Anda di halaman 1dari 18

PERAN LEMBAGA LEGISLATIF

DALAM MELAKUKAN
SINERGITAS MEWUJUDKAN
PEMILU DAMAI DI PROVINSI
SULAWESI TENGAH*
Dr. Ir. Alimuddin Paada, M.S.**
*Disampaikan Pada Kegiatan Sosialisasi Pencegahan Politik Identitas Bagi Mahasiswa
Perguruan Tinggi Se-Kota Palu Provinsi Sulawasi Tengah, Di Palu, 19 Juni 2023. Diambil
Dari Berbagai Sumber.
**Ketua Komisi 4 DPRD Sulawesi Tengah
PENDAHULUAN
Pemilu adalah instrumen sekaligus wujud nyata
dari demokrasi. Indonesia adalah negara yang
menganut sistem pemerintahan demokrasi.
Dalam pemikiran Bung Hatta, proklamator
sekaligus pendiri bangsa Indonesia, demokrasi
kita berbeda dengan demokrasi model Barat.
Kedaulatan rakyat di Barat hanya terjadi dalam
ranah politik, sedangkan di Indonesia kedaulatan
rakyat juga mencakup bidang sosial dan
ekonomi. Pembedaan ini dipandang perlu oleh
Hatta, sebab demokrasi di Barat dilakukan dalam
rangka individualism, sementara kehidupan
ekonomi dikuasai oleh kaum kapitalis yang
masih tergolong minoritas. Sebaliknya,
demokrasi Indonesia dibangun dari dalam
kehidupan sehari-hari di pedesaan yang sangat
menekankan musyawarah dan mufakat, hak-hak
rakyat, cita-cita tolong menolong. 
PENDAHULUA
N…
Demokrasi adalah paham yang relative,
kontekstual, dan dinamis (Suseno 1997,
60). Artinya, demokrasi dapat
dikembangkan secara berbeda dari satu
negara ke negara lain, tentu dengan
memperhitungkan kondisi riil dan budaya
yang hidup dalam suatu negara. Dengan
demikian, demokrasi terus tumbuh dan
berkembang secara dinamis dan khas.
Misalnya saja di Indonesia, kita mengalami
dan menjalani demokrasi yang dijiwai
falsafah hidup bangsa yaitu Pancasila.
PENDAHULUAN…
Untuk merealisasikan cita-cita
nasional berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 itu, kita membutuhkan
pemimpin nasional dan pemimpin
daerah yang berintegritas,
bertanggung jawab, cakap, dan
transparan menjalankan
pemerintahan, serta didukung
sepenuhnya oleh rakyat. Karena itu,
kita membutuhkan suatu instrument
Pemilu yang berlangsung secara jujur,
adil, damai dan bermartabat.
APA ITU PEMILU
SERENTAK ?
“Serentak” dalam istilah pemilu serentak
mempunyai arti sebagai penggabungan pelaksanaan
pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden/wakil
presiden (pilpres) yang kita kenal selama ini.
Penggabungan pelaksanaan kedua pemilu tersebut
sebagai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pemilihan umum (pemilu) serentak merupakan
sebuah hal yang baru bagi Indonesia, namun bukan
hal yang baru sebagai sebuah sistem pemilu di
dunia politik. “Pemilu serentak” telah menjadi
istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan
mekanisme pelaksanaan pemilu dalam pemilihan
posisi jabatan politik dan/atau pada level wilayah
pemilihan yang berbeda.
BENTUK-BENTUK PEMILU
SERENTAK
Berdasarkan pengalaman di banyak negara,
praktik pemilu serentak terbagi menjadi tiga
bentuk, yakni: (1) pemilu serentak nasional, yaitu
pemilu untuk memilih anggota legislatif dan
pejabat eksekutif di tingkat nasional secara
bersamaan, (2) pemilu serentak nasional-lokal,
yaitu pemilu yang dilakukan secara serentak baik
untuk memilih eksekutif-legislatif di tingkat
nasional, maupun lokal, dan (3) pemilu serentak
khas negara anggota Uni Eropa, di mana waktu
pelaksanaan pemilu tidak hanya untuk
menjalankan pemilihan lokal, regional dan
nasional di negaranya, tetapi juga untuk pemilihan
anggota Parlemen Eropa.
PEMILU SERENTAK DI INDONESIA

