Anda di halaman 1dari 148

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA WASIAT YANG

TIDAK DIDAFTARKAN PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

NOTARY RESPONSIBILITY OF DUE WILLS NOT REGISTERED ON


THE LIST OF WILLS

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Stau Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister
Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya

Oleh :
FANNY YULIA PUTRI
2017010461011

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA WASIAT YANG


TIDAK DIDAFTARKAN PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

NOTARY RESPONSIBILITY OF DUE WILLS NOT REGISTERED ON


THE LIST OF WILLS

Tesis

Telah disetujui oleh Pembimbing Pada Tanggal Seperti Tertera Dibawah Ini
Untuk Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Progrm Studi Magister
Kenotariatan Pascasarjana Universitas Jayabaya

FANNY YULIA PUTRI


2017010461011

Jakarta, 14 Januari 2020

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Udin Narsudin, SH., SpN., MHum Dr. H. Dhody AR.Widjajaatmadja, SH., SpN

Ketua Program
Magister Kenotariatan

Dr. Udin Narsudin, SH., SpN., MHum

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister, baik di Universitas Jayabaya maupun
di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpanan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di Perguruan Tinggu ini.

Jakarta, November 2019


Yang Membuat Pernyataan,

FANNY YULIA PUTRI


2017010461011

iii
ABSTRAK

A. Nama : Fanny Yulia Putri NPM:2017010461011

B. Judul Thesis : TANGGUNGJAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA

WASIAT YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA

DAFTAR PUSAT WASIAT

C. Jumlah halaman : + 133 halaman

D. Kata Kunci : Pendaftaran Wasiat

E. Isi Abstrak :

Kondisi di mana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya
wasiat pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat merugikan
penerima wasiat dan menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris akibat
hilangnya kepastian hukum dari pembagian warisan sebelumnya. Kondisi ini
juga menimbulkan ketidakpastian akan siapa yang bertanggung jawab atas
masalah tidak diketahuinya adanya wasiat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang
diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier. Untuk analisis data dilakukan dengan metode analisa
kualitatif normatif.
Hasil penelititian menunjukan bahwa Undang-undang memberikan
perlindungan dan jaminan kepada ahli waris tertentu (legitimaris) untuk
memperoleh bagian tertentu dari warisan pewaris. Oleh karena itu, legitimaris
yang terlanggar haknya dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan. Wasiat dapat dibatalkan apabila pihak yang
mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan,
pembuatan suatu akta harus memenuhi tiga unsur yaitu lahiriah, formal,
materiil atau salah satu unsur tersebut tidak benar yang dapat menimbulkan
perkara perdata yang kemudian dapat dibuktikan kebenarannya.

F. Daftar acuan :71, terdiri atas : 60 buku, 1 tesis, 6 website, 4 peraturan


perundang-undangan

G.Pembimbing : 1. Dr. Udin Narsudin, SH., SpN., MHum


2. Dr. H. Dhody AR.Widjajaatmadja,SH., Spn

iv
ABSTRACT
A. Name : Fanny Yulia Putri NPM: 2017010461011
B. Thesis Title : NOTARY RESPONSIBILITY OF DUE WILLS NOT
REGISTERED ON THE LIST OF WILLS
C. Number of pages : + 133 pages
D. Keywords : Probate Registration
E. Abstract Content :
Conditions in which the heirs and testamentaries are not aware of the will
at the time of the opening of the will is certainly very detrimental to the recipient
of the will and causes discomfort to the heir due to the loss of legal certainty from
the distribution of the previous inheritance. This condition also raises uncertainty
as to who is responsible for the problem of not knowing the will.
The method used in this study is normative juridical research conducted in
an effort to obtain the data needed in connection with the problem. The data used
are secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal
materials and tertiary legal materials. Data analysis was performed using
normative qualitative analysis methods.
Research results show that the law provides protection and guarantees for
certain heirs (legitimaries) to obtain certain parts of the inheritance's heirs.
Therefore, legitimate rights violated can take legal action in the form of bringing
a civil claim to court. A will can be canceled if the party that argues can prove it
in court in court, because the making of a deed must fulfill three elements, namely
outward, formal, material or one of the elements is not true that can lead to civil
cases which can then be verified.
F. List of references : 71, consisting of: 60 books, 1 thesis, 6 websites, 4
laws and regulations
G. Guidance : 1. Dr. Udin Narsudin, SH., SpN., MHum
2. Dr. H. Dhody AR.Widjajaatmadja, SH., Spn

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah

dan rahmat hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini denga

judul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA WASIAT

YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA DAFTAR PUSAT WASIAT“ yang

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

(M.Kn) pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas

Jayabaya.

Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah

diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun

demikian Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Jakarta, September 2019

Penulis

FANNY YULIA PUTRI

vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBARAN PENGESAHAN...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN...................................................... iii
ABSTRAK....................................................................................................... iv
ABSTRACT...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 12
D. Kegunaan Penelitian................................................................... 13
E. Kerangka Pemikiran................................................................... 13
F. Metode Penelitian....................................................................... 21
1. Metode Pendekatan............................................................. 21
2. Spesifikasi Penelitian.......................................................... 22
3. Sumber Data........................................................................ 22
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................. 24
5. Metode Analisis Data.......................................................... 25
6. Lokasi Penelitian................................................................. 25
7. Keaslian Penelitian.............................................................. 26

BAB II KEWENANGAN NOTARIS DAN PEMBUATAN AKTA WASIAT


A. Tinjauan Umum Tentang Notaris............................................... 29
1. Sejarah Notaris.................................................................... 29
2. Pengertian Notaris............................................................... 33
.............................................................................................
3. Syarat-Syarat Diangkatnya Notaris..................................... 39
.............................................................................................
4. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris................ 42
5. Tanggung Jawab Notaris..................................................... 47
6. Notaris Sebagai Pejabat Umum.......................................... 49
7. Kode Etik Notaris................................................................ 53
8. Sanksi Notaris..................................................................... 59
B. Akta Wasiat................................................................................ 61
1. Tinjauan Umum Tentang Akta............................................ 61
2. Tinjauan Umum Tentang Wasiat Menurut KUHPerdata.... 64
C. Batasan Wasiat Menurut KUHPerdata....................................... 85
D. Tata Cara Pendaftaran Wasiat.................................................... 88

vii
BAB III PELAKSANAAN PEMBUATAN WASIAT DIHADAPAN
NOTARIS
A. Tata cara pelaksanaan pembuatan wasiat dihadap Notaris....... 90
B. Konsep Keterangan Ahli Waris Yang Dibuat Oleh Notaris..... 92
C. Deskripsi Putusan Mahkamah Agung No: 320K/PDT/2013..... 96

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA WASIAT


YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA DAFTAR PUSAT
WASIAT
A. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Wasiat Yang Tidak
Didaftarkan Pada Daftar Pusat Wasiat....................................... 105
B. Perlindungan Hukum Bagi Legitimaris Terhadap Akta Wasiat Yang
Tidak Didaftakan Ke Daftar Pusat Wasiat................................. 120

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 132
B. Saran........................................................................................... 133

DAFTAR BACAAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan suatu ketentuan yang

mengatur pembuktian terjadinya suatu peristiwa, keadaan atau perbuatan

hukum sehingga dalam hukum keperdataan dibutuhkan peran penting akta

sebagai dokumen tertulis atas terjadinya sebuah peristiwa, keadaan, atau

perbuatan hukum tersebut yang menjadi dasar dari suatu hak.

Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pejabat umum dan/atau sebuah

lembaga yang diberikan wewenang untuk membuat Akta Otentik. Profesi

Notaris timbul karena adanya kebutuhan masyarakat yang membutuhkan

suatu alat bukti mengenai hubungan keperdataan diantara sesama masyarakat.

Notaris merupakan profesi hukum yang sangat mulia dikarenakan

profesi Notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan, dan pejabat

yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau

oleh yang berkepentingan, dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta

autentik. Sebagai pejabat umum Notaris dalam melaksanakan tugasnya harus

bertindak berdasarkan etika. Etika yang dimaksud adalah Kode Etik Notaris

untuk menjalankan pekerjaannya secara professional, bermoral dengan

motivasi dan berorientasi pada keterampilan intelektual dengan argumentasi

rasional dan kritis.1


1
Budi Untung, 22 Karakter Pejabat Umum (Notaris Dan PPAT) Kunci Sukses Melayani,
(Yogyakarta : Cv. Andi Offset, 2015), hlm. 39.

1
2

Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut antara lain

bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya

alat bukti yang mementukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang

sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Akta otentik sebagai alat bukti

terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan

hukum dalam kehidupan masyarakat, baik bisnis, perbankan, kegiatan social,

pewarisan dan lain-lain.

Dalam bukunya Sudarsono mendefinisikan notaris sebagai orang yang

mendapat kuasa dari pemerintah untuk mengesahkan dan menyaksikan

berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya berdasarkan

Petunjuk Pemerintah (Departemen Kehakiman)3

Salah satu unsur penting dari pengertian Notaris adalah Notaris

sebagai “pejabat umum”. Hal ini berarti bahwa kepada Notaris diberikan dan

dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum yang menjangkau

publik (openbaar gezag). Sebagai pejabat umum Notaris diangkat oleh

Negara/Pemerintah dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum,

walaupun Notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari

Negara/Pemerintah, Notaris di pensiunkan oleh Negara/Pemerintah tanpa

mendapat pensiunan dari pemerintah.4

Dalam melaksanakan tidak menutup kemungkinan akta otentik dapat

mengandung cacat hukum. Untuk menghindari cacat hukum, Notaris

menggunakan dua indikator yaitu:


2
Udin Narsudin, Keterangan Waris, cet. 1, (Jakarta: Gawang Persada Press, 2016), hlm. 187.
3
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta:Bineka Cipta), 1992, hlm. 307.
4
G. H. S Lumban Tobing, Op., Cit., hlm 31.
3

1) Pasal 15 ayat 2 huruf e UUJN, Notaris mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyuluhan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya.

2) Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN, Notaris wajib menolak membuat akta jika

keterangan dan atau data-data formal yang disampaikan bertentangan

dengan aturan hukum.

Notaris adalah pejabat umum, diangkat dan diberhentikan oleh suatu

kekuasaan umum, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia. Notaris sebagai pejabat umum bertugas untuk memberikan

pelayanan kepada anggota masyarakat yang memerlukan jasanya dalam

pembuatan alat bukti tertulis, khususnya berupa akta autentik dalam bidang

Hukum Perdata. Keberadaan Notaris merupakan pelaksanaan dari hukum

pembuktian.5

Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup

kehidupan manusia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya

seseorang maka akan muncul suatu akibat hukum, yaitu tentang bagaimana

kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal

dunia. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang

sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang

diatur dalam hukum kewarisan.

Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda6, Hukum

waris juga mngatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan

5
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan Buku Kedua,
(Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 220.
6
H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm
82.
4

seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli warisnya, pada

asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum

kekayaan/harta benda saja yang dapat diwariskan.7 Karena wafatnya

seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

si pewaris dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang

memperolehnya. Pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si

pewaris pada dasarnya diberikan kepada keluarga tapi juga tidak menutup

kemungkinan adanya pemindahan harta kekayaan tersebut kepada pihak

ketiga. Karena itu hukum waris merupakan kelanjutan hukum benda, tetapi

juga mempunyai segi hukum keluarga.

Terdapat aneka hukum waris yang berlaku bagi warga negara

Indonesia, dalam pengertian bahwa di bidang hukum waris dikenal adanya

tiga macam hukum waris, yaitu:8

1. Hukum Waris Barat, tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

2. Hukum Waris Islam, merupakan ketentuan Al-quran dan Hadist.

3. Hukum Waris Adat, beraneka ragam tergantung di lingkungan mana

masalah warisan itu terbuka.

Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan

ketika terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Untuk

memahami pembahasan hukum waris, tentunya istilahistilah tersebut perlu

diketahui dan dimengerti, yaitu:


7
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakrta:PT. Rajagrafindo Persada,1997), hlm.3.
8
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir Jaya,
1992), hlm 7.
5

1. pewaris ialah orang yang meninggal dunia, meninggalkan harta

kekayaan.9Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.10

2. Ahli waris ialah anggota keluarga pewaris (orang yang meninggal dunia)

atau mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris yang

menggantikan kedudukan pewaris atau memperoleh hak dan kewajiban

pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya ahli waris.11

Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan terbukanya

warisan dan sebagai konsekuensinya seluruh kekayaan (baik berupa aktiva

maupun pasiva) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih

dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama.12

Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan

penentuan siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut,

menentukan besar bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta

langkah selanjutnya penyelesaian pembagian harta warisan yang dilaksanakan

dengan kesepakatan para pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan

tersebut. Pihak yang berhak dalam pembagian harta warisan atau harta

peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan orang-orang yang

berhak menerima harta warisan (harta pusaka). Ahli waris dalam waris

9
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata, Asas asas Hukum Waris, (Jakarta, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hlm 1.
10
Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
11
Ibid.
12
Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2011), hlm 5.
6

perdata ada dua pembagian, yaitu ahli waris karena undang-undang (ab

intestato) dan ahli waris karena wasiat (testamentair).13

Dalam hukum perdata, wasiat merupakan sesuatu yang penting,

karena perselisihan di antara para ahli waris terkait harta warisan dapat

dihindarkan dengan adanya pesan terakhir. Dengan wasiat, pewaris dapat

menentukan siapa saja yang akan menjadi ahli waris. Dengan wasiat dapat

juga warisan itu diperuntukkan kepada seseorang tertentu, baik berupa

beberapa benda tertentu atau sejumlah benda yang dapat di ganti. Wasiat atau

testament yang berisi sebagian atau seluruh harta kekayaan, hanyalah janji

dari pembuat testament kepada penerima testament. Janji itu baru bisa

dilaksanakan setelah pembuat testament itu meninggal dunia.

Pada pelaksanaannya, pembuatan bukti sebagai ahli waris juga

berkaitan dengan kewenangan Notaris. Sebagaimana diketahui bahwa Notaris

dalam hal ini merupakan salah satu pihak yang berwenang untuk membuat

keterangan waris. Surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris adalah

akta-akta yang dibuat oleh ataupun dihadapan Notaris adalah akta otentik,

sebagaimana keotentikan suatu akta diatur dalam pasal 1868 KUHPerdata.

Surat keterangan waris untuk golongan penduduk non pribumi dalam pasal

11 (Ayat 1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dibuat oleh

Notaris dalam bentuk akta.

13
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University Press,
2000), hlm 4.
7

Ahli waris menurut wasiat ini diatur di dalam Pasal 874 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, setiap orang yang diberi wasiat secara sah

oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang

mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling (penunjukkan satu atau

beberapa ahli waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan);

legataris yaitu ahli waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk

seseorang untuk mendapat berapa hak atas satu atau beberapa macam harta

waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut

hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.

Menurut Pasal 938-939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata wasiat

dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi dan

notaris harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-

kata yang jelas menurut apa adanya yang disampaikan oleh pewaris

kepadanya.

Bila pewaris hendak membuat surat wasiat tertutup atau rahasia,

terlebih dahulu harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika

pewaris sendiri yang menulisnya ataupun jika pewaris menyuruh orang lain

menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang

dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel.14

Mewaris berdasarkan Undang-undang terdapat bagian mutlak

(legitime portie) yaitu semua bagian dari harta penginggalan yang harus

diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang0undang,

14
R. Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta:Pradnya
Paramita,2008), Pasal 940.
8

terdapat bagian mana si yang meninggal dunia tidak diperbolehkan

menetapkan sesuatu baik selaku pembagian antara yang masih hidup maupun

selaku wasiat.15

Undang undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan

kedudukan hukum seseorang yang meninggal, seapat mungkin disesuaikan

dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang undang memiliki

prinsip seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta

kekayaan setelah meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak

menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang terjadi terhadap harta

kekayaannya maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan

menentukan perihal pengaturan harta kekayaan seseorang tersebut.

Hukum memperoleh sipemilik harta memberikan hartanya menurut

keinginannya sendiri dimana hal ini menyimpang dari ketentuan hukum

waris, ini adalah wajar sebab pada prinsipnya seorang pemilik harta bebas
16
memperlakukan hartanya sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu

setiap orang berhak mengwasiatkan harta peninggalannya.

Pewaris juga harus menyampaikannya dalam keadaan tertutup dan

disegel kepada notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus

menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa

wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan

ditandatangani olehnya.

15
Ibid, hlm,210
16
Oemarsalim, Dasar dasar hokum waris di Indonesia (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2006) hlm 82.
9

Notaris harus membuat akta penjelasan mengenai hal itu, yang ditulis

di atas kertas atau sampulnya, akta ini harus ditandatangani baik oleh pewaris

maupun oleh notaris serta para saksi, dan bila pewaris tidak dapat

menandatangani akta, penjelasan itu karena halangan yang timbul setelah

penandatanganan wasiatnya, maka harus disebutkan sebab halangan itu.

Dalam menjalankan jabatannya, seorang notaris berkewajiban untuk

membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu

pembuatan akta setiap bulan, mengirimkan daftar akta wasiat atau daftar nihil

yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang

tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima)

hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya, serta mencatat dalam

repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. Namun

di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru tidak meyebutkan

mengenai denda dari tiap-tiap keterlambatan, baik keterlambatan tentang

daftar akta wasiat kepada Balai Harta Peninggalan dan keterlambatan tentang

pengiriman pencatatan repertorium.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan akta

wasiat (testament acte) notaris mempunyai peran yang sangat penting. Dari

pasal 943 KUHPerdata mengatur bahwa : “Setiap notaris yang menyimpan

surat-surat testament di antara surat-surat aslinya, biar dalam bentuk apapun

juga harus setelah si pewaris meninggal dunia, memberitahukannya kepada

yang berkepentingan.”
10

Terdapat beberapa macam wasiat (testament), yaitu testament terbuka

atau umum (openbaar testament), testament tertulis (olographis testament),

dan testamen tertutup atau rahasia. Selain itu, ada pula yang disebut dengan

codicil.

Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, maka bantuan

notaris dari awal hingga akhir proses pembuatan akta wasiat (testament acte)

sangat diperlukan sehingga memperoleh kekuatan hukum yang mengikat.

Tanggungjawab notaris dalam pembuatan akta wasiat (testament acte)

mencakup keseluruhan dari tugas, kewajiban, dan wewenang notaris dalam

menangani masalah pembuatan akta wasiat (testament acte), termasuk

melindungi dan menyimpan surat-surat atau akta-akta otentik.

Wasiat (testament) juga merupakan perbuatan hukum yang sepihak.

Hal ini erat hubungannya dengan sifat “herroepelijkheid” (dapat dicabut) dari

ketetapan wasiat (testament) itu. Disini berarti bahwa wasiat (testament) tidak

dapat dibuat oleh lebih dari satu orang karena akan menimbulkan kesulitan

apabila salah satu pembuatnya akan mencabut kembali wasiat (testament).

Hal ini seperti ternyata dalam pasal 930 KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa :

“Dalam satu-satunya akta, dua orang atau lebih tak diperbolehkan


menyatakan wasiat mereka, baik untuk mengaruniai seorang ke tiga, maupun
atas dasar penyataan bersama atau bertimbal balik.”

Ketetapan dalam wasiat (testament) memiliki 2 (dua) ciri, yaitu dapat

dicabut dan berlaku berhubung dengan kematian seseorang.17 Bagi ketetapan

17
Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, Seksi Notariat Fakultas Hukum, Cetakan
ke-1 (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1982,) hlm. 4.
11

kehendak yang memiliki dua ciri itu maka bentuk testamen adalah syarat

mutlak.

Salah satu yang menjadi suatu masalah dalam pembuatan akta wasiat,

yakni pada umumnya dalam proses pembuatan wasiat, pemberi wasiat sering

kali tidak memberitahu kepada ahli warisnya ataupun kepada penerima wasiat

akan adanya wasiat yang dibuat oleh pemberi wasiat. Tidak adanya kewajiban

bagi pemberi wasiat untuk memberitahukan adanya wasiat yang akan dia buat

menjadikan pemberi wasiat dapat langsung menghadap ke notaris untuk

membuat atau sekedar menyimpan dan mendaftarkan akta wasiatnya.

Akibatnya setelah terbukanya warisan, seringkali ahli waris dan penerima

wasiat tidak mengetahui adanya wasiat itu. Kemungkinan ini menimbulkan

permasalahan tersendiri dalam hukum kewarisan terutama apabila, sudah

dilaksanakannya pembagian warisan secara ab intestato sedangkan di

kemudian hari terdapat wasiat yang dibuat oleh pewaris atau pemberi wasiat

kepada seseorang penerima wasiat.

Kondisi di mana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui

adanya wasiat pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat

merugikan penerima wasiat dan menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris

karena hilangnya kepastian hukum dari pembagian warisan sebelumnya.

Kondisi ini juga menimbulkan ketidakpastian akan siapa yang bertanggung

jawab atas masalah tidak diketahuinya adanya wasiat, apakah ahli waris yang

berkewajiban memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat ataukah

menjadi kewajiban setiap pelaksana hukum pembuat surat keterangan ahli


12

waris memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat, karena tidak ada

keharusan yang tegas secara normatif terkait siapa yang diwajibkan

memeriksa adanya sebuah wasiat.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk mengkaji

dalam bentuk thesis dengan judul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS

TERHADAP AKTA WASIAT YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA

DAFTAR PUSAT WASIAT”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta wasiat yang tidak

didaftarkan pada Daftar Pusat Wasiat?

