Anda di halaman 1dari 6

PERILAKU PARTAI POLITIK PADA PEMILU 2019

Fenty Nur Aini 185030200111015


Sistem Politik Indonesia Kelas E

ABSTRAKSI
Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah
kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Semua kandidat pemilu berasal dari
partai politik. Oleh karena itu, Partai politik erat kaitannya dengan Pemilihan Umum
(Pemilu). Partai politik yang ikut pemilu 2019 ada 20 Partai Politik. Terdiri dari 16 Partai
Politik Nasional dan 4 partai politik lokal Aceh. Masing- masing partai politik ini berlomba-
lomba untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat agar dikenal dan mendapat simpati serta
banyak suara dari masyarakat. Mulai dengan berkampanye secara langsung maupun melalui
platform digital. Saat ini banyak partai politik memanfaatkan media sosial untuk
berkampanye. Dengan media sosial inilah masyarakat juga dapat memberikan opini mereka
kepada partai- partai politik yang ada. Mulai dari opini positif maupun opini negatif. Pada
tugas ini, dibuat untuk menganalisis perilaku partai politik pada pemilu 2019. Serta
didasarkan pada Teori Pilihan Publik. Elemen-elemen penting dalam teori pilihan publik
adalah masyarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-
aturan pemilihan umum.
Kata Kunci : pemilihan umum, partai politik

I. LATAR BELAKANG
Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap warga negara
Indonesia. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga
negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu
kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara.
Partai politik memang tidak bisa terpisahkan dengan Pemilu. Dari partai politik ini,
disaring kandidat- kandidat yang ikut serta dalam pemilu. Salah satu wujud keterlibatan
masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu mempunyai fungsi
utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan
nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pengalaman dalam
rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu
membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi. Satu alasan lain kenapa
partai politik sangat penting karena, segala kepentingan politik rakyat yang beragam dapat
diartikulasikan melalui mekanisme perwakilan.
Setelah reformasi perpolitikan di Indonesia mulai berkembang lagi, partai politik yang
dulu tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa saat itu mulai menampakkan
kekuatanya sebagai pengontrol jalannya kekuasaan. Banyak kalangan menilai bahwa pemilu
pertama merupakan pemilu yang paling demokratis. Saat pemilu pertama pada tahun 1955
diikuti oleh 172 partai politik, hal ini menunjukan bagaimana kebebasan berpolitik benar-
benar terjadi setelah lamanya terbelenggu oleh penjajahan. Dengan banyaknya peserta pemilu
dan asas jurdil yang relatif bisa dipertanggung jawabkan karena penguasaa belum mempunyai
kekuasaan dalam mempengaruhi jalannya pesta demokrasi dan hal seperti ini yang pada saat
sekarang menjadi persoalan tersendiri dimana penguasa masih dapat mempengaruhi proses
pemilu, baik melalui mobilisasi pemilih untuk memilih partai penguasa, politik uang,
permainan data pemilih dan juga permainan dari penyelenggara pemilu sendiri dalam
memenangkan kandidat (Pemilu Legislatif) tertentu.
Masih lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum
munculnya pola partai kader. Partai politik cenderung membangun partai massa yang
memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem
keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan
yang memadai serta belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik
yang kuat.
Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan
nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah.
Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh
besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu,
peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat
mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi.

