudah mengetahui tentang apa itu politik uang, dan 71.72%
responden juga sepakat bahwa praktik politik uang dalam pemilu merupakan hal yang
umum terjadi di Indonesia. Bahkan nyaris seluruh responden (92.70%) menyatakan
bahwa pemimpin dan politisi yang tersangkut kasus korupsi merupakan hal yang umum
terjadi di Indonesia
c. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap aturan pemilu yang berhubungan dengan
integritas pelaksanaan pemilu juga masih rendah. Dari enam aturan yang ditanyakan,
kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan sebelum pemilu diadakan merupakan
aturan yang paling diketahui oleh masyarakat (69.92%) sedangkan aturan yang
membatasi jumlah sumbangan dana kampanye merupakan yang paling sedikit diketahui
masyarakat (33,69%)
d. Dalam memilih partai politik 20,9% responden menjadikan perilaku dari kader partai
sebagai referensi utama, sementara hanya 10,16% responden yang menjadikan ideology
sebagai referensi utama dalam memilih partai politik.
e. Dalam memulih calon pemimpin, perilaku dan karakter calon pimpinan menjadi referensi
yang paling banyak dipilih oleh responden (22,38%), namun masih ditemui adanya
responden yang menjadikan agama sebagai referensi dalam memilih calon pemimpin.
18,01% responden di Jakarta menjadikan agama sebagai acuan dalam memilih calon
pemimpin
f. Nilai jujur, sudah menjadi nilai yang mayoritas diacu oleh responden dalam memilih
karakter calon pemimpin (54,59%). Dari ketiga nilai yang diusung KPK ternyata nilai adil
hanya dijadika referensi bagi 6,31% responden dan nilai tanggung jawab hanya dijadikan
referensi oleh 11,89% responden
2. Untuk variabel memilih pemimpin yang berintegritas, hasilnya ternyata cukup positif. Secara
umum masyarakat sepakat menginginkan figure calon pemimpin yang berintegritas. Hal ini
terlihat dalam survei ini antara lain ketika responden dihadapkan pada beberapa contoh perilaku
negatif kandidat, maka jawaban responden cenderung tidak mendukung kandidat yang
bersangkutan. Perilaku yang banyak ditolak responden adalah bila kandidat tidak melaporkan
dan membayar pajak secara jujur 84% menyatakan tidak mendukung perilaku tersebut.
3. Untuk variabel memilih dengan cara yang berintegritas, sudah tercatat beberapa hal positif yang
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keinginan untuk memilih dengan cara yang
berintegritas. Hal tersebut dibuktikan dengan kondisi sebagai berikut; 70,8% responden setuju
bahwa perilaku perilaku kandidat/calon pemimpin yang membiarkan tim sukses kampanyenya
melakukan kecurangan aturan adalah suatu perbuatan yang tidak baik. Namun masih dijumpai
responden yang menyatakan bahwa perilaku menjanjikan/memberikan uang atau materi kepada
masyarakat menjelang pemilu (politik uang) adalah perilaku yang lumrah (11,8%) bahkan 6,31%
responden menyatakan hal tesebut adalah tindakan yang baik
Terdapat beberapa poin penting yang dapat ditindaklanjuti oleh KPK berdasarkan hasil survei ini,
diantaranya :
1. Melakukan sosialisasi terhadap kata Integritas dengan menggunakan istilah yang lebih membumi
dan dikenal oleh masyarakat
2. Masyarakat sudah sepakat untuk memilih yang pemimpin yang berintegritas namun tidak
memiliki informasi memadai tentang figure calon yang akan dipilih. Untuk itu KPK bisa
bekerjasama dengan stakeholder lainnya untuk menampilkan figure dari calon pemimpin yang
sebenarnya.
3. Menyusun program intervensi yang strategis ke masyarakat yang bertujuan mensosialisasikan
nilai-nilai integritas dalam menyambut Pemilu 2014.
Kata Pengantar
Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, oleh karenaNya maka laporan Survei Persepsi
Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu tahun 2013 dapat terselesaikan dengan baik. Survei ini
bertujuan untuk memperlihatkan gambaran persepsi, tingkat pemahaman, sikap dan kecenderungan
perilaku masyarakat terhadap integritas para peserta pemilu, termasuk agenda pemberantasan
korupsi. Survei ini diharapkan juga dapat menjadi alat ukur tingkat pemahaman dan ekspektasi
masyarakat mengenai pemilu yang berintegritas dan membantu kinerja KPK dalam upaya
mewujudkan sistem politik yang berintegritas sebagai salah satu poin penting strategi
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, masih ada beberapa kekurangan yang terjadi, hal itu dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh sebab itu masukan dan kritik
yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan untuk kesempurnaan laporan ini.
Pada kesempatan ini pula, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan maupun pembuatan
laporan. Kiranya kerjasama yang telah terjalin dapat terbangun lebih baik dan efektif lagi dalam
rangka upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang.
Kamus Definisi
• Integritas: kesatuan dan keselarasan akan pikiran, sikap dan perilaku terhadap nilai-nilai
tertentu dalam tingkat individu (pemilih) yang dilakukan dengan penuh komitmen secara
konsisten. Nilai-nilai yg dimasukkan dalam survei ini adalah Kejujuran, Keadilan, Bertanggung
jawab
• Keadilan dioperasionalkan dalam bentuk memenuhi hak orang lain; mematuhi kewajiban
yang mengikat diri sendiri; tidak berpihak pada golongan/kelompok tertentu, namun
berpihak hanya pada kebenaran
• Tanggung jawab dioperasionalkan dalam bentuk teguh hingga terlaksananya tugas; tekun
melaksanakan kewajiban hingga selesai; bersedia menerima konsekuensi dari apa yang
dilakukan
• Politik uang: segala bentuk pemberian (janji, uang/barang dan atau jasa) dari calon
pemimpin, caleg, partai politik maupun tim suksesnya kepada masyarakat menjelang dan
atau saat pemilu dengan tujuan mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon atau partai
tertentu dalam pemilu.
• Kemampuan calon pemimpin atau kader parpol artinya prestasi-prestasi dan kompetensi
yang dimiliki oleh calon pemimpin atau kader parpol tsb.
• Janji politik, visi, misi, dan program artinya janji politik, visi, misi dan program yang
ditawarkan oleh calon pemimpin atau parpol.
• Perilaku dan karakter calon pemimpin atau kader parpol artinya perilaku dan karakter
sehari-hari yang ditunjukan oleh calon pemimpin kader parpol tersebut.
• Rekam jejak calon pemimpin atau kader parpol artinya segala pengalaman para calon
pemimpin atau kader parpol yang bersih dari tindak pidana dan permasalahan etika di masa
lalu.
• Memilih Pemimpin yang Berintegritas meliputi sikap dan perilaku responden terhadap
integritas calon pemimpin seperti praktik politik uang, pengemplang pajak, tindakan
koruptif, tindakan asusila/etika, dan tindakan SARA.
• Memilih dengan cara yang berintegritas meliputi sikap pemilih terhadap praktik politik uang
dan memilih dengan mencari informasi visi, misi dan rekam jejak parpol/calon pemimpin
• Referensi dalam memilih calon pemimpin parpol adalah apa yang menjadi dasar responden
memilih calon pemimpin atau parpol dalam pemilu. Terkait integritas pemilu, referensi yang
dinilai adalah: perilaku dan karakter kader calon pemimpin atau parpol; visi, misi dan
program calon pemimpin atau parpol; rekam jejak kader calon pemimpin atau parpol; dan
kemampuan calon pemimpin atau kader parpol
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK v
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
• Perilaku dan karakter pemimpin ideal adalah perilaku dan karakter yang menurut responden
harus dimiliki oleh calon pemimpin. Dalam integritas pemilu, perilaku dan karakter yang
diharapkan adalah jujur, adil dan tanggung jawab
• Program kerja prioritas pemimpin ideal adalah program kerja yang menurut responden
harus diprioritaskan oleh calon pemimpin. Dalam integritas pemilu, program kerja yang
diharapkan adalah pembenahan sistem birokrasi/pelayanan publik dan pencegahan korupsi
• Kemampuan yg perlu dimiliki pemimpin ideal adalah kemampuan yang menurut responden
harus dimiliki oleh calon pemimpin. Dalam integritas pemilu, kemampuan yang diharapkan
adalah leadership, manajerial dan prestasi kerja di bidang masing-masing.
• Sikap Terhadap Perilaku Pemimpin Terkait Integritas adalah sikap responden (setuju/tidak
setuju) terhadap perilaku-perilaku yang menunjukan integritas calon pemimpin seperti
praktik politik uang, tindakan korupsi, tindakan asusila/etika, dsb.
• Sikap Terhadap Perilaku Pemilih Terkait Integritas adalah sikap responden (setuju/tidak
setuju) terhadap perilaku-perilaku yang menunjukan integritas pemilih terhadap praktik
politik uang dan pencarian informasi rekam jejak dan visi, misi para calon pemimpin/parpol.
• Kepemimpinan meliputi visi, misi dan tujuan, kemampuan berpikir strategis, menjadi teladan
dan inspirasi bagi yang dipimpin
• Manajerial meliputi kemampuan mengelola organisasi dlm segala aspek sumber daya,
membuat skala prioritas kerja dan kebijakan, menjalankan organisasi seusai rencana dan
sumber daya, mengevaluasi target capaian.
