Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK OPSI DAN PERJANJIAN SEWA

MENYEWA RUMAH

2.1 Pengertian dan Akibat Hukum Hak Opsi

1.1.1 Pengertian Hak Opsi

Hak opsi dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah optierecht/recht van

optie diartikan sebagai hak untuk memilih secara bebas (untuk yang disenangi)

untuk membeli sesuatu atau untuk memperpanjang kontrak sewa.1 Pengertian hak

opsi dapat ditemukan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang terdiri dari dua suku

kata yakni hak dan opsi. Hak dapat diartikan benar; milik, kepunyaan;

kewenangan; kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan, dsb); kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk

menuntut sesuatu.2 Sedangkan opsi dapat diartikan sebagai tindakan memilih;

kekuasaan atau hak memilih, kebebasan memilih; pilihan dari sejumlah alternatif. 3

Jadi hak opsi adalah kewenangan untuk memilih.

Ketentuan hak opsi (option right) dalam terminologi hukum memiliki arti

hak menjual atau membeli.4 Sedangkan Hak opsi dalam kamus bahasa inggris

disebut option rights terdiri dari dua suku kata, yakni kata option5 berarti

1
A.A. Gede Djelantik, loc.cit.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 381-382
3
Ibid, hal. 800
4
I.P.M. Ranuhandoko, 2003, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 425
5
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1988, Kamus Inggris Indonesia An English-
Indonesian Dictionary, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 407

54
55

kebebasan; pilihan, boleh memilih, sedangkan rights6 berarti hak. Jadi hak opsi

(option rights) yaitu hak pilih.

Hak opsi dalam black’s law dictionary dikenal dengan istilah lease option

yang memiliki arti sebagai berikut In a contract for rental property, a clause that

gives the renter the right to buy the property at a fixed price, usually at or after a

fixed time.7 (dalam kontrak untuk property sewaan, klausul yang memberikan

penyewa hak untuk membeli property dengan harga tetap, yang biasanya pada

saat itu atau setelah waktu yang ditentukan).

Selain itu, istilah hak opsi dapat ditemukan dalam bidang hukum

pembiayaan khususnya pada sewa guna usaha yang menggunakan hak opsi

(finance lease). Pada finance lease, lessee mempunyai hak opsi untuk membeli

barang modal pada akhir masa perjanjian sewa guna usaha. Besarnya harga

barang tersebut sesuai dengan nilai sisa (residual value) pada akhir masa kontrak.

Apabila lessee tidak menggunakan hak opsi ini, lessee dapat memperpanjang

perjanjian sewa guna usaha atau mengembalikan barang modal tersebut kepada

lessor.8

1.1.2 Akibat Hukum Hak Opsi

Akibat hukum adalah suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk

memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang

dimaksud adalah akibat yang diatur dalam hukum, sedangkan tindakan yang

6
Ibid, hal. 486
7
Bryan A.Garner, 2011, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., hal.543
8
Sunaryo, op.cit., hal. 62
56

dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum

yang berlaku.9

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa

hukum, yang dapat berwujud :

1) Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contoh : akibat

hukum dapat berubah-ubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap

hukum ketika seseorang berusia 21 tahun atau dengan adanya

pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.

2) Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau

lebih subyek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu

berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yan lain. Contohnya : A

mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah dengan B, maka lahirlah

hubungan hukum antara A dan B apabila sewa menyewa rumah

berakhir, yaitu ditandai dengan dipenuhinya semua perjanjian sewa

menyewa tersebut, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap

3) Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Contohnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat

hukum dari perbuatan si pencuri tersebut yaitu, mengambil barang

orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum. 10

Berdasarkan pemaparan beberapa pengertian tentang hak opsi diatas, maka

akibat hukum dari hak opsi adalah pihak yang diberikan hak opsi dapat

menggunakan hak tersebut. Misalnya dalam perjanjian sewa guna usaha/Leasing,

9
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Soeroso II) hal. 295
10
Ibid
57

pihak lessee dapat menggunakan hak opsi (hak pilih) untuk membeli atau

memperpanjang jangka waktu sewa objek leasing. Sedangakan dalam perjanjian

sewa menyewa rumah, pihak penyewa dapat menggunakan hak opsi (hak pilih)

untuk memperpanjang jangka waktu sewa sesuai dengan ketentuan perjanjian

sewa menyewa tersebut.

2.2 Perjanjian dan Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

1.2.1 Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian

1.2.1.1 Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau

contract (Inggris).11 Perjanjian pada prinsipnya merupakan suatu perbuatn satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 12

Ketentuan mengenai perjanjian tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata

menentukan : “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang definisi perjanjian yang

menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Definisi

ini belum begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam

perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Definisi

pada pasal ini seharusnya menerangkan mengenai adanya dua pihak yang saling

mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Jika hanya disebutkan bahwa satu pihak

mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah olah yang dimaksud

hanyalah perjanjian sepihak, tetapi jika disebutkan pula mengenai adanya dua

11
Salim HS II, op.cit.,hal. 160.
12
Wayan Windia, 1995, Menjawab Masalah Hukum, BP, Denpasar, hal. 70
58

pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik

perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak. 13

Ketentuan pada Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan

antara lain :14

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari perumusan

“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih

lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya untuk satu pihak, tidak dari

kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah “saling mengikatkan

diri” jadi ada consensus antara para pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Pengertian “perbuatan”

termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa

(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) yang

tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipergunakan kata

persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313

KUHperdata tersebut diatas terlalu luas karena mencakup pelangsungan

perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur

dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki dalam

buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat

kebendaan, bukan bersifat personal.

