Oleh
Nama :
NIP :
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2019/2020
Oleh
Mengetahui: Menyetujui,
Dosen Pembimbing PKL Penilai/ Assesor
Nama Nama
NIP. NIP.
Disahkan di Palembang
Pada Tanggal
Ketua
Nama
NIP.
LAMBANG UNSRI
Kata Pengantar
Penulis,
Akhmad Hafidh Fatahillah
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN MUKA
LEMBARAN IDENTITAS DAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Maksud Dan Tujuan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Kerja Lapangan
2. Surat Nilai Praktek Kerja Prefosi Mahasiswa
3. Daftar Hadir Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan
4. Foto-Foto Kegiatan Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
A. Kantor
Salah satu daya tarik yang dapat memikat klien adalah kantor Notaris
itu sendiri. Sebuah kantor notaris yang baik dapat menimbulkan kesan
yang baik bagi notarisnya, sebuah kantor notarisyang baik bukanlah
kantor yang besar dengan bangunan yang megah melainkan kantor
yang semuabagiannya sesuai dengan fungsinya, ruangan-ruangan
didalamnya tertata baik. rapi dan terlalu terjaga kebersihannya
sehingga dapat memberikan kesan nyaman dan dapat dipercaya.
ruangan-ruangan dalam kantor yang ditata dengan baik dapat
menimbulkan rasa senang dan nyaman, baik bagi klien yang datang
maupun bagi karyawan yang bekerja dikantor tersebut, penataan
kantor sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. kantor notaris sebaiknya paling tidak mempunyai ruang kerja
notaris, ruang karyawan, ruang rapat serta ruang penyimpanan
protokol dan arsip penataannya harus sedemikian rupa,
sebagai contoh, ruang rapat yang semestinya tenang dan
nyaman jangan sampai terganggu oleh suara printer komputer
karyawan yang sedang mencetak akta.
b. setiap ruangan harus mendapat cahaya atau penerangan yang
baik. dengan penerangan yang baik akan dapat meningkatkan
hasil pekerjaan, mengurangi kesalahan-kesalahan dan
kelelahan serta dapat meningkatkan prestise kantor.
c. Estetika kantor dan pilihan warna ruangan dapat pula
mempengaruhi semangat kerja dan kesan yang mendalam bagi
setiap orang yang berkunjung ke kantor notaris tersebut.
d. jika terdapat dana yang cukup, maka dalam ruangan kantor
perlu juga dipasang pengatur suhu udara (air conditioning)
yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu kerja yang lebih
tinggi, kesenangan pegawai, semangat kerja yang meningkat,
dan kesan yang menyenangkan bagi para tamu.
e. setiap ruangan harus selalu rapi dan bersih.
B. Inventaris (Peralatan) kantor
Kecepatan dan kenyamanan bekerja dapat terwujud jika minimal
dalam suatu kantor notaris terdapat inventaris/peralatan sebagai
berikut :
a. Komputer dan printer ;
b. Internet ;
c. Mesin ketik ;
d. Meja dan kursi ;
e. Lemari penyimpan ;
Penggunaan inventaris (peralatan) kantor merupakan faktor penting
bagi suatu kantor yang baik. pilihan yang tepat terhadap perlengkapan
inventaris kantor, akan meningkatkan efisien kantor,
Dalam menentukan pilihan dan pengadaan perlengkapan inventaris
kantor, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah :
a. Jenis pekerjaan da cara penyelesaiannya.
b. Kemampuan dan kebutuhan pegawai yang menggunakannya.
c. Fleksibilitas penggunaan.
d. Kualitas dan kuantitas pekerjaan.
e. Harga dan layanan purna jual.
f. Nilai keindahan.
C. Karyawan
Demi kelangsungan kantornya, seorang notaris memerlukan
karyawan-karyawan yang dapat membantu, baikdalam persiapan dan
penyelesaian akta-akta maupun dalam pengadminitrasian
akta/surat/dokumen.
