Anda di halaman 1dari 9

DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA

TAHUN 2024 DI KOTA BANDUNG

Abstrak
Dinamika partisipasi pemilih dalam pemilu/pemilihan dapat mengambarkan
bagaimana kualitas demokrasi elektoral terjadi, apalagi kini Indonesia sedang berupaya
keras meningkatkan fase demokratisasinya dari konsolidasi menjadi pematangan.
Partisipasi pemilih menjadi faktor penting dalam merubah fase tersebut. Dengan
menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan komparatif, penelitian ini
berupaya mendeskripsikan dinamika partisipasi pemilih dalam Pemilu Serentak 2024 di
Kota Bandung. Berdasarkan temuan penelitian ini, secara umum, dinamika tersebut
dipengaruhi oleh kualitas literasi demokrasi pemilih yang meliputi literasi elektoral,
hukum, dan media serta survei/hitung cepat. Selain hal tersebut, ada faktor-faktor
yaitu Kegiatan kerelawanan pemilu (electoral volunteering) telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap pengembangan budaya partisipasi pemilih di setiap
pemilu/pemilihan.

1. Pendahuluan
Agenda politik strategis nasional dalam rangka menciptakan iklim demokrasi yang
proporsional bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik nasional Indonesia di interprestasikan dalam bentuk pelaksanaan Pemilihan
Umum selanjutnya disebut dengan Pemilu. Pemilu untuk menentukan pemimpin baik
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah (Arifulloh, 2015). Pada pelaksanaan Pemilu di
tingkat daerah dilaksanakan berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia, yang dikenal dengan Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya
disebut dengan Pilkada untuk memilih Gubernur, Bupati atau Walikota. Pilkada
dimaknai sebagai konstruksi politik beroperasinya sistem presidensial yang terpancar
masing-masing. kegiatannya ditingkat lokal sebagai akibat latar belakang politik kepala
daerahnya yang beragam dengan pemerintah koalisi di pusat adalah sintesa besar dari
pambahasan subtansi penting dari demokrasi Pilkada sebagai agenda nasional (Seran,
2019).
Salah satu isu yang sangat strategis yang selalu mengemuka di setiap
penyelenggaraan tahapan pemilu ataupun pemilihan adalah isu partisipasi pemilih.
Mengapa demikian? Karena tingkat partisipasi baik kuantitatif ataupun kualitatif
menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pemilihan atau pemilu di suatu
daerah atau negara. Isu partisipasi merupakan isu yang sangat krusial bagi negara
demokrasi yang sedang menjalankan agenda konsolidasi demokrasinya seperti
Indonesia1 . Dalam melanjutkan agenda konsolidasi demokrasi agar lebih efektif,
Pemerintah Indonesia menetapkan sasaran utama yang ingin dicapai yaitu indeks
demokrasi Indonesia mencapai 75 pada tahun 2019, tingkat partisipasi politik (baca:
kehadiran pemilih) mencapai 77,5% pada tahun 2019, dan terselenggaranya pemilu
yang aman, adil, dan demokratis pada tahun 2019. Berdasarkan publikasi BPS (Badan
Pusat Statistik), ada tiga aspek untuk IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) tahun 2019
yaitu pertama, aspek kebebasan sipil dengan indeks 77,2; kedua, aspek hak-hak politik