13
Ahmadi Miru I, op.cit, hal. 64
14
Abulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya, Bandung,
(selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), hal 78
59

d. Tanpa menyebut tujuan. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan

tujuan dari diadakannya perjanjian, sehingga para pihak mengikatkan diri

tidak jelas untuk apa.

Tidak jelasnya pengertian perjanjian di dalam rumusan tersebut

disebabkan hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan

hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian perjanjian

maka harus dicari dalam doktrin. Terdapat dua teori yang membahas mengenai

pengertian perjanjian yaitu teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori

lama), adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah perbuatan hukum

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan definisi

tersebut, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum

(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut teori baru yang dikemukakan

oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 15

Teori baru tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga melihat

perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Terdapat tiga tahap

dalam pembuatan perjanjian berdasarkan teori baru yaitu :

a. Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

b. Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak para

pihak;

c. Post contractual yaitu pelaksanaan dari perjanjian.16

Adapun unsur-unsur perjanjian menurut teori lama yaitu :

15
Salim HS II, op.cit., hal. 161
16
Salim HS II, loc.cit.
60

a. Adanya perbuatan hukum;


b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
c. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan dinyatakan;
d. Perbuatan hukum terrsebut terjadi karena kerja sama antara dua orang
atau lebih;
e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling
bergantung satu sama lain;
f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan suatu akibat hukum;
g. Akibat hukum tersebut untuk kepentingan yang satu atas beban yang
lain atau timbal balik;
h. Persesuaian kehendak tersebut haruslah berasarkan atas peraturan
perundang-undangan.17

Dalam ruang lingkup bisnis, istilah perjanjian juga sering disebut kontrak.

Menurut Robert Duxbury pengertian kontrak yakni a contracts may be defined as

an agreement between two or more parties that is binding in law.18 Menurut

Patrick Salim Atiyah, memberikan definisi tentang kontrak/perjanjian adalah a

Promise or a set of promise for the breach of which the law gives a remedy or the

performance of which the law in some way recognizes as a duty.19 Sedangkan

dalam Encyclopedia of American law memberikan pengertian lebih praktis, yaitu

the term for agreement between two or more parties to exchange good or services

for money or other good or services.20 Istilah kontrak ini merujuk pada perjanjian

yang diadakan secara tertulis seperti yang dilakukan oleh kalangan bisnis (dunia

usaha).21

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk

17
Salim HS II., loc.cit.
18
Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Thomson Sweet & Maxweel, London, hal. 1
19
Patrick Salim Atiyah, 1995, An Introduction to the Law of Contract, 5th Edition, Oxford
University Press, Oxford, hal. 37
20
David Scultz, 2002, Encyclopedia of American Law, Fact on Filem Inc, New York, hal.
109
21
Moch Chaidir Ali, Achmad Samsudin dan Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian
Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal. 19
61

melaksanakan sesuatu hal.22 Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah

suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 23

Menurut Yahya Harahap mengemukakan perjanjian mengandung

pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
24
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Selanjutnya

Sudikno Mertokusumo mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum

antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum. 25

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu

perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak

untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
26
janji itu. Menurut Sri Soedewi Masjchoen, perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum, dimana seseorang atau lebih mengiatkan dirinya terhadap seorang lain

atau lebih.27

Berdasarkan beberapa pendapat dari para sarjana diatas, dapat disimpulkan

bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari adanya hubungan antara

22
Subekti, 2011, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Interamasa, Jakarta (selanjutnya
disingkat Subekti III), hal. 36
23
Abdulkadir Muhammad II, op.cit., hal. 78
24
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 6
25
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 32
26
R. Wirjono Prodjodikoro II, op.cit., hal. 11
27
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan
Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 25
62

dua orang atau lebih, saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal

dalam ruang lingkup harta kekayaan.

1.2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian

Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai sahnya

perjanjian diperlukan :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;


2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Untuk sahnya perjanjian, harus terpenuhi keempat syarat tersebut. Apabila salah

satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak terpenuhi, maka

perjanjian tersebut tidak sah. Jadi syarat sahnya perjanjian berlaku secara

komutatif, bukan limitatif.

1. Sepakat Mengikatkan Diri

Sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

harus bersepakat setuju atau seia sekata mengenai hal-hal ppokok dari perjanjian

yang diadakan. Kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian harus diberikan

secara bebas.28 Sepakat merupakan salah satu syarat penting dalam sahnya

perjanjian. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan dengan

cara :

a) Tertulis

b) Lisan

c) Diam-diam

28
Komariah,op.cit., hal. 174
63

d) Simbol-simbol tertentu.