II. KAJIAN TEORI


Dalam pembahasan perilaku partai politik dalam pemilu 2019, teori yang dikaitkan adalah
teori pilihan publik. Menurut Samuelson dan Nordhaus, teori pilihan publik merupakan salah
satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang
terkait dengan kepentingan masyarakat (public).
Dalam teori ini menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan dalam penentuan
pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa
secara tipikal, ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam wujud demokrasi, yang memberi
ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara masyarakat, partai politik, pemerintah dan
birokrat. Teori pilihan publik membantu pemerintah dalam memberikan kerangka atau
penjelasan mengenai bagaimana pemerintah mengambil keputusan. Sehingga dapat
membantu mempelajari perilaku anggota politik sebahai petunjuk untuk mengambil
keputusan public dalam penentuan pemilihan kebijakan public yang paling efektif.
Dalam teori pilihan publik ini dibedakan menjadi dua, yang perama adalah pendekatan
Catalaxy yaitu ilmu pertukaran. Dalam pendekatan ini dijelaskan bahwa para pelaku politik
menawarkan berbagai kebijakan publik kepada masyarakat (supply). Pembeli kebijakan
publik ini adalah masyarakat pemilih yang akan memilih kebijakan yang benar-benar dapat
mewakili kebutuhan mereka (demand). Teori ini menunjukkan bahwa, para partai politik
berlomba-lomba menunjukkan visi misi serta program, kebijakan yang dibutuhkan oleh
masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa partainya dapat mewujudkan kebijakan serta
visi misi yang ada jika terpilih.
Selanjutnya ada Home Econimicus yaitu yang artinya konsep manusia ekonomi. Dalam
konsep ini, politisi sebagai pelaku memaksimalkan utilitas agar dipilih kembali melalui
kebijakan dan program yang dilaksanakan bagi wilayah pemilihnya. Politisi sebagai pelaku
memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak faktor seperti gaji, reputasi
publik, kekuasaan dan ruang untuk mengontrol birokrasi. Sementara para pemilih akan
mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan.
Berdasarkan kedua aspek utama dalam kajian teori pilihan publik, dapat diposisikan
sebagai pemasok (supplier) adalah para politisi, partai politik, birokrasi dan pemerintah;
sedang sebagai peminta (demander) adalah pemilih (voters). Setelah itu jenis transaksi
pertukannya adalah pemilihan umum. Pertukaran terjadi pada pemilihan umum untuk memilih
para anggota legislatif dan eksekutif sebagai pembuat kebijakan publik. Karena itu, elemen-
elemen penting dalam teori pilihan publik adalah masyarakat pemilih, partai politik, politisi,
birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum.
Penempatan pada pemuasan kepentingan individu melalui “pilihan publik” memiliki
dampak positif dan negatif, secara kenyataan lebih sebagai ukuran alat untuk mengakaji apa
yang benar dan apa yang salah dari dilaksanakannya pilihan publik, baik dalam tataran
kebijakan negara maupun yang melandasi sebuah pilihan yang dilakukan oleh individu.
Karena secara terapan “pilihan publik” tidak bisa menjamin secara benar-benar dapat
memberikan pencerahan yang berpihak pada “kepentingan publik” atau keinginan dari
sebagian besar “the voter” pada praktik kenegaraan. Dari beberapa kasus ditemukan
percaturan politik melalui “kebijakan publik” lebih mengedepankan kepentingan kelompok
tertentu (penguasa) atau ideologi “jargon” politik yang diperjuangkan oleh kelompok tertentu
yang berkepentingan untuk memperoleh simpati dan kemenangannya di masa mendatang,
ketimbang pada “pilihan publik” yang sebenarnya yaitu mengejar kesejahteraan dan
kepentingan umum.