Daftar Isi
1 PENDAHULUAN
Terwujudnya politik yang berintegritas merupakan modal berharga demi terciptanya tata kelola
pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi. Sebaliknya, rendahnya integritas dalam berpolitik
dapat membuat kekuasaan hanya menjadi alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan
dengan mengorbankan kepentingan publik. Dalam era demokrasi, pemilu sebagai praktik politik
praktis merupakan faktor penting yang dapat menjadi instrumen kontrol masyarakat kepada
penguasa. Pemilu melahirkan pemimpin yang mengemban amanah untuk mensejahterakan
masyarakatnya. Pemilu juga dapat menyaring para calon pemimpin tersebut berdasarkan referensi
tertentu dari pemilih, termasuk referensi tingkat integritas calon pemimpin tersebut.
Masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pemimpin baik di eksekutif, legislatif dan
yudikatif dapat menjadi indikasi bahwa proses pemilihan pemimpin yang ada belum efektif dalam
menghasilkan pemimpin yang berintegritas. Pemilu yang merupakan salah satu proses memilih
pemimpin, memiliki peran strategis karena melibatkan rakyat secara langsung. Oleh karena itu,
meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam membantu mewujudkan para
pemimpin yang berintegritas melalui pemilu yang berintegritas semakin signifikan dalam agenda
pemberantasan korupsi.
Untuk lebih mengoptimalkan peran serta masyarakat, sesuai dengan pasal 41 ayat (1) dan (3) UU No.
31 Tahun 19992 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka perlu adanya persepsi dan pemahaman yang
benar dalam masyarakat mengenai perbuatan/tindakan apa saja yang terkait dalam tindak pidana
2
Pasal 41 UU 31 tahun 1999:
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
korupsi. Salah satu upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pelaksanaan pemilu yang
berintegritas. Survei Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu (SPM Integritas Pemilu) tahun
2013 menghadirkan gambaran persepsi, tingkat pemahaman, sikap dan kecenderungan perilaku
masyarakat terhadap integritas para calon pemimpin dan partai politik, termasuk di dalamnya hal-
hal yang terkait dengan agenda pemberantasan korupsi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan
pemimpin adalah seluruh politisi calon legislatif maupun eksekutif.
Survei ini diharapkan juga dapat menjadi alat ukur tingkat pemahaman dan ekspektasi masyarakat
mengenai pemilu yang berintegritas dan membantu kinerja KPK dalam upaya mewujudkan sistem
politik yang berintegritas sebagai salah satu poin penting strategi pemberantasan korupsi di
Indonesia.
1.3 Metodologi
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif dengan menggunakan survei dalam mengumpulkan informasi, gambaran tentang
pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap integritas pemilu. Hasil penelitian ini akan dijadikan
baseline bagi pengukuran integritas pemilu di tahun berikutnya.
Pengumpulan data primer SPM Integritas Pemilu tahun 2013 menggunakan metode wawancara
langsung (tatap muka) dengan responden. Alat bantu yang digunakan dalam wawancara langsung ini
adalah kuesioner terstruktur.
Kriteria tersebut dibuat menyerupai persyaratan seseorang yang memiliki hak memilih dalam Pemilu
dan hanya ditambahkan domisili responden harus pada kota dimana survei dilakukan. Hal ini agar
seluruh pemilih dalam pemilu memiliki kesempatan untuk disurvei dalam SPM Integritas Pemilu
tahun 2013.
Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terakhir (2009)
sebanyak 176.367.056 orang. Dengan menggunakan rumus Slovin dengan asumsi populasi
berdistribusi normal, sebagai berikut:
N
n=
1+Ne2
Dari penghitungan statistik tersebut terlihat bahwa jumlah minimum responden adalah 400. Namun,
dengan pertimbangan kebutuhan analisis per kota, ketersediaan anggaran dan sumber daya, maka
jumlah responden untuk survei ini ditetapkan minimal berjumlah 1200 orang.
3
www.kpu.go.id/dmdocuments/2819.2.2013/pemilukada2013.pdf
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK 3
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
Dari tabel di atas, penentuan sebaran responden di 10 kota didasarkan pada rasio antara jumlah
penduduk, kepadatan penduduk, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dengan bobot 30:30:20:20. Kota DKI Jakarta mendapat porsi
responden paling besar yaitu sebanyak 300 orang dan kota Ambon yang terkecil sebanyak 45 orang.
Penentuan responden pada masing-masing kota dilakukan secara acak dan bertahap pada tingkat
kecamatan, kelurahan, RW dan RT. Pada masing-masing tingkat diambil masing-masing 20%
keterwakilan. Setelah itu, penentuan individu untuk menjadi responden dilakukan dengan
pengacakan pada DPT/DPS pada tingkat RT dengan menggunakan interval dengan pembagi sesuai
dengan jumlah responden yang dibutuhkan pada RT tersebut.
c. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor untuk kota Jakarta
d. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran untuk kota Bandung
e. Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember untuk kota Surabaya
f. Laboratorium Statistika Jurusan Matematika Universitas Udayana untuk kota Denpasar
g. Nusra Institute untuk kota Mataram
h. Centre For Research And Public Policy Studies untuk kota Samarinda
i. Jurusan Matematika Universitas Hasanuddin untuk kota Makassar
j. Jurusan Matematika Universitas Pattimura untuk kota Ambon
Irisan hasil diskusi pakar di KPK dan berbagai literatur terkait budaya dan psikologi
menyebutkan nilai-nilai utama yang perlu ada dalam diri seseorang adalah ketiga nilai
tersebut
Relevan dengan konteks pemilu yg memiliki azas jujur & adil (jurdil)
Fokus dan simplifikasi program pengukuran dan program intervensi KPK ke depan
Dari sisi pemilih, integritas dilihat pada dua aspek, yaitu pemilih yang memilih parpol/calon
pemimpin yang berintegritas dan pemilih yang memilih dengan cara yang berintegritas. Sedangkan
calon pemimpin yang berintegritas dilihat dari nilai/karakter dan perilaku jujur, adil dan tanggung
jawab yang dimiliki; program visi misi yang jelas termasuk program anti korupsi; dan kemampuan
atau prestasi yang telah ditunjukan. Sedangkan indikator memilih dengan cara berintegritas, dilihat
dari penolakan terhadap politik uang; memilih parpol atau calon pemimpin berdasarkan visi misi dan
program; dan sifat pro-aktif mencari informasi mengenai visi misi dan program serta rekam jejak
kandidat.
Berangkat dari konsep tersebut dan hasil survei yang didapatkan, analisis data dilakukan secara
deskriptif statistik (nilai tengah, ukuran dispersi, dan tabulasi silang) yang digunakan untuk
menggambarkan baik karakteristik, kesadaran, pengetahuan, sikap, maupun perilaku responden
terhadap integritas para kandidat legislatif dan eksekutif dan cara memilih yang berintegritas dalam
pemilu.
Hasil survei juga dijadikan indeks yang dinamakan Indeks Integritas Pemilih dalam Pemilu (Indeks
Integritas Pemilu). Hasil survei diberikan skor pada setiap variabel, indikator dan sub-indikator yang
digunakan. Selain itu, dilakukan juga Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) untuk melakukan
pembobotan pada setiap variabel, indikator dan sub-indikator. Peserta FGD yang melakukan
pembobotan adalah pegawai KPK dari berbagai unit yang terkait.
Dalam penyusunan indeks ini, variabel yang sebelumnya ditetapkan hanya 2 (dua), yaitu Memilih
Pemimpin Yang Berintegritas dan Memilih Dengan Cara Yang Berintegritas, ditambah satu variabel
yaitu variabel Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai Pemilu Berintegritas. Variabel ini pada
dasarnya termasuk dalam dua variabel sebelumnya, namun karena saling beririsan dan untuk lebih
memudahkan pembobotan, maka Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai Pemilu Berintegritas
dipisahkan menjadi variabel tersendiri. Gambaran skema variabel, indikator dan sub-indikator yang
akan dipergunakan dalam pengukuran indeks integritas pemilih dalam pemilu tahun 2013 tersaji
pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Skema Variabel, Indikator dan Sub-indikator Survei Integritas Pemilih dalam Pemilu
2013
1.4 Pelaporan
Keluaran SPM Integritas Pemilu tahun 2013 ini berupa laporan hasil analisis data secara nasional.
Namun demikian, untuk kebutuhan internal, isi laporan juga mengelaborasi data berdasarkan daerah
maupun karakteristik tertentu yang telah didefinisikan dalam kuesioner.
2 KARAKTERISTIK RESPONDEN
Jumlah responden dalam SPM Integritas Pemilu tahun 2013 secara keseluruhan adalah 1220 orang
(melebihi target awal sebanyak 1200 responden). Responden tersebut tersebar di 10 kota, dengan
rincian sebaran seperti ditunjukan pada Tabel 2.1.