Oleh karena akta-akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris adalah
dokumen (arsip) Negara yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya,
serta banyaknya ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan seorang
notaris dalam jabatan profesinya, maka karyawan pada kantor notaris
pun harus mengetahui dan paham dengan benar apa yang harus
dilakukan, apa yang harus dihindari.
Disamping itu, karyawan kantor notaris sebaiknya memenuhi kriteria
sebagai berikut :
a. Teliti ;
b. Jujur dan berdedikasi tinggi ;
c. Mempunyai pengetahuan yang luas, terutama menguasai dan
memahami peraturan perundang-undangan di bidang
kenotariatan.
Setiap karyawan notaris harus jelas wewenang, tugas dan tanggung
jawabnya, sehingga memudahkan kontrol dan pengawasannya.
D. Pendokumentasian/tata kerarsipan
Tata kearsipan dapat diartikan sebagai cara pengaturan dan
penyimpanan dokumen secara teratur, sehingga setiap saat diperlukan
dapat dengan mudah dan cepat ditemukan kembali.
Dengan demikian, tata kearsipan yang baik akan merupakan sumber
informasi dan sumber dokumentasi secara sumber ingatan dari notaris
dan para karyawannya dalam melaksanakan tugas,
pendokumentasian/tata kearsipan ini merupakan bagian yang penting
dari adminitrasi kantor notaris. setiap akta yang dibuat oleh notaris
harus tertata dengan seksama, rapi dan tidak asal-asalan, karena akta-
akta tersebut dalam protokol notaris yang merupakan arsip negara
yang wajib disimpan dan dipeliharan oleh notaris dengan penuh
tanggung jawab.
Dokumen yang harus dipunyai setiap notaris sebekum
menjalakan jabatan profesi, antara lain :
1. Surat keputusan menteri hukum dan hak asasi manusia republik
indonesia tentang pengangkatan sebagai notaris ;
2. Berita Acara Sumpah Notaris
3. Sertifikat Cuti Notaris ;
4. Buku Daftar Akta, Buku Daftar surat dibawah tangan yang
disahkan, buku daftar surat dibawah tangan yang dibukukan
dan buku daftar protes yang telah diberi nomor urut, distempel
dan diparaf majelis pengawasan daerah, kecuali pada halaman
pertama dan terakhir ditanda tangani oleh majelis pengawasdaerah.
Pasal 1 butir 13 UUJN menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip
negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris. Penyimpanan
dan pemeliharaan protokolNotaris tersebut terus berlangsung
walaupun notaris yang bersangkutan telah pensiun atau bahkan sudah
meninggal dunia. Protokol Notaris tersebut diserahkan kepada Notaris
lain sebagai pemegang Protokol Notaris.
Pasal 62 UUJN mengatur mengenai alasan alasan apa yang mendasari
dilakukan penyerahan protokol notaris. selengkapnya pasal 62 UUJN
menyebutkan bahwa penyerahan protokol notaris dilakukan dalam hal
notaris :
a. meninggal dunia ;
b. telah berakhir masa jabatan ;
c. minta sendiri ;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan
tugas jabatan sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3
(tiga) tahun ;
e. diangkat menjadi penjabat negara ;
f. pindah wilayah jabatan ;
g. diberhentikan sementara ; atau
h. diberhentikan dengan tidak hormat.
sedangkan dalam penjelasan pasal 62 UUJN disebutkan bahwa
protokol notaris terdiri atas:
a. Minuta Akta:
Minuta akta adalah asli akta notaris, dimana didalam minuta
akta ini terdiri dari (dilekatkan) data-data diripara penghadap dan
dokumen lain yang diperlukan untuk pembuatan akta tersebut. setiap
bulannya minuta akta harus selalu dijilid menjadi satu buku yang
memuat tidak lebih dari 50 akta. pada sampul setiap buku tersebut
dicatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya.