1
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
dengan indeks 70,71; dan ketiga, aspek lembaga demokrasi dengan indeks 78,73.
Artinya hanya aspek hak-hak politik dalam IDI yang belum tercapai pada tahun 2019.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi, melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/20134,
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerbitkan putusan yang mengandung unsur
reformasi elektoral dimana MK menyatakan bahwa pemilu serentak adalah pemilu
yang konstitusional sesuai dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 . Seperti apa yang
tertera dalam Putusan tersebut, MK memandang peran pemilu sangat strategis untuk
memperkuat sistem presidensialisme di Indonesia6 . Hal tersebut kemudian
dituangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 huruf (a) UU No. 7 Tahun
2017 yang berbunyi “Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu Serentak bertujuan untuk:
memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis ...”. Idealisme elektoral tersebut
disambut beragam oleh publik luas, ada yang optimis penyelenggaraan pemilu
serentak tersebut dapat berjalan dengan baik dan adanya peningkatan partisipasi
pemilih –seperti apa yang ada dalam kajian presidential coattail effect, tetapi di sisi lain
ada juga publik yang memandang pemilu serentak tersebut dengan pandangan politik
yang pesimis, karena pertimbangan kerumitan
Bandung sebagai kota Metropolis dengan karakteristik masyarakat yang heterogen,
dalam konteks pemilu/pemilihan karakteristik masyarakat yang heterogen tsb
dapat menjadi sebuah potensi peluang atau bahkan sebaliknya menjadi sebuah
potensi ancaman, permasalahan yang riskan muncul di kota besar seperti skses Digital
sangat mudah dan cepat, maka Penyebaran Informasi HOAX dengan narasi HATE
SPEECH dan BLACK CAMPAIGN akan lebih tinggi, idealnya persoalanini diimbangi
dengan tingkat. Tantangan tersendiri untuk penyelenggara pemilu dan
pemerintah untuk concern dalam upaya peningkatan literasi digital kepemiluan,
sosialisasi, Pendidikan politik untuk masyarakat menjadi penting (Zacky Muhammad
Zam Zam, 2022)
Masyarakat Kota Bandung dikenal dengan sikap Someah, Ramah, Santun, Rukun,
adem, Ayem. Ini menjadi sebuah potensi besar untuk menjaga keamanan dan
kondusifitas dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan 2024, nuansa lokalistik
yang mencerminkan nilai dan budaya kota Bandung harus dibumikan kepada
masyarakat, para kandidat dan partai. Di Bandung banyak pegawai pemerintah/ASN,
TNI, Polri yang bermasyarakat, mulai dr ASN pemkot, pemprov, kanwil kementerian,
ASN perguruan tinggi, dll. Ini menjadi modal untuk menjaga kondusifitas pemilu di kota
bandung, namun ini akan menjadi masalah yang cukup serius, jika ASN, TNI, Polri tidak
bisa berkomitmen terhadap netralitasnya. (Zacky Muhammad Zam Zam, 2022)
Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung melantik 150 Panitia
Pemilihan Kecamatan di Hotel Horison, Rabu, 4 Januari 2023 lalu. Proses
persiapan pemilu telah berjalan sejak Juli 2022. Saat ini telah memasuki tahapan
pemutakhiran data. Kota Bandung sendiri memiliki target pada pemilu tahun 2024
yaitu sebesar 90 persen, angka tersebut lebih besar dibandingkan pemilu 2019
yaitu 87 persen (liputan6.com, 2023). Adapun terkait data pemilih, saat ini baru
1.793.587 pemilih yang terdaftar di KPU Kota Bandung. Diperkirakan, nantinya akan ada
1,9 juta pemilih dari kota Bandung pada Pemilu 2024 (bandung.go.id, 2023).

