PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang Demokratis, dimana semua warga memiliki
hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi ini mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Dalam
mengimplikasikan hak memilih secara langsung yang dimiliki warga negara
Indonesia, Pemerintahan Eksekutif dan Legislatif menyelenggarakan suatu sistem
yang disebut dengan Pemilihan Umum. Pemilihan umum ini dilakukan terhadap
pemilihan Presiden, wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota dan Bupati.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal 9 Desember
2015, akan melaksanakan Pilkada serentak dikarenakan seluruh kepala daerah sudah
habis jabatannya pada tahun 2014 dan 2015. Pilkada serentak ini dilakukan di 263
Propinsi, Kota, dan Kabupaten. Pilkada ini dilakukan oleh KPU dan KIP (Aceh)
sebagai komisi penyelenggara pemilihan umum yang di percaya oleh pemerintah
untuk menyelenggarakannya dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati. Dalam UU ini menerangkan
bahwa setiap propinsi, Kota, dan Kabupaten mempunyai minimal 2 (dua) pasangan
calon kepala daerah sebagai syarat untuk dapat diselenggarakannya Pilkada langsung.
Namun ada beberapa kota hanya mempunyai 1 (satu) pasangan calon kepala daerah
1
2. Identifikasi Masalah
1. Apa penemuan hukum oleh hakim dalam putusan MK tersebut?
2. Apa yang menjadi alasan dan dasar hukum Hakim MK memutuskan untuk
mengikutsertakan calon tunggal dalam PILKADA Serentak?
3. Bagaimana mekanisme pemilihan bagi daerah daerah yang hanya mempunyai 1
(satu) pasangan calon Kepala Daerah?
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
1. NEGARA DEMOKRASI
Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin
jalannya organisasi suatu negara. Demokraasi sebagai dasar hidup bernegara memberi
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalahmasalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai kebijaksanaan
negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu
pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan
rakyat karena kedulatan berada di tangan rakyat1.
Demokrasi dalam negara hukum formal (demokrasi abad ke-19) menimbulkan
suatu gagasan tentang tata cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan
konstitusi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini dilatarbelakangi dengan isu saat
itu, bahwa masalah hak politik rakyat dan hak asasi manusia secara individu
merupakan dasar pemikiran politik dalam ketatanegaraan. Gagasan diatas pada
akhirnya dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Ciri penting
dalam negara yang menganut konstitusionalisme adalah pemerintahan yang bersifat
pasif, artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan
rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen.
Carl J. Friedrich mengemukakan konstitusionalisme adalah gagasan dimana
pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama
rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk memberikan jaminan
1
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 24.
Ibid, hlm. 26
tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penyelenggaraan negara
yang bersih tersebut, meliputi :
a. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara;
b. Asas tertib penyelenggara negara,yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan,
keserasian,
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggaraan negara;
c. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
d. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara;
e. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil
akhir
dari
kegiatan
penyelenggara
negara
harus
dapat
Ibid, hlm. 34
gagasan
daerah
membentuk
pemerintahan
daerah
sebagai
satuan
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 25
Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013, hlm. 7
dan serikat buruh amat sangat lemah, walaupun tetap tumbuh dalam kurun Orde
Baru, tatkala organisasi petani dan organisasi massa dibatasi dan perhimpunan
mahasiswa diawasi.
Dalam struktur kekuasaan seperti ini hanya sedikit tersedia ruang bagi
pembatasan kelembagaan yang hendak diterapkan oleh para pendukung negara
hukum. Selain itu tidak ada cukup kekuatan pada gabungan kaum kaum liberal untuk
memaksakan kehendaknya terhadap kemauan pihak militer dan birokrasi pusat yang
ada sekarang. Tanpa landasan ekonomi yang cukup kuat di pihak swasta yang
sanggup mandiri, yang relatif tidak tergantung kepada birokrasi, kekuatan tawar
menawar golongan menengah akan jatuh bangun secara sporadic sejalan dengan
perubahan-perubahan politik yang tidak dapat mereka kendalikan6.
3. PENGERTIAN DAN TUJUAN POLITIK HUKUM NASIONAL
Dalam rangka memahami pengertian dan tujuan dari politik hukum nasional,
kelompok kami akan berangkat pada pengertian politik secara umum.
Pengertian politik hukum nasional disini adalah dasar penyelenggara negara
(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara
(Republik Indonesia) yang dicita-citakan.
Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan : (1) sebagai suatu alat
(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki ; dan (2) dengan sistem
hukum nasional itu akan diwujdkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2014,
hlm. 363.
Sistem hukum nasional terbentuk dari istilah, sistem hukum nasional. Sistem
di adaptasi dari bahasa Yunani Systema yang berarti keseluruhan yang tersusun dari
sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts)7.atau hubungan yang
berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an
organized, functioning realationship among units or components).8 Dalam bahasa
Inggris system mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah
sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan (a Whole).9
Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila
dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang
didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri 10. Sehubungan dengan itu,
hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya
rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi
seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Republik Indonesia11.
Pentingnya pemilu yang demokratis (objektif) sebagai sarana demokrasi
dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya
representative
Istilah sistem pada mulanya hanya dipakai dikalangan ahli manajemen. Lihat William A. Shorde dan Dan Voich,
Jr.Organization and management: Basic Systems Concept( Malaysia: Irwin Book Co.,1974),hlm.115
8
Elias M. Awad. System Analysis and Design (Homewood, Illionis: Richard D.Irwin,1979,hlm.4.
9
Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, cet.VI,(Jakarta: Rajawali Pers,1996),hlm.1.
10
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 64.
11
Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
hlm. 87.
10
Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal itu dinamakan
perwakilan yang bersifat politik (political representation)12.
Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab,
karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh
dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Degnan demikian, pertanggungjawaban
merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi, walaupun
political responsibility is actually some what ambigious13.
4. STRUKTUR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam peraturan perundang-undangan, wewenang untuk menetapkan
kebijakan merupakan pengaturan (regeling), sedangkan wewenang melaksanakan
kebijakan tersebut merupakan wewenang pengurusan (bestuur). Wewenang
pengaturan adalah wewenang untuk menciptakan norma hukum tertulis yagn berlaku
umum. Adapun wewenang pengurusan adalah wewenang untuk melaksanakan dan
menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkret. Penyerahan
wewenang pengaturan dan wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu
menurut peraturan perundang-undangan disebut penyerahan urusan pemerintahan.
Pengembangan wewenang untuk membentuk kebijakan dalam daerah otonom
adalah lembaga-lembaga daerah yang keberadaannya atas dasar pemilihan. Ciri inilah
yang melatarbelakangi sehingga devolusi sebagai desentralisasi demokratis.
Desentralisasi terkadang dilihat dari devolusi, desentralisasi territorial, desentralisasi
politik, atau desentralisasi fungsional.
12
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 75.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 109.
13
11
pemerintah
12
13
Ibid, hlm. 35
14
hukum
untuk mewakilinya
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan; dan
h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan
4.2. Tugas Wakil Kepala Daerah, meliputi :
a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal
di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan
kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan,
kelurahan
dan/atau
desa
bagi
wakil
kepala
daerah
kabupaten/kota;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
15
laporan
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
kepada
16
from
central
desentralisasi
to
lokal
governments.
sesungguhnya
kata
Berdasarkan
lain
dari
perspektif
dekonsentrasi.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 175.
17
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, hlm.
26.
17
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogykarta, 2014, hlm. 102
18
bahwa
penemuan
hukum
adalah
konkretisasi,
kristalisasi,
atau
individualisasi peraturan hukum atau dsa Sollen, yang bersifat umum dengan
mengingat pristiwa konkret atau das Sein. Untuk mengetahui prosedur penemuan
hukum dapat diikuti tahap-tahap dalam pemerikasaan perkara perdata
Penggugat mengajukan gugatan yang berisi pristiwa konkret yang dijawab
oleh tergugat dalam jawabanya yang berisi pristiwa konkret pula. Sering terjadi
bahwa pristiwa konkret yang diajukan oleh tergugat dalam jawabanya ada yang sama
atau ada yang tidak sama dengan pristiwa konkret yang diajukan oleh penggugat
dalam gugatanya. Maka, hakim perlu mengetahui apa yang sekiranya menjadi
sengketa bagi kedua belah pihak. Untuk itu, diadakan prosedur jawab-menjawab
antara kedua belah pihak. Dari jawab-menjawab itu akhirnya akan diketahui oleh
hakim pristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa. Dikatakan sekiranya
karena pristiwa konkret itu masih harus dibuktikan kebenaranya 18.
