Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA

DEPAN PEMILUKADA DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi.
Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang
melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD.
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun
kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan
lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah
koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar
langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak
untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai
dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No. 32 Tahun 2004, yakni UU No.12
Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan
yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk
mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat
terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.
Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai
pada taraf otonomi individu.
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya
pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang
memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas
politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka
kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka
peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung
oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang,
sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi
politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam
bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi), sosial (issue tentang
disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun finansial. Hal ini kita
lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan
Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran
karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang
bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan
kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang
sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk
memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami,
karena politics is the struggle over allocation of values in society (Politik merupakan
perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan
politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi
fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the
process of government). Dalam kerangka ini cara-cara lobbying, pressure, threat, batgaining
and compromise seringkali terkandung di dalamnya.
Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah
dengan UU No. 2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah
lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan
hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik
oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada,
akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik
sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim
investasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul,
ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN
PEMILUKADA DI DI INDONESIA. Makalah ini disusun bertujuan untuk menganalisis
kelebihan dan kelemahan pelaksaanan Pemilikada, serta menganalisis masa depa pelaksanaan
Pemilukada secara langsung di Indonesia.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa saja kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung
di Indonesia ?
2. Apa saja kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung
di Indonesia ?
3. Bagaimana masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
2. Menganalisis kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
3. Menganalisis masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Bagi Penulis
Penulisan makalah yang berjudul, ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA, disusun
sebagai salah satu pemenuhan Tugas UKD 4 Pemerintahan daerah dan Desa/ Semester 5 (lima)
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang diampu oleh Rima Vien, PH, SH, MH.
2. Bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka bagi pembaca dalam mengkaji
permasalah Pemerintahan Daerah dan Desa berkaitan dengan pelaksanan pemilihan umum
kepala daerah (Pemiluka) secara langsung, khususnya kelebihan dan kelemahan, serta masa
depan Pemilukada di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA
Pelaksanaan pemilu kepala daerah atau disingkat pemilukada langsung tentunya tidak lepas
dari adanya terobosan politik dalam pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32
tahun 2004. Pemberian otonomi ini memiliki korelasi perspektif dengan teori-teori dasar tentang
desentralisasi dan politik lokal.
Desentralisasi secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu administratif dan
politik. Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of
administrative responsibilitiy from central to local government (Romli, 2005). Artinya dalam
perspektif otonomi daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini diartikan
sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan
perspektif politik, Smith mengatakan desentralisasi sebagai the transfer of power, from top
levelto lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of goverments within a state, or
office within a large organization. Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan bahwa
desentralisasi politik adalah devolution of power from central government to local government.
Mawhood juga meletakkan konteks desentralisasi politik sebagai esensi dasar otonomi bagi
daerah yaitu a freedom which is assumed by local government in both making and implementing
its own decision (Prasojo et all, 2006).[1]
Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang diberikan oleh daerah bukanlah suatu
bentuk kebebasan yang bersifat asli, melainkan merupakan pemberian dari pemerintah pusat.
Konteks pemberian otonomi oleh pemerintah pusat ini sangat terkait dengan kontruksi bentuk
Negara dan pembagian kekuasaan yang ada di dalamnya.
Secara teoritis dalam perspektif praktek ketatanegaraan yang ada, terdapat dua macam
bentuk negara dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu negara
kesatuan dan negara federal. Kedua bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama lain
berdasarkan kepada dimensi: (1) Karakter dasar yang dimiliki oleh struktur pemerintahan
regional/lokalnya, (2) Proses pembentukan struktur pemerintahan regionalnya, (3) Sifat
hubungan antara struktur pusat dan struktur regional, (4) Keberadaan Konstitusi, dan (4) Derajat
kemandirian yang dimiliki oleh struktur regional (Prasojo et. All, 2006). 1
Dalam pembahasan ini, hanya akan dijabarkan tiga dimensi pembeda saja melihat
konteksnya yang berhubungan erat dengan desentralisasi politik.
Dalam dimensi karakter dasar pemerintah, pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak
memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal
merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Kusnardi dan Ibrahim (1988)
menyebutkan bahwa negara federal, negara-negara bagian mempunyai wewenang untuk
membuat undang-undang dasarnya sendiri dan dapat menentukan organisasinya masingmasing
dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan konstitusi dari negara federal seluruhnya.
Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi dan kewenangan membuat undang-undang
ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pelaksana kebijakan
pemerintah pusat dalam sistem desentralisasi.
Dalam dimensi proses pembentukan struktur pemerintahan, pemerintahan daerah di Negara
kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dan dapat dimekarkan,
diciutkan dan atau dibubarkan kembali melalui undang-undang. Pemerintahan daerah di Negara
kesatuan adalah bentukan pusat. Sebaliknya, di negara federal, pemerintahan negara bagian