2
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
2. Tinjauan Konseptual
A. Konsolidasi Demokrasi
Merujuk pada pemikiran Juan J. Linz & Alfred C. Stepan (1996: 5), konsolidasi
demokrasi (consolidated democracy) merupakan suatu situasi politik dimana sebuah
negara menjadikan demokrasi sebagai “the only game in town”. Menurut kamus
daring Lexico, frasa “the only game in town” diartikan sebagai the best, the most
important, or the only thing worth considering15 (yang terbaik, paling penting, atau
satu-satunya hal yang patut dipertimbangkan). Jadi dalam konteks konsolidasi, nilai-
nilai demokrasi menjadi rujukan utama dalam mengatur sistem politik dan sistem
sosial. Itulah kenapa konsolidasi demokrasi bertujuan yaitu bagaimana mewujudkan
demokrasi yang berfungsi dengan optimal (a fully functioning democracy) (Grassi
dalam Badie et al, 2011:614). Dengan demikian, agar demokrasi berfungsi optimal,
maka nilai-nilai demokrasi harus dapat terinternalisasi dan terkeskternalisasi dalam
kehidupan warga negara. Oleh kerana itu, untuk memahami agenda konsolidasi
demokrasi ini tentunya tidak hanya dalam tataran politik saja, tetapi juga tataran
sosial. Itulah kenapa agenda konsolidasi demokrasi dalam tataran sistem politik sulit
dapat berjalan dengan baik tanpa adanya praktek kehidupan sosial berbasiskan pada
nilai-nilai demokrasi.
Selanjutnya menurut Linz & Stepan (1996:6), ada tiga dimensi dari konsolidasi
demokrasi tersebut yaitu secara perilaku (behaviorally), sikap (attitudinally), dan
konstitusi (constitutionally). Secara perilaku, warga negara dapat berpartisipasi bebas
dan setara, karena absennya aktor kelembagaan, politik, ekonomi, dan sosial yang
berusaha mencapai tujuan-tujuannya dengan cara mencipatkan rezim non-demokratis.
Secara sikap, adanya opini publik yang mempercayai institusi dan proses demokrasi
sebagai cara yang sangat tepat untuk mengatur kehidupan kolektif di dalam suatu
masyarakat. Dan secara konstitusional, semua kekuatan dalam negara (baik
pemerintah atau non-pemerintah) menjadi subjek bagi dan terbiasa atas penyelesaian
konflik dengan hukum tertentu.
Merujuk pada pemikiran Linz & Stepan tersebut di atas, kesadaran
konstitusional menjadi kunci keberhasilan dalam menjalankan agenda konsolidasi
demokrasi. Kesadaran ini terpresentasi pada tingkat literasi demokrasi warga (baca:
pemilih) dalam memahami kedaulatannya di dalam negara demokrasi. Hanya dengan
kedualatan rakyat tersebut, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat akan terwujud.
Seperti apa yang diucapkan oleh Abraham Lincoln dalam pidato di Gettysburg,
Pennysilvania pada 19 November sore tahun 1863 –yang dikenal dengan sebutan
Gettysburg Address. Lincoln mengatakan “… this nation … shall have a new birth of
freedom and that government of the people, by the people, for the people…”. Di
Indonesia, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (vide Pasal
1 ayat 2 UUD 1945) –inilah yang menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia adalah
demokrasi konstitusionalisme. Oleh karena itu, Pemilu/Pemilihan menjadi sarana yang
sangat strategis bagi aktualisasi kedualatan rakyat, karena hal tersebut secara eksplisit
termaktub dalam undang-undang pemilu/pemilihan (vide Pasal 18 ayat (4) dan Pasal
22E UUD 1945 junctis Pasal 1 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2015 dan Pasal 1 ayat 1 UU No. 7
Tahun 2017). Jadi dengan demikian, kesadaran konstitusional warga negara

