DISUSUN OLEH :
MAULVI NAZIR AHMADANNUR
H–6
31.0661
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Keterkaitan Public Speaking dengan Ilmu Komunikasi Sosiologi” ini dengan baik.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat.
Akhir kata kami ucapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
1
DATAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DATAR ISI...........................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................7
1.3 Tujuan....................................................................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................9
2.1 Pengertian kepamongprajaan.................................................................................................9
2.2 Nilai kepamongprajaan........................................................................................................10
2.3 Arti kepemimpinan..............................................................................................................12
2.4 Hakekat kepemimpinan.......................................................................................................12
2.5 Gaya kepemimpinan............................................................................................................13
2.6 Moral kepemimpinan...........................................................................................................14
2.7 Sifat kepemimpinan.............................................................................................................15
2.8 Karakteristik kepemimpinan................................................................................................16
2.9 Keterkaitan pamong praja dengan kepemimpinan...............................................................17
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................19
3.2 Saran....................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................20
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan tugasnya. Seiring dengan itu, pada
tahun 1954 KDC juga diselenggarakan di Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak,
Makasar, Palangkaraya dan Mataram. Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan yang semakin kompleks, luas dan dinamis, maka pendidikan aparatur di
lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai sudah tidak
memadai. Berangkat dari kenyataan tersebut, mendorong pemerintah mendirikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang,
Jawa Timur. APDN di Malang bersifat APDN Nasional berdasarkan SK Mendagri No.
Pend.1/20/56 tanggal 24 September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di
Malang, dengan Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa APDN
Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC yang direkrut secara selektif dengan tetap
mempertimbangkan keterwakilan asal provinsi selaku kader pemerintahan pamong praja
yang lulusannya dengan gelar Sarjana Muda ( BA ).
Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN dinilai masih perlu ditingkatkan
dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kader-kader pemerintahan yang ”
qualified leadership and manager administrative ”, terutama dalam menyelenggarakan
tugas-tugas urusan pemerintahan umum. Kebutuhan ini mendorong pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan aparatur di lingkungan Departemen Dalam Negeri
setingkat Sarjana, maka dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP ) yang
berkedudukan di Kota Malang Jawa Timur berdasarkan Keputusan Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8 Tahun 1967, selanjutnya
dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1967.
Peresmian berdirinya IIP di Malang ditandai dengan peresmian oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 25 Mei 1967. Pada tahun 1972 Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP)
yang berkedudukan di Malang Jawa Timur dipindahkan ke Jakarta melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972. Pada tanggal 9 Maret 1972, kampus IIP
yang terletak di Jakarta di resmikan oleh Presiden Soeharto yang dinyatakan : ” Dengan
peresmian kampus Institut Ilmu Pemerintahan, mudah-mudahan akan merupakan kawah
candradimukanya Departemen Dalam Negeri untuk menggembleng kader-kader
pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ”.
Seiring dengan pembentukan IIP yang merupakan peningkatan dari APDN Nasional
di Malang, maka untuk penyelenggaraan pendidikan kader pada tingkat akademi,
Kementrian Dalam Negeri secara bertahap sampai dengan dekade tahun 1970-an
membentuk APDN di 20 Provinsi selain yang berkedudukan di Malang, juga di Banda
4
Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Bandung,
Semarang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang,
Makassar, Menado, Ambon dan Jayapura.
Pada tahun 1988, dengan pertimbangan untuk menjamin terbentuknya wawasan
nasional dan pengendalian kualitas pendidikan Menteri Dalam Negeri Rudini melalui
Keputusan No. 38 Tahun 1988Tentang Pembentukan Akademi Pemerintahan Dalam
Negeri Nasional. APDN Nasional kedua dengan program D III berkedudukan di
Jatinangor, Sumedang Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Mendagri tanggal
18 Agustus 1990. APDN Nasional ditingkatkan statusnya berdasarkan Kepres No. 42
Tahun 1992 tentang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, maka status APDN
menjadi STPDN dengan program studi D III yang diresmikan oleh Presiden RI pada
tanggal 18 Agustus 1992. Sejak tahun1995, bertititk tolak dari keinginan dan kebutuhan
untuk lebih mendorong perkembangan karier sejalan dengan peningkatan eselonering
jabatan dalam sistem kepegawaian Republik Indonesia, maka program studi ditingkatkan
menjadi program D IV. Keberadaan STPDN dengan pendidikan profesi ( program D IV )
dan IIP yang menyelenggarakan pendidikan akademik program sarjana ( Strata I ),
menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua (2) Pendidikan Pinggi Kedinasan
dengan lulusan yang sama dengan golongan III/a.
