Anda di halaman 1dari 13

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang
diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan
inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak
terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum
santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan
kemerdekaan NKRI.

Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,


berarti :
- menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum)
untuk menetapkan tata hukum Indonesia.

Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan tata hukum Indonesia tersebut
tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia..….disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia”.

Sikap politik hukum untuk memberlakukan hukum masa sebelum kemerdekaan juga
dicantumkan dalam pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 (sebelum
diamandemen), yang menyatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Adapun ketentuan peralihan UUD RIS 1949 dimuat dalam pasal 192 yang menyatakan
“Peraturan-peraturanUndang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada
saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undan-gundang
dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini (ayat 1). Pelanjutan peraturan-
peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yan sudah ada sebagai diterangkan
dalam ayat satu hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni, persetujuan
Peralihan ataupun Persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan
kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan
dengan ketentuan-ketentuan konstitusi ini yang tidak memerlukan peraturan Undang-undang
atau tindakan-tindakan penjalankan (ayat 2)”.

Sedangkan ketentuan Peralihan UUDS 1950 tercantum dalam pasal 142 menyebutkan bahwa
“Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada
tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan
tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.

Kemudian, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali berlakunya UUD
1945, maka berdasarkan pasal II Aturan Peralihannya segala peaturanperaturan hukum yang
berlaku sebelum Dekrit Presiden masih tetap berlaku, termasuk hukum (peraturan perundang-
undangan) yang berlaku pada zaman Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan Indonesia). Hukum
atau peraturan perundang- udangan peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut antara
lain :

1. Reglemen op de Rechterlijke Organisatie (R.O.) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (O.P.);


2. Alegemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) atau Ketentuan umum tentang perundan-
gundangan;
3. Burgerlijk Weboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K.);
4. Reglemen of de Burgerlijk Rechsvordering (R.V.) atau peraturan tentang Acara Perdata
(A.P.);
5. Wetboek van Straafrecht (W.v.S.) atau KUHP diundangkan pada tanggal 1 Januari 1915
berdasarkan Stb. 1915 732 berlaku untuk semua golongan penduduk Hindia Belanda;
6. Herziene Indonesische Reglement = Reglement Indonesia Diperbaharui (RIB). HIR atau RIB
ini berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk Jawa dan Madura.
7. Rechtsreglement Buitengewesten untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 927-
227 pada tanggal 1 Juli 1927.

Empat buah Kitab undang-undang (kodifikasi) yakni R.O, A.B, B.W, W.v.K berlakunya di
Hindia Belanda pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb. 1847 23. Untuk memungkinkan
berlakunya hukum Belanda bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh Pemerintah
Hindia Belanda dikeluarkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda atau yang disebut
“Indische Staatsregeling” (I.S.) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui Stb.
1925-577.[1]

Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas
konkordansi” atau asas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain
(Belanda) diberlakukan sama di tempat lain (Hindia Belanda). Asas Konkordansi (concordantie
beginsel) ini diatur dalam Pasal 131 ayat (2) Indische Staatsregeling (I.S). Maksud asas
konkordansi tersebut adalah “bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Hindia Belanda
(Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri
Belanda”.

Berdasarkan pasal 131 ayat (2) IS tersebut, maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda
dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk/orang Belanda di Indonesia harus
diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Jadi tidak ada perbedaan atau
diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negara Belanda dengan penduduk di
Hindia Belanda (Indonesia). Baca juga : Pembaharuan Warisan Hukum Belanda di Indonesia.
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam hukum
(perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur dalam pasal
131 dan 163 Indische Staatsregeling (I.S.). Pasal 131 I.S. berasal dari pasal 75 R.R. lama (Stb.
1855-2). RR singkatan dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands Indie
disingkat Regeringsreglemen (R.R. = Peraturan Pemerintah). R.R. lama itu akhirnya diubah
menjadi Inidische Staatsregeling (I.S.) Stb. 1925-415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb. 1925-577. Pasal 131 I.S. merupakan
dasar berlakunya B.W. dan W.v.K. di Hindia Belanda. I.S. merupakan pedoman politik hukum
pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hindia Belanda.

