Anda di halaman 1dari 13

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

MENATA ULANG SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH


DENGAN MODEL ASIMETRIS DEMI MEWUJUDKAN
KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA

O l e h:
Dr. Gunawan Suswantoro
Nomor Peserta: 21

KERTAS KARYA PERORANGAN (TASKAP)


PROGRAM PENDIDIKAN SINGKAT ANGKATAN (PPSA) XXIII
LEMHANNAS RI
TAHUN 2021
1. Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara


demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, Indonesia telah
menggelar berbagai edisi Pemilu dengan format yang berbeda beda. Pemilu yang
dilakukan tidak hanya untuk memilih pemimpin di tingkat nasional, namun juga
pemimpin di tingkat daerah. Dalam tulisan ini, penulis akan fokus melakukan
pengkajian terhadap pemilihan umum di level daerah atau lazim dikenal dengan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sampai saat ini, setidaknya terdapat tiga macam
model Pilkada yang pernah digelar di Indonesia, yakni Pilkada tidak langsung,
langsung, dan asimetris.

Penyelengaraan Pilkada secara tidak langsung pernah dilakukan pada era


pemerintahan Orde Baru. Pada pelaksanaan Pemilu tidak langsung mengacu pada
UU nomor 5 tahun 1974. Dalam praktiknya, kepala daerah dipilih dan dicalonkan oleh
DPRD, hasil pemilihan lantas diajukan kepada pemerintah pusat untuk kemudian
dilantik. Terdapat kelemahan dan kelebihan dari sistem Pilkada tidak langsung.
Beberapa diantaranya adalah sistem Pilkada tidak langsung yang pernah
diselenggarakan selama ini dianggap tidak demokratis. Selain itu, terdapat juga
ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPRD sebagai pemegang hak suara
Pilkada. Terakhir, pemilihan tidak langsung juga banyak dinilai menyuburkan oligarki.
Hal ini dikarenakan pemilihan tidak langsung akan lebih terkonsentrasi dan dikuasai
oleh segelintir orang1. Oleh karena itu, evaluasi mendasar atas Pemilu tidak langsung
patut untuk dilakukan apabila nantinya menjadi opsi dalam sistem asimetris.

Berbeda dengan Pilkada yang terselenggara pada era Orde Baru, Pilkada
langsung di Indonesia dilaksanakan sejak Juni tahun 2005. Hal ini diinspirasi oleh
terselenggaranya Pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung untuk
pertama kalinya atas dasar amandemen ketiga pasal 22E ayat (6) UUD 1945 dan UU
No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
1
Azwar, R., C. (2017). Partai Politik Di Tengah Ancaman Virus Oligarki dan Politik Kartel. Lembaga
Pengkajian MPR RI.

1
Terselengaranya pemilihan langsung oleh rakyat ini dilanjutkan dengan adanya
Pilkada langsung berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Perubahan sistem pemerintahan daerah yang sebelumnya bersifat
sentralistik menjadi desentralisasi, tidak dikuatkan oleh pengkajian mendalam atas
kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Hal ini kemudian menjadi kurang
kompatibel menurut penulis, karena pemilihan kepala daerah secara demokratis
seperti yang diamanatkan oleh konstitusi sebenarnya tidak harus dilakukan secara
langsung. Alhasil, saat ini hasil dari Pilkada langsung menjadi sangat jauh berbeda
dari cita-cita awal dan semangat desentralisasi itu sendiri dan justru menciptakan
raja-raja kecil di daerah.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung telah terbukti menimbulkan banyak


polemik. Salah satu permasalahan yang ditimbulkan setelah terselenggaranya
Pilkada langsung adalah pembiayaan yang fantastis 2. Biaya yang tinggi ini harus
dikeluarkan baik oleh Pemerintah Daerah untuk penyelengaraan Pilkada, maupun
oleh kontestan yang turut serta dalam gelaran Pilkada. Pada pilkada serentak yang
digelar pada tahun 2020, biaya Pilkada ada pada kisaran Rp. 20,49 T dengan total
daerah pemilihan sebanyak 270 daerah. Julmlah pada gelaran tahun 2020 telah
meningkat, setelah pada tahun 2018 dengan 171 daerah pemilihan, kebutuhan
anggaran ada pada kisaran Rp 15,16 triliun. Untuk membandingkan lebih jauh, pada
Pilkada serentak tahun 2015 anggaran yang dibutuhkan sebanyak Rp 7,09 triliun
untuk 269 daerah pemilihan. Sedangkan Pilkada di 101 daerah pada tahun 2017,
menelan biaya hingga Rp 5,95 triliun 3. Pilkada langsung kerap dituding menjadi
beban tahun anggaran belanja dan karenanya mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah pada tahun itu.