merupakan struktur asli yang telah ada sebelum struktur federal terbentuk. Bahkan pembentukan
struktur federal merupakan kesepakatan yang terjadi antara negara-negara bagian. Dapat
dikatakan bahwa struktur federal di dalam negara federal dibentuk oleh negaranegara bagian
melalui konstitusi (Prasojo et. All, 2006). 1
Dalam dimensi hubungan antara struktur pemerintahan, sifat hubungan antara struktur
pusat dan struktur regional/daerah dalam negara kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam
negara federal bersifat koordinatif. Subordinatif dalam pengertian bahwa pemerintahan daerah
adalah bentukan dan bawahan dari pemerintahan pusat. Sedangkan sifat koordinatif antara
struktur negara bagian dan struktur federal dalam negara federal menunjukkan kedudukan yang
sama.
Oleh karena pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat dan
menjadi subordinasi, maka derajat kemandirian sebagai yang dimiliki oleh pemerintahan daerah
sangat terbatas. Bila pemerintah pusat menghendaki penarikan kewenangan yang sudah
diserahkan kepada satu pemerintahan daerah, maka hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan.
Sebaliknya derajat kemandirian negara bagian dalam negara federal dapat dikatakan sangat
besar, karena kedudukannya dijamin dalam konstitusi. Dalam konteks pembagian wewenang,
dalam negara federal, wewenang pembuat undang-undang pemerintah federal ditentukan secara
rinci, sedangkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagiannya. Pada negara kesatuan,
wewenang terperinci ada pada pemerintah daerah, sedangkan kewenangan sisanya (residual
power) ada pada pemerintah pusat (Kusnardi dan Ibrahim,1988).[2]
Pelaksanaan pemilukada langsung yang saat ini ada merupakan bentuk penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk memilih secara langsung kepala
daerahnya,sehingga konteks aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan jabaran atau turunan
dari aturan yang berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemerintahan
daerah. Dalam perspektif desentralisasi politik, dengan adanya pilkada maka kekuasaan tidak
lagi terkonsentrasikan pada pemerintah pusat, tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah.
Dengan demikian, daerah memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk mengatur dan menentukan
urusan rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan yang dimilikinya.
Dalam perspektif ini pula, maka menjadi hal wajar apabila pemberikan desentralisasi
politik dan pelaksanaan pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena konteks
sistemik dari pemberian kekuasaan kepada daerah untuk memiliki pemimpin daerah sendiri
secara langsung merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu pula dalam konteks
bingkai negara kesatuan yang dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan konstitusi ini harus
tetap menjaga keterpautan yang kuat antara hubungan pusat dan daerah. Mengingat pergolakan
arus gerakan antara putaran sentrifugal dan sentripetal yang menarik hubungan daerah ke dalam
lingkaran pusat dan sebaliknya, harus dijaga dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu
dalam antara salah satu arus tersebut.
Pimilukada lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah
sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan
itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan
rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan
bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di
tingkat regional tetapi di tingkat lokal.
Pilkada di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan
pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol.
Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga
wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan
demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap
penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek
keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat
dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan
pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan
keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik,
pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah lokal mengacu kepada arena tempat
praktek demokrasi itu berlangsung.
Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah
dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi; Bupati dan
wakil bupati untuk kabupaten; Wali kota dan wakil wali kota untuk kota. [3] Kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[4]
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentangPemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan umumKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini
adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum
yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang
digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.[5]
Penyelenggara
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi
dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih
Aceh).
Peserta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan
calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga
dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-
undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Aceh,
peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal
B. PEMBAHASAN
1. Analisis Kelebihan Pemilukada
Banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik
yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model pemilihan
secara langsung.[6]
Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi
jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat
dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan
kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi
masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang
kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat
membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari
masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik.
Sang kepala daerah lebih merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-
kebijakan tentu saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang
sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab mereka telah
berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Diharapkan dengan
pemilihan seperti ini mayarakat akan lebih mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga akan
memudahkan proses komunikasi politik di daerah.[7]
Keempat, lebih terdesenralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya,
pemilihan kepala daerah dilakukan pemerintah pusat dengan cara menunjuk atau menetapkan
aktor politik untuk menempati jabatan politik di daerah.7
Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala daerah terpilih akan memiliki
mandat dan legitimasi yang samngat kuat, kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi
partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih
akuntabel karena adanya akuntabilitas politik, Check and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala daerah dapat dinilai secara
langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya, pilkada langsung sebagai wadah
pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi, pilkada langsung
sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah
separatisme, kesetaraan politik dan mencegah konsentrasi di pusat.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden
dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat. Ia menjadi media
pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi
daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang
dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.
Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk
Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa.
Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