2. Bagaimana kepastian hukum bagi legitimaris terhadap akta wasiat yang

tidak didaftakan ke Daftar Pusat Wasiat?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab Notaris terhadap

akta wasiat yang tidak didaftarkan pada Daftar Pusat Wasiat.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang kepastian hukum bagi

legitimaris terhadap akta wasiat yang tidak didaftakan ke Daftar Pusat

Wasiat.

D. Kegunaan Penelitian

Dari tujuan-tujuan diatas, maka diharapkan Penelitian, Penulisan dan

pembahasan Penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat

baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tidak terpisahkan,

yaitu:
13

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan di

bidang kenotariatan dan memperjelas mengenai Tanggung Jawab Notaris

terhadap akta wasiat yang melanggar Legitime Portie (bagian mutlak).

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

memberikan informasi sekaligus sebagai pemecahan atau jalan keluar

untuk masalah-masalah yang timbul mengenai Tanggung Jawab Notaris

terhadap akta wasiat yang melanggar Legitime Portie (bagian mutlak)

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran atau teori adalah untuk menerangkan atau

menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, kemudian

teori ini harus diuji dengan menghadapkan fakta-fakta yang menunjukkan

ketidakbenaran, guna menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun

sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis.18Adapun

kerangka teori yang akan dijadikan landasan untuk menjawab rumusan

masalah dalam penulisan tesis ini adalah teori Tanggung Jawab dan teori

Kepastian Hukum.

1. Teori Tanggung Jawab

Pertanggung jawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat

hukum yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggung jawaban yang

bisa dikenakan terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pidana,

18
Otje Salman dan anton F Susanto, 2004, Teori Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka
Kembali, Refika Aditama Press, Jakarta, hlm. 21.
14

administrasi dan perdata. Pertanggungjawaban secara pidana dijatuhi

sanksi pidana, pertanggungjawaban administriasi dijatuhi sanski

administrasi, dan pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanski perdata. Itu

merupakan konsekuensi dari akibat pelanggaran kelalaian yang dilakukan

oleh notaris dalam proses pembuatan Akta Otentik. Pada dasarnya setiap

bentuk pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu

mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu.

Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat

dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (public) maupun dalam ranah

Hukum Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum

Pidana mauapun melawan Hukum Perdata. Perbuatan melawan hukum

tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-

undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan

dengan undang undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan

hukum yang tidak tertulis. Kettentuan perundang-undangan dari

perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan

ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.19

Hans Kelsen menyatakan bahwa :20

“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum

disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang

sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras

19
Rosa Agustina, 2003, Pebuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia,
hlm 14.
20
Hans Kelsen (a), 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and
State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif Empirik, (Jakarta: BEE Media Indonesia), hlm. 81.
15

kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan

atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari:21

1) Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung

jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2) Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang

lain;

3) Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa

seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang

dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan

menimbulkan kerugian;

4) Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.

Roscoe Pound termasuk salah satu pakar yang banyak

menyumbangkan gagasannya tentang timbulnya pertanggung

jawaban. Melalui pendekatan analisis kritisnya, Pound meyakini

bahwa timbulnya pertanggung jawaban karena suatu kewajiban atas

kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain. Pada sisi lain Pound

melihat lahirnya pertanggung jawaban tidak saja karena kerugian yang

ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu kesalahan.

21
Ibid, Hans Kelsen, hlm. 83.
16

Jabatan umum Notaris dibentuk tidak lain dan tidak bukan adalah

kehendal dari Negara dan melalui aturan hokum untuk melayani

masyarakat dalam memberikan kepastian hokum khususnya dalam

bidang hokum perdata yang secara khusus diatur dalam Undang

Undang Jabatan Notaris. Sehingga Jabatan Notaris merupakan salah

satu organ Negara atau alat perlengkapan Negara yang menjalankan

sebagian fungsi Negara dalam melayani masyarakat umum dengan

kewenangan yang ada padanya. Menut sistim hokum di Indonesia,

Notaris adalah Organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan

hokum untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat

umum, khususnya dalam pembuatan Akta Otentik sebagai alat bukti

yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum dibidang

keperdataan saja. Notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat

akta otentik, sehubungan dengan kewenangan tersebut notaris dapat

dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta

otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau

dilakukan secara melawan hukum. Pertanggung jawaban ini

merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat

dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung segala

akibat dari perbuatan yang dilakukan.

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai

liability dan responsibility, istilah liability menunjuk pada

pertanggungjawaban hukum yaitu tanggunggugat akibat kesalahan yang


17

dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk

pada pertanggungjawaban politik.Teori tanggung jawab lebih menekankan

pada makna tanggung jawab yang lahir dari ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan sehingga teori tanggungjawab dimaknai dalam arti

liabilty,sebagai suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum

seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu

bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya

bertentangan dengan hukum.

Dalam penyelenggaraan suatu Negara dan pemerintahan,

pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati

dengan kewenangan, dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan

inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan

prinsip umum; “geen bevegdedheid zonder verantwoordelijkheid; there is

no authority without responsibility; la sulthota bila mas-uliyat”(tidak ada

kewenangan tanpa pertanggungjawaban).22

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,

yaitu :23

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah

melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat

22
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persad, 2016), hlm. 352.
23
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Citra Aditya Bakti, 2010) hlm. 336.
18

atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan

mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum

yang sudah bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada

perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Fungsi teori pada penulisan tesis ini adalah memberikan arah/petunjuk

serta menjelaskan gejala yang diamati, oleh karena itu penelitian diarahkan

kepada hukum positif yang berlaku yaitu tentang: tanggung jawab Notaris

terhadap kewajiban pembacaan akta dalam pembuatan akta, dengan dasar

teori tanggung jawab menjadi pedoman guna menentukan bagaimana

kedudukan dan tanggungjawab Notaris.

2. Teori Kepastian Hukum

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman

secara normatif kepada aturan hukum yang terkait dengan segala tindakan

yang akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam sebuah akta.

Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan

kepada pihak, bahwa akta yang dibuat di “hadapan” atau “oleh” Notaris
19

telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi

permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.24

Menurut pendapat Radbruch:25 Pengertian hukum dapat dibedakan

dalam tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada

pengertian hukum yang memadai, aspek pertama ialah keadilan dalam arti

sempit, keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan

peradilan, aspek kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini

menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai, aspek ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas,

aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan.

Tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum demi

adanya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Menurut Soerjono

Soekanto:26 kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-

peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum, supaya tercipta

suasana yang aman dan tentram di dalam masyarakat.

Kepastian hukum dapat dicapai apabila situasi tertentu:26

1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah

diperoleh (accessible);

2) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat tersebut;

24
Habib Adjie (a), 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hlm. 37.
25
Heo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kasius,
hlm.163.
26
Jan Michael Otto, 2003, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam
Moeliono, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional), hlm. 25.
20

3) Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-

aturan tersebut;

4) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu-waktu mereka

menyelesaikan sengketa;

5) Keputusan peradilan secara kongkrit dilaksanakan.

Dalam hal Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat

akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, akta

Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-

Undang, hal ini merupakan salah satu karakter dari akta Notaris. Bila akta

Notaris telah memenuhi ketentuan yang ada maka akta Notaris tersebut

memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada (para) pihak

mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan ketaatannya Notaris

menjalankan sebagian kekuasaan Negara dalam bidang hukum perdata

untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukan alat bukti

berupa akta autentik yang mempunyai kepastian hukum yang sempurna

apabila terjadi permasalahan.27

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab

secara normatif, bukan sosiologis, kepastian hukum secara normatif adalah

ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan

keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem

27
Habib Adjie (a), Op, Cit., hlm. 42.
21

norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan

konflik nor

F. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu proses atau tata cara untuk mengetahui

masalah melalui langkah – langkah yang sistematis. Sedangkan penelitian

merupakan sarana yang dipergunakan manusia untuk memperkuat, membina

serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut dapat

dikemukakan bahwa metode penelitian adalah suatu tata cara yang digunakan

untuk menyelidiki sesuatu dengan hati – hati dan kritis guna memperkuat,

membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan melalui langkah – langkah

yang sistematis.

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu metode yang mempergunakan data

sekunder sebagai data utama, yang didasarkan pada, Undang - Undang

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor 320K/PDT/2013).

Menurut Soerjono Sokanto, Pendekatan Yuridis Normatif yaitu

Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara

mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-

literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Spesifikasi Penelitian
22

Berdasarkan judul dan identifikasi masalah, spesifikasi penelitian dalam

skripsi ini adalah termasuk deskriptif analitis, yaitu menggambarkan

peraturan perundang – undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori –

teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu tentang

Tanggung jawab notaris terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan pada

Daftar Pusat Wasiat yang pelaksanaannya di hubungkan dengan

peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia

3. Sumber Data

a. Data Sekunder

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan

ciri-ciri data tersebut sudah dalam keadaan siap dibuat dan dapat

dipergunakan dengan segera serta bentuk dan isi data sekunder telah

dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu sehingga peneliti

kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan,

pengolahan, analisa, maupun konstruksi data.

Data sekunder terbagi atas :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu norma atau kaedah dasar seperti

Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan

Perundang-undangan yang meliputi Undang-undang, Peraturan

Pemerintah, dan Peraturan Menteri. Dalam tesis ini, bahan hukum

primer meliputi Kitab Undang-undang Hukum Perdata


23

(KUHPerdata),Putusan Mahkamah Agung Nomor 320K/Pdt/2013

dan lain sebagainya.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Terkait dengan tesis

ini, bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, jurnal hukum,

karangan ilmiah, data resmi pemerintah tentang Penghibahan,

Waris, Wasiat, Warisan, dan lain sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus, bahan dari internet, dan lain-

lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

meliputi Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus

Bahasa Inggris, Ensiklopedia, dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum merupakan suatu proses pengaduan data,

untuk keperluan penelitian. Adapun teknik pengumpul data yang

digunakan dalam penelitian adalah:

a. Penelitian kepustkaan (Library Research)

Metode ini digunakan sebagai alat pengumpul data, untuk

membantu mempelajari permasalahan yang dihadapi penliti dengan

membandingkan antara buku-buku kepustakaan atau literature


24

dengan data yang diperoleh dari penelitian. Penulis melakukan

penelitian terhadap dokumen yang erat kaitannya, dengan objek

penelitian yang berhubungan dengan tanggung jawab Notaris

terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan pada Daftar Pusat

Wasiat ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tersebut, untuk mendapatkan landasan teoritis, dan untuk

memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan data

resmi mengenai masalah yang diteliti

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Metode penelitian lapangan dilakukan untuk dapat melihat dalam

arti nyata, serta meneliti bagaimana bekerjanya hukum disuatu

lingkungan masyarakat dengan mengumpulkan data yang

diperlukan, dalam hal ini yang berkaitan dengan tanggung jawab

Notaris terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan pada Daftar

Pusat Wasiat ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tersebut. Maka diperlukan pengumpulan data-data, atau

dengan melakukan wawancara langsung dan terbuka dengan

responden.

5. Metode Analisis Data

Analisis menurut Otje Salman S. dan Anthon F. Susanto, yaitu

“Analisis yang dianggap sebagai analisis hukum apabila analisis yang

logis (berada dalam logika sistem hukum) dan menggunakan term yang

dikenal dalam keilmuan hukum.28


28
Otje Salman S dan Anthon F Susanto, op cit, hlm. 13.
25

Menurut Soerjono Soekanto adalah Analisis dapat dirumuskan

sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap

gejala – gejala tertentu.29

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari penelitian yang sudah

terkumpul disini Penulis sebagai instrumen analisis, yang akan

menggunakan metode analisis Deskriptif – Kualitatif. Yaitu dengan cara

menguraikan hasil penelitian dalam bentuk kalimat secara terperinci dan

sistematis kemudian dilakukan interpretasi data yaitu mengartikan kata

yang tersusun tersebut, sehingga pembahasan ini akan menuju

kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diajukan.

6. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan

1. Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Jayabaya Jakarta, Jalan

Pulomas Kav. 23 Jakarta.

2. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Gedung Crysof

Knowledge Kampus UI, Pondok Cina, Kota Depok.

7. Keaslian penelitian

Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya

plagiarism antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang

dilakukan. Sepengetahuan penulis,penelitian yang pernah dolakukan

tentang topic yang relative sama dengan yang ingin penulis tulis tersebut,

29
Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1982),
hlm 30.
26

tetapi pada dasarnya terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya

yaitu:

1. Tesis yang berjudul “Analisis Yuridis Akta Keterangan waris yang

dibuat oleh Notaris dalam ketentuan Pembuatan Akta Otentik

Berdasarkan UUJN No. 2 tahun 2014” oleh Mia Indriani, Mahasiswa

Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Adapun yang menjadi

substansi penulisan tesis ini adalah Menganalisa secara yuridis akta

keterangan waris yang dibuat oleh Notaris sesuai pembuatan akta

berdasarkan UUJN. Perbedaannya dalam penulisan tesis ini yaitu

peneliti lebih menitik beratkan pada tanggung jawab Notaris sesuai

dengan UUJN dan Kode Etik.

2. Tesis yang berjudul “ Kepastian Hukum Terhadap Akta Keterangan

Waris yang dibuat oleh Notaris dalam hukum pembuktian. Oleh

Muhammad Syahreza Kharisma (Universitas Jayabaya) persamaan

dalam penelitian tesis ini mengenai Surat Keterangan Waris,

sedangkan perbedaannya pada rumusan masalah penulis, Tanggung

Jawab Notaris terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan ke Daftar

Pusat Wasiat, sedangkan pada penulisan tesis Muhammad Syahreza

Kharisma rumusan masalah akibat hukum terhadap keterangan waris

yang dibuat tidak memenuhi persyaratan dalam hukum pembuktian.

3. Tesis yang berjudul “Kewenangan Pembuatan Surat Keterangan

Waris Berdasarkan Golongan Penduduk Pasca berlakunya UU

Nomor 12 tahun 2006, tentang kewarganegaraan”,oleh Hendra


27

Purwito (Universitas Airlangga) Penelitian ini menganalisis

mengenai penerapan pembuatan surat keterangan ahli waris (yang

merupakan salah satu alat bukti yang menerangkan siapa saja ahli

waris dari orang yang telah meninggal dunia) berdasarkan golongan

penduduk pasca berlakunya UU Nomor 12 tahun 2006, tentang

kewarganegaraan. Sementara penulis lebih menitik beratkan kepada

Perlindungan Hukum terhadap Legitimaris yang akta wasiatnya tidak

didaftarkan di Daftar Pusat Wasiat.

4. Tesis yang berjudul “ Kepastian Hukum Surat keterangan waris yang

dibuat oleh kelurahan dalam pelaksanaan peralihan ha katas tanah”

oleh Siti Rohana (Universitas Jayabaya) persamaan dalam penelitian

tesis ini mengenai surat keterangan waris , sedangkan perbedaannya

pada rumusan masalah yaitu pada penelitian ini penulis mengenai

akta wasiat yang tidak didaftarkan di Daftar Pusat Wasiat, sementara

Siti Rohan, permasalahan yang diangkat ialah terkait pelaksanaan

peralihan ha katas tanah atas surat keterangan waris.

5. Tesis yang berjudul “Kedudukan Surat keterangan Waris yang

dibuat oleh Notaris” oleh Ferawaty (Universitas Andalas) persamaan

dalam penelitian tesis ini dititikberatkan pada surat keterangan waris,

sedangkan perbedaannya pada rumusan masalah yaitu Notaris yang

tidak melakukan pengecekan ke Daftar pusat Wasiat, sementara pada

penelitian penulis rumusan masalah mengenai pendaftaran akta

wasiat yang tidak didaftarkan di Daftar Pusat Wasiat.


BAB II

KEWENANGAN NOTARIS DAN PEMBUATAN WASIAT

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris

1. Sejarah Notaris

Sejarah dari Notariat dimulai sekitar abad ke-11 dan ke-12

didaerah pusat perdagangan di Italia Utara, yang sangat berkuasa pada

zaman itu. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang

dinamakan Latinjse Notariat. Tanda-tanda Latinsje Notariat ini tercermin

dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan

masyarakat umum dan menerima uang jasa dari masyarakat umum pula.30

Nama notariat berasal dari nama pengabdinya, yaitu notarius.

Akan tetapi apa yang dimaksudkan dengan nama notarius dahulu tidaklah

sama dengan notaris yang dikenal sekarang ini. Notarius adalah nama

yang pada jaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang

menjalankan pekerjaan menulis. Dalam buku- buku hukum dan tulisan-

tulisan Romawi klasik telah berulang kali ditemukan nama atau title

notarius untuk menandakan golongan orang- orang yang melakukan suatu

pekerjaan tulis-menulis.31 Fungsi Notarius dahulu sangat berbeda dengan

Notaris di masa sekarang. Semakin lama nama Notaris makin eksis dan

dikenal, bukan hanya di setiap kota bahkan sudah merambah ke tingkat

pedesaan. Berdasarkan data yang ada, saat ini notaris di indonesia

30
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1982), hlm. 3
31
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia-suatu penjelasan, Cetakan ke-2,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 13
29

berjumlah 16.000 orang.32 Jabatan Notaris lahir karena hampir

keseluruhan masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja

diciptakan yang kemudian disosialisasikan kepada semua masyarakat.

Pada masa awal lahirnya Notaris ada dua golongan Notaris yaitu

Notaris yang diangkat kerajaan yang mempunyai hak untuk mengeluarkan

akta autentik, dan Notaris swasta yang tidak diangkat oleh kerajaan yang

hanya mempunyai hak untuk mengeluarkan akta di bawah tangan.33

Selain di Romawi perkembangan lembaga Notariat juga

berkembang di Perancis. Undang-Undang Perancis yang dinamakan

Ventose Wet (Undang-Undang Nomor 25 Ventose Wet (Undang- Undang

Nomor 25 Ventose an XI) yang berlaku kira-kira sekitar tahun 1803

mengatur tentang Loi organique du Notariat. Undang-undang ini

diberlakukan juga di negara-negara jajahan Perancis, termasuk Belanda.

Ketentuan tersebut selanjutnya dijadikan landasan hukum dalam

pemberlakuan hukum Notaris di Belanda. Masuknya lembaga Notariat di

Indonesia, diawali dari sejarah lembaga Notariat itu sendiri, yaitu yang

berasal dari negara-negara di eropa dan khususnya dari negara Belanda.

Belanda sebagai negara yang menjajah bangsa Indonesia, yang mengatur

peraturan tentang Notariat tersebut. Sejak Notaris yang pertama kali

diangkat sampai tahun 1822, lembaga Notariat itu diatur dengan dua

peraturan, yaitu pada tahun 1625 dan 1765 dan selalu mengalami

perubahan, sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan pada masa tersebut.


32
diakses dari www.ini.id, pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 01 Mei 2019
33
Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang: 100
Tahun Ikatan Notaris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 40-41.
30

Pada tahun 1860, pemerintah Belanda merubah peraturan-

peraturan yang lama dengan Peraturan Jabatan Notaris dikenal dengan

Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3), yang mulai

berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. Tentang Notaris di Indonesia, semula

diatur di dalam Reglement op het Notarisambt in Nederlands Indie atau

yang biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, yang berlaku

mulai tahun 1860 (Stbl. 1860 No. 3),34 dengan diundangkan Peraturan

Jabatan Notaris ini, maka diletakanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan

Notariat di Indonesia.35

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan

Notaris yang berlaku, sebagian besar masih di dasarkan pada peraturan

perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, yaitu

peraturan jabatan Notaris yang termuat dalam Stbl. 1860 Nomor 3 yang

sudah beberapa kali diubah. Terakhir diubah dalam Undang- Undang

Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

Sementara yang diundangkan pada tanggal 13 Nopember 1954 dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1954 Nomor 101

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor

700. Selama hampir 144 tahun menjadi dasar yang kuat bagi pelembagaan

Notariat di Indonesia, pada tanggal 6 Oktober 2004 Peraturan Jabatan

Notaris telah dinyatakan tidak berlaku, pada tanggal tersebut telah

34
Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan kedua,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 29.
35
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit.,hlm. 20.
31

diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor

117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)

Nomor 4432 dibentuk karena terdapat berbagai ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan tentang jabatan Notaris pada saat peninggalan

kolonial Hindia Belanda dianggap tidak sesuai dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, oleh karena itu perlu diadakan

perubahan, pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh

dalam satu undang-undang yang mengatur jabatan Notaris. Sehingga

dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk

di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian unifikasi

hukum di bidang kenotariatan tersebut yang menjadi dasar bagi

pelembagaan di Indonesia.

Selama hampir 10 tahun UUJN diberlakukan sebagai satu- satunya

undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris, akhirnya pada

tahun 2014 diberlakukan revisi terhadap UUJN. Revisi UUJN ini hanya

diberlakukan pada sebagian pasal yang penting, yang sekiranya perlu

diadakan perubahan dan selanjutnya diundangkan dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang (selanjutnya disebut

dengan UUJN-P) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 dalam


32

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 5491,

maka Notaris dalam menjalankan jabatannya mengacu pada UUJN dan

UUJN-P. Selain itu terdapat aturan lain yang menjadi acuan dalam

menjalankan jabatannya, yaitu Kode Etik Profesi Notaris yang dibuat oleh

Ikatan Notaris Indonesia (selanjutnya disebut dengan INI), Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) serta

peraturan perundang-undangan lainnya yang ada keterkaitan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan umum.

2. Pengertian Notaris

Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah dalam

hal ini Negara, dimana Negara telah memberikan kepercayaan kepada

notaris untuk menjalankan sebagian urusan atau tugas Negara, khususnya

dalam bidang hukum perdata. Keberadaan notaris menjawab kebutuhan

masyarakat akan bantuan hukum yang netral dan berimbang sehingga

melindungi kepentingan hukum masyarakat.