3
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
terpresentasi dalam partisipasi16 di dalam pemilu/pemilihan –atau yang disebut
electoral participation17. Selaras dengan hal tersebut dan berdasarkan hasil penelitian,
Timothy Feddersen & Alvaro Sandroni (2006:1281) menyatakan bahwa partisipasi
dalam pemilu demokratis dipengaruhi oleh rasa darma warga (sense of civic duty)
pemilih.
B. Partisipasi
Menurut Samuel P. Huntington & Joan M. Nelson (1976: 12-13), partisipasi dalam
bentuk aktivitas elektoral merupakan segala bentuk kegiatan langsung ataupun tidak
langsung berkaitan dengan pemilu. Misalnya ikut serta dalam kegiatan kampanye
(political rally) partai politik, menilai para kandidat yang menjadi kontestan,
mempersuasi seseorang untuk mendukung dan memilih sebuah partai politik,
memberikan suara pada hari pemungutan suara, mengawasi pelaksanaan pemberian
dan penghitungan suara, dan lain sebagainya. Nimmo (1978:337) menambahkan
kegiatan partisipasi elektoral yaitu mendaftarkan diri sebagai pemilih sebagai pemilih
yang bisa menggunakan hak pilihnya (registering to the vote). Jadi partisipasi elektoral
adalah proses keterlibatan pemilih dalam semua tahapan penyelenggaran
pemilu/pemilihan.
Dalam konteks ini, menurut Huntington & Nelson (1976), ada dua bentuk
partisipasi yaitu yang bersifat mandiri (autonomous participation) dan yang digerakan
(mobilized participation). Partisipasi mandiri pemilih biasanya ditandai karena memiliki
literasi elektoral yang baik dan memiliki komiten etika politik dimana pemilih
memahami bahwa suara yang dimilikinya adalah hak yang sangat bernilai (the vote is
the most valuable rights). Sebaliknya pemilih dengan pola partisipasi termobilisasi
memang bahwa suara yang dimilikinya menjadi “mata uang politik” (political currency)
baik dalam konteks kepentingan pragmatis yang tidak berwujud (intangible pragmatic
interests) seperti menghormati atasan di tempat kerja yang mengarahkannya
untukmemiliki kontestan elektoral tertentu –lihat riset perilaku memilih dalam Studi
Columbia19 (Columbia studies)– ataupun konteks kepentingan pragmatis yang
berwujud (intangible pragmatic interests), yang pada akhirnya pemilih terjebak pada
praktek politik transaksional.
C. Dinamika Politik
Dinamika politik sangat terkait sekali dengan persoalan partisipasi dan
demokrasi. Berikut adalah pengertian dinamika politik menurut para ahli. Menurut Leo
Agustoni (2009:62) : “Dinamika politik terkait sekali dengan persoalan partisipasi dan
demokrasi. Isu partisipasi sudah lama dibahas, namun tetap saja problematik, salah
satu sebabnya karena pemaknaan yang bisa penguasa. Ketika partisipasi dimaknai
sebagai keikutsertaan dalam menunaikan agenda-agenda pemerintah, maka medium
yang disediakan hanyalah birokratis teknokratis: mekanisme perencanaan dari bawah,
penjaringan aspirasi dan sejenisnya”. Dinamika Politik Menurut Dwiyanto (2002:110)
dinamika politik dapat diartikan sebagai gambaran seberapa jauh proses politik yang
berlangsung mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas.

4
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
Dinamika Politik secara langsung dapat mepengaruhi masyarakat secara timbal
balik. Untuk menganalisis dinamika yang terjadi dalam hubungan politik Eksekutif dan
Legislatif dalam Perumusan Peraturan Daerah, peneliti tertarik untuk menggunakan
teori dinamika politik dalam proses pembuatan kebijakan dalam Perpres Nomor 10
Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

3. Metode
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study method). Secara
definisional, peneliti merujuk pada definisi studi kasus yang dikemukakan oleh Robert
K Yin (2018) dan Arch G. Woodsie (2010). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti
mendefinisikan metode studi kasus sebagai sebuah metode riset empiris yang
ditujukan untuk menginvestigasi secara mendalam (sebuah) kasus dengan tujuan
untuk menjelaskan, memahami, dan memprediksi kasus tersebut dalam konteks yang
sebenarnya agar di kemudian waktu dapat digunakan untuk mengendalikan kasus yang
sama. Dengan demikian, studi kasus adalah metode yang tepat untuk meneliti tentang
dinamika partisipasi pemilih dalam Pemilu Serentak 2024 dan Pemilihan Serentak.
Oleh karena itu, signifikansi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi
komprehensif dinamika partisipasi pemilih dalam Pemilu Serentak 2024 di Kota
Bandung.
Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kasus
komparatif (the comparative case method) atau bisa dikatakan sebagai studi kasus
ganda (multiple-case studies). Oleh karena itu, peneliti dalam proses analisa data
penelitian menggunakan pendekatan komparatif dengan tujuan menggambarkan
secara komprehensif kasus partisipasi di Pemilu Serentak 2024. Pendekatan tersebut
mengarahkan peneliti untuk menggunakan kata “bagaimana” dalam desain
pertanyaan penelitian yaitu bagaimana dinamika partisipasi pemilih di Pemilu Serentak
dan Pemilihan Serentak tersebut? Pertanyaan dalam penelitian ini secara tidak
langsung mempertegas bahwa metode studi kasus komparatif ini merupakan bentuk
lain dari penelitian evaluasi (evaluation research). Itulah kenapa penelitian ini tidak
hanya membutuhkan data yang bersifat deskriptif (kualitatif), tetapi juga yang bersifat
numerik (kuantitatif) dari berbagai sumber baik KPU penyelenggara pemilihan ataupun
pihak lainnya yang memiliki data kualitatif ataupun kuantitatif yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.