Ditinjau dari tingkat pendidikan, 559 responden adalah tamatan SMA (45.82%), kemudian diikuti
oleh tamatan SMP sebanyak 231 responden (18.93%), tamatan SD 189 responden (15.49%) dan
sisanya adalah lulusan Sarjana, Akademi Diploma, Tidak tamat SD dan Pascasarjana seperti
ditunjukkan oleh Grafik 2.1 berikut:
Dilihat dari jenis pekerjaan responden, kebanyakan responden berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga
(IRT) sebanyak 30.98%. Profesi wiraswasta dan karyawan swasta menjadi profesi dominan
berikutnya yaitu sebesar 25.00% dan 16.15%. Secara lengkap, jenis pekerjaan responden dapat
dilihat pada Grafik 2.2 di bawah ini.
TIDAK MENJAWAB
DLL
SWASTA
PROFESIONAL
PNS
PENSIUNAN
MAHASISWA
IRT
INFORMAL
WIRASWASTA
Dari sisi pengeluaran rata-rata bulanan, kebanyakan responden memiliki pengeluaran antara Rp.
1.750.001 sampai Rp. 2.500.000 sebanyak 280 responden (22.95%), antara Rp. 1.250.001 sampai Rp.
1.750.000 sebanyak 234 responden (19.18%) dan antara Rp. 2.500.001 sampai Rp. 3.500.000
sebanyak 228 responden (18.69%) seperti ditunjukan pada Tabel 2.2 berikut:
Untuk variabel pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait integritas dalam pemilu pada SPM
Integritas Pemilu 2013 dilihat dalam tiga hal yakni; Pertama, pengetahuan dan keasadaran
masyarakat atas tindak pidana korupsi; Kedua, Pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas politik
uang, dan ketiga, pengetahuan masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang mengatur hal-hal
terkait integritas dalam pemilu. Jawaban dari pertanyaan survey terkait ke-3 hal tersebut
menggambarkan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan integritas, politik uang dan
peraturan-peraturan terkait integritas dalam pemilu.
40%
20%
0%
Medan Palembang Jakarta Bandung Surabaya Denpasar Mataram Samarinda Makassar Ambon Total
Ya 51.20% 13.40% 31.83% 18.67% 23.60% 28.75% 12.86% 12.31% 22.00% 33.33% 26.39%
Grafik 3.1 memperlihatkan bahwa kata “integritas” bukan kata yang dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Hanya 26.39% responden yang menyatakan pernah mendengar, membaca atau
mengetahui kata “integritas”. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya
jumlahnya tidak mencapai 40%. Dari 10 kota, hanya ada dua satu yang jumlah respondennya
menyatakan pernah mendengar, membaca atau mengetahui kata “integritas” yaitu Medan dengan
51.20%.
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan responden, hasilnya tidak mengejutkan. Kebanyakan
responden yang mengenal kata integritas adalah responden dengan tingkat pendidikan tinggi,
meskipun persentasenya juga hanya 61.24%, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan
rendah dan menengah, kebanyakan tidak mengenal kata integritas. Hal ini dapat menyimpulkan
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK 9
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
bahwa pengenalan kata integritas masih terbatas di lingkungan akademis saja. Hal ini mungkin
dikarenakan oleh sosialisasi terhadap integritas baru secara massif dilakukan di lingkungan akademis
saja. Secara lengkap, pengetahuan terhadap integritas berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat
pada Grafik 3.2.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Rendah (tidak lulus SD, SD, SMP) Menengah (SMA, Diploma) Tinggi (S1, S2, S3)
TIDAK 92.01 67.20 38.76
YA 7.99 32.80 61.24
Lebih jauh, survei juga menanyakan pemahaman arti kata “integritas” kepada 26.39% responden
yang menyatakan pernah mendengar, membaca atau mengetahui tentang integritas. Hasil kemudian
dianalisis dengan membandingkan pemahaman arti kata “integritas” menurut responden dengan
arti kata “integritas” yang dimiliki oleh KPK. Dalam SPM Integritas Pemilu 2013 ini integritas
didefinisikan oleh KPK sebagai “kesatuan dan keselarasan akan pikiran, sikap dan perilaku terhadap
nilai-nilai tertentu dalam tingkat individu (pemilih) yang dilakukan dengan penuh komitmen secara
konsisten”.
Tabel 3.1 Kesesuaian Pemahaman Responden Dengan Definisi Integritas Menurut KPK
Tidak Sesuai/
No Kota Sebagian Sesuai Sesuai
Tidak Tahu
1 Medan 79.69% 10.94% 9.38%
2 Palembang 92.86% 7.14% 0.00%
3 Jakarta 25.25% 57.58% 17.17%
4 Bandung 93.75% 4.69% 1.56%
5 Surabaya 72.50% 20.00% 7.50%
6 Denpasar 70.83% 20.83% 8.33%
Tabel 3.1 Kesesuaian Pemahaman Responden Dengan Definisi Integritas Menurut KPK [lanjutan]
Tidak Sesuai/
No Kota Sebagian Sesuai Sesuai
Tidak Tahu
7 Mataram 90.00% 10.00% 0.00%
8 Samarinda 75.00% 12.50% 12.50%
9 Makassar 90.91% 9.09% 0.00%
10 Ambon 73.33% 20.00% 6.67%
Gabungan 71.46% 21.10% 7.43%
Tabel 3.1 menunjukan persentase jumlah responden yang dapat memahami arti kata “integritas”
sesuai dengan definisi yang dimiliki KPK. Dari seluruh responden yang menyatakan pernah
mendengar, membaca atau mengetahui tentang integritas, 71.46% memahami arti “integritas” tidak
sesuai dengan definisi KPK dan hanya 7.43% responden yang memahami “integritas” sesuai dengan
definisi KPK. Jika dilihat dari keseluruhan populasi, persentase ini lebih kecil lagi yaitu hanya 0.03%
atau hanya 31 dari 1220 responden. Jika dilihat per kota lokasi survei, terdapat dua kota yang
seluruh respondennya tidak bisa menjawab arti kata integritas sesuai dengan yang KPK inginkan
yaitu Kota Palembang dan Makassar.
Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bagi KPK dan berbagai pihak yang menyerukan kata
“integritas” kepada masyarakat sebagai bagian dari gerakan moral untuk pencegahan atau
pemberantasan korupsi karena kata tersebut ternyata masih cukup asing di tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk. Ada dua pilihan yang bisa dilakukan oleh KPK. Pertama, mengganti kata
“integritas” dengan padanannya yang lebih “membumi” di tengah masyarakat. Kedua, sosialisasi
terhadap kata “integritas” yang lebih intensif dan masif masih harus dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat sehingga pesan untuk mencegah korupsi dengan mengedepankan
integritas dapat tersampaikan dengan tepat. Jika kedua opsi tersebut tidak dipilih, seruan untuk
mengedepankan integritas demi mencegah korupsi di Indonesia hanya akan menjadi retorika yang
dipahami oleh segelintir orang saja.
yang umum terjadi di Indonesia, mayoritas responden menyatakan hal tersebut merupakan hal yang
umum terjadi di Indonesia.
80%
60%
40%
20%
0% Medan Palembang Jakarta Bandung Surabaya Denpasar Mataram Samarinda Makassar Ambon Gabungan
YA 96.00% 91.75% 95.82% 88.55% 95.03% 90.00% 85.71% 83.08% 94.00% 97.78% 92.70%
TIDAK TAHU 1.60% 8.25% 2.57% 6.63% 1.86% 1.25% 7.14% 10.77% 5.00% 2.22% 4.18%
TIDAK 2.40% 0.00% 1.61% 4.82% 3.11% 8.75% 7.14% 6.15% 1.00% 0.00% 3.11%
Sebanyak 92.70% responden menyatakan bahwa pemimpin yang tersangkut kasus korupsi
merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia dan hanya 3.11% yang menyatakan tidak. Jika dilihat
per kota, persentase responden yang menyatakan pemimpin tersangkut kasus korupsi adalah suatu
hal yang biasa terjadi selalu di atas 80%. Hal ini dapat menandakan bahwa kasus korupsi yang
melibatkan pemimpin masih marak terjadi dan mayoritas masyarakat telah sadar terhadap kasus-
kasus korupsi di Indonesia. Hal ini kemungkinan besar juga dibantu oleh peran media yang telah
memberitakan kasus-kasus korupsi sebagai berita utama kepada masyarakat.
Selanjutnya, ketika responden ditanyakan pendapatnya mengenai lokus korupsi yang melibatkan
pemimpin, jawabannya cukup beragam. Sebanyak 42.87% menyatakan kasus korupsi yang
melibatkan pemimpin lebih banyak terjadi di pusat dan hanya 9.75% menyatakan lebih banyak di
daerah. Sedangkan responden yang menjawab sama banyak antara pusat dan daerah adalah sebesar
37.87% dan yang tidak tahu sebesar 9.51%. Jika dilihat per kota, komposisi jawaban tiap kota juga
berbeda-beda. Di kota Medan dan Ambon, kebanyakan responden menyatakan kasus korupsi di
pusat dan daerah sama banyaknya, sedangkan di kota Denpasar, Mataram, Samarinda dan
Makassar, mayoritas responden menyatakan kasus korupsi lebih banyak terjadi di pusat. Pada kota-
kota lain seperti Palembang, Jakarta, Bandung dan Surabaya, tidak terdapat jawaban yang dominan
terhadap lokus korupsi yang melibatkan para pemimpin. Hasil persentase secara lengkap dapat
dilihat pada Grafik 3.4 di bawah.
Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa sebanyak 78.20% responden mengetahui politik uang dan sisanya
21.80% tidak mengetahui tentang politik uang. Jika dilihat per kota, hasilnya juga relatif sama,
kebanyakan masyarakat di kota tersebut sudah mengetahui politik uang. Hanya ada tiga kota dimana
responden yang mengetahui politik uang kurang dari 70% yaitu Samarinda (53.85%), Mataram
(55.71%) dan Denpasar (62.50%). Apakah hal ini mengindikasikan politik uang tidak marak di tiga
kota tersebut? Nampaknya masih terlalu dini untuk sampai kepada kesimpulan tersebut. Rendahnya
pengetahuan atau kesadaran terhadap politik uang pada tiga kota tersebut mungkin juga disebabkan
kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat tidak sadar terhadap politik uang menjelang dan atau
pada saat penyelenggaraan pemilu.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden, pengetahuan terhadap politik uang di tiap kelompok
tingkat pendidikan cukup merata. Tabel 3.2 menunjukan bahwa tiap kelompok pendidikan memiliki
tingkat pengetahuan politik uang yang sudah cukup baik dengan persentase pada kisaran 70 – 80%.
Hal cukup menarik terlihat pada kelompok tingkat pendidikan menengah yang memiliki tingkat
pengetahuan politik uang sedikit lebih baik dibanding tingkat pendidikan tinggi. Sebanyak 81.05%
responden pada kelompok tingkat pendidikan menengah menyatakan pernah tahu atau melihat
atau mendengar politik uang sedangkan pada kelompok tingkat pendidikan tinggi hanya 78.29%.
PEMBERIAN
UANG
77%
Grafik 3.6 menunjukan bahwa ketika responden yang mengetahui politik uang ditanya mengenai
bentuk-bentuk politik uang, jawaban langsung responden atau yang pertama keluar dari responden
(Top of Mind) yang paling dominan adalah pemberian uang (77%), pembagian sembako (14%) dan
pemberian sandang (3%).
Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden mengenai keumuman praktik politik uang di
Indonesia. Sebanyak 71.72% responden menyatakan bahwa praktik politik uang dalam pemilu
merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia dan hanya 2.70% yang menyatakan tidak, sedangkan
sisanya menyatakan tidak tahu. Jika dilihat per kota, terdapat tiga kota yang respondennya
menyatakan praktik politik uang adalah suatu hal yang biasa terjadi dengan angka persentase lebih
dari 80%, yaitu Ambon (86.67%), Jakarta (84.89%) dan Medan (88.00%). Secara lengkap jawaban
responden tiap kota dapat dilihat pada Grafik 3.7.
Jawaban responden ini perlu dijadikan peringatan bagi seluruh elemen yang terlibat dalam pemilu di
Indonesia karena praktik politik uang merupakan indikator penting untuk melihat tingkat integritas
pemilu. Tingginya praktik politik uang dalam pemilu dapat diartikan bahwa tingkat integritas pemilu
tersebut rendah.
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
Medan Palembang Jakarta Bandung Surabaya Denpasar Mataram Samarinda Makassar Ambon
Jika digabungkan antara kelaziman kasus korupsi yang melibatkan pemimpin dan kelaziman praktik
politik uang di Indonesia, korelasi jawaban responden antar keduanya dapat terlihat pada masing-
masing kota. Tren persentase responden pada di 10 kota yang menyatakan kasus korupsi yang
melibatkan pemimpin lazim terjadi menyerupai tren persentase responden terhadap lazimnya
praktik politik uang. Sebagai contoh, persentase responden di Jakarta yang menjawab kasus korupsi
yang melibatkan pemimpin lazim terjadi di Indonesia lebih tinggi dibanding Bandung dan Palembang,
maka persentase responden di Jakarta yang menjawab praktik politik uang lazim terjadi di Indonesia
juga lebih tinggi dibanding Bandung dan Palembang.
Terjadinya fenomena ini tentu menjadi hal menarik karena dua aktifitas yang memperlihatkan
tingkat integritas yang rendah dari para pemimpin di negeri ini dianggap lazim terjadi oleh sebagian
besar masyarakat. Memang perlu penggalian informasi dan analisis lebih lanjut mengenai fenomena
ini, terutama mengenai apakah masyarakat memiliki persepsi yang sama antara politik uang dengan
korupsi karena politik uang sangat mirip dengan salah satu tipologi korupsi, yaitu suap. Hal ini
menjadi penting karena jika memang masyarakat mempersepsikan politik uang sebagai suap, maka
pertanyaannya selanjutnya adalah sejauh apa masyarakat menerima praktik politik uang tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya dan bagian berikutnya dalam laporan ini yang menunjukan bahwa
sebagian masyarakat cukup permisif terhadap politik uang perlu menjadi perhatian karena secara
tidak langsung dapat mengartikan bahwa masyarakat juga permisif terhadap praktik suap menyuap.
Ketika responden ditanyakan pendapatnya mengenai lokus dari praktik politik uang, jawabannya
cukup beragam dan tidak ada yang terlalu dominan. Sebanyak 21.89% menyatakan politik uang
banyak terjadi di daerah dan 19.02% menyatakan lebih banyak di pusat, sedangkan 29.51%
menyatakan sama banyaknya antara pusat dan daerah. Jika dilihat per kota, komposisi jawaban tiap
kota juga berbeda-beda. Di kota Ambon, kebanyakan responden menyatakan politik uang banyak
terjadi di daerah, sedangkan di kota Medan dan Palembang, mayoritas responden menyatakan
praktik politik uang di pusat maupun daerah sama banyaknya. Yang cukup menarik juga, persentase
responden yang menyatakan tidak tahu mengenai lokus politik uang banyak terjadi cukup tinggi
juga. Secara total, 29.59% responden menyatakan tidak tahu dimana lokus politik uang banyak
terjadi. Di kota Denpasar, Mataram dan Samarinda, responden yang menjawab tidak tahu
merupakan yang paling dominan dengan persentase di atas 40%. Beragamnya jawaban masyarakat
mengenai lokus dari praktik politik uang kemungkinan karena pengalaman dan informasi yang
dimiliki masyarakat berbeda-beda. Perlu pendalaman lebih lanjut terhadap hasil survei ini untuk
menganalisis persepsi yang beragam terhadap lokus praktik politik uang. Secara lengkap hasil survei
dapat dilihat pada Grafik 3.9.
100%
90%
80%
70%
60%
TIDAK TAHU
50%
SAMA BANYAK
40%
PUSAT
30%
DAERAH
20%
10%
0%
Medan Palembang Jakarta Bandung Surabaya Denpasar Mataram Samarinda Makassar Ambon Total
TIDAK TAHU 12.80% 29.90% 15.43% 36.14% 24.22% 48.75% 57.14% 70.77% 37.00% 15.56% 29.59%
SAMA BANYAK 52.80% 47.42% 31.83% 25.30% 29.19% 16.25% 12.86% 0.00% 28.00% 22.22% 29.51%
PUSAT 15.20% 7.22% 39.23% 10.84% 14.29% 20.00% 7.14% 4.62% 12.00% 15.56% 19.02%
DAERAH 19.20% 15.46% 13.50% 27.71% 32.30% 15.00% 22.86% 24.62% 23.00% 46.67% 21.89%
1. Aturan yang mewajibkan kandidat melaporkan harta kekayaannya sebelum pemilu diadakan
2. Aturan yang melarang seseorang yang pernah dihukum karena pidana di atas lima tahun
untuk mencalonkan diri dalam pemilu
Tabel 3.3 memperlihatkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap aturan-aturan yang terkait
dengan integritas kandidat relatif rendah. Dari enam aturan yang ditanyakan, kewajiban untuk
melaporkan harta kekayaan sebelum pemilu diadakan merupakan aturan yang paling diketahui oleh
masyarakat (69.92%) sedangkan aturan yang membatasi jumlah sumbangan dana kampanye
merupakan yang paling sedikit diketahui masyarakat, dengan persentase hanya mencapai 33.69%.
Sedangkan aturan-aturan yang lain, persentase tingkat pengetahuan masyarakat hanya berkisar
pada angka kurang dari 60%. Hasil ini perlu menjadi perhatian bagi seluruh elemen yang terlibat
dalam pemilu untuk lebih mensosialisasikan aturan-aturan tersebut sehingga pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap aturan yang mengatur hal-hal terkait integritas dapat lebih
meningkat. Kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap aturan-aturan ini akan lebih mengefektifkan
fungsi aturan-aturan tersebut sebagai alat kontrol yang menjaga integritas kandidat dan pemilu
secara keseluruhan.