2. Analisis Kelemahan Pemilukada


Menurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia[8], yaitu :
a. Daftar Pemilih tidak akurat
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para
pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara
lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar
pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam
pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka
permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah
lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
b. Persyaratan Calon tidak lengkap
Proses pencalonan yang bermasalah Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini
terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik
dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti
Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam
menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan
calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat
penetapan pasangan calon yang dirugikan. Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada
saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani
oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini
kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan
partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik.
Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di
wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang
kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun
ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama
telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan
mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk
menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak
ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD
yang tidak netral melalui pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan
calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses
pencalonan dirugikan KPUD.
c. Pencalonan Pasangan dari parpol
Permasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan calon membuat Pilkada
terhambat. Hal itu disebabkan, adanya kepengurusan ganda, proses seleksi tidak transparan,
adanya intervensi pengurus pusat/provinsi, tidak menetapkan pasangan seperti kasus di
Sampang, Jatim.
d. Penyelenggara atau KPUD tidak netral
Faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan KPUD berdasarkan faktor kedekatan dan
kekerabatan degan salah satu pasangan. Selain itu, tidak adanya pengadilan yang mengkoreksi
keputusan KPUD sehingga sangat dominan kekeuasaan penyelenggara pemilikada.
e. Panwas pilkada dibentuk terlambat
Terlambatnya panitia pengawas (Panwas) oleh DPRD, sehinggat tidak dapat mengawasi
tahapan pemilukada secara keseluruhan. Berbagai penyimpangan pada persiapan sering tidak
dilanjuti, karena Panwas dibentuk menjelang masa kampanye.
f. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,
maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di
lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah
satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus
memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan
masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan
diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon
kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.
g. Dana kampaye
Sumber dana pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana kampanye baik
perorangan atau perusahan sering tidak diumumkan ke publik. Hal itu menimbulkan kecurigaan
publik, bahwa dana kampanye pasangan berasal dari dana korupsi atau sumbangan yang
dikemudian hari pasangan tersebut, maka pemberi sumbangan akan menadpat imbalan berupa
jabatan atau proyek-proyek pemerintah.
h. Mencuri start kampaye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku
dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran.
Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan
sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
i. PNS tidak netral
Dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak pasangan tertentu, terutam
incumbent (petahana). Dilain pihak calon incumbent memanfaatkan staf Pemda untuk
kepentingan kampanyenya, bila tidak menuruti akan diturunkan jabatanya atau bahkan
diberhentikan.
j. Pelanggaran kampanye
Pelanggaran kampanye dapat berbagai macam bentuk, salah satu yang menjadi sorotan
yaitu kampanye hitam seperti yang menimpa Jokowi Pada pemilukada Jakarta 2012. Kampanye
negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka
hanya manut dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal
85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis
kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media
kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim
kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari
dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk
kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah
ditetapkan. Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih
terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua
calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup
dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari
segi program.
k. Intervensi DPRD
Pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan terpilih dengan berbagai
alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan kepada Gubernur dan Mendagri, hal itu
menghambat pelantikan pasamgan terpilih. Hal itu pernah terjadi di Gorontalo dan Aceh. Peran
DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan
oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD, seperti yang
tertulis pada pasal 66 ayat 3 poin, bahwa tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalahmeminta pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas KPUD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah)
berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan
dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai politik berpotensi
mengintervensi fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya.