Kebijakan Nasional mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999 antara lain yang
mengatur bahwa suatu Departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi
dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, maka mendorong Departemen Dalam
Negeri untuk mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP . Usaha pengintegrasiaan STPDN
kedalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003 sejalan dengan
dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pengintegrasian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun
2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan sekaligus mengubah nama IIP
menjadi Institut Ilmu Pemerintahan ( IPDN ). Tujuan penggabungan STPDN ke dalam
IIP tersebu, selain untuk memenuhi kebijakan pendidikan nasional juga untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pendidikan kader pamong praja di lingkungan
Departemen Dalam Negeri. Kemudian Kepres No. 87 Tahun 2004 ditindak lanjuti
dengan Keputusan Mendagri No. 892.22-421 tahun 2005 tentang Pelaksanaan
Penggabungan dan Operasional Institut Pemerintahan Dalam Negeri, disertai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
5
IPDN dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 Tentang Statuta IPDN serta
peraturan pelaksanaan lainnya.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan menjadi IPDN,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2009 tentang Statuta Institut
Pemerintahan Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Bahwa
IPDN merupakan salah satu komponen di lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang
melaksanakan tugas menyelenggarakan pendidikan tinggi kepamongprajaan. Sejalan
dengan tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan tinggi kepamongprajaan serta dengan
mempertimbangkan tantangan, peluang dan pilihan-pilihan strategik yang akan dihadapi
dalam lima tahun kedepan, Renstra IPDN 2010-2014 disusun dengan memperhatikan
pencapaian program dan kegiatan yang dilakukan agenda pembangunan pada lima tahun
terakhir (2005-2009), serta kondisi internal dan dinamika ekternal lingkup IPDN.
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan kebijakan
dengan menetapkan 6 (enam) langkah pembenahan yang segera dilakukan untuk
membangun budaya organisasi yang barn bagi IPDN. Kebijakan Presiders memperoleh
dukungan dad DPR-RI.
Untuk melaksanakan kebijakan pembenahan, Menteri Dalam Negeri telah
mengeluarkan serangkaian kebijakan yaku: 1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2007 tentang Pembenahan IPDN; 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:
890.05-506 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Implementasi Pendidikan Kader
Pemerintahan;
Pada tahap selanjutnya, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri Ke Dalam Institut Ilmu Pemerintahan
menjadi IPDN mengamanatkan penataan sistem pendidikan tinggi kepamongprajaan
meliputi jenis pendidikan, pola pendidikan, kurikulum, organisasi penyelenggara
pendidikan, tenaga kependidikan dan peserta didik serta pembiayaan. Pendidikan tinggi
kepamongprajaan selain diselenggarakan di Kampus IPDN Pusat Jatinangor, serta
Kampus IPDN di Cilandak Jakarta, jugs diselenggarakan di Kampus IPDN Daerah yang
menyelenggarakan program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang ticlak terpisahkan.
6
Untuk memenuhi persyaratan menjadi Institut, di IPDN telah dibentuk 2 (dua)
Fakultas yaitu Fakultas Politik Pemerintahan yang terdiri dari 2 (dua) jurusan yaitu
jurusan Kebijakan Pemerintahan dan Jurusan Pemberdayaan Masyarakat; Fakultas
Manajemen Pemerintahan yang terdiri dari 4 (empat) jurusan yaitu Jurusan Manajemen
Sumber Daya Aparatur, Jurusan Pembangunan Daerah, Jurusan Keuangan Daerah, dan
Jurusan Kependudukan dan Catatan Sipil.