Kesepakatan dengan tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik ataupun

akta di bawah tangan. Perbedaan antara akta otentik dengan di bawah tangan

terletak pada beban pembuktiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1965

KUHPerdata, 163 HIR (asas actori incubit probation), yaitu :

a) Apabila akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan, maka pihak

lawan harus membuktikan kepalsuan dari akta tersebut.

b) Sedangkan akta di bawah tangan jika dibantah oleh lawan, maka pihak

yang mengajukan akta di bawah tangan yang harus membuktikan keaslian

dari akta di bawah tangan tersebut. 29

Kesepakatan merupakan inti dari perjanjian, karena kesepakatan

merupakan saat lahirnya perjanjian, sehingga jawaban atas pertanyaan kapan

kesepakatan itu terjadi merupakan hal yang penting. Mengenai kapan terjadinya

kesepakatan sebagai saat lahirnya perjanjian,, terdapat berbagai teori mengenai hal

itu yaitu :30

1) Teori kehendak

Teori ini menekankan kepada apa yang sesunguhnya dikehendaki.

Contohnya mobil baru seharga Rp. 100 juta, dijual seharga Rp. 10

juta. Apabila terjadi sengketa, maka kehendak yang wajar menjadi

pertimbangan pokok. Tidak wajar mobil baru seharga Rp 100 juta

dihargakan Rp. 10 juta.

29
Ahmadi Miru, 2007,Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Rajagraffindo Persada,
Jakarta (selanjutnya disingkat Ahmadi Miru II), hal. 15
30
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-
ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press,
Denpasar, hal. 53-54.
64

2) Teori pernyataan

Teori ini menekankan kepada apa yang dinyatakan. Contohnya,

seorang menyatakan setuju membeli mobil baru dengan wajar Rp.

100 juta dan pernyataan itu adalah wajar. Kemudian tanpa alasan

yang sah ia menyatakan bahwa pernyataannya tersebut adalah tidak

benar. Apabila telah terjadi kerugian pada penjual akibat

pernyataannya, maka pembeli harus menggantu kerugian.

3) Teori kepercayaan

Teori ini menekankan pada apa yang wajar dipercaya. Contohnya,

seseorang menyatakan membeli mobil baru dengan harga Rp 9 juta.

Pernyataan tersebut tentu tidaklah wajar, sehingga pernyataan tersebut

tidak mengikat karena tidak dapat dipercaya

4) Teori pengiriman

Teori ini menekankan kepada jawaban atau penawaran pihak lain.

Pihak yang menerima penawaran mengirim jawaban persetujuan

kepada pihak yang menawarkan. Perjanjian mengikat kedua belah

pihak pada saat surat dikirim, meskipun belum diterima oleh pihak

yang menawarkan.

5) Teori penerimaan

Teori ini menekankan kepada jawaban atas penerimaan pihak lain.

Pihak yang menerima penawaran mengirim jawaban persetujuan

kepada pihak yang menawarkan. Perjanjian akan mengikat kedua

belah pihak apabila surat jawaban persetujuan yang dikirim oleh


65

pihak yang menerima penawaran sudah sampai kepada pihak yang

menawarkan.

2. Kecakapan dalam Membuat Perjanjian

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap

untuk membuat perjanjian, yaitu :31

a. Orang-orang yang belum dewasa.

Orang yang belum dewasa sebagaiamana ditentukan dalam Pasal 330

KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan

tidak lebih dahulu telah kawin. Mereka yang ditaruh dibawah

pengampuan.

b. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang.

Orang-orang yang berada di bawah pengampuan sesuai dengan

ketentuan Pasal 433 KUHPerdata adalah orang dungu, sakit otak, mata

gelap dan boros. Kedunguan, sakit otak, mata gelap dan boros, harus

dibuktikan berdasarkan penetapan pengadilan. Apabila orang yang

diperkirakan dungu, tetapi tidak ditaruh dibawah pengampuan membuat

perjanjian, maka perjanjiannya tidak batal kecuali atas keterangan dokter

dan menurut hakim dari keterangan dokter dapat disimpulkan seseorang

itu tidak cakap beritndak menurut hukum karena dungu.

3. Hal tertentu

Hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit

harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi persoalan asalkan

31
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal.57
66

dapat ditentukan kemudian.32 Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata menentukan

bahwa “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi

pokok perjanjian”. Hal itu berarti pokok perjanjian harus dinilia dengan uang, atau

setidaknya sanksi atas pelanggaran perjanjian adalah ganti rugi uang atau benda

yang bernilai uang.