Skema pemilu serentak yang diterapkan Indonesia pada tahun 2019 mengikuti model
pemilihan lima kotak. Dalam model ini para pemilih akan memilih secara serentak
Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Skema ini
diharapkan dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang lebih efektif, berintegritas dan
demokratis.
Sebagai sebuah mekanisme politik, pemilu serentak tidak saja akan berdampak pada
kualitas pemerintahan dan berbagai kebijakannya, namun juga dalam banyak aspek di
antaranya penyelenggara pemilu, konstituen/pemilih dan peserta pemilu. Begitu pula
dampak dari sisi finansial. Bagi penyelenggara pemilu, pemilu serentak diyakini dapat
menghemat biaya pemilu serta meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemilu.
Sementara dampak dari sisi pemilih, pemilu serentak diharapkan dapat mendorong
ketertarikan pemilih untuk mengikuti pemilu, meski fokusnya cenderung pada level
pemilu yang lebih tinggi, misalnya pemilu DPR dibandingkan DPRD
DAMPAK PEMILU
SERENTAK
Dampak pemilu serentak juga mencakup pada harapan
untuk perbaikan terhadap salah satu fungsi partai politik
yaitu rekrutmen partai politik. Temuan teori
memperlihatkan bahwa sistem pemilu serentak mampu
meningkatkan kompetisi antar partai di dalam pemilu. Hal
ini pada akhirnya akan berdampak pada upaya yang lebih
besar bagi partai untuk menjalani fungsi rekrutmen dengan
baik. Partai politik berkepentingan untuk meningkatkan
kualitas kader yang mereka miliki agar mereka mampu
berkompetisi dengan baik di dalam partainya. Hal ini
sebagai “jaminan” dari parpol kepada masyarakat bahwa
kader yang dicalonkan memiliki kapabilitas, kapasitas dan
figur yang baik serta dapat dipercaya masyarakat.
PERMASALAHAN DALAM
PEMILU SERENTAK
 Pertama, penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2019 masih
belum mengatur peraturan operasionalisasinya yang bisa
memperkuat sistem presidensial, karena pemilu serentak dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) lebih condong pada
penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak.
 Kedua, harus disadari bahwa masyarakat yang menjadi obyek
penting dalam kesuksesan pelaksanaan pemilu serentak. Karena
itu kesiapan masyarakat dalam pemilu serentak 2019 menjadi
penting. Kesiapan yang dimaksud adalah kesadaran politik
yang lebih baik serta tingkat partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu. Kesadaran politik itu benar-benar
dimulai sejak tahap awal pemilihan hingga tahap akhir pada saat
memilih; bahwa tidak ada toleransi terhadap politik uang dalam
bentuk apapun. Dengan adanya kesadaran politik ini maka akan
mendorong terciptanya pemilu yang bersih, damai, demokratis,
dan berintegritas.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MENENTUKAN
KUALITAS PEMILU
 Pertama, partisipasi pemilih. Ini merupakan
faktor yang paling menentukan dalam kualitas
enyelenggaraan pemilu.
 Kedua, kualitas kinerja lembaga penyelenggara.
Merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017, para
penyelenggara pemilu adalah lembaga yang
menyelengggarakan pemilu yang terdiri atas
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
 Ketiga, kualitas tata kelola penyelenggaraan
pemilu.
 Keempat, kinerja peserta pemilu yaitu partai
politik.
BAGAIMANA
MEWUJUDKAN PEMILU
YANG DAMAI DAN
BERMARTABAT ?
Pemilu yang berlangsung damai sesuai dengan
asas dan hukum niscaya akan menghasilkan
pemimpin yang cakap, legitimate, dan
membawa bangsa kita pada kematangan
berdemokrasi.
Salah satu indikator kematangan berdemokrasi
adalah kemampuan menghargai perbedaan dan
menerima hasil pemilu dengan lapang dada.
Menghargai perbedaan dapat dilakukan
dengan cara menghindari politisasi suku,
agama, ras dan antargolongan. Sebagai bangsa
yang besar, sudah tentu kita harus menghargai
keanekaragaman Indonesia dan menerimanya
sebagai anugerah Tuhan yang mesti kita
syukuri dan kita pelihara.
BAGAIMANA
MEWUJUDKAN PEMILU
YANG DAMAI DAN
BERMARTABAT ?...
