Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Untuk mempelajari Hukum Tatanegara suatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh
kejelasannya apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraan daripada Negaranya
yang bersangkutan.  Demikian pula dengan Hukum Tatanegara kita, akan mudah diperoleh
kejelasannya apabila kita mempelajari terlebih dahulu sejarah ketatanegaraannya sebelum
mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya. Apalagi kalau mengingat bahwa
dari perjalanan ketatanegaraan kita, yang masih menyelesaikan revolusinya, ternyata penuh
mengalami pasang surut sesuai dengan dinamikanya revolusi Bangsa Indonesia, sehingga
mempelajari sejarah ketatanegaraannya.
Setiap negara tentunya memiliki sejarah tentang ketatanegaraan dalam negaranya.
Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak
masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya
tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
Dari pernyataan diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih
lanjut tentang sejarah dari ketatanegaraan Indonesia. Agar kita dapat memahami bagaimana
perkembangan proses ketatanegaraan di Indonesia dari periode-periode yang ada.

B.  Rumusan Masalah
1.      Mengetahui ketatanegaraan Periode Sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
2.      Mengetahui ketatanegaraanPeriode Setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
3.      Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan  di Bawah Undang-Undang Dasar
NegaraRepublik Indonesia  (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
4.      Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde baru
5. Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Setelah reformasi 1998:Menuju
Konsolidasi sistem Demokrasi

BAB II
PEMBAHASAN

1.        Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945


a.    Masa Penjajahan Belanda
Indonesia pada masa ini kekuasaan tertingginya ada di tangan Raja Hindia Belanda. Dan
dibantu oleh Gubernur Jendral sebagai pelaksana. Raja Belanda bertanggung jawab kepada
parlemen. Ini menunjukan sitem pemerintahan  yang dipergunakan di negeri Belanda adalah
sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan kerajaan Belanda 1983 adalah:
a.    UUD Kearajaan Belanda 1983
1.         Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda;
2.         Pasal 62: Ratu Belanda memegang pemerintahan tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan
Gubernur Jendral atas nama Ratu Belanda  mejalankan Pemerintahan Umum;
3.         Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Undang-Undang, soal-soal intern
Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan
lain dengan Undang-undang.
b.    Indische Staatsregeling  (IS)
IS merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan disebut Algemene Verordeningen (Pearaturan Umum), yang dikenal
dimasa berlakunya IS, adalah:
1.         Wet: dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang Negeri Belanda, yaitu mahkota dan
Parlemen;
2.         Algemene Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh mahkota sendiri;
3.         Ordonnantie, dibentuk oleh Gubernur Jendral bersama-sama  dengan Volksraad;
4.         Reggering Verordeningen (RV), peraturan yang dibentuk oleh Gubernur Jendral sendiri.[1]
Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik.
Asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya.

b.   Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.


Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di
Indonesia adalah :
a.    Sebagai penguasa pendudukan. Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia
Belanda. Namun kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan
diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
b. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada dikawasan asia timur raya
termasuk Indonesia denga menyebut dirinya sebagai Saudara tua.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga
wilayah besar yaitu :
a).   Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat
kedudukan di Bukittinggi.
b).   Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
c).   Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham
militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik
Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40
Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang
cenderung berbau otoriter/pemaksaan.[2]

2.        Periode setelah proklamasi 17 Agustus 1945


a.    Pasca pemberlakuan UUD 1945 sejak 18 Agustus 1945

Sehari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh PPKI,
pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan ketatanegaraan. Dengan adanya usaha-
usaha sebagai berikut:

1.    Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia

2.    Penetapan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI

3.    Pembentukan Dapartemen-dapatemen oleh Presiden

4.    Pengangkatan anggota KNIP

5.    Pembentukan delapan provinsi oleh PPKI.

Proklamasi terus mengalami kemajuan, pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil Presiden
menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 yang berisi:
1.    KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) diserahi kekuasaan legislatif dan ikut membuat
atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara sebelum terbentuknya MPR dan
DPR

2.    Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja KNIP.[5]

3.    KNIP bersama-sama Presiden menetapkan Undang-Undang yang boleh mengenai segala


urusan pemerintah.[6]
.     

b.      Ketatanegaraan di Bawah Konstitusi Indonesia Serikat


Terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan
Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, Dalam konfrensi
tersebut disepakati tiga hal yaitu:
1.      Mendirikan Negara RIS

2.      Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal yaitu: (a) piagam penyerahan
kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintahan RIS, (b) status uni, (c) persetujuan
perpindahan.
3.      Mendirikan uni antara RIS dan kerajaan Belanda[7]

Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara
Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara
Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat
yang terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang tujuan  utamanya
mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
c.       Ketatanegaraan di Bawah Undang Undang Dasar Sementara 1950

UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, tentang


Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat, menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS
tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya
bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan
menyusun konstitusi baru. Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan
Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota
konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai
tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan
masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam
menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang
Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada
30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui
UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi
pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum.
Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara
ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante
memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli
1959 pukul 17. 00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara
resmi di Istana Merdeka. [8]

3.    Ketatanegaraan dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Dekrit


presiden 5 Juli 1959).
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara
sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah beberapa
langkah sebagai berikut:
1.      Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan presiden No.3 Tahun
1960.
2.      Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan penetapan
presiden No.5 Tahun 1960 yang antara lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatanny terhitung mulai tanggal
pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden.
3.      Untuk melaksanakan dekrit presiden oleh presiden dikeluarkan penetapan presiden No.2
Tahun 1959 : tentang majelis permusyawaratan rakyat sementara dan dilanjutkan dengan
4.      Penyusunan majelis permusyawaratan rakyat sementara dengan penetapan presiden No.12
Tahun 1960.
5.      Dikeluarkan penetapan presiden No.3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangang sementata.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi,seperti :
1.    lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR dan DPA belum dibentuk berdasarkan Undang-
undang serta lembaga-lembaha yang ada masih bersifat sementata.
2.    Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS
No. III/MPRS/1963.
Sejarah ketatanegaraan indonesia mencatat bahwa penyimpangan konstitusi ini mencapai
puncaknya dibidang politik dengan terjadinya pemberontakan G30 S PKI. Peristiwa G 30 S
PKI telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta
meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan indonesia. Puncak
pada peristiwa ini adalah jatuhnya Legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang tampak
kepemimpinan nasional. legitimasi tersebut semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat
pemerintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah
Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan segala tindakan
dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintah. Keberadaan
SUPERSEMAR itu sendiri sampai sekarang masih tetap misterius, bahkan penerbitan
SUPERSEMAR itu sendiri kemunculannya dari kontroversi sejarah yang berbeda-beda
4.        Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde Baru.
Di era ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan negara menitik beratkan pada aspek
stabilitas politik. Dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Maka dilakukanlah
upaya-upaya pembenahan system ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan
pada hal-hal sebagai berikut:
a.  Konsep Dwi Fungsi ABRI
b.  Pengutamaan Golongan Karya
c.  Magnifikasi kekuasaan di tangan ekskutif.
d.  Diteruskannya system pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
e.  Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang
(floating mass);dan
f. Kontrol Abriter atas kehidupan pers.
Disamping itu juga disarankan oleh Presiden Soeharto agar partai-partai mempergunakan asas
Pancasila dan UUD 19945  . Berdasarkan gagasan inilah,maka disarankan pembentukan dua
kelompok, yaitu :
a. Kelompok materiil-sprituil yang terdiri atas partai—partai yang menekankan pembangunan
matteriil tanpa mengabaikan aspek sprituil . Kelompokk ini terdiri dari
PNI,Murba,IPKI,partai katolik , Parkindo.
b. kelompok sprituil materiil yang terdiri dari  partai-partai yang menekankan pembangunan.
Disamping kedua kelompok partai tersebut ternayata terdapat golongan-golongan fungsional
yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok partai tersebut. Golongan –
golongan fungsional ini akhirnya membentuk kelompok sendiri yang disebut GOLKAR
(GOLONGAN KARYA ). Kondisi semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena
ketatanegaraan di Indonesia,yaitu:
1.  Sistem Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada stabilitas
politik dan memang berhasil.
2.  Terjadinya pemasungan hak-hak politik bagi warganegara,khususnya dalam hal berserikat
atau berkumpul karena adanya pembatasan partai politik dan pengawasan terhadap seluruh
organisasi kemasyarakatan seluruh organisasi kemasyrakatan ,termasuk pengawasan terhadap
Media massa.
3.  Terpilihnya Suharto sebagai presiden yang berulang kali mengakibatkan karakter
kepemimpinan makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya gejala Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela.

5.        Ketatanegaraan Indonesia Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem


Demokrasi.
Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah penataan sistem ketatanegaraan
menuju konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling penting disini
tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan
perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi
dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Peraturan  Perundang-undangan yang dimaksud antara
lain:
Ketetetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Reperendum;
Undang-Undang No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum;
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di daerah;
Paket Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR, DPR, DPRD,UU Pemilihan
Umum, dan UU Politik dan Golongan Karya).