Pasal 131 I.S. terdiri dari 6 ayat yang menyatakan[2] :


Ayat 1. hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana begitu pula hukum acara perdata dan
hukum acara pidana harus diatur dalam bentuk undang-undangatau ordonansi;

Ayat 2 sub. a terhadap golongan Eropa harus diberlakukan perundangundangan yang berlaku di
negara Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (asas konkordansi);

Ayat 2 sub.b terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, dapat diberlakukan
terhadap hukum Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat
menghendaki;

Ayat 3 Untuk hukum acara perdata dan acara pidana berlaku ketentuan yang sama seperti
mengenai hukum pidana;

Ayat 4 Orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, diperbolekan menundukkan diri
(onderwerpen) kepada Hukum Eropa baik sebagian atau keseluruhannya. Ketentuan dan
akibatnya diatur dengan undang-undang atau ordonansi.

Ayat 5 di daerah-daerah yang berlaku hukum adat, berdasarkan pasal ini diyatakan tidak
berlakunya ordonansi;
Ayat 6 hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing
masih tetap berlaku selama belum diatur dalam undang-undang atau ordonansi

Pemberlakuan kembali hukum (peraturan perundang-undangan kolonial) oleh pasal-pasal Aturan


Peralihan UUD 1945 setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak adapat dikatakan bahwa tata
hukum Indonesia merupakan kelanjutan dari tata hukum kolonial Belanda atau Jepang.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan kolonial dimaksudkan bersifat sementara untuk
menghindari terjadinya kekosongan hukum selama tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berUndang-Undang Dasar 1945.

Berlakunya kembali UUD 1945 termasuk Pasal II Aturan Peralihannya menimbulkan


permasalahan dalam pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan). Permasalahannya
adalah : Apakah peraturan perundang-undangan yang dibuat atau diberlakukan atau hasil produk
UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 (hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959).

Dalam perkembanganya kerangka pengembangan hukum yang lebih besar tertuang dalam
Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN tersebut, dapat disimpulkan adanya 2 (dua)
tahap pembangunan hukum, yaitu:
1. Tahap pembangunan hukum jangka panjang yang bertujuan mengganti tata hukum yang
sekarang dengan tata hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia
yang sedang mengalami proses pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum disini
harus mencakup segala lapangan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, baik
lapangan hukum perdata, pidana, acara dan sebagainya.
2. Tahap pembangunan hukum jangka pendek, pembangunan hukum pada tahap ini bersifat
sektoral yaitu pembangunan yang menyangkut cabang hukum tertentu.

Sudah sepatutnya dalam mengembangkan hukum di Indonesia (Hukum Nasional) perlu


ditekankan pada tujuan dibangunnya Negara Indonesia, tujuan tersebut tertuang dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu ada garis besar atau haluan yang dpat
menentukan arah kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional). Politik Hukum Nasional
yang bertujuan meletakkan dasar-dasar negara Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat)
yang demokratis dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta berkeTuhanan Yang
Maha Esa. Salah satunya adalah mengganti hukum warisan kolonial dengan hukum yang
berwatak nasional (NKRI).

Sejarah Pembentukan Hukum di Inggris

COMMON LAW
(Rangkuman dari Buku: Prof. Dr. Emeritus John Gilisen & Prof. Dr.Emeritus Frits Gorle)
I. HAL-IKHWAL YANG BERSIFAT UMUM
COMMON LAW adalah nama yang diberikan kepada tatanan hukum yang sejak abad XII
bertumbuh-kembang di Inggris. Ungkapan Common Law telah dipergunakan sejak abad XIII
untuk menyebutkan hukum Inggris secara keseluruhan sebagai mukabalah kebiasan-kebiasan
lokal yang berlaku di daerah-daerah, kemudian orang menyebutnya sebagai Commune loy (=loi
commune) selama beberapa abad.
Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada
preseden-preseden (putusan) hakim-hakim. Dan undang-undang nampaknya hampir tidak
pengaruh terhadap evolusi common law ini.
Namun common law dalam arti yang sempit ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris,
di samping peradilan pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, ialah
hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuatan undang-undang (legislatif). Yang
disebut terakhir ini telah menjadi suatu sumber hukum penting terutama selama abad-abad XIX
dan XX.
Common Law ini tidak pernah mengalami pengaruh langsung dari hukum Romawi maupun
hukum-hukum abad pertengahan yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, justru karena ia
pada instansi pertama merupakan judge made law, yang muncul ke permukaan dari prosedur-
prosedur penuntutan hukum yang justru mempersulit pengandalan hukum Romawi sebagai
hokum pelengkap.
Ringkasnya, common law ini berbeda secara fundamental dalam perkembangannya dengan
tatanan-tatanan hukum Romanistis Eropa continental, karena:
- Common Law adalah sebuah “judge made law” sedangkan peradilan hanya
memainkan peranan yang sangat kecil di dalam pembentukan dan perkembangan
tatanan-tatanan hukum romanistis.
- Common Law adalah sebuah hukum pengadilan, yang di dalam pembentukannya
proses pengadilan memegang peraran yang besar sedangkan proses tersebut hanya
merupakan fungsi tambahan di dalam tatanan-tatanan hokum romanistis.
- Common Law ini yang hampir tidak mengalami proses romanisasi, dibandingkan
dengan tatanan-tatanan hukum Eropa continental, yang justru karenanya kita sebut
tatanan-tatanan romanistis.
- Kebiasaan-kebiasaan local tidak memainkan peranan di dalam evolusi common law,
sedangkan di Eropa continental pengaruh-pengaruh kebiasaan sampai abad XVIII
masih tetap penting.
- Perundang-undangan sampai dengan abad XIX hanya memainkan peranan yang
menunjang dalam common law, sedangkan di Eropa continental sejak abad XIII
sampai abad XIX secara berangsur-angsur menjadi sumber hukum terpenting.
- Tatanan-tatanan hukum romanistis, yang sebagian besar adalah tatanan-tatanan hukum
yang dikodifikasi, sedangkan di Inggris kitab-kitab undang-undang tetap merupakan
sesuatu yang tidak dikenal, sebagaimana hal tersebut popular di Eropa continental.

II. PEMBENTUKAN TATANAN COMMON LAW


( Abad-abad XII-XV )
A. Hukum di Inggris sampai Abad XII
Sampai abad XII dan XIII sejarah hukum Inggris dapat dibandingkan secara tepat dengan sejarah
tatanan-tatanan hukum Eropa continental.
Inggris pun merupakan bagian dari Negara Romawi sejak abad I sampai dengan abad V, namun
proses Romanisasi di dalam hukum dan institusi-institusi boleh dibilang tidak meninggalkan
bekas-bekasnya dalam periode-periode kemudian.
Dalam abad XII, kebiasaan tetap merupakan sumber satu-satunya hukum Inggris, kebiasaan-
kebiasaan local Anglo-sakson, kebiasaan-kebiasaan local Anglo-sakson, kebiasaan-kebiasaan
kota-kota yang baru didirikan (borough custom), kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang, terutama
pedagang-pedagang London.

B. Susunan Pengadilan-pengadilan Kerajaan : Prosedur Writ


Raja-raja Inggris berhasil, bahkan lebih dahulu dari raja-raja Perancis, untuk memantapkan
kekuasaan mereka atas wilayah Negara. Proses ini berlangsung berbarengan dengan perluasan
kekuasaan hukum raja dengan memperkecil pengaruh pengadilan-pengadilan kaum bangsawan
(feodal) dan angpengadilan-pengadilan lokal, yang selama abad-abad XII dan XIII secara
berangsur-angsur kehilangan sebagian besar wewenang-wewenang mereka.
Perluasan wewenang yang berlangsung dengan cepat pengadilan-pengadilan tingkat tinggi ini
dimungkinkan terlaksana oleh procede teknis yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa pada majelis-majelis hakim. Setiap orang yang ingin memperoleh keadilan dari sang
raja, dapat melakukannya dengan mengajukan surat permohonan kepada raja. Kanselir, salah
satu penasehat terpenting sang raja, meneliti surat permohonan tersebut dan bilamana ia
memandang layak, maka ia mengirim atas nama raja, sebuah perintah, yang disebut Writ kepada
Sheriff, yakni wakil setempat raja, untuk memaksa yang tertuduh membuat pembelaan. Jika si
tertuduh menolak untuk melakukan hal tersebut, maka hal ini mempunyai arti ia
tidak menghiraukan perintah raja. Si tertuduh karenanya dapat menghadap pengadilan raja untuk
menjelaskan mengapa ia tidak menghiraukan perintah tersebut. Dan dengan cara demikian
sengketa tersebut didaftarkan di pengadilan raja untuk diperiksa. Tatanan Writs ini terbentuk
pada abad XII pada saat Hendrik II (1154-1189) menjadi raja.
Sejak abad XIII hukum di Inggris dengan demikian berkembang berdasarkan writs, artinya
berbasiskan tuntutan-tuntutan hukum, yang mempunyai bentuk perintah-perintah kerajaan.
Dalam kasus suatu sengketa maka bagi penggugat penting bagaimana menemukan writs yang
dapat diterapkan atas kasus yang bersangkutan.

C. Sumber-sumber Common Law


Struktur common Law terikat pada tipe-tipe writs, sehingga tidak memungkinkan adanya
pengadilan terhadap hukum Romawi sebagai hukum pelengkap.
Bagi kaum praktisi hukum ini preseden-preseden (kasus-kasus) senantiasa sangat untuk
membela kepentingan-kepentingan yang senantiasa sangat bermanfaat untuk membela
kepentingan-kepentingan yang dipercayakan kepada mereka, bahkan peristiwa bahwa seorang
advokat berhasil mengingatkan pengadilan bahwa sebelumnya ia telah menyelesaikan sebuah
sengketa di dalam arti tertentu, merupakan sebuah argumen penting untuk memenangkan sebuah
proses pengadilan.
Pada tahun 1875 hakim-hakim menurut undang-undang wajib menerapkan prinsip stare decisis
(tetap menerapkan apa yang telah diputuskan sebelumnya, artinya menjunjung tinggi preseden-
preseden peradilan). Sesungguhnya wibawa preseden-preseden ini di Inggris jauh lebih besar
daripada di Eropa continental.
Namun preseden pengadilan ini tidak bisa kita sebut sumber hukum murni. Memang demikian,
karena hakim sebagai yang pertama memutuskan perselisihan tertentu, harus mengumpulkan
sendiri elemen-elemen bagi penyusunan putusan.
Selain itu para hakim mempergunakan juga buku-buku hukum yang besar-besar , yang biasanya
disusun oleh para hakim.

D. EQUITY TERHADAP COMMON LAW (ABAD XV – XVIII)


Selama abad-abad XIV dan XV nampaknya common Law semakin teknis saja sifatnya, hal itu
terbatas pada sifat yang sempit dan kaku tentang prosedur writ di satu pihak dan rutinitas para
hakim. Dengan jalan ini, akhirnya muncul ke permukaan perselisihan-perselisihan jenis baru,
sebagai akibat perkembangan bidang ekonomi dan kemasyarakatan, dalam kerangka sifat
sempitnya common law yang sementara itu belum siap memberikan pola penyelesaian yang
cocok untuk itu.
Pemikiran untuk kembali, sebagaimana dalam abad XII dan XIII mengandalkan raja selaku
sumber semua keadilan dan kelayakan (fons iustitiae), telah menyebabkab pada abad XV
timbulnya sebuah pengadilan baru, ialah Court of Chancery pada satu sisi dan sebuah prosedur
baru pada sisi lain, yakni atas nama raja, kanselir berdasarkanequity ialah keadilan dan
kelayakan tanpa memperhatikan dan memperhitungkan aturan-aturan tradisional prosedur
common law
Equity tersebut untuk sebagian dapat dipandang sebagai sebuah pelengkap dan untuk sebagian
lagi sebagi alat koreksi Common Law. Dan dengan demikian equity ini misalnya diterapkan :
- Bilamana common law memperhatikan celah-celah yang kosong, misalnya tidak ada
writ untuk sebuah kasus tertentu, yang juga tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pergaulan hidup.
- Bilamana remedy yang disediakan oleh common law (biasanya ganti rugi) tidak
memuaskan.
- Bilamana pengadilan common law dalam mengadili orang yang terpandang di dalam
masyarakat, memberikan putusan yang tidak adil.
- Bilamana pengadilan common law tidak berwenang mengadili misalnya terhadap
kaum pedangan luar negeri.

III. TRIAL BY JURY


Suatu kespesifikan tatanan hukum Inggris adalah peranan penting yang dimainkan oleh Juri di
dalam institusi peradilan. Asal-mulanya system ini dapat ditelusuri kembali sampai periode
kedua abad XII, dengan kata lain sampai periode yang sama dengan terbentuknya common law.
Jury di dalam perkara-perkara hukum baru terbentuk pada zaman Hendrik II (1133-
1189), sebagai akibat sederetan tindakan untuk menghindari apa yang disebut “godsoordelen”
atau putusan
-putusan kehendak Tuhan atau setidak-tidaknya menghapuskannya. Pada tahun 1166 raja
misalnya telah mengeluarkan writ baru, ialah writ of novel disseisin, dimana ia memerintahkan
sherrif untuk mengumpulkan dua belas orang dari daerah tertentu untuk menerangkan di bawah
sumpah apakah pemegang kekuasaan atas sebidang tanah secara keliru dan tanpa vonis telah
mengeluarkan pihak penggugat dari tanah tersebut. Dengan demikian telah dicegah atau
dikurangi terjadi duel peradilan di dalam kebanyakan proses di sana. Hampir bersamaan dengan
hal itu maka penuntut umum di dalam perkara-perkara pidana diganti oleh sebuah jury. Jury ini,
yang kemudian disebut grand jury, terdiri dari 23 orang yang telah diangkat sumpah dari setiap
County (distrik), 12 yang diangkat sumpah dari tiap 100 orang yang harus mengajukan tuntutan
(indictment) terhadap kejahatan-kejahatan tersebut (pembunuhan, pencurian dan sebagainya)
orang-orang yang diangkat sumpah tersebut harus memutuskan berdasarkan pengetahuan mereka
sendiri atas perkara ini dan juga mengenai apa yang menjadi buah mulut orang-orang di daerah
yang bersangkutan. Mereka tidak boleh mengumpulkan bahan-bahan bukti. Hal yang disebut
terakhir ini adalah tugas sebuah jury kedua, yang disebut petty jury yang selaku demikian terdiri
dari dua belas “boni homines” (=orang laki-laki yang baik), yang diangkat sumpah dipilih dari
warga Negara setempat.
Tanpa menghiraukan kritik-kritik yang digelar secara berkesinambungan, tatanan Juty di
Inggris ini masih tetap bertahan sampai abad XX, Grand Jury atau Jury yang menyusun surat
tuntutan kesalahan untuk semua kejahatan telah dihapus pada tahun 1933 oleh Administration of
Justice Act, dan untuk semua kejahatan baru pada tahun 1948 dengan criminal Justice Act.
Di Amerika Serikat system jury diatur dengan tegas dalam undang-undang Dasar tahun
1787. Grand Jury masih dijumpai di pengadilan-pengadilan federal dan di dua puluh negara
bagian sedangkan petty jury masih terdapat hampir di mana-mana, namun di dalam perkara-
perkara perdata, mereka dapat disisihkan oleh para pihak.
IV. PERKEMBANGAN STATUTE LAW
Sesuai dengan pendapat panutan di Inggris sampai abad XVIII dan XIX, perundang-undangan
hanya menduduki tempat kedua dalam urut-urutan sumber-sumber hukum Inggris, setelah
peradilan. Act of statutes (undang-undang) dipandang sebagai kekecualian atas Common Law,
para hakim harus menafsirkan undang-undang ini secara sempit.
Pandangan ini nampaknya semakin lama terdesak dengan meluasnya peranan pembuat undang-
undang terutama dalam abad XX ini. Sedangkan Common law tetap tradisional, konservatif,
perundang-undangan lebih memperhatikan tujuan-tujuan social. Di bawah pengaruh pemerintah
Partai Buruh yang berkuasa di Inggris., secara berturut-turut, maka Negara makin lama makin
terlibat dalam permasalahan-permasalahan ekonomi dan social dalam arti perkembangan kea rah
penciptaan sebuah welfare state (Negara kesejahteraan).
Meskipun perundang-undangan di Inggris telah sejak lama dipandang hanya sebagai tambahan
pada peradilan, kendatipun susunan parlemen yang semakin lama semakin demokratis, namun
dalam abad XIX dan terutama dalam abad XX ia memperhatikan suatu ekspansi yang luar biasa.
Melalui jalur perundang-undangan (Act tahun 1832-1833 dan 1873-1875), telah diadakan
perubahan-perubahan mendasar di dalam susunan peradilan dan oleh sebab itu reformasi di
dalam hukum acara dan hubungan serta perimbangan timbal balik antara Common Law dan
Equity. Begitu pula dengan cara yang sama, terutama setelah tahun 1945, telah diberlakukan
suatu hukum sosial yang sama sekali baru, walaupun dalam jumlah yang kecil.
V. UNDANG-UNDANG DASAR DAN KODIFIKASI
Kendatipun peranan besar yang dimainkan oleh perundang-undangan, namun tetap saja Inggris
merupakan sebuah negara tanpa undang-undang dasar dan tanpa kitab undang-undang.
Constitusional Law Inggris bertumpu pada kebiasaan dan pada preseden-preseden, maupun pada
beberapa naskah undang-undang, seperti halnya beberapa ketentuan magna Charta tahun 1215,
Bill of Right tahun 1689 dan Act of Union antara Inggris dan Skotlandia (tahun 1707), Namun
sama sekali tidak ada naskah, yang di dalamnya dimasukkan keseluruhan kententuan-ketentuan
konstitusi, sebagaimana halnya undang-undang dasar Amerika Serikat dan banyak negara-negara
Eropa dan bukan Eropa.
Namun bagaimanapun juga di Inggris belum pernah terselenggara pembuatan kitab-kitab
undang-undang. Paling tidak telah disusun apa yang disebut consolidation undang-undang yang
sudah ada, antara lain di dalam periode 1852-1863 dan bebrapa materi terbatas dikodifikasikan
seperti Sale of Goods Act (tahun 1893), sejenis kodeks kontrak jual-beli, Bankruptcy Act tahun
1914, dan seterusnya. Yang dimaksud dengan kodifikasi di Inggris adalah sebuah undang-
undang, yang di dalamnya telah dikonsolidasikan bukan hanya undang-undang yang berlaku
sejak dahulu, melainkan juga Case Law. Consolidations dan Codifications dilakukan atas
prakarsa Law Commision.
VI. PENYEBARAN COMMON LAW DI DUNIA
Sadar akan keunggulan tatanan hukum mereka, orang-orang Inggris telah membawa dan sedikit
banyak dipaksakan kepada semua negara yang mereka kuasai atau yang mereka jajah, dengan
hasil yang berbeda-beda.
Banyak wilayah yang termasuk kerajaan Inggris, tetap mengakui kekuasaan hukum Inggris.
Kanada misalnya sampai tahun 1949 dan beberapa negara-negara lain; Selandia Baru, Hongkong
dan Singapura bahkan sampai sekarang menganggap majelis pengadilan tertinggi yakni Judicial
Commitee of the Privy Council, yang terdiri dari 3 sampai 5 anggota-anggota House of Lords.
Secara teknis putusan-putusan instansi ini bukanlah merupakan arrest-arrest, melainkan nasehat-
nasehat bagi pemerintah. Di Inggris sendiri mereka hanya mempunyai persuasive authority.
Bagaimanapun juga institusi ini telah berhasil menyumbangkan jasa-jasanya dalam
mempertahankan semacam kesatuan hukum antara negara-negara Common Law.

Anda mungkin juga menyukai