Pasal 1333 KUHPerdata menentukan “barang yang menjadi objek

perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit

ditentukan jenisnya. Misalnya jenis barang yang tampak oleh mata dapat

ditentukan dengan cara menghitung, menimmbang, mengukur, menentukan batas,

menentukan kualitas. Sedangkan barang yang tidak dilihat oleh mata berupa jasa

dapat ditentukan dengan kualitas perbuatan, bentuk perbuatan yang

diperjanjikan.33

1. Suatu Sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal merupakan suatu sebab yang dibenarkan oleh

undang-undang, kebiasaan, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Suatu

perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu adalah termasuk

kedalam sebab yang tidak halal. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1335

KUHPerdata. Berkaitan sebab yang tidak halal, dapat dijumpai dalam perjanjian-

perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum,

kesusilaan (Pasal 1254, 1335, 1337 KUHPerdata) dan perjanjian yang dibuat

bertentangan dengan kebiasaan dan kepatutan (Pasal 1339 KUHPerdata). 34

32
Komariah, op.cit., hal. 175
33
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal 58
34
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal. 59
67

1.2.1.3 Bentuk dan Substansi Perjanjian

Undang-undang tidak menentukan secara tegas mengenai format perjanjian,

maka dalam pembuatan suatu perjanjian tidak ada persyaratan suatu format

tertentu. Apabila terdapat suatu perjanjian yang dibuat seara tertulis dan memang

telah diperintahkan oleh undang-undang dengan ancaman tidak mengikat apabila

tidak dibuat secara tertulis, yang juga disebut perjanjian formal, maka perjanjian

tersebut biasanya telah ada format tertentu yang disiapkan notaris. Jika perjanjian

tersebut bukan merupakan perjanjian formal dalam arti tidak diwajibkan oleh

undang-undang dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini yang biasanya dibuat

bersama oleh para pihak. Perjanjian yang terakhir ini merupakan perjanjian

dibawah tangan, meskipun demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 35

Bentuk perjanjian dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian lisan dan

perjanjian tertulis. Perjanjian lisan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak

dengan wujud lisan (cukup dengan kesepakatan para pihak), sedangkan perjanjian

tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis.

Adapun tiga bentuk perjanjian tertulis sebagai berikut:36

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan. Perjanjian ini hanya mengikat para pihak dalam perjanjian,

tetapi tidak memiliki kekuatan mengikat kepada pihak ketiga. Dengan kata

lain apabila perjanjian tersebut disangka oleh pihak ketiga, maka para pihak

atau salah satu pihak dari perjnjian tersebut berkewajiban mengajukan

35
Soeroso I, op.cit., hal. 53
36
Salim HS II, op.cit., hal. 166-167
68

bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberetan pihak

ketiga yang dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melagalisir tanda tangan para pihak.

Fungsi kesaksian notaris hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan

para pihak dan kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum

dari isi perjanjian. Salah satu pihak munggkin menyangkal isi perjanjian

tetapi pihak yang menyangkal tersebut adalah pihak yang harus

membuktikan penyangkalan tersebut.

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta

notaril. Akta notariil adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka pejabat

yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang adalah notaris, camat,

PPAT, dll. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi

para pihak maupun pihak ketiga.

Substansi perjanjian merupakan isi atau hal-hal yang diinginkan oleh

kedua belah pihak untuk dituangkan dalam perjanjian. Dalam substansi perjanjian

tercantum pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak,

pengakhiran perjanjian, pola penyelesaian sengketa dan lain sebagainya. 37

1.2.2 Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa

1.2.2.1 Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa seperti halnya jual beli, suatu perjanjian yang

sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian sewa menyewa

37
Tim Yustisia, 2017, Pedoman Menyusun Surat Perjanjian/Kontrak, Huta Publisher,
Depok, hal. 20
69

maupun jual beli merupakan suatu upaya yang sudah biasa dipergunakan oleh

para masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingannya

Perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli adalah sama-sama

merupakan suatu perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut

Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany perbedaan antara dua macam

persetujuan ini ialah bahwa dalam jual beli yang diserahkan oleh pemilik barang

adalah hak milik atas barang itu, sedangkan dalam hak sewa menyewa si pemilik

barang hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil barang, padahal hak

milik atas barang itu berada di tangan yang menyewakan. 38

Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah

hubungan hukum yang terjadi ikarenakan satu pihak memberikan satu kenikmatan
39
atas sesuatu (benda) kapda pihak lainnya membayar harga kenikmatan itu.

Untuk lebih mmahami pengertian perjanjian sewa-menyewa maka dikemukakan

beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna memberikan gambaran lebih

jelas. Menurut Kansil, bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian untuk

menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam waktu yang tertentu dan

dengan sewa tertentu. 40

Demikian juga Subekti mengetengahkan bahwa, Sewa-menyewa adalah

suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu

benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya

menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu

38
Djoko Prakoso,, Bambang Riyadilany, 2001, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 56
39
Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disingkat hilman Hadikusuma I), hal. 97
40
C.S.T Kansil, 1998, Modul Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 241
70

pada waktu-waktu yang ditentukan.41 Sedangkan pada Pasal 1548 KUHPerdata

memberi pengertian yaitu :

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan

dari suatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan sesuatu harga yang boleh

pihak tersebut berakhir ini disanggupi pembayarannya. Dari uraian tersebut diatas,

maka dikemukakan bahwa pengertian sewa-menyewa meliputi unsur-unsur

berikut :

a. Sewa menyewa ialah suatu perjanjian antara dua pihak. Maksudnya bahwa di

dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang saling berhadap-

hadapan. Pihak yang satu disebut sebagai pihak penyewa, sedangkan pihak

yang lainnya disebu pihak yang menyewakan (pemilik). Dalam perjanjian

sewa-menyewa ini, kedua pihak yaitu pemilik maupun pihak penyewa

dibebani suatu kewajiban-kewajiban pokok yang harus dlaksanakan;

b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu barang

kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak yang menyewakan

(pemilik) menyerahkan barangnya kepada si penyewa, hanya tnuk dipakai

atau dipergunakan oleh si penyewa dan bukan untuk dimiliki. Dengan kata

lain yang menyewakan (si pemiliki) hanyalah mneyerahkan panggunaan atau

pemakaian atas sesuatu barang kepada penyewa dan hak milik atas barang

tersbeut tetap berada pada tangan di pemilik barang;