Selain itu, Notaris diharapkan dapat memberikan pelayan hukum

kepada masyarakat serta memberikan penyuluhan hukum, khusunya

dalam pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan

perlindungan hukum dan kepastian hukum, sehubungan dengan semakin

meningkatnya proses pembangunan sehingga meningkat pula kebutuhan

hukum dalam masyarakat.36

36
Santia Dewi dan R. M. Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, cetakan pertama,
(Jakarta: penerbit pustaka Yustisia, 2011), hlm. 8
33

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 2 tahun

2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 30 tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, yaitu:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta


autentik dan memiliki kwenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan public

yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN

merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-

satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur

Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan

Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.37

Notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang oleh undang-

undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta autentik, namun

dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri tetapi

hanya Notaris. Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut yaitu :38

a. Warga Negara Indonesia

Hanya Warga Negara Indonesia yang boleh menjadi Notaris, Selain

itu tidak diperbolehkan menjadi Pejabat Umum dalam hal ini Notaris.

b. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

37
Soetarjo Soemoatmodjo, Apakah Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, (Yogyakarta : Liberty, 1986),
hlm. 4.
38
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Pasal 3.
34

Memiliki agama/kepercayaan kepada Tuhan yang maha Esa, orang

yang tidak memiliki agama tidak diperbolehkan menjadi Notaris.

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun

d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan

sehat dari dokter dan psikiater, bahwa Calon Notaris itu nantinya

telah mampu secara jasmani dan rokhani untuk melaksanakan

wewenang dan kewajiban sebagai Notaris

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai

karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat)

bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas

rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.

Yang dimaksud prakarsa sendiri yaitu calon Notaris dapat memilih

sendiri dikantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan

rekomendasi magang dari Organisasi Notaris.

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokad, atau

tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang- undang

dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris

h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau

lebih.
35

Dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN, Notaris berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta,

memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang

pembuatan akta- akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris di Indonesia

dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak

profesional dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-

undang Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-

baiknya, bersikap profesional kepada semua masyarakat yang akan

melakukan suatu perbuatan hukum. Menurut Wawan Setiawan, unsur

dan ciri yang harus dipenuhi seorang Notaris profesional dan ideal, antara

lain dan terutama adalah:39

a) Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama

ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa

ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.

b) Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya

senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh

organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika

profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan

yang telah diatur dalam peraturan perundangan.


39
Wawan Setiawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hlm 23.
36

c) Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya

dan senantiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan

oleh organisasi profesinya dan memenuhi semua persyaratan untuk

menjalankan tugas/profesinya.

Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, notaris adalah pejabat umum

openbare ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau

tugas dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta- akta autentik. 40

Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun Notaris bukanlah

pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris terikat dengan

peraturan jabatan pemerintah, Notaris tidak menerima gaji dan pensiun

dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari

kliennya.41 Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang

tidak menerima gaji dari pemerintah dan Notaris dipensiunkan oleh

pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh

karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi juga para

konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa Notaris.42 Notaris sebagai

pejabat publik, dalam pengertiannya mempunyai wewenang dengan

pengecualian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang, dengan

mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik

yang bermakna secara umum dan dibidang hukum kenotariatan. Notaris

40
Suhrawadi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1994), hlm. 32.
41
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (UII Press: Yogyakarta, 2009), hlm.
16.
42
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hlm. 34.
37

sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam

bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai badan atau pejabat tata

usaha negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat

publik tersebut. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu

akta autentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama

dalam hukum pembuktian.43

Adapun kewenangan Notaris sebagaimana diatur dalam pasal 15

ayat 2 UUJN, sebagai berikut:44

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat


dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
2. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus
3. Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan.
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya
5. Memberikan penyuluhan hukum dalam pembuatan akta
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
7. Membuat akta risalah lelang

Melihat kewenangan dan peranan Notaris yang sangat penting

tersebut diatas maka notaris harus memiliki pengetahuan ataupun

wawasan yang luas, salah satunya mengenai teknik pembuatan akta yang

akan dibuat nantinya, karenanya apabila notaris itu melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan tertentu, akibat minimnya pengetahuan

dan wawasan maka akan berakibat akta yang dibuatnya hanya

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, ataupun

dapat pula akta itu menjadi batal demi hukum, sehingga bagi pihak yang
43
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), (Bandung: Mandar
Maju, 2009), hlm. 73.
44
Ibid, hlm. 9
38

menderita kerugian dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi , dan

bunga kepada Notaris. 45

3. Syarat-Syarat Diangkatnya Notaris

Sebagaimana diketahui bahwa Notaris adalah pejabat umum yang

menjalankan sebagian dari fungsi publik dari negara, khususnya di bidang

Hukum Perdata. Kewenangan ini tidak dapat diberikan kepada setiap

orang maupun warga negara asing, karena menyangkut dengan

menyimpan rahasia negara, Notaris harus bersumpah setia atas negara

Republik Indonesia, sesuatu yang tidak mungkin bisa ditaati sepenuhnya

oleh warga negara asing.

Untuk dapat diangkat menjadi Notaris haruslah memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, terkait

dengan hal ini pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan

Notaris adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Pada prinsipnya tidak setiap orang atau warga negara dapat

diangkat untuk menjadi notaris, namun yang dapat diangkat menjadi

notaris adalah warga negara atau orang-orang yang memenuhi syarat-

syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Syarat-syarat itu, meliputi:46

45
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Op., Cit., Pasal 84.
39

a. Warga Negara Indonesia.

b. Bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun.

d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan

sehat dari dokter dan psikiater.

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.

f. Telah menjalani magang atau nyata telah bekerja sebagai karyawan

Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan

berturut- turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas

rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau

tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang

untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.47

Kedelapan syatat itu merupakan syarat kumulatif. Artinya bahwa

setiap calon notaris harus memenuhi semua syarat itu. Apabila salah satu

syarat itu tidak dipenuhi, maka yang bersangkutan tidak dapat diberikan

izin praktek notaris.48 Dengan adanya izin praktek tersebut, maka dalam

46
H. Salim HS, 2015, Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk Dan
Minuta Akta), Jakarta:Raja Grafindo Persada, hlm.39.

47
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 3.
48
H.Salim HS, Op.cit., hlm.40.
40

waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal

pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib :

a. Menjalankan jabatannya dengan nyata.

b. Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada

Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah.

c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta

teraancap atau stempel jabatan notaris berwarna merah kepada Menteri

dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan,

Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas

Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat notaris diangkat.49

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah ditentukan syarat-

syarat yang harus dipenuhi notaris pengganti.

Syarat-syarat itu, meliputi:

a. Fotokopi ijazah paling rendah sarjana hukum yang disahkan oleh

perguruan tinggi yang bersangkutan.

b. Fotokopi kartu tanda penduduk yang disahkan oleh notaris.

c. Fotokopi akta kelahiran yang disahkan oleh notaris.

d. Fotokopi akta perkawinan bagi yang sudah kawin yang disahkan oleh

notaris.

e. Surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian setempat.


49
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
41

f. Surat keterangan sehat dari dokter pemerintah.

g. Pasfoto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 4 (empat) lembar.

h. Daftar riwayat hidup.

4. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris

a. Kewenangan Notaris

Kewenangan sama artinya dengan wewenang yaitu hak dan

kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang (authority) sebagai

hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk

mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu yang dilakukan

sesuai dengan yang diinginkan.50

Kewenangan Notaris yang utama adalah membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang di

haruskan oleh peraturan perundang-undangan atau di kehendaki oleh

yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan akta. Semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta tersebut tidak juga dituangkan atau dikecualikan pada

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.51

Kewenangan tertentu dari notaris, diatur di dalam ketentuan

pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris, yang menyebut 7

(tujuh) macam kewenangan, yakni:

1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat


dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
50
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hlm. 1.169.
51
Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Bandung : Citra Aditia Bakti, 2014),
hlm. 1.
42

2) Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam


buku khusus.
3) Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salianan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan.
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta.
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
7) Membuat risalah lelang.

Pasal 15 ayat (2) huruf f ini menimbulkan multi penafsiran dan

penafsiran terhadap pasal ini menimbulkan adanya dua pandangan

tentang arti kewenangan Notaris berkaitan dengan pertanahan yaitu:

a) Notaris berwenang membuat akta yang objeknya tanah dalam arti


luas meliputi baik yang menjadi kewenangan PPAT berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
b) Notaris berwenang membuat akta yang objeknya tanah dalam arti
sempit, yang tidak termasuk kewenangan PPAT.

Beberapa kewenangan Notaris selain yang ada dalam Pasal 15

ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menerangkan bahwa

notaris juga memiliki wewenang untuk :

1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal


surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
penjelasan :
Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah tangan
yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak
diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran
dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris.
2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus.
3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan.
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
43

5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan


akta.

Tugas notaris adalah mengontrol hubungan hukum antara para

pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan

suatu akta otentik dia dapat membuat dokumen yang kuat dalam suatu

proses hukum.52 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1)

Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris,

kewenangan notaris adalah membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta itu tidak juga ditugaskan dan dikecualikan kepada pejabat

lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.53

b. Kewajiban Notaris

Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun

2014, dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :

a. Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan


menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari protokol Notaris.
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta.
d. Mengeluarkan Grosee Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta.
52
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notariat, Buku I, (Jakarta, PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2000), hlm.59.
53
Ibid, hlm.159.
44

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-


undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah
akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid
menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta,
bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari akta proter terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan akta setiap bulan.
j. Mengirim daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat
pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama
setiap bulan berikutnya.
k. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar waisat pada
setiap akhir bulan.
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan
nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
m. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
Notaris, dan
n. Menerima magang calon notaris.

c. Larangan Notaris

Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana diatur dalam

Pasal 15 UndangUndang Jabatan Notaris, perlu diatur pula larangan

bagi Notaris agar dalam menjalankan kewenangannya tersebut ada

batas-batas yang harus ditaati oleh Notaris. Pasal 17 ayat (1) Undang-

Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya


45

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja


berturut – turut tanpa alasan yang sah
c. Merangkap sebagai pegawai negeri
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara
e. Merangkap jabatan sebagai advokat
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris
h. menjadi Notaris Pengganti
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat jabatan Notaris.

Di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris

disebutkan bahwa notaris tidak diperbolehkan meninggalkan tempat

kedudukanya lebih dari 7 hari kerja berturut-turut, hal ini dapat

dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (2) UUJN yang menyebutkan bahwa

notaris tidak berwenang secara teratur dalam menjalankan tugas

jabatanya diluar tempat/wilayah kedudukannya. Jika hal ini terjadi

maka notaris mendapatkan sanksi yang didasarkan ketentuan pasal

1868 dan 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dinilai

tidak berwenangnya notaris yang bersangkutan yang berkaitan dengan

tempat dimana akta dibuat, maka akta yang dibuat tidak diperlakukan

sebagai akta otentik tapi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan, jika ditandatangani para pihak.54

54
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tasir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Op.Cit. hlm. 91.
46

5. Tanggung Jawab Notaris

Tanggung jawab yang dimiliki oleh Notaris menganut prinsip

tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault of liability),

dalam pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab

apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran

yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau

pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang

Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris

bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena

Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk

dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh

para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak.55

Pertanggungjawaban Notaris secara perdata terhadap akta-akta

yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa akta yang dibuat oleh Notaris

berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang

dibuat oleh dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat

secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan). Sifat dan asas yang dianut

oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena

perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah

atau diganti atau dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang

membuatnya, maksudnya kesepakatan kedua belah pihak yang

55
Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam
Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis, Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 2008, hlm. 32.
47

dituangkan dalam suatu akta otentik mengikat kedua belah pihak

sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi

kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan

orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti

Notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Jika suatu

kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris

dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah

ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 84 UUJN yang menetapkan bahwa "dapat menjadi alasan bagi

pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,

ganti rugi dan bunga kepada Notaris".

Ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum di dalam

hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang

menentukan: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut. Apabila

memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata diatas, di

dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut:

1) Perbuatan yang melanggar hukum

2) Harus ada kesalahan

3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan

4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.


48

Pasal 41 UU perubahan atas UUJN menentukan adanya sanksi

perdata, jika Notaris melakukan perbuatan melawan hukum atau

pelanggaran terhadap Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU perubahan

atas UUJN maka akta Notaris hanya akan mempunyai pembuktian

sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari akta Notaris yang seperti itu,

maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk

menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.

Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum, dalam

hukum perdata tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan

karena kesengajaan pelaku, melainkan juga karena kesalahan atau

kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak kurang hati-

hati”.56 Notaris yang membuat akta ternyata tidak sesuai dengan

wewenangnya dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena

kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada

kesalahan telah terpenuhi.

6. Notaris Sebagai Pejabat Umum

Salah satu unsur penting dari pengertian notaris adalah notaris

sebagai “pejabat umum”. Hal ini berarti bahwa kepada notaris

diberikan dan dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum

yang menjangkau publik (openbaar gezag). Sebagai pejabat umum

notaris diangkat oleh Negara / Pemerintah dan bekerja untuk pelayanan


56
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1998, hlm.
279.
49

kepentingan umum, walaupun notaris bukan merupakan pegawai

negeri yang menerima gaji dari Negara / Pemerintah, Notaris di

pensiunkan oleh Negara / Pemerintah tanpa mendapat pensiunan dari

pemerintah.57

Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta

autentik, dengan demikian juga pada akta Notaris, mempunyai 3 (tiga)

macam kekuatan pembuktian, antara lain:58

1) Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijsracht).

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan

dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta

autentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak

dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang

dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-

benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan.

2) Kekuatan pembuktian formal (Formele Bewijskracht).

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta autentik

dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan

dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan

selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam

akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya didalam

menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai

akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari

57
G. H. S. Lumban Tobing, 1991, Op.Cit, hlm. 31.
58
Ibid, hlm. 36.
50

apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan

sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum didalam menjalankan

jabatannya.

3) Kekuatan pembuktian material (Materiele Bewijskracht).

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari

suatu akta autentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari

Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para

pihak yang tercantum didalamnya. Kekuatan pembuktian ini

dimaksud dalam Pasal 1870, 1871 dan 1975 KUHPerdata antara para

pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak

mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang

kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu. Dengan

pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya

suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak

mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam

akta itu.

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan

otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.59 yang dibuat

dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di

hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di

tempat dimana akta tersebut dibuat.

Jadi tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta otentik adalah

sebagai alat bukti terkuat dan mempunyai peranan penting dalam setiap
59
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1867.
51

pebuatan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai alat bukti Pasal

1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-

tulisan otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan.. Pasal 1868

KUHPerdata “ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk

yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta

dibuatnya”. Yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang telah

dinyatakan dan tidak perlu lagi dengan alat bukti yang lain karena telah

dibuat oleh atau dihadapan notaries sebagai pejabat umum yang diangkat

oleh pemerintah.

Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan

sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal

seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau

didukung dengan alat bukti lainnya. Perbedaan yang penting antara

kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik

mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta notaris

sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak

perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta

tersebut.60

7. Kode Etik Notaris

1) Pengertian Kode Etik Notaris

60
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 121.
52

Selain taat pada Undang-Undang Jabatan Notaris, dalam

menjalankan tugas jabatannya, Notaris juga harus taat pada Kode

Etik Notaris. Kode Etik Notaris merupakan suatu kaidah moral yang

ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I.) yang

selanjutnya disebut “Perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres

Perkumpulan dan/atau yang ditentukan dan diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku

bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan

dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai

Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris,

Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan.61

2) Rincian Kode Etik Notaris

Kode Etik Notaris meliputi:

a. Etika Kepribadian Notaris

a) Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum, Notaris

dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Undang-

Undang Jabatan Notaris, Sumpah Jabatan, Kode Etik Notaris

dan berbahasa Indonesia yang baik

b) Memiliki perilaku profesional dan ikut serta pembangunan

nasional, terutama dalam bidang hokum

c) Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan

kehormatan Notaris baik di dalam maupun di luar jabatannya.

61
Ikatan Notaris Indonesia, Kode Etik Notaris, Keputusan Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris
Indonesia (INI), Banten, 29-30 Mei 2015. Pasal. 1 angka 2.
53

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Notaris

menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan dan kewajiban

sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

Notaris selain itu juga harus memiliki perilaku profesional antara

lain:62

a) Keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman

tinggi:

b) Intergritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik

walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi

diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun,

dan agama;

c) Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga

pada diri sendiri;

d) Tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga

pengabdian, tidak membedakan antara orang mampu dan tidak

mampu;

e) Berpegang teguh pada kode Etik Profesi karena didalamnya

ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh Notaris,

termasuk bahasa Indonesia yang sempurna.

3) Etika Melakukan Tugas dan Jabatan63

Sebagai pejabat umum dalam melakukan tugas jabatannya,

Notaris harus:
62
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.
90
63
ibid.
54

a) Menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak, dan

penuh rasa tanggung jawab;

b) Menggunakan kantor yang ditetapkan sesuai dengan Undang-

Undang, tidak mengadakan kantor cabang perwakilan dan tidak

menggunakan perantara;

c) Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi;

d) Harus memasang papan nama menurut ukuran yang berlaku.

4) Etika Pelayanan terhadap Klien64

Sebagai pejabat umum, Notaris:

a) Memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang

memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya;

b) Menyelesaikan akta sampai pada tahap pendaftaran pada

Pengadilan Negeri dan pengumuman dalam Berita Negara atau

pengesahan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

apabila klien yang bersangkutan dengan tegas menyatakan akan

menyerahkan pengurusannya kepada Notaris yang bersangkutan

dan klien telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan;

c) Memberitahu kepada klien perihal selesainya pendaftaran du

Pengadilan Negeri atau selesainya pengesahan Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia, atau selesaiya balik nama di

Kantor Pertanahan atau selesainya Pengumuman atau Berita

64
ibid. hlm. 91
55

Negara yang sudah selesai dicetak tersebut oleh klien yang

bersangkutan;

d) Memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat menyadari hak

dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat;

e) Memberikan jasa kepada anggota masyarakat yang kurang mampu

dengan cuma-cuma;

f) Dilarang menahan berkas seseorang dengan maksud memaksa

orang itu membuat akta kepada Notaris yang menahan berkas itu;

g) Dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata

menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta buatan

Notaris yang bersangkutan;

h) Dilarang mengirim Minuta kepada klien untuk ditandatangani oleh

klien-klien yang bersangkutan;

i) Dilarang membujuk-bujuk atau dengan cara apapun memaksa

klien membuat akta padanya, atau membujuk-bujuk seseorang

agar pindah dari Notaris lain;

j) Dilarang membentuk kelompok di dalam tubuh INI dengan tujuan

untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara

khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan anggota lain

untuk berpartisipasi.65

5) Etika Hubungan Sesama Rekan Notaris66

Sebagai sesama pejabat umum, Notaris:

65
ibid.
66
ibid. hlm. 92
56

a) Saling menghormati dalam suasana kekeluargaan;

b) Tidak melakukan persaingan yang merugikan sesama rekan

Notaris, baik moral maupun material;

c) Harus saling menjaga dan membela kehormatan dan nama baik

korps Notaris atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong

menolong secara konstruktif.

Sesama rekan Notaris diharapkan tidak melakukan persaingan

yang merugikan sesama rekan, contohnya adalah tidak menarik

karyawan Notaris lain secara tidak wajar, tidak menggunakan calo

(perantara) yang mendapat upah, tidak menurunkan tarif jasa yang

telah disepakati untuk menarik klien dari Notaris lain. Menjaga dan

membela kehormatan dan nama baik dalam arti tidak mencampurkan

usaha lain dengan jabatan Notaris, memberikan informasi atau

masukan mengenai klien-klien nakal setempat.67

6) Etika Pengawasan Terhadap Notaris68

a) Pengawasan intern terhadap Notaris melalui pelaksanaan Kode Etik

Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah dan atau

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia;

b) Pengawasan Ekstern dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah,

Wilayah, Pusat yang dibentuk oleh Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia;

67
ibid.
68
ibid.
57

c) Tata cara pelaksanaan Kode Etik, sanksi-sanksi dan eksekusi diatur

dalam peraturan tersendiri yang merupakan lampiran dari Kode Etik

Notaris ini.

d) Tanpa mengurangi ketentruan mengenai tata cara maupun

pengenaan tingkatan sanksi-sanksi berupa peringatan dan teguran,

maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara

mutlak harus dikenakan sanksi-sanski intern pemberhentian

sementara sebagai anggota INI disertai usul Pengurus Pusat kepada

Kongres untuk memecat anggota yang bersangkutan. Secara ekstern

pemberhentian sebagai Notaris oleh Majelis Pengawas Pusat dan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran-

pelanggaran yang disebut dalam Kode Etik Notaris dan Undang-

Undang Jabatan Notaris, yang berakibat bahwa anggota yang

bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan Majelis

Pengawas Pusat dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

8. Sanksi Notaris

a. Sanksi Terhadap Notaris

Notaris dalam menjalankan jabatannya, tunduk pada

ketentuan yang mengatur khusus mengenai Notaris seperti Undang-

Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Diatur dalam

peraturan-peraturan tersebut mengenai kewajiban dan larangan


58

terhadap Notaris, namun apabila Notaris melanggar ketentuan

tersebut terdapat pula sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris.