Ketika masyarakat diminta untuk menilai aturan-aturan tersebut (terlepas dari tahu atau tidak
terhadap aturan-aturan tersebut), mayoritas masyarakat berpendapat bahwa aturan-aturan
tersebut penting untuk menjaga integritas kandidat. Aturan mengenai pelaporan harta kekayaan
kandidat sebelum pemilu diadakan misalnya, 50% responden berpendapat bahwa aturan tersebut
penting dan 33% menyatakan sangat penting. Begitu juga aturan yang mewajibkan kandidat untuk
melaporkan dana kampanyenya, 54% responden menyatakan penting dan 24% menyatakan sangat
penting. Aturan yang paling dianggap tidak penting/kurang penting dari keenam aturan tersebut
adalah aturan yang membatasi jumlah sumbangan dana kampanye. Sebanyak 17% responden
menyatakan tidak penting dan 20% responden berpendapat kurang penting. Namun begitu,
responden yang menganggap penting dan sangat penting terhadap aturan ini tetap lebih dominan
dengan persentase masing-masing 50% dan 14%.
Grafik 3.10 Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan-Peraturan Terkait Integritas Dalam Pemilu
50% 50%
33% 37%
8% 10% 7% 7%
Grafik 3.10 Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan-Peraturan Terkait Integritas Dalam Pemilu [lanjutan]
51% 24%
10% 12%
25%
11% 12%
Tidak Kurang Penting Sangat
Tidak Kurang Penting Sangat Penting Penting Penting
Penting Penting Penting
Secara keseluruhan, hasil ini menunjukan bahwa masyarakat memandang penting aturan-aturan
yang bisa menjaga integritas kandidat dan pemilu meskipun masyarakat tidak mengetahui adanya
aturan-aturan tersebut. Kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya menjaga integritas
melalui peraturan-peraturan yang cukup tinggi merupakan modal berharga untuk mewujudkan
pemimpin berintegritas, namun hal ini harus dibarengi dengan sosialisasi yang lebih giat kepada
seluruh lapisan masyarakat yang berdasarkan hasil survei, mayoritas masyarakat belum mengetahui
aturan-aturan yang mendukung integritas kandidat. Dengan semakin banyak masyarakat yang
mengetahui aturan-aturan tersebut, diharapkan fungsi kontrol integritas dari para kandidat dan
pemilu secara umum dapat lebih efektif lagi.
Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan
berada di tangan rakyat” dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Makna yang termaktub
dari kalimat kedaulatan berada di tangan rakyat adalah bahwa rakyat memiliki tanggung jawab, hak
dan kewajiban secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan untuk
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu secara langsung
sebagai sarana bagi rakyat memilih wakilnya 4
Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu menunjukkan bahwa rakyat berdaulat atas seluruh
penyelenggaraan dan pengelolaan negaranya. Dalam Pemilu, masyarakat diberi kesempatan untuk
memilih siapa yang dapat mewakili mereka dalam mengelola negara. Sistem pemilu saat ini
memudahkan masyarakat untuk tidak sekedar memilih partai politik (parpol), namun memilih
kandidat yang ditawarkan oleh partai politik. Melalui proses ini diharapkan masyarakat juga ikut
bertanggung jawab atas kualitas anggota dewan (legislatif) yang nantinya akan mewakili dirinya.
Sayangnya peluang peran pemilih yang makin besar itu tidak disambut oleh masyarakat, buktinya
tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah
semakin menurun. Data partisipasi pemilih pada tiga kali pemilu legislatif menunjukkan
kecenderungan penurunan. Dari angka 92,99 % di Pemilu 1999, turun menjadi 84,07 % pada Pemilu
2004. Lalu, terus turun pada angka 70,99 % di Pemilu 2009. Tingkat partisipasi pada pemilu legislatif
juga tidak berbeda jauh jika diperbandingkan dengan data pemilukada di 11 provinsi dalam kurun
waktu 2012-2013. Mulai dari Papua Barat, Nangroe Aceh Darussalam, Sulawesi Barat, Bangka
Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat, dan terakhir
Sumatera Utara. Secara rata-rata tingkat partisipasi berada pada angka 68,82%5. Untuk Pemilukada
Jawa Tengah dan Jawa Timur, tingkat partisipasinya juga tidak lebih dari 60 %.
Banyak analisis yang menghubungkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu
dengan rendahnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akibat banyaknya kader
parpol yang tersandung kasus korupsi. Namun butuh penelitian lebih lanjut untuk menguji hal
tersebut. SPM terhadap Integritas Pemilu 2013 salah satunya juga bertujuan untuk menilai referensi
masyarakat dalam memilih partai politik dan calon pemimpin. Hal-hal apa saja yang menjadi acuan
4
Penjelasan UU no.8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
5
http://www.ayovote.com/menyoal-partisipasi-pemilih/
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK 21
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam pemilu. Tentunya sebagai Institusi Negara
yang bertugas memberantas korupsi, KPK berharap nilai-nilai kejujuran, adil dan bertanggung jawab
yang dimiliki partai politik atau calon kepala daerah/negara dijadikan acuan oleh masyarakat dalam
menentukan pilihannya.
0.67
Terdapat hal yang menarik melihat hasil dari grafik 4.1 tersebut, yakni ideologi parpol bukan menjadi
pertimbangan utama dalam memilih partai politik, hanya 14,77 % responden yang
mempertimbangkan memilih parpol karena ideologinya. Hal ini sesuai dengan analisis dari para ahli
yang menyatakan bahwa partai politik saat ini cenderung pragmatis dan melupakan platform atau
ideologi yang dianut6
Dengan menggunakan pertanyaan yang sama yakni “hal apa yang menjadi pertimbangan saudara
dalam memilih parpol”, ternyata jawaban terbanyak yang langsung menjadi respon pertama dari
responden, atau dikategorikan sebagai jawaban yang merupakan top of mind dari responden adalah
6
Diutarakan oleh Syamsudin Haris dan J. Cristiadi dalam Focus Group Discussion Sistem Politik Berintegritas di
KPK 4-5 September 2013
| Direktorat Penelitian dan Pengembangan - KPK 22
Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu 2013
perilaku dari kader partai yakni sebanyak 20,9 % seperti yang terlihat dalam grafik 4.2. Analisis dari
fenomena ini adalah perilaku dan karakter dari kader partai adalah hal yang umumnya dekat dan
ditemui langsung oleh masyarakat, sehingga masyarakat seketika bisa menilai kualitas dari parpol
yang akan dipilihnya melalui karakter dan perilaku kader-kader parpol yang mereka lihat langsung.
Grafik 4.2. Referensi Masyarakat Memilih Partai Politik (Jawaban Top of Mind)
20.90%
19.02%
17.05%
14.84%
10.16% 9.84%
3.85% 4.34%
Jika dibandingkan antara kota, ternyata terdapat perbedaan yang menarik mengenai referensi
masyarakat dalam memilih partai. Dalam tabel 4.1. terlihat bahwa lebih dari separuh responden di
Kota Ambon (55,56%) menjadikan rekam jejak sebagai referensi mereka dalam memilih partai
politik. Artinya partai yang pernah berkuasa dan memiliki rekam jejak baik mempunyai potensi besar
untuk dipilih kembali di Ambon. Sementara bagi partai yang belum pernah menunjukkan bukti atau
rekam jejak yang kuat akan sulit menang di Ambon. Hal ini berbeda dengan responden di Jakarta.
28,06% responden di Jakarta menjadikan janji politik sebagai referensi mereka dalam memilih
parpol, tertinggi dibandingkan referensi lainnya. Artinya sepanjang memiliki janji politik yang baik,
maka peluang partai politik untuk dipilih di Jakarta masih terbuka lebar, meski partai tersebut belum
memiliki rekam jejak yang baik.
Tabel 4.1. Referensi Masyarakat Memilih Partai Politik Berdasarkan Kota (Jawaban Top of Mind)
Untuk itu dalam SPM terhadap integritas Pemilu 2013 juga ditelaah tentang apa yang menjadi
referensi masyarakat dalam memilih calon pemimpinnya. Berdasarkan hasil survei, jawaban yang
merupakan top of mind dari responden terkait referensi terbanyak dari responden dalam memilih
calon pimpinan adalah berdasarkan perilaku dan karakternya seperti yang terlihat dalam grafik 4.3
berikut;
Grafik 4.3. Referensi Masyarakat Memilih Partai Politik (Jawaban Top of Mind)
Lainnya 1.97%
Tidak Menjawab 2.54%
Rekam jejak 6.64%
Profesi 1.23%
Popularitas 1.23%
Perilaku dan karakter 22.38%
Partai pendukung 3.52%
Ketokohan 9.34%
Kemampuan calon 16.48%
Kedekatan dengan masyarakat 13.93%
Janji politik 8.28%
Ideologi 3.93%
Gender 0.08%
Asal daerah 0.41%
Agama 8.03%
Dalam grafik 4.3, terlihat bahwa jenis kelamin, asal daerah, profesi dan popularitas tidak menjadi
referensi utama pemilih dalam memilih calon pemimpin, sementara perilaku dan karakter calon
pemimpin menjadi referensi yang paling banyak dipilih oleh responden. Jika dibedakan berdasarkan
kota, secara umum tidak terdapat perbedaan referensi memilihi calon pemimpin seperti yang
terlihat dalam tabel 4.2.