Selain kesebelas kelemahan pemilukada secara langsung di Indonesia, masih terbadapat


banyak kelemahan, antar lain :
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap
tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan
suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya
TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas
membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan
biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung
sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai. Hal itu, memunculkan konflik pasca
pilkada. Munculnya konflik pasca pilkada dapat terjadi akibat kecurangan-kecurangan pada saat
seperti, kempanye, manipulasi data berupa penggelembungan suara dan rasa tidak puas akibat
calon idaman kalah.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : Intimidasi. Sebagai
contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah
satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
Beratnya persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 59 ayat 2 disebutkan
bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD atau 15% dari akumulasi
suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon. Pandangan
diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi di beberapa daerah termasuk daerah Bali.
Dimana beberapa daerah yang ada di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP sehingga
daerah-daerah tersebut sulit mendapatkan dua pasang calon.[9]
Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk mengajukan
anggaran pilkada secara berlebihan. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua
putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23 milyar
diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran
kedua. Padahal, disurabaya tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih
dari empat pasang.
Cara pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam
menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan
meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan
penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan
oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
Besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk pemilihan gubernur dan
seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye
sulit dikendalikan.
Ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah
yang telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering
terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.

3. Analisis Masa Depan Pemilukada di Indonesia


Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia, penulis cenderung untuk
menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan,
antara lain :
a. Masih banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu dikaji
secara mendalam, seperti masalah:
Money politic dan cost politic
Independensi Pawaslu Daerah
Lambatnya pengiriman logistik
Independensi media masa
Pendataan pemilih
Pendaftaran dan penetapan pasangan calon
Penghitungan suara dan penetapan hasil akhir
Konflik pilkada
b. Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Subtansi
pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan berkala,
untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung merupakan demokrasi yang
prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural, seharusnya
penerapakan demokrasi lebih mengutamakan subtansinya. Maka dari itu dalam memilih kepala
daerah tidak harus/mutlak secara langsung. Dalam Konstitusi tidak disebutkan dengan cara apa
memilih Kepala Daerah, yang terpenting dilakuakan secara demokratis. UUD 1945, hanya
mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.[10]
Menimbang permasalahan Pemilukada lebih banyak kelemaha dari pada kelebihannya.
Pemilukada merupkan tuntutan saat reformasi akibat trauma rakyat terhadap rezim
sebelummnya. Namun saat ini pemilukda yang sudah berjalan hampir 1 dekade tidak
membuahkan hasil yang maksimal. Banyak terjadi pelanggaran pada tahapan pemilu, biaya
terlalu besar dan kulitas pemimpin yang dihasilkan buruk seperti terlibat kasus korupsi, dll.
Pilkada yang selama ini berlangsung dinilai terlalu mahal, dan mempunyai dampak sosial
yang amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya politik transaksional,
sehingga turut andil melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang
akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar.[11]
Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada perhitungan suara seperti
untuk membiayai saksi. Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar
Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah
dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga kerap mewarnai Pilkada juga
dapat ditekan.
Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada langsung. Usulan ini terlontar
karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada
langsung selam ini hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah mahar untuk
mendapatkan dukungan dari partai politik.