Persoalannya, keanekaragaman atau perbedaan itu
kerap kali dipolitisasi. Politisasi khususnya agama
misalnya, membuat perbedaan yang awalnya anugerah
itu berubah menjadi ancaman.
Di dalam momen Pemilu, baik Pemilu nasional
maupun lokal, isu-isu SARA kerap dipolitisasi. Suku,
agama, ras, dan golongan dipakai sebagai tunggangan
elite politik untuk mendulang suara. Akibatnya rakyat
terkotak-kotak dan modal social kita hancur.
Persahabatan yang tadinya tanpa embel-embel SARA,
tiba-tiba menjadi renggang hanya karena berada di
kubu politik yang berbeda. Hubungan sosial pun
memanas dan bahkan rentan melahirkan konflik dan
kekerasan.
DAMPAK MEDIA
SOSIAL
Tantangan di atas semakin diperparah dengan
kehadiran media sosial. Pada masa lalu,
misalnya Pemilu 1955, masa kampanye diisi
melalui pengerahan massa dan orasi di lapangan-
lapangan terbuka. Di masa kini, kampanye
dilakukan melalui media sosial. Kontak fisik
memang dibatasi dengan adanya media sosial,
namun emosi pemilih dan pengguna media sosial
kerap kali diaduk dengan berbagai kampanye
negatif.
Karena itu, tensi ketegangan dan dan konflik
tidak berkurang dengan adanya kampanye di
dunia maya itu. Sentimen isu tentang suku,
agama, ras dan antargolongan (SARA)
merupakan hal yang menarik untuk dikaji
menjelang Pemilu 2024 baik melalui portal berita
online maupun media sosial.
DAMPAK MEDIA
SOSIAL…
Menjelang Pemilu maupun Pemilihan
Kepala Daerah serentak 2024, sentimen
isu SARA kerap menjadi fenomena
yang tidak dapat dibendung. Sentimen
isu SARA masih mengancam
keberlangsungan Pemilu serentak 2024
disebabkan oleh persaingan ketat para
kontestan partai politik untuk
mendapatkan kursi kekuasaan. Portal
berita online dan media sosial
merupakan media yang kerap menjadi
media penyebaran sentimen isu SARA.
DAMPAK MEDIA SOSIAL…
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for
Digital Society menyimpulkan bahwa masih ada
aktivitas di media sosial yang berhubungan
dengan sentimen berbau SARA pada komentar-
komentar dari netizen menjelang Pilkada DKI
Jakarta 2017 lalu.
Komentar-komentar ini terdapat pada akun-akun
yang digolongkan sebagai buzzer, yaitu mereka
yang melakukan postingan yang sama di beberapa
media dengan menyamarkan beberapa informasi
pribadi. Sementara data yang dirilis oleh POLRI
(dalam Affan, 2018) menyebutkan bahwa media
sosial merupakan media yang paling tinggi dalam
menyebarkan isu SARA dibandingkan media lain.
BAGAIMANA MENANGULANGI
DAMPAK SOSIAL MEDIA
TERHADAP KETERTIBAN
PEMILU ?
Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya,
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
Republik Indonesia mencatat sejumlah hal
penting yang dirangkum dalam Indeks
Kerawanan Pemilu (IKP). Kerawanan pemilu
adalah segala hal yang berpotensi mengganggu
atau menghambat proses pemilu yang
demokratis.
Berdasarkan hasil penelitian dan keterlibatan
langsung dalam proses-proses Pemilu, Bawaslu
membagi kerawanan itu di dalam tiga dimensi,
yakni penyelenggaraan, kontestasi, dan
partisipasi.
Dimensi penyelenggaraan terkait dengan pihak penyelenggara
pemilu, dimensi kontestasi terkait para calon dari partai politik yang
bersaing untuk mendapatkan kursi kekuasaan, sedangkan dimensi
partisipasi berhubungan dengan keterlibatan masyarakat pemilih.
BAGAIMANA
MENANGUL
Kerawanan pemilu dalam tiga dimensi tersebut terjadi di berbagai
ANGI
wilayah Pilkada dengan indeks rendah, sedang, sampai tinggi, dan
memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda dan unik. DAMPAK
SOSIAL
Dalam dimensi penyelenggaraan, Bawaslu mencatat tingginya
kerawanan berkait-paut dengan aspek integritas dan profesionalitas,
MEDIA
di mana pihak penyelenggara Pemilu tidak mampu menjaga
netralitas, terjadi penyalahgunaan wewenang, serta daftar pemilih TERHADAP
KETERTIBA
tetap (DPT) bermasalah.

Sedangkan dalam dimensi kontestasi, kerawanan terjadi sejak


N PEMILU ?...
pencalonan sampai konflik antarkontestan dan massa pendukung saat
kampanye.

Anda mungkin juga menyukai