Kemudian, dalam praktiknya, kuasa partai politik juga kerap menuai kecaman
publik. Hal ini dikarenakan, proses pengusungan kandidat yang kerap terlihat elitis,
2
Nurhasim, M. (2016). Konflik dalam Pilkada Langsung: Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik.
Jurnal Penelitian Politik, 7(2), 13.
3
Dewan Perwakilan Rakyat (2018),” Hemat Anggaran Pilkada dan Pemilu, Perlu Strategi
Baru”https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/23040/t/Hemat+Anggaran+Pilkada+dan+Pemilu,
+Perlu+Strategi+Baru+ diakses pada 20 April 2021

2
rekrutmen bakal calon yang buruk, isu keharusan atas mahar politik oleh kandidat
agar memperoleh tiket pencalonan dari Partai. Belum lagi maraknya praktik money
politic yang sering terjadi ketika penyelenggaran pilkada langsung 4. Politik uang
dalam Pilkada, merupakan masalah sistemik, karena terbukti merusak mental dan
moral pemilih. Para konstituen yang harusnya menilai kandidat berdasarkan visi dan
misi, saat ini terdapat kecenderungan bergeser menjadi berapa banyak uang yang
diterimakan oleh masing-masing kandidat. Disamping politik uang, korupsi juga
menambah catatan buruk torehan Pilkada langsung. Berdasarkan data yang
dihimpun oleh KPK, sejak tahun 2005 sampai saat ini telah terdapat setidaknya 439
kepala daerah yang terjerat korupsi, 124 diantaranya ditangani oleh KPK 5.

Penyelengaran pilkada langsung juga rawan memicu konflik sosial yang


kerapkali berujung pada kekerasan. Kerawanan akan terjadinya konflik sosial dalam
gelaran Pilkada biasanya terjadi diakibatkan oleh rentang daerah pemilihan yang
terlalu pendek, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda
kepentingan dalam masyarakat, dan regulasi pilkada yang masih memiliki ruang bagi
terjadinya konflik kepentingan 6. Adanya konflik kepentingan selama gelaran Pilkada
juga kerap menimbulkan perpecahan. Sentimen – sentimen yang rawan
menimbulkan perpecahan seperti suku, ras, dan agama telah dieksploitasi habis
sebagai senjata untuk memenangkan konstestasi 7. Banyak daerah bahkan harus
membuat satu tata aturan tidak tertulis demi mencegah perpecahan dengan
membuat kuota tersendiri di tubuh pemerintahan demi perpecahan tidak terjadi.
Salah satu contoh daerah yang melakukan hal tersebut adalah provinsi Maluku, yang
membagi memiliki aturan untuk menyediakan ruang bagi etnis agama lain agar
terwadahi pada pemerintahan. Tidak lupa bahwa polarisasi yang ada di masyarakat

4
Pahlevi dan Amrurrobi. (2020). Pendidika Politik dalam Pencegahan Politik Uang Melalui Gerakan Masyarakat
Desa. Integritas: Jurnal Antikorupsi. 6 (1). 141-152.
5
Arunanta, Lukman Nurhadi. (2021) Pimpinan KPK Catat Ada 429 Kepala Daerah terjerat Korupsi.
https://news.detik.com/berita/d-5498530/pimpinan-kpk-catat-ada-429-kepala-daerah-hasil-pilkada-terjerat-
korupsi. Diakses pada 26 April 2021.
6
Romli, L. (2018). Pilkada Langsung, Calon Tunggal, dan Masa Depan Demokrasi Lokal. Jurnal
Penelitian Politik, 15(2), 143-160.
7
Fernandes, A. (2018). Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas. Centre for Strategic and
International Studies.

3
bahkan hingga saat ini, juga merupakan salah satu dari ekses Pilkada yang
dilakukan secara langsung. Adanya keterbelahan di tengah masyarakat, menjadi
bukti lain bahwa Pilkada yang dilakukan secara langsung perlu untuk mendapatkan
evaluasi dan perbaikan.

Tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat menjadi satu tantangan


tersendiri dalam penyelengaraan Pilkada secara langsung. Saat ini, berdasarkan
data yang dirilis oleh BPS (2020) Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia
didominasi oleh lulusan SMP sebanyak 65% 8. Sehingga proses penyampaian
program dan visi-misi kandidat Pemilu akan semakin berat untuk diterima
masyarakat. Ditambah lagi dengan tingkat pendapatan perkapita masyarakat
Indonesia yang sampai saat ini masih di angka $ 4,100 atau masuk dalam kategori
middle income. Sehingga akan sangat masuk akal pernyataan Prof. Boediono dalam
pidato pengukuhan Guru Besar UGM yang menyatakan bahwa Demokrasi tidak akan
berjalan dengan baik apabila perkapita suatu negara masih ada di bawah $ 6.600
sebagai batas kritis demokrasi9. Dalam perhitungan yang dilakukan oleh Prof
Boediono, dengan angka yang saat ini dimiliki oleh Indonesia, Demokrasi hanya
dapat bertahan paling lama 18 tahun.

Baik sistem Pilkada langsung, maupun tidak langsung keduanya memiliki


kelemahan dan kekurangan masing-masing. Keinginan untuk membuat sistem
pemilu yang ideal dan relevan dengan kondisi bangsa dan negara telah mendorong
beragam inovasi pelaksanaan Pilkada. Salah satu inovasi yang saat ini banyak
mengemukan adalah ide berkaitan dengan pilkada secara asimetris yang diharapkan
menjadi solusi atas beragam persoalan Pilkada saat ini. Sistem pemilihan kepala
daerah secara asimetris sebenarnya sudah dijalankan pada beberapa wilayah di
Indonesia. Beberapa wilayah dengan Pilkada asimetris tersebut diantaranya adalah
DI Yogyakarta yang melaksanakan Pilkada asimetris dengan hanya memilih bupati
wali kota saja, sedangkan Gubernur dijabat oleh Sultan Jogjakarta. Daerah lain

8
Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Pendidikan Indonesia. BPS: Jakarta.
9
https://ugm.ac.id/id/berita/1514-batas-kritis-demokrasi-indonesia-diukur-dari-penghasilan-per-
kapita

4
adalah, DKI Jakarta sebagi ibu kota negara yang hanya melakukan Pilkada dengan
memilih Gubernur saja, sedangkan walikota dan bupati dipilih atas penunjukkan
Gubernur. Terakhir, Provinsi Aceh dan Papua yang melakukan Pilkada Asimetris
dalam segi persyaratan calon.

Berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh penyelegaraan Pilkada langsung


nyata-nyata telah mengganggu ketahanan nasional indonesia. Hal ini dapat diketahui
dari ragam ancaman yang telah menyentuh delapan gatra dalam konsepsi ketahanan
nasional Indonesia. Berbagai ancaman tersebut seperti ancaman atas trigatra yakni
SDM, geografis dan SDA yang tidak dapat dikelola dengan baik oleh mayoritas
pemimpin daerah hasil Pilkada. Demikian juga terhadap lima gatra yakni ideologi,
sosial-bidaya, pertahanan, ekonomi dan politik yang mengalami krisis akibat proses
demokrasi yang buruk. Hadirnya bohir atau pemodal dalam Pilkada juga menambah
rentetan ancaman dalam gatra alamiah. Kebanyakan pemodal berinvestasi kepada
kontestan Pemilu dengan harapan setelah terpilih akan mendapatkan imbal berupa
perizinan dan konsesi atas lahan10.

Berangkat dari banyaknya problematika yang terjadi dalam penyelenggaraan


pilkada langsung, penulis berpendapat bahwa diperlukan adanya penataan ulang
yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak demokrasi rakyat dan mewujudkan
ketahanan nasional. Tatanan sistem baru ini diharapkan dapat menjamin
terselenggarakannya demokrasi yang mapan dan stabilitas politik sehingga dapat
mengatasi ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Demokrasi yang mapan dan stabilitas politik merupakan cikal bakal terwujudnya
ketahanan nasional yang kuat.

Dalam pandangan penulis, pilkada asimetris dapat dikembangkan dan


diterapkan di Indonesia secara lebih luas. Hal ini ditunjang oleh pilihan yang begitu
terbuka pada Pilkada asimetris untuk menyesuaikan setiap kondisi daerah. Secara
lebih jauh, pilkada asimetris juga memungkinkan model pemilihan dengan melihat
tingkat kompetisi dan konsensus yang diinginkan. Dalam usulan penulis nantinya
10
Husein, H. (2014). Pemilu Indonesia. Jakarta: Perludem.