Terdapat beberapa hal menarik yang bisa dilihat di tabel 4.2. Jakarta yang merupakan kota dengan
tingkat urbanisasi yang tinggi dan masyarakatnya yang majemuk ternyata 18,01% respondennya
menyatakan bahwa agama merupakan referensi utama mereka dalam memilih calon pemimpin.
Tertinggi dibanding referensi lainnya. Sementara di Ambon tidak ada satupun responden yang
dengan spontan menjawab bahwa alasan agama dijadikan referensi pertama dalam memilih
pemimpin, padahal kota ini pernah mengalami konflik SARA.
Analisis tentang dijadikannya agama sebagai referensi memilih
…18,01% responden di Jakarta
menjadikan agama sebagai calon pemimpin di Jakarta ini menjadi sangat menarik. Hal ini
referensi memilih calon bisa saja dikarenakan bahwa pada saat survei dilakukan,
pemimpin sementara tidak Jakarta baru saja melakukan Pemilukada. Isu agama pada saat
satupun responden di Ambon
Pemilukada Jakarta menjadi salah satu isyu kampanye yang
berpendapat sama
disuarakan, sehingga membekas oleh sebagian responden di
Jakarta, selain kemungkinan memang adanya kelompok masyarakat yang ekstrim terhadap agama
mereka sehingga memilih pemimpin pun berdasarkan agamanya.
Kota yang dominan mengedepankan perilaku dan karakter sebagai referensi untuk memilih
pemimpinnya adalah Surabaya, Makasar dan Ambon, sedangkan Palembang adalah satu-satunya
kota yang mayoritas respondennya menjawab ketokohan adalah referensi mereka dalam memilih
pemimpin.
No Referensi Medan Palembang Jakarta Bandung Surabaya Denpasar Mataram Samarinda Makassar Ambon
1 Agama 8.80% 3.09% 18.01% 5.42% 2.48% 2.50% 15.71% 1.54% 1.00% 0.00%
2 Asal daerah 0.80% 0.00% 0.32% 0.00% 0.62% 0.00% 1.43% 1.54% 0.00% 0.00%
3 Gender 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1.25% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
4 Ideologi 12.00% 1.03% 3.54% 2.41% 5.59% 1.25% 1.43% 0.00% 3.00% 6.67%
5 Janji politik 4.00% 20.62% 9.32% 8.43% 8.07% 7.50% 7.14% 4.62% 4.00% 4.44%
Kedekatan
6 dengan 13.60% 8.25% 14.47% 13.25% 19.88% 12.50% 7.14% 24.62% 8.00% 15.56%
masyarakat
Kemampuan
7 31.20% 12.37% 16.08% 9.64% 12.42% 33.75% 15.71% 18.46% 6.00% 17.78%
calon
8 Ketokohan 4.00% 24.74% 4.82% 13.25% 4.97% 11.25% 8.57% 3.08% 16.00% 15.56%
Partai
9 1.60% 2.06% 7.72% 3.61% 1.24% 7.50% 0.00% 0.00% 1.00% 0.00%
pendukung
Perilaku dan
10 17.60% 19.59% 14.47% 25.90% 32.92% 12.50% 27.14% 18.46% 38.00% 26.67%
karakter
11 Popularitas 0.00% 4.12% 0.32% 3.61% 0.00% 1.25% 0.00% 1.54% 2.00% 0.00%
12 Profesi 0.00% 1.03% 2.57% 1.20% 0.62% 0.00% 0.00% 1.54% 1.00% 2.22%
13 Rekam jejak 6.40% 0.00% 7.07% 7.83% 10.56% 2.50% 7.14% 0.00% 9.00% 11.11%
14 Lainnya 0.00% 0.00% 0.32% 5.42% 0.00% 0.00% 0.00% 20.00% 1.00% 0.00%
Tidak
15 0.00% 3.09% 0.96% 0.00% 0.62% 6.25% 8.57% 4.62% 10.00% 0.00%
Menjawab
SPM Integritas Pemilu 2013 mendalami dengan lebih detil, karakter dan perilaku seperti apa yang
menjadi referensi responden dalam memilih pemimpin. Nilai dari karakter dan perilaku pemimpin
yang berintegritas menurut hipotesa KPK adalah pemimpin yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Survei dilakukan untuk melihat apakah nilai jujur, adil dan bertanggung jawab telah menjadi nilai
yang dipilih oleh responden dalam menentukan karakter calon pemimpin yang dipilihnya.
Berdasarkan hasil survei nampak bahwa nilai jujur, sudah menjadi nilai yang mayoritas diacu oleh
responden dalam memilih karakter calon pemimpin, seperti yang terlihat dalam tabel 4.3. Bahkan
75 % responden di Jakarta menjadikan calon pemimpin dengan karakter yang jujur sebagai calon
yang akan mereka pilih. Dari ketiga nilai yang diusung KPK ternyata nilai adil belum menjadi referensi
bagi pemilih untuk menentukan calon pemimpinnya. Karakter individu yang adil mungkin sulit
didefinisikan masyarakat, sehingga bukan menjadi pilihan. Namun untuk nilai sederhana, juga tidak
banyak dipilih oleh masyarakat, meski definisi dari kata sederhana sepertinya lebih mudah untuk
dijabarkan. Hanya 5,9% responden yang menganggap sederhana menjadi referensi utama dalam
memilih pemimpin
Lainnya 2.46%
Tidak menjawab 0.98%
Rekam jejak 11.48%
Managerial 8.44%
Kepemimpinan 28.85%
Kemampuan intelektual 42.38%
Kemampuan finansial 5.41%
Selain karakter tentu kompetensi calon pemimpin juga menjadi perhatian dalam SPM ini.
Berdasarkan hasil survei, dari jawaban spontan pertama (top of mind) responden, ternyata 42,38%
responden berpendapat bahwa calon pemimpin yang mereka pilih haruslah memiliki kemampuan
intelektual yang baik, seperti yang tampak dalam grafik 4.3. Sedangkan kompetensi kepemimpinan,
rekam jejak dan manajerial menjadi jawaban top of mind berikutnya yang banyak keluar dari mulut
responden. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia percaya bahwa kemampuan akademis
ataupun intelektual masih menjadi faktor paling penting bagi sebagian masyarakat bagi seseorang
untuk menjadi pemimpin. Sedangkan rekam jejak atau prestasi kerja yang merupakan bukti
kompetensi seseorang hanya menjadi referensi berikutnya bagi sebagian masyarakat.
Untuk mengetahui sikap masyarakat terkait integritas pemilu, survei ini menilai sikap masyarakat
terhadap dua hal, yaitu sikap masyarakat terhadap integritas calon pemimpin dan sikap masyarakat
terhadap integritas pemilih. Sikap masyarakat terhadap integritas calon pemimpin dapat
diungkapkan melalui pendapat responden atas beberapa perilaku buruk calon pemimpin. Hasilnya,
secara umum masyarakat cenderung berpendapat bahwa perilaku-perilaku calon pemimpin yang
buruk dalam kuisioner tergolong tidak baik. Ketidaksetujuan masyarakat ini terutama terlihat pada
sikap masyarakat terhadap perilaku kandidat/calon pemimpin yang membiarkan tim sukses
kampanyenya melakukan kecurangan aturan. Sebanyak 70.82% menjawab bahwa perbuatan
tersebut tidak baik dan 24.18% menyatakan kurang baik. Jika ada perbuatan yang mencerminkan
integritas yang rendah dari calon pemimpin namun persentase masyarakat yang menganggap biasa
saja masih relatif besar (lebih dari 15%) adalah perilaku menjanjikan/memberikan uang atau materi
kepada masyarakat menjelang pemilu (politik uang), perilaku menonjolkan agama/ras/suku/profesi
dirinya untuk meraih simpati dukungan masyarakat, dan calon pemimpin yang ikut serta pemilu
namun masih memegang jabatan sebelumnya. Secara lebih detail, jawaban responden terlihat
dalam Tabel 5.1 di bawah.
Sementara itu, sikap masyarakat terhadap integritas pemilih diukur melalui beberapa pertanyaan
terkait perilaku pemilih. Beberapa pilihan jawaban diberikan agar responden dapat menilai apakah
perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam pertanyaan termasuk perbuatan baik, biasa saja,
kurang baik atau tidak baik. Secara umum, hasilnya cenderung baik dalam arti masyarakat menilai
perbuatan yang buruk termasuk buruk dan perbuatan yang baik termasuk baik kecuali dalam satu
hal, yaitu ketika masyarakat menilai baik perbuatan pemilih yang menerima pemberian dari kandidat
yang sesuai dengan pilihan hatinya. Padahal diharapkan dalam kondisi ideal, pemilih tidak menerima
pemberian apapun dari kandidat, parpol atau tim sukses. Hal yang juga perlu dicermati adalah
persentase yang menjawab “biasa saja” terhadap perilaku pemilih yang mencerminkan rendahnya
integritas masih cukup tinggi (di atas 15%). Jawaban ini menunjukan masyarakat masih cukup
permisif terhadap perilaku yang kurang berintegritas dalam pemilu. Hasil selengkapnya terdapat
dalam tabel di bawah ini:
Jika melihat jawaban responden berdasarkan kota, hal yang menarik adalah di kota Palembang,
mayoritas responden menjawab biasa saja untuk perilaku pemilih yang menerima pemberian dari
kandidat/tim sukses dengan berbagai alasan (pertanyaan nomor P1, P2 dan P4). Bahkan untuk
perilaku yang menerima pemberian karena calon pemimpin/parpol tersebut adalah pilihan
nuraninya, persentase responden yang menjawab hal tersebut adalah perbuatan baik mencapai
63.92% dan biasa saja 27.84%, sedangkan yang menjawab kurang baik dan tidak baik hanya 5.15%
dan 3.09%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di kota Palembang paling permisif terhadap
pemberian menjelang pemilu dibanding daerah lain yang disurvei.