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris pada ketentuan Pasal

16 menyatakan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi Notaris

dalam menjalankan jabatannya. Tidak hanya mengatur tentang

kewajiban, namun berlaku juga untuk semua ketentuan dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN,

apabila melanggar ketentuan yang telah diatur, Notaris dapat

dikenakan sanksi yang berupa:

1. Peringatan Tertulis;

2. Pemberhentian Sementara;

3. Pemberhentian dengan Hormat;

4. Pemberhentian dengan Tidak Hormat.

Selain dikenakan sanksi, pelanggaran terhadap ketentuan

Pasal 16 ayat (1) huruf j, mengenai kewajiban Notaris untuk

mengirimkan daftar akta yang berkenaan dengan wasiat atau daftar

nihil yang berkenaakn dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum, dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian

untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada

notaris.69 Bagi Notaris yang melanggar ketentuan kewajiban Notaris

69
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, Pasal. 16 ayat (12).
59

untuk menerima magang calon Notaris, dapat dikenakan sanksi

berupa peringatan tertulis.70

b. Akibat Hukum Terhadap Aktanya

Pasal 1868 KUHPerdata mengatur bahwa suatu Akta Otentik

harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam pasal ini yaitu

“Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pegawai-

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

dibuatnya.” sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya.

Menurut Pasal 1869 KUHPerdata, akta-akta yang dibuat, walaupun

ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan

Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta

otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan.

Jika suatu akta tidak memenuhi syarat formal yang tercantum

dalam pasal 1869 KUHPerdata jo. Pasal 38 UUJN (Akta Notaris),

akta tersebut tetap berfungsi sebagai akta di bawah tangan apabila

akta tersebut ditandatangani para penghadap/pihak. Akta yang

mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan tetap sah dan

mengikat para pihak/penghadap salama belum ada putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang

menyatakan batalnya akta.71

70
ibid, Pasal. 16 ayat (13).
71
Adjie, Hukum Notariat di Indonesia, hlm. 125
60

B. Akta Wasiat

1. Tinjauan Umum Tentang Akta

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte”

atau ”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Akta

menurut Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan

yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau

perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 72

Menurut subekti, akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang

memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu

peristiwa dan ditandatangani.73 Berdasarkan pendapat tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akta, adalah:

1) Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)

2) Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada

pembuktian sesuatu.74

Berdasarkan ketentuan diatas maka unsur-unsur yang penting

untuk suatu akta adalah:75

1) Ditandatangi

2) Memuat peristiwa yang memuat menjadi dasar suatu hal

3) Diperuntukan sebagai alat bukti tertulis


72
Sudikno Mertokusumo,, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),
hlm.149.
73
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 2005) hlm. 25.
74
Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam pembuktian dan Eksekusi,
(Jakarta: Rinika Cipta, 1993), hlm 26.
75
Ahdiana Yuni Lestari & Endang Heriyani, 2008, Dasar-Dasar Pembuatan Kontrak dan Aqad,
Yogyakarta, (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiyah, 2008), hlm. 24.
61

Akta mempunyai 2 (dua) fungsi penting yaitu akta sebagai fungsi

formal yang mempunyai arti bahwa suatau perbuatan hukum akan menjadi

lebih lengkap apabila di buat suatu akta. Fungsi alat bukti yaitu akta

sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak

yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan untuk pembuktian di

kemudian hari. 76

Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1867 KUHPerdata,

jenis-jenis akta dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:77

1) Akta Otentik

Pengertian Akta otentik diartikan sebagai akta yang dibuat dalam

bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di

hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta

dibuatnya. Wewenang utama yang dimiliki oleh notaris adalah membuat

suatu akta otentik sehingga keotentikannya suatu akta notaris bersumber

dari Pasal 15 Undang- Undang Jabatan Notaris jo Pasal 1868 KUH

Perdata. Akta otentik telah memenuhi otentisitas suatu akta, ketika telah

memenuhi unsur-unsur, yaitu:

a. Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-

Undang

b. Akta tersebut harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum

c. Pejabat Umum itu mempunyai kewenangan untuk membuat akta.

76
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Jakarta: Liberty, 1999), hlm.121-
122.
77
Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003,
hlm. 148.
62

Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan

diresmikan dalam bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang

berwenang untuk berbuat sedemikian itu, ditempat dimana akta itu

dibuat.78

Akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris dibagi menjadi dua

jenis, yaitu :79

a. Akta yang dibuat oleh Notaris (Relaas)

Akta-akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang

menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan ataupun

suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Notaris itu sendiri

dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat

memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya.

b. Akta yang dibuat dihadapan Notaris (Partij)

Akta Partij merupakan uraian yang diterangkan oleh pihak lain kepada

Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana

pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan memberikan

keterangan tersebut atau melakukan perbuatan tersebut dihadapan

notaris, agar keterangan tersebut dikonstatir oleh Notaris dalam suatu

akta otentik.

2) Akta di bawah tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani

oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak
78
R.Soegondo, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), hlm. 89.
79
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Kumpulan Tulisan Tentang
Notaris dan PPAT, (Surabaya: PT Citra Adtya Bakti, 2008), hlm. 45.
63

yang berkepentingan saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah

tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak

tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak

yang berkepentingan.80

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak di hadapan

pejabat yang berwenang atau Notaris.Akta ini yang dibuat dan

ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di

bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka

mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di

bawah tangan tersebut, sehingga sesuai Pasal 1857 KUHPerdata akta di

bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama

dengan suatu Akta Otentik.81

2. Tinjauan Umum Tentang Wasiat Menurut KUHPerdata

a. Pengaturan Wasiat Menurut KUHPerdata

Hukum wasiat timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang

berhak atau bebas berbuat apa saja terhadap bendanya. Demikian juga

orang tersebut bebas untuk memwasiatkan hartanya kepada siapa saja

yang diinginkan walaupun demikian masih juga ada batas-batas yang

diizinkan oleh undang-undang.

Dasar hukum dari wasiat (testamentair) adalah pasal 874 BW

yang menyatakan bahwa, “segala harta peninggalan sesorang yang

meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut


80
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm
125.
81
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1857.
64

ketentuan undang- undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat

tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah”.

b. Pengertian Wasiat Menurut KUHPerdata

Wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan dan

harta benda semasa hidupnya untuk menyatakan keinginannya yang

terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris

yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia.

Dari pengertian wasiat tersebut, maka dapat diketahui bahwa

ciri-ciri surat wasiat adalah :

1) Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali

2) Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum

setelah pewaris meninggal dunia.

Dengan melihat ciri pokok dari surat wasiat/ testament

tersebut, maka terdapat suatu larangan untuk membuat wasiat yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama untuk

menguntungkan satu dengan pihak lainnya maupun untuk kepentingan

pihak ketiga dalam suatu akta.

Pengertian wasiat dapat diketahui dari Pasal 875 KUHPerdata,

yang menyatakan bahwa “surat wasiat adalah suatu yang memuat

pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya atau terjadi

setelah ia meninggal dunia dan olehnya dapat dicabut kembali.”82

82
Republik Indonesia, Kumpulan Kitab Undang-Undang Hukum (KUH Perdata, KUHP,
KUHAP), (Wipress, 2008), hlm. 188.
65

Dari pengertian ini maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa

ciri-ciri surat wasiat menurut KUHPerdata adalah:

1) Menurut perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali

2) Menurut kehendak terakhir dan mempumyai kekuatan hukum

setelah pewaris meninggal dunia.

Dengan melihat ciri pokok dari testament/surat wasiat tersebut

maka terdapat suatu larangan untuk membuat wasiat yang dilakukan

oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama untuk menguntungkan

satu dengan yang lainnya maupun untuk kepentingan pihak ketiga

dalam suatu akte (pasal 930 KUHPerdata).

Menurut R. Subekti, wasiat atau testament adalah suatu

pernyataan dari sseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia

meninggal dunia.83

Pemberian wasiat atau testament adalah pembagian warisan

kepada orang yang berhak menerima warisan atas kehendak terakhir si

pewaris (pewasiat) yang dinyatakan dalam bentuk tulisan dalam akta

Notaris.84 Selanjutnya karena keterangan dalam wasiat (testament)

tersebut adalah suatu pernyataan sepihak maka wasiat (testament)

setiap waktu dapat ditarik kembali, boleh secara tegas atau secara

diam-diam.85

c. Syarat-Syarat Wasiat Menurut KUHPerdata

83
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke-10, (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm. 93.
84
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 974.
85
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 269.
66

Syarat-syarat wasiat :

a. Orang yang berwasiat

Mengenai kecakapan orang yang membuat surat wasiat atau

testament adalah bahwa orang tersebut mampu berpikir secara

normal atau berakal sehat. Sesuai dengan pasal 895 KUHPerdata

yang menyebutkan untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat

wasiat seseorang harus mempunyai akal budinya. Sehingga

seseorang yang kurang memiliki akal sehat ketika membuat surat

wasiat, maka wasiatnya tersebut tidak dapat diberikan akibat

hukum atau dinyatakan batal. Pasal 895 KUH Perdata tersebut

tidak memberikan wewenang kepada orang yang tidak memiliki

akal sehat untuk melakukan perbuatan kepemilikan dengan surat

wasiat86. Ketidaksehatan dari suatu akal pikiran dapat bersifat tetap

seperti sakit gila, dan juga dapat bersifat hanya sementara seperti

dalam keadaan mabuk, sakit panas atau demam yang sangat tinggi

dan dibawah hipnose. Hal ini berarti jika seseorang dalam kondisi

yang demikian membuat surat wasiat, maka keabsahan wasiatnya

dapat ditentang oleh para ahli warisnya.87 Apabila seseorang yang

sedang dalam keadaan tidak berakal sehat telah membuat surat

wasiat kemudian setelah itu menjadi normal kembali dan masih

hidup lama, maka jika tidak mengubah wasiatnya (ketika dalam

keadaan normal tersebut) tetap tidak sah sebagaimana orang

86
Ibid, hlm 206
87
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 38.
67

tersebut masih dalam keadaan tidak berakal sehat. Pada pasal 897

KUHPerdata disebutkan bahwa para belum dewasa yang belum

mencapai umur genap delapan belas tahun tidak diperbolehka

membuat surat wasiat. Hal ini berarti seseorang dapat dikatakan

dewasa dan dapat membuat surat wasiat apabila sudah mencapai

umur delapan belas tahun, akan tetapi orang yang sudah menikah

walaupun belum berumur delapan belas tahun diperbolehkan

membuat surat wasiat. Karena kedewasaan seseorang akibat

perkawinan sudah dianggap mempunyai kecakapan dalam

pembuatan surat wasiat.

b. Orang yang menerima wasiat

Orang yang menerima suatu wasiat harus ada sewaktu orang yang

berwasiat meninggal dunia (tertuang dalam pasal 899

KUHPerdata). Ketentuan ini bermaksud untuk menghindari

ketidakpastian dari orang yang diberi wasiat dan menetapkan

bahwa suatu wasiat gugur dalam hal pihak yang mendapatkan

keuntungan (wasiat) meninggal terlebih dahulu.

Pasal 912 KUHPerdata menyebutkan bahwa mereka yang telah

dihukum karena membunuh si yang mewariskan, lagipun mereka yang

telah menggelapkan, membinasakan dan memalsu surat wasiatnya dan

akhirnyapun mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah

si yang mewariskan tadi, akan mencabut atau mengubah surat wasiatnya.


68

Tiap-tiap mereka itu sepertipun tiap-tiap istri atau suami dan anak-anak

mereka tak diperbolehkan menarik suatu keuntungan dari surat wasiat.88

Hal ini berarti suatu wasiat tidak berisi penetapan untuk

menguntungkan orang-orang yang ditunjuk oleh Undang-undang, yakni:89

1. Seseorang yang telah dihukum karena membunuh si pewasiat.

2. Seseorang yang telah menggelapkan, membinasakan dan

memalsukan surat wasiat.

3. Seseorang yang secara paksaan atau dengan cara kekerasan

mencabut atau mengubah surat wasiat yang telah dibuat pewasiat.

Apabila seseorang dianggap tidak pantas menjadi ahli waris, maka

anak-anak dari suami dan istri yang dianggap tidak pantas menerima

wasiat tersebut juga tidak diperbolehkan menarik suatu keuntungan dari

surat wasiat. Seorang anak yang belum dewasa meskipun sudah berumur

delapan belas tahun tidak diperbolehkan menghibahwasiatkan sesuatu

untuk keuntungan walinya. Hal ini karena dikhawatirkan adanya pengaruh

yang kurang baik dari para wali anak yang belum dewasa tersebut. Orang

yang sudah dewasa pun baru dapat membuat testament secara sah yang

ditujukan kepada mantan walinya hanya setelah perhitungan perwalian

diserahkan dan ditutup. Seorang Notaris dan saksi-saksi dalam pembuatan

surat wasiat juga tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari surat

wasiat atau testament tersebut. Hal ini dinyatakan dalam pasal 907 KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa Notaris, yang mana dengan


88
Ibid, hlm. 209.
89
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm 57.
69

perantaranya telah dibuat akta umum dari suatu wasiat, dan segala saksi

yang telah menyaksikan pembuatan akta itu, segala mereka tak

diperbolehkan menikmati sedikitpun dari apa yang pada mereka dengan

wasiat itu kiranya telah dihibahkannya.90

Menurut pasal tersebut, seorang Notaris dalam pembuatan surat wasiat

maupun saksi-saksi yang hadir pada waktu itu tidak dapat menarik suatu

keuntungan dari wasiat. Saksi saksi yang dimaksud dalam pasal ini adalah

para saksi yang benar-benar diperlukan dalam pembuatan surat wasiat, dan

bukan orang-orang yang secara kebetulan hadir pada saat surat wasiat

dibuat.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan baik oleh penghadap

dan juga Notaris dalam pembuatan serta pelaksanaan akta wasiat, yakni:

1. Ketentuan Pembuatan Akta Wasiat

a. Akta Wasiat berisi kehendak terakhir seseorang yang olehnya

dapat dicabut kembali diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata

b. Akta Wasiat harus dibuat dalam bentuk yang diatur dalam Pasal

931 KUHPerdata. Akta Wasiat harus dinyatakan secara tertulis,

tidak boleh dinyatakan secara lisan, dan wajib ditandatangani

oleh yang membuat wasiat.

c. Akta Wasiat harus dibuat oleh seseorang yang telah dewasa

minimal berusia 18 tahun, atau yang pernah melaksanakan

perkawinan sebelum mencapai umur tersebut.

90
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 209.
70

d. Akta Wasiat harus dibuat oleh seseorang yang mempunyai akal

budi yang sehat.

e. Suatu Akta Wasiat hanya boleh dibuat oleh satu orang pewasiat,

tidak boleh dibuat lebih dari satu orang, seperti yang diatur

dalam Pasal 930 KUHPerdata.

f. Dalam membuat Akta Wasiat, pewasiat tidak boleh diwakilkan

oleh siapapun juga dengan alasan apapun juga, hal ini diatur

dalam Pasal 932, 939, 940, 941 KUHPerdata.

g. Menurut Pasal 944 KUHPerdata, dalam pembuatan Akta Wasiat

harus dihadirkan oleh saksi-saksi yang telah dewasa dan seorang

warga negara indonesia. Para saksi harus mengerti bahasa yang

digunakan Pewasiat. Para saksi tidak boleh merupakan seorang

ahli waris dan atau penerima wasiat, para saksi juga tidak boleh

merupakan keluarga sedarah dan semenda sampai dengan

derajat ke enam, dan lagi anak-anak dan cucu-cucu, para saksi

juga tidak boleh merupakan karyawan dari Notaris tempat

dimana Pewasiat membuat wasiatnya.

h. Akta Wasiat harus dititipkan kepada seorang Notaris, dalam

pembuatan surat wasiat harus dilakukan atau dititipkan kepada

Notaris. Surat wasiat harus dibuat dengan akta otentik sesuai

dengan pengaturan pada Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk

yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat


71

umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Juga

diatur dalam Pasal 932 KUHPerdata tentang kewajibannya suatu

akta wasiat dititipkan kepada Notaris, yaitu:

“Surat Wasiat yang demikian oleh si yang mewariskan harus


disimpan kepada seorang Notaris. Notaris tersebut, dibantu
oleh dua orang saksi, berwajib segera membuat sebuah akta
penyimpanan yang harus ditandatanganinya, bersama-sama
dengan si yang mewariskan dan saksi-saksi, akta mana harus
ditulis, baik di bawah surat wasiat, jika surat ini dengan
terbuka disampaikan kepadanya, maupun di atas kertas
sendiri, jika surat wasiat itu tersegel disampaikan kepadanya;
dalam hal terakhir ini, di hadapan notaris dan saksi, si yang
mewariskan harus membubuhkan sebuah catatan pada
sampulnya, yang menyatakan, bahwa sampul itu berisikan
surat wasiatnya, catatan mana harus dikuatkan dengan
tandatangannya.”

Adapun yang merupakan syarat-syarat waris terdiri:

1) Menurut Pasal 895 KUH Perdata: Pembuat testament

harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh

membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang

yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat

berpikir secara teratur.

2) Menurut Pasal 897 KUH Perdata: Orang yang belum

dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat

membuat testament.

Sementara itu syarat-syarat isi wasiat sebagai berikut:91

1) Dalam Pasal 888 KUH Perdata: Jika testament memuat

syarat – syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak

91
Diakses dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa%3APencarian &search =
wasiat+menurut+kuh+perdata&fulltext=Cari&ns0=1 tanggal 20 Agustus 2019
72

mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan

kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak

tertulis.

2) Dalam Pasal 890 KUH Perdata : Jika di dalam testament

disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu

menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat

ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka

testament tidaklah syah.

3) Dalam Pasal 893 KUH Perdata: Suatu testament adalah batal,

jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.

Selain ahli waris juga dapat menerima seluruhnya maupun sebagian

harta, misalnya setengahnya arau sepertiganya. Seperti yang tercantum

dalam Pasal 754 KUHPerdata yang berbunyi:

“Wasiat pengangkatan waris adalah suatu wasiat, dengan mana si


yang mewasiatkan kepada seorang atau lebih memberikan harta yang
akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia baik seluruhnya
maupun sebagian seperti misalnya setengahnya, sepertiganya”.92

Seseorang selama hidup pasti memiliki harta berapapun jumlah

hartanya, seperti yang telah dibahas, harta seseorang akan menjadi akibat

dari dilangsungkannya suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan. Menurut Undang-Undang Perkawinan, terdapat 2

(dua) jenis harta benda dalam perkawinan, yaitu harta bawaan dan harta

bersama.

1. Harta Bawaan

92
Rahmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 143-144.
73

Dalam Pasal 35 ayat (2) diatur bahwa Harta Bawaan dari

masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Artinya harta benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau

harta bersama adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum

terjadinya perkawinan dan harta benda yang diperoleh oleh masing-

masing pihak baik isteri maupun suami sebelum menikah maupun

selama perkawinan berlangsung, yang berupa hadiah atau warisan

dari orang tua.93

2. Harta Bersama

Menurut Pasal 35 ayat (1) Harta bersama ialah harta yang

diperoleh suami dan isteri selama perkawinan keduanya

berlangsung. Harta bersama ini yang dikenal dengan istilah harta

gono-gini. Harta yang termasuk dalam harta bersama ini adalah

semua harta yang terbentuk atau terkumpul atau didapatkan sejak

tanggal terjadinya perkawinan hingga perkawinan tersebut putus,

baik karena kematian, perceraian, maupun keputusan pengadilan,

selama perkawinan tersebut tidak membuat atau melakukan

perjanjian perkawinan atau perjanjian pisah harta.

93
Diakses dari https://finance.detik.com/perencanaan-keuangan/d-3893876/harta-benda-dalam-
perkawinan tanggal 2 Juli 2019.
74

Terhadap harta bersama ini, baik suami maupun istri dapat

bertindak atau melakukan perbuatan hukum terhadapnya selama

mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak.94

Berbeda konsep dengan UU Perkawinan, KUHPerdata dalam

Pasal 119 menentukan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan

secara hukum terjadi kebersamaan harta kekayaan di antara suami

dan isteri, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

perjanjian kawin. Ini berarti apabila suami isteri tidak membuat

perjanjian kawin sebelum perkawinan dilangsungkan, maka seluruh

harta kekayaan yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan

berlangsung akan menjadi harta bersama. Demikian pula dengan

hadiah dan warisan yang diperoleh masing-masing akan menjadi

harta bersama. Namun ketentuan ini dapat disimpangi oleh pemberi

hibah atau pembuat wasiat dengan menentukan bahwa harta

tersebut akan tetap menjadi milik si penerima.95

Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar

hartanya kelak jika ia meninggal dapat di manfaatkan sesuai

kebutuhan. Pemberian harta warisan ini dapat dilakukan dengan

surat wasiat.96

3. Unsur-Unsur Wasiat

94
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 36 ayat 1.
95
Diakses dari Wibowo T. Tunardy, “Harta Benda Dalam Perkawinan”,
http://www.jurnalhukum.com/harta-benda-dalam-perkawinan/, tanggal 2 Juli 2019.
96
Sembiring M U, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Medan, 1989, hlm. 45.
75

Pertama, unsur wasiat adalah “berbentuk suatu akta”, dimana

wasiat harus menunjuk suatu tulisan, suatu yang tertulis. Mengingat

bahwa suatu wasiat mempunyai akibat yang luas dan baru berlaku

sesudah pembuat wasiat meninggal, maka suatu wasiat terikat kepada

syarat-syarat yang ketat. Bukankah wasiat baru menjadi masalah sesudah

orang yang membuat meninggal dan karenanya tidak dapat lagi ditanya

mengenai apa yang sebenarnya dikehendaki. Unsur wasiat yang kedua

adalah “berisi pernyataan kehendak terakhir yang berarti tindakan hukum

sepihak”. Tindakan hukum sepihak adalah tindakan atau pernyataan satu

orang saja sudah cukup untuk timbulnya akibat hukum yang dikehendaki.