41
Subekti I, op.cit., hal. 139
71

c. Selain itu, suatu waktu tertentu, maksudnya adalah bahwa perjanjian sewa

menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selama-lamanya

artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu tertentu untuk

berakhirnya sewa menyewa. Pasal 772 KUHPerdata menentutkan bahwa :

Tiap-tiap pemakai hasil diperbolehkan menikmati haknya atau


menggadaikannya, bahkan bolehlah ia menjualnya, membebaninya atau
menghibahkannya. Sementara itu baik dalam hal bilamana ia
menikmatinya dengan diri sendiri, maupun ia menyewakannya,
menggadaikannya atau menghibahkannya haruslah ia terhadap penikmatan
akan hak itu, bertindak menurut adat kelaziman setempat dan kebiasaan
para pemilik tanah, dengan tak berubah tujuan untuk mana tanah itu
diperuntukkannya.

Dari ketentuan pasal tersebut tampaklah bahwa yang dapat menyewakan

barang itu tidaklah selalu pemilik barang itu. Apabila seseorang diserahi suatu

barang untuk dipakai tanpa membayar suatu apapun, maka yang terjadi adalah

suatu perjanjian pinjam pakai. Menurut Subekti, jika si pemakai barang itu

diwajibkan membayar maka bukan lagi perjanjian pinjam pakai yang terjadi tetapi

perjanjian sewa-menyewa.42 Hal tersebut berarti bahwa pihak yang menyewakan

tidak diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang

dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu hak atas barang

yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut sendiri orang tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1556 KUHPerdata, bahwa apabila pihak

ketiga mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan didasarkan atas

suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak bertanggung

jawab atas perbuatan tersebut. Adanya kewajiban pokok dalam perjanjian sewa-

menyewa baik bagi pihak penyewa maupun yang menyewakan, maka bai pihak

42
Subekti I, op.cit., hal. 52
72

penyewa salah satu kewajiban adalah mengembalikan barang yang disewanya

sesuai dengan jangka waktu yang telah oleh karena maksud dari perjanjian sewa-

menyewa ialah untuk dikemudian hari mengembalikan barang kepada pihak lain

yang menyewakan, maka tidak mungkin ada perjanjian sewa-menyewa yang

pemakaiannya mengakibatkan musnahnya barang itu, misalnya barang-barang

makanan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “adakalanya barang-barang makanan

dapat disewa juga, kalau yang dimaksud itu adalah suatu pemakaian istimewa

yang berakibat musnahnya barang makanan yaitu untuk dimakan melainkan

hanya untuk diperlihatkan pada orang banyak seperti perjanjian sewa-menyewa

barang untuk diperlihatkan pada pameran, dalam hal mana buah-buahan itu akan

dikembalikan setelah pameran.” 43

Dengan pembayaran sesuatu harga, maksudnya adalah bahwa dalam sewa

meneywa itu selalu disertai dengan adanya harga sewa. Pembayaran harga sewa

tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan kepada pihak yang menyewakan

(si pemilik) barang, guna sebagai pengganti atas penggunaan atau pemakaian

barang sewa. Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban

utama bagi si penyewa dalam hubungan sewa-menyewa.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa yang penting dalam

perjanjian sewa menyewa adalah obyek perjanjian tersebut tidak musnah karena

pemakaian. Jadi semua benda atau barang baik yang bertubuh maupun yang tidak

bertubuh misalnya hak-hak tertentu dapat dijadikan obyek perjanjian sewa-

menyewa asal tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini karena pengertian

43
Wirjono Projodikoro II, Op.cit., hal. 50
73

perjanjian sewa menyewa dalam KUHPerdata tidak memberikan perincian barang

apa saja yang dapat dijadikan obyek sewa menyewa.

Dengan pembayaran sesuatu harga, maksudnya ialah bahwa dalam sewa-

menyewa itu selalu disertai dengan adanya harga sewa. Pembayaran harga sewa

tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan kepada pihak yang menyewakan

(si pemilik) barang, guna sebagai pengganti atas penggunaan atau pemakaian

barang sewa. Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban

utama bagi si penyewa dalam hal hubungan sewa-menyewa.

1.2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa

Untuk sahnya suatu perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat maka

diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.pemikian dengan perjanjian

sewa menyewa seperti halnya perjanjian-perjanjian lain yang harus memenuhi

syarat-syarat tertentu. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat

yang harus ada pada setiap perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Menurut J. Satrio mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

harus terpenuhi syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan.