b. Buku daftar akta atau Repertorium;
Dalam Repertonium ini, setiap hari notaris mencatat semua akta
yang dibuat oleh atau dihadapannya baik dalam bentuk minuta akta
maupun originali dengan mencantumkan nomor urut, nomor bulanan,
tanggal, sifat akta dan nama para penghadap.
c. Buku daftar akta dibawah tangan yang pendatangananya
dilakukan dihadapan notaris atau akta dibawah tangan yang
didaftarkan;
Notaris wajib mencatat surat-surat dibawah tangan, baik yang disahkan
maupun yang dibukukan dengan mencantumkan nomor urut, tanggal,
sifat surat dan nama semua pihak.
d. Buku daftar nama penghadap atau klapper;
Notaris wajib membuat daftar klapper yang disusun menurut abjad dan
dikerjakan setiap bulan, dimana dicantumkan nama semua
orang/pihak yang menghadap, sifat dan nomor akta.
e. Buku daftar protes;
setiap bulan notaris menyampaikan daftar akta protes da apabila tidak
ada, maka tetap wajib dibuat dengan tulisan “NIHIL”
f. Buku daftar wasiat; dan
Notaris wajib mencatat akta-akta wasiat yang dibuatnya dalam buku
daftar wasiat. Selain itu, paling lambat pada tanggal 5 setiap bulannya,
Notaris wajib membuat dan melaporkan daftar wasiat atas wasiat-
wasiat yang yang dibuat pada bulan sebelumnya. Apabila tidak ada
wasiat yang dibuat, maka buku daftar wasiat tetap harus dibuat dan
dilaporkan dengan tulisan “NIHIL”.
g. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh notaris
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undang. salah satunya
adalah buku daftar perseroan terbatas, yang mencatat kapan
pendiriannya dan dengan akta nomor dan tanggal berapa, perubahan
anggaran dasar atau perubahan susunan anggota direksi, anggota
dewan komisaris atau pemegang sahamnya.
Di samping buku buku daftar yang termasuk dalam protokol notaris
yang telah disebutkan diatas, seorang notaris yang baik seyogyanya
mengadminitrasikan dan membuat tata kearsipan terhadap hal-hal
sebagai berikut :
1. Buku daftar akta harian ;
2. Map khusus yang berisikan minuta-minuta akta sebelum dijilid
menjadi buku setiap bulannya ;
3. File Arsip Warkah Akta ;
4. File arsip yang berisikan copy surat dibawah tangan yang disahkan;
5. File arsip yang beisikan copy surat dibawah tangan yang
dibukukan;
6. File arsip yang berisikan copy daftar protes ;
7. File arsip copy collatione (yaitu copy dari surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan) ;
8. File arsip laporan bulanan notaris kepada majelis pengawas daerah
(MPD) yang dilampiri dengan tanda terima dari MPD ;
9. File arsip yang berisikan laporan wasiat kepada direktur perdata cq
balai harta peninggalan sub direktorat wasiat ;
10. File arsip yang berisikan tanda terima salinan akta ;
11. Buku surat masuk dan surat keluar notaris ;
12. File arsip surat masuk notaris ;
13. File arsip copy surat keluar notaris ;
14. Buku daftar tentang badan hukum sosial dan badan usaha yang
bukan badan hukum yang dibuat di kantornya.
Setiap bulan, selambat-lambatnya tanggal 15, Notaris wajib
menyampaikan secara tertulis salinan yang telah disahkannya dari
daftar akta dan daftar lain yang dibuat pada bulan sebelumnya kepada
majelis pengawas daerah ( Laporan Bulanan).
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris harus memiliki intergritas dan
bertindak profesional. pada saat mengucapkan sumpah jabatannya
pun notaris berjanji untuk menjalankan jabatannya dengan amanah,
jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak serta menjaga sikap,
tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik
profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab.
Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak
notaris, baik sengaja maupun tidak, dalam melaksanakan jabatannya
melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan dam kode etik. Pelanggaran tersebut antara lain:
1. Notaris mempunyai papan nama lebih dari satu ditempat berbeda ;
2. Papan nama nptaris masih terpampang, sedangkan notarisnya
sudah pensiun atau sudah meninggal dunia ;
3. Notaris sudah pensiun tetapi tidak menyerahkan protokolnya ;
4. Notaris sudah meninggal dunia tetapi protokolnya masih disimpan
oleh ahli waris, tidak diserahkan kepada notaris yang sudah di
tunjuk sebagai pemegang protokol;
5. Notaris tidak membuat buku-buku daftar yang merupakan protokol
notaris, seperti buku daftar akta dan Repertorium dan buku daftar
nama penghadap atau klapper. sedangkan didalam minuta akta
dibundel dokumen-dokumen yang tidak perlu dilekatkan, seperti
kwitansi biaya pembuatan akta.
BAB III
1
Wirjono Pradjodikoro, Asas – Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Bale Bandung, Tahun 1986),
hal 19
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit Intermasa,1988), hal 1
3
Salim HS, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum Of
Understanding (MoU), Cetakan Kedua, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2007, hal 8
2. Syarat sahnya suatu perjanjian
Syarat sahnya suatu atau sebuah perjnajian terdapat dalam
Pasal 1320 Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer), yang
berbunyi : untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat :
sepakat mereka yang mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Keempat syarat
tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi
dari suatu perjanjian, tanpa syarat – syarat tersebut maka perjanjian
dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu
kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu
perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang – orang
atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang
terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang hal, dinamakan syarat
obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya,
maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa
salah satu pihak mempunyai hak untuk memiinta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah
satu pihak yang dirugikan atau phak yang tidak cakap. Sedangkan
dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Untuk lebih jelasnya
berikut sedikit penjelasan tentang keempat syarat sahnya perjanjian,
yaitu :
a. Sepakat mereka yang Mengikatkan diri, syarat ini merupakan
syarat mutlak adanya sebuah perjanjian, dimana kedua pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
hal – hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/
diadakan itu, dan apabila mereka tdak sepakat maka tidak ada
perjanjian. Kesepakatan yang dibuat menunjukkan bahwa mereka
(orang – orang) yang melakukan perjanjian, sebagai subyek
hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas
dalam membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur
paksaan. Apabila subyek hukum tersebut tidak bebas dalam
membuat suatu perjanjian yang disebabkan adanya unsur paksaan
(dwang), unsur kekeliruan (dwaling), atau unsur penipuan, kecuali
paksaan yang dibenarkan oleh peraturan perundang – undangan
yang berlaku, maka perjanjian tersebut dapat dituntut untuk
dibatalkan. Pengertian paksaan yang terjadi, dapat berupa
paksaan badan, ataupun paksaan jiwa, kecuali paksaan yang
dibenarkan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku,
seperti paksaan yang terjadi sebagai akibat terjadinya kelalaian
atau wanprestasi dar satu pihak kemudian melakukan penggugatan
ke muka pengadilan dan sebagai akibatnya pengadilan memaksa
untuk memenuh prestasi.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jka
terdapat paksaan terdapat dalam Pasal 1323 Kitab Undang –
undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi : paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian,
merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan
itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa
perjanjian tersebut telah tidak dibuat, serta ketentuan dalam Pasal
1325 Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer) yang
berbunyi : Paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidka
saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat
perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap
suam atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun
kebawah.
Mengenai kekeliruan dapat terjadi terhadap orang maupun benda,
sedangkan yang dimaksud dengan penipuan ialah apabila salah
satu pihak dengan sengaja memberikan hal atau sesuatu yang tidak
benar, atau dengan akal cerdik sehingga orang menjadi tertipu.