70.00%
63.92%
60.00%
40.00% 35.05%34.02%
29.90%
27.84%
30.00% 24.74% 23.71%
21.65% 21.65%
8.25% 9.28%
10.00% 6.19% 5.15%
3.09%
0.00%
P1 P2 P3 P4 P5
Hasil survei menunjukkan bahwa ketika responden dihadapkan pada beberapa contoh perilaku
negatif kandidat, maka jawaban responden cenderung tidak mendukung kandidat yang
bersangkutan. Meskipun demikian, ada perilaku yang ditolak oleh banyak responden atau di atas
80% dan ada pula perilaku yang ditolak oleh sejumlah kecil responden atau kurang dari 50%. Perilaku
yang banyak ditolak responden adalah bila kandidat tidak melaporkan dan membayar pajak secara
jujur, sejumlah 84% menyatakan tidak mendukung perilaku tersebut. Perilaku lain yang banyak
ditolak adalah bila kandidat terbukti tidak memenuhi kewajiban melaporkan harta kekayaannya
kepada KPK secara jujur, sejumlah 82.70% menyatakan tidak mendukung. Perilaku negatif yang tidak
banyak ditolak oleh responden misalnya adalah bila kandidat memberikan sumbangan sembako
pada warga di lingkungan sambil berkampanye agar warga memilihnya, hanya ditolak kurang dari
50% responden. Hal ini menarik karena ternyata kegiatan pembagi-bagian sembako oleh kandidat
hanya membuat kurang dari 50% responden menjadi tidak mendukung kandidat. Secara lengkap,
kecenderungan perubahan perilaku respoden dapat dilihat di Tabel 5.3.
Bila ditelaah lebih jauh lagi, latar belakang pendidikan responden cukup mempengaruhi jawaban
responden. Responden dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan lulusan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) ke bawah cenderung permisif terhadap kegiatan bagi-bagi sembako
dengan persentase masing-masing 39.53% dan 34.20%, sementara responden dengan tingkat
pendidikan tinggi lebih tegas tidak mendukung perbuatan kandidat tersebut. Data ini memberikan
arah bagi upaya peningkatan integritas pemilih oleh KPK ataupun lembaga lain, bahwa prioritas
sasaran sosialisasi perlu ditujukan bagi masyarakat pemilih dengan latar belakang pendidikan
rendah. Perilaku responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel
5.4 di bawah.
Tabel 5.4 Perilaku Responden Terhadap Praktik Politik Uang Calon Pemimpin
Berdasarkan Pendidikan
Tingkat Pendidikan Tetap Mendukung Ragu-Ragu Tidak Mendukung
<SD 39.53% 27.91% 32.56%
SD 25.40% 30.69% 43.92%
SMP 34.20% 27.71% 38.10%
SMA 29.70% 27.37% 42.93%
DIPLOMA 20.29% 30.43% 49.28%
S1 26.27% 24.58% 49.15%
S2 20.00% 50.00% 30.00%
Variabel dan indikator tersebut kemudian dibobot dengan menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode analisis yang memungkinkan untuk
mengintegrasikan kompleksitas, menentukan tujuan, membuat prioritas dan menentukan skor
untuk setiap alternatif solusi. AHP menggunakan model keputusan dan bersifat matematis. AHP
adalah sebuah kerangka proses pengambilan keputusan dengan memecah variabel atau indikator
kedalam bagian-bagian tertentu dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel atau indikator dan mensintesiskan berbagai
pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk
mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. AHP digunakan untuk mendapatkan skala rasio, baik dari
perbandingan berpasangan dengan skala pengukuran diskrit maupun kontinyu. Perbandingan
berpasangan ini dapat diperoleh melalui pengukuran aktual maupun pengukuran relatif dari derajat
kesukaan atau kepentingan atau perasaan (intuisi). Metode ini sangat berguna untuk membantu
mendapatkan skala rasio dari hal-hal yang semula sulit untuk diukur, seperti pendapat, perasaan,
perilaku dan kepercayaan.
Indeks Integritas Pemilu menggunakan skala 0 – 10 dimana 10 merupakan nilai tertinggi yang
menunjukan tingkat integritas terbaik. Standar nilai minimum ditetapkan pada skor 6, yang
mengartikan batas tingkat integritas pemilih, baik dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku, yang
dianggap cukup untuk mewujudkan pemilu berintegritas. Di bawah skor 6, pemilih dianggap masih
permisif terhadap hal-hal yang kurang berintegritas dan kurang memiliki kesadaran dan
pengetahuan terhadap integritas.
Berintegritas. Hasil ini mengartikan bahwa memilih calon pemimpin yang berintegritas merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh pemilih. Jika dilihat dari nilai kepentingannya, memilih
pemimpin yang berintegritas hampir dua kali lebih besar dari pada memilih dengan cara yang
berintegritas. Secara lengkap bobot setiap variabel, indikator dan sub-indikator dapat dilihat pada
Tabel 6.1.
Mendengar, membaca,
16,7%
Pengetahuan mengetahui integritas
4,5%
Tentang Integritas Mengetahui arti integritas dengan
83,3%
benar/sesuai definisi KPK
Mendengar, membaca,
Pengetahuan 16,7%
mengetahui politik uang
Tentang Politik 4,1%
Mengetahui bentuk-bentuk politik
Uang 83,3%
uang
Mengetahui peraturan-peraturan
Pengetahuan yang mengatur integritas 16,7%
Tentang Aturan penyelenggaraan Pemilu
3,5%
Pemilu Terkait Pentingnya peraturan-peraturan
Integritas yang mengatur integritas 83,3%
penyelenggaraan Pemilu
Berdasarkan kemampuan kader
13,5%
parpol
Berdasarkan janji politik, visi,
6,3%
Referensi dalam misi, dan program
7,2%
memilih parpol Berdasarkan perilaku dan
51,4%
karakter kader parpol
Pengetahuan Berdasarkan rekam jejak kader
28,8%
Integritas dan parpol
Pemilih Kesadaran Berdasarkan perilaku dan
10,90% 46,3%
dalam Mengenai karakternya
Pemilu Pemilu Berdasarkan kemampuan calon
Berintegritas (prestasi kerja, pengalaman 15,2%
Referensi dalam memimpin, pendidikan)
memilih calon 11,0%
pemimpin Berdasarkan janji politik, visi,
7,1%
misi, dan program
Berdasarkan rekam jejak
kandidat (bersih, keterlibatan 31,3%
skandal masa lalu)
Jujur 60,0%
Perilaku dan
Karakter Pemimpin 33,3% Adil 20,0%
yang ideal
Tanggung jawab 20,0%
Sikap terhadap
Sikap terhadap Integritas
Memilih Integritas 12,5% 100,0%
Pemimpin
Pemimpin Pemimpin
58,20%
yang Perilaku terhadap
Perilaku terhadap Integritas
Berintegritas Integritas 87,5% 100,0%
Pemimpin
Pemimpin
Memilih
Dengan Cara Sikap Terhadap
30,90% 100,0% Sikap Terhadap Integritas Pemilih 100,0%
yang Integritas Pemilih
Berintegritas
Index Integritas
Variabel Bobot Skor
Pemilih dalam Pemilu
Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai Pemilu Berintegritas 10.90% 4.63
7.27 Memilih Pemimpin Yang Berintegritas 58.20% 7.74
Memilih Dengan Cara yang Berintegritas 30.90% 7.32
Tabel 6.2 menunjukan bahwa skor untuk variabel Memilih Pemimpin Yang Berintegritas (7.74) dan
Memilih Dengan Cara Yang Berintegritas (7.32) sudah baik, namun pada variabel Pengetahuan dan
Kesadaran Mengenai Pemilu Berintegritas masih rendah (4.63). Namun demikian, karena bobot
variabel Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai Pemilu Berintegritas paling kecil (10.90%) dibanding
variabel lainnya, maka rendahnya nilai Pengetahuan dan Kesadaran masyarakat terhadap pemilu
berintegritas tidak terlalu mempengaruhi skor Indeks Integritas Pemilu secara keseluruhan.
Hasil ini juga menunjukan bahwa pada tataran sikap dan perilaku, masyarakat secara umum sudah
dapat memilih secara berintegritas dan memilih pemimpin yang berintegritas. Namun, kebanyakan
masyarakat belum banyak mengetahui atau menyadari hal-hal terkait integritas. Sebagai contoh,
dalam bagian (3) laporan ini, terlihat bahwa mayoritas masyarakat belum paham apa arti
“integritas”. Dalam hal politik uang juga misalnya, telah banyak diversifikasi bentuk politik uang yang
dilakukan oleh para pemimpin namun kebanyakan masyarakat hanya tahu dalam bentuk konservatif
politik uang seperti pemberian uang menjelang pencoblosan.