3. Ada suatu hal tertentu.


74

4. Ada suatu sebab yang halal.44

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui

oleh hukum, walaupun diakui oleh para pihak yang membuatnya. Selagi pihak-

pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara

mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya, sehingga

menimbulkan sengketa, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan

perjanjian itu batal. 45

Untuk lebih jelasnya agar apa yang diuraikan di atas yaitu mengenai syarat

sahnya perjanjian sewa menyewa, maka akan diuraikan mengenai empat syarat

tersebut.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehndak adalah

kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang

lainnya. Persetujuan itu sifanya sudah mantap, tidak lagi dalam

perundingan. 46

Menurut Mashudi dan Chidir Ali bahwa persetujuan dalam Pasal

1320 KUHPerdata meng takan harus bebas kehendak yang bebas itu tak
47
ada bila terdapat hal-hal seperti Dwaling, Dwang, Bedrog. Menurut

Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila pihak yang tidak

44
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disingkat Satrio J I), hal.163
45
Ibid
46
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad III), hal. 229
47
Mashudi, Moh Chidur Ali, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian
Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal. 110
75

sepakat dengan suatu kontrak ddan (karenanya) tidak menandatanganinya,

tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak

mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu. 48

Perundingan (negotiation) biasanya diadakan oleh para pihak sebelum

adanya persetujuan. Adapun maksud dari perundingan adalah pihak yang

satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian

dan syarat-syaratnya. Selain itu, pihak yang lain menyatakan pula

kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan. Kehendak biasanya

dinyatakan secara tegas dan terkadang secara diam-diam, tetapi

maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak itu.

Menurut Abulkadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak itu

sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun
49
juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam pengertian

persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada

penipuan. Adapun paksaan yang dimaksud diatur dalam Pasal 1323 dan

1324 KUHPerdata sebagai berikut. Menurut ketentuan Pasal 1323

KUHPerdata menentukan “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang

membuat suatu perjanjian, merupakan alasan batalnya perjanjian, juga

apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk

kepentingan siapa perjanjian tersebut telah dibuat.” Selanjutnya dalam

ketentuan Pasal 1324 KUHPerdata menyatakan bahwa “paksaan telah

terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan

48
Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan untuk Merancang Kontrak, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 16
49
Abdulkadir Muhammad III, op.cit., hal. 229
76

orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan

ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam

dengan satu kerugian yang terang dan nyata.”

Dengan demikian, suatu persetujuan mengandung unsur paksaan

dapat dikatakan sebagai paksaan, apabila memenuhi ketentuan Pasal 1323

dan 1324 KUHPerdata. Maka akibat hukum dari perjanjian yang

mengandung paksaan dapat dijadikan alasan batalnya perjanjian tersebut.

Kekhilafan atau kesesatan atau kekeliruan tidak terpenuhi, apabila salah

satu pihak tidak ada keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat

penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan

perjanjian itu.

Menurut ketentuan Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila

kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok

perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan

itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud

membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama

karena mengingat dirinya orang tersebut”.

Jadi sesungguhnya kekeliruan atau kekhilafan itu tidak

mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau

kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok

perjanjian, atau menenai sifat khusus atau keahlian khusus diri orang

dengan siapa diadakan perjanjian tersebut. Ketentuan Pasal 1328


77

KUHPerdata menentukan bahwa : “penipuan merupakan suatu alasan

untuk pembatalan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat itu dipakai oleh

salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa

pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu

muslihat tersebut. Penipuan tidak di persangkakan tetapi harus

dibuktikan.” Jadi persetujuan yang mengandung unsur penipuan dapat

menjadi alasan pembatalan dari perjanjian tersebut, namun unsur penipuan

tersebut haruslah dibuktikan, bukan sekedar persangkaan belaka.

Akibat hukum dari tidak ada persetujuan kehendak (karena

kekhilafan, paksaan, penipuan) adalah perjanjian itu dapat dimintakan

pembatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut

ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat dimintakan dalam

tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari

paksaan itu berhenti dalam hal ada kekhilafan dan penipuan dihitung sejak

hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan tersebut.

2. Kecakapan pihak-pihak

Menurut Kansil, seseorang dapat dikatakan cakap menurut hukum

apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21 tahun,

atau bagi seorang laki-laki telah melangsungkan perkawinan bila belum

berumur 21 tahun. 50

Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dikatakan

tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang

50
C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 225
78

yang ditaruh dibawah pengampunan, dan orang-orang permepuan, dalam

hal ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang

kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Mereka yang tersebut diatas harus diwakili oleh wali mereka apabila akan

melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan hukum nasional Indonesia

sekarang, wanita yang memiliki suami sudah dinyatakan cakap melakukan

perbuatan hukum, jadi apabila wanita tersebut ingin melakukan perbuatan

hukum tidak memerlukan izin dari suami. Perbuatan hukum yang

dilakukan istri tersebut sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan

pembatalannya kepada Hakim.

Akibat hukum ketidakcakapan para pihak dalam membuat perjanjian

adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimintakan

pembatalannya kepada hakim. Apabila pembatalannya tidak dimintakan

oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi

pihak-pihak.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu menyangkut pokok perjanjian, obyek perjanjian,

dan prestasi yang wajib dipenuhi. 51 Prestasi yang dimaksud harus tertentu

atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai pokok

perjanjian atau objek perjanjian dimaksudkan untuk memungkinkan

pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak jika pokok perjanjian, atau

objek perjanjian, atau prestasi itu tidak jelas/ kabur, sulit dan bahkan tidak

51
C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 231
79

mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig,

void).

