Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang
diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan
inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak
terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum
santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan
kemerdekaan NKRI.
Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan tata hukum Indonesia tersebut
tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia..….disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia”.
Sikap politik hukum untuk memberlakukan hukum masa sebelum kemerdekaan juga
dicantumkan dalam pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 (sebelum
diamandemen), yang menyatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Adapun ketentuan peralihan UUD RIS 1949 dimuat dalam pasal 192 yang menyatakan
“Peraturan-peraturanUndang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada
saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undan-gundang
dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini (ayat 1). Pelanjutan peraturan-
peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yan sudah ada sebagai diterangkan
dalam ayat satu hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni, persetujuan
Peralihan ataupun Persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan
kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan
dengan ketentuan-ketentuan konstitusi ini yang tidak memerlukan peraturan Undang-undang
atau tindakan-tindakan penjalankan (ayat 2)”.
Sedangkan ketentuan Peralihan UUDS 1950 tercantum dalam pasal 142 menyebutkan bahwa
“Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada
tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan
tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.
Kemudian, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali berlakunya UUD
1945, maka berdasarkan pasal II Aturan Peralihannya segala peaturanperaturan hukum yang
berlaku sebelum Dekrit Presiden masih tetap berlaku, termasuk hukum (peraturan perundang-
undangan) yang berlaku pada zaman Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan Indonesia). Hukum
atau peraturan perundang- udangan peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut antara
lain :
Empat buah Kitab undang-undang (kodifikasi) yakni R.O, A.B, B.W, W.v.K berlakunya di
Hindia Belanda pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb. 1847 23. Untuk memungkinkan
berlakunya hukum Belanda bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh Pemerintah
Hindia Belanda dikeluarkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda atau yang disebut
“Indische Staatsregeling” (I.S.) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui Stb.
1925-577.[1]
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas
konkordansi” atau asas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain
(Belanda) diberlakukan sama di tempat lain (Hindia Belanda). Asas Konkordansi (concordantie
beginsel) ini diatur dalam Pasal 131 ayat (2) Indische Staatsregeling (I.S). Maksud asas
konkordansi tersebut adalah “bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Hindia Belanda
(Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri
Belanda”.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) IS tersebut, maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda
dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk/orang Belanda di Indonesia harus
diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Jadi tidak ada perbedaan atau
diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negara Belanda dengan penduduk di
Hindia Belanda (Indonesia). Baca juga : Pembaharuan Warisan Hukum Belanda di Indonesia.
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam hukum
(perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur dalam pasal
131 dan 163 Indische Staatsregeling (I.S.). Pasal 131 I.S. berasal dari pasal 75 R.R. lama (Stb.
1855-2). RR singkatan dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands Indie
disingkat Regeringsreglemen (R.R. = Peraturan Pemerintah). R.R. lama itu akhirnya diubah
menjadi Inidische Staatsregeling (I.S.) Stb. 1925-415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb. 1925-577. Pasal 131 I.S. merupakan
dasar berlakunya B.W. dan W.v.K. di Hindia Belanda. I.S. merupakan pedoman politik hukum
pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hindia Belanda.
Ayat 2 sub. a terhadap golongan Eropa harus diberlakukan perundangundangan yang berlaku di
negara Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (asas konkordansi);
Ayat 2 sub.b terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, dapat diberlakukan
terhadap hukum Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat
menghendaki;
Ayat 3 Untuk hukum acara perdata dan acara pidana berlaku ketentuan yang sama seperti
mengenai hukum pidana;
Ayat 4 Orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, diperbolekan menundukkan diri
(onderwerpen) kepada Hukum Eropa baik sebagian atau keseluruhannya. Ketentuan dan
akibatnya diatur dengan undang-undang atau ordonansi.
Ayat 5 di daerah-daerah yang berlaku hukum adat, berdasarkan pasal ini diyatakan tidak
berlakunya ordonansi;
Ayat 6 hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing
masih tetap berlaku selama belum diatur dalam undang-undang atau ordonansi
Dalam perkembanganya kerangka pengembangan hukum yang lebih besar tertuang dalam
Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN tersebut, dapat disimpulkan adanya 2 (dua)
tahap pembangunan hukum, yaitu:
1. Tahap pembangunan hukum jangka panjang yang bertujuan mengganti tata hukum yang
sekarang dengan tata hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia
yang sedang mengalami proses pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum disini
harus mencakup segala lapangan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, baik
lapangan hukum perdata, pidana, acara dan sebagainya.
2. Tahap pembangunan hukum jangka pendek, pembangunan hukum pada tahap ini bersifat
sektoral yaitu pembangunan yang menyangkut cabang hukum tertentu.
COMMON LAW
(Rangkuman dari Buku: Prof. Dr. Emeritus John Gilisen & Prof. Dr.Emeritus Frits Gorle)
I. HAL-IKHWAL YANG BERSIFAT UMUM
COMMON LAW adalah nama yang diberikan kepada tatanan hukum yang sejak abad XII
bertumbuh-kembang di Inggris. Ungkapan Common Law telah dipergunakan sejak abad XIII
untuk menyebutkan hukum Inggris secara keseluruhan sebagai mukabalah kebiasan-kebiasan
lokal yang berlaku di daerah-daerah, kemudian orang menyebutnya sebagai Commune loy (=loi
commune) selama beberapa abad.
Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada
preseden-preseden (putusan) hakim-hakim. Dan undang-undang nampaknya hampir tidak
pengaruh terhadap evolusi common law ini.
Namun common law dalam arti yang sempit ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris,
di samping peradilan pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, ialah
hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuatan undang-undang (legislatif). Yang
disebut terakhir ini telah menjadi suatu sumber hukum penting terutama selama abad-abad XIX
dan XX.
Common Law ini tidak pernah mengalami pengaruh langsung dari hukum Romawi maupun
hukum-hukum abad pertengahan yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, justru karena ia
pada instansi pertama merupakan judge made law, yang muncul ke permukaan dari prosedur-
prosedur penuntutan hukum yang justru mempersulit pengandalan hukum Romawi sebagai
hokum pelengkap.
Ringkasnya, common law ini berbeda secara fundamental dalam perkembangannya dengan
tatanan-tatanan hukum Romanistis Eropa continental, karena:
- Common Law adalah sebuah “judge made law” sedangkan peradilan hanya
memainkan peranan yang sangat kecil di dalam pembentukan dan perkembangan
tatanan-tatanan hukum romanistis.
- Common Law adalah sebuah hukum pengadilan, yang di dalam pembentukannya
proses pengadilan memegang peraran yang besar sedangkan proses tersebut hanya
merupakan fungsi tambahan di dalam tatanan-tatanan hokum romanistis.
- Common Law ini yang hampir tidak mengalami proses romanisasi, dibandingkan
dengan tatanan-tatanan hukum Eropa continental, yang justru karenanya kita sebut
tatanan-tatanan romanistis.
- Kebiasaan-kebiasaan local tidak memainkan peranan di dalam evolusi common law,
sedangkan di Eropa continental pengaruh-pengaruh kebiasaan sampai abad XVIII
masih tetap penting.
- Perundang-undangan sampai dengan abad XIX hanya memainkan peranan yang
menunjang dalam common law, sedangkan di Eropa continental sejak abad XIII
sampai abad XIX secara berangsur-angsur menjadi sumber hukum terpenting.
- Tatanan-tatanan hukum romanistis, yang sebagian besar adalah tatanan-tatanan hukum
yang dikodifikasi, sedangkan di Inggris kitab-kitab undang-undang tetap merupakan
sesuatu yang tidak dikenal, sebagaimana hal tersebut popular di Eropa continental.