5
akan terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengawaki Pilkada
asimetris. Indikator yang akan dirangkai oleh penulis dalam memetakan Pilkada
asimetris diantaranya; indeks teknikalitas pemilihan, indeks kedewasaan demokrasi,
dan indeks ketahanan nasional.

Berdasarkan beberapa pokok persoalan dan argumentasi penelitian di atas,


penulis hendak merumuskan sebuah judul yang berkaitan dengan penataan ulang
sistem Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga pertanyaan penelitian akan diusung oleh
penulis adalah BAGAIMANA SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH ASIMETRIS
YANG MAMPU MEMPERBAIKI TATANAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG
AKUNTABEL DAN MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL.

2. Perumusan Masalah
Secara garis besar atas latar belakang yang diuraikan di atas, penulis
merumuskan beberapa persoalan pokok sebagai alasan utama tulisan ini dapat
diangkat. Pertama persoalan pilkada di Indonesia yang sampai saat ini belum
menemukan bentuk ideal. Kedua, Pilkada yang diselenggarakan secara langsung
tidak secara baik mengejawantahkan demokrasi. Pilkada langsung yang diharapkan
menjadi upaya resolusi konflik justru menimbulkan persoalan baru dan lebih rumit
untuk diselesaikan. Persoalan seperti politik uang, mahalnya demokrasi, korupsi
kepala daerah dan oligarki kekuasaan cederung menguat seiring dengan
diselegarakanya Pilkada langsung.

Berdasarkan pokok-pokok persoalan utama yang menjadi latar belakang


tulisan ini, berikut merupakan rumusan masalah yang akan diajukan dalam tulisan ini.

a. Apa yang membuat pelaksanaan Pilkada di Indonesia tidak kunjung


menghasilkan pemimpin yang berintegritas?
b. Mengapa sistem Pemilihan Kepala Daerah saat ini rawan untuk menimbulkan
konflik dan mengancam ketahanan nasional?

6
c. Bagaimanakah sistem Pemilihan Kepala Daerah Asimetris dapat menata
pemerintahan daerah yang akuntabel dan mewujudkan ketahanan nasional ?

3. Pokok – Pokok Bahasan


Berangkat dari beberapa pokok permasalahan yang telah dikemukakan di
atas, tulisan ini akan melakukan pengkajian mengenai beberapa hal berkaitan
dengan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia dan keterkaitannya dengan
Ketahanan Nasional. secara lebih jelas, berikut merupakan pokok – pokok bahasan
dalam tulisan ini.

a. Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia saat ini dan persoalan-


persoalan yang timbul akibat penyelengaraannya.
b. Evaluasi atas sistem penyelengaraan pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
dengan merujuk pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Ideologi Pancasila.
c. Usulan atas penataan ulang sistem pemilihan Kepala Daerah dengan pola
Asimetris demi mewujudkan Ketahanan Nasional di Indonesia.

4. Ruang Lingkup
Tulisan ini merupakan penelitian dengan model kualitatif deskriptif. Penelitian
Kualitatif merupakan bentuk penelitian yang meletakkan kata – kata dan narasi
sebagai sumber utama penelitian11. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah sumber-sumber sekunder berupa laporan, artikel, ataupun jurnal ilmiah yang
memiliki keterkaitan dengan topik penelitian. Selain itu, apabila memungkinkan juga
akan dilengkapi dengan data primer berupa wawancara dan diskusi dengan pakar
atapun narasumber ahli.

Secara umum, penelitian akan mencakup bidang Ilmu Politik, Administrasi


Negara, dan Hukum Tata Negara, serta Ketahanan Nasional. Selain itu, secara
khusus penelitian ini juga akan membahas tentang sistem pemilihan kepala daerah
dan pelaksanaannya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11
Creswell, J. W. (2002). Desain penelitian. Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta: KIK.