Menurut J. Satrio, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal

tertentu” perlu dilihat kepada Pasal 1333 dan 1334 KUHPerdata, yang
52
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320 sub 2 KUHPerdata.

Pada Pasal 1333 KUHPerdata dikatakan bahwa :

Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu benda


(zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Yang dimaksud disini
adalah bahwa objek perjanjian tidak harus… sejak… semula…secara
individual tertentu, tetapi cukup kalau… pada saat perjanjian ditutup
jenisnya tertentu. Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah
memnuhi syarat, kalau jenis obyek perjanjiannya saja yang sudah
ditentukan.53

Sedangkan menurut R. Setiawan :


Objek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat
dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu
prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau meberikan
kenikmatan atas sesuatu barang misalnya, penjual berkewajiban
menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban
memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. 54
4. Suatu sebab yang halal (causa)

Abdulkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian tertenut

yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (Public policy)


55
tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum. Menurut ketetnuan Pasal

1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang

52
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, citra
Aditya Bakti, Bandung, (selnjutnya disingkat J. Satrio II), hal. 31
53
Ibid
54
R. Setiawan, op.cit., hal. 4
55
Abdulkadir Muhammad, 1999, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disingkat Abdulkadir Muhammad IV), hal. 95
80

oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

ketertiban umum.

Pada dasarnya undang-undang tidak memperhatikan apa yang

menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Adapun yang diperhatikan

atau yang diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah

dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Misalnya, dalam isi perjanjian jual beli pihak pembeli menghendaki

hak milik atas benda dan pihak penjual menghendaki sejumlah uang.

Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak yaitu berpindahnya hak

milik dan diserahkannya sejumlah uang. Dalam perjanjian sewa-menyewa,

isi perjanjian ialah pihak penyewa menghendaki kenikmatan atas suatu

benda, dan pihak yang menyewakan menghendaki sejumlah uang. Tujuan

yang hendak dicapai oleh pihak-pihak ialah kenikmatan dengan menguasai

benda dan dibayarnya sejumlah uang.

Sehingga akibat hukum dari perjanjian yang mengandung causa yang

tidak halal ialah “batal” (nietig, void). Dengan demikian tidak ada dasar

untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak

semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Menurut ketentuan

Pasal 1335 KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat tanpa causa

(sebab), ia dianggap tidak pernah ada.


81

Berdasarkan pemaparan diatas, syarat pertama dan kedua Pasal 1320

KUHPerdata merupakan syarat subyektif, karena melekat pada diri orang

yang menjadi subyek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka

perjanjian dapat dibatalkan. Pasal 1545 KUHPerdata menentutkan bahwa

jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap

mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau

waktu lima tahun.

Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUHPerdata tersebut

merupakan syarat obyektif, karena mengenai obyek perjanjian. Jika syarat

ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum. Kebatalan ini

dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka

hakim, dan hakim menyatakan perjanjian terebut batal, karena tidak

memenuhi syarat objektif.

Disamping syarat-syarat tersebut diatas, setiap orang yang membuat

perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian juga dengan

perjanjian sewa menyewa harus ada itikad baik yang dalam hal ini

diartikan sebagai kejujuran.

Apabila itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa berarti kejujuran,

maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan.

Kepatutan dalam hal ini yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk

suatu pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Jika

diperhatikan, Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata adalah dasar yang dipakai
82

sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan dalam

penyelesaian atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai dengan itikad

baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad baik, kepatutan dan

kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan perjanjian dalam sengketa

para pihak.

Dalam Pasal 1338 KUHPerdata memerintahkan semua perjanjian

dilaksanakan dengan itikad baik, ddimikan kewajiban kedua elah pihak

ialah melaksanakan perjanjian dengan itikad baik memberikan kepastian

hukum mengenai isi perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan tegas.

Kalau undang-undang menetapkan barang siapa berdasarkan suatu

perjanjian diwajibkan merawat sebaik-baiknya seperti barang miliknya

sendiri sampai terlaksananya penyerahan barang tersebut, maka hal ini

berarti merupakan suatu ketenttuan yang ditujukan kepada itikad baik

dalam melaksanakan suatu kewajiban hukum. Maksud daripada perintah

supaya perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik adalah untuk menegah

kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam pelaksanaan

tersebut.

Sebagaimana diketahui kepatutan dalam penemuan hukum dapat

dipergunakan untuk menyampingkan undang-undang tetapi dapat pula

melengkapi undang-undang. Hal ini akan lebih apabila diperhatikan

pernyataan Pasal 1339 KUHPerdata yang menentukan sebagai berikut:


83

Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikut untuk hal-hal yang

dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi dapat pula melengkapi

undang-undang.

Sedangkan dalam Pasal 1347 KUHPerdata menentukan sebagai

berikut: Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan

dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun

tidak dengan tegas dinyatakan.