18
19
BAB III
RINGKASAN PUTUSAN DAN KASUS
PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DENGAN HANYA SATU PASANGAN CALON
1. PEMOHON
1) Effendi Gazali (Pemohon I)
2) Yayan Sakti Suryandaru (Pemohon II)
Kuasa Hukum
AH. Wakil Kamal, S.H, M.H berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 5
Agustus2015
2. OBJEK PERMOHONAN
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
PemilihanGubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
menjelaskan
kewenangan
mengujiUndang-Undang adalah:
20
Mahkamah
Konstitusi
untuk
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan
Kehakiman
menyatakan,
Mahkamah
Konstitusi
2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi
dari Undang-Undang, oleh karena itu setiap ketentuan Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945 (constitutie is de hoogste wet). Dalam
hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi.
21
serta
merupakan
warga
negara
Indonesia
yang
selalu
23
hal
pasangan
calon
berhalangan
tetap
pada
saat
6. ALASAN PERMOHONAN
1) Pasal-pasal dan ayat-ayat a quo menjadi ruh dari UU 8/2015 yang kemudian
diturunkan kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun
2015;
2) Warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya hanya
memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD, mengalami perlakuan
diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum yang adil, dibandingkan
25
Daerah
dimaksud
segera
mendapat
kepastian
hukum
dan
26
7. PETITUM
1) Mengabulkan
permohonan
yang
dimohonkan
para
Pemohon
untuk
seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU
8/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU
8/2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
27
BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015
28
proses untuk mengukur prioritas mana yang lebih menarik bagi masyarakat
sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Calon tunggal dalam demokrasi non
kontestasi ini berpotensi mengaburkan pilihan-pilihan prioritas tersebut karena
ketiadaan ruang publik yang memadai untuk memperdebatkan setiap gagasan
yang dimunculkan oleh kandidat tunggal tersebut.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Akademisi
Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pilkada yang hanya
diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh terpenuhinya
syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk itu, Pilkada tidak lagi sematamata digantungkan pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada, tampak bahwa pembentuk UndangUndang ingin kontestasi Pilkada setidaknya diikuti dua pasangan calon. Namun,
pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan keluar apabila syarat paling
kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Dengan demikian, akan ada
kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut
tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan berakibat pada tidak dapat
diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah, jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo
membacakan pertimbangan hukum.
31
3. Mekanisme Pemilihan
Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pilkada dapat
dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat
paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah
32
melaksanakan ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat
(9) UU Pilkada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan Pasal
50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pilkada (untuk pemilihan Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).
Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada satu
pasangan calon, maka dilakukan proses untuk meminta kepada rakyat (pemilih)
untuk menyatakan Setuju atau Tidak Setuju dalam surat suara, terhadap calon
tunggal tersebut. Apabila pilihan Setuju memperoleh suara terbanyak maka
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan
Tidak Setuju memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai
Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.Penundaan demikian tidaklah
bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah
memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara Tidak Setuju tersebut,
jelas Suhartoyo.
Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU
Pilkada yang menyatakan, KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari
setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)harus
dimaknai termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari
dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan Calon
33
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur. Pemaknaan yang sama juga berlaku
untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali pendaftaran
calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota. Demikian juga dengan pasal terkait lainnya, yakni Pasal 51 ayat
(2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada.
Namun, Putusan nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat
berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya, keberadaan Calon
tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi
hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak
untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan adanya calon
tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).
Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara yang
berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga
Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil
Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua
permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai argumentasi tentang kerugian
hak konstitusional para Pemohon didasarkan pada keadaan aktual pada saat
permohonan diajukan, yaitu tidak adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon
Walikota dan calon Wakil Walikota Surabaya. Namun, saat permohonana
quo diputus, keadaan sebagaimana didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat
paling sedikit 2 (dua) pasangan calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana
34
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya yang tertuang
dalam
Keputusan
KPU
Kota
Surabaya
Nomor
36/Kpts/KPU-Kota-
35
BAB V
KESIMPULAN
???
36
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan
Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH),
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991.
Daniel S. Lev., Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2013.
Elias M. Awad. System Analysis and Design, Homewood, Illionis : Richard
D.Irwin,1979.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara
DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.
Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum
Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998.
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma
Pustaka, Yogykarta, 2014.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, Cetakan keempat, Rajawali Pers,
Jakarta,1996.
37
38