Unsur Ketiga adalah “Apa yang terjadi setelah ia meninggal dunia”,

berarti wasiat baru berlaku dan mempunyai akibat hukum bilamana si

pembuat meninggal dunia.97

Menurut J. Satrio, unsur-unsur wasiat (testament) ada 4 (empat),

antara lain sebagai berikut :

a. Suatu wasiat (testament) adalah suatu “akta”. Akta menunjuk pada

syarat bahwa wasiat (testament) harus berbentuk suatu tulisan atau

sesuatu yang tertulis. Surat wasiat (testament) dapat dibuat baik dengan

akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Namun, mengingat

bahwa suatu wasiat (testament) mempunyai akibat yang luas dan baru

berlaku setelah si pewaris meninggal, maka suatu wasiat (testament)

terikat pada syarat-syarat yang ketat.

97
J. Satrio,S.H, Hukum Waris, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hlm. 180.
76

b. Suatu wasiat (testament) berisi “pernyataan kehendak”, yang berarti

merupakan suatu tindakan hukum yang sepihak. Tindakan hukum

sepihak adalah pernyataan kehendak satu orang yang sudah cukup

menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki. Jadi, wasiat (testament)

bukan merupakan suatu perjanjian karena dalam suatu perjanjian

mensyaratkan adanya kesepakatan antara dua pihak, yang berarti harus

ada paling sedikitnya dua kehendak yang saling sepakat. Namun wasiat

(testament) menimbulkan suatu perikatan, dan karenanya ketentuan-

ketentuan mengenai perikatan berlaku terhadap testament, sepanjang

tidak secara khusus ditentukan lain.

c. Suatu wasiat (testament) berisi mengenai “apa yang akan terjadi

setelah ia meninggal dunia.” Artinya wasiat (testament) baru berlaku

kalau si pembuat wasiat (testament) telah meninggal dunia. Itulah

sebabnya seringkali suatu wasiat (testament) disebut kehendak terakhir

karena setelah meninggalnya si pembuat wasiat (testament) maka

wasiatnya tidak dapat diubah lagi.

d. Suatu wasiat (testament) “dapat dicabut kembali.” Unsur ini

merupakan unsur terpenting karena syarat inilah yang pada umumnya

dipakai untuk menetapkan apakah suatu tindakan hukum harus dibuat

dalam bentuk akta wasiat (testament acte) atau cukup dalam bentuk

lain.98

Surat wasiat merupakan suatu pernyataan kehendak terakhir dari si

pembuat wasiat kepada orang-orang yang berhak menerima. Kehendak


98
J. Satrio, Hukum Waris, Cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 165.
77

terakhir adalah suatu pernyataan kehendak yang sepihak dan suatu

perbuatan hukum yang mengandung suatu ”beschikingshandeling”

(perbuatan pemindahan hak milik) mengenai harta kekayaan si pembuat

wasiat yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang khusus, yang setiap

waktu dapat dicabut dan berlaku dengan meninggalnya si pembuat wasiat

serta tidak perlu diberitahukan kepada orang yang tersangkut. 99

Surat Wasiat atau Testament mempunyai dua kualitas, pertama

sebagai “Surat Wasiat” (uiterste wil) dan kedua sebagai “akta notaris”.

Sebagai “surat wasiat” berlaku terhadapnya ketentuan dalam KUHPer dan

sebagai “akta notaris” terhadapnya harus diperlakukan ketentuan-

ketentuan dalam PJN.100 Perlu diketahui bahwa membuat suatu kehendak

untuk menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi seseorang merupakan

suatu perbuatan hukum yang bertujuan menimbulkan akibat hukum,

sehingga jika wasiat hanya memiliki satu kualitas, yaitu sebagai “surat

wasiat” maka wasiat tersebut hanya akan menjadi akta bawah tangan dan

belum menjadi alat bukti yang kuat. Maka lebih baik jika membuat suatu

wasiat yang memiliki dua kualitas yaitu sebagai “surat wasiat” dan juga

sebagai “akta notaris”.

4. Bentuk-Bentuk Wasiat

Isi suatu wasiat tidak terbatas pada hal-hal yang mengenai

kekayaan harta warisan saja, tetapi dapat juga dengan sah dilakukan,

penunjukkan seorang wali untuk anak-anak si meningal, pengakuan


99
Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada : Yogyakarta, 1984), hlm. 18.
100
GHS Lumban Tobing, Op., Cit., hlm. 165.
78

seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang

executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan

mengatur pelaksanaan wasiat.

Menurut bentuknya, wasiat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Wasiat Olografis (Wasiat yang ditulis sendiri)

Wasiat semacam ini biasanya ditulis dan ditandatangani oleh si

pembuat wasiat. Orang yang membuat wasiat ini menyerahkan

wasiatnya kepada notaris selanjutnya diarsipkan dengan wajib

disaksikan oleh dua orang saksi. Sebagaimana tertuang dalam Pasal

933 KUHPdt bahwa kekuatan wasiat olografis ini sebanding dengan

kekuatan wasiat tak rahasia yang dibuat di hadapan notaris dan

dianggap terbuat di tanggal dari akte penerimaan oleh notaris. Si

pembuat wasiat ini dapat menarik kembali wasiatnya, dilaksanakan

dengan cara permintaan kembali yang dinyatakan dalam suatu akta

otentik (akta notaris).101

b. Wasiat Tak Rahasia (Openbaar Testament)

Wasiat tak rahasia wajib dibuat di hadapan seorang notaris dengan

mengajukan dua orang saksi. Selanjutnya orang yang meninggalkan

warisan tersebut wajib menyatakan kehendaknya di depan notaris,

dalam hal ini notaris mengawasi agar kehendak terakhir si peninggal

warisan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.102

c. Wasiat Rahasia

101
Oemarsalim, Op., Cit, hlm. 100.
102
Ibid, hlm. 102
79

ditetapkan pada Pasal 940 dan 941 bahwa si pembuat wasiat

diharuskan menulis sendiri atau bisa pula menyuruh orang lain untuk

menuliskan keinginan terakhirnya tersebut, setelah itu ia harus

menandatangani tulisan tersebut, selanjutnya tulisan tersebut

dimasukkan dalam sebuah sampul tertutup dan disegel serta kemudian

diserahkan kepada notaris. Penutupan dan penyegelan ini bisa juga

dilaksanakan dihadapan notaris bersama dengan 4 orang saksi.103

5. Pelaksanaan Wasiat Menurut KUHPerdata

Agar dapat mengadakan penetapan dengan kehendak terakhir

(wasiat) ataupun mencabutnya kembali penetapan yang telah dibuat

tersebut, maka seseorang tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

1) Sehat akal pikiran

Menurut Pasal 895 KUH Perdata, untuk dapat membuat surat

wasiat atau mencabutnya orang harus memiliki akal sehat. Menurut

Hoge Raad dalam arrestnya 9 Januari 1953 yang mendasari Pasal

895 KUH Perdata adalah pemikiran bahwa pada kehendak terakhir

(wasiat) seseorang yang karena kurang memiliki akal sehat pada

waktu membuat surat wasiat itu sehingga tidak dapat

dipertanggungjawabkan mengenai kepentingan-kepentingan yang

tersangkut, tidak boleh diberikan akibat hukum. Sesuai dengan itu

maka pasal tersebut tidak memberikan wewenang kepada orang yang

tidak memiliki akal sehat untuk melakukan suatu perbuatan


103
Ibid, hlm. 104.
80

pemilikan dengan suatu kehendak terakhir (surat wasiat) dan tidak

menggantungkan kewenangan itu dari isi perbuatan pemilikan

(wasiat) itu. Kekurangan akal sehat si pembuat wasiat hanya

menghilangkan keabsahan surat wasiatnya.

2) Umur

Bagi orang-orang yang masih di bawah umur, maka untuk dapat

membuat surat wasiat mereka harus genap berusia 18 tahun. Orang

yang sudah kawin bukan lagi merupakan minderjarige (orang yang

belum cukup umur), maka mereka yang belum cukup umur, tetapi

sudah kawin adalah cakap membuat kehendak terakhir.

Dalam pasal 931 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Suatu wasiat hanya boleh dinyatakan, baik dengan akta tertulis


sendiri atau olografis, baik dengan akta umum, ataupun akta
rahasia atau tertutup.”

Akta Wasiat dalam pembuatannya memang bersifat personal tanpa

adanya batasan terhadap kehendak Pewasiat, namun, dalam pelaksanaan

Akta Wasiat tersebut terdapat pembatasan-pembatasan dan ketentuan

yang mengaturnya:

a. Segala isi surat wasiat yang tidak dapat dimengerti, atau tidak

mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan

kesusilaan yang baik harus dianggap tidak tertulis, hal ini diatur

dalam Pasal 888 KUHPerdata.


81

b. Dinyatakan dalam Pasal 890 KUHPerdata bahwa apabila isi dari

Akta Wasiat terdapat sebab palsu, dan isi dari Akta Wasiat

tertulis bahwa Pewasiat tidak akan membuat ketentuan itu jika ia

tahu akan kepalsuannya, maka Akta Wasiat tidaklah sah.

c. Pasal 906 KUHPerdata mengatur bahwa dalam Akta Wasiat

tidak boleh memberikan keuntungan kepada tabib atau dokter

yang melayani semasa Pewasiat menderita sakit sampai akhir

hidupnya.

d. Pasal 907 KUHPerdata juga mengatur terhadap Notaris yang

membuat atau berhadapan dengan Pewasiat juga saksi-saksi

dalam pembuatan Akta Wasiat tidak boleh diberikan keuntungan

sedikitpun terhadap mereka dari Akta Wasiat Pewasiat.

e. Suatu ketetapan Wasiat yang diambil guna untuk memberikan

keuntungan orang yang tidak cakap mewaris maka Akta Wasiat

akan berkedudukan batal, sekalipun melalui seorang perantara.

Hal ini diatur dalam Pasal 911 KUHPerdata.

f. Pasal 912 KUHPerdata mengatur mengenai larangan orang

tertentu untuk mengambil keuntungan dari Wasiat, diantaranya

adalah mereka yang telah dihukum karena membunuh Pewasiat,

mereka yang menggelapkan, memhancurkan dan memalsukan

Akta Wasiat si pewasiat, serta mereka yang dengan paksaan atau

kekerasan telah mencegah pewasiat untuk mengubah atau

mencabut akta wasiat sekalipun dilakukan oleh istri atau suami


82

pewasiat. Dalam pelaksanaan Akta Wasiat harus dianggap telah

diambil bagian untuk Legitime Portie sebelumnya sesuai dengan

Pasal 877 dan Pasal 913 KUHPerdata. Maksudnya dalam

pelaksanaan wasiat terdapat larangan yang menyebabkan

legitime portie menjadi kurang dari semestinya. Menurut Pasal

913 KUHPerdata, bagian Mutlak atau legitime portie, ialah

bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada Ahli Waris

dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya

orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu,

baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup,

maupun sebagai wasiat. Diatur pula mengenai hal ini dalam

Pasal 877 KUHPerdata, yaitu:

“Suatu ketetapan wasiat untuk: para keluarga sedarah yang


terdekat, atau untuk: darah terdekat dari si meninggal, tanpa
penjelasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil untuk
keuntungan para ahli waris menurut undang-undang.”

6. Hal-Hal Yang Tidak Dapat Dimuat Dalam Surat Wasiat

Beberapa ha-hal yang tidak dapat dimuat dalam surat wasiat

(testament) yaitu :104

1) Fidei comnis, kecuali yang diatur dalam pasal 973 – 988 KUH

Perdata, dan fidei comnis recidu.

2) Wasiat antar suami istri yang sebelum tenggang waktu 6

bulan,perkawinannya sedang diproses di pengadilan karena belum

104
Diakses dari https://butew.com/2018/05/03/pengertian-wasiat-dan-jenis-jenis-wasiat-menurut-
hukum-perdata/ tanggal 10 Oktober 2019.
83

ada izin kawin dari orang tua/wali (Pasal 901 jo pasal 35 dan 36 KUH

Perdata).

3) Jika seorang janda (duda) yang telah mempunyai anak,kawin lagi

maka tidak boleh ada wasiat antar suami istri terhadap hak milik dari

harta peninggalannya lebih dari bagian anak-anaknya (pasal 982

KUH Perdata), kecuali si janda / duda setelah bercerai,kemudian

kawin lagi dan anak-anak itu juga anak-anak mereka (Pasal 903 a

KUH Perdata).

4) Jika antara suami istri ada campur kekayaan ,maka yang dapat

diwasiatkan oleh suami/istri kepada suami/istri hanya barang-barang

dari bagiannya sendiri (903 KUH Perdata).

5) Hibah oleh seseorang kepada wali atau bekas walinya ,kecuali wali

itu adalah keluarga dalam garis lurus keatas.atau wali itu telah

memberi pertanggung jawaban atas perwaliannya (Pasal 903 KUH

Perdata).

6) Wasiat kepada notaris atau saksi-saksi yang membantu saat wasiat

dibuat.

7) Wasiat kepada teman berzinah yang telah ada putusan hakim (Pasal

909 KUH Perdata).

8) Wasiat kepada anak luar kawin diakui tidak boleh melanggar bagian

anak sah,jika ada anak sah.

C. Batasan Wasiat Menurut KUHPerdata


84

Batasan dalam suatu testament terletak dalam pasal 931 KUH Perdata

yaitu tentang legitime portie yang menyatakan bahwa legitime portie atau

bagian mutlak adalah semua bagian dari harta peninggalan yang harus

diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang,

terhadap bagian mana si yang meninggal dunia tidak diperbolehkan

menetapkan sesuatu, baik selaku pembagian antara yang masih hidup maupun

yang sudah meninggal dunia, maupun selaku wasiat.105

Legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan

yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Bagian

tersebut tidak bisa diberikan kepada orang lain, baik dengan cara penghibahan

biasa maupun dengan surat wasiat. Orang-orang yang mendapat bagian ini

disebut dengan legitimaris.

Batalnya Wasiat Menurut KUHPerdata

Batalnya testament tergantung pada suatu peristiwa yang tidak tentu,

yaitu apabila orang yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu sebelum

orang yang mewasiatkan meninggal dunia maka wasiat atau testamentnya

menjadi batal. Hal ini tertuang dalam pasal 997 KUH Perdata yang

menyebutkan bahwa tiap-tiap ketetapan dengan surat wasiat, sekedar diambil

dengan syarat yang bergantung pada suatu peristiwa yang tak tentu akan

terjadi, dan yang demikianpun sifatnya sehingga si yang mewasiatkan harus

dianggap menggantungkan pelaksanaan ketetapan yang demikianpun

105
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, Op., Cit, hlm 214.
85

gugurlah, apabila si yang diangkat menjadi waris atau yang harus menerima

hibah meninggal dunia sebelum syarat itu terpenuhi.106

Sehingga berdasarkan pasal tersebut di atas apabila orang yang

menerima wasiat meninggal lebih dahulu sebelum orang yang berwasiat

meninggal dunia maka testamentnya menjadi batal. Orang yang menerima

wasiat atau testament menolak atau ternyata ia tidak cakap untuk

menerimanya.107

Pada uraian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa wasiat bisa dicabut

kembali, oleh karena itu jika terjadi pencabutan kembali oleh pewasiat maka

wasiat yang telah dibuat menjadi batal. Pencabutan tersebut dapat

dilaksanakan secara terang-terangan (uitdurkkelijk) maupun secara diam-

diam (stilzwijgend).

1. Pencabutan secara tegas

Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada ketentuan- ketentuan

seperti pasal 992 KUHPerdata suatu surat wasiat dapat dicabut dengan:

a. Surat wasiat baru

b. Akta notaris khusus

Arti kata “khusus” di dalam hal ini adalah bahwa isi dari akta itu harus

hanya penarikan kembali itu saja. Pencabutan wasiat secara olografis

dapat dilakukan secara meminta kembali wasiat itu dari simpanan

notaris (karena tertulis sendiri). Meskipun begitu tentang penyerahan

106
Ibid, hlm. 228
107
Ibid, Pasal 1001.
86

kembali ini harus dibuat akta ontentik, ini perlu untuk tanggung

jawabnya notaris.

Pasal 993 KUHPerdata suatu wasiat yang berisi penarikan

kembali wasiat yang terdahulu dan yang tidak dapat berlaku sebagai

wasiat, berlaku juga sebagai akta notaris biasa; jika selain berisi

penarikan kembali juga mengulangi hal-hal didalam wasiat terdahulu,

maka hal-hal yang yang diulang itu berlaku juga.

Dengan demikian arti dari kata “khusus” dalam pasal 992

KUHPerdata itu tidak hanya mengenai hal yang ditarik kembali saja,

tetapi juga boleh memuat hal-hal yang mengulangi apa yang disebut

didalam wasiat yang dahulu.

2. Pencabutan secara diam-diam

Pencabutan surat wasiat secara diam-diam bisa diketahui dari

tindakan pewasiat yang dilakukan sesudah surat wasiat dibuat. Hal ini

berarti adanya keinginan dari pewasiat untuk menarik kembali sebagian

atau seluruh wasiat yang telah dibuatnya. Pencabutan secara diam-diam

ini dalam KUHPerdata dapat dilakukan dengan tiga cara:

a) Kemungkinan seorang yang meninggalkan wasiat membuat dua surat

wasiat sekaligus, dimana isinya antara satu sama lain tidak sama (pasal

994 KUH Perdata).108

108
Ibid, hlm 228.
87

b) Dikatakan dalam pasal 996 KUH Perdata, jika suatu barang yang telah

disebutkan dalam suatu wasiat telah diberikan kepada orang lain, atau

barang tersebut dijual atau ditukarkan kepada oranglain.109

c) Pada pasal 934 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu testament

olographis dicabut kembali dari Notaris oleh orang yang telah

membuat wasiat.110

D. Tata Cara Pendaftaran Wasiat

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor 60 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaporan Wasiat dan

Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Wasiat Secara Elektronik:

Pasal 3 :

(1) Pelaporan Daftar Akta atau Daftar Nihil dilakukan secara elektronik

melalui laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(2) Pelaporan Daftar Akta atau Daftar Nihil sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari pada

minggu pertama setiap bulan berikutnya.

Pasal 4 :

Pelaporan Daftar Akta meliputi:

1. Wasiat umum.

2. Wasiat olografis.

3. Hibah Wasiat.

109
Ibid, hlm 218.
110
Ibid, hlm 215.
88

4. Wasiat rahasia atau tertutup, atau

5. Pencabutan Wasiat.

Pasal 5 :

(1) Pelaporan Daftar Akta dilakukan dengan mengisi format isian

yang memuat:

1. Identitas pemberi Wasiat yang meliputi:

1. Nama lengkap

2. Tempat dan tanggal lahir

3. Pekerjaan, alamat, dan

4. Nomor kartu tanda penduduk


BAB III

PELAKSANAAN PEMBUATAN WASIAT DIHADAPAN NOTARIS

A. Tata cara pelaksanaan pembuatan wasiat dihadap Notaris:111

a. Pembuatan wasiat secara Terbuka atau Umum (Openbaar Testament) oleh

notaris

Pasal 938 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan

bahwa “wasiat/testament umum atau wasiat tak rahasia ini harus dibuat

dihadapan seorang notaris yang dihadiri oleh dua orang saksi. Si pewaris

menyatakan kemauannya kepada Notaris secara secukupnya, maka

Notaris harus menulis atau menyuruh menulis pernyataan itu dalam kata-

kata yang terang”.

Pernyataan yang dibuat dalam Pasal 938 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata adalah untuk menegaskan bahwa “Notaris tidak perlu

menulis semua kata-kata yang diucapkan si pewaris, cukup hanya yang

perlu saja menurut Notaris, agar yang ditulis itu menjadi terang

maksudnya”.

Dalam wasiat umum ini, syarat untuk menjadi saksi sama halnya

dengan wasiat atau testament rahasia. Ditambah pula dengan ketentuan

siapa-siapa yang tidak boleh menjadi saksi, yaitu:112

1) Para ahli waris atau orang-orang yang dihibah barang-barang, sanak

keluarga mereka sampai tingkat keempat.

111
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.
100.
112
Ibid, hlm 106.
90

2) Anak-anak, cucu-cucu serta anak menantu Notaris atau cucu,

menantu Notaris.

3) Pembantu notaris.

b. Pembuatan wasiat secara Tertulis (Olographis Testament)

Menurut Pasal 932 Kitab undang-Undang Hukum Perdata bahwa

wasiat/testament ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan

meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhandig) dan harus diserahkan

sendiri kepada notaris untuk disimpan (gedeponeerd). Penyerahan

testament tersebut juga harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.113

c. Pembuatan wasiat Tertutup atau Rahasia

Syarat-syarat wasiat/ testament rahasia ini diatur dalam Pasal 940

dan 941 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Wasiat ini dibuat sendiri

oleh si pewaris atau menyuruh orang lain untuk menulisnya. Jadi, harus

ditulis sendiri dan ditandatangani sendiri. Testament ini harus selalu

tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh 4

(empat) orang saksi.

Meskipun surat wasiat harus dibuat tertulis dalam bentuk akta,

hukum perdata ridak menentukan apakah harus dibuat dalam bentuk akta

dibawah tangan (dibuat dan ditandatangani sendiri pemberi wasiat) atau

akta otentik (dibuat oleh dan dihadapan Notaris). Meski keduanya

diperkenankan, namun perakteknya surat wasiat biasa dibuat dalam

bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting untuk pembuktian,

karena akta otentik memiliki kekuatan bukti yang sempurna. Dan meski
113
Rahmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 110.
91

surat wasiat itu dibuat secara dibawah tangan, itupun masih memerlukan

otentikasi dari Notaris yang akan menyimpan, membuatkan Akta

penyimpanannya, serta mendaftarkannya di Pusat Daftar Wasiat,

Departemen Hukum dan HAM.114

B. Konsep Keterangan Ahli Waris Yang Dibuat Oleh Notaris

Pembuatan keterangan ahli waris yang dilakukan oleh Notaris untuk

memenuhi asas kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang sempurna,

memerlukan persyaratan yang harus lebih baik dibandingkan dengan instansi

atau pejabat yang berwenang lainnya. Sebelum keterangan ahli waris dibuat,

notaris harus terlebih dahulu melakukan pengecekan ke Daftar Pusat Wasiat

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai ada tidaknya wasiat

yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya. Hal ini penting untuk

menentukan siapa siapa saja yang menjadi ahli waris dari pewaris

berdasarkan keinginan terakhirnya dan akan sangat berpengaruh terhadap

bagian atau porsi dari masing masing ahli waris.

Terdapat hal-hal yang penting dalam pembuatan keterangan ahli

waris, terutama yang terdapat dalam Pasal 14 Wet op de Grootboeken der

Nationale Schuld harus dicantumkan dalam keterangan ahli waris, yang untuk

selanjutnya tetap dipertahankan dan menjadi konsep yang masih harus

dipakai dalam pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia yaitu:

1) Nama, nama kecil, serta tempat tinggal terakhir pewaris

114
Diakses dari http://www.legalakses.com/tips-membuat-surat-wasiat-testament/ tanggal 21
Agustus 2019.
92

2) Nama, nama kecil, tempat tinggal dan jika masih dibawah umur, tanggal

dan tahun kelahiran mereka yang mendapat hak dengan menyebutkan

bagian mereka menurut undang-undang, dan surat wasiat atau surat

pemisahan dan pembagian (boedelscheiding)

3) Sedapat mungkin nama, nama kecil dan tempat tinggal wakil anak-anak

dibawah umur (yaitu wali, pemegang kekuasaan orang tua), termasuk para

pengurus khusus (bewindvoerder)

4) Suatu perincian tepat surat wasiat, atau dalam hal pewarisan menurut

undang-undang, hubungan antara pewaris dan para ahli waris, yang

menjadi dasar diperolehnya hak itu

5) Semua pembatasan yang ditentukan oleh pewaris terhadap hak untuk

memindah-tangankan apa yang diperoleh, dengan menyebut nama, nama

kecil, dan sedapat mungkin tempat tinggal mereka yang terkena kan

pembatasan itu, serta menyebut orang orang yang boleh menerimanya dan

mereka yang harus membatunya apabila pemindah-tanganan harus

dilakukan

6) Serta pernyataan pejabat yang membuat keterangan ahli waris bahwa dia

telah meyakinkan diri atas kebenaran dari apa yang ditulisnya

Adapun prosedur pembuatan keterangan ahli waris yang dilakukan

oleh notaris adalah sebagai berikut:

Tahap pertama

7) Notaris minta permohonan dari pemohon/ahli waris atau kuasa diatas

materai
93

8) Meminta surat kematian dari pewaris

9) Melakukan pengecakan Daftar Pusat Wasiat, apakah pewaris pernah

membuat wasiat atau tidak, hal ini erat kaitannya dengan pembagian

warisan apakah dilakukan dengan cara ab-intestato atau testametair atau

agar terhindar dari konflik

Tahap kedua

10. Notaris membuat keterangan ahli waris

Pembuatan keterangan ahli waris yang lebih menjamin kepastian

hukum, membutuhkan juga selain ketelitian notaris yang membuatnya dan

kerjasama dari para ahli waris membuktikan dari akta-akta pencatatan

sipil mereka juga partisipasi pemerintah yang menyelenggarakan:

11. Data-data yang akurat/dapat dipercaya kebenarannya yang dimuat dalam

akta-akta catatan sipil.

12. Data-data yang akurat dan tertib dari Kementerian Hukum dan HAM

tentang pendaftaran wasiat yang dikelola secara baik dan nasional

(seluruh Indonesia) bekerja sama dengan para notaris se-Indonesia yang

berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf j UUJN-P, yang mewajibkan notaris

membuat dan mengirimkan daftar akta wasiat selambat-lambatnya tanggal

5 (lima) setiap bulan.115


116
Rita Wati, SH. Mengatakan bahwa pada dasarnya Notaris tidak

bertanggung jawab terhadap isi akta yang dibuat dihadapannya karena

mengenai isi dari akta tersebut merupakan kehendak dan kesepakatan yang

115
Udin Narsudin, Op.,Cit, hlm. 279-281
116
Hasil wawancara Rita Wati, SH, Notaris di Kota Pekanbaru 20 September 2019
94

diinginkan oleh para pihak. Notaris hanya menuangkan kesepakatan tersebut

kedalam bentuk akta otentik sehingga dalam hal ini Notaris hanya

bertanggung jawab terhadap bentuk formal akta otentik sebagamana yang

ditetapkan oleh undang-undang.

Peran notaris disini adalah untuk mencatat atau menuangkan suatu

perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap kedalam akta.

Kemudian notaris menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan akta otentik

dan menuangkannya kedalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk

menyelidiki kebenaran isi materil dari akta otentik tersebut. Hal ini

mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta

memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk

hukum pada Notaris yang bersangkutan. Apabila notaris tidak melakukan

atau salah menerapkan syarat-syarat formil yang ditentukan dalam peraturan

jabatan Notaris, bukan berakibat akta itu menjadi batal akan tetapi akta

tersebut dapat kehilangan keotentiksitasnya, artinya akta yang tadinya sebagai

akta otentik berubah menjadi akta dibawah tangan. Wasiat dapat dibuat secara

otentik, dan dapat juga dibuat dibawah tangan.

Rita Wati, SH, juga menambahkan bahwa setiap perbuatan yang

dilakukan oleh Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila

ada suatu pelanggaran yang dilakukannya dan apabila perbuatan tersebut

menimbulkan kerugian para pihak. Notaris harus mempertanggung jawabkan

atas kebenaran materil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya

ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru. Terhadap tidak


95

didaftarkannya akta wasiat ke Daftar Pusat Wasiat meneurut Rita Wati, SH

sepanjang ditaatinya surat wasiat tersbut oleh ahli waris maka wasiat tetap

bias dijalankan, tetapi apabila salah satu ahli waris menolak, maka wasiatnya

menjadi tidak kuat karena pendaftarannya tidak terlaksana sebagaimana

mestinya.

Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan

baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain (akibat

dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti notaris telah melakukan

perbuatan melanggar hukum. Jika terjadi suatu kesalahan oleh notaris dan

dapat dibuktikan , maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman

sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal 84 UUJN yang menetapkan bahwa “dapat menjadi alas

an bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,

gani rugi dan bunga kepada Notaris”.

C. Deskripsi Putusan Mahkamah Agung No: 320K/PDT/2013

1. Para Pihak :

1) Ny. HANNA GOUW, bertempat tinggal di Jalan Dadap No. 1, RT.

04/RW.05, Kel. Garuda, Kec. Andir, Kota Bandung, Tergugat I.

2) GEORGE GUNAWAN, B.Sc., bertempat tinggal di Jl. S. Parman I/

18, Kel. Tomang, Kec. Grogol, Jakarta Barat, Tergugat II.

3) Ny. SRI LINARTI SASMITO, bertempat tinggal di Jalan Talaud

No. 12, RT. 010/RW.004, Kel. Cideng, Kec. Gambir, Jakarta Pusat,

Tergugat III.
96

4) Ny. ANI ANDRIANI SUKMAYANTINI, SH., Notaris/PPAT,

beralamat kantor di Jalan Walet I Blok A IX No. 6 Jati Bening

Estate, Kota Bekasi, dalam hal ini memberi kuasa masing-masing

kepada H. Kuswara S. Taryono, SH.,MH., dan kawan-kawan, para

Advokat, berkantor di Jl. Sarimas Raya No. 26-28, Bandung,

berdasarkan surat kuasa tanggal 27 Oktober 2012, Tergugat IV.

Para pemohon selaku Tergugat I s/d Tergugat IV/ Pembanding I s/d

Pembanding IV

MELAWAN

Ny. LINDA SOETANTO, bertempat tinggal di Jalan Keselamatan No.

32, RT. 010/RW. 008, Kel. Krukut, Kec. Tamansari, Jakarta Barat, yang

dalam perkara ini adalah selaku istri dan sekaligus salah seorang ahli

waris dari mendiang Alm. Eka Gunawan, Penggugat/Terbanding.

2. Kasus Posisi :

Eka Gunawan selaku suami Penggugat meninggal pada tanggal 19

Mei 2010 di Kota Bandung dengan meninggalkan ahli waris yaitu

Penggugat beserta anak-anak Penggugat.

Semasa hidupnya Alm. Eka Gunawan telah membuat Surat Wasiat

No. 5, tertanggal 12 Mei 2010, yang dibuat oleh dan di hadapan Tergugat

IV, Notaris di Kota Bekasi. Adapun isi daripada Surat Wasiat No. 5,

tertanggal 12 Mei 2010 tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa:

"Alm. Eka Gunawan (suami Penggugat) telah menunjuk Tergugat I s/d


97

Tergugat III sebagai penerima/ pelaksana wasiat untuk mengurus harta

peninggalan dari mendiang Alm. Eka Gunawan".

Akta Wasiat No. 05 Tanggal 12 Mei 2010 yang disebut sebagai Akta

ke I dan Akta Wasiat ke II, yaitu sebagai berikut :

1. Pada Akta Wasiat ke I : Penerima Wasiat yaitu Tergugat I dan

Tergugat II ternyata juga bertindak sebagai Saksi

2. Pada Akta Wasiat ke II : Tergugat I dan Tergugat II hanya

bertindak selaku Penerima Wasiat, dan tidak lagi bertindak

selaku saksi

Beberapa hari kemudian datanglah Tergugat I dan Sdr. Togi, S.H.,

seorang advokat yang juga adalah suami dari Ny. Ani Andriani

Sukmayantini, S.H. kepada Sdr. Albertus Sutjipto, S.H., yang mana

dalam pertemuan tersebut Sdr. Albertus Sutjipto, S.H. menjelaskan

kepada Tergugat I dan Sdr. Togi, S.H., bahwasanya dia tidak bisa

membantu membuatkan Akta Pelaksanaan Wasiat, sehubungan dengan

adanya kejanggalan dalam Akta Wasiat No. 05 Tanggal 12 Mei 2010,

dimana Penerima Wasiat juga bertindak sebagai Saksi karena undang-

undang melarang hal itu dan akibat hukumnya Akta ini adalah batal demi

hukum. Melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf “e” UU Jabatan

Notaris dan Pasal 944 KUH Perdata.

Harta warisan yang tercantum dalam akta wasiat yaitu Safe Deposit

Box (SDB) No. 588 pada Bank UOB Cabang Bandung tercatat atas nama

Eka Gunawan dan Linda Soetanto, ketika Kotak SDB tersebut dibuka
98

ternyata isinya ada yang hilang, yaitu berupa : 1 (satu) kg emas 24 karat,

1 (satu) Sertipikat Ruko di Kelapa Gading dan 1 (satu) IMB rumah

tinggal yang terletak di Villa Kintamani Kelapa gading milik Penggugat.

Bahwa mengingat dalam Surat Wasiat No. 5, tertanggal 12 Mei 2010

terdapat adanya harta milik orang lain yang dimasukkan kedalam akta

tersebut.

Surat Wasiat No. 5, tertanggal 12 Mei 2010 Penggugat sebagai Isteri

dan sekaligus sebagai ahli waris dari mendiang Alm. Eka Gunawan jelas-

jelas sangat dirugikan, oleh karena dalam Surat Wasiat No. 5, tertanggal

12 Mei 2010 tersebut, terdapat adanya beberapa kejanggalan dan

pelanggaran-pelanggaran hukum dalam pembuatannya, yang antara lain:

1) Bahwa di halaman 12 Surat Wasiat No. 5, tertanggal 12 Mei

2010 telah dituliskan/dimasukkan Tergugat I s/d Tergugat III

selaku penerima wasiat juga ditunjuk sebagai saksi dalam

pembuatan surat wasiat.

2) Bahwa berdasarkan Pasal 907 jo. Pasal 911 KUHPerdata dan

Pasal 53 huruf C Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, pemberian keuntungan kepada saksi dalam

wasiat harus dianggap tidak tertulis.

3) Bahwa Eka Gunawan selaku suami Penggugat meninggal pada

tanggal 19 Mei 2010 di Kota Bandung dengan meninggalkan

ahli waris yaitu Penggugat beserta anak-anak Penggugat.


99

4) Bahwa semasa hidupnya Alm. Eka Gunawan telah membuat

Surat Wasiat No. 5, tertanggal 12 Mei 2010, yang dibuat oleh

dan di hadapan Tergugat IV, Notaris di Kota Bekasi.

5) Bahwa telah ternyata pula Surat Wasiat No. 5, tertanggal 12 Mei

2010 yang dibuat oleh Tergugat IV terdapat beberapa salinan

yang antara yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda,

yaitu antara lain :

a. Salinan surat wasiat yang Penggugat terima langsung dari

Tergugat IV berbeda dengan yang Penggugat terima dari

sdr. Drs. I Gede Purwaka, SH., Notaris di Tangerang dan

hebatnya berbeda juga dengan yang Penggugat dapatkan

langsung dari Tergugat IV dimana salinan surat wasiat

yang Penggugat terima langsung dari Tergugat IV terdiri

dari 14 (empat belas) halaman, sedangkan salinan surat

wasiat yang Penggugat terima dari Sdr. Drs. I Gede

Purwaka, SH, Notaris di Tangerang terdiri dari 13 (tiga

belas) halaman.

b. Terdapat materi-materi yang hilang (dihilangkan) dalam

salinan surat wasiat yang Penggugat terima langsung dari

Tergugat IV, dan tidak terdapat lagi dalam salinan surat

wasiat yang Penggugat terima dari sdr. Drs. I Gede

Purwaka, SH.,.
100

Pengadilan Negeri Bandung dalam putusannya No:

96/Pdt.G/2011/PN.Bdg tanggal 11 Januari 2012, amarnya menyatakan

mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan akta

wasiat No: 5 tanggal 12 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Ani

Andriani Sukmayantini, SH Notaris di kota Bekasi adalah batal demi

hukum dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.

Putusan tersebut dikuatkan oleh putusan Pengadilan Bandung

sebagaimana dalam putusannya Nomor: 232/PDT/2012/PT.Bdg.

Menyatakan bahwa SURAT WASIAT No. 05 tanggal 12 Mei 2010 yang

dibuat dihadapan Tergugat IV, Notaris di Bekasi cacat hukum dan

karenanya batal demi hukum dengan segala akibat hukum yang

ditimbulkannya" sedangkan bunyi amar Putusan Pengadilan Tinggi

sebagai berikut : "Menyatakan AKTA WASIAT No. 5 tanggal 12 Mei

2010 yang dibuat dihadapan Notaris Ani Adriani Sukmayantini, SH

Notaris di Kota Bekasi. adalah batal demi hukum dengan segala akibat

hukum yang ditimbulkannya."namun yang dikabulkan dalam Putusan

Pengadilan Tinggi a quo adalah apa yang tidak dituntut

Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi yaitu "Menyatakan akta wasiat

No. 5 tanggal 12 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Ani Andriani

Sukmayantini, SH Notaris di Kota Bekasi adalah batal demi hukum

dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya" sehingga putusan

Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena melampaui batas wewenang


101

yaitu mengabulkan apa yang tidak dituntut Penggugat/Terbanding/

Termohon Kasasi dalam surat gugatannya.

Pengertian surat wasiat berbeda dengan akta wasiat. Kewenangan

notaris yaitu membuat akta, bukan membuat surat dengan demikian harus

dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumnya yang

dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu

sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya yang tidak terikat

pada aturan tertentu, dan (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai

alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat

di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada

bentuk yang sudah ditentukan. Pengadilan Tinggi telah mengabulkan

yang tidak dituntut dan/atau tidak dipersoalkan dalam Petitum

Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi sehingga membatalkan Akta

Wasiat No. 5 tanggal 12 Mei 2010, maka terbukti putusan Pengadilan

Tinggi Bandung telah melampaui batas wewenangnya sehingga harus

dibatalkan.

Pertimbangan hukum:

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut

Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex

Facti/Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan Pengadilan Negeri

Bandung tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan

sebagai berikut:
102

1. Bahwa gugatan yang diajukan Penggugat adalah untuk

membatalkan Akta Wasiat No. 5 tanggal Mei 2010 dengan alasan

Akta Wasiat telah dibuat secara melawan hukum dan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

2. Bahwa berkaitan dengan perkara notaris dalam menjalankan

jabatannya sesuai dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004

Pasal 6 ayat 1 tentang jabatan notaris berkewajiban untuk

membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut

urutan waktu pembuatan akta setiap bulan dan mengirimkan

daftar akta tersebut atau daftar untuk yang berkenaan dengan

wasiat kedalam daftar pusat wasiat departemen yang bertugas dan

bertanggungjawab di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima)

hari pada minggu pertama setiap bulan;

Tidak terdaftar akta wasiat atas nama almarhum Eka Gunawan.

1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang No. 30

Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, menerangkan

bahwa pada pokoknya pelanggaran yang dilakukan Notaris

terhadap ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf Undang-Undang

tersebut mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi

batal demi hukum;


103

2. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang

No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah

dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004;

3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata

bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan

dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan

kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: Ny. Hanna

Gouw dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;


BAB IV

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA WASIAT YANG

TIDAK DIDAFTARKAN PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

A. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Wasiat Yang Tidak

Didaftarkan Pada Daftar Pusat Wasiat

Sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, notaris

dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan

pekerjaannya membuat akta tersebut, Dikatakan bahwa jabatan Notaris erat

kaitannya dengan kebutuhan masyarakat atas adanya seseorang yang

keterangan-keterangannya dapat dipercaya, yang tanda tangan dan segelnya

(capnya) dapat memberikan jaminan dan bukti yang kuat, seseorang yang

tidak memihak dan bisa pula menjadi penasehat serta dapat menjaga rahasia,

dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindungi kepentingan

dimasyarakat dihari-hari yang akan datang.

Notaris sebagai seorang manusia biasa, dalam menjalankan tugas

jabatannya dapat melakukan kesalahan dan atau pelanggaran. Dalam praktik

banyak terjadi jika ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, atau

pihak ketiga lainnya, sering pula Notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta

melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat

atau memberikan keterangan palsu ke dalam Akta Notaris117

Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan

baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain (akibat


117
Habib Adjie, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
20014 Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 24.
105

dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti notaris telah melakukan

perbuatan melanggar hukum. Jika terjadi suatu kesalahan oleh notaris dan

dapat dibuktikan , maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman

sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal 84 UUJN yang menetapkan bahwa “dapat menjadi alas

an bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,

gani rugi dan bunga kepada Notaris”.

Menurut Pasal 1 Angka 7 UUJN, Akta Notaris adalah Akta Otentik yang

dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka Akta Wasiat adalah

Akta Otentik karena dibuat di hadapan Notaris.

Akta Wasiat dalam pembuatannya memang bersifat personal tanpa

adanya batasan terhadap kehendak Pewasiat, namun, dalam pelaksanaan Akta

Wasiat tersebut terdapat pembatasan-pembatasan dan ketentuan yang

mengaturnya:

a. Segala isi surat wasiat yang tidak dapat dimengerti, atau tidak

mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan kesusilaan

yang baik harus dianggap tidak tertulis, hal ini diatur dalam Pasal

888 KUHPerdata.

b. Dinyatakan dalam Pasal 890 KUHPerdata bahwa apabila isi dari

Akta Wasiat terdapat sebab palsu, dan isi dari Akta Wasiat tertulis

bahwa Pewasiat tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan

kepalsuannya, maka Akta Wasiat tidaklah sah.


106

c. Pasal 906 KUHPerdata mengatur bahwa dalam Akta Wasiat tidak

boleh memberikan keuntungan kepada tabib atau dokter yang

melayani semasa Pewasiat menderita sakit sampai akhir hidupnya.

d. Pasal 907 KUHPerdata juga mengatur terhadap Notaris yang

membuat atau berhadapan dengan Pewasiat juga saksi-saksi dalam

pembuatan Akta Wasiat tidak boleh diberikan keuntungan sedikitpun

terhadap mereka dari Akta Wasiat Pewasiat.

e. Suatu ketetapan Wasiat yang diambil guna untuk memberikan

keuntungan orang yang tidak cakap mewaris maka Akta Wasiat akan

berkedudukan batal, sekalipun melalui seorang perantara. Hal ini

diatur dalam Pasal 911 KUHPerdata.

f. Pasal 912 KUHPerdata mengatur mengenai larangan orang tertentu

untuk mengambil keuntungan dari Wasiat, diantaranya adalah

mereka yang telah dihukum karena membunuh Pewasiat, mereka

yang menggelapkan, memhancurkan dan memalsukan Akta Wasiat

si pewasiat, serta mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah

mencegah pewasiat untuk mengubah atau mencabut akta wasiat

sekalipun dilakukan oleh istri atau suami pewasiat. Dalam

pelaksanaan Akta Wasiat harus dianggap telah diambil bagian untuk

Legitime Portie sebelumnya sesuai dengan Pasal 877 dan Pasal 913

KUHPerdata. Maksudnya dalam pelaksanaan wasiat terdapat

larangan yang menyebabkan legitime portie menjadi kurang dari

semestinya. Menurut Pasal 913 KUHPerdata, bagian Mutlak atau


107

legitime portie, ialah bagian dari harta benda yang harus diberikan

kepada Ahli Waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang

terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan

sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup,

maupun sebagai wasiat. Diatur pula mengenai hal ini dalam Pasal

877 KUHPerdata, yaitu:

“Suatu ketetapan wasiat untuk: para keluarga sedarah yang


terdekat, atau untuk: darah terdekat dari si meninggal, tanpa
penjelasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil untuk
keuntungan para ahli waris menurut undang-undang.”

Surat Wasiat atau Testamen ialah sebuah Akta yang berisi pernyataan

seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang

dapat dicabut kembali olehnya. Surat Wasiat secara fisik harus berupa suatu

Akta yang memenuhi syarat. Jika dilihat dari isinya atau secara materiil,

wasiat atau testamen merupakan suatu pernyataan kehendak, yang baru

mempunyai akibat atau berlaku setelah pembuat Surat Wasiat meninggal

dunia.

Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka wasiat yang bersangkutan

kedudukannya akan dapat menjadi di bawah tangan atau bahkan batal demi

hukum, serta Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki peran untuk

memberikan alat bukti juga akan ikut serta dipertanyakan keahliannya dalam

menjalankan jabatannya.

Faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau dapat

dibatalkan adalah sebagai berikut:

a. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak.


108

b. Cacat Dalam Kehendak (Pasal 1322-Pasal 1328 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata) menetapkan secara limitatif adanya cacat

kehendak, yaknI kekhilafan/kesesatan, penipuan, dan paksaan.

Dengan demikian, untuk dapat menjadi akta wasiat yang tidak dapat batal

dan dibatalkan dipenuhilah formalitas-formalitas yang harus diperhatikan

dalam proses pembuatan akta wasiat secara umum adalah

1. Kehendak terakhir, yang diberitahukan oleh si pembuat wasiat secara

lugas kepada seorang notaris, harus ditulis oleh notaris itu dengan

kata-kata yang jelas.

2. Penyampaian ini harus dilakukan sendiri oleh si pembuat wasiat,

tidak dapat dilakukan melalui penuturan orang lain, anggota

keluarga, atau seorang juru bicara.

3. Dengan dihadiri oleh saksi-saksi. Notaris sendiri harus membacakan

akta kepada si pembuat wasiat dan setelah pembacaan itu, notaris

harus bertanya kepadanya apakah yang dibacakan itu benar

mengandung wasiatnya.

4. Akta itu harus ditandatangani oleh si pembuat wasiat, notaris, dan

saksi-saksi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

pasal 939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5. Jika si pembuat wasiat menerangkan tidak dapat menandatangani

atau berhalangan menandatangani akta itu, keterangan si pembuat

wasiat serta halangan yang dikemukakan harus ditulis secara tegas

dalam akta oleh notaris yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan
109

ketentuan yang terdapat dalam pasal 949 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

6. Bahasa yang ditulis dalam akta wasiat (testament acte) harus sama

dengan bahasa yang dipakai oleh si pembuat wasiat pada saat

menyebutkan kehendak terakhirnya g. Setelah surat wasiat tersebut

dibuat, maka setiap notaris dalam tempo lima hari pertama tiap-tiap

bulan wajib melaporkan atas akta wasiat yang dibuat olehnya kepada

Daftar Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh pemerintah agar

memberikan bantuan kepada masyarakat yang menghendaki dibuatnya alat

bukti terttulis atas terjadinya suatu peristiwa hukum. Alat bukti tertulis atau

surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Notaris berprofesi sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari

kekuasan negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat

bukti otentik (akta Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam

bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya

setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

Mengenai tanggung jawab tidak terlepas dari sanksi yang akan

diberlakukan pada notaris. Bila ditelisik lebih dalam lagi, selain sanksi

administratif sebagaimana yang telah dibahas di subbab sebelumnya, ternyata


110

ada sanksi lain bagi notaris. Ketentuan mengenai sanksi tersebut diatur dalam

Pasal 16 ayat (12) UUJN yang menyatakan bahwa selain dikenai sanksi

sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal

16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian

untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

Dalam konteks ini mengapa yang digunakan istilah tanggung gugat adalah

karena sanksi tersebut di atas menekankan pada adanya kerugian bagi suatu

pihak sehingga akan lebih tepat bila digunakan istilah tanggung gugat.

Berdasarkan pasal 16 ayat (1) UUJN, dalam menjalankan jabatannya,

notaris berkewajiban:

a. bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum
b. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari protokol notaris
c. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta
berdasarkan minuta akta
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya
e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang- undang
menentukan lain
f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang membuat tidak lebih dari 50 (limapuluh) akta, dan jika jumlah
akta tidak dapat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat
dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah minuta
akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku
g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
(DPW) Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap
bulan berikutnya
111

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada


setiap akhir bulan
k. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan
nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan
l. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani saat itu juga oleh
penghadap, saksi-saksi, dan notaris
m. menerima magang calon notaris.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, notaris berkewajiban

untuk mengirimkan laporan mengenai adanya suatu wasiat yang telah dibuat

di hadapannya. Yang menjadi poin masalah dalam hal ini adalah ketika

notaris tidak mengirimkan laporan sebagaimana yang dimaksud. Dalam hal

ini dapat dikatakan bahwa notaris telah melanggar kewajibannya

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) hueuf j UUJN dan itu

merupakan suatu kesalahan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan

melanggar hukum (onrechtmatigedaad).

Salah satu kewenangan notaris adalah membuat akta wasiat (testament

acte). Notaris membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut

urutan waktu pembuatan akta setiap bulan. Kewenangan ini penting untuk

memberi jaminan perlindungan terhadap kepentingan pewaris dan ahli waris,

yang setiap saat dapat dilakukan penelusuran akan kebenaran suatu surat

wasiat yang telah dibuat dihadapan notaris. Semua akta wasiat (testament

acte) yang dibuat dihadapan notaris wajib diberitahukan kepada Seksi Daftar

Pusat Wasiat, baik testament terbuka (openbaar testament), testament tertulis

(olographis testament), maupun testament tertutup atau rahasia. Jika akta


112

wasiat (testament acte) tersebut tidak diberitahukan maka wasiat itu tidak

akan berlaku mengikat.

Terhadap akta wasiat (testament acte) yang dibuat dihadapannya, notaris

bertanggungjawab membacakannya dihadapan saksi-saksi. Setelah itu notaris

memberitahukan akta wasiat (testament acte) tersebut kepada Seksi Daftar

Pusat Wasiat, Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum

Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan kepada Balai Harta

Peninggalan (BHP).Sehingga tanggungjawab notaris berakhir dengan

dilakukannya pemberitahuan akta wasiat (testament acte). Namun, apabila

terjadi kesalahan dalam pembuatan akta wasiat (testament acte) dan kesalahan

tersebut merupakan kesalahan notaris, maka notaris tersebut wajib

mempertanggungjawabkannya di muka pengadilan. Dalam hal terjadi

kesalahan tersebut, Daftar Pusat Wasiat (DPW) dan Balai Harta Peninggalan

(BHP) tidak ikut bertanggungjawab karena Daftar Pusat Wasiat (DPW) dan

Balai Harta Peninggalan (BHP) sifatnya hanya menerima laporan-laporan

dari notaris mengenai surat wasiat (testament acte). Kalau dimungkinkan,

Notaris memberitahukan pada para ahli waris jika terdapat suatu wasiat atau

testament, namun di dalam prakteknya, Notaris kadang-kadang tidak

mengetahui kapan pembuat wasiat meninggal dunia, dan dimana alamat atau

domisili dari si pembuat wasiat.

Tanggung jawab Notaris yang tidak medaftarkan dan melaporkan akta

wasiat sesuai dengan UUJN merupakan tanggung jawab jabatan yang mana

Notaris tidak mendaftarkan dan melaporkan akta wasiat yang mana hal
113

tersebut merupakan sebuah pelanggaran kewajiban yang disebutkan dalam

Kode Etik Notaris Indonesia bahwa Notaris berkewajiban atas sikap, perilaku,

perbuatan, atau tindakan yang harus atau wajib yang memangku dan

menjalankan jabatan Notaris dalam rangka memelihara citra serta wibawa

lembaga kenotariatan dan keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.118

Tanggung jawab Notaris dalam hal kode etik dilihat dalam hubungan

jabatan Notaris dengan organisasi notaris diatur melalui kode etik Notaris.119

Maka, Notaris dalam sumpahnya telah berjanji untuk menjaga sikap, tingkah

lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi,

kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. Dengan

adanya hubungan ini, maka terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran

dari martabat jabatannya selain dapat dikenakan sanksi moril, ditegur atau

dipecat dari keanggotaan jabatannya, juga dapat dipecat dari jabatannya

sebagai Notaris.120

Dalam pertimbangan hukum, bahwa berkaitan dengan perkara notaris

dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-Undang No 2 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 dalam

Pasal 16 ayat 1 huruf i tentang jabatan notaris berkewajiban untuk membuat

daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan

118
Mahlmia Nola Pohan, “Suatu Tinjauan tentang Pembatalan Akta Notaris yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan”, Tesis, Magister Kenotariatan,
Universitas Sumatera Utara, 2011, hlm. 11.
119
Umi Mamlu’ul Hikmah, Bambang Sugiri, Sukarni, “Tanggung Jawab Notaris Dalam
Membuat Perjanjian Simulasi Yang Berbentuk Akta Notaris Ditinjau Dari Hukum Perjanjian”,
Jurnal, 2016, hlm. 19.
120
Leovin Ginho, “Analisis Adanya Praktek Notaris yang Ditetapkan Sebagai Pelanggaran
Hukum di Polresta Medan”, Premise Law Jurnal, Vol. 21, 2017, hlm. 7.
114

akta setiap bulan dan mengirimkan daftar akta tersebut atau daftar untuk yang

berkenaan dengan wasiat kedalam daftar pusat wasiat departemen yang

bertugas dan bertanggungjawab di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima)

hari pada minggu pertama setiap bulan. Berkaitan dengan pembuktian yang

dilakukan, Kementrian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal AHU

dengan surat No. AHU.2-AH.04-01-4233 tanggal 8 Juli 2010 menerangkan

bahwa dalam buku register seksi daftar wasiat sub direktorat harta

peninggalan direktorat perdata, tidak terdaftar akta wasiat atas nama

almarhum Eka Gunawan, padahal surat tersebut telah dikirimkan 2 (dua)

bulan, melebihi tenggang waktu yang ditetapkan sebagaimana ketentuan di

atas.

Pelanggaran Notaris yang tidak mendaftarkan dan melaporkan akta wasiat

ke Daftar Pusat Wasiat telah memenuhi aspek 2 (dua) pelanggaran, yaitu

pelanggaran terhadap kode etik dan pelanggaran terhadap UUJN Dalam

pelanggaran kode etik dikatakan bahwa Notaris merupakan orang yang

memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum

sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN dan sikap, perilaku dan perbuatan

atau tindakan apapun yang tidak boleh dilakukan oleh jabatan Notaris dalam

rangka menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga kenotariatan

yang mana ataupun keluhuran harkat, dan martabat jabatan Notaris (Pasal 1

Perubahan Kode Etik Notaris, Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia).

Sedangkan pada pelanggaran UUJN, terdapat pelanggaran pada dengan

Pasal 16 ayat (1) huruf j UUJN yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan
115

jabatannya, Notaris wajib mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud

dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat

Wasiat pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya.

Dengan kata lain, Notaris yang melakukan pelanggaran dengan tidak

mendaftarkan dan melaporkan akta wasiat ke Daftar Pusat Wasiat dapat

dikenakan sanksi secara kode etik berupa sanksi teguran secara lisan maupun

tulisan.

Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum, menurut GHS

Lumban Tobing, Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang

dibuatnya, apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut:121

1. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Peraturan Jabatan

Notaris

2. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai

bentuknya (gebrek in the vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau

dianggap hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan.

3. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 1365 mengenai tanggung jawab dengan unsur

kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), Pasal 1366 mengenai

tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian, dan

Pasal 1367 KUHPerdata mengenai tanggung jawab mutlak (tanpa

121
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm.
325.
116

kesalahan)122 terdapat kewajiban untuk membayar ganti kerugian,

artinya semua hal-hal tersebut harus dilalui proses pembuktian yang

seimbang.

Selain itu, Notaris juga dapat digugat secara perdata apabila melalaikan

kewajibannya dalam mendaftarkan dan melaporkan akta wasiat oleh orang

lain terutama oleh pemberi dan penerima wasiat yang mana tanggung jawab

Notaris tersebut berkaitan dengan norma moral yang merupakan ukuran bagi

Notaris untuk menentukan benar atau salah dan baik atau buruknya tindakan

yang dilakukan dalam menjalankan jabatannya.123

Sebelum seorang Notaris dijatuhi sanksi keperdataan tersebut, maka harus

terlebih dahulu dibuktikan bahwa:124

1. Adanya kerugian

2. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaan atau kelalaian dari

Notaris terdapat hubungan kausal

3. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan

kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang

bersangkutan.

Tuntutan terhadap Notaris keperdataan tersebut sebagai akibat akta

Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan

atau batal demi hukum tentunya berdasarkan adanya:125


122
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris,
Kurator, dan Pengurus, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 4
123
Triyanto Setyo Prabowo, “ Tanggung Jawab Notaris Yang Sedang Magang Terhadap
Keberhasilan Akta” , Jurnal Repertorium, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017, hlm. 74.
124
Vina Akfa Dyani, “Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam
Membuat Party Acte”, Jurnal Lex Renaissance, No. 1, Vol. 2, Januari 2017, hlm. 168-169.
125
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 20.
117

1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para

penghadap dengan bentuk sebagai Perbuatan Melawan Hukum.

2. Ketidakcermatan, ketidaktelitian dan ketidakkepatan dalam:

a) Teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN

b) Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta

yang bersangkutan

Untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan

menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada

umumnya.

Selain itu para pihak berkepentingan yang merasa dirugikan atau pihak

korban juga dapat menuntut pembatalan akta yang tentunya menjadi

kewenangan hakim perdata yang mana sebelumnya telah diajukan gugatan

secara perdata ke pengadilan. Akta Notaris yang telah diketahui sebelumnya

walaupun merupakan akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang

mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna juga dapat

dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti dari pihak lawan.126

Dalam pertimbangan hakim Mahkamah Agung, notaris dalam

menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014

Pasal 16 ayat 1 tentang jabatan notaris berkewajiban untuk membuat daftar

akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta

setiap bulan dan mengirimkan daftar akta tersebut atau daftar untuk yang

berkenaan dengan wasiat kedalam daftar pusat wasiat departemen yang

126
Lidya Christina Wardhani, “Tanggung Jawab Notaris/PPAT Terhadap Akta yang Dibatalkan
oleh Pengadilan”, Lex Renaissance Jurnal, Vol. 2, No. 1, Januari 2017, hlm. 39.
118

bertugas dan bertanggungjawab di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima)

hari pada minggu pertama setiap bulan dan berdasarkan ketentuan Pasal 84

Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Peraturan Jabatan Notaris,

menerangkan bahwa pada pokoknya pelanggaran yang dilakukan Notaris

terhadap ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf Undang-Undang tersebut

mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Dengan

adanya kesalahan penerapan hukum, pelanggaran hukum yang berlaku, dan

kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan

yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui

batas wewenangnya

Dengan demikian akta wasiat yang dibuat secara autentik oleh Notaris

PPAT Ani Andriani Sukmayantini, S.H sebagai turut tergugat IV dikota

Bekasi sebagai alat bukti memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan

pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal, dan kekuatan pembuktian

materiil. Oleh karena itu akta wasiat yang dibuat secara autentik memiliki

ketiga kekuatan pembuktian, maka akta wasiat yang dibuat secara autentik

merupakan suatu alat bukti yang sempurna sepanjang tidak dibuktikan

ketidakbenarannya. Apabila suatu akta autentik ternyata tidak memenuhi

kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materiil dan tidak memenuhi

syarat otentisitas maka akta autentik tidak lagi disebut sebagai akta autentik

melainkan hanya akta di bawah tangan. Pengertian akta autentik sebagai alat
119

bukti yang sempurna adalah apabila bukti ini diajukan dalam suatu

persidangan, maka hakim tidak akan menyangkal kebenarannya, dan hakim

tidak akan meminta bukti pendukung lainnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan mengenai tanggung jawab Notaris

PPAT Ani Andriani Sukmayantini, S.H sebagai turut tergugat IV dikota

Bekasi menurut UUJN terkait tidak terdaftarnya akta wasiat kepada Balai

Harta Peninggalan (BHP), maka notaris dapat diminta pertanggungjawaban

secara perdata dalam hal ini bahwa akta notaris dapat diajukan

pembatalannya oleh pihak yang dirugikan dengan adanya akta tersebut. Pihak

dapat meminta ganti rugi, denda, bunga dan sebagainya dengan mengajukan

gugatan ke Pengadilan.

B. Perlindungan Hukum Bagi Legitimaris Terhadap Akta Wasiat Yang

Tidak Didaftakan Ke Daftar Pusat Wasiat

Pewaris sebagai pemilik harta, mempunyai hak mutlak untuk

mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan

konsekwensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur.Ahli

waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari harta

warisan, disebut ahli waris Legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia

dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris Legitimaris, dinamakan

Legitime Portie. Jadi hak Legitime Portie adalah, hak ahli waris Legitimaris
120

terhadap bagian yang tidak tersedia dari harta warisan disebut ahli waris

legitimaris.127

Di dalam hukum waris perdata, dikenal ada dua cara untuk

memperoleh warisan, yaitu : 128

1. Ketentuan undang-undang atau wettelijk Erfrecht atau Abintestato,

yaitu ahli waris yang telah diatur dalam undang-undang untuk

mendapatkan bagian dari warisan, karena hubungan kekeluargaan atau

hubungan darah dengan si meninggal.

2. Testament atau wasiat atau testamentair erfrecht, yaitu ahli waris yang

mendapatkan bagian dari warisan, karena ditunjuk atau ditetapkan dalam

suatu surat wasiat yang ditinggalkan oleh si meninggal.

Dalam hukum waris BW (Perdata) suatu pewarisan terdapat tiga unsur

penting, yaitu:

(1) adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris,

(2) adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan,

(3) adanya ahli waris.

Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang meninggal dunia

dengan meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud ahli waris

adalah orang-orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang

hukum harta kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Selanjutnya yang

127
Anisitus Amanat, 2001, Op., Cit, hlm. 68.
128
Darmabrata, Wahyono. 2003. Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Waris. Jakarta : CV Gitama
Jaya, hlm. 41.
121

dimaksud warisan adalah harta kekayaan yang dapat berupa kumpulan aktiva

dan pasiva dari si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.129

Agar dapat menjadi ahli waris harus memenuhi beberapa persyaratan,

yaitu :

1. Harus ada orang yang meninggal dunia.

2. Ahli waris harus ada pada saat si pewaris meninggal dengan tetap

memperhatikan pasal 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa anak

yang masih dalam kandungan seorang ibu, dianggap sebagai telah

lahir bilamana kepentingan si anak tersebut menghendaki, dan

apabila anak ini lahir meninggal maka ia dianggap tidak pernah ada.

3. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewarisi dalam arti

tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak

patut mewarisi karena kematian, atau dianggap sebagai tidak cakap

untuk menjadi ahli waris.

Dalam hukum perdata, wasiat merupakan sesuatu yang penting, karena

perselisihan di antara para ahli waris terkait harta warisan dapat dihindarkan

dengan adanya pesan terakhir. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan

siapa saja yang akan menjadi ahli waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu

diperuntukkan kepada seseorang tertentu, baik berupa beberapa benda

tertentu atau sejumlah benda yang dapat di ganti. Wasiat atau testament yang

berisi sebagian atau seluruh harta kekayaan, hanyalah janji dari pembuat

129
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 34.
122

testament kepada penerima testament. Janji itu baru bisa dilaksanakan setelah

pembuat testament itu meninggal dunia.

Pada pelaksanaannya, pembuatan bukti sebagai ahli waris juga berkaitan

dengan kewenangan Notaris. Sebagaimana diketahui bahwa Notaris dalam

hal ini merupakan salah satu pihak yang berwenang untuk membuat

keterangan waris. Surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris adalah

akta-akta yang dibuat oleh ataupun dihadapan Notaris adalah akta otentik,

sebagaimana keotentikan suatu akta diatur dalam pasal 1868 KUHPerdata.

Surat keterangan waris untuk golongan penduduk non pribumi dalam pasal

11 (Ayat 1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dibuat oleh

Notaris dalam bentuk akta.

Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (kekuatan

yang membuktikan bahwa akta otentik tersebut kehadirannya telah sesuai

dengan perundang- undangan yang berlaku), formal (yang dinyatakan dalam

akta otentik tesebut adalah benar sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa hal

tersebut tidak benar) dan material (memberikan kepastian hukum

bahwasannnya keterangan yang diberikan akta tersebut adalah benar).130

Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa;

“Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh


warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh
atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak,
130
Cita Astungkoro Sukmawirawan, “Kekuatan Pembuktian Legalisasi dan Waarmeking Akta di
Bawah Tangan oleh Notaris”, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiwa, Fakultas Hukum,
Universitas Jember, 2014, hlm. 6.
123

demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan


besitnya.
Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia
adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli
waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan
apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta
segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-
peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai
penuntutan kembali hak milik.”

Undang-undang memberikan perlindungan dan jaminan kepada ahli waris

tertentu (legitimaris) untuk memperoleh bagian tertentu dari warisan pewaris.

Oleh karena itu, legitimaris yang terlanggar haknya dapat melakukan upaya

hukum berupa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Dalam proses pembuatan akta wasiat (testament acte), seseorang yang

akan membuat surat wasiat datang kepada notaris, dan ia harus

memperhatikan formalitas-formalitas khusus agar wasiat tersebut berlaku sah

sebagai akta otentik. Maka hal tersebut ditetapkan dalam pasal 938

KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap surat wasiat dengan akta

umum harus dibuat dihadapan notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.”

Selanjutnya pasal 939 KUHPerdata menyatakan: “ Dengan kata-kata yang

jelas, notaris tersebut harus menulis atau menyuruh menulis kehendak si yang

mewariskan, sebagaimana hal ini dalam pokoknya dituturkannya.”

Surat wasiat dapat dibuat dalam dua cara yakni dinotariskan atau di

bawah tangan. Surat wasiat yang dinotariskan (akta wasiat) akan didaftarkan

pada Daftar Pusat Wasiat di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia. Kekuatan hukum akta wasiat ini tidak dapat dibatalkan secara

sepihak melainkan harus melalui putusan pengadilan. Wasiat yang melalui


124

akta wasiat lebih menjamin secara hukum, baik bagi yang mengeluarkan

wasiat maupun bagi yang menerima wasiat. Surat wasiat yang dibuat di

bawah tangan tentunya cukup ditandatangani oleh si pembuat wasiat dan

dilengkapi tandatangan para saksi minimal 2 orang. Secara hukum, surat

wasiat dibawah tangan ini tidak memberikan jaminan hukum karena dapat

dibatalkan secara sepihak cara ini sudah banyak ditinggalkan mengingat

rawan terhadap konflik hukum di kemudian hari.

Dalam surat wasiat, baik yang dibuat oleh notaris maupun di bawah

tangan harus menunjuk seseorang atau lebih sebagai pelaksana dari wasiat

tersebut. Kepada para pelaksana wasiat, pewaris dapat memberikan

penguasaan atas semua barang dari harta peninggalan, atau sebagian tertentu

daripadanya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1007 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yakni, “penguasaan tersebut demi hukum tidak akan

berlangsung selama lebih dari satu tahun, terhitung semenjak hari para

pelaksana itu sedianya dapat mengambil benda-benda itu dalam

kekuasaannya.” Selain penunjukan pelaksana wasiat, surat wasiat juga dapat

berguna untuk membuktikan adanya harta pewasiat yang mungkin tidak

diketahui oleh ahli waris ab intestato yang diwasiatkannya kepada ahli waris

testamenter. Sehingga wasiat juga berfungsi sebagai salah satu alat untuk

mengetahui harta-harta pewaris yang hanya diketahui pewaris.

Ketentuan lain dalam pembuatan surat wasiat ini adalah bahwa pembuat

wasiat harus menyatakan kehendaknya yang berupa amanat terakhir ini secara

lisan di hadapan notaris dan saksi-saksi. Salah satu ciri dan sifat yang
125

terpenting dan khas dalam setiap surat wasiat, yaitu surat wasiat selalu dapat

ditarik kembali oleh si pembuatnya. Hal ini disebabkan tindakan membuat

surat wasiat adalah merupakan perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi.

Pasal 930 BW melarang bahwa surat wasiat dibuat oleh dua orang atau lebih.

Ketentuan ini ada hubungannya dengan sifat khusus dan penting suatu surat

wasiat, yaitu bahwa surat wasiat selalu dapat dicabut. Apabila undang-undang

mengijinkan beberapa orang membuat wasiat dalam surat wasiat, maka dalam

hal pencabutan dapat timbul kesulitan. Alasan utama larangan tersebut adalah

kerahasiaan isi wasiat.131

Surat wasiat harus dibuat dalam bentuk akta, namun hukum perdata tidak

mensyartakan apakah surat wasiat itu harus dibuat dalam bentuk akta

dibawah tangan atau akta otentik. Namun dalam prakteknya, surat wasiat

umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik (dibuat dihadapan Notaris). Hal

ini penting mengingat dalam segi pembuktian akta otentik memiliki nilai

pembuktian yang sempurna.

Akta wasiat yang tidak diketahui keberadaannya oleh ahli waris dan

penerima wasiat tetap memiliki kekuatan hukum dan kekuatan pembuktian

sepanjang dilaksanakan sesuai formalitas pembuatan akta wasiat yang telah

ditentukan, tetapi dengan tidak diketahuinya adanya wasiat menjadikan akta

wasiat tersebut tidak dapat dijalankan oleh ahli waris dan penerima wasiat

bagi golongan penduduk pribumi. Tidak dilaksanakannya isi wasiat

menjadikan obyek yang dipersoalkan dalam wasiat dapat beralih kepihak lain.

131
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2007), hlm. 267.
126

Tidak adanya aturan yang mengatur daluarsanya sebuah akta wasiat

mengakibatkan wasiat masih dapat terus dilaksanakan selama wasiat tersebut

tidak menjadi gugur sesuai dengan Pasal 997, Pasal 1001 dan Pasal 1004

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 132

Kondisi dimana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya

wasiat pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat merugikan

penerima wasiat dan menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris karena

hilangnya kepastian hukum dari pembagian warisan sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 943 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Tiap-tiap

notaris yang menyimpan surat-surat wasiat diantara surat-surat aslinya, biar

dalam bentuk apapun juga, harus, setelah si yang mewariskan meninggal

dunia, memberitahukan kepada semua yang berkepentingan.” Tetapi,

Penerapan pasal ini sangat sulit untuk dilaksanakan karena pada dasarnya

notaris tidak mengetahui apakah pewasiat tersebut telah meninggal atau

masih hidup. Sehingga sulit bagi notaris untuk memberitahukan kepada ahli

waris akan adanya wasiat yang pernah dibuat pewasiat dan menjadi sulit

untuk melaksanakan isi dari akta wasiat tersebut yang merupakan kehendak

terakhir dari pewaris atas harta warisannya yang memiliki kekuatan hukum

dan kekuatan pembuktian yang sempurna.

Ahli waris ab intestato pada dasarnya tidak dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri karena ahli waris ab intestato tidak dirugikan atas sengketa

ini. Yang berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri adalah ahli waris

testamenter yang haknya dirugikan. Setiap orang yang merasa hak


132
Titik Triwulan Tutik, Op., Cit, hlm. 274.
127

keperdataannya dilanggar orang lain atau memiliki kepentingan dapat

menggugat orang yang merugikannya ke Pengadilan Negeri dengan menuntut

ganti rugi.

Tetapi ahli waris ab intestato dapat memberikan pembelaan di sidang

gugatan tersebut terkait tidak adanya niat buruk dan unsur kesengajaan dalam

pembagian warisan, dikarenakan ahli waris ab intestato telah melaksanakan

semua prosedur sebelum pembagian waris dengan benar, tetapi produk

hukum dari pada surat keterangan ahli warisnya tidak sempurna karena tidak

terlebih dahulu dilakukan pengecekan terhadap wasiat. Upaya hukum litigasi

yang dapat dilakukan ahli waris ab intestato adalah mengajukan upaya hukum

lanjutan berupa banding dan kasasi apabila ternyata pada tingkat pertama ahli

waris ab intestato dikalahkan dan apabila ahli waris ab-intestato merasa

dirugikan atas putusan Pengadilan Negeri.

Salah satu yang menjadi suatu masalah dalam pembuatan akta wasiat,

yakni pada umumnya dalam proses pembuatan wasiat, pemberi wasiat sering

kali tidak memberitahu kepada ahli warisnya ataupun kepada penerima wasiat

akan adanya wasiat yang dibuat oleh pemberi wasiat. Tidak adanya kewajiban

bagi pemberi wasiat untuk memberitahukan adanya wasiat yang akan dia buat

menjadikan pemberi wasiat dapat langsung menghadap ke notaris untuk

membuat atau sekedar menyimpan dan mendaftarkan akta wasiatnya.

Akibatnya setelah terbukanya warisan, seringkali ahli waris dan penerima

wasiat tidak mengetahui adanya wasiat itu. Kemungkinan ini menimbulkan

permasalahan tersendiri dalam hukum kewarisan terutama apabila, sudah


128

dilaksanakannya pembagian warisan secara ab intestato sedangkan di

kemudian hari terdapat wasiat yang dibuat oleh pewaris atau pemberi wasiat

kepada seseorang penerima wasiat.

Kondisi di mana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya

wasiat pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat merugikan

penerima wasiat dan menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris karena

hilangnya kepastian hukum dari pembagian warisan sebelumnya. Kondisi ini

juga menimbulkan ketidakpastian akan siapa yang bertanggung jawab atas

masalah tidak diketahuinya adanya wasiat, apakah ahli waris yang

berkewajiban memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat ataukah

menjadi kewajiban setiap pelaksana hukum pembuat surat keterangan ahli

waris memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat, karena tidak ada

keharusan yang tegas secara normatif terkait siapa yang diwajibkan

memeriksa adanya sebuah wasiat.

Akibat hukum pembagian warisan yang telah dilakukan tanpa terlebih

dahulu memeriksa adanya wasiat adalah dapat diajukan pembatalannya oleh

penerima wasiat karena pembagian warisan tersebut melanggar haknya

sebagai penerima wasiat dan terdapat perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh ahli waris ab intestato kepada ahli waris testamenter, yang

diuraikan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perbuatan Melawan Hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-

undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain

atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat
129

bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan

kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Ahli waris ab intestato sebagai pihak

dalam pembagian warisan terdahulu telah melakukan perbuatan melawan

hukum, karena perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain yaitu:

melanggar hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, yaitu hak-hak pribadi

(persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht) dengan tidak

memeriksakan terlebih dahulu tentang adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat

sebelum dilakukannya pembagian warisan.

Berdasarkan uraian diatas, dalam kasus Putusan Mahkamah Agung No:

320K/Pdt/2013, yang menyatakan Penggugat adalah sebagai isteri dan

sekaligus sebagai salah satu ahli waris yang sah menurut hukum dari

perkawinan antara Penggugat dengan Alm. Eka Gunawan. Perkawinan antara

Penggugat dengan Alm. Eka Gunawan dilangsungkan pada tanggal 5

Desember 1985 dan terdaftar di Kantor Catatan Sipil Kotamadya DT II

Bandung. Terhadap Surat Wasiat yang menyatakan bahwa istri dari Alm, Eka

Gunawan tidak mendapatkan Haknya sebagai penerima waris. Dan

pertimbangan hukum Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan yang

diajukan penggugat adalah untuk membatalkan Akta Wasiat No. 5 Mei 2010

dengan alasan akta wasiat telah dibuat secara melawan Hukum dan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam buku

register seksi daftar wasiat sub direktorat harta peninggalan direktorat

perdata, tidak terdaftar akta wasiat atas nama almarhum Eka Gunawan,

padahal surat wasiat tersebut telah dikirimkan 2(dua) bulan, melebihi


130

tenggang waktu yang ditetapkan, pelanggaran yang dilakukan Notaris

terhadap ketentuan pasal 16 ayat 1 (i) Undang Undang Jabatan Notaris

tersebut mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum.

Tetapi Sepanjang Akta Wasiat itu ditaati oleh ahli waris, akta wasiat tetap

bisa berjalan. Dengan Notaris tidak melakukan pendaftaran dan pelaporan

akta wasiat berdampak pada menjadi tidak akuratnya Surat Keterangan

Wasiat (SKW) yang diterbitkan oleh Daftar Pusat Wasiat Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Surat Keterangan Hak Mewaris

(SKHW) yang diterbitkan oleh Balai Harta Peninggalan/Notaris/Lurah.

Upaya hukum ahli waris untuk mendapatkan perlindungan hukum

apabila warisan telah dibagi baru kemudian diketahui adanya wasiat adalah

melalui upaya hukum non litigasi. Ahli waris ab intestato dan ahli waris

testamenter mencari solusi terbaik atas sengketa pembagian warisan ini. Salah

satu upaya hukum non litigasi yang disarankan adalah negosiasi. Apabila

tidak ditemukan kesepakatan maka dapat dilakukan upaya hukum litigasi

dimana ahli waris ab intestato pada dasarnya tidak dapat mengajukan gugatan

ke Pengadilan Negeri karena ahli waris ab intestato tidak dirugikan atas

sengketa ini. Pihak yang berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri

adalah ahli waris testamenter yang haknya dirugikan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tanggung jawab Notaris hanya pada formalitas akta, yang isi akta

tersebut merupakan keinginan para pihak ahli waris, sedangkan para

pihak ahli waris bertanggung jawab terhadap isi dari akta, mengenai

tanggung jawab Notaris PPAT Ani Andriani Sukmayantini, S.H sebagai

turut tergugat IV dikota Bekasi menurut UUJN terkait tidak terdaftarnya

akta wasiat kepada Balai Harta Peninggalan (BHP), maka notaris dapat

diminta pertanggungjawaban secara perdata dalam hal ini bahwa akta

notaris dapat diajukan pembatalannya oleh pihak yang dirugikan dengan

adanya akta tersebut. Pihak dapat meminta ganti rugi, denda, bunga dan

sebagainya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan yang dilanggar

dapat berupa sanksi perdata, administratif, dan kode etik. Sebagaimana

ketentuan Pasal 84 UUJN, wasiat tersebut dapat dibatalkan apabila pihak

yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di

pengadilan, karna pembuatan suatu akta harus memenuhi tiga unsur yaitu

lahiriah, formal, materiil atau salah satu unsur tersebut tidak benar yang

dapat menimbulkan perkara perdata yang kemudian dapat dibuktikan

kebenarannya.

2. Undang-undang memberikan perlindungan dan jaminan kepada ahli waris

tertentu (legitimaris) untuk memperoleh bagian tertentu dari warisan

pewaris. Oleh karena itu, legitimaris yang terlanggar haknya dapat


132

melakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan perdata ke

pengadilan. Kondisi dimana ahli waris dan penerima wasiat tidak

mengetahui adanya wasiat pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat

sangat merugikan penerima wasiat dan menimbulkan ketidaknyamanan

ahli waris karena hilangnya kepastian hukum dari pembagian warisan

sebelumnya. Upaya hukum ahli waris untuk mendapatkan perlindungan

hukum apabila warisan telah dibagi baru kemudian diketahui adanya

wasiat adalah melalui upaya hukum non litigasi. Ahli waris ab intestato

dan ahli waris testamenter mencari solusi terbaik atas sengketa pembagian

warisan ini. Salah satu upaya hukum non litigasi yang disarankan adalah

negosiasi. Apabila tidak ditemukan kesepakatan maka dapat dilakukan

upaya hukum litigasi dimana ahli waris ab intestato pada dasarnya tidak

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri karena ahli waris ab

intestato tidak dirugikan atas sengketa ini. Pihak yang berhak mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri adalah ahli waris testamenter yang haknya

dirugikan.

B. Saran

1. Sebaiknya, sebelum membuat akta untuk menjamin kepastiannya, notaris

harus selalu jeli memeriksa satu persatu dokumen dengan benar dan

menyesuaikannya kembali dengan berkas-berkas yang dimiliki oleh

penghadap, karena akta yang dibuat Notaris merupakan akta otentik yang

memiliki alat bukti yang sempurna.


133

2. Notaris dalam membuat akta harus memiliki sifat kehati-hatian dan lebih

teliti agar terhindar dari perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang

berlaku.
DAFTAR BACAAN

BUKU
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta: UII Press,
2009.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010.

_______, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Ahdiana Yuni Lestari & Endang Heriyani, 2008, Dasar-Dasar Pembuatan


Kontrak dan Aqad, Yogyakarta, Yogyakarta: Lab Hukum Universitas
Muhammadiyah, 2008.

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), .Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah


dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis, Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2008.

Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di Masa
Datang: 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka, 2008.

Budi Untung, 22 Karakter Pejabat Umum (Notaris Dan PPAT) Kunci Sukses
Melayani, Yogyakarta : Cv. Andi Offset, 2015.

Cita Astungkoro Sukmawirawan, “Kekuatan Pembuktian Legalisasi dan


Waarmeking Akta di Bawah Tangan oleh Notaris”, Artikel Ilmiah Hasil
Penelitian Mahasiwa, Fakultas Hukum, Universitas Jember, 2014.
Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakrta: PT. Rajagrafindo Persada,1997.

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Penerbit


Erlangga,1982.
H. Salim HS, Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,
Bentuk Dan Minuta Akta), Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2015.

H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar


Grafika, 2008.

Habib Adjie, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No.


30 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Bandung: Refika Aditama, 2008

_______, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Kumpulan


Tulisan Tentang Notaris dan PPAT, Surabaya: PT Citra Adtya Bakti, 2008.

_______, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan),


Bandung: Mandar Maju, 2009.

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law


and State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Jakarta: BEE Media
Indonesia, 2007.

Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, Seksi Notariat Fakultas


Hukum, Cetakan ke-1, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1982.

Hasil wawancara Rita Wati, SH, Notaris di Kota Pekanbaru 20 September


2019.
Heo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kasius,
1982.

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan


Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, 2013.

_______, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Bandung : Citra Aditia Bakti,
2014.

Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya:


Arkola, 2003.

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persad, 2016.

Ikatan Notaris Indonesia, Kode Etik Notaris, Keputusan Kongres Luar Biasa
Ikatan Notaris Indonesia (INI), Banten, 29-30 Mei 2015. Pasal. 1 angka 2.

Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam


Moeliono, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003.

J. Satrio,S.H, Hukum Waris, Bandung: Penerbit Alumni, 1992.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Dan


Pengembangan Bahasa, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

Lidya Christina Wardhani, “Tanggung Jawab Notaris/PPAT Terhadap Akta yang


Dibatalkan oleh Pengadilan”, Lex Renaissance Jurnal, Vol. 2, No. 1, Januari
2017.
Leovin Ginho, “Analisis Adanya Praktek Notaris yang Ditetapkan Sebagai
Pelanggaran Hukum di Polresta Medan”, Premise Law Jurnal, Vol. 21,
2017, hal. 7.

Mahalia Nola Pohan, “Suatu Tinjauan tentang Pembatalan Akta Notaris yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan”, Tesis,
Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2011.

Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Oemarsalim, Dasar dasar hukum waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta,


2006.

Otje Salman dan anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpul dan
Membuka Kembali, Refika Aditama Press, Jakarta, 2004

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia-suatu penjelasan,


Cetakan ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

_______, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya: Airlangga


University Press, 2000.

R. Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Jakarta:


Pradnya Paramita, 2008.

Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,


Cetakan kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1993.
Rahmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Bandung: Mandar Maju, 2009.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1998

Santia Dewi dan R. M. Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris,
cetakan pertama, Jakarta: penerbit pustaka Yustisia, 2011.

Sembiring M U, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata, Medan, 1989.

Soetarjo Soemoatmodjo, Apakah Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Yogyakarta :


Liberty, 1986.

Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV


Rajawali, 1982.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta:Bineka Cipta, 1992.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


1998.

_______, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Jakarta: Liberty, 1999.

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2006.

Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan),


Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011.
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Bandung:
Pionir Jaya, 1992.

Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notariat, Buku I, Jakarta, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2008.

Triyanto Setyo Prabowo, “ Tanggung Jawab Notaris Yang Sedang Magang


Terhadap Keberhasilan Akta” , Jurnal Repertorium, Vol. 4, No. 2, Juli-
Desember 2017.

Udin Narsudin, Keterangan Waris, cet. 1, Jakarta: Gawang Persada Press, 2016.

Umi Mamlu’ul Hikmah, Bambang Sugiri, Sukarni, “Tanggung Jawab Notaris


Dalam Membuat Perjanjian Simulasi Yang Berbentuk Akta Notaris Ditinjau
Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal, 2016.

Vina Akfa Dyani, “Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi


Notaris dalam Membuat Party Acte”, Jurnal Lex Renaissance, No. 1, Vol. 2,
Januari 2017.

Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam pembuktian


dan Eksekusi, Jakarta: Rinika Cipta, 1993.

Wawan Setiawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004.

Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata, Asas asas Hukum Waris, Jakarta,


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Yogyakarta: Pustaka Mahardika.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan &


Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara Departemen Agama.

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pamanita,


1999.

Republik Indonesia, Kumpulan Kitab Undang-Undang Hukum (KUH Perdata,


KUHP, KUHAP), Wipress, 2008.

INTERNET
Diakses dari Wibowo T. Tunardy, “Harta Benda Dalam Perkawinan”,
http://www.jurnalhukum.com/harta-benda-dalam-perkawinan/, tanggal 2
Juli 2019.
Diakses dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa%3APencarian
&search = wasiat+menurut+kuh+perdata&fulltext=Cari&ns0=1 tanggal 20
Agustus 2019.
Diakses dari http://www.legalakses.com/tips-membuat-surat-wasiat-testament/
tanggal 21 Agustus 2019.

Diakses dari https://butew.com/2018/05/03/pengertian-wasiat-dan-jenis-jenis-


wasiat-menurut-hukum-perdata/ tanggal 10 Oktober 2019.
Diakses dari https://finance.detik.com/perencanaan-keuangan/d-3893876/harta-
benda-dalam-perkawinan tanggal 2 Juli 2019.
Diakses dari www.ini.id, pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 01 Mei
2019.

Anda mungkin juga menyukai