Kampus IPDN di daerah tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2009tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN ditetapkan: Kampus
IPDN Manado, Kampus IPDN Kampus Makassar, Kampus IPDN Pekanbaru, dan
Kampus IPDN Bukittinggi, yang selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor: 892.1¬829 Tahun 2009 ditetapkan lokasi pembangunan kampus IPDN di
daerah yaitu: di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, di Kabupaten Gowa
Provinsi Sulawesi Selatan, di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, dan di Kabupaten
Agam Provinsi Sumatera Barat, serta pada saat ini sedang dipersiapkan pengembangan
Kampus IPDN di Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat, Kampus IPDN di Mataram di
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kampus IPDN di Jayapura Provinsi Papua.
Kampus IPDN di daerah sejak tahun 2009 telah melaksanakan operasional
pendidikan dengan kapasitas Praja 100 Praja setiap kampus dengan penetapan
Jurusan/Program Studi yaitu: pertama, Kampus IPDN di Kab. Agam menyelenggarakan
Program Studi Keuangan Daerah, Kampus IPDN di Kab. Rokan Hilir menyelenggarakan
program studi pembangunan daerah, Kampus IPDN di Kab. Gowa menyelenggarakan
Program Studi Pemberdayaan Masyarakat, sedangkan kampus IPDN di Minahasa
direncanakan menyelenggarakan Program Studi Kependudukan dan Catatan Sipil.
Mulai tahun 2010 kebijakan Pendidikan Kepamongprajaan dikonsentrasikan pada
Program Diploma IV (D-IV) pada se¬mester I, II, 111, IV, V dan VI setelah masuk
semester VI I dan VIII dilaksanakan penjurusan dan pengalihan ke Program Strata Satu
(S-1). Pada Kampus IPDN di Cilandak Jakarta diselenggarakan Program Pascasarjana
Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3), program profesi kepamongprajaan serta kegiatan
penelitian dan pengabdian masyarakat.
7
4. Bagaimana hakekat kepemimpinan?
5. Apa itu gaya kepemimpinan?
6. Bagaimana moral kepemimpinan?
7. Bagaimana sifat kepemimpinan?
8. Bagaimana karakteristik kepemimpinan?
9. Bagaimana keterkaitan pamong praja dengan kepemimpinan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui arti kepamongprajaan.
2. Untuk mengetahui nilai kepamongprajaan
3. Untuk mengetahui arti kepemimpinan
4. Untuk mengetahui hakekat kepemimpinan
5. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan
6. Untuk mengetahui moral kepemimpinan
7. Untuk mengetahui sifat kepemimpinan
8. Untuk mengetahui karakteristik kepemimpinan
9. Untuk mengetahui keterkaitan pamong praja dengan kepemimpinan
8
BAB II
PEMBAHASAN
9
(keanekaragaman) yang relatif tinggi sehingga kemungkinan menghadapi khalayak yang
benar-benar homogen secara sempurna hampar-hampir tidak terjadi. Heterogenitas itu
mungkin ada dilihat dari sudut kebudayaan khusus yang dianut, orientasi politik yang
berbeda, latar belakang pendidikan informal dan formal yang berlainan,agama yang tidak
sama, suku yang tidak seragam, dan seterusnya.
Sejalan dengan taraf heterogenitas umum yang relatif tinggi,sedang atau rendah
tersebut, khalayak yang dihadapi mungkin juga mempunyai masalah yang berbeda.
Dalam hal ini biasanya ada kemungkinanbahwa dalam hal-hal tertentu ada masalah –
masalah umum yang dialami oleh khalayak tersebut,yang dipergunakan sebagai patokan
umum untuk memberikan public speech.
Tidak mustahil bahwa khalayak yang dihadapi mempunyai taraf kecerdasan yang
berbeda – beda. Salah satu akibatnya adalah bahwa taraf kemampuan untuk memahami
hal-hal yang disampaikan oleh pembicara juga berbeda. Hal ini tidak saja disebabkan
karena latar belakang pendidikan, tetapi juga karena pengalaman dan taraf peluang
pergaulan yang terbatas.