Dan apabila penipuan dilakukan maka perjanjian yang dibuat
dapat batal. Sesuai dengan Pasal 1328 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer) 11 yang berbunyi : penipuan merupakan
suatu alasan untuk membatalkan perjanjian, apabila tipu muslihat,
yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga
terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan, mengandung makna
bahwa pihak – pihak yang membuat perjanjian/ perikatan tersebut
merupakan ornag yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak
yang dianggap cakap oleh atau menurut hukum, sehingga
perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum pula.
Dalam kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer), haya
diterangkan tentang mereka/ pihak – pihak yang oleh hukum
dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Sehingga pihak luar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap
untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini sesuai dengan
Ketentuan Pasal 1329 KUHPer yang berbunyi : setiap orang adalah
cakap untuk membuta perikatan – perikatan, jika ia oleh undang –
undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pihak yang tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang
– undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi “ tak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah”:
1. Orang – orang yang belum dewasa Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer) menentukan bahwa mereka yang
belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak pernah kawin.
2. Mereka yang dtaruh di bawah pengampuan
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan menurut Pasal 1331
Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer) adalah setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit
otak, atau mata gelap, walupun ia kadang – kadang cakap
mempergunakan pikirannya. Disamping itu orang – orang
dewasa yang mempunyai sifat pemboros dapat juga ditaruh
dibawah pengampuan.
3. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang diterapkan
oleh undang – undang, dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang – undang telah melarang membuat
perjanjian – perjanjian tertetu menurut Pasal 108 Kitab Undang
– undang Hukum Perdata (KUHPer) perempuan yang telah
bersuami dianggap tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian, kecuali jika ia didampngi atau diberi izin tertuls dari
suaminya. Sedangkan pada Pasal 109 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer) menentukan pengecualan dari Pasal
108 Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer), yaitu
bahwa istri dianggap telah memperoleh izin atas bantuan dari
suami dalam hal membuat perjanjian untuk keperluan rumah
tangga sehari – hari atau sebagai pengusaha membuat
perjanjan kerja, asalkan untuk keperluan rumah tangga. Namun
demikian semua ketentuan – ketentuan tersebut di atas sudah
tidak berlaku lagi dengan dkeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1969, serta dengan
diundangkannya Undang – undang Perkawinan No. I Tahun
1974, dimana dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) menentukan
bahwa kedudukan suami dan istri adalah sama atau seimbang
dan masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
c. Suatu hal tertentu, Maksud dari kata suatu hal tertentu pada
persyaratan sahnya suatu perjanjian adalah obyek dari pada
perjanjian. Dalam Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer)
ditentukan bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan
barang – barang yang dapat ditentukan nilainya atau dapat
diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1333
Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi :
“Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang Halal
Pengertian dari suatu sebab yang halal, yaitu bahwa isi dari
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang – undang,
norma – norma, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya :
seseorang mengadakan transaksi jual – beli senjata api tanpa
dilindungi oleh surat – surat yang sah dalam hal pemilikan senjata
api, maka perjanjian yang dilakukan adalah batal, karena tidak
memenuhi syarat mengenai suatu sebab yang halal yaitu prestasi
yang dilakukan telah melanggar undang – undang tentang
pemilikan senjata api. Menurut Pasal 1335 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer):”Suatu perjanjian tanpa sebab (casual),
atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan.” Sedangkan Pasal 1336 Kitab Undang –
undang Hukum Perdata (KUHPer), menegaskan bahwa jika tidak
dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal
ataupun ada sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan
perjanjiannya namun demikian adalah sah.
5. Lahirnya Perjanjian
Dalam kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer), dikenal
adanya asas konsensualisme sebagaimana telah diterangkan
sebelumnya, bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup
dengan sepakat saja dan perjanjian sudah dilahirkan pada saat atau
detk tercapainya Konsensus tersebut, dan pada detik tersebut
perjanjan sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik – detik
lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Menurut para ahli
hukum, azas tersebut harus disempurnakan dari Pasal 1320 Kitab
Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer), yaitu pasal yang
mengatur tentang syarat – syarat sahnya suatu perjanjian dan
bukan dari Pasal 1338 (1) Kitab Undang – undang Hukum Perdata
(KUHPer), yaitu pasal yang megatur tentang syarat – syarat sahnya
suatu perjanjian dan bukan dari Pasal 1338 (1) Kitab Undang –
undang Hukum Perdata (KUHPer), karena Pasal 1338 (1) yang
berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi
bilamana sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang
membuat perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau
mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang –
undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun ada perjanjian – perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya
dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu
formalitas atau perbuatan yang nyata. Dan perjanjian – perjanjian
“formal” atau perjanjian – perjanjian rill, itu adalah pengecualian.