4. Hasil dan Pembahasan


Partisipasi termanipulasi hoaks (hoax-manipulated participation)
Mendiskusikan tentang hoaks dalam pemilu/pemilihan, tentunya bisa dimulai
dengan pertanyaan, mengapa pemilih bisa atau mudah terlibat dalam jaringan
distribusi hoaks? Illetarasi politik pemilih telah menjadi faktor pemicu atau pendorong
kenapa pemilih bisa terlibat dalam jaringan distribusi hoaks –dalam baik konteks
penerima ataupun penerus informasi hoaks dan bahkan mungkin bisa terlibat dalam
proses produksi hoaks. Iliterasi politik tersebut juga dapat menumbuhkembangkan
sinisme politik dan sikap golput (non-voting) dalam Pemilu/Pemilihan. Hoaks
menjadikan pemilih illetrat mejadi pemilih termanipulasi dalam berpartisipasi
elektoralnya (manipulated participation) –jika merujuk pada pemikiran Huntington &

5
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
Nelson (1976), partisipasi tersebut merupakan bagian dari atau bentuk lain dari
partisipasi termobilisasi (mobilized participation). Tentunya ini sangat merugikan bagi
demokrasi elektoral itu sendiri. Jadi untuk. memutus mata rantai hoaks (chain of hoax)
bisa diawali dengan mentransformasi pemilih dari kondisi illetarat menjadi literat.
Dengan demikian, dikarenakan hoaks pada umumnya secara massif dan sistematis
melalui internet dan media sosial –apalagi didukung oleh teknologi komputasional
dengan teknik semburan kebohongan (firehose-of-falsehood technique), jadi bersifat
sangat urgen bagi pemilih untuk menerima dan meningkatkan literasi media baru.
Gerakan literasi internet tersebut harus dipelopori oleh KPU penyelenggara
pemilu/pemilihan dengan mengaktivasi dan memfasilitasi atau mendukung gerakan
voluntirisme (volunteerism movement). Dalam Pemilu Serentak 2024, KPU RI telah
menerbitkan kebijakan pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) yang salah satu
segmennya adalah pemilih warga net (netizen voters). Relasi tersebut secara terfokus
mengedukasi pemilih warga net, khususnya pemilih pemula (first-time voters) dan
pemilih muda (young voters) yang sering disebut sebagai pemilih millenial, karena
merekalah digital native (pribumi digital) yang kesehariannya sangat aktif dalam
bermedia sosial –bahkan juga ada yang mengalami adiksi media sosial.
Partisipasi berbasiskan semangat kerelawanan (volunteerism-based
participation)
Kerelawanan pemilu (electoral volunteering) dalam Pemilu/Pemilihan adalah
representasi dari semakin menguatnya peran masyarakat sipil (civil society) dalam
demokrasi elektoral. Biasanya demokrasi yang baik selalu ditandainya adanya
keterlibatan masyarakat sipil. Berdasarkan fakta yang ada dalam Pemilu/Pemilihan di
Indonesia, kerelawanan pemilu sebenarnya sudah berkembang sejak Pemilu pasca
Orde Baru ditandainya dengan banyaknya lembaga kepemantauan pemilu yang
melibatkan banyak generasi muda atau mahasiswa. Dalam perkembangannya,
kerelawanan pemilu juga didukung oleh penyelenggaran pemilu dimana sejak Pemilu
2014, KPU melibatkan Relasi (Relawan Demokrasi) dalam melakukan sosialisasi dan
pendidikan pemilu/pemilihan.
Dengan demikian, kerelewanan pemilu ada dua yaitu yang terinstitusionalisasi
dan tidak terinstitusionalisasi. Relasi adalah bentuk dari kerelawanan pemilu yang
terinstitusionalisasi (institutionalized electoral volunteering), sedangkan yang bukan
adalah yang tidak terinstitusionalisasi (uninstitutionalized electoral volunteering).
Keduanya menempati peran strategis dalam mengaktivasi dan mengembangkan
perilaku memilih yang mandiri dan bahkan budaya demokrasi yang menempatkan
pemilih sebagai subjek politik dalam pemilu/pemilihan, bukan objek. Mengapa
demikian? Karena pemilih memiliki atau bertambahnya pengetahuan tentang
kepemiluan dan demokrasi –atau yang disebut well-educated voters atau well-
informed voters. Di Kota Bandung, baik dalam Pemilu Serentak 2024 KPU
penyelenggara pemilihan terus mengembangkan kerelawanan pemilu baik yang
terinstitusionalisasi atau tidak.
Keterlibatan organisasi non-pemerintah seperti organisasi kemasyarakatan,
kepemudaan, mahasiswa, siswa, profesi, komunitas, tokoh publik dan lain sebagainya
dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih secara mandiri dalam berbagai
bentuk kegiatan termasuk misalnya seminar politik tentang hoaks pemilu sangat