7
4. Rencana Referensi
Terdapat beberapa referensi yang akan menjadi rujukan utama dalam
penelitian ini. beberapa referensi tersebut diantaranya adalah.

a. Suswantoro, Gunawan. (2020). Arah Baru Sistem Pemilu: Sistem Paralel


dalam Skema Pemilu Serentak Di Indonesia. Jakarta: Esensi.
b. Yanuarti, S. (2020). Adaptasi Sistem Pemilu Paralel Bagi Indonesia. Airlangga
University Press.
c. Marijan, K. (2019). Sistem politik Indonesia: Konsolidasi demokrasi pasca orde
baru. Kencana.
d. Respationo, H. S. (2013). Pemilihan Kepala Daerah Dalam Demokrasi
Electoral. Masalah-Masalah Hukum, 42(3), 356-361.
e. Ramadlan, F. S., & Masykuri, R. (2018). Marketing Isu Agama Dalam
Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia 2015-2018. Jurnal Penelitian Politik,
15(2), 249-265.
f. Pranowo, M. B. (2010). Multidimensi Ketahanan Nasional. Pustaka Alvabet.
g. Maarif, A. S., Maarif, A. S., Ali-Fauzi, I., & Panggabean, S. R. (2010). Politik
identitas dan masa depan pluralisme kita. Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina.
h. Wawan, S., Yudhitiya, D. D., & Caecia, G. (2017). Tinjauan yuridis
perbandingan sistem pilkada langsung dan tidak langsung berdasarkan
demokrasi pancasila. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 17(2), 300-310.
i. Manurung, S. H. P. Kelebihan Dan Kekurangan Antara Pemilihan Kepala
Daerah Oleh Dprd Dengan Pilkada Langsung. krdfhundip.com.
j. Mahardika, A. G., & Fatayati, S. (2020). Penerapan Pilkada Asimetris Sebagai
Upaya Menciptakan Sistem Pemerintahan Daerah Yang Efektif. Indonesian
Journal of Humanities and Social Sciences, 1(1), 50-67.
k. Tryatmoko, M. W. (2017). Problem Demokratisasi Dalam Desentralisasi
Asimetris Pascaorde Baru. Masyarakat Indonesia, 38(2), 269-296.

8
l. Nuryanti, S. (2015). Intervensi penyelenggaraan pemilukada: regulasi,
sumberdaya dan eksekusi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(2), 125-140.
m. Tauda, G. A. (2018). Desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Administrative Law and Governance
Journal, 1(4), 413-435.
n. Dewi, K. H. (2016). Menata Ulang Pemilukada menuju Tata Kelola
Pemerintahan Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan. Jurnal
Penelitian Politik, 12(2), 105-118.
o. Ghifari, M. S., & Sari, C. M. A. (2019). Praktik Politik Transaksional Pada
Sistem Desentralisasi Asimetris Di Aceh (Studi Analisis 10 Tahun Pengelolaan
Dana Otonomi Khusus Periode 2008/2018). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 4(3).

5. Kerangka Teoritis
Tulisan ini akan disusun atas beberapa kerangka teoritis utama. Kerangka
teoritis berfungsi sebagai unsur pokok yang digunakan dalam memahami dan
mengkaji objek penelitian secara lebih mendalam. Berikut adalah beberapa konsep
dan kerangka teoritis, serta peraturan perundang-undangan yang akan digunakan
dalam tulisan ini.

a. Konsep Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia


b. Teori Demokrasi dan konsep Demokrasi Pancasila
c. Teori Manajemen Konflik
d. Teori Perilaku Politik
e. Teori Partisipasi Politik
f. Teori Tindakan Kolektif
g. Teori Ketahanan nasional
h. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
i. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
j. Undang-Undang Nomor 17 Tentang MPR, DPR, dan DPRD
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada
9
10
ALUR BERFIKIR

MENATA ULANG SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DENGAN MODEL ASIMETRIS


DEMI MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA

LANDASAN PEMIKIRAN

- PANCASILA- PASAL 18 AYAT (4)


UUD 1945- UU No 1 Tahun 2015
Tentang Pilkada

POKOK-POKOK PERSOALAN Terciptanya


sistem
Pilkada biaya mahal Pemilihan
PEMILIHAN KEPALA Dalam amanat konstitusi, MEWUJUDKAN KETAHANAN Kepala KETAHANAN
DAERAH SAAT INI Pilkada demokratis tidak NASIONAL MELALUI SISTEM Daerah yang NASIONAL
RENTAN harus dilakukan secara PEMILIHAN KEPALA DAERAH Demokratis YANG KUAT
MENIMBULKAN
langsung YANG LEBIH IDEAL dan sesuai
GANGGUAN
KETAHANAN Konflik Sosial yg semakin amanat
NASIONAL runcing Pancasila
Banyaknya kepala daerah
yang tersangkut Korupsi
FAKTOR-FAKTOR YANG
BERPENGARUH

Ideologi
ekonomi
Politik Sosial-
BudayaPertahananKeaman
an

11
12

Anda mungkin juga menyukai