Masa depan Pemilukada di Indonesia


Sistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional atas hipotesa fakta empiris
dan sosiologis terkait struktur dan tatanan masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas
metamorfosa pemikiran yang membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat
sebagai episentrum partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi
bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat ini barangkali
kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan terbaik dari sistem lainnya. Sebut saja
misalnya monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.
Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk mengorganisasikan
tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara bukanlah sebuah sistem sempurna
dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara, juga
perlu menimbang berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif
dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem perwakilan (melalui
mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun langsung (melalui mekanisme pemilu
presiden dan pilkada).
Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya merupakan salah satu wujud
demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada
hakekatnya merupakan upaya memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait
pengejewantahan hak-hak politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium
demokrasi dan demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah yang diharapkan akan
mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja terkait pada semakin besarnya tingkat
pendewasaan berfikir masyarakat akan hak dan kewajiban politik-konstitusionalnya, namun juga
diharapkan melalui mekanisme dan sistem pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada).
Posisi tawar masyarakat terkait kepentingannya menentukan masa depan yang lebih baik
semestinya menjadi keniscayaan.[12]
Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada itulah, saat ini diperlukan
kembali upaya menakar ekses penerapan sistem pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai
bentuk wacana untuk mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk
memberikan referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali
implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai substansi peran
partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan penting mengingat pelaksanaan
pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah
arah dan cita-cita politik masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil
pilkada dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi Dinamika Pelaksanan Pemilukada di Indonesia
Berdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang pelaksanaan pilkada di
Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai ranah kajian bagi pengambil
kebijakan negeri ini untuk menempatkan kembali quo vadis pilkada dalam konteks yang lebih
produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, Pilkada di daerah masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan
masyarakat untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi
catatan penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis memandang bahwa
pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal dari putra daerah
merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap bahwa mekanisme pemikiran dan
kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan aspirasinya masih lebih besar terakomodir
dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari
pusat kekuasaan seperti yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap
dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia internasional,
bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif melahirkan struktur kehidupan
bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi agar masyarakat memahami dan
cenderung lebih penting mendudukkan kembali nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan
kembali secara personal maupun kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya,
pemimpin yang berasal dari putra daerah tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur kekuasaan pemerintah daerah, yang
di peroleh oleh seorang kepala daerah dengan ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada
yang sangat mahal inilah yang justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah
berkembang secara tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan
maksud pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah menyebabkan
terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang ekonomistik, yang menempatkan
kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai investasi an sich dan melihat potensi daerah
sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.
Implikasi politik terjadinya kapitalisasi pilkada inilah yang menyebabkan demokratisasi-
partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya
diletakkan sebagai obyek politik massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika
proses pilkada itu berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi
kapitalisasi pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.
Masyarakat memang sejatinya mendapat berkah sesaat dari proses pelaksanaan pilkada.
Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala daerah terpilih, akan sibuk dengan upaya
merekapitalisasi kembali asset yang telah dikeluarkan selama proses investasi pemilihan itu
berlangsung. Fakta ini bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala
daerah yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga survei bahwa saat
ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang pemimpin berstatus tersangka.
Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang terjadi adalah siapa yang
mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini
pulalah kemudian berimbas bagi ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan
kekalahan ini kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik secara
formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi massa untuk tidak
menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga, berimplikasi kepada timbulnya resistensi
politik bagi kepemimpinan kepala daerah terpilih. Lebih parah lagi, semakin diproduksinya
eskalasi konflik politik dan konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon
yang tidak berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian, maka kita kerap
menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak pernah kunjung usai dan terus
terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan pilkada jauh telah usai.
Kedua, pilkada merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset
pengelolaan negara yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah tatanan struktur pengelolaan
birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari
semangat merubah tatanan dari orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi
sekarang ini. Namun demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat desentralisasi
ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk bebas mengeksploitasi daerah sesuai
dengan selera kekuasaannya. Radikalisasi pengelolaan pemerintahan daerah inilah yang
menyebabkan konstitusi negara yang diatur dan dijalankan oleh pemerintah pusat terabaikan.
Yang terlihat, justru munculnya raja-raja kecil yang sangat otonom menguasai daerah.
Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah pusat menjadi
terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat ketika presiden, sebagaimana dilansir berbagai
media massa, menyatakan salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah
arogansi sepihak pimpinan daerah. Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan investasi, justru
sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah sekelas walikota dan bupati.
Terhambatnya program-program tersebut, bukan cuma terkait dengan arogansi pemimpin daerah,
tapi juga disebabkan karena banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah
daerah yang tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah
pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan pemerintah pusat menjadi
gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan teknis di daerah.
Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan ini. Namun faktanya,
hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan kebijakan pemimpin daerah yang
menghambat kebijakan program nasional pemerintah pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab
mendasar yang menjadi argumentasi pemerintah daerah adalah menyangkut persoalan intervensi
pemerintah pusat, yang dianggap melanggar sendi-sendi atau semangat otonomi daerah. Kesalah-
kaprahan memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan pemerintah pusat sampai saat ini
mengalami dispute dan seolah tidak memiliki kekuasaan memaksa. Padahal, pemerintah pusat
secara formal dan konstitusional punya kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman
pengelolaan daerah, karena terlalu sempit menafsirkan konsep kepala daerah dipilih langsung
oleh rakyatnya di daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah daerah merasa mempunyai
kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.
Ketiga, Pemilukada telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi
theatrical. Yakni demokrasi yang diusung melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas
kosmetika wajah suatu bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam pemilihan
umum. Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Namun, dalam prakteknya hal tersebut
sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya. Walaupun kita sibuk menjustifikasi bahwa
demokrasi memerlukan proses. Tapi, faktanya proses tersebut tetap haruslah bersinergi dengan
faktor-faktor lain, yang mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya Pemerintah Pusat (Presiden
dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat aturan yang tegas terkait rule of the
game pemilukada. Hal tersebut penting, mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait
pada proses dan mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan
membangun law enforcement bagi setiap bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran
konstitusional aturan pemilukada. Sehingga inilah yang dikatakan, demokrasi kita masih
bersifat theatrical, bukan demokrasi substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai
demokratisasi dan hak-hak civil society dengan baik.
Terkait dengan masalah civil society ini, maka faktor yang mendorong berkembangnya
proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh, bagaimana peran parpol dalam mencetak kader
pemimpin di daerah. Sebab selama ini proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan
mekanisme politik praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang
menyebabkan hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang pengusaha dan/ atau
mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara, parpol berfungsi hanya sebagai stempel
yang menjadi kendaraan sekaligus supir yang ditumpangi oleh calon kepala Daerah. Kondisi
obyektif inilah yang menyebabkan hasil pemilukada secara langsung tidak serta merta
menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki integritas serta peduli dengan
rakyatnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan melihat perspektif pemilukada
sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang terjadi praktek korupsi di daerah dan
suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan
kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya
biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama
memiliki persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada sebatas sebagai sebuah
komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek
maupun jangka panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat.
Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung presiden juga harus dilakukan
pula terhadap gubernur, bupati dan walikota harus segera dievaluasi. Alasan kompabilitas
sebagai implementasi UU No.32 Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah pembangunan
politik dan ekonomi bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai ke daerah. Namun pada
kenyataannya, kesamaan proses inilah yang menjadi akar penyebab hirarki kepemimpinan
dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah dan pusat seolah masing-masing
berdiri sendiri. Implikasinya, baik pemerintah maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial-
tidak kontekstual sesuai dengan arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya
sama saja bangsa ini menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin sekedar
simbol kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan rakyatnya. Dengan
kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya pemimpin, pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya, ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib
individu masyarakatnya. Padahal negara berperan melindungi segenap masyarakat dan
memajukan kesejahteraan masyarakat.
Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan pilkada ini, seyogyanya
mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk menemukan formasi ideal dan proporsional
terkait masa depan bangsa. Khususnya, menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan
melalui pemilukada. Sehingga dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep
sistem pelaksanaan demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama penerapan pemilukada
secara langsung di daerah. Proses ini seharusnya menjadikan bangsa besar ini lebih peka
terhadap berbagai akar persoalan baik secara ideologis, sosiologis maupun filosofis yang kerap
menjadi preseden yang tak pernah selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.
Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money politics selama proses pemilukada,
yang berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di daerah sebagai bentuk pengganti ongkos
investasi menjadi pemimpin. Selain itu, terjadinya resistensi pemimpin daerah kepada
pemerintah pusat, yang menyebabkan eksistensi pemerintah pusat justru tidak legitimate di mata
pemerintah daerah terkait dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan berskala nasional
yang tidak/ enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh
pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya konflik horizontal antar masyarakat akar rumput
karena kerap dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon pemimpin dan pemimpin yang
berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada maupun sepanjang pemimpin tersebut
memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya kerap dipicu oleh calon pemimpin daerah yang
kalah dalam kompetisi pemilihan.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat
logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan
presiden dan gubernur saja. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan
partisipasi masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap
negara.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkaan pembahasan permasalahan pada BAB II : PEMBAHASAN, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Analisis Kelebihan Pemilukada
Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi
masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang
kuat serta legitimate dimata masyarakat. Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau
masyarakat. Keempat, lebih terdesenralisasi.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagirakyat.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
e. Pilkada langsung sarana bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.