6
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
dinantikan kehadirannya dalam kapasitas massal. Bahkan setiap individu pemilih dapat
memainkan peran sebagai electoral volunteer (relawan pemilu) dengan cara membuat
konten kreatif atau meneruskan pesan-pesan kepemiluan edukatif dan mencerahkan
di media sosial bagi pemilih secara luas atau terlibat dalam kepengawasan elektoral
dan melaporkannya kepada lembaga otoritatif dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) di daerahnya masing-masing. Ini merupakan bentuk dalam civic participation
di dalam pemilu, karena pengembangan demokrasi (elektoral) merupakan civic
responsibility (tanggung jawab kewargaan). Kerelawanan pemilu (electoral
volunteering) akan membuat dinamika partisipasi pemilih menjadi lebih terarah pada
tercapainya nilai-nilai demokrasi yang ideal dalam pemilu, termasuk pemilu/pemilihan
inklusif.

Partisipasi berbasiskan integritas elektoral (electoral integrity-based


participation)
Integritas elektoral tidak hanya melekat pada penyelenggara pemilu/pemilihan
saja, tetapi juga pada semua pihak termasuk kepada pajabat publik seperti ASN, kepala
desa, dan lain sebagainya termasuk kepada pemilih itu sendiri. Mewujudkan integritas
elektoral membutuhkan partisipasi politik yang terbebas dari moral hazard. Semua
pihak dapat memahami dan mentaati aturan penyelenggaraan pemilu atau pemilihan
dengan baik, termasuk pemilih itu sendiri. Oleh karena itu, pemilih harus memiliki
literasi hukum elektoral. Banyak fakta elektoral yang membuktikan perilaku
machiavellianistik telah meruntuhkan komitmen moral dan literasi hukum elektoral
tersebut.
Sikap impartisan ASN, kepala desa/kelurahan, dan aparatur desa/kelurahan
mendorong mereka untuk melanggar aturan kampanye atau aturan pemilu/pemilihan.
Mengapa ini terjadi? Karena mereka memandang bahwa birokrasi yang seharusnya
independen dapat dijakan alat untuk memenangkan kandidat atau partai politik
tertentu. Pandangan politik terhadap birokrasi adalah salah satu penyebab kenapa
masih ada pelanggaran pemilu/pemilih yang dilakukan oleh ASN, kepala
desa/kelurahan, dan aparatur desa/kelurahan –seperti yang terdeskripsi dalam sub
bab temuan penelitian ini. Selain karena inisiatif pelaku pelanggar hukum elektoral
sendiri, pada umumnya, karena mereka ditarik oleh para tim kontestan elektoral
dengan imbalan akan menjadi bagian “gerbong kekuasaan” –ketika kandidat yang
diusungnya memenangkan pemilu/pemilihan. Political trading atau pertukaran politik
menjadi motif yang melandasinya. Setiap pemilu atau pemilihan selalu ada kejadian
pelanggaraan yang dilakukan oleh mereka yang berujung pada sanksi pidana kurungan
dan denda materiil.