III. PEMBAHASAN
Pemilu 2019 untuk pertama kalinya menjadi sejarah pemilihan presiden (Pilpres) dan
pemilihan anggota legislatif (Pileg) dilakukan secara serentak. Ada 16 partai nasional (4 baru,
12 lama) dan 4 partai lokal di Aceh yang akan bertarung dalam pemilu 2019. Dari 16 parpol
nasional yang ikut bertarung ada 4 partai baru seperti PSI, Partai Berkarya, Partai Garuda dan
Perindo. Sementara, 12 lagi adalah Parpol lama seperti PKB, Gerindra, PDIP, Golkar,
Nasdem, PKS, PPP, PAN, Hanura, Demokrat, PBB dan PKPI. Serta partai lokal di Aceh
seperti Partai Aceh, Partai Daerah Aceh, Partai Nangroe Aceh, dan Partai Sira.
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasangan nomor urut 01, Joko Widodo
dan Ma’ruf Amin dicalonkan oleh PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura.
Sementara, pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno
dicalonkan oleh Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Dua calon ini pernah bertarung pada
pemilu presiden tahun 2014 lalu dengan selisih perolehan suara sebesar 6,3%. Saat itu, Joko
Widodo mendapatkan suara sebesar 53,15%, dan Prabowo Subianto mendapatkan 46.85%
suara. Dari 34 provinsi, pasangan Joko Widodo – M. Jusuf Kalla mengalami kekalahan di 10
provinsi yakni: Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Faktor-faktor sosiologis, seperti domisili (perdesaan-perkotaan), gender, suku, tingkat
pendidikan, dan sebagainya sering mempengaruhi hasil perolehan suara. Pada pemilu 2014,
perolehan suara partai-partai Islam atau partai-partai yang memiliki basis massa Muslim
justru mengalami kenaikan. Bahkan, ada partai Islam yang perolehan suaranya diprediksi
tidak akan melewati ambang batas parlemen 3,5% persen. Kenyataannya, ada empat dari lima
partai Islam atau berbasis massa Muslim yang melenggang ke Senayan, yaitu PKB, PAN,
PPP, dan PKS. Hanya PBB yang gagal melampaui ambang batas tersebut. Secara
keseluruhan, perolehan suara partaipartai ini justru mengalami kenaikan sekitar 3% menjadi
31,41%. Hasil ini membuat pertanyaan mengenai pengaruh politik aliran atau, secara lebih
sempit lagi, pengaruh agama terhadap pilihan pemilih menjadi tetap relevan untuk
didiskusikan. Apakah faktor agama dan faktor-faktor lain yang terkait, seperti tingkat
relijiusitas (kesalehan) atau afiliasi organisasi keagamaan masih berpengaruh terhadap
keputusan yang diambil pemilih kita saat memberikan suaranya dalam Pemilu 2019
Sejak tahun 1970-an, isu dalam studi pemilu dibedakan menjadi dua, yaitu position issues
dan valence isssues. Position issues merupakan isu dimana masing-masing kelompok atau
partai mewakili posisi dan memiliki tujuan yang bukan hanya berbeda, tetapi juga
bertentangan. Salah satu contoh isu seperti ini adalah soal aborsi, yaitu antara kelompok pro-
life dan pro-choice. Sementara itu, valence issues tidak menyangkut perbedaan tujuan,
melainkan hanya cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, semua partai pasti
sepakat untuk meningkatkan kesejahteraan semua warga, termasuk buruh, tetapi masing-
masing partai akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai bagaimana peningkatan
kesejahteraan tersebut dicapai. Dalam konteks pemilu, position issues lebih mempengaruhi
keputusan para pemilih. Meskipun demikian, biasanya position issues lebih jarang muncul,
karena dihindari oleh partai politik, terutama karena isu semacam ini memiliki resiko
menimbulkan polarisasi, bahkan di kalangan pengikutnya sendiri.
Saat menjelang pemilu 2019, banyak partai yang berlomba-lomba dalam mempromosikan
partainya melalui media sosial terutama twitter. Selain itu, media sosial twitter juga dijadikan
tempat oleh masyarakat dalam memberikan opini terhadap partai terkait baik opini positif
maupun opini negatif. Cara ini sangat mempegaruhi masyarakat untuk menentukan pilihannya
di pemilu nanti. Banyak masyarakat yang dengan sangat mudah terepengaruh adanya opini-
opini tentang partai politik yang mengikuti pemilu. Ini akan sangat memudahkan bagi partai
politik untuk berkampanye yang menargetkan kalangan remaja. Apalagi tidak sedikit Public
Figure yang ikut beropini yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi pengikutnya.
Apalagi para remaja yang masih baru pertama kali mengikuti pemilihan umum, dan masih
abu- abu dengan partai politik.
Kebanyakan para pemilih yang masih abu-abu dengan pilihannya, terpengaruh dan
memantapkan pilihannya saat membaca opini masyarakat yang lain tentang sebuah partai.
Memang bisa jadi itu adalah salah satu strategi partai untuk memenangkan suara pada pemilu
nanti. Di media sosial ini pula, banyak masyarakat yang berperang pendapat dan saling
menunjukkan kelebihan pilihannya. Dan perdebatan yang ada pun cukup sehat dan informatif
untuk dibaca oleh orang- orang uang masih abu- abu, sehingga mereka dapat menentukan
pilihannya sendiri. Masyarakat yang beropini pun bukan dari kalangan remaja saja, namun
dari semua kalangan, serta banyak Public Figure sampai Influencer ikut beropini di platform
Twitter ini.
Selama ini, tingkat kepercayaan publik terhadap partai begitu rendah. Berdasarkan survei
yang dilakukan Indikator Politik pada tahun 2016, partai politik merupakan lembaga dengan
rating paling bawah tingkat kepercayaannya, dengan persentase hanya berkisar 39.2 persen.
Bandingkan dengan KPK yang mencapai 79.6 persen. Sebab itu, peneguhan kembali fungsi
kepartaian pasca-pemilu 2019 menjadi kebutuhan prioritas. Paling tidak ada empat prasyarat
pokok untuk dibenahi agar parpol mampu menjadi lembaga publik terpercaya pasca-pemilu
2019.
Pertama, paling penting, tentu komitmen partai terhadap pemberantasan korupsi.
Maraknya korupsi yang menjerat partai, berpengaruh pada kepercayaan publik. Kasus
korupsi, menyumbang persepsi buruk terbesar publik akan eksistensinya. Kedua, publik
menanti ketegasan parpol atas performa kadernya di parlemen. Selama masa bakti DPR 2014-
2019, rakyat diatraksikan dewan-dewan yang malas. Ketiga, membangun profesionalitas
lembaga. Membangun profesionalitas lembaga dimaksudkan agar parpol lebih terorganisir.
Perlu dibangun sumber daya manusia yang terlatih dan profesional dalam tubuh parpol.
Rincian kegiatan yang hendak dilaksanakan parpol dalam satu tahun ke depan detail beserta
alokasi anggarannya pun harus jelas. Parpol selama ini terkesan sekadar menjadi organisasi
abal-abal yang diisi oleh komplotan politisi,tanpa perencanaan dan aturan, alih-alih platform
yang jelas. Parpol kehilangan arah, hanya sibuk menjelang pemilu atau konferensi jelang
pemilihan pimpinan. Keempat, pasca-pemilu 2019, partai politik diharapkan lebih bersikap
altruis( mengutamakan kepentingan publik). Atau setidaknya peka dengan masalah rakyat.
Selama ini keberadaan parpol sebagai wujud politik masih berjarak dengan rakyat. Parpol
seperti menjadi bagian yang terasing dari kehidupan publik. Rakyat, semata-mata sekadar
wayang yang digerakkan di musim-musim pemilu namun diabaikan dalam episode
selanjutnya. Partai tidak sungguh-sungguh menunaikan fungsi perwakilannya. Karena itu,
tidak akan pernah mengetahui kebutuhan rakyat secara nyata bila partai tidak pernah turun ke
masyarakat bawah. Dan tidak akan pernah turun ke masyarakat bawah apabila partai masih
acuh terhadap fungsi dan eksistensinya. Ekslusivisme dan egoisme parpol harus dihilangkan.