Perjanjian formal contohnya adalah perjanjian “perdamaian” yang
menurut Pasal 1851 ayat (2) Kitab Undang – undang Hukum Perdata
(KUHPer) harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka tidak
sah). Sedangkan untuk perjanjian rill adalah misalnya perjanjian
“pinjam pakai” yang menurut Pasal 1740 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer) baru tercipta dengan diserahkannya
barang yang menjadi objeknya atau perjanjian “penitipan” yang
menurut Pasal 1694 Kitab Undang – undang Hukum Perdata
(KUHPer) baru terjadi dengan diserahkannya barang yang
dititipkan. Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga
haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian
kehendak antara kedua belah pihak.
Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu
perjanjian jadi kesepakatan berarti persesuaian kehendak.
Kehendak atau keinginan harus dinyatakan. Kehendak atau
keinginan yang disimpan didalam hati, tidak mungkin diketahui
pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang
diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan
kehendak ini tidak terbatas pada mengucap perkataan, ia dapat
dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat
menterjemahkan kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil
prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun oleh pihak yang
menerima penawaran. Dengan demikian maka yang akan menjadi
alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut
adalah pernyataan – pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak.
Undang – undang berpangkal pada azas konsensualisme, namun
untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini adalah maha
penting karena merupakaan saat lahirnya perjanjian yang mengkat
laksana suatu undang – undang, kita terpaksa berpijak pada
pernyataan – pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah
pihak, dan pernyataan itu sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk
mendapatkan kepastian hukum dalam pembuktiannya.
6. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Dalam padal 1381 Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer)
yang disebutkan “perikatan – perikatan hapus”:
a. Karena Pembayaran
Pembayaran merupakan betuk pelunasan dan suatu perjanjian,
atau perjanjian berakhir dengan adanya pembayaran sejumlah
uang., atau penyeraha benda. Dengan dilakukannya
pembayaran, pada umumnya perikatan/ perjanjian menjadi
hapus akan tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada
dan pihak ketiga menggantikan kreditur semula.
Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si berpiutang
(kreditur) atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh
Hakim atau undang – undang untuk menerima pembayaran
bagi si berpiutang.
b. Karena Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Oleh
Penyimpanan Atau Penitipan Barang
Ini merupakan salah satu cara jika si berpiutang tidak ingin
dibayar secara tunai terhadap piutang yang dimilikinya.
Dengan sistem ini barang yang hendak dibayarkan itu
diantarkan kepada si berpiutang. Selanjutnya penawaran
tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya dilakukan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri, Maksudnya adalah agar si
berpiutang dianggap telah dibayar secara sah dan siberutang
telah membayar secara sah.
Supaya pembayaran itu sah maka diperlukan untuk memenuhi
syarat – syarat sebagai berikut :
1. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya ;
2. Dilakukan oleh debtor yang berwenang membayar ;
3. Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah
ditetapkan ;
4. Waktu yang ditetapkan telah tiba ;
5. Syarat yang mana hutang dibuat telah dipenuhi ;
6. Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah
ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui
7. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru
sita, disertai oleh 2 (dua) orang saksi
c. Karena Pembaharuan Hutang
Pembaharuan Hutang adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai
pengganti perikatan semula, maksudnya bahwa pembaharuan
hutang ini terjadi dengan jalan mengganti hutang lama degan
hutang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur
lama dengan kreditur baru.