Karena khalayak terdiri dari orang banyak,sulit diciptakan hubungan batiniah antara
pembicara dengan khalayak. Dengan demikianlah, hubungan antara pembicara dengan
khalayak biasanya bersifat impersonal.Khalayak hanya mengenl pembicara sebagai
orang dalam fungsi tertentu, misalnya, sebagai juru penerang di bidang Keluarga
Berencana, penyuluh hukum, penyuluh pertanian, dan lain sebagainya. Dalam batas –
batas tertentu pun pembicara mengenal khalayak hanya dari permukaan belakang
sehingga kepribadian masing – masing berada di luar jangkauan pengetahuanya. Dengan
demikian, pembicara tidak mungkin memenuhi kepentingan semua pihak yang
merupakan khalayak tersebut.
Dalam menghadapi khalayak yang beranekaragam latar belakangnya seorang
pembicara harus mampu membuat tolak ukur yang seragam terlebih dahulu. Di antara
sekian banyaknya perbedaan, pasti akan ada hal – hal yang sama. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah meminta data mengenai khalayak yang akan dihadapi (artinya,
sebelum publik speaking berlangsung). Tidak perlu dicari data yang lengkap;cukup
beberapa catatan awal saja sehingga pembicara tidak buta sama sekali mengenai orang-
orang yang dihadapinya.
10
Seseorang pembicara pertama – tama harus mengusahakan agar khalayak menjadi
pendengar yang baik. Sudah tentu bahwa tidak mungkin mengusahakan semua orang
menjadi pendengar yang baik; yang penting adalah bahwa sebagian besar menjadi
pendengar yang baik sehingga dapat menetralkan gangguanyang berasal dari orang –
orang yang hadir karena iseng belakang.
Kemampuan untuk mendengarkan pembicaraan orang dengan baik, merupakan salah
satu landasan bagi adanya pemahaman. Pertama-tama seorang pembicara harus dapat
memberikan “pengantar”yang menarik perhatian khalayak ,yang hanya dapat dilakukan
apabila pembicara terlebih dahulu telah memperoleh data awal mengenai khalayak yang
dihadapinya. “Pengantar” yang menarik tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana
yang menyenangkan terutama bagi khalayak. Suasana yang menyenangkan ini biasanya
terjadi apabila khalayak merasa dirinya dihargai oleh pembicara. Rasa dihargai itu timbul
apabila pembicara dapat mengidentifikasikan dirinya dengan khalayak. Identifikasi ini
tidak akan mungkin terjadi apabila sejak semula timbul kesan, bahwa pembicara
menempatkan diri pada posisi yang lebih tinggidari khalayak. Kesan ini timbul apabila
semenjak semula pembicara membanggakan dirinya secara berlebih-lebihan. Biasanya
hal ini terjadi pada waktu pembicara memperkenalkan dirinya.
Akan tetapi, kadang – kadang pembicara perlu menempatkan dirinya pada posisi yang
lebih tinggi. Namun, hendaknya hal itu dilakukan hanya sebagai taktik saja, karena
kadang-kadang yang dihadapi adalah khalayak yang semenjak semula menganggap
bahwa ceramah yang akan diberikan (misalnya) tidak penting. Kadang – kadang
dijumpai juga khalayak yang menganggap pembicara adalah orang yang “baru” muncul
dari bidangnya sehingga masih berstatus pemula.
Langkah kedua yang perlu dilakukan agar khalayak mendengarkan hal – hal yang
dibicarakan adalah menciptakan kewibawaan. Mungkin hal ini yang paling sulit
dilakukan karena berkaitan hal-hal yang berlebih dititikberatkan pada aspek spiritual.
Kewibawaan dapat diartikan sebagai wewenang yang diakui, bukan karena jabatan resmi
yang diduduki. Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah soal penampilan (fisik).
Memang perlu diakui bahwa aspek kecantikan atau ketampanan juga memegang
peranan. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah sikap tindakan yang nyata dari
pembicara, atau penampilannya yang simpatik.
Langkah yang ketiga adalah menciptakan landasan pengetahuan yang sama. Di sini
terasa benar pentingnya data awal yang dapat diperoleh pembicara sebelum publik
speaking. Dalam hal ini pembicara seyogyanya menyesuaikan taraf pengetahuan dengan
11
pihak khalayak. Kalau itu sudah tercipta, barulah pembicara berusaha “menggiring”
khalayak ke taraf pengetahuan yang lebih tinggi dengan jalan membantu khalayak untuk
hari esok. Usaha-usaha untuk menyesuaikan diri dengan taraf pengetahuan khalayak
untuk kemudian membimbingnya ke taraf yang lebih tinggi akan merangsang khalayak
untuk bertanya atau memberikan tanggapan pada kesempatan diskusi nantinya.
12
dapat diduga bahwa pada suatu waktu keinginan tadi akan berubah menjadi tindak –
tindakan yang nyata.
Pada tahap kelima pembicara seyogyanya berusaha untuk menjelaskan keuntungan
dan kerugian sebagai akibat terjadinya perubahan. Sudah tentu hasil akhir yang
diharapkan adalah perubahan yang terjadi akan mengakibatkan lebih banyakkeuntungan
dari pada kerugian. Dengan cara demikian, pembicara berusaha membentuk opini
khalayak kearah yang positif bagi pemenuhan kebutuhannya.
Contoh lain yang dapat disajikan adalah mengenai tujuan untuk memperkuat norma-
norma yang dianut dan diterapkan. Misalnya golongan masyarakat yang dihadapi sebagai
khalayak adalah warga yang patuh pada peraturan lalu lintas. Mereka harus diberikan
atau disajikan hal – hal yang menguntungankan apabila patuh dibandingkan dapat
mengidentifikasikan dirinya dengan khalayak. Identifikasi ini tidak akan mungkin terjadi
apabila sejak semula timbul kesan, bahwa pembicara menempatkan diri pada posisi yang
lebih tinggi dari khalayak. Kesan ini timbul apabila semenjak semula pembicara
membanggakan dirinya secara berlebih-lebihan. Biasanya hal ini terjadi pada waktu
pembicara memperkenalkan dirinya.
Akan tetapi, kadang-kadang pembicara perlu menempatkan dirinya pada posisi yang
lebih tinggi. Namun, hendaknya hal itu dilakukan hanya sebagai taktik saja, karena
kadang-kadang yang dihadapi adalah khalayak yang semenjak semula menganggap
bahwa ceramah yang akan diberikan (misalnya) tidak penting. Kadang-kadang dijumpai
juga khalayak yang menganggap pembicara adalah orang yang “baru” muncul dalam
bidangnya sehingga masih berstatus pemula.
Langkah kedua yang perlu dilakukan agar khalayak mendengarkan hal-hal yang
dibicarakan adalah menciptakan kewibawaan. Mungkin hal ini yang paling sulit
dilakukan karena berkaitan hal-hal yang lebih dititikberatkan pada aspek spiritual.
Kewibawaan dapat diartikan sebagai wewenang yang diakui, bukan karena jabatan resmi
yang diduduki. Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah soal penampilan (fisik).
Memang perlu diakui bahwa aspek kecantikan atau ketampanan juga memegang
peranan. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah sikap tidak nyata pembicara, atau
penampilannya yang simpatik.
Langkah yang ketiga adalah menciptakan landasan pengetahuan yang sama. Disini
terasa benar pentingnya data awal yang diperoleh pembicara sebelum publik speaking.
Dalam hal ini pembicara seyogyanya menyesuaikan taraf pengetahuannya dengan pihak
khalayak. Kalau itu sudah tercipta, barulah pembicara berusaha “menggiring” khalayak
13
ke taraf pengetahuan yang lebih tinggi dengan jalan membantu khalayak untuk
berabstraksi sedikit melalui pemberian contoh – contoh yang diambil dari kehidupan
sehari – hari. Usaha-usaha untuk menyesuaikan diri dengan taraf pengetahuan khalayak
untuk kemudian membimbingnya ke taraf yang lebih tinggi akan merangsang khalayak
untuk bertanya atau memberikan tanggapan pada kesempatan diskusi nantinya.
Contoh lain yang dapat disajikan adalah mengenai tujuan untuk memperkuat norma-
norma yang dianut dan diterapkan. Misalnya, golongan masyarakat yang dihadapi
sebagai khalayak adalah warga yang patuh pada peraturan lalu lintas. Mereka harus
diberikan atau disajikan hal-hal yang menguntungkan apabila patuh dibandingkan
dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan yang dijatuhkannya sanksi yang
merupakan penderitaan sebab ada kemungkinan bahwa pelanggar peraturan lalu lintas
melakukannya karena pertimbangan-pertimbangan cost and benefit yang dilandaskan
pada perhitungan ekonomis belakang, tanpa menyadari bahwa akibatnya mungkin lebih
luas daripada yang diduga.
Penutup
Keterkaitan antara publik speaking dengan sosiologi komunikasi tampaknya terletak
pada kenyataan bahwa publik speaking pada hakikatnya merupakan penerapan konsep-
konsep sosiologi komunikasi tertentu. Hal ini bukan berarti bahwa seorang pembicara
senantiasa harus merupakan sarjana sosiologi, yang mengkhususkan diri dalam sosiologi
komunikasi. Hal yang penting adalah bahwa seorang pembicara mengetahui atau
memahami aspek-aspek sosiologi kehidupan masyarakat. Apalagi kalau pengetahuan
tersebut ditambah dengan pengetahuan dibidang ilmu – ilmu sosial lainnya seperti
antropologi, psikologi sosial, ekonomi dan seterusnya, pengetahuannya semakin lengkap
(demikian pula halnya dengan kemampuan yang bersangkutan).
14
Hal yang penting adalah rajin melatih diri berbicara di depan umum dengan
memberikan penyajian yang akurat mengenai masalah yang diketengahkan. Seorang
public speaker harus senantiasa berterus terang, namun dilandaskan pada perhitungan
yang mantap. Hal yang juga penting adalah pantangan untuk mempopulerkan diri dengan
jalan mendiskreditkan pihak – pihak lain yang dijadikan kambing hitam, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Seorang pembicara harus mampu menerapkan berbagai peranan tertentu sekaligus.
Misalnya, dia harus pandai menyesuaikan diri denga khalayak; namun di lain waktu dia
juga harus mampu menempatkan diri pada kedudukan yang lebih tinggi ataupun lebih
rendah daripada khalayak; semata-mata untuk membentuk opini yang positif.
Demikianlah beberapa catatan mengenai publik speaking, yang semata-mata
didasarkan pada mudahan-mudahan rekaman pengalaman sendiri. Mudahan-mudahan
rekaman pengalamanini dapat dimanfaatkan demi kebaikan.
15
Mengamong adalah mengantisipasi dan melayani dalam arti memberdayakan dan
melindungi masyarakat dan lingkungannya, bangsa dan negara terhadap segala
sesuatu yang sifatnya membahayakan dan berdaya hancur (lebay dikit, hehe)
7. Freies Ermessen
Mengamong adalah menunjukkan keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan
membela, melindungi dan melayani masyarakat.
8. Generalist dan Specialist Function
Mengamong adalah mengetahui sedikit tentang banyak hal (generalis), dan juga
mengetahui banyak hal tentang suatu hal (spesialis).
9. Responsibility
Mengamong adalah keberanian untuk mempertanggung jawabkan semua hal yang
dilakukan, bukan hanya kepada atasan tetapi juga kepada masyarakat.
10. Magnanimous Thingking
Mengamong adalah berpikir besar, berpikiran yang menembus jaman. Tidak hany
pada masanya saja, tetapi juga untuk masa kedepan nantinya juga.
11. Omniprsence
Mengamong berarti tidak memosisikan diri sebagai pangreh, tidak hanya
membangun citra (image building) pemerintahan tetapi merendahkan hati
sedemikian rupa sehingga pemerintah itu tidak terlihat sebagai sesuatu yang jauh
dan yang asing, tetapi terasa hadir di mana-mana dan kapan saja sebagai bagian dari
dan sama dengan “kita.” Ia melihat apa yang “kita” lihat, dan merasakan apa yang
“kita” rasakan.
12. Distinguished Statesmanship.
Mengamong berarti memosisikan diri di atas semua kepentingan publik. Melayani
masyarakat dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Seorang statesman tidak
pernah merasa berjasa, karena tindakan apapun yang dilakukannya telah mendapat
imbalan dari negara dan masyarakat.
16
2.3 Arti kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang
sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama
secara royal untuk menyelesaikan tugas.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu
fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
1. Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan
menyediakan fasilitasnya.
2. Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing,
directing, commanding, controling, dsb.
17
2.4 Hakekat kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan
sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
lainnya.
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup,
manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis
anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu
selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga
kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok &
lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik &
sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar
masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak
memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang
terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin,
dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta
memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong,
menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari
kepemimpinan Pancasila adalah :
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya
menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat
berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.
Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang
diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
18
2.5 Gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin, cara
berlagak dalam menggunakan kekuasaannya, misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter,
(2) gaya kepemimpinan demokratis, (3) gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya
Keating (1986:9) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu:
(1) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).
Antara gaya kepemimpinan dan tipe kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang
identik, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan
seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang
meliputi:
Gaya/tipe otokratik
Gaya/tipe paternalistik
Gaya/tipe kharismatik
Gaya/tipe laissez-faire
Gaya/tipe demokratis
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar
setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang
melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan pribadinya
melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti
dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi
begitu berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah
emosi.
19
Pertama, moral ketakwaan yang dicirikan dengan keimanan, dan kesetaraan sesama
manusia di mata Tuhan. Refleksi yang muncul ialah menghargai pekerjaan,
mempercayai kemampuan dan menghormati orang pada bidang pengabdiannya.
Dalam konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk memberikan delegasi
wewenang dengan prinsip kepercayaan tersebut.
Kedua, moral kemanusiaan, pengakuan akan HAM, membangun kohesi sosial,
mendorong harmoni kehidupan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam
konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk menjaga harmonisasi daerah dan
dalam hubungan pusat daerah serta antar daerah.
Ketiga, moral kebersamaan dan kebangsaan, semangat persatuan diantara sesama
warga dan untuk mencapai tujuan bersama, mengutamakan kepentingan nasional
dari pada pribadi atau golongan.
Jadi, kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin hubungan pribadi yang
baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin, sehingga timbul rasa saling hormat-
menghormati, percaya-mempercayai, saling tolong-menolong, dan rasa senasip
sepenanggungan. Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir secara sistematis dan
teratur, mempunyai pengalaman dan pengetahuan serta mampu menyusun rencana
tentang apa yang akan dilakukan.
20
Pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial
yang rukun, damai, dan harmonis.
3. pengetahuan tentang relasi insane.
Pemimpin memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan perilaku bawahan agar
bisa menilai kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang diberikan.
4. Kejujuran.
Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada diri
sendiri maupun kepada bawahan.
5. Obyektif.
Pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab musabab dari
suatu kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya.
6. Dorongan pribadi.
Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul dari dalam hati
agar ikhlas memberikan pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum.
7. Keterampilan berkomunikasi.
Pemimpin diharapkan mahir menulis dan berbicara, mudah menangkap maksud
orang lain, mahir mengintegrasikan berbagai opini serta aliran yang berbeda-beda
untuk mencapai kerukunan dan keseimbangan.
8. Kemampuan mengajar.
Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang membawa orang belajar
pada sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan, keterampilan agar
bawahannya bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan partisipasinya.
9. Keterampilan social.
Dia bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang lain, sehingga ia bisa
memupuk kerjasama yang baik.
10. Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial
George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17) Kepemimpinan adalah
hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain
untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Sedangkan, Ordway Tead (1929) Kepemimpinan sebagai perpaduan
perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain
menyelesaikan tugasnya.
21
2.8 Karakteristik kepemimpinan
Karateristik kepemimpinan pada umumnya dimanapun dan apapun tingkatannya
adalah jelas yait dia harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi
serta mengajak orang lain guna bersama-sama berjuang , bekerja, dan berusaha
mencapai satu tujuan bersama. Sedangkan karateristik kepemimpinan Indonesia, setiap
pemimpin Indonesia perlu memiliki dan mencerminkan Kepemimpinan Pancasila.