Tabel 6.3 Skor Indikator Untuk Variabel Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai Pemilu
Berintegritas
Tabel 6.3 memperlihatkan bahwa skor mayoritas indikator Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai
Pemilu Berintegritas masih di bawah standar yang ditetapkan. Hanya Pengetahuan Tentang Aturan
Pemilu Terkait Integritas dan Pengetahuan Tentang Perilaku dan Karakter Pemimpin Yang Ideal yang
memiliki skor memenuhi standar yaitu 6.00 dan 6.49.
Hal ini tentu perlu menjadi titik tekan KPK untuk terus meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat terhadap pentingnya melihat aspek-aspek tersebut dalam pemilu demi menghasilkan
pemimpin yang memiliki integritas baik. Meskipun sikap dan perilaku masyarakat pada dasarnya
sudah mendukung untuk memilih secara berintegritas dan memilih calon pemimpin yang
berintegritas, namun sikap dan perilaku tersebut bisa tidak terwujud dalam kenyataan jika
pengetahuan dan kesadaran masyarakat masih rendah terhadap hal-hal menyangkut integritas. Hal
ini dikarenakan sikap dan perilaku seseorang yang diharapkan dapat muncul, salah satunya adalah
dengan meningkatkan pengetahuan atau kesadaran yang dimiliki orang tersebut terhadap sesuatu
yang diinginkan tersebut. Secara lengkap, hasil Indeks Integritas Pemilu tahun 2013 dapat dilihat
dalam lampiran.
Serupa dengan skor di tingkat nasional, skor untuk variabel Pengetahuan dan Kesadaran Mengenai
Pemilu Berintegritas juga tidak memuaskan di tiap kota. Hampir di seluruh kota kecuali Jakarta
(6,04), skornya tidak mencapai standar 6,00. Kota Bandung, Samarinda dan Makassar menjadi kota
yang memiliki skor paling rendah pada variabel ini yaitu berturut-turut 3,95, 3,43 dan 3,35.
Untuk dua variabel lainnya, skor pada masing-masing kota sudah melebihi standar 6,00. Skor
tertinggi untuk variabel Memilih Pemimpin Yang Berintegritas adalah 8,51 di kota Jakarta sedangkan
skor tertinggi untuk variabel Memilih Dengan Cara Yang Berintegritas adalah 8,04 di kota Medan.
Selengkapnya skor integritas pemilih dalam pemilu per kota dapat di lihat pada Tabel 6.4.
Skor Pengetahuan
Skor Memilih Skor Memilih
dan Kesadaran
No Kota Skor Integritas Pemimpin Yang Dengan Cara Yang
Mengenai Pemilu
Berintegritas Berintegritas
Berintegritas
1 Medan 7,70 5,46 7,94 8,04
2 Palembang 6,41 4,26 6,72 6,59
3 Jakarta 7,84 6,04 8,51 7,20
4 Bandung 7,06 3,95 7,56 7,24
5 Surabaya 6,97 4,03 7,20 7,56
6 Denpasar 7,37 4,11 8,07 7,21
7 Mataram 7,39 4,12 8,15 7,12
8 Samarinda 6,35 3,43 6,34 7,41
Skor Pengetahuan
Skor Memilih Skor Memilih
dan Kesadaran
No Kota Skor Integritas Pemimpin Yang Dengan Cara Yang
Mengenai Pemilu
Berintegritas Berintegritas
Berintegritas
9 Makassar 7,02 3,35 7,58 7,26
10 Ambon 7,42 4,27 7,87 7,69
Cerminan skor variabel-variabel di tiap kota menunjukan bahwa KPK dan seluruh pihak yang
berkepentingan perlu menitikberatkan pada peningkatan aspek pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap pemilu berintegritas. Masyarakat di kota Bandung, Samarinda dan Makassar
adalah tiga kota yang perlu menjadi prioritas utama di antara 10 kota lainnya untuk diberikan
sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pemilu
berintegritas. Jika dilihat secara keseluruhan, kota Palembang juga perlu mendapat perhatian khusus
karena skor variabel di kota ini tidak ada yang mencapai 7,00. Pada variabel Memilih Pemimpin Yang
Berintegritas dan Memilih Dengan Cara Yang Berintegritas, kota Palembang hanya mendapat skor
6,72 dan 6,59. Hal ini menunjukan masyarakat Palembang juga memiliki sikap dan perilaku yang
tidak sebaik di kota-kota lain terkait dengan integritas pemilu.
7 KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan
1. Pengetahuan dan Kesadaran Akan Pemilu Yang Berintegritas adalah variabel yang paling
perlu menjadi perhatian bagi KPK karena masyarakat masih memiliki pemahaman yang
rendah terhadap definisi integritas, politik uang, dan referensi dalam memilih calon
pemimpin dan partai politik.
2. Untuk variabel Memilih Pemimpin Yang Berintegritas, hasilnya ternyata cukup positif. Secara
umum masyarakat sepakat menginginkan figur calon pemimpin yang berintegritas. Hal ini
terlihat dalam survei ini antara lain bahwa ketika responden dihadapkan pada beberapa
contoh perilaku negatif kandidat, maka jawaban responden cenderung tidak mendukung
kandidat yang bersangkutan.
3. Untuk variabel Memilih Dengan Cara Yang Berintegritas, sudah tercatat beberapa hal positif
yang menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keinginan untuk memilih dengan cara yang
berintegritas.
4. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dasar dalam menyusun strategi pencegahan dan
pemberantasan korupsi dalam wilayah sistem politik, khususnya mewujudkan pemilu
berintegritas.
Lampiran
1. Tabel Indeks Integritas Pemilih Dalam Pemilu - 2013
Index
Integritas
Variabel Bobot Skor Indikator Bobot Skor Sub Indikator Bobot Skor
Pemilih dalam
Pemilu
Mendengar, membaca, mengetahui integritas (P1) 16.7% 2.62
Pengetahuan Tentang Integritas 4.5% 1.01 Mengetahui arti integritas dengan benar/sesuai definisi
83.3% 0.69
KPK (P2)
Mendengar, membaca, mengetahui politik uang (P5) 16.7% 7.84
Pengetahuan Tentang Politik Uang 4.1% 4.05
Mengetahui bentuk-bentuk politik uang (P6) 83.3% 3.29
Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur
16.7% 5.96
Pengetahuan Tentang A turan integritas penyelenggaraan Pemilu (P9. 1 - 6)
3.5% 6.00
Pemilu Terkait Integritas Pentingnya peraturan-peraturan yang mengatur
83.3% 6.01
integritas penyelenggaraan Pemilu (P10. 1 - 6)
Berdasarkan kemampuan kader parpol (P11.2) 13.5% 5.13
Berdasarkan janji politik, visi, misi, dan program (P11.3) 6.3% 4.97
Referensi dalam memilih parpol 7.2% 4.77
Berdasarkan perilaku dan karakter kader parpol (P11.4) 51.4% 5.22
Berdasarkan rekam jejak kader parpol (P11.6) 28.8% 3.74
Pengetahuan dan
Kesadaran Berdasarkan perilaku dan karakternya (P12.5) 46.3% 5.26
10.90% 4.63
Mengenai Pemilu Berdasarkan kemampuan calon (prestasi kerja,
Berintegritas 15.2% 5.04
Referensi dalam memilih calon pengalaman memimpin, pendidikan) (P12.6)
11.0% 4.49
7.27 pemimpin Berdasarkan janji politik, visi, misi, dan program (P12.7) 7.1% 3.73
Berdasarkan rekam jejak kandidat (bersih, keterlibatan
31.3% 3.29
skandal masa lalu) (P12.13)
Jujur (P13.1) 60.0% 7.30
Perilaku dan Karakter Pemimpin
33.3% 6.49 A dil (P13.2) 20.0% 4.76
yang ideal
Tanggung jawab (P13.3) 20.0% 5.81
Program pencegahan korupsi (P14.3) 20.0% 1.76
Program kerja Pemimpin yang ideal 15.6% 1.88 Program pembenahan sistem birokrasi (layanan publik)
80.0% 1.91
(P14.1)
Prestasi/Rekam jejak (P15.3) 24.7% 3.31
Kemampuan yang harus dimiliki
20.7% 4.41 Leadership (P15.4) 62.2% 5.24
pemimpin ideal
Managerial (P15.5) 13.1% 2.55
Sikap Terhadap Integritas Pemimpin 12.5% 7.39 Jawaban P16 (1 -6) 100% 7.39
Memilih Pemimpin
58.20% 7.74 Jawaban P18 (1 - 10), khusus pertanyaan no 6 dan 7,
yang Berintegritas Perilaku Terhadap Integritas Pemimpin
87.5% 7.79 100% 7.79
nilainya 0.5
Memilih Dengan Jawaban P17 (1-5) 6.19
Cara yang 30.90% 7.32 Sikap Terhadap Integritas Pemilih 100% 7.32 100%
Berintegritas Jawaban P17 (6-7) 8.46
3. Jadwal Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Pada 10 Kota Yang Disurvei