Di samping melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut diatas


maka sesuai amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk mengamanden UUD
1945. Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya sistem
ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat sistematika yang tertuang didalam UUD
1945 tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan konsep demokrasi
pemerintahan dan prinsip Negara yang berkedaulatan rakyat.
Dengan rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR menggunakan dasar hukum
pasal 37 UUD 1945. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu 1999 sampai
dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR melakukan pengesahan terhadap hasil-hasil
amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak 4 kali, yakni setiap MPR melakukan sidang tahunan
pada bulan Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Setelah amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada sidang tahunan MPR Tahun 2000 maka
sistem ketatanegaraan Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bentuk (bangunan) Negara kesatuan tetap dipertahankan dan sudah merupakan keputusan
yang final;
Sistem pemerintahan Negara republik Indonesia adalah sistem presidensiil murni, dimana
presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% kursi di DPR-RI atau 25%
memperoleh suara sah dalam pemilu legislatif
Sistem keparlemenan mempergunakan soft bicameral system, bahkan bisa dianggap sistem
keparlemenan dengan 3 kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki
wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing mempunyai ketua;
Seluruh anggota parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui pemilihan umum. Tidak dikenal
lagi adanya cara penunjukan atau pengangkatan;
 Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi mernjadi lembaga tertinggi Negara melainkan
hanya merupakan sarana bergabungnya DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini hanya
mengubah UUD, mengangkat atau melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan
umum, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden jika menurut keputusan mahkamah
konstitusi dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat;
Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal;
hubungan alat perlengkapan Negara dalam garis vertikal mempergunakan asas desentralisasi
dan tugas pembantuan dengan otonomi luas;
Dijumpai adanya mahkamah konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan
judicial review undang-undang terhadap UUD 1945 penyelesaian sengketa pemilihan umum,
memeriksa presiden dan/atau wakil presiden atas pemerintahan DPR, jika mereka dianggap
telah melakukan pelanggaran dihukum berat, dan menyelesaikan sengketa kewenangan antar
lembaga Negara.

Dari gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat ditarik garis pemahaman bahwa sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi terus dilakukan
dengan berbagai pasang surut yang terkandung didalamnya. Hal ini membuktikan bahwa
konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia masih terus mencari bentuk yang paling ideal dan
sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Proses konsolidasi sIstem demokrasi yang terus berlanjut ini memang memberikan kesan
kuat bahwa langkah-langkah eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan.
Hal ini wajar, karena membangun sistem, demokrasi tidak akan pernah selesai. Mengingat
demokrasi itu sendiri bukanlah suatu tujuan melainkan merupakan hanya sarana untuk
mencapai tujuan yang di cita-citakan bangsa Indonesia sebaimana terangkum dalam
pembukaan UUD 1945.

  

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sejarah ketatanegaraan Indonesia sudah terjadi sejak masa pra Proklamasi kemerdekaan yang
dimana ada beberapa perubahan sistem ketatanegaraan. Pada masa penjajahan sistem
ketatanegaran Indonesia masih diperlakukan oleh kekuasaan para penjajah. Pada masa pasca
Proklamasi Indonesia sudah mulai membenah dalam sistem ketatanegaraan yang buktinya
telah terjadi beberapa sitem ketatanegaraan yang telah ditetapkan seperti pemberlakuan UUD
1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, Konstitusi Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar
Negara Sementara Tahun 1950, Sistem ketatanegaraan Orde Baru, dan yang terbaru setelah
Reformasi menuju Konsolidasi sistem Demokrasi.

B.       Saran
Dalam sistem ketatanegaran seharusnya pemerintahan Indonesia lebih memiliki sifat
transparan, dimana setiap permasalahan yang ada selalu bisa diikuti perkembangannya oleh
masyarakat. Dan masyarakat lebih tau tentang kinerja birokrasi ketatanegaraan Indonesia.

    

DAFTAR PUSTAKA

ipto. 2015,  Hukum Tata Negara Indonesia, Cahaya atma Pustaka: Yogyakarta.


Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014)cet.IX
Radjab Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005)cet.II
http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html,
diakses pada tanggal 1 maret 2017.
[1]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo,  Hukum Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya
Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[2]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[3]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo,  Hukum Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya
Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[4]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[5] Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia (Yogyakarta : Cahaya Atma
Pustaka, 2015)cet.II hlm 77
[6] Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2005)cet.II hlm.188
[7] Ni’kmatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2014)cet.IX hlm. 133
[8] www.zonanesia.net/2014/10/periodesasi-sistem-pemerintahan.atml

Anda mungkin juga menyukai