IV. KESIMPULAN
Partai politik tidak bisa terpisahkan dengan Pemilu. Dari partai politik ini, disaring
kandidat- kandidat yang ikut serta dalam pemilu. Salah satu wujud keterlibatan masyarakat
dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu mempunyai fungsi utama
untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Berdasarkan kedua aspek utama dalam kajian teori pilihan publik, dapat diposisikan sebagai
pemasok (supplier) adalah para politisi, partai politik, birokrasi dan pemerintah; sedang
sebagai peminta (demander) adalah pemilih (voters). Setelah itu jenis transaksi pertukannya
adalah pemilihan umum. Pertukaran terjadi pada pemilihan umum untuk memilih para
anggota legislatif dan eksekutif sebagai pembuat kebijakan publik. Karena itu, elemen-elemen
penting dalam teori pilihan publik adalah masyarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat,
kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum.
Pemilu 2019 untuk pertama kalinya menjadi sejarah pemilihan presiden (Pilpres) dan
pemilihan anggota legislatif (Pileg) dilakukan secara serentak. Begitu juga dengan kampanye
yang dilakukan partai politik tidak hanya kampanye secara langsung ke masyarakat, namun
melalui platform seperti Twitter. Masyarakat pun ramai memberikan opini di Twitter ini
seputar partai dan calon. Opini- opini ini pun dapat menentukan pilihan banyak masyarakat
yang masih abu-abu dengan partai politik. Mereka menjadi dapat mengetahui informasi
tambahan dari opini masyarakat untuk menentukan pilihan mereka. Dan yang terpenting
adalah partai politik harus berusaha menjadi lembaga publik terpercaya pasca-pemilu 2019.
DAFTAR PUSTAKA

B. Putra, Muslimin. “Teori Pilihan Publik Dalam Kebijakan Publik”.


https://www.academia.edu/11818659/Teori_Pilihan_Publik_Dalam_Kebijakan_Publi
k?auto=download
Setiadi, Wicipto. “Artikel Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan”.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/507-peran-partai-politik-dalam-
penyelenggaraan-pemilu-yang-aspiratif-dan-demokratis.html
Margianto, Heru. "Membangun Partai Politik Terpercaya Pasca-Pemilu".
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/24/09133431/membangun-partai-politik-
terpercaya-pasca-pemilu?page=all.
Rochmanudin. “Fakta-Fakta Pemilu 2019 dari A Sampai Z.”
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/infografis-fakta-fakta-
pemilu/full
Roth, Dieter. 2009. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode.
Jakarta:
Lembaga Survei Indonesia.
Yustiningrum, RR Emilia dan Wawan Ichwanuddin. 2015. Partisipasi Politik Dan Perilaku
Memilih Pada Pemilu 2014. Jakarta: Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai