Anda di halaman 1dari 11

PEMBAHARUAN HUKUM DAN

IMPLIKASI TEKNOLOGI
INFORMASI TERHADAP CYBER
Kelompok 4
• Musarofah (5620221054) NOTARY
• Adriska Indah P (5620221058)
• Husnan Arief (5620221056)
Apa itu Notaris ?
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, disebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangannya lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”
Kewenangan Notaris (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang
pula:
Pasal 15 UUJN mengatur:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang
g. membuat Akta risalah lelang.
pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
ditetapkan oleh undang-undang. mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundangundangan.
Selama ini layanan notaris kepada masyarakat masih bersifat konvensional, namun
seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi, layanan notaris juga tengah
bergeser menuju layanan yang berbasis elektronik, dimana fungsi dan peran notaris
dalam suatu transaksi elektronik tersebut kemudian dipopulerkan dengan istilah
Cyber notary.
LATAR BELAKANG CYBER NOTARY
Cyber Notary itu sendiri adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para
notaris untuk membuat akta otentik dalam dunia maya serta menjalankan tugasnya setiap
hari.

Misalnya: penandatanganan akta secara elektronik dan Rapat Umum Pemegang Saham secara
teleconference. Penandatanganan secara elektronik tersebut dapat mempermudah para
pihak yang tempat tinggalnya berjauhan bahkan beda negara, sehingga adanya Cyber Notary
jarak tidak menjadi kendala dalam membuat akta.

Gagasan cyber notary sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1995. Namun, ketiadaan dasar
hukum menghambat pengembangannya. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), perlahan namun pasti
pembahasan mengenai konsep cyber notary kembali bergulir.
Bolehkah Cyber Notary?

Jika dilihat pada Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya
Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Prakteknya dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat sudah banyak


yang dilakukan secara online seperti contoh, proses pendirian Perseroan
Terbatas (PT) bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat hanya beberapa
menit saja setelah penandatanganan akta pendirian, dengan pelayanan
secara online pada Sistim Adminitrasi Badan Hukum atau AHU Online pada
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang sistem
tersebut antara satu dan yang lain sudah terintegrasi dengan Kantor Pajak
dan OSS (Online Single Submission) Badan Kordinasi Penanaman Modal
(BKPM).
Kekuatan Hukum Akta Elektronik
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik kekuatan akta notaris yang berbentuk elektronik tersebut tidak memiliki pembuktian
yang sempurna layaknya akta otentik, hal ini karena akta notaris berbentuk elektronik (akta elektronik)
tersebut tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, selain itu Undang-Undang Jabatan Notaris dan
Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga belum mengakomodir hal tersebut.
Alasan mengapa akta otentik saat ini belum bisa berbentuk elektronik dikarenakan beberapa hal, yaitu:
• Akta otentik ditentukan oleh undang-undang dan hingga saat ini belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur secara khusus yang menyatakan bahwa akta otentik dapat dibuat secara
elektronik (akta elektronik).
• Mengenai tanda tangan, akta otentik harus ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi, dan notaris,
namun hingga saat ini belum ada peraturan perUndang-undangan yang menyatakan bahwa tanda
tangan digital boleh untuk digunakan dalam akta otentik.
• Pada dasarnya dalam pembuatan akta otentik, para pihak harus hadir secara fisik dihadapan notaris
dan disaksikan oleh para saksi, untuk selanjutnya dibacakan oleh notaris dihadapan para pihak dan
para saksi kemudian ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi, dan oleh notaris.
Pasal 1868 KUHPerdata, ada 3 (tiga) syarat akta otentik, yaitu;
1) Akta harus dibuat dalam bentuk dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.
2) Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.
3) Pejabat harus memiliki wewenang untuk membuat akta itu

Pasal 15 UUJN menyatakan “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan”.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan” tersebut
adalah kewenangan mensertifikasi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary).

Namun kekuatan mensertifikasi tersebut tidaklah sama dengan suatu akta otentik
yang tetap berpegang pada ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan pasal 16
UUJN.

Hal ini menjadi kendala dalam melaksanakan konsep cyber notary, ditambah masih belum
memadainya fasilitas dan teknologi yang menunjang praktik cyber notary di Indonesia.
Kesimpulan
• Konsep cyber notary di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masih kurang kuat dalam peng-

implementasiannya terhadap kewenangan notaris, dalam UUJN pasal 15 sudah membuka peluang untuk

melakukan praktik cyber notary, namun berbenturan dengan pasal 16 UUJN dan Pasal 1868. Hal ini

menjadi kendala dalam melaksanakan konsep cyber notary, ditambah masih belum memadainya fasilitas

dan teknologi yang menunjang praktik cyber notary di Indonesia.

• Keabsahan akta notaris dalam melakukan praktik cyber notary, sepanjang akta tersebut dibuat sesuai

bentuk yang diatur dalam undang-undang jabatan notaris, maka akta tersebut adalah sah. Namun apabila

akta tersebut dibuat tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang mengaturnya maka akta notaris

(dalam bentuk elektronik) tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna layaknya akta

otentik sesuai ketentuan pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata karena cacat dalam bentuknya.
Saran

Harus dilakukan pembaharuan hukum baik berupa tambahan, pemberlakukan


dan penghapusan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan mengenai
konsep cyber notary dalam UUJN atau dibentuk dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri sebagai peraturan yang bersifat materiil dan formiil secara
konkrit dan disertai dengan dukungan penuh berupa pemberian fasilitas yang
memadai untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan cyber notary di
Indonesia.

Pertegas kedudukan akta notaril dan penerapan cyber notary di Indonesia jika
hal tersebut memungkinkan untuk terlaksana. Karena dengan adanya pasal-
pasal yang berbenturan akan menciptakan ketidakpastian hukum.
THANK YOU!

Anda mungkin juga menyukai