Pembaharuan Hutang ada tiga macam yaitu :
1. Pembaharuan hutang yang objektif
Yaitu mengganti atau merubah isi dari pada perikatan.
Penggantian perikatan ini terjadi jika kewajiban debitur atas
suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain.
2. Pembaharuan hutang yang subyektif pasif
Yaitu mengubah sebab dari pada perikatan. Misalnya ganti
rugi atas dasar perbuatan melawan hukum.
3. Pembaharuan hutang yang subyektf aktif
Yaitu selalu merupakan persetujuan segitiga, karena debitur
perlu megikatkan dirinya dengan kreditur baru.
d. Karena Perjumpaan Hutang
Perjumpaan Hutang ada apabila utang piutang debitur dan
kreditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan
perhitungan ini utang piutang lama berakhir. Adapun syarat
suatu utang supaya dapat diperjumpakan yaitu :
1. Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan
dari jenis kualitas yang sama;
2. Hutang itu harus sudah dapat ditagih;
3. Hutang itu ditaksir dapat ditentukan atau ditetapkan
jumlahnya. Dalam Pasal 1425 KUHPerdata diterangkan, “Jika
kedua orang saling berutang satu pada yang lain, maka
terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana
hutang – hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
e. Karena Pencampuran Utang
Menurut Pasal 1436 KUHPerdata percampuran hutang terjadi
apabla kedudukan seorang yang berpiutang (kreditur) dan
orang yang berhutang (debitur) itu mejadi satu, maka menurut
hukum terjadilah percampuran hutang. Dengan adanya
percampuran itu, maka segala hutang piutang tersebut
dihapuskan. Misalnya : si debitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin, maka dapat terjadi
pencampuran diantara mereka.
f. Karena Pembebasan Hutang
Pembebasan Hutang adalah perbuatan hukum dimana si
kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari si
debitur. Pembebasan hutang ini dapat terjadi apabila kreditur
dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari
debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau
pemenuhan perjanjian, dengan pembebasan ini perjanjian
menjadi berakhir. Pasal 1439 KUHPerdata menerangkan bahwa
jka si berpiutang dengan sukarela membebaskan segala hutang
– hutangnya di berhutang. Dengan adanya suatu pembebasan
maka hal ini tidak dapat dipindah alihkan kepada hak milik.
g. Karena Musnahnya Barang Yang Terhutang
Bila obyek yang dperjanjikan adalah merupakan barang
tertentu dna barang tersebut musnah, maka tidak lagi dapat
diperdagangkan atau hilang sama sekali, maka apa yang telah
diperjanjikan adalah hapus/ berakhir. Bahkan seandainya
debitur itu lalai menyerahkan barang itu (missal : terlambat),
maka iapun akan bebas dari perikatan bila ia dapat
membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh
suatu kejadian yang diluar kekuasaannya dan barang tersebut
juga akan menemui nasib yang sama, meskipun sudah berada
ditangan kreditur.
h. Karena Kebatalan atau Pembatalan
Perjanjian menurut Subekti meskipun disebutkan batal dan
pembatalan, tetapi yang benar adalah pembatalan. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan –
ketentuan disini semuanya mengenai pembatalan meminta
pembatalan perjanjian karena kekurangan syarat subyektif
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian
didepan hakm.
2. Secara pembelaan yatu menunggu sampai digugat didepan
hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru
mengajukan kekurangannya perjanjian itu untuk penuntutan
secara aktif sebagaimana disebutkan diatas undang –
undnag mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun,
yang mana penjelasan ini tercantum dalam Pasal 1454
KUHPerdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai
pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu.