5. Simpulan
Berdasarkan deskripsi temuan dan diskusi atas temuan penelitian tersebut di atas,
ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik terkait dinamika partisipasi pemilih baik di
Pemilu Serentak 2024 di Kota Bandung.
Kegiatan kerelawanan pemilu (electoral volunteering) telah memberikan kontribusi
signifikan terhadap pengembangan budaya partisipasi pemilih di setiap

7
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
pemilu/pemilihan. Dalam perspektif kolaborasi politik atau PR (Public Relations), selain
mengaktivasi relawan terinstitusionalisasi seperti Relawan Demokarsi, KPU
Penyelenggara Pemilu/Pemilihan harus dapat mengaktivasi dan mengembangkan
aktivisme elektoral dari para aktivis, tokoh publik non-partisan, akademisi, jurnalis
professional, dan lain sebagainya agar terlibat dalam kegiatan kerelawanan pemilu
non-terinstitusionalisasi (non-instututionalized electoral volunteering). Dinamika
partisipasi pemilih dalam pemilu/pemilihan dapat bergantung pada keterlibatan aktif
(active engagement) masyarakat sipil dalam kegiatan kerelawanan tersebut, serta juga
pihak jurnalis media profesional –tidak hanya sebagai reporter peristiwa atau suara
pemilih, mereka juga sebagai fact checker (penelusur fakta) atas hoaks dan
disinformasi.
Selanjutnya dinamika partisipasi pemilih juga dipengaruhi oleh politik kandidasi
dari peserta pemilu/pemilihan. Misalnya politik selebritas dalam pemilu legislatif juga
menjadi faktor aaktivator partisipasi pemilih dimana pemilih tertarik dengan para
selibritas (seperti aktor atau aktris film/sinetron). Walaupun pada akhirnya, pola
partisipasi pemilih terjebak pada spectatorship pattern (pola kepenontonan) dimana
pemilih mendukung pencalonan para selebritas yang mereka idolakan. Dari sisi
kuantitas, fenoma politik selebritas berdampak positif terhadap peningkatan
partisipasi, tetapi dari sisi kualitas, para peneliti dalam studi perilaku politik atau
partisipasi pemilih diundang untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut.
Kemudian, selain hal tersebut, faktor kepuasan pemilih terhadap kinerja kandidat
petahana juga menjadi faktor penggerak partisipasi pemilih dalam memberikan
suaranya.

6. Daftar Pustaka

Grassi, D. (2011). Democratic Consolidation. In Bertrand Badie et al (Edts).


International
Encyclopedia of Political Science. Volume 2. SAGE Publications, Inc., pp. 614-
620.
Huntington, S.P. & Nelson, J.M. (1976). No Easy Choice: Political Participation in
Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press.
Linz, J. J. & Stepan, A. (1996). Problem of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore &
London: The Johns Hopkins University Press
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Peraturan KPU RI No. 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Peraturan KPU No. 11 Tahun 2020. Peraturan KPU RI No. 8 Tahun 2017 tentang
Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan
Wakil Walikota
Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Applications: Design and Methods. Sixth
Edition. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.

8
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG
9
DINAMIKA PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU & PEMILIHAN SERENTAK PADA TAHUN 2024 DI KOTA
BANDUNG

Anda mungkin juga menyukai