2. Analisis Kelemahan Pemilukada


Menurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia, yaitu :
1) Daftar Pemilih tidak akurat
2) Persyaratan Calon tidak lengkap
3) Pencalonan Pasangan dari parpol
4) Penyelenggara atau KPUD tidak netral
5) Panwas pilkada dibentuk terlambat
6) Money politik
7) Dana kampaye
8) Mencuri start kampaye
9) PNS tidak netral
10) Pelanggaran kampanye
11) Intervensi DPRD
Selain itu, masih terdapat banyak kelemahan pemilukada secara langsug di Indonesia baik
yang dilakukan secar tidak disengaja ataupu terorganisir.
3. Analisis Masa Depan Pemilukada di Indonesia
Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia, penulis cenderung untuk
menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan,
antara lain : Pertama, masih banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di
Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti masalah: Money politic dan cost politic;
Independensi Pawaslu Daerah; Lambatnya pengiriman logistik; Independensi media masa;
Pendataan pemilih; Pendaftaran dan penetapan pasangan calon; Penghitungan suara dan
penetapan hasil akhir; Konflik pilkada
Kedua, Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk
mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin
dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung merupakan
demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural,
seharusnya penerapakan demokrasi lebih mengutamakan subtansinya.
Pilkada yang selama ini berlangsung terlalu mahal, dan mempunyai dampak sosial yang
amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya politik transaksional, sehingga
turut andil melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan berlaga
mengeluarkan biaya yang besar. Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada
perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi. Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah
kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan
biaya politik yang sudah dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga
kerap mewarnai Pilkada juga dapat ditekan. Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus
Pilkada langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar
pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung selam ini hanya dianggap hanya berorientasi
uang. Belum lagi, masalah mahar untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.

B. SARAN
Penulis dapat memberikan saran, terkait Pemilukada yaitu dihapus. Mekanisme lebih lajut
dapat dibahas Pemerintah yaitu Presiden dan DPR-RI tentang bagaimana pengangkatan kepala
daerah, dipilih DPRD atau diangkat Presiden. Pertama, Pemilukada dihapus secara keseluruhan
dan mekanisime pemilihan diserahkan ke DPRD, dengan memperbaiki rekruitmen politik dan
sistem kepartaian terlebih dahalu. Agar kader partai yang memiliki kapasitas dan kapabilitas
berhak menduduki jabatan kepala daerah. Selain itu untuk mencegah kongkalikong, haruslah
dibuat mekanisme yang tidak biasa main dibelakang anatara DPRD dan calon pasangan. Kedua,
pengangakatan kepala daerah oleh Presiden harus memunuhi kriteria-kriteria/ persyaratan yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undanagan, agar Presiden tidak sewenang-wenang
mengangkat dan memnerhentikan kepala daerah.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat
logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan
presiden. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi
masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakata: Pustaka Pelajar.
Author. (2010, 19 Desember). Makalah Otonomi Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://miellahsmartflower.blogspot.com.
Author. (2011, 7 Februari). Analisa Proses Pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Diperoleh 2
Januari 2013, dari http://liarkanpikir.wordpress.com.
Author. Kelebihan dan kekurangan pilkada secara langsung. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411.
Firmanto, Taufik. (2011, 9 Desember). Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan Umum di
Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://politik.kompasiana.com/2011/12/09/kedaulatan-rakyat-dalam-pemilihan-umum-di-
indonesia.
Iqbal, M. (2012, 10 Juli). Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Kini Pilgub. Diperoleh 3 Januari
2013, dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-
pemilukada-kini-pilgub.
Kamo, Jhon. (2011, 16 April). Kontestasi Elit Lokal Dalam Pilkada. Diperoleh 2 Januari
2013, dari http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-
LOKAL-DALAM PILKADA.
Mahardika, Ariyanto. (2012, 18 September). Pilkada langsung: Serentak atau Dihapus. Diperoleh
3 Januari 2013, dari http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-
dihapus/.
Prasojo E., Maksum, Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi & Pemerintahah
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Jakarta: FISIP UI.
Sofyan, Syafran. 2012. Permasalahan dan Solusi Pemilukada. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-
pemilukada.html.
Trinada, Andi. (2011, 22 Maret). Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia.
Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com.
Wikipedia Indonesia. 2012. Pemilihan kepala daerah di Indonesia. Diperoleh 2 Januari
2013, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