Penuntutan pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika
ternyata sudah ada “ Penerimaan baik dari pihak yang
dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu
kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya,
dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta
pembatalan.
i. Karena berlakunya suatu syarat barat
Syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata adalah suatu syarat
yang apabla dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa
segala sesuatu, kembali pada keadaan semula seolah – olah
tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Dengan demikian apabila
peristiwa itu benar – benar terjadi maka si berhutang wajib
mengembalikan apa yang diterimanya.
j. Karena lewat waktu atau kadaluarsa
Lewat waktu atau kadaluarsa dalam Pasal 1946 KUHPerdata
diartkan sebagai suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat – syarat yang ditentukan oleh
undang – undang. Mengenai lewatnya waktu untuk dapat
dikatakan kadaluarsa, dapat dlihat pada Pasal 1967 KUHPerdata
yang menerangkan sebagai berikut, segala tuntutan hukum
baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat
perseorang, hapus karena kadaluarsa denga lewatnya waktu
tiga puluh tahun.
B. PENGERTIAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
1. Pengertian Akta
Istilah atau perkataan Akta dalam Bahasa Belanda disebut
“acte/akta” dan dalam Bahasa Inggris “Act/deed”, pada umumnya
mempunyai dua arti yaitu :
a. Perbuatan (handeling) / perbuatan hukum (rechtshandeling);
itulah pengertian yang luas, dan;
b. Suatu Tulsan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai
bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang
ditujukan kepada pembuktian sesuatu. Sednag menurut R
Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan bahwa kata “acta”
merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari
bahasa latin dan berarti perbuatan – perbuatan. A Pittlo
mengartikan akta, adalah surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh
orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Sudikno
Mertokusumo megatakan akta adalah surat yang diberi
tandatangan yang memuat peristiwa – peristiwa yang menjadi
dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1867 Kitab
Undang – undang Hukum Perdata maka akta dapat dibedakan
atas :
a. Akta Otentik
1. Pengertian Akta Otentik
Defisi mengenai Akta Otentk dengan jelas dapat dilihat
di dalam Pasal 1868 Kitab Undang – undang Hukum
Perdata yang berbunyi : “suatu Akta Otentik ialah suatu
akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang
– undang di buat oleh atau dihadapan pegawai –
pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akta dibuatnya. “ Berdasarkan Pasal 1868 Kitab
Undang – undang Hukum Perdata tersebut diatas
dapatlah dilihat bentuk dari akta ditentukan oleh undang
– undang dan harus dibuat oleh atau dihadapan pegawai
yang berwenang. Pegawai yang berwenang yang
dimaksud disini antara lain adalah Notaris, hal ini
didasarkan pada Pasal 1 angka 1 Undang – undang
nomor 1 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang
menyatakan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan berwenang
lannya sebagai dimaksud dalam undang – undang ini.
2. Syarat – syarat Akta Otentik Otentisitas dari Akta Notaris
Didasarkan pada Pasal 1 Angka 1 Undang – undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dimana
disebut Notaris adalah pejabat umum; dan apabila suatu
akta hendak emperoleh stempel otentisitas seperti
disyaratkan oleh Pasal 1868 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata, maka akta yang bersangkutan harus
memenuhi persyaratan – persyaratan berikut :
- Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan”
(ten overstaan) seorang pejabat umum;
- Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang – undang;
- Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu
dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat
akta itu.
Jadi suatu akta dapat dikatakan otentik bukan karena
penetapan undang – undang, tetapi karena dibuat oleh –
atau dihadapan seorang pejabat umum dengan
memenuhi syarat – syarat yang ditentukan dalam Pasal
1868 KUHPerdata.
b. Akta di Bawah Tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang segaja dibuat oleh
para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang
pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta dibawah
tangan adalah akta yang dmaksudkan oleh para pihak
sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau dihadapan
Pejabat Umum Pembuat Akta. Suatu akta yang dibuat
dibawah tangan baru mempunyai kekuatan terhadap pihak
ketiga, antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang
bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain
yang ditunjuk oleh Undang – undang, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1874 dan Pasal 1880 Kitab Undang – undang
Hukum Perdata. Pernyataan tertanggal ini lebih lazimnya
disebut legalisasi dan waarmerking.