Kepemimpinan Pancasila yang berasaskan hal-hal tersebut dibawah ini :
1. Ke- Tuhanan Yang Maha Esa
2. Hing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberikan teladan)
3. Hing Madya Mangun Karsa (ditengah memberi motivasi dan kemauan)
4. Tut Wuri Handayani (dibelakang member kekuatan)
5. Waspada Purba Wisesa (waspada dan berkuasa)
6. Ambeg Parama Artha (mempunyai sifat kebenaran)
7. Prasaja
8. Satya (setia)
9. Hemat (Gemi, Nastiti, ati-ati) (hemat,cermat,hati-hati)
10. Terbuka
11. Legawa (rela dan tulus ikhlas)
12. Bersifat Ksatria
Seorang pemimpin adalah orang yang menjadi panutan atau lebih tepatnya : Ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Disamping itu ada
yang paling khas dari sseorang pemimpin yaitu kemampuan untuk menambil keputusan.
Maka sering disebut seorang pemimpin itu adalah Decision maker (pengambil
keputusan).
22
Pamong praja (sebelumnya disebut pangreh praja sampai awal kemerdekaan) dalam
sejarah pemerintahan daerah di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, karena
pamong praja tidak saja memainkan peran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang
menyelenggarakan pelayanan masyarakat tapi juga peran strategis dalam menjaga
keutuhan Negara Republik Indonesia. Pamong praja berperan dalam mengelola berbagai
keragaman dan mengukuhkan keutuhan Negara. Ndaraha (2009) mengatakan pamong
praja adalah mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan ketunggalikaan.
Di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sebutan “Pamong Praja” terkait dengan
Satuan Polisi Pamong Praja (UU 32/2004 dan PP 6 Tahun 2010) dan lembaga
pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai “Pendidikan Tinggi
Kepamongprajaan” sebagaimana dalam Peraturan Presiden No 1 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Keptusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan.
Peserta didik atau mahasiswa IPDN disebut “Praja” dan lulusannnya disebut sebagai
“Pamong Praja Muda”.
Kalau pamong praja diartikan secara etimologis sebagai aparat atau pejabat
pemerintahan yang bertugas “mengemong” dan menjadi abdi Negara, abdi masyarakat,
maka pamong praja adalah semua aparat yang melakukan aktivitas melayani,
mengayomi, mendampingi serta memberdayakan masyarakat, dengan demikian koorps
pamong praja sangat meluas, termasuk di dalamnya aparat kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia serta semua aparat pemerinatahan lainya yang
melaksanakan urusan pemerintahan selain di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
Pamong praja adalah mencakup pejabat pusat yang ada di pusat, pejabat pusat yang ada
di daerah maupun pejabat daerah yang ada di daerah.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan kepamongprajaan sangatlah penting karena pendidikan
kepamongprajaan dapat membentuk karakter seorang pamong praja menjadi seorang
pemimpin karena Pamongpraja adalah orang/ aparat yang bekerja dibidang
pemerintahan, khususnya bidang penyelenggaraan tugas pemerintahan umum (tugas
umum pemerintahan)yang meliputi koordinasi, pengawasan, pemeliharaan ketentraman
dan ketertiban serta melaksanakan tugas lain (residu) yang belum menjadi tugas
sesuatuinstansi.dan atau tugas yang telah menjadi urusan daerah
3.2 Saran
Pendidikan kepamongprajaan yang kita kenal bernama IPDN harus didukung
sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN
bisa dan mampu menjadi solusi dalam krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia.
24
Sistem pendidikan IPDN yang mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter
seorang anak bangsa untuk menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan
yang ada di bangsa ini. Masyarakat juga harus bisa melupakan kekerasan yang pernah
terjadi di IPDN.
DAFTAR PUSTAKA
www.scribd.com/document/331900796/
www.scribd.com/doc/177531110/Kepamongprajaan
http://hendry-kamanjaya.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
http://makalah-dudi.blogspot.com/2014/10/makalah-eksistensi-kepamongprajaan-di.html
http://Catatanpamong.blogspot.com
25