[1] Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahah
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI, 2006
[2] http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-
DALAM PILKADA
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia
[4] Pasal 56 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[5] http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-
kini-pilgub
[6] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411
[7] http://liarkanpikir.wordpress.com/2011/02/07/60/

[8]Leo agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakata, PustakaPelajar , 2009, hal 121
- 152
[9] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411
[10] Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
[11] http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/
[12] Andi Trinada, Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia,
http://politik.kompasiana.com/2011/03/22/menimbang-kembali-pelaksanaan-pemilukada-di-indonesia/

Pukul: 21.27.00 Penulis: Agus Prasetiyo


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Reaksi:
Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pencarian

Statistik blog

117963

Profil Penulis

Agus Prasetiyo
Madiun, Jawa Timur, Indonesia
Madiun, 1 Agustus 1992. Pendidikan : Agustus 2010 s/d Pebruari 2014 S1 PPKn,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Lihat profil lengkapku

Follower
BlogUpp!
Ada kesalahan di dalam gadget ini

Arsip Blog
2013 (7)
o Mei (3)
o April (1)
o Maret (2)
ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA
...
ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA
...
o Januari (1)

2012 (54)

Amazon MP3 Clips


Clock
Calendar
Berita
Apple Google Microsoft Yahoo
Apple Digugat Perusahaan Produsen Baterai A123
Tempo.co
Sekitar Juni 2014, Apple mulai agresif memburu insinyur A123 yang bertugas memimpin
beberapa proyek yang paling penting bagi perusahaan. Para insinyur dibajak untuk membuat
program serupa di Apple sehingga melanggar perjanjian kerja mereka.
Dipesan Lebih 5 Juta Unit, Apple Watch Bakal Ukir Sejarah
VIVA.co.id
VIVA.co.id - Meski belum dirilis, tampaknya produk jam tangan pintar besutan Apple, Apple
Watch bakal meledak di pasaran. Apple dilaporkan sudah menerima pesanan lima hingga enam
juta unit Apple Watch. Pesanan itu disebutkan hanya berasal ...
Artikel Terkait
Apple Watch Diyakini Laris, 5 Juta Unit Disiapkan
KOMPAS.com
KOMPAS.com Apple Watch, pada tanggal rilisnya nanti, dikatakan bakal langsung
memenuhi toko ritel milik Apple. Pasalnya, menurut rumor yang beredar, Apple sudah memesan
ke para supplier-nya di Asia untuk memproduksi jam tangan pintar itu ...
Samsung Kembali Tantang Apple
SINDOnews.com
SEOUL - Persaingan kedua perusahaan Apple dan Samsung, memang tidak kunjung mereda.
Kali ini, perusahaan asal Korea Selatan itu membuat strategi baru, menantang Apple dengan
membeli perusahaan pembayaran ponsel startup LoopPay sebagai ...
didukung oleh

Anda mungkin juga menyukai