Berpegang pada ketentuan tersebut diatas ahwa kedua belah pihak

dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang seara

tegas diseutkan dalam perjanjian melainkan juga apa yang dihrauskan

menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan undang-undang.

Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-janji yang memang

lazim dipakai dalam masalah yaitu menurut adat kebiasaan, maka janji-

janji tersebut dianggap termuat di dalam perjanjian meskipun perjanjian

sama sekalai tidak menyebutkan.

Pasal 1339 KUHPerdata mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian

dan yang diapakai dalam Pasal 1347 KUHPerdata, maka tampak sedikit

adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Dalam Pasal 1339

KUHPerdata menghendaki disamping apa yang termuat dalam perjanjian

harus diperhatikan pula adat kebiasaan dan undang-undang mengenai soal

yang termaksud dalam perjanjian tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1347

KUHPerdata bahwa janji-janji yang menurut kebiasaan melekat pada

perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat dalam isi perjanjian.


84

Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jelas perbedaan

dari dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUHPerdata mengatakn adat

kebiasaan yang tidak termuat dalam isi perjanjian tidak dapat

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat

menambah isi perjanjian. Namun tidak demikian halnya dengan Pasal

1347 KUHPerdata, peraturan yang bersifat tambahan ini malahan

dianggap dikesampingkan oleh adat kebiasaan.

Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam perjanjian

hubungannya dengan Pasal 1339 KUHPerdata dengan Pasal 1347

KUHPerdata yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian, maka

titik beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada waktu

membuat perjanjian. Maksud para pihak inilah yang menentukan apakah

dalam suatu perjanjian tertentu adat kebiasaan yang termuat secara tegas

dalam perjanjian dapat mengenyampingkan peraturan perundang-

undangan yang bersifat menambah isi perjanjian atau tidak.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatikan Pasal 1339

KUHPerdata bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma

disamping undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para pihak

dalam suatu perjanjian.56

1.2.2.3 Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa Menyewa

Sesungguhnya bentuk perjanjian sewa menyewa tidak ditentukan secara

tegas dalam KUHPerdata. Sehingga perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam

56
Wirjono Prodjodikoro, 1997, Azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, (selanjutnya
disingkat Wirjono Prodjodikoro III), hal. 97
85

bentuk tertulis atau lisan.57 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perjanjian

konsensuil, namun oleh Undang-Undang membedakan akibat-akibat antara sewa

menyewa secara tertulis dengan sewa menyewa secara lisan.

Perjanjian sewa menyewa yang dibuat secara tertulis, akan berakhir demi

hukum (otomatis) setelah jangka waktu yang ditentukan habis, sehingga

perjanjian sewa menyewa itu akan berakhir tanpa harus dilakukan pemberitahuan.

Sedangkan apabila perjanjian sewa menyewa dibuat secara lisan, maka perjanjian

sewa menyewa itu tidak akan berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan

jika ada pemberitahuan dari pihak yang menyewakan kepada si penyewa, bahwa

ia akan menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan

mengindahkan jangka waktu yang diharuskan sesuai kebiasaan setempat. Jika

tidak ada pemberitahuan sebelumnya, maka sewa menyewa tersebut dianggap

akan diperpanjang untuk waktu yang sama.58

Peraturan sewa menyewa secara tertulis dapat dilihat pada Pasal 1570

KUHPerdata yang menentukan : jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu

berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa

diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu sedangkan pengaturan mengenai

sewa menyewa lisan, dapat dilihat pada Pasal 1572 KUHPerdata yang

menentukan : “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir

pada waktu yang ditentukann, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak

menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

57
Abdul R. Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hal.
14
58
R. Subekti III, op.cit, hal. 15
86

Pembedaan perjanjian sewa menyewa selain berdasarkan secara lisan dan

tertulis dapat juga dilakukan melalui pembedaan perjanjian sewa menyewa dalam

bentuk akta autentik (authentieke akte) dengan perjanjian sewa menyewa dalam

bentuk di bawah tangan (onderhnds). Apabila dibuat dengan autentik, maka

disesuaikan dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau

dihadapan pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna dan apabila kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus

memikul beban pembuktian (the burden of proof), untuk membuktikan

ketidakbenaran sangkalan/dalilnya. Perjanjian sewa menyewa yang dibuat di

bawah tangan maka bentuk akta tersebut tidak terikat bentuk formal. Akta di

bawah tangan dapat dibuat dengan bebas oleh subyek yang berkepentingan,

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh para pihak

yang menandatangani perjanjian dan apabila kebenaran tersebut dibantah, maka

pihak yang membantah memikul beban pembuktian (the burden of proof) yang

harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.

Adapun mengenai substansi dari perjanjian sewa menyewa minimal

memuat sebagai berikut :

1. Tanggal dibuatnya perjanjian sewa menyewa;

2. Subyek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa

menyewa;

3. Obyek yang disewakan;

4. Jangka waktu sewa;

5. Besarnya uang sewa;


87

6. Hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut;

7. Dapat juga ditambahkan mengenai berkahirnya kontrak dan denda.59

59
Salim H.S, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS V), hal 59-60

